Anda di halaman 1dari 118

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id










































ommit to user



TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM
SISTEM HUKUM INDONESIA









Penulisan Hukum
(Skripsi)


Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta


Oleh:
Amalia Taufani
E0007071


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



PERSETUJUAN PEMBIMBING


Penulisan Hukum (Skripsi)




TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM
INDONESIA


Oleh
Amalia Taufani
NIM. E 0007071




Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguguji Penulisan
Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta


Surakarta, April 2011
Dosen Pembimbing



Rahayu Subekti, S.H.,M.Hum
NIP. 19711102 200604 2 001











perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJ AUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM
INDONESIA

Oleh
Amalia Taufani
NIM. E 0007071

Telah diterima dan diperatahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Marer Surakarta
Pada:
Hari : Kamis
Tanggal : 14 April 2011

DEWAN PENGUJI

1. Pius Triwahyudi, S.H., M.Si : .........................................................
Ketua
2. Purwono Sungkowo Raharjo, S.H : .........................................................
Sekretaris
3. Rahayu Subekti, S.H.,M.Hum : .........................................................
Anggota

Mengetahui
Dekan,


Mohamad Yamin, S.H.,M.Hum
NIP. 196109301986011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



PERNYATAAN

Nama : Amalia Taufani
NIM : E 0007071
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM
HUKUM INDONESIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan
karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan
saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan
hukum (skripsi) ini.


Surakarta, 28 Maret 2011
Yang membuat pernyataan


Amalia Taufani
NIM. E0007071











perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



ABSTRAK

Amalia Taufani, E 0007071. 2011. TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK
MEDIS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA. Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan dan
ketentuan yuridis bila terjadi malpraktek medis sesuai sistem hukum Indonesia
dilihat dari ketentuan peraturan perundang-undangan menurut hierarki peraturan
perundang-undangan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif
dengan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan jenis dan
sumber penelitian sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder.
Teknik pengumpulan sumber penelitian dilakukan dengan teknik kepustakaan dan
cyber media. Teknik analisis sumber penelitian yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah teknik berfikir deduksi dan interpretasi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan,
sampai saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang tentang malpraktek
medis. Dari sistem hukum Indonesia, tidak semua mengatur malpraktek medis.
Yang mengaturnya, yaitu Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum
Administrasi. Undang-Undang yang bersangkutan, antara lain : UU No 23 Tahun
1992, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU No 44 Tahun 2009.
Serta UUPK memberikan dasar bagi pasien untuk mengajukan upaya hukum.
Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia tetapi
berkaitan dengan malpraktek medis antara lain: Peraturan Menteri Kesehatan No
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, Peraturan Menteri Kesehatan No
512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan No: 585/Men.Kes/Per/IX/1989
Tentang Persetujuan Tindakan Medik. Dari pengaturan tersebut yang sudah tidak
berlaku lagi yakni, UU No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang sudah diganti
dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Secara yuridis kasus
malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan dengan bersandar pada
beberapa dasar hukum yaitu: KUHP, KUHPerdata, UU No 23 Tahun 1992, UU
No 8 Tahun 1999, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU Nomor 44
Tahun 2009, Peraturan Menteri Kesehatan No 585/Menkes/Per/IX/1989,
Peraturan Menteri Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan Menteri
Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008.

Kata Kunci: Tenaga kesehatan, Penerima jasa kesehatan, malpraktek medis






perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



ABSTRACT

Amalia Taufani, E 0007071. 2011. REVIEW JURIDICAL MEDICAL
MALPRACTICE LEGAL SYSTEM IN INDONESIA. Faculty of Law,
Sebelas Maret University.
This study aims to determine how the regulatory and legal provisions in
case of medical malpractice according to Indonesian legal system viewed from the
provisions of the legislation according to the hierarchy of laws and regulations are
governed by Act No. 10 of 2004 concerning the establishment of laws and
regulations.
This research is a normative law is prescriptive approach to legislation.
This research uses secondary research and sources which consist of primary and
secondary legal materials. Engineering studies conducted by collecting source
library research techniques and cyber media. Technical analysis of research
sources used in this study is the technique of deductive thinking and
interpretation.
Based on the results of research and discussion of the resulting
conclusions, until recently Indonesia has not had the Law on medical malpractice.
From the Indonesian legal system, not every set of medical malpractice. That
govern it, namely the Civil Law, Criminal Law and Administrative Law. Law is
concerned, among other things: Act No. 23 of 1992, Act No. 29 of 2004, Act No.
36 of 2009, Act No. 44 of 2009. And UUPK provide the basis for patients to file
legal action. Regulations that are not included in the hierarchy of the Indonesian
legal system, but related to medical malpractice, among others: Regulation of the
Minister of Health No 269/Menkes/Per/III/2008 of Medical Record, Health
Minister 512/Menkes/Per/IV/2007 of Practice Permit No. and Implementation of
Medical Practice, Regulation of the Minister of Health No:
585/Menkes/Per/IX/1989 About Action Medical Approval. From the settings that
are no longer valid ie, Law No. 23 of 1992 on Health which has been replaced by
Law No. 36 Year 2009 concerning Health. Legally medical malpractice cases in
Indonesia can be solved by relying on some legal basis, namely: KUHP,
KUHPerdata, Law No. 23 of 1992, Law No. 8 of 1999, Law No. 29 Year 2004,
Law No. 36 of 2009, Law Number 44 Year 2009, Regulation of the Minister of
Health No 585/Menkes/Per/IX/1989, , Ministry of Health Regulation No.
512/Menkes/Per/IV/2007, the Minister of Health Regulation No.
269/Menkes/Per/III/2008.

Keywords: Health workers, recipients of health services, medical malpractice








perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan
karuniaNya sehingga penulisan hukum (skripsi) yang berjudul TINJAUAN
YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA
ini dapat terselesaikan. Penulisan hukum ini membahas mengenai pengaturan
malpraktek medis dalam sistem hukum Indonesia serta ketentuan yuridis terhadap
terjadinya malpraktek medis sesuai sistem hukum Indonesia.
Keberhasilan dan kesuksesan bukan hanya dari kerja keras semata,
melainkan kekuatan dan dukungan dari berbagai pihak. Dengan terselesainya
penulisan hukum ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Allah SWT, atas nikmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum ini.
2. Keluargaku tercinta, Bapak, Ibu, kakak-kakak ku tersayang untuk setiap doa,
pengorbanan, dukungan dan kasih sayang yang selalu diberikan.
3. Bapak Mohammad J amin, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS
dan seluruh jajaran dekanat Fakultas Hukum UNS.
4. Ibu Rahayu Subekti, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing atas segala
kesabaran dan arahannya sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan.
5. Bapak Wasis Sugandha, S.H.,M.H selaku Pembimbing Akademik selama
menimba ilmu di Fakultas Hukum UNS.
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS, atas segala ilmu dan bimbingan
yang diberikan kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Hukum UNS.
7. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS dan perpustakaan Pusat UNS atas
keramahan dan bantuannya.
8. Andria Luhur Prakosa yang telah memberikan dukungan, kasih sayang dan
batuannya selama ini.
9. Teman-teman terbaik, Yuni Asih, Sri Wahyu, Ardatila Intan, Ayu Agustina
dan Amelia Intiastuti atas persahabatan, keceriaan, kasih sayang, dukungan
dan semuanya selama ini yang telah menemani hari-hari selama di solo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



10. Rekan-rekan seperjuangan angkatan 2007 Fakultas Hukum UNS yang tidak
dapat disebutkan satu per satu dimana penulis tidak hanya mendapatkan
kawan tetapi juga keluarga
11. Serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan hukum
ini.


Surakarta, 28 Maret 2011
Penulis



Amalia Taufani



























perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



DAFTAR ISI

HALAMAN J UDULi
HALAMAN PERSETUJ UAN PEMBIMBING..ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJ I...iii
HALAMAN PERNYATAANiv
ABSTRAK...v
ABSTRACTvi
KATA PENGANTAR...vii
DAFTAR ISI...ix
DAFTAR GAMBAR.xii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah1
B. Rumusan Masalah..7
C. Tujuan Penelitian...7
D. Manfaat Penelitian.7
E. Metode Penelitian......8
F. Sistematika Penulisan Hukum.13

BAB II TINJ AUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori.................................................................................15
1. Tinjauan Tentang Malpraktek........................................................15
a. Pengertian Malpraktek.....15
b. Unsur-Unsur Malpraktek.....15
c. Aspek Hukum Malpraktek...17
2. Tinjauan Tentang Medis....................................17
3. Tinjauan Tentang Malpraktek Medis.................18
a. Pengertian Malpraktek Medis..............18
b. Kategori Malpraktek Medis.....18
4. Tinjauan Tentang Sistem................................................................20
5. Tinjauan Tentang Sistem Hukum Indonesia..................................20
a. Pengertian Sistem Hukum Indonesia......................................20
b. J enis Sistem Hukum Indonesia...............................................21
c. Hierarki Sistem Hukum Indonesia..........................................23
d. Fungsi Hukum.........................................................................24
6. Teori Hukum Mengenai Efektivitas Peraturan Perundang-
undangan........................................................................................25
a. Teori Fuller...............................................................................25
b. Teori J .B.J .M. Ten Berge.........................................................26
c. Teori Hans Kelsen (Prinsip Validitas).....................................28
B. Kerangka Pemikiran.30

BAB III PEMBAHASAN
A. Pengaturan Malpraktek Medis Dalam Sistem Hukum
Indonesia..............................................................33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



1. Pengaturan Aspek Hukum Perdata Malpraktek Medis......35
2. Pengaturan Aspek Hukum Pidana Malpraktek Medis...............36
3. Pengaturan Aspek Hukum Administrasi Malpraktek Medis.........38
4. Pengaturan Malpraktek Medis Berdasar Sistem Hierarki Hukum
Indonesia.........................................................................................40
a. UU No 23 Tahun 1992............................................................40
b. UU No 29 Tahun 2004............................................................42
c. UU No 36 tahun 2009..............................................................49
d. UU No 44 tahun 2009..............................................................51
5. Pengaturan Malpraktek Medis di Luar Hierarki Sistem Hukum
Indonesia.........................................................................................54
a. Permen No 585/Menkes/Per/IX/1989.....................................54
b. Permen No 512/Menkes/Per/IV/2007.....................................55
c. Permen No 269/Menkes/Per/III/2008......................................56
6. Upaya Hukum Bagi Pasien Terhadap Malpraktek.........................56
a. Ditinjau Dari UU No 23 Tahun 1992......................................56
b. Ditinjau Dari UU No 8 Tahun 1999........................................58
c. Ditinjau Dari UU No 36 Tahun 2009......................................62
B. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis Sesuai Sistem Hukum
Indonesia..............................................................................................63
1. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis Dalam Hukum Perdata......63
a. Hubungan Hukum dokter dan Pasien dalam Kontrak
Terapeutik...............................................................................63
b. Wanprestasi dalam Malpraktek Medis....................................64
c. Perbuatan Melawan Hukum dalam Malpraktek Medis...........66
d. Zaakwarneming.......................................................................67
2. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis dalam Hukum Pidana........68
a. Perbuatan Salah dalam Malpraktek Medis..............................68
b. Sikap Batin dalam Malpraktek Medis.....................................68
c. Adanya Akibat Kerugian Pasien.............................................71
d. Penerapan Pasal 351, 359, 360, 344, 346, 347 dan 348
KUHP......................................................................................72
3. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis dalam Hukum
Administrasi...................................................................................80
a. Pelanggaran Hukum Administrasi Kedokteran.......................80
b. Pelanggaran Hukum Administrasi tentang Kewenangan........81
c. Pelanggaran Hukum Administrasi tentang Pelayanan
Medis.......................................................................................82
4. Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Medis...........................87
a. Pertanggungjawaban Hukum Dokter......................................88
b. Pertanggungjawaban Perdata dalam Pelayanan Kesehatan....89
c. Pertanggungjawaban Pidana dalam Pelayanan Kesehatan.....91
d. Pertanggungjawaban Hukum Administrasi dalam Pelayanan
Kesehatan................................................................................93
e. Pertanggungjawaban Rumah Sakit.........................................95
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



f. Pertanggungjawaban Hukum dan Etik dalam Pelayanan
Kesehatan................................................................................98

BAB IV PENUTUP
A. Simpulan....100
B. Saran..102

DAFTAR PUSTAKA..104






































perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Berfikir...............................................................................30











































perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
17.508 pulau, dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006, dan negara
berpenduduk terbesar keempat di dunia. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang
3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia
adalah 1.922.570 km yang terdiri dari daratan non-air: 1.829.570 km dan daratan
berair: 93.000 km serta memiliki luas perairan 3.257.483 km
(http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia ).
Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia layak disebut negara besar yang
memiliki sumber daya alam dan manusia yang melimpah. Ketersediaan potensi
yang melimpah tersebut merupakan modal awal dan bekal yang sangat potensial
untuk mendukung pembangunan nasional di segala bidang. Pembangunan
nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang
meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan
tugas mewujudkan tujuan nasional dan cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Pembangunan nasional adalah pembangunan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat yang dilaksanakan di semua aspek kehidupan bangsa, termasuk juga
pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh
sistem kesehatan nasional. Untuk mencapai pembangunan kesehatan tersebut
diselenggarakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan
suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu dibidang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



pelayanan kesehatan. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi
derajat kesehatan yang besar, bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya
manusia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Kesehatan
sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan melalui berbagai
upaya kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan.
Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan
kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait
langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang
diberikan. Landasan bagi dokter untuk dapat melaksanakan tindakan medis
terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang
dimiliki yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang
dimilikinya, harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dokter dengan perangkat keilmuan
yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya terlihat dari
pembenaran yang dibenarkan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan
tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan
meningkatkan derajat kemanusiaan.
Maraknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini,
menunjukkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, selain itu
sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen memicu masyarakat gemar menuntut, ataupun sebab lain yang
seringkali diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan
dokter. (Kayus Koyowuan Lewloba, 2008:181)
Seseorang yang mengalami ganguan kesehatan pasti mendatangi seorang
dokter untuk mendapatkan penyembuhan penyakit yang dideritanya. Kemudian
muncul hubungan hukum antara dokter dan pasien, yang menimbulkan hak dan
kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban bagi dokter itulah dapat menimbulkan
penderitaan bagi pasien, akibat kelalaian atau kekurang hatian-hatian dokter
dalam menjalankan profesinya. Dikenal dengan istilah malpraktek (malpractice)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



medis dan dapat membebani tanggung jawab hukum terhadap akibat buruk bagi
pasien.
Malpraktek adalah istilah untuk dunia kedokteran yang artinya mal atau
mala artinya buruk, sedang praktek artinya pelaksanaan pekerjaan (Kamus Besar
Bahasa Indonesia; 1999:620;785). Sedangkan malpractice an instance of
negligence on incompetence on the part of a profesional (Black Law Dictionary,
2004:978), terjemahan bebas oleh penulis yaitu kelalaian merupakan bagian dari
ketidakkompetenan sebuah profesionalitas. Dari sudut harfiah istilah malpraktek
artinya praktek yang buruk.
Semakin terdidiknya masyarakat dan banyaknya buku pengetahuan
tentang kesehatan menjadikan masyarakat semakin kritis terhadap pelayanan
medis yang diterimanya. Perbuatan dalam pelayanan medis yang dapat menjadi
malpraktek medis terletak pada pemeriksaan, cara pemeriksaan, alat yang dipakai
pada pemeriksaan, menarik diagnosis atas fakta hasil pemeriksaan, wujud
perlakuan terapi, maupun perlakuan untuk menghindari kerugian dari salah
diagnosis dan salah terapi serta tidak sesuai standar profesi. (Adami Chazawi,
2007:5).
Bila diamati secara umum, Indonesia sekarang ini memasuki era krisis
malpraktek. Hubungan dokter dan pasien yang awalnya saling percaya, sekarang
menjadi hubungan yang saling curiga. Tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien
atau keluarganya kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin
meningkat. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun
perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian.
Perilaku yang dituntut merupakan kumpulan dari kelompok perilaku profesional
medis yang menyimpang dari standar profesi medis dan mengakibatkan cedera,
kematian atau kerugian bagi pasiennya. Kasus-kasus dugaan malpraktek yang
pernah terekspos media antara lain kasus malpraktek terhadap Pramita Wulansari.
Wanita ini meninggal dunia tidak lama setelah menjalani operasi caesar di Rumah
Sakit Surabaya Medical Service. Korban mengalami infeksi pada saluran urin dan
kemudian menjalar ke otak. (www.indosiar.com/tags/malpraktek).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



In most countries the prevailing rule of liability for medical injuries is
same farm of negligence rule (Schwartz, 1992). Many countries, including the
UK, the US, and Canada, are increasingly dissatisfied with this traditional
system. In theory, the tort system is designed to deter medical negligence and
compensate patients injured as a result of negligent care (Patricia M. Donzon,
2011:1).
Terjemahan bebas oleh penulis yaitu bahwa di sebagian besar negara,
aturan yang berlaku untuk malpraktek medis adalah aturan yang sama dengan
bentuk aturan kelalaian (Schwartz, 1992). Banyak negara, termasuk Inggris,
Amerika Serikat, dan Kanada, semakin tidak puas dengan sistem tradisional.
Dalam teori, yang terakhir sistem kerugian dirancang untuk mencegah kelalaian
medis dan kompensasi trauma pasien sebagai akibat kelalaian perawatan.
Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja profesi dokter
terus berkembang. Tuntutan masyarakat untuk membawa kasus dugaan
malpraktek medis ke pengadilan, dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah
kasus malpraktek medis yang diselesaikan di pengadilan. Baik secara hukum
perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa
nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktek medis
yang dilakukan dokter tetapi tidak berujung pada penyelesaian melalui sistem
peradilan.
Masyarakat sering beranggapan keliru bahwa tindakan medis yang
menimbulkan kerugian dapat dikategorikan sebagai malpraktek medis. Hal
tersebut dikarenakan, hukum kedokteran Indonesia belum dapat merumuskan
secara mandiri sehingga batas-batas tentang malpraktek medis belum dapat
dirumuskan, akibatnya isi, pengertian, dan batasan-batasan malpraktek medis
belum seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya. (Adami
Chazawi, 2007: 4).
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak
memuat ketentuan tentang malpraktek kedokteran. Pasal 66 Ayat (1) mengandung
kalimat yang mengandung pada kesalahan praktik kedokteran, yakni Setiap
orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Pasal ini hanya memberi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



dasar hukum untuk melaporkan dokter ke organisasi profesinya apabila terdapat
indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian, bukan dasar untuk menuntut
ganti rugi atas tindakan dokter. Pasal tersebut hanya mempunyai arti dari sudut
hukum administrasi praktik kedokteran. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, pada Pasal 54 ayat (1) merumuskan kalimat yang lebih jelas
dari istilah kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dengan istilah
...melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya... tetapi
tidak dijelaskan apa arti dan isinya sehingga kriterianya tidak jelas. Apalagi norma
pasal itu sudah mati karena ditiadakan kekuatan berlakunya oleh Pasal 85
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Sedangkan
dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Pasal 29
mengandung istilah kelalaian yaitu Dalam hal tenaga kesehatan diduga
melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Undang-Undang Nomor 44 tahun
2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 46 juga mengandung istilah kelalaian, yaitu
Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan rumah sakit.
Dengan adanya Undang-Undang No 44 Tahun 2009, telah memberikan dasar
hukum bagi masyarakat untuk meminta tanggung jawab hukum rumah sakit bila
terjadi kelalaian yang menyebabkan kerugian bagi pasien. Dari keempat Undang-
Undang tersebut tidak cukup memberikan pengertian, isi, batasan-batasan
malpraktek medis. Sedangkan di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) dikenal dengan istilah "Kelalaian", dalam KUHPdt (Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata) dikenal dengan istilah wanprestasi dan kerugian.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
memberikan upaya hukum bagi para korban untuk menuntut keadilan melalui
jalur pengadilan maupun luar pengadilan.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



tentang Rekam Medis memberikan pengaturan teknis bagi pasien dan dokter bila
timbul kerugian dalam pelayanan medis.
Suatu perundang-undangan dikatakan efektif setelah adanya sistem
hukum, penegakan hukumnya kemudian dilihat apakah peraturan itu ditaati dan
mengikat bagi masyarakat. Hal tersebut berdasarkan teoti priciples of legality dari
Fuller, Teori penegakan hukum oleh Ten Berge dan Teori validitas oleh Hans
Kelsen. Untuk melihat apakah aturan malpraktek medis yang ada sudah efektif
dan dapat dilaksanakan untuk penegakan hukum malpraktek medis atau tidak.
Kelemahan sistem hukum kesehatan di Indonesia karena Indonesia belum
memiliki hukum normatif (Undang-Undang) tentang malpraktek medis sehingga
pengaturan dan ketentuan yuridis bila terjadi malpraktek tidak ada. Permasalahan
lain yakni, kesediaan dokter yang dijadikan saksi ahli dalam suatu kasus dugaan
malpraktek karena diantara dokter itu sendiri terdapat perlindungan korps dan
saling berusaha untuk tidak membeberkan kesalahan dokter lainnya. Namun, tidak
berarti upaya-upaya hukum untuk menuntut hak pasien berkaitan dengan kasus
malpraktek selamanya akan gagal. Pasien dengan bekal pembuktian yang kuat dan
bila dokter benar-benar terbukti melakukan malpraktek, pasti hak pasien akan
diterima kembali. Oleh karena itu, pasien yang merasa memiliki keluhan atas
pelayanan medis yang diterimanya di institusi kesehatan, harus mengumpulkan
informasi sebanyak mungkin agar upaya menuntut keadilan atas haknya tidak sia-
sia.
Kasus-kasus dugaan malpraktek seperti gunung es, hanya sedikit yang
muncul dipermukaan. Ada banyak tindakan dan pelayanan medis yang dilakukan
dokter atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktek yang
dilaporkan masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum. Bagi para korban,
pertanyaan yang menjadi perhatian untuk penegak hukum mengapa begitu sulit
membawa kasus dugaan malpraktek dari meja operasi ke meja hijau. Apakah
perangkat hukum dan peraturan perundangan yang ada tidak cukup untuk
membawa persoalan dugaan malpraktek medis ke ranah hukum.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka hal-hal tersebut yang mendasari dan
melatarbelakangi penulis untuk menyajikan penulisan hukum dengan judul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM
HUKUM INDONESIA.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini penulis
merumuskan dalam dua pokok permasalah, yaitu:
1. Bagaimana pengaturan malpraktek medis dalam sistem hukum Indonesia ?
2. Bagaimana ketentuan yuridis terhadap terjadinya malpraktek medis sesuai
sistem hukum Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai dalam suatu
penelitian. Tujuan penelitian akan memberikan arah dalam pelaksanaan
penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai malpraktek medis dalam
sistem hukum Indonesia.
b. Untuk memperoleh jawaban atas permasalan mengenai ketentuan
yuridis terhadap terjadinya malpraktek medis sesuai sistem hukum
Indonesia.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan penulis di bidang Hukum
Administrasi Negara khususnya malpraktek medis dalam sistem
hukum Indonesia.
b. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar akademik
sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Suatu penelitian tentunya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
berbagai pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan bidang Hukum Administrasi Negara pada khususnya.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur
dalam dunia kepustakaan tentang kajian mengenai malpraktek medis.
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan terhadap
penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran, pola pikir
dinamis dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu hukum yang diperoleh selama bangku kuliah.
b. Penelitian ini diharapkan dapat membantu, memberikan tambahan
masukan dan pengetahuan kepada pihak-pihak terkait dengan
masalah yang sedang diteliti, juga kepada berbagai pihak yang
berminat pada permasalahan yang sama.

E. Metode Penelitian

Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35). Penelitian hukum dilakukan
untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian
hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum.
Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:41).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut.
1. Jenis Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



J enis penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian
ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.
Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian
doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya
pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder
(J ohny Ibrahim, 2006:44). Maka penulis dalam penelitian ini akan
mengkaji tinjauan yuridis malpraktek medis dalam sistem hukum
Indonesia.
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang
bersifat preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki: 2005: 22). Dari
hasil telaah dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat
dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskripsi. Begitu juga
tuntutan jaksa, petitum atau eksepsi dalam pokok perkara di litigasi berisi
preskriosi. Untuk dapat memberikan preskripsi itulah guna praktik
penelitian hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:37). Berdasarkan definisi
tersebut karakter preskriptif akan dikaji pada ketentuan yuridis bila terjadi
malpraktek medis sesuai sistem hukum Indonesia.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah
pendekatan undang-undang (Statute Approach), pendekatan kasus (Case
Approach), pendekatan historis (Historical Approach), pendekatan
komparatif (Comparative Approach), dan pendekatan konseptual
(Conceptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005:93).
Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan undang-undang (Statute Approach). Pendekatan
undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami
hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan (Peter
Mahmud Marzuki, 2005:93)
4. Jenis Dan Sumber Data Penelitian
Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki,
mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal
adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum. Dalam hal ini
Peneliti menggunakan jenis dan sumber penelitian sekunder yang terdiri
dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
6) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran
7) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
8) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik.
9) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan
Praktik Kedokteran
10) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



b. Bahan Hukum sekunder
Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud
Marzuki, 2005:141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari
data yang digunakan dalam penelitian ini ini yaitu buku-buku teks
yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, kamus
hukum dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk
mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan
jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi
maupun literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang
dibahas kemudian dikategorisasi menurut jenisnya.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
metode silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola berpikir
deduktif. Pola berpikir deduktif yaitu berpangkal dari prinsip-prinsip
dasar, kemudian peneliti tersebut menghadirkan objek yang hendak
diteliti. Sedangkan metode silogisme yang menggunakan pendekatan
deduksi menurut yang diajarkan Aristoteles yaitu berpangkal dari
pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor, dari kedua
premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter
Mahmud Marzuki, 2005:46).
Mengutip pendapat dari Von Savigny, interpretasi merupakan suatu
rekonstruksi buah pikiran yang tak terungkapkan di dalam undang-undang.
Untuk kajian akademis, seorang peneliti hukum juga dapat melakukan
interpretasi. Bukan tidak mungkin hasil penelitian itu akan digunakan oleh
praktisi hukum dalam praktek hukum. Dalam hal demikian, penelitian
tersebut telah memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu dan
praktek hukum. Interpretasi dibedakan menjadi interpretasi berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



kata undang-undang, interpretasi berdasarkan kehendak pembentuk
undang-undang, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi
teleologis, interpretasi antisipatoris, dan interpretasi modern (Peter
Mahmud Marzuki, 2005:106-107).
Adapun metode interpretasi yang penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah :
a. Interpretasi berdasarkan kata undang-undang
Interpretasi ini beranjak dari makna kata-kata yang tertuang di dalam
undang-undang. Interpretasi ini akan dapat dilakukan apabila kata-
kata yang di gunakan dalam undang-undang itu singkat artinya tidak
bertele-tele, tajam, artinya akurat mengenai apa yang dimaksud dan
tidak mengandung sesuatu yang bersifat dubious atau makna ganda.
Hal itu sesuai dengan karakter undang-undang sebagai perintah atau
aturan ataupun larangan. (Peter Mahmud Marzuki, 2005:112)
b. Interpretasi sistematis
Menurut pendapat P.W.C. Akkerman, interpretasi sistematis adalah
interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara aturan dalam
suatu undang-undang yang saling bergantung. Di samping itu juga
harus dilihat bahwa hubungan itu tidak bersifat teknis, melainkan juga
harus dilihat asas yang melandasinya. Landasan pemikiran
interpretasi sistematis adalah undang-undang merupakan suatu
kesatuan dan tidak satu pun ketentuan di dalam undang-undang
merupakan aturan yang berdiri sendiri (Peter Mahmud Marzuki,
2005:111-112).


F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan dalam penelitian hukum ini terdiri dari empat
(4) bab yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup. Selain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



itu ditambah dengan daftar pustaka dan lampiran. Adapun sistematika yang
terperinci adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis mengemukakan mengenai latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis memaparkan sejumlah landasan teori
dari para pakar dan doktrin hukum berdasarkan literatur-
literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian
yang diangkat. Tinjauan pustaka dibagi menjadi dua (2)
yaitu :
1. Kerangka teori, yang berisikan tinjauan mengenai
malpraktek medis dan tinjauan mengenai sistem hukum
Indonesia.
2. Kerangka pemikiran, yang berisikan gambaran alur
berpikir dari penulis berupa konsep yang akan
dijabarkan dalam penelitian ini.

BAB III : PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis hendak menguraikan pembahasan dan
hasil perolehan dari penelitian yang dilakukan. Berpijak
dari rumusan masalah yang ada, maka dalam bab ini
penulis akan membahas dua (2) pokok permasalahan yaitu
pengaturan malpraktek medis dalam sistem hukum
Indonesia serta ketentuan yuridis terhadap terjadinya
malpraktek medis sesuai sitem hukum Indonesia.

BAB IV : PENUTUP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari hasil
penelitian serta memberikan saran yang yang relevan
dengan penelitian terhadap pihak-pihak yang terkait dengan
penelitian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA





















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user




1. Tinjauan Tentang Malpraktek
a. Pengertian Malpraktek
Ada berbagai istilah yang sering digunakan di Indonesia antara
lain, malpraktek, malapraktek, malapraktik, malpraktik dan sebagainya.
Akan tetapi, istilah yang benar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Departemen Pendidikan Nasional yang diterbitkan Balai Pustaka adalah
malapraktik, sedangkan menurut kamus kedokteran adalah
malapraktek (Y.A Triana Ohoiwutun, 2007:47). Secara harfiah istilah
malpraktik artinya praktek yang buruk (bad practice), praktek yang
jelek.
Malapraktek adalah praktik kedokteran yang dilakukan salah, tak
tepat, menyalahi Undang-Undang, kode etik (Kamus Kedokteran
Indonesia, 2008, 500). Malpraktek adalah pengobatan suatu penyakit atau
perlukaan yang salah kerena ketidaktahuan, kesembronoan atau
kesengajaan kriminal. (Agus Irianto, 2006:16)
Istilah malapraktek di dalam hukum kedokteran mengandung arti
praktek dokter yang buruk. (Danny Wiradharma, 1996:87)
b. Unsur-Unsur Malpraktek
Dikemukakan adanya "Three elements of liability" antara lain:
1) Adanya kelalaian yang dapat dipermasalahkan ("culpability");
2) Adanya kerugian ("damages"); dan
3) Adanya hubungan kausal ("causal relationship"). (Van der Mijn,
dalam Y.A Triana Ohoiwutun, 2007:64)
Perlu diketahui bahwa unsur-unsur tersebut berlaku kumulatif,
artinya harus terpenuhi seluruhnya. Dokter dikatakan melakukan
malpraktek jika:
1) Dokter kurang menguasai IPTEK kedokteran yang umum berlaku di
kalangan profesi kedokteran;
2) Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



3) Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan yang
tidak hati-hati; dan
4) Melakukan tindak medis yang bertentangan dengan hukum. (M. J usuf
Hanafiah, 1998:88)
Suatu tindakan medis tidak bertentangan dengan hukum apabila
dipenuhi ketiga syarat berikut:
1) Mempunyai indikasi medis ke arah suatu tujuan perawatan yang
kongkrit;
2) Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran;
dan
3) Telah mendapat persetujuan pasien. (Danny Wiradharma, 1996:87-88)
J ika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan
etik kedokteran, maka penggugat harus membuktikan 4 (empat) unsur
sebagai berikut.
1) Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien;
2) Dokter telah melanggar standar pelayanan medis yang lazim
dipergunakan;
3) Pengugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti
ruginya; dan
4) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan di bawah
standar. (M.J usuf Hanafiah, 1999:89)
Dalam bidang kedokteran suatu kesalahan kecil dapat
menimbulkan akibat berupa kerugian besar. Pada umumnya masyarakat
tidak dapat membedakan mana yang merupakan kasus pelanggaran etik
dan mana yang dikategorikan melanggar hukum. Tidak semua
pelanggaran etik merupakan malpraktek, sedangkan malpraktek sudah
pasti merupakan pelanggaran etik profesi medis.
Muncul konsep 4D bertujuan untuk menjembatani adanya kerugian
akibat munculnya kejadian tidak diinginkan tersebut apakah benar-benar
sebagai kejadian tidak dinginkan yang termasuk malpraktek atau bukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Konsep 4D terdiri dari duty, derilection of duty, damage, dan direct
causation.
1) Duty artinya tugas atau kewajiban yang dimiliki oleh dokter. Artinya
dokter memiliki kewajiban-kewajiban yang muncul asli karena
kedokterannya dan juga dokter memiliki kewajiban akibat dari adanya
hubungan dokter dan pasien yaitu kontrak terapetik,
2) Derilection of duty artinya dokter menelantarkan tugas yang
dibebankan pada pundaknya. Kewajiban atau tugas tersebut tidak
dilaksanakan oleh dokter, padahal dokter harus menyerahkan
prestasinya kepada pasien,
3) Damage artinya kerusakan yang terjadi pada pasien. Kerusakan pada
pasien diartikan sebagai adanya kejadian tidak diinginkan. Kejadian
tidak diinginkan tersebut ada menimbulkan kecurigaan adanya
malapraktek, dan
4) Direct causation, artinya hubungan langsung antara Derilection of
duty dan Damage yaitu adanya penelantaran kewajiban yang
dilakukan oleh dokter secara langsung mengakibatkan adanya
kerusakan. (Hari Wujoso, 2008:20)
c. Aspek Hukum Malpraktek
Aspek hukum malpraktek terdiri dari 3 hal, yaitu sebagai berikut:
1) Penyimpangan dari Standar Profesi Medis;
2) Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan ataupun
kelalaian; dan
3) Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang
menimbulkan kerugian materiil atau non materiil maupun fisik atau
mental. (Danny Wiradharma, 1996: 92).

2. Tinjauan Tentang Medis
Pengertian Medis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
termasuk atau berhubungan dengan bidang kedokteran (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2005: 628)
Medis menurut arti kamus adalah merupakan salah satu cabang ilmu
kesehatan yang mengupayakan perawatan kesehatan beserta upaya-upayanya
untuk menyembuhkan penyakit. Dunia medis merupakan ilmu kedokteran
yang juga memiliki cabang-cabang spesialis di bidang organ tubuh manusia
tertentu atau penyakit tertentu (pusatmedis.com/pengertianmedis_70htm).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user




3. Tinjauan Tentang Malpraktek Medis
a. Pengertian Malpraktek Medis
Malpraktek medis menurut WMA (World Medical Association)
Tahun 1992 adalah kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan
dan perawatan yang menimbulkan cedera pada pasien atau adanya
kekurangan ketrampilan atau kelalaian dalam pengobatan dan perawatan
yang menimbulkan cedera pada pasien (Kayus Koyowuan Lewloba,
2008:183)
Malpraktek medis adalah kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran di lingkungan yang sama. (M. Yusuf Hanafiah, 1999:87).
Malpraktik kedokteran adalah dokter atau tenaga medis yang ada
di bawah perintahnya dengan sengaja atau kelalaian melakukan perbuatan
(aktif atau pasif) dalam praktik kedokteran pada pasiennya dalam segala
tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur, prinsip-
prinsip profesional kedokteran atau dengan melanggar hukum (tanpa
wewenang) karena tanpa informend consent atau di luar informed consent,
tanpa Surat Izin Praktik atau tanpa Surat Tanda Registrasi, tidak sesuai
dengan kebutuhan medis pasien dengan menimbulkan (casual verband)
kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, mental atau nyawa pasien sehingga
membentuk pertanggungjawaban dokter (Adami Chazawi, 2007:10)
b. Kategori Malpraktek Medis
Menurut Kasimin dalam blognya (www.bantuanhukum.info,
malpraktek tenaga keperawatan), kategori malpraktek medis secara hukum
dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni
Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1) Criminal malpractice, manakala perbuatan tersebut memenuhi
rumusan delik pidana yakni:
a) Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan
perbuatan tercela;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



b) Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan
(negligence).
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional)
misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia
jabatan (Pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (Pasal 263
KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis (Pasal 299) KUHP.
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien. Criminal
malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan
klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban
didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada
orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2) Civil malpractice, apabila tenaga kesehatan tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati (ingkar janji). Tindakan yang dapat dikategorikan civil
malpractice antara lain:
a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan;
b) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi terlambat melakukannya;
c) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi tidak sempurna; dan
d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual
atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan
principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah
sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung jawab atas kesalahan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan
tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3) Administrative malpractice, manakala tenaga perawatan tersebut telah
melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam
melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan
menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang
persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya
(Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga
perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan
yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum
administrasi.

4. Tinjauan Tentang Sistem
Sistem berasal dari bahasa Latin (systma) dan bahasa Yunani
(sustma) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang
dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau
energi. (http://www.google.co.id/search?q="pengertian+sistem)
Sedangkan pengertian sistem menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk suatu totalitas; susunan yang teratur dari padangan, teori, asas
dsb; metode. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999:998)
Pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan
benda yang memiliki hubungan di antara mereka.

5. Tinjauan Tentang Sistem Hukum Indonesia
a. Pengertian Sistem Hukum Indonesia
Dua cara yang selama ini digunakan untuk mengartikan istilah
sistem hukum. Pertama, yang mengartikan sistem hukum sebagai kesatuan
dari komponen atau unsur (sub-sistem) sebagai berikut: hukum materiil,
hukum formil, hukum perdata, hukum publik. Termasuk di dalam
pandangan ini adalah yang melihat sistem hukum sebagai kesatuan antar
berbagai peraturan perundang-undangan, atau kesatuan antar peraturan
perundang-undangan dengan asas-asas hukum. Kedua, yang mengartikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



sistem hukum sebagai kesatuan dari komponen: struktur hukum, substansi
hukum dan budaya hukum. (http: //id.wikipedia.org/wiki/Hukum
Indonesia)
Sistem hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum
Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang
dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu
Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia
Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar
masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau
Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan
dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang
diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi,

yang merupakan
penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya
yang ada di wilayah Nusantara.
b. Jenis-Jenis Sistem Hukum Indonesia
1) Hukum Perdata
Hukum perdata adalah serangkaian peraturan hukum yang
mengatur hubungan hukum anatara orang satu dengan yang lain,
dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan. (Kansil.
CST, dalam Amiek Sumindriyatmi, 2007:20)
2) Hukum Pidana
Menurut Kansil, hukum pidana adalah hukum yang
mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan
umum, dimana perbuatan tersebut diancam dengan hukuman yang
merupakan siksaan (Kansil CST, dalam Amiek Sumindriyatmi,
2007:84).
3) Hukum Tata Negara
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur tentang
bentuk dan susunan negara, serta alat-alat perlengkapan negara
beserta tugasnya masing-masing.
4) Hukum Administrasi Negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur
kegiatan administrasi negara. Yaitu mengatur tata pelaksanaan
pemerintah dalam menjalankan tugasnya.
5) Hukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur
bagaimana cara mempertahankan ditaatinya hukum perdata materiil
dengan perantara hakim. Ditinjau dari tugasnya hukum acara
perdata berfugsi untuk menyelesaikan perkara perdata, yaitu
perkara yang timbul apabila hukum perdata materiil dilanggar atau
tidak ditaati.
6) Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Pidana adalah peraturan yang mengatur
bagaimana cara mempertahankan berlakunya hukum pidana
materiel. Hukum acara pidana mengatur bagaimana prosedurnya
apabila ada suatu perbuatan pidana yang dilakukan.
7) Hukum Adat
Adanya suatu kenyataan bahwa setiap kesatuan masyarakat
tentu ada tingkah laku yang hidup dan terpelihara dalam
penyelengaraan kehidupan masyarakat. Sebagai tata cara yang
sudah terbiasa atau lazim dilakukan sedari dahulu dan selalu
dipakai berdasarkan kenyataan bahwa itu patut maka tingkah laku
atau tata cara tersebut dalam masyarakat akan di adatkan.
Dengan berbagai cara anggota masyarakat melaksanakan,
memperlakukan, mempertahankan aturan-aturan tingkah laku itu
dengan disertai akibat-akibat tertentu. Pengertian hukum adat
menurut R. Sopepomo adalah hukum yang tidak tertulis yang
meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak
berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa
peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. (Amiek
Sumindriyatmi, 2007: 56).
8) Hukum Islam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi
bagian dari agama Islam. Sebagai sistem hukum, hukum islam
mempunyai berbagai istilah kunci yaitu: hukum, syariah, fiqh.
Hukum Islam mengatur hubungan antara mahluk dengan
khaliknya, antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dan
hubungan antara manusia dengan benda-benda yang ada di alam
ini.
Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara
menyeluruh, karena belum adanya dukungan yang penuh dari
segenap lapisan masyarakat secara demokratis baik melalui pemilu
atau referendum maupun amandemen terhadap UUD 1945 secara
tegas dan konsisten. Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang
banyak menerapkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama,
sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu :
Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus
dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan peradilan umum.

c. Hierarki Sistem Hukum Indonesia
Hukum di Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai ketertiban
masyarakat. Untuk dapat mencapai tujuannya, tidak terlepas begitu saja
antara aturan hukum yang satu dengan aturan hukum yang lainnya, dimana
aturan-aturan hukum tersebut saling kait mengkait secara tertib teratur dan
merupakan tatanan. Aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Oleh sebab itu
aturan yang begitu banyak, saling terkait satu sama lain sehingga
merupakan tata hukum. Berdasar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



(1) mengatur tentang J enis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan,
adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945;
2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3) Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden; dan
5) Peraturan Daerah.
d. Fungsi Hukum
Memahami fungsi hukum, perlu dipahami dulu bidang pekerjaan
hukum. Sedikitnya ada 4 (empat) bidang pekerjaan yang dilakukan oleh
hukum:
1) Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat
dengan menunjukkan perbuatan apa saja yang dilarang dan yang
boleh dilakukan;
2) Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh
melakukan kekuasaan atau siapa berikut prosedurnya;
3) Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat; dan
4) Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara
mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat
manakala ada. (Satjipto Raharjo, 1984:45 dalam Agus Irianto,
2006:48)
Secara sosiologis terdapat dua fungsi utama hukum yaitu:
a) Social Control (kontrol sosial), merupakan fungsi hukum yang
mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan
dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum, termasuk
nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Lingkup kontrol sosial adalah
sebagai berikut,
(1) Perbuatan norma-norma hukum, baik yang memberikan
peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang
dengan orang;
(2) Penyelesaian sengketa di dalam masyarakat; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



(3) Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam
hal terjadi perubahan-perubahan sosial.
b) Social Engineering (rekayasa sosial), penggunaan hukum secara
sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat
sebagaimana diinginkan oleh pembuat hukum. Berbeda dengan
fungsi kontrol sosial yang lebih praktis, yaitu untuk kepentingan
waktu sekarang, maka fungsi rekayasa sosial dari hukum lebih
mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat di masa
mendatang sesuai dengan keinginan pembuat Undang-Undang.
Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada
akhirnya melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di
masyarakat. (Satjipto Rahardjo, 1984:119-120 dalam Agus Irianto,
2006:48-49).

6. Tinjauan Mengenai Efektivitas Peraturan Perundang-Undangan.
a. Teori Fuller
Fuller mengajukan satu pendapat untuk mengukur apakah kita pada
suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum. Ukuran
tersebut diletakkannya pada delapan asas yang dinamakan principles of
legality, yaitu (Satjipto Rahardjo, 2000: 51-52) :
1) Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang
dimaksud disini adalah, bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar
keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.
3) Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila
yang demikian itu ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk
menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan secara
berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk
berlaku bagi waktu yang akan datang.
4) Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa
dimengerti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain.
6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi
apa yang dapat dilakukan.
7) Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga
menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi.
8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaannya sehari-hari.
Fuller sendiri mengatakan, bahwa kedelapan asas yang
diajukannya itu sebetulnya lebih dari sekedar persyaratan bagi adanya
suatu sistem hukum, melainkan memberikan pengkualifikasian terhadap
sistem hukum yang mengandung suatu moralitas tertentu. Kegagalan
untuk menciptakan sistem yang demikian itu tidak hanya melahirkan
sistem hukum yang jelek, melainkan sesuatu yang tidak bisa disebut
sebagai sistem hukum sama sekali.
Prinsip kelima yang berbunyi Suatu sistem tidak boleh
mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain
paralel atau ekuivalen dengan sinkronisasi aturan. Sinkronisasi aturan
adalah mengkaji sampai sejauh mana suatu peraturan hukum positif
tertulis tersebut telah sinkron atau serasi dengan peraturan lainnya.
b. Teori J.B.J.M. Ten Berge
Ten Berge menyebutkan mengenai beberapa aspek yang harus
diperhatikan atau dipertimbangkan dalam rangka penegakan hukum, yaitu
sebagai berikut (Ridwan H.R., 2006:310).
a) Een regel moet zo weinig mogelijk ruimte laten voor
interpretatiegeschillen;
b) Uitzonderingsbepalingen moeten tot een worden beperkt;
c) Regels moeten zo veel mogelijk zijn gericht op zichtbare dan wel
objectief constateerbare feiten;
d) Regels moeten werkbaar zijn voor degenentot wie de regels zijn
gericht en voor de personen die met handhaving zijn belast.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Terjemahannya :
a) Suatu peraturan harus sedikit mungkin membiarkan ruang bagi
perbedaan interpretasi;
b) Ketentuan perkecualian harus dibatasi secara minimal;
c) Peraturan harus sebanyak mungkin diarahkan pada kenyataan yang
secara objektif dapat ditentukan;
d) Peraturan harus dapat dilaksanakan oleh mereka yang terkena
peraturan itu dan mereka yang dibebani dengan (tugas) penegakan
(hukum).
Teori yang dikemukakan J .B.J .M. Ten Berge pada huruf a tersebut
diatas paralel atau ekuivalen dengan prinsip keempat dari Prinsip-Prinsip
Legalitas (Principles Of Legality) teori Fuller yaitu, Peraturan-peraturan
harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. Keparalelan dari
teori tersebut terletak pada bagaimana suatu peraturan hukum dapat
menampilkan norma hukum sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat.
Berkaitan dengan hal di atas, Satjipto Rahardjo mengemukakan
bahwa suatu peraturan hukum merupakan pembadanan dari norma hukum.
Peraturan hukum menggunakan berbagai unsur atau kategori sarana untuk
menampilkan norma hukum sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat.
Unsur-unsur peraturan hukum tersebut meliputi; Pengertian Hukum atau
Konsep Hukum, Standar Hukum, dan Asas Hukum (Satjipto Rahardjo,
2000: 41)
Peraturan hukum menggunakan pengertian-pengertian atau konsep-
konsep untuk menyampaikan kehendaknya. Pengertian-pengertian tersebut
merupakan abstraksi dari barang-barang yang pada dasarnya bersifat
konkrit dan individual, ada yang diangkat dari pengertian sehari-hari dan
ada pula yang diciptakan secara khusus sebagai suatu pengertian teknik
(Satjipto Rahardjo, 2000: 42-43)
Pengertian hukum mempunyai isi dan batas-batas yang jelas serta
dirumuskan secara pasti. Dalam hal pengertian hukum memiliki kadar
kepastian yang relatif kurang, maka pengisiannya untuk menjadi pasti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



diserahkan kepada praktek penafsiran, terutama oleh pengadilan.
Pengertian hukum yang mempunyai kadar kepastian yang kurang itu
disebut sebagai Standar Hukum. Menurut Paton standar tersebut
merupakan suatu sarana bagi hukum untuk berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakatnya (Satjipto Rahardjo, 2000: 43-45)
Unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum adalah Asas
Hukum. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya
suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu
pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas hukum
bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami
tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya, karena hal
inilah yang memberi makna etis kepada peraturan-peraturan hukum serta
tata hukum (Satjipto Rahardjo, 2000: 45-47)
c. Teori Hans Kelsen (Prinsip Validitas)
Validitas hukum berarti bahwa norma hukum itu mengikat, bahwa
orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma hukum,
bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma hukum (Hans
Kelsen, 2007: 47). Norma hukum satuan tetap valid selama norma tersebut
merupakan bagian dari suatu tata hukum yang valid. J ika konstitusi yang
pertama ini valid, maka semua norma yang telah dibentuk menurut cara
yang konstitusional adalah valid juga.
Untuk menilai apakah peraturan perundang-undangan dapat
mendorong alih pengetahuan digunakan indikator validitas kewajiban
hukum dan sanksi. Konsep kewajiban merupakan suatu konsep khusus
dari lapangan moral yang menunjuk kepada norma moral dalam
hubungannya dengan individu terhadap siapa tindakan tertentu diharuskan
atau dilarang oleh norma tersebut, konsep ini pun tidak lain kecuali
sebagai pasangan dari konsep norma hukum (Hans Kelsen, 2007: 72).
Kewajiban hukum semata-mata merupakan norma hukum dalam
hubungannya dengan individu yang terhadap perbuatannya sanksi
dilekatkan di dalam norma hukum tersebut (Hans Kelsen, 2007: 73).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Sedangkan sanksi diberikan oleh tata hukum dengan maksud untuk
menimbulkan perbuatan tertentu yang dianggap dikehendaki oleh pembuat
undang-undang. Sanksi hukum memiliki karakter sebagai tindakan
memaksa (Hans Kelsen, 2007: 61)






















B. Kerangka Pemikiran




Pembangunan
Bidang
Pembangunan
Nasional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user























Gambar 1. Kerangka Berfikir
Keterangan:
Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran penulis dalam
mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan
jawaban atas permasalahan hukum yaitu tinjauan yuridis malpraktek medis dalam
sistem hukum di Indonesia.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat dijelaskan bahwa
pembangunan nasional adalah agenda wajib yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah guna mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera
sesuai amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Untuk
meraih cita-cita mulia bangsa tersebut, diperlukan upaya maksimal melalui
pembangunan nasional yang berkelanjutan yaitu pembangunan nasional yang
berkesinambungan secara merata dan menyeluruh di segala aspek kehidupan
masyarakat, berbangsa, dan bernegara, tak terkecuali di bidang kesehatan.
Pembangunan di bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup bagi setiap orang untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal.
Permasalahan
Hukum
Tinjauan Yuridis
Malpraktek Medis
Dalam Sistem Hukum
Indonesia
Teori Hukum
1. Principles of Legality ( Teori
Fuller)
2. Aspek-aspek penegakan hukum
(Teori J .B.J .M. Ten Berge)
3. Validitas (Teori Hans Kelsen)
Peraturan Perundang-undangan
1. KUHP
2. KUHPerdata
3. UU No. 23 Tahun 1992
4. UU No. 8 Tahun 1999
5. UU No. 29 Tahun 2004
6. UU No. 36 Tahun 2009
7. UU No. 44 Tahun 2009
8. Permen No.
585/Menkes/Per/IX/1989
9. Permen No
512/Menkes/Per/IV/2007
1. Bagaimana pengaturan malpraktek
medis dalam sistem hukum Indonesia
?
2. Bagaimana ketentuan yuridis
terhadapterjadinyamalpraktek medis
Kesimpulan :
Kepastian Hukum Pengaturan
Malpraktek Medis Dalam Sistem Hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Upaya untuk menciptakan kesehatan di tengah masyarakat tersebut
seringkali menciptakan gesekan antara tenaga medis/dokter dengan konsumen
kesehatan/pasien. Kemudian muncul hubungan hukum antara dokter dan pasien,
yang menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban bagi
dokter itulah dapat menimbulkan penderitaan bagi pasien, akibat kelalaian atau
kekurang hatian-hatian dokter dalam menjalankan profesinya. Yang dikenal
dengan istilah malpraktek medis. Dari sudut harfiah istilah malpraktek artinya
praktek yang buruk. Tindakan yang salah dari profesi medis disebut malpraktek
medis. Makin terdidiknya masyarakat dan semakin banyaknya buku pengetahuan
tentang kesehatan menjadikan masyarakat semakin kritis terhadap pelayanan
medis yang diterimanya.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara mengeluarkan beberapa
peraturan untuk mengatur perihal kesehatan, penyelenggaraan rumah sakit serta
praktik kedokteran dan termasuk di dalamnya hubungan antara dokter dan pasien
tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit serta para praktisi hukum seringkali
menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPdt) untuk menjerat para pelaku malpraktek medis
tersebut. Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan upaya hukum
bagi para korban untuk menuntut keadilan. Peraturan Menteri Nomor
585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, , Peraturan
Menteri Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan
Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang
Rekam Medis memberikan pengaturan teknis bagi pasien dan dokter bila timbuk
kerugian dalam pelayanan medis.
Namun undang-undang itu tidak sempurna. Tidak mungkin undang-
undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada
kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan tidak jelas. Meskipun tidak lengkap
atau tidak jelas undang-undang harus dilaksanakan (Sudikno Mertokusumo, 1999:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



147). Sehingga perlu adanya pengkajian peraturan perundang-undangan dengan
menggunakan teori hukum yaitu :
1. Principles of Legality (Teori Fuller);
2. Aspek-aspek penegakan hukum (Teori J .B.J .M Ten Berge);
3. Validitas (Teori Hans Kelsen).
Ketiga teori ini kemudian dijadikan landasan bagi penulis untuk
menganalisis ataupun meninjau secara yuridis normatif terhadap pengaturan
malpraktek medis dan ketentuan yuridis terhadap terjadinya malpraktek medis
sesuai sitem hukum Indonesia hingga nantinya akan muncul beberapa fakta
hukum yang mengarahkan penulis pada suatu kesimpulan yaitu bagaimanakah
kepastian hukum dalam menyelesaikan masalah hukum berupa malpraktek medis
sesuai dengan sistem hukum di Indonesia.


BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Malpraktek Medis Dalam Sistem Hukum Indonesia

Pelaksanaan praktik kedokteran banyak menghadapi kendala, salah
satunya dikenal dengan istilah malpraktek medis. Belum adanya hukum
normatif (Undang-Undang) yang mengatur malpraktek medis menyebabkan
malpraktek medis sulit dibuktikan yang tentunya menimbulkan kerugian bagi
korban. Hal tersebut juga merugikan pihak tenaga kesehatan, karena tidak
terdapat ketentuan yang jelas bagaimana kriteria perlakuan medis yang
dinyatakan sebagai malpraktek medis.
Pada prinsipnya, malpraktek medis dapat dicegah apabila pihak tenaga
kesehatan menaati aturan praktik kedokteran dengan baik. Menurut Patricia
M. Danzon,
Physicians and other medical providers are subject to a negligence
rule of liability. To prevail, a plaintiff must show that he or she sustained
damages that were caused by the failure of the physician to take due care,
defined as a customary practice of physicians in good standing with the
profession, or a significant minority of such physicians. In a simple model,
with perfect information and homogeneous physicians, a negligence rule of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



liability with an appropriately defined due care standard should induce
complete compliance: there should be no malpractice, no malpractice claims
and no demand for malpractice insurance (Patricia M. Daanzon, 1991:51-
69).
Terjemahan bebas oleh penulis sebagai berikut Dokter dan penyedia
pelayanan medis lainnya tunduk terhadap ketentuan hukum yang mengatur
pertanggungjawaban medis. Untuk dapat mengajukan gugatan, penggugat
harus mampu membuktikan terjadinya kelalaian yang disebabkan oleh
ketidakhati-hatian dokter, dalam melakukan perawatan yang tepat, pasti
sebagaimana praktik dokter yang sesuai standar profesi medis secara umum
atau dalam hubungannya dengan profesi dokter itu sendiri. Secara sederhana,
dengan adanya informasi yang lengkap dan seragam sebuah kelalaian
terhadap hukum dengan batas peraturan yang jelas dan standar yang tepat
akan menyebabkan pemenuhan hukum yang lengkap. Itu seharusnya bukan
menjadi malpraktek, tidak ada klaim malpraktek dan tidak ada tuntutan untuk
asuransi malpraktek.
Sistem hukum Indonesia sebagai kesatuan dari komponen atau unsur
(sub-sistem) terdiri dari: hukum materiil, hukum formil, hukum perdata,
hukum publik. Sistem hukum Indonesia terdiri dari: (http:
//id.wikipedia.org/wiki/Hukum Indonesia)
1. Hukum Perdata;
2. Hukum Pidana;
3. Hukum Tata Negara;
4. Hukum Administrasi Negara;
5. Hukum Acara Perdata;
6. Hukum Acara Pidana;
7. Hukum Adat; dan
8. Hukum Islam.
Hierarki sistem hukum Indonesia terdiri dari (Undang-Undang No 10
tahun 2004 Pasal 7 ayat (1):
1) Undang-Undang Dasar 1945;
2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



3) Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden; dan
5) Peraturan Daerah.
Aturan hukum untuk pengaturan malpraktek medis sudah dapat
dikatakan sebagai sistem hukum karena sudah memenuhi sebagian besar
ukuran yang ditetapkan oleh Fuller. Setelah peraturan hukum dinyatakan
sebagai sitem hukum kemudian dilihat penegakan hukumnya, apakah aturan
tersebut sudah dapat ditegakkan di masyarakat. Bedasarkan teori Ten Berge
dalam rangka penegakan hukum peraturan tersebut harus dapat
diimplementasikan langsung untuk kasus di masyarakat. Pengaturan
menngenai malpraktek medis memenuhi ketentuan penegakan hukum karena
aturan tersebut dapat diselesaikan untuk menyelesaikan kasus yang terjadi
dalam sengketa konsumen dan produsen contohnya: Undang-Undang No 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

1. Pengaturan Aspek Hukum Perdata Malpraktek Medis
Dua kemungkinan yang dapat dipakai untuk dijadikan sebagai
dasar yuridis gugatan malpraktek medis yaitu:
a. Gugatan berdasarkan adanya wanprestasi terhadap suatu kontrak;
b. Gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)
Apabila gugatan berdasarkan wanprestasi, diberlakukan ketentuan
Pasal 1329 KUHPerdata yang berbunyi:
Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau, untuk tidak berbuat
sesuatu, apakah si berhutang tidak memenuhi kewajibannya,
mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan pergantian
biaya, rugi dan bunga.
Hukum mensyaratkan setiap gugatan yang berdasarkan wanprestasi
adalah adanya perjanjian terapeutik yang dilanggar. Perjanjiannya
meliputi perjanjian tertulis maupun tidak tertulis. Menurut hukum yang
berlaku asal syarat-syarat sahnya perjanjian dipenuhi maka perjanjian
tersebut sudah berlaku dan mempunyai konsekuensi yuridis. Syarat
sahnya perjanjian tersebut, terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



jika memenuhi unsur-usur: kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan
berbuat, suatu hal tertentu, kausa yang diperbolehkan. (Salim H.S,
2003:33).
Gugatan yang didasari atas perbuatan melawan hukum diatur
dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi:
Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut
Salah satu unsur dari perbuatan melawan hukum adalah dokter
yang melakukan malpraktek medis haruslah benar-benar melanggar
hukum, artinya dokter melanggar hukum dengan kesengajaan atau kurang
hati-hati, misal; salah memberikan obat atau tidak memberikan informed
consent.
Tuntutan Perdata harus memenuhi 5 (lima) unsur yaitu:.
1. Adanya suatu kontrak antara penggugat dan tergugat;
2. Salah atau pelaksanaan buruk dari kewajiban oleh penggugat;
3. Kegagalan tergugat untuk mempergunakan standar yang lazim
dipakai;
4. Penggugat menderita kerugian karenanya; dan
5. Tindakan atau sikap tergugat menyebabkan timbulnya kerugian yang
diderita penggugat. (Achmad Biben, 1994: 31 dalam Agus Irianto,
2006:40)

2. Pengaturan Aspek Hukum Pidana Malpraktek Medis
Suatu perbuatan merupakan perbuatan pidana apabila memenuhi
unsur-unsur yang telah ditentukan secara limitatif dalam perundang-
undangan pidana. Dalam hukum pidana maka kesalahan dapat disebabkan
karena kesengajaan atau karena kelalaian (culpa).
Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran mengenai perbuatan yang dapat dipidana antara lain:
1. Melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki Surat Tanda Register
(Pasal 75 ayat (1));
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



2. Melakukan Praktek kedokteran tanpa memiliki Surat Ijin Praktek
(Pasal 76);
3. Menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan
adalah dokter atau dokter gigi (Pasal 77);
4. Menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi (Pasal 78);
5. Tidak memasang papan nama (Pasal 79 huruf a);
6. Tidak membuat rekam medis (Pasal 79 huruf b);
7. Tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan Pasal 51 (Pasl 79
huruf c), dan;
8. Korporasi atau perseorangan yang mempekerjakan dokter atau dokter
gigi tanpa tidak memiliki surat tanda registrasi dan ijin praktek (Pasal
80).
Ketentuan perbuatan yang dapat dipidana diatur juga dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan antara lain:
1. Melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak
memenuhi ketentuan (Pasal 80 ayat 1);
2. Melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan
transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah
(Pasal 80 ayat 3);
3. Tanpa keahlian dan kewengangan melakukan transplantasi organ dan
atau jaringan tubuh (pasal 81 ayat 1 huruf a);
4. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan implan alat kesehatan
(Pasal 81 ayat 1 huruf b);
5. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan bedah plastik dan
rekontruksi (pasal 81 huruf c);
6. Mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan
donor atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris dan keluarganya
(Pasal 82 ayat 2 huruf c);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



7. Tanpa keahlian atau kewenangan untuk melakukan pengobatan dan
perawatan (pasal 82 ayat 1 huruf a);
8. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan transfusi darah (Pasal 62
ayat 1 huruf b);
9. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan implan obat (Pasal 82
ayat 1 huruf c);
10. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan bedah mayat (Pasal 82
ayat 1 huruf e);
11. Melakukan upaya kehamilan di luar cara lain yang tidak sesuai
ketentuan (Pasal 82 ayat 2 huruf a);
12. Menyelenggarakan sarana kesehatan yang tidak memenuhi
persyaratan (Pasal 84 point 5).
Pengaturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang terkait malpraktek medis antara lain:
1. Menipu pasien (pasal 378);
2. Membuat surat keterangan palsu (Pasal 263, 267);
3. Abortus Provokatus Kriminalis (Pasal 299, 348, 349, 350);
4. Melakukan kealpaan (culpa) yang mengakibatkan kematian atau luka
(Pasal 359, 360, 361);
5. Melakukan pelanggaran kesopanan (Pasal 290 ayat (1), 294 ayat (2),
pasal 285 dan Pasal 286);
6. Membocorkan rahasia pasien dengan pengaduan pasien (Pasal 322);
7. Tidak memberikan pertolongan atau bantuan (Pasal 351);
8. Memberikan atau membuat obat palsu (Pasal 386);
9. Euthanasia (Pasal 344).

3. Pengaturan Aspek Hukum Administrasi Malpraktek Medis
Hukum Administrasi memandang seorang dokter melakukan
pelanggaran bila:
a. Melakukan praktek kedokteran tanpa ijin yang sah dan masih berlaku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



b. Melanggar wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak dapat
dikenakan.
Kelalaian/kealpaan dalam arti luas dalam melakukan tindakan
profesi medis antara lain: (Agus Irianto, 2006:41-43)
1. Keahlian tidak merujuk
Apabila dokter mengetahui seharusnya kondisi atau kasus pasien
itu berada di luar kemampuannya dan dengan merujuknya kepada
dokter spesialis akan dapat menolongnya maka ia wajib
melakukannya. Hal ini sesuai Kode Etik Kedokteran Indonesia dalam
Pasal 11 yang berbunyi:
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala
ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia
tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan maka ia
wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian
penyakit tersebut
Seorang dokter dianggap telah melakukan wanprestasi dimana lalai
merujuk kepada dokter spesialis apabila ia mengetahui bahwa kasus
tersebut diluar jangkauan kemampuannya, bahwa ilmu pengetahuan
yang dimilikinya tidak cukup untuk dapat memberikan pertolongan
kepada pasien dan seorang spesialis akan dapat melakukannya.
2. Lalai tidak konsultasi dengan dokter terlebih dahulu
Terkadang pasien sudah pernah mendapat pengobatan dari seorang
dokter atau beberapa dokter, maka dokter berikutnya dianjurkan untuk
mengadakan konsultasi kepada dokter-dokter terdahulu guna
mencegah salah penerapan pengobatan berikutnya.
3. Lalai Tidak Merujuk Pasien Ke Rumah Sakit dengan
Peralatan/Tenaga yang Terlatih
Seorang dokter bukan saja harus sadar akan ilmu pengetahuannya
secara pribadi dan keterbatasannya, tetapi juga akan peralatan yang
sesuai dalam mengobati pasien. Dalam praktik kedokteran
memerlukan instrumen khusus dan prosedur yang tidak dipunyainya.
Dalam keadaan ini dokter dituntut untuk merujuk ke rumah sakit yang
tersedia peralatan dan asisten terlatih.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



4. Tidak Mendeteksi adanya Infeksi
Kegagalan dokter untuk mendeteksi bahwa pasien menderita
semacam infeksi tidaklah berarti kelalaian. Apabila tidak ditemukan
infeksi tersebut disebabkan karena keadaan yang tidak memungkinkan
untuk melakukan pemeriksaan yang singkat, maka tanpa adanya
justifikasi yang dapat diterima dapat dipersalahkan karena kurang
ketelitian.
5. Lalai karena kurang pengalaman
Kurangnya pengalaman tidak dapat dipakai sebagai pemaaf
kelalaian, karena adanya standar profesi yang harus dilakukan dokter
dalam merawat/mengobati pasien.
Bentuk pelanggaran lain yang dapat dikategorikan sebagai
kesalahan dokter yaitu penelantaran, tindakan dokter dengan tanpa
memberikan kesempatan kepada pasien untuk mencari dokter lain
sehingga menyebabkan pasien menderita cedera atau meninggal
dunia.
Hal ini dapat dikenakan Pasal 304 KUHP, yang menyatakan:
Barang siapa yang dengan sengaja terhadap siapapun ia
berkewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurusnya
berdasarkan peraturan yang berlaku padanya atau berdasarkan
perjanjian, menyebabkan orang tersebut dalam keadaan tidak
berbahaya, dihukum penjara selama-lamanya dua tahu delapan bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-
Tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penelantaran antara
lain:
1. Penolakan dokter untuk mengobati sesudah ia memeriksa pasien;
2. Menolak untuk memegang suatu kasus dan ia sudah menerima
tanggungjawab;
3. Tidak memberikan perhatian;
4. Tidak menyediakan dokter pengganti pada waktu dokter tidak ada
atau tidak dapat dihubungi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



4. Aspek Hukum Pengaturan Malpraktek Medis Berdasar Sistem
Hierarki Hukum Indonesia
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Pasal-pasal dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang
berkaitan dengan malpraktek medis baik dari segi perdata, pidana
maupun administratif antara lain:
Pasal 32
(1) Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu.
Pasal 34
(2) Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
Pasal 35
(1) Transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pasal 36
(1) Implan obat atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan
tertentu.
Pasal 37
(1) Bedah plastik dan rekontruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai kewenangan untuk itu dan dilakukan
di sarana kesehatan tertentu.
Pasal 53
(2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
Pasal 54
(1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau
kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan
tindakan disiplin.
Pasal 55
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian
yang dilakukan tenaga kesehatan
Pasal 70
(2) Bedah mayat dapat dilakukan oleh tenaga yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu dengan memperhatikan norma
yang berlaku dalam masyarakat.
Pasal 80
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu
terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 81
(1) Barang siapa tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
a. Melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh
sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (1);
b. Melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 36 ayat (1);
c. Melakukan bedah plastik dan rekontruksi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 37 ayat (1);
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 140.000.000 (seratus empat puluh juta
rupiah)
Pasal 82
(1) Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
a. Melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4);
b. Melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (1);
c. Melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1);
d. Melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (1);
e. Melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
ayat (2);
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Pasal yang memuat norma pidana yakni, pasal 80, 81, 82. Tetapi
pengaturan tersebut sudah tidak belaku lagi karena, lahirnya Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
b. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran
Beberapa pasal dalam Undang-Undang No 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran yang berkaitan dengan malpraktek medis,
baik dari aspek hukum perdata, pidana dan administrasi antara lain:
Pasal 29
(1) Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran
di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat
tanda registrasi dokter gigi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Pasal 30
(1) Dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang akan
melaksanakan praktik kedokteran di Indonesia harus dilakukan
evaluasi.
(3) Dokter dan dokter gigi warga negara asing selain memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus
melengkapi surat izin kerja sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kemampuan berbahasa Indonesia.
Pasal 31
(1) Surat tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada dokter
dan dokter gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan
dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan
kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat
sementara di Indonesia.
Pasal 32
(1) Surat tanda registrasi bersyarat diberikan kepada peserta program
pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis atau dokter
gigi spesialis warga negara asing yang mengikuti pendidikan dan
pelatihan di Indonesia.
Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki surat izin praktik
Pasal 41
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik
dan menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik
kedokteran.
Pasal 42
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter
atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk
melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan
tersebut
Pasal 44
(1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik
kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau
kedokteran gigi.
Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung
risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran wajib membuat rekam medis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Pasal 47
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi
dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 48
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran wajib menyimpan rahasia kedoketran
Pasal 52
Pasien dalam menrima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis;
e. Mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53
Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai kewajiban:
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau doker gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan;
dan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Pasal 66
(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas
tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(3) Pengaduan sebagaimana dmaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk melapor adanya dugaan
tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat
kerugian perdata ke pengadilan.
Pasal 73
(2) Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau
bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-
olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.
(3) Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan
kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter
gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin
praktik
Pasal 75 merumuskan:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah)
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan
sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda
registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah)
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan
sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda
registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Pasal 76:
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Pasal 77:
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar
atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyrakat seolah-olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki
surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi
dan/surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 78:
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode, atau
cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau
dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi atau surat tanda
registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000 (seratus lima
puluh juta rupiah).
Pasal 79:
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) setiap
dokter atau dokter gigi yang:
a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Pasal 80:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau
dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling
banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh koorporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah
pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.
Pasal-pasal diatas bila dilanggar oleh tenaga kesehatan memiliki
potensi timbulnya malpraktek medis. Tindak pidana bidang kesehatan
dirumuskan dalam Pasal 75-80. Berikut rumusan pasalnya:
1. Tindak pidana praktik kedokteran tanpa Surat Tanda Registrasi (STR),
Pasal 75;
2. Tindak pidana praktik kedokteran tanpa Surat Izin Praktik (SIP), Pasal
76;
3. Tindak pidana menggunakan identitas gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan dokter yang memiliki STR dan SIP, Pasal 77;
4. Tindak pidana menggunakan alat, metode pelayanan kesehatan yang
menimbulkan kesan dokter yang memiliki STR dan SIP, Pasal 78;
5. Tindak pidana dokter praktik yang tidak memasang papan nama, tidak
membuat rekam medis, dan tidak berdasarkan standar profesi, Pasal
79;
6. Tindak pidana mempekerjakan dokter tanpa SIP, Pasal 80; (Adami
Chazawi, 2007:149)
Tindak pidana berdasar pasal 75, 76, 79, dan 80 termasuk
pelanggaran hukum administrasi kedokteran yang diberi ancaman pidana.
1. Tindak Pidana Praktik Dokter Tanpa STR (Surat Tanda
Registrasi)
Tindak pidana Pasal 75 bersumber dari pelanggaran kewajiban
hukum administrasi kedokteran. Tidak memiliki STR dari sudut
hukum administrasi sama saja tidak memiliki wewenang untuk untuk
menyelenggarakan praktik kedokteran. Perbuatan demikian diancam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



dengan sanksi pidana. Bila praktik kedokteran tanpa STR
menimbulkan penderitaan bagi pasien maka telah terjadi malpraktek
medis meskipun sudah mendapat informed consent dan tidak
melanggar standar profesi.
2. Tindak Pidana Praktik Kedokteran Tanpa SIP (Surat Izin
Praktik)
Perbuatan yang dilarang berupa melakukan praktik kedokteran,
tanpa memiliki SIP. Pasal 36 mewajibkan setiap dokter untuk terlebih
dahulu memiliki SIP sebelum melakukan praktik kedokteran di
Indonesia. Kewajiban dokter ini semula adalah kewajiban hukum
administrasi yang diangkat menjadi kewajiban hukum pidana karena
pelanggaran terhadap kewajiban itu diancam.
3. Tindak Pidana Menggunakan Identitas-Seperti Gelar yang
Menimbulkan Kesan Dokter yang Memiliki STR dan SIP
Perbuatan yang dilarang adalah menggunakan gelar atau bentuk
lain seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter Unsur perbuatan
menggunakan gelar, berupa gelar yang digunakan harus berupa gelar
yang ada hubungannya dengan ilmu kedokteran, dan si pembuat
sesungguhnya tidak memiliki gelar tersebut.
Tujuan dibentuknya Pasal 77 yakni, sebagai upaya preventif
agar tidak terjadi penyalahgunaan cara-cara praktik kedokteran oleh
orang-orang yang bukan ahli kedokteran, melindungi kepentingan
hukum orang agar tidak menjadi korban dari perbuatan-perbuatan yang
meniru praktik kedokteran oleh orang yang tidak berwenang,
melindungi martabat dan kehormatan profesi kedokteran oleh orang-
orang yang melakukan praktik kedokteran yang tidak berwenang.
4. Tindak Pidana Menggunakan Alat, Metode Pelayanan Kesehatan
yang Menimbulkan Kesan Dokter yang Memiliki STR dan SIP
Pasal 78 adalah larangan menjadi tindak pidana karena diberi
ancaman pidana. Tujuan dibentuknya Pasal 78 untuk menghindari agar
penggunaan alat atau cara atau metode praktik kedokteran tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



dilakukan oleh orang-orang yang tidak berwenang, melindungi
kepentingan hukum masyarakat khususnya pasien agar tidak menjadi
korban perbuatan yang bersifat menipu oleh orang yang bukan ahli
kedokteran.
5. Tindak Pidana Dokter Praktik yang Tidak Memasang Papan
Nama, Tidak Membuat Rekam Medis, dan Tidak Berdasarkan
Standar Profesi
Tindak pidana dalam Pasal 79 ada tujuh macam, (Adami Chazawi,
2007:165):
1. Dokter berpraktik yang tidak memasang papan nama;
2. Dokter berpraktik tidak membuat rekam medis;
3. Dokter memberikan pelayanan medis yang tidak sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan
medis pasien;
4. Dokter tidak mampu memberikan pelayanan medis tidak merujuk
ke dokter lain yang lebih ahli dan lebih mampu;
5. Dokter yang membuka rahasia dokter tentang pasiennya;
6. Dokter tidak menjalankan pertolongan darurat; dan
7. Dokter tidak menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran.
Tindak pidana yang bersumber pada Pasal 79 berasal dari
kewajiban administrasi bila dilanggar menjadi tindak pidana dengan
diberi ancaman pidana. Pelanggaran kewajiban hukum administrasi
yang dapat menjadi syarat timbulnya malpraktek medis ialah:
a. Praktik kedokteran yang tidak sesuai dengan standar profesi
kedokteran, tidak sesuai dengan standar prosedur operasional dan
tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien;
b. Dokter tidak mampu melaksanakan praktik kedokteran tidak
merujuk pada dokter ahli lain yang lebih mampu;
c. Dokter tidak melaksanakan pertolongan darurat pada saat-saat ia
wajib melaksanakannya. (Adami Chazawi, 2007:166)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



6. Tindak Pidana Mempekerjakan Dokter Tanpa SIP (Surat Izin
Praktik)
Unsur kesalahan dalam tindak pidana ini adalah dengan sengaja.
Pembuat menghendaki perbuatan mempekerjakan dokter pada
pelayanan kesehatan.
J ika penyebab timbulnya malpraktek medis, misalnya doker
menunjukkan SIP yang palsu, maka pimpinan sarana kesehatan tersesat
hukum dan ia dapat dipidana. (Adami Chazawi, 2007:168)



c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Dalam Undang-Undang Kesehatan mencakup beberapa pasal yang
mengandung kesalahan dokter baik dari sudut perdata, pidana maupun
administrasi. Antara lain,
Pasal 23
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan
wajib memiliki izin dari pemerintah.
Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna
pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional.
Pasal 29
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui mediasi
Pasal 34
(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan
tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan
pekerjaan profesi.
Pasal 57
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang
telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
Pasal 58
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang diterimanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Pasal 63
(4) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pasal 65
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dilakukan difasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Pasal 68
(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh
manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu.
Pasal 69
(1) Bedah plastik dan rekontruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung hari pertama
haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan
yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. Denga izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan
oleh menteri.
Pasal 108
(1) Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Pasal 121
(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan
oleh dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.
Pasal 124
Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai
norma agama, norma kesusilaan dan etika profesi
Pasal 190
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang
melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan
yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap
pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000
(dua ratus jurta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta
rupiah)
Pasal 201
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat
(1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199
dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan
denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal
191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199 dan Pasal
200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi
dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. Pencabutan izin usaha; dan/atau
b. Pencabutan status badan hukum.
Norma pidana terletak dalam Pasal 190, 198 dan 201. Bila pasal-
pasal dalam UU kesehatan tersebut dilanggar membuka jalan bagi
timbulnya malpraktek medis, baik secara perdata, pidana maupun
administrasi.
d. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Dalam Undang-Undang tentang Rumah Sakit terdapat beberapa pasal
yang mengandung kesalahan dokter baik dari sudut perdata, pidana maupun
administrasi:
Pasal 13
(1) Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib
memiliki Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki
izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja
sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak
pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
Pasal 14
(1) Pendayagunaan tenaga kesehatan asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dilakukan bagi tenaga kesehatan asing yang telah memiliki
Surat Tanda Registrasi dan Surat Ijin Praktik.
Pasal 25
(1) Setiap penyelenggara Rumah Sakit wajib memiliki izin
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari izin mendirikan dan
izin operasional.
Pasal 29
(1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban:
a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit
kepada masyarakat;
b. Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti
diskriminatif, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien
sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;
c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan
kemampuan pelayanannya;
d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana,
sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
e. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu
atau miskin;
f. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas
pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa
uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian
luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
g. Membuat, melaksanakan dan menjaga standar mutu pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;
h. Menyelenggarakan rekam medis;
i. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain
sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita
menyusui, anak-anak, lanjut usia;
j. Melaksanakan sistem rujukan;
k. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi
dan etika serta peraturan perundang-undangan;
l. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan
kewajiban pasien;
m. Menghormati dan melindungi hak pasien;
n. Melaksanakan etika Rumah Sakit;
o. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan
bencana;
p. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara
regional maupun nasional;
q. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran
atau kedoketeran gigi dan tenaga kesehatan lainnya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



r. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit;
s. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas
Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan
t. Memberlakukan seluruh lingkungan Rumah Sakit sebagai kawasan
tanpa rokok.
Pasal 32
Setiap pasien mempunyai hak:
a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit;
b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi;
d. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi;
f. Mengajukan pengaduan dan kualitas pelayanan yang didapatkan;
g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter
lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun
di luar Rumah Sakit;
i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diterima
termasuk data-data medisnya;
j. Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan
yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
k. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
m. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit;
o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit
terhadap dirinya;
p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai agama dan
kepercayaan yang dianutnya;
q. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit
diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana; dan
r. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik seuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



(1) Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai
kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.
Pasal 37
(1) Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus
mendapat persetujuan pasien atau keluarganya.
Pasal 38
(1) Setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran
(2) Rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan
permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-
undangan
Pasal 46
Rumah Sakit wajib bertanggung jawab secara hukum terhadap semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan di Rumah Sakit
Pasal 62
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak
memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah)
Pasal 63
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa
pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa
pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.
Ketentuan pidana terletak pada Pasal 62 dan Pasal 63. Bila pasal-
pasal dalam UU Rumah Sakit dilanggar maka membuka jalan bagi
timbulnya malpraktek medis, baik secara perdata, pidana maupun
administrasi.

5. Pengaturan Malpraktek Medis di Luar Hierarki Sistem Hukum
Indonesia
a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
Pasal-Pasal yang berkaitan dengan malpraktek medis antara lain:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Pasal 2
(2) Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
Pasal 3
(1) Setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan
persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
Pasal 4
(1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik
diminta maupun tidak diminta.
(2) Dokter harus memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya, kecuali
bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan
kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak memberikan
informasi. Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dokter
dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada
keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat/paramedik
lainnya sebagai saksi.
Pasal 6
(1) Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya,
informasi harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu
sendiri.
Pasal 11
Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh
keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat
yang memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak
diperlukan persetujuan dari siapa pun
Pasal 12
(1) Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang
persetujuan tindakan medik.
(2) Pemberian persetujuan tindakan medik yang dilaksanakan di rumah
sakit/klinik, maka rumah sakit/klinik yang bersangkutan ikut
bertanggung jawab.
Pasal 13
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya
persetujuan dari pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan surat izin praktiknya.
Bila pasal-pasal tersebut dilanggar maka membuka jalan bagi
timbulnya malpraktek medis, baik secara perdata, pidana maupun
administrasi.
b. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan
Praktik Kedokteran
Pasal-pasal yang berkaitan dengan malpraktek medis:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Pasal 2
(2) Setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran
wajib memiliki SIP.
Pasal 14
(1) Praktik kedokteran dilaksanakan berdasarkan pada kesepakatan
berdasarkan hubungan kepercayaan antara dokter atau dokter gigi dengan
pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pasal 16
(1) Pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter dan
dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan
kesehatan yang bersangkutan.
Pasal 17
(1) Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki surat izin praktik dan
menyelenggarakan praktik perorangan wajib memasang papan nama
praktik kedokteran.
Pasal 18:
(1) Dokter dan dokter gigi yang berhalangan melaksanakan praktik atau telah
menunjuk dokter pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(3) wajib membuat pemberitahuan.
Pasal 19:
(1) Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran harus
sesuai dengan kewenangan dan kompetensi yang dimiliki serta
kewenangan lainnya yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Dokter dan dokter gigi, dalam rangka memberikan pertolongan pada
keadaan gawat darurat guna penyelamatan jiwa atau pencegahan
kecacatan, dapat melakukan tindakan kedokteran dan kedokteran gigi
diluar kewenangannya sesuai dengan kebutuhan medis.
Bila pasal-pasal tersebut dilanggar maka membuka jalan bagi
timbulnya malpraktek medis, baik secara perdata, pidana maupun
administrasi.
c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis
Pasal-pasal yang berkaitan tentang malpraktek medis:
Pasal 5
(3) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran
wajb membuat rekam medis.
Pasal 6
Dokter, dokter gigi dan/atau tenaga kesehatan tertentu bertanggungjawab
atas catatan dan/atau dokumen yang dibuat pada rekam medis
Pasal 7
Sarana pelayanan kesehatan wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan
dalam rangka penyelenggaraan rekam medis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Pasal 10
(1) Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat
pemeriksaan dan riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya
oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola dan
pimpinan sarana pelayanan kesehatan
Pasal 14
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan bertanggungjawab atas hilang,
rusak, pemalsuan, dan/atau penggunaan oleh orang atau badan yang tidak
berhak terhadap rekam medis
Bila pasal-pasal tersebut dilanggar maka membuka jalan bagi
timbulnya malpraktek medis, baik secara perdata, pidana maupun
administrasi.

6. Upaya Hukum Bagi Pasien Terhadap Malpraktek
Bila terjadi penyimpangan dalam ketentuan pelayanan kesehatan,
pasien dapat menuntut haknya yang dilanggar oleh pihak penyedia jasa
kesehatan dalam hal ini rumah sakit dan dokter/tenaga kesehatan.
Dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan tanggung
jawab hukum, apabila melakukan kelalaian atau kesalahan yang
menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen. Pasien dapat
menggugat tanggung jawab hukum kedokteran (medical liability), dalam
hal dokter tersebut berbuat kesalahan/kelalaian. Dokter tidak dapat
berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab
kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien
menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi.
a. Upaya Hukum Penyelesaian Sengketa Pasien Sebagai Konsumen
Jasa Pelayanan Medis Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
memberikan perlindungan hukum, baik kepada pasien sebagai
konsumen dan produsen jasa pelayanan kesehatan diantaranya Pasal
53, 54, dan 55 UU No 23 Tahun 1992. J ika terjadi sengketa dalam
pelayanan kesehatan, untuk menyelesaikan perselisihan harus mengacu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



pada UU No 23 Tahun 1992 dan UUPK serta prosesnya melalui
lembaga perdilan, mediasi.
Dalam hal terjadi sengketa antara produsen jasa pelayanan
kesehatan dengan konsumen jasa pelayanan, tersedia 2 jalur, yaitu
jalur litigasi dan jalur non litigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui
peradilan. Proses penyelesaian dari peselisihan atau kelalaian
kesehatan dapat dilakukan di luar pengadilan dan di pengadilan
berdasarkan kesepakatan para pihak yang berselisih. Penyelesaian
yang paling sering dilakukan adalah melalui mediasi di luar pengadilan
dengan sistem Alternative Dispute Resolution (ADR).
Profesi kedokteran banyak berkaitan dengan problema etik
yang berpotensi menimbulkan sengketa medik, karena itu dibutuhkan
suatu wadah/lembaga yang khusus dapat menjadi penyaring untuk
menyelesaikan sengketa antara pemberi jasa kesehatan (rumah sakit,
dokter dan tenaga kesehatan) dan penerima jasa kesehatan (pasien).
Salah satu lembaga yang bisa menyelesaikan sengketa adalah
Ombudsman yang melibatkan orang luar, agar peradilan sengketa
antara tenaga kesehatan dan rumah sakit dengan pasien dapat
diberlakukan secara adil.
Hal yang harus diperhatikan dalam penyelesaian sengketa
model Ombudsman, yaitu:
1) Ombudsman tidak akan mempertimbangkan suatu pengaduan, jika
proses hukum tengah ditempuh;
2) Peran utama Ombudsman sesuai yuridiksinya yaitu mengupayakan
perbaikan pelayanan kepada pihak yang diadukan/pelaku usaha;
dan
3) Keputusan Ombudsman terbatas pada rekomendasi yang berupa
langkah-langkah tertentu yang perlu diambil untuk memperbaiki
perilaku pelaku usaha. (Titik Triwulan Tutik, 2010:64-65)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



b. Upaya Hukum Penyelesaian Sengketa Pasien sebagai Konsumen
Jasa Pelayanan Medis Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan
pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi
hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata usaha negara.
Menurut UUPK, penyelesaian sengketa konsumen memiliki
kekhasan. Para pihak yang bersengketa, pihak konsumen dapat
menyelesaikan sengketa itu mengikuti beberapa lingkungan peradilan
ataupun memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan, yaitu
penyelesaian sengketa melalui peran komisi ombudsman.

1) Penyelesaian Sengketa di Peradilan Umum
Pasal 45 ayat (1) UUPK, menyatakan;
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku
usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha yang berugas menyelesaikan
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha melalui lembaga
peradilan yang berbeda di lingkungan peradilan umum.
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela
para pihak yang bersengketa.
Pilihan untuk berperkara di pengadilan atau di luar
pengadilan adalah pilihan sukarela para pihak. Penjelasan Pasal 45
UUPK menyebut adanya kemungkinan perdamaian di antara para
pihak sebelum mereka berperkara di pengadilan atau di luar
pengadilan. Kata sukarela diartikan sebagai pilihan para pihak baik
sendiri maupun bersama-sama untuk menempuh jalur penyelesaian
di dalam maupun di luar pengadilan, karena upaya perdamaian
gagal atau sejak semula mereka tidak mau menempuh alternatif
perdamaian.
Pasal 45 ayat (3) UUPK Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana
sebagaimana diatur dalam undang-undang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Bukan hanya tanggung jawab pidana yang tetap di buka
kesempatannya untuk diperkarakan melainkan juga tanggung
jawab di bidang lainnya seperti administrasi negara. Konsumen
yang dirugikan haknya, tidak hanya diwakili oleh jaksa dalam
penuntutan di peradilan umum untuk kasus pidana, tetapi ia sendiri
dapat menggugat pihak lain di lingkunagan peradilan tata usaha
negara jika terdapat sengketa administratif di dalamnya.
Dalam kasus perdata di lingkungan pengadilan negeri,
konsumen diberi hak mengajukan gugatan, menurut Pasal 46
UUPK:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang
sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat;
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang/jasa yang
dikonsumsi mengakibatkan kerugian materi yang besar atau
korban yang tidak sedikit.
Seorang konsumen atau ahli warisnya dapat melayangkan
gugatannya kepada Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia
(MKEKI), pengadilan dan terhadap pihak terkait karena merasa
dirugikan dan diperlakukan tidak manusiawi. Maka dapat
menggugat ganti rugi kepada dokter/tenaga kesehatan dan rumah
sakit karena telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan
menimbulkan kerugian di akibatkan oleh kelalaian atau kesalahan
dalam melakukan tindakan medik.
Gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang
mempunyai kepentingan yang sama. Pasal 46 ayat (1) b UUPK
berbunyi:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau
class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan
oleh konsumen yang benar-benar dirugikan atau dapat dibuktikan
secara hukum. Salah satu diantaranya adalah adanya bukti
transaksi.
Klasifikasi ke tiga adalah lembaga swadaya masyarakat,
dipakai istilah perlindungan konsumen swadaya masyarakat dan
berkaitan dengan legal standing. Keberadaan LSM ini menurut
Pasal 1 angka (9) dan Pasal 44 ayat (1) UUPK harus terdaftar dan
diakui oleh Pemerintah.
Terkait dengan gugatan oleh pemerintah, mereka baru akan
menggugat pelaku usaha jika ada kerugian materi yang besar atau
korban yang tidak sedikit. (Titik Triwulan Tutik, 2010:68)
2) Penyelesaian Sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 46 ayat (2) menyatakan:
Gugatan yang dilakukan oleh sekelompok konsumen,
LPKSM, dan pemerintah harus diajukan ke pengadilan umum,
sementara untuk gugatan yang diajukan konsumen atau ahli
warisnya secara individual tidak ditetapkan lingkungan
peradilannya
Pasal 46 Ayat (2) UUPK terkesan membolehkan gugatan
konsumen diajukan ke lingkungan peradilan umum. Hal ini
menghalangi konsumen yang perkaranya menyentuh kompetensi
pengadilan tata usaha negara.
Bila konsumen diartikan secara luas, yakni mencakup
penerima jasa layanan publik tentu Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) patut melayani gugatan tersebut. Dengan syarat sengketa
tersebut berawal dari penetapan tertulis, bersifat kongkret, dan
final.
3) Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Untuk mengatasi kerumitan proses peradilan, UUPK
memberi jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian di luar
pengadilan. Pasal 45 ayat (4) UUPK menyebutkan;
J ika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau
oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian di pengadilan tetap di buka setelah para pihak
gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan.
Penafsiran yang lebih dalam dari ketentuan pasal tersebut bahwa;
(1) penyelesaian di luar pengadilan merupakan upaya perdamaian
di antara para pihak yang bersengketa; dan (2) penyelesaian di luar
pengadilan dapat dilakukan melalui suatu badan independen seperti
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). J ika
penyelesaian melalui BPSK maka salah satu pihak tidak dapat
menghentikan perkaranya di tengah jalan sebelum BPSK
menjatuhkan putusan. Artinya mereka terikat untuk menempuh
proses pemeriksaan sampai saat penjatuhan putusan.
c. Upaya Hukum Penyelesaian Sengketa Pasien Sebagai Konsumen
Jasa Pelayanan Medis Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
memberikan perlindungan hukum, baik kepada pasien sebagai
konsumen dan dokter. Yang tercantum dalam Pasal 27 dan Pasal 29.
J ika terjadi sengketa antara pasien selaku konsumen dan dokter selaku
penyedia jasa kesehatan, menggunakan dasar hukum tersebut.
Pasal 27 merumuskan Tenaga kesehatan berhak mendapatkan
imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya
Pasal 29 merumuskan Dalam hal tenaga kesehatan diduga
melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalian tersebut
harus diselesaikan dahulu melalui mediasi
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
memberikan perlindungan kepada dokter untuk bekerja sesuai standar
profesinya, sehingga bila ada pasien yang menuntut dokter karena
malpraktek medis hal tersebut perlu diperiksa lebih lanjut, apakah
dokter telah melaksanakan pekerjaan sesuai standar profesinya atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



tidak. Bila terbukti dokter bekerja sesuai dengan profesinya, maka
tidak dapat dipersalahkan.
Selain memberikan perlindungan, Undang-Undang tersebut
juga memberi kesempatan kepada konsumen selaku penerima jasa
kesehatan untuk menyelesaikan sengketa pelayanan medis yang
diterimanya melalui mediasi terlebih dahulu (jalur non litigasi) tetapi
bila melalui mediasi tidak mampu menyelesaikan diperbolehkan
menggunakan jalur pengadilan.




B. Ketentuan Yuridis Terjadinya Malpraktek Medis Sesuai Sistem Hukum
Indonesia

1. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis dalam Hukum Perdata
Malpraktek medis selain dapat dituntut secara pidana juga dapat
dituntut secara perdata dalam bentuk pembayaran ganti rugi. Dasar hukum
malpraktek perdata atau sipil adalah transaksi atau kontrak terapeutik antara
dokter dengan pasien yaitu hubungan dokter dengan pasien, dimana dokter
bersedia memberikan pengobatan atau perawatan medis kepada pasien dan
pasien bersedia membayar sejumlah imbalan kepada dokter. Ketentuan
terkait dengan KUHPerdata adalah Pasal 1366 KUHPerdata.Setiap orang
bertanggung jawab hukum hanya kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kekurang hati-
hatian (Kayus Kayowuan Lewolebah , 2008:185)
a. Hubungan Hukum Dokter-Pasien Dalam Kontrak Terapeutik
Pengertian Perikatan tercantum dalam Pasal 1313 jo 1234
KUHPerdata. Perikatan hukum adalah suatu ikatan antara dua subjek
hukum atau lebih untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu atau memberikan sesuatu yang disebut prestasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Disamping melahirkan hak dan kewajiban, hubungan dokter dan
pasien juga membentuk pertanggungjawaban hukum. Bagi pihak
dokter, prestasi berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam
perlakuan medis yang ditujukan bagi kepentingan kesehatan pasien
adalah kewajiban hukum yang sangat mendasar dalam kontrak
terapeutik.
Dipandang dari sudut hukum perdata, malpraktek medis terjadi
bila perlakuan salah yang dilakukan oleh dokter dalam hubungannya
dengan pemberian pelayanan medis kepada pasien menimbulkan
kerugian perdata. Kerugian kesehatan fisik, jiwa, maupun nyawa pasien
akibat salah perlakuan oleh dokter merupakan unsur penting timbulnya
malpraktek medis. Dengan timbulnya akibat hukum kerugian perdata
terbentuklah pertanggung jawaban hukum perdata bagi dokter terhadap
kerugian yang timbul.
Hubungan hukum dokter dan pasien timbul berdasarkan
kesepakatan dan Undang-undang. Perikatan karena kesepakatan
membawa suatu keadaan wanprestasi, sedangkan pelanggaran hukum
dokter atas kewajiban hukum dokter karena undang-undang disebut
perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad) dalam Pasal 1365
KUHPerdata.
Selain pelanggaran hukum karena kesepakatan, dapat pula
terjadi pelanggaran kewajiban hukum karena UU yang disebut
Zaakwaarneming. Zaakwaarneming adalah melakukan sesuatu dengan
diam-diam dan sukarela bagi kepentingan orang lain tanpa persetujuan
dan sepengetahuannya menimbulkan kewajiban pelaksanaan dengan
sebaik-baiknya sehingga melahirkan tanggungjawab terhadap akibat
yang timbul apabila ada kesalahan dalam pelaksanaan sesuatu tersebut
(Pasal 1354 BW). (Adami Chazawi, 2007:43)
b. Wanprestasi dalam Malpraktek Medis
Pertanggungjawaban dokter akibat malpraktek medis karena
wanprestasi lebih luas dari pertangggungjawaban karena perbuatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



melawan hukum. Hal tersebut berdasar Pasal 1236 jo 1239
KUHPerdata, selain penggantian kerugian, pasien juga dapat menuntut
biaya dan bunga. Kerugian yang dituntut pada perbuatan melawan
hukum lebih luas dari kerugian akibat wanprestasi. Tuntutan terhadap
kerugian immateriil akibat perbuatan melawan hukum dapat dilakukan,
sedangkan wanprestasi tidak.
Hubungan hukum antara dokter dan pasien, dilandasi sikap
saling percaya antara kedua belah pihak. Kesembuhan merupakan
tujuan akhir kontrak terapeutik tetapi bukan objek kewajiban dokter
yang dapat dituntut oleh pasien. Kewajiban pokok seorang dokter
adalah inspanning, yakni suatu usaha keras dari dokter yang harus
dijalankan untuk menyembuhkan kesehatan pasien. (Adami Chazawi,
2007:45)
Pasien yang tidak sembuh tidak dapat dijadikan alasan
wanprestasi bagi dokter selama perlakuan medis yang dilakukan tidak
menyimpang dari standar profesi, karena hubungan hukum pasien dan
dokter bukan hubungan yang menuntut pada hasil pelayanan medis,
melainkan kewajiban untuk memberikan perlakuan medis sebaik-
baiknya dimana dokter tidak mampu menjamin hasil akhir.
Hasil dari perlakuan penyembuhan, pemulihan, atau
pemeliharaan kesehatan pasien tidak menjadi kewajiban hukum bagi
dokter, melainkan suatu kewajiban moral belaka akibatnya bukan
sanksi hukum tetapi sanksi moral dan sosial. Sepanjang perlakuan
medis terhadap pasien dilakukan sesuai standar profesi dan standar
prosedur operasional meskipun tanpa hasil penyembuhan yang
diharapkan tidak melahirkan malpraktek medis dari sudut hukum.
Perlakuan medis dokter yang menyalahi standar profesi maka
dokter dianggap melakukan malpraktek medis. Dengan syarat, tidak
sembuh atau lebih parah penyakit dari pasien setelah mendapat
perlakuan medis dari sudut standar profesi. J ika hal tersebut merupakan
akibat langsung dari salah perlakuan medis oleh dokter melahirkan
malpraktek medis, pasien berhak menuntut ganti kerugian atas
kesalahan perlakuan medis tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Pelayanan medis dengan resiko tinggi wajib dibuat dalam
bentuk tertulis untuk dimintakan persetujuan (informed consent).
Tujuannya untuk membebaskan risiko hukum bagi timbulnya akibat
yang tidak dikehendaki.
Bentuk wanprestasi dokter dalam pelayanan medis yaitu:
a) Tidak memberikan pelayanan kesehatan sama sekali seperti yang
diperjanjikan;
b) Memberikan pelayanan kesehatan tidak sebagaimana mestinya,
tidak sesuai kualitas dan kuantitas dengan yang diperjanjikan;
c) Memberikan pelayanan kesehatan tetapi terlambat tidak tepat
waktu sebagaimana telah diperjanjikan;
d) Memberikan pelayanan kesehatan lain dari pada yang diperjanjikan
semula. (Adami Chazawi, 2007:48-49)
Setiap wanprestasi terkandung aspek kerugian bagi pihak lain.
Unsur kerugian terdapat dalam kalimat penggantian biaya, rugi dan
bunga. Akibat kerugian pasien ini menjadi pangkal penilaian terhadap
ada atau tidaknya malpraktek medis. Setelah terbukti adanya kerugian,
kemudian dilihat bagaimana wujud perlakuan medis yang dilakukan
oleh dokter.
Wujud kerugian akibat wanprestasi berupa kerugian materiil
yang dapat diukur dengan nilai uang, terutama biaya perawatan, biaya
perjalanan dan biaya obat-obatan dengan syarat kerugian ini harus
dapat dibuktikan.
c. Perbuatan Melawan Hukum Dalam Malpraktek Medis
Tercantum dalam bunyi Pasal 1365 KUHPerdata:
Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menimbulkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut.
Dari bunyi pasal tersebut, diartikan bila perlakuan medis dokter
menyimpang dari standar profesi dan menimbulkan kerugian pasien
termasuk kategori perbuatan melawan hukum. Kerugian harus benar-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



benar diakibatkan perlakuan medis yang salah dan harus dapat
dibuktikan baik dari sudut ilmu hukum maupun ilmu kedokteran.
Malpraktek medis yang telah masuk lapangan hukum pidana
atau menjadi kejahatan sekaligus merupakan perbuatan melawan
hukum yang dapat dituntut pertanggungjawaban perdata terhadap
kerugian yang ditimbulkan melalui pasal 1365 jo 1370 dan 1371
KUHPerdata. Indikator malpraktek medis masuk dalam perbuatan
melawan hukum, yaitu malpraktek medis telah masuk ke ranah hukum
pidana otomatis termasuk perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan aktif maupun pasif
yang dilakukan baik sengaja maupun kealpaan yang bertentangan
dengan hak orang lain, dengan kewajiban hukumnya sendiri dengan
nilai-nilai kesusilaan yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat. Mencakup pula syarat untuk menuntut ganti kerugian oleh
perbuatan melawan hukum yakni harus ada perbuatan dan sifat
melawan hukum. (Adami Chazawi, 2007:61)
Empat syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut kerugian
adanya perbuatan melawan hukum:
Adanya perbuatan yang termasuk kualifikasi perbuatan melawan
hukum;
Adanya kesalahan si pembuat;
Adanya akibat kerugian;
Adanya hubungan perbuatan dengan akibat kerugian orang lain.
d. Zaakwaarneming
Pasal 1354 BW merumuskan zaakwaarneming adalah;
J ika seseorang dengan sukarela mewakili urusan orang lain
dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam
mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan
tersebut hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan
sendiri urusan itu
Mengikatkan diri secara sukarela menurut Undang-Undang
berarti ia terbebani kewajiban hukum untuk melaksanakan urusan orang
lain itu dengan sebaik-baiknya. Timbul kewajiban hukum apabila tidak
dijalankan sebagaimana mestinya hingga menimbulkan akibat kerugian
bagi orang yang diwakilinya maka ia bertanggungjawab untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



mengganti kerugian, biaya dan bunga. Zaakwaarneming bukanlah
penyebab malpraktek medis. Zaakwarneming merupakan salah satu
bentuk perikatan hukum yang timbul karena undang-undang. Berbeda
dengan onrechmatigedaad yang melahirkan malpraktek medis,
zaakwaarneming dapat melahirkan malpraktek medis bila terdapat
penyimpangan dalam melaksanakan kewajiban hukum dokter dan
menimbulkan kerugian pasien. (Adami Chazawi, 2007: 77-78)
Apabila pelayanan medis diberikan saat keadaan darurat, dokter
atau rumah sakit memiliki kewajiban untuk berbuat segala sesuatu
dengan segera untuk kepentingan menyelamatkan jiwa pasien. Bila
dokter atau rumah sakit tidak memberikan pertolongan dengan alasan
tidak ada informed consent dari keluarga sehingga pasien meninggal
maka petugas RS dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana
menurut ketentuan Pasal 531 KUHP dan Rumah Sakit dapat dituntut
ganti rugi.
Dalam keadaan emergency, dokter atau rumah sakit dapat
memberikan pelayanan medis tanpa persetujuan. Dokter atau rumah
sakit tidak dapat dituntut oleh pasien kecuali tindakan medis yang
dijalankan melanggar standar profesi baik sengaja maupun culpa
sehingga merugikan pasien.

2. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis dalam Hukum Pidana
Malpraktek medis masuk dalam lapangan hukum pidana, bila
terpenuhi syarat: sikap batin dokter, perlakuan medis, dan akibat. Syarat
dalam perlakuan medis adalah perlakuan medis yang menyimpang. Syarat
sikap batin adalah syarat sengaja dalam malpraktek medis. Syarat akibat
adalah mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien.
a. Perlakuan Salah Dalam Malpraktek Medis
Perbuatan adalah wujud dari bagian perlakuan pelayanan medis.
Terjadinya malpraktek medis menurut hukum, di samping perbuatan
dalam perlakuan medis tersebut masih ada syarat sikap batin dan akibat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



b. Sikap Batin Dalam Malpraktek Medis
Sikap batin adalah sesuatu yang ada dalam batin sebelum
seseorang berbuat. Sikap batin ini berupa, kehendak, pikiran, perasaan
dan apapun yang melukiskan keadaan batin seseorang sebelum berbuat.
Kemampuan mengarahkan dan mewujudkan alam batin ke dalam
perbuatan tertentu yang dilarang disebut kesengajaan. Bila kemampuan
berpikir, berperasaan, dan berkehendak itu tidak digunakan
sebagaimana mestinya dalam hal melakukan suatu perbuatan yang pada
kenyataannya dilarang maka dinamakan kelalaian (culpa). (Adami
Chazawi, 2007:85).
Sebelum perlakuan medis di wujudkan oleh dokter, ada 3 (tiga)
arah sikap batin dokter, (Adami Chazawi, 2007:85):
a. Sikap batin mengenai wujud perbuatan (terapi);
b. Sikap batin mengenai sifat melawan hukum perbuatan; dan
c. Sikap batin mengenai akibat dari wujud perbuatan.
Sikap batin yang diarahkan pada perbuatan umumnya berupa
kesengajaan artinya mewujudkan perbuatan memang dikehendaki. Bisa
juga sikap batin pada perbutan, baik aktif maupun pasif merupakan
sikap batin kelalaian. Bila perlakuan yang akan dijalankan pada pasien
disadari melanggar standar profesi, namun tetap dijalankan maka sikap
batin yang demikian disebut kesengajaan. Sikap batin yang tidak
menyadari atau tidak mengetahui apa yang hendak diperbuat dokter
sebagai menyalahi standar dan dijalankan juga maka sikap batin yang
demikian disebut kelalaian. Kewajiban dokter yang hendak dijalankan
dokter harus dipertimbangkan sebagai hal yang melanggar standar
profesi atau tidak. Akan tetapi, dokter tidak mempertimbangkan dan
setelah dijalankan ternyata melanggar standar profesi, hal tersebut
termasuk kelalaian. Seorang profesional tidak dibenarkan memiliki
sikap batin yang ceroboh mengenai standar profesinya sendiri. Sikap
batin dalam malpraktek medis pada umumnya adalah sikap batin
kealpaan. (Adami Chazawi, 2007:87-88)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



1) Ajaran Culpa Subjektif
Mengukur adanya culpa, dapat dilihat dari beberapa unsur:
a. Apa wujud perbuatan, cara perbuatan dan alat untuk melakukan
perbuatan;
b. Sifat tercelanya perbuatan;
c. Objek perbuatan; dan
d. Akibat yang timbul dari wujud perbuatan. Adami Chazawi,
2007:89)
Sikap batin culpos dalam hubungannya dengan wujud dan cara
perbuatan adalah sikap batin yang tidak memperhatikan mengenai cara
atau alat yang digunakan dalam perbuatan. Perbuatan memberikan
suntikan, diwajibkan kehati-hatiannya bukan sekedar pada pelaksanaan
perbuatan menyuntikkan saja tetapi juga obat yang diisikan, dosisnya,
alat suntiknya, dan lain-lain.
Sikap batin lalai dalam hubungannya dengan akibat terlarang dari
suatu perbuatan dapat terletak pada salah satu diantara tiga hal berikut:
a. Terletak pada ketiadaan berpikir sama sekali terhadap akibat yang
dapat timbul karena suatu perbuatan;
b. Terletak pada pemikiran tentang akibat dari suatu perbuatan.
Berdasarkan pertimbangan dari kepintaran, pengalaman, dan alat
yang digunakan ia yakin akibat tidak akan terjadi, tetapi ternyata
setelah perbuatan dilakukan benar-benar terjadi; dan
c. Terletak pada pemikiran bahwa akibat bisa terjadi. Namun,
berdasarkan kepintarannya dengan telah menguasai cara-caranya
secara maksimal akan berusaha menghindari akibat itu. (Adami
Chazawi, 2007:93)
2) Ajaran Culpa Objektif
Pandangan culpa objektif menilai sikap batin lalai pada diri
seseorang dengan membandingkan antara perbuatan yang dilakukan
orang lain yang memiliki kualitas sama dalam keadaan yang sama
pula.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Kelalaian seorang dokter melakukan perbuatan yang lain yang
tidak sama dengan dokter lain dalam hal dokter lain menghadapi hal
yang sama dengan kondisi yang sama dengan apa yang dihadapi dokter
tersebut. Tolak ukurnya ialah apakah dokter telah melakukan sesuai
dengan apa yang dilakukan oleh teman sejawatnya dalam keadaan
yang sama.
Sikap batin dokter dalam culpa malpraktek medis diwujudkan
seridak-tidaknya dalam 4 hal yakni:
a. Pada wujud perbuatan;
b. Pada sifat melawan hukumnya perbuatan;
c. Pada pasien-objek perbuatan; dan
d. Pada akibat perbuatan, beserta unsur-unsur yang menyertainya.
Culpa pada pasien sebagai objek perbuatan adalah apa yang patut
diketahui tentang segala sesuatu yang terdapat pada diri pasien
terutama mengenai penyakit pasien tersebut. Segala hal yang
seharusnya diketahuinya ini tidak boleh diabaikan dan ternyata
diabaikan, bila pengabaian terjadi akan sangat kuat pengaruhnya
terhadap perbuatan apa yang dilakukan dokter pada pasien beserta
akibatnya.
Culpa mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan terletak pada
tiada kesadaran atau pengetahuna bahwa dokter tidak memahami dan
tidak mengerti standar profesi medis, padahal seorang dokter dituntut
untuk mengetahuinya. Inilah sikap batin yang dipersalahkan medis dari
sudut hukum.
Sikap batin culpa diwujudkan dalam, (Adami Chazawi, 2007:100):
a. Dokter tidak menyadari bahwa dari perbuatan yang hendak
dilakukannya menimbulkan akibat yang terlarang bagi hukum;
b. Akibat itu disadari bisa timbul namun karena dasar pemikiran
kepintarannya dokter meyakini akibat tidak akan timbul, tetapi
ternyata akibat terlarang itu timbul;
c. Akibat disadari dapat saja timbul.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Sikap batin culpa dalam malpraktek pidana harus berupa culpa lata
yaitu suatu bentuk kelalaian berat.
c. Adanya Akibat Kerugian Pasien
Dari sudut hukum pidana akibat yeng merugikan masuk dalam
lapangan pidana. Bila jenis kerugian tersebut masuk rumusan
kejahatan menjadi unsur tindak pidana akibat kematian, luka
merupakan unsur kejahatan Pasal 359 dan 360 KUHP, bila kelalaian
perlakuan medis terjadi dan mengakibatkan kematian atau luka sesuai
jenis yang ditentukan dalam pasal 359 dan 360 KUHP maka perlakuan
medis masuk dalam kategori malpraktek pidana.
Dokter dari kedudukan atau kualitasnya sebagai profesional
wajib mengetahui seluruh aspek yang dapat berpengaruh oleh
perlakuan medis yang hendak dijalankan yang dapat menimbulkan
akibat buruk bagi pasien.
d. Penerapan Pasal 351, 359, 360, 344, 346, 347 Dan 348 KUHP Pada
Malpraktek Medis
Akibat malpraktek medis yang menjadi tindak pidana harus
berupa akibat yang sesuai dengan yang ditentukan oleh Undang-
Undang. Akibat berupa kematian, luka berat, rasa sakit atau luka yang
mendatangkan penyakit, atau luka yang menghambat tugas dan mata
pencaharian dapat membentuk pertanggungjawaban pidana yang
wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian (perdata) saja tetapi
boleh jadi pemidanaan.
1) Penganiayaan
Malpraktek medis dapat menjadi penganiayaan jika ada
kesengajaan, baik terhadap perbuatan maupun akibat perbuatan.
Pembedahan tanpa informed consent termasuk penganiayaan. Sifat
melawan hukumnya terletak pada tanpa informed consent.
Sedangkan saat keadaan emergency, dokter dibenarkan
melakukan tindakan medis tanpa informed consent, apabila
informed consent memang tidak mungkin diperoleh. Asalkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



tindakan medis darurat itu menjadi kompetensi dokter dan sesuai
standar profesi.
KUHP membedakan lima macam penganiayaan, yakni:
penganiayaan bentuk standar (Pasal 351); penganiayaan ringan
(Pasal 352); penganiayaan berencana (Pasal 353); penganiayaan
berat (Pasal 354); dan penganiayaan berat berencana (Pasal 355).
Unsur-unsur yang harus dibuktikan bila terjadi penganiayaan yaitu:
a. Adanya kesengajaan;
b. Adanya wujud perbuatan;
c. Adanya akibat perbuatan; dan
d. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dan
timbulnya akibat yang terlarang.
Sengaja ialah menghendaki perbuatan dan akibat perbuatan.
Perbuatan penganiayaan harus berwujud, misal pembedahan tubuh
yang dilakukan oleh dokter. Bisa diwujudkan dalam perbuatan
pasif, contohnya, sengaja tidak segera melakuakan pembedahan
yang menurut ilmu kedokteran harus dilakukan segera dengan
maksud agar pasien mati.
Akibat perbuatan penganiayaan ialah, timbulnya rasa sakit pada
tubuh, luka pada tubuh, mendatangkan penyakit/timbulnya
penyakit bahkan kematian. Akibat tersebut harus merupakan
akibat langsung yang layak disebabkan oleh wujud perbutan.
Unsur akibat harus dapat dibuktikan, rasa sakit, luka tubuh,
timbulnya penyakit, atau kematian yang disebabkankan langsung
oleh wujud perbuatan penganiayaan. Akibat penganiayaan harus
ada hubungan dengan sikap batin pembuat, yakni dikehendaki.
(Adami Chazawi, 2007:108).
Kematian dapat digolongkan akibat penganiayaan bila
kematian itu tidak dikehendaki. Melakukan pembedahan, rasa
sakit pasti disadari, artinya rasa sakit itu dikehendaki. J ika
kematian tidak dikehendaki namun pembedahan itu menimbulkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



kematian atau pembedahan tanpa informed consent atau tanpa
wewenang tindakan medis tersebut menimbulkan penganiayaan
yang menyebabkan kematian.
2) Kealpaan yang Menyebabkan Kematian
Pasal 359 KUHP selalu didakwakan terhadap kematian yang
diduga disebabkan kesalahan dokter. Pasal 359 merumuskan
barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain mati
disamping adanya sikap batin culpa seta kalimat menyebabkan
orang lain mati, yakni:
a. Harus ada wujud perbuatan;
b. Adanya akibat perbuatan berupa kematian; dan
c. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat
kematian.;
Sikap batin culpa bukan ditujukan pada perbuatan, tetapi pada
akibat kematian. Culpa dapat dibedakan tiga macam, berdasarkan
sudut tingkatannya:
a. Kelalaian yang tidak disadari, pembuat tidak menyadari bahwa
perbutan yang hendak dilakukan dapat menimbulkan akibat
terlarang dalam hukum. Hubungannya dengan pelayanan
kesehatan, dokter tidak mengetahui bahwa perbuatan yang
hendak diperbuatnya dapat mengakibatkan kematian;
b. Kealpaan yang disadari, adanya kesadaran terhadap timbulnya
akibat dari tindakan medis yang hendak diwujudkan. Dokter
meyakini bahwa akibat tersebut tidak akan timbul, namun
setelah tindakan medis dilakukan ternyata akibat tersebut
timbul; dan
c. Termasuk dalam kealpaan yang disadari, telah disadari bahwa
akibat bisa timbul, namun yakin tidak akan timbul. Setelah
tindakan dilakukan dan timbul gejala-gejala yang mengarah
pada timbulnya akibat. Telah berbuat yang cukup untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



menghindarinya, namun kenyataanya setelah tindakan akibat
pun timbul. (Adami Chazawi, 2007:112).
3) Kealpaan yang Menyebabkan Luka-Luka
Pasal 360 KUHP lazim digunakan untuk menuntut dokter
atas dugaan malpraktek medis. Pasal 359 digunakan bila
menyebabkan kematian. Dua macam tindak pidana menurut Pasal
360 yakni:
(1) ...karena kesalahannya menyebabkan orang lain
mendapat luka berat... (2) ...karena kesalahannya menyebabkan
orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau
halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama
waktu tertentu...
Dari Ayat (1) dapat dirinci unsur-unsurnya:
a. Adanya kelalaian;
b. Adanya wujud perbuatan;
c. Adanya akibat luka berat;
d. Adanya hubungan kausal antara luka berat dengan wujud
perbuatan.
Ayat (2) mengandung unsur-unsur:
a. Adanya kelalaian;
b. Adanya wujud perbuatan;
c. Adanya akibat: luka yang menimbulkan penyakit; luka yang
menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian selama waktu tertentu;
d. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat.
Kalimat menyebabkan orang luka, mengandung tiga
unsur, yakni:
a. Adanya wujud perbuatan sebagai penyebab;
b. Adanya akibat orang lain luka;
c. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan
akibat orang lain luka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Luka adalah perbuatan sedemikian rupa pada permukaan
tubuh sehingga berbeda dengan bentuk semula. Pasal 360
menyebutkan tiga macam luka, yaitu:
a. Luka berat;
b. Luka yang menimbulkan penyakit;
c. Luka yang menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan
atau pencarian selama waktu tertentu.
Pasal 90 menyebutkan macam-macam luka berat:
a. J atuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
b. Tidak mampu terus-menrus untuk menjalankan tugas jabatan
atau pekerjaan pencaharian;
c. Kehilangan salah satu pancaindra;
d. Mendapat cacat berat;
e. Menderita sakit lumpuh;
f. Terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;
g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
4) Aborsi
Aborsi menurut istilah umum adalah pengguguran
kandungan. Praktik aborsi terdapat dua bentuk perbuatan, yaitu:
perbuatan menggugurkan kandungan; dan perbuatan mematikan
kandungan.
Hukum pidana dalam memandang praktik aborsi
mengenakan tiga pasal yakni 346, 347, dan 348 KUHP. Menurut
KUHP setiap tindakan aborsi dalam motif apapun, indikasi apapun
merupakan kejahatan. Namun, dalam hukum kesehatan Undang-
Undang No 23 Tahun 1992 ketentuan tersebut dapat disimpangi.
Pasal 15 memuat norma demi menyelamatkan jiwa ibu hamil dan
atau janinya boleh dilakukan tindakan medis tertentu yang dapat
saja berupa menggugurkan atau mematikan kandungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 346, 347 atau 348 KUHP.
Syarat untuk dapat memenuhi tindakan aborsi ialah:
a. Harus dengan indikasi medis;
b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan keahlian dan wewenang
untuk itu;
c. Harus berdasarkan pertimbangan tim ahli;
d. Dengan persetujuan ibu hamil, suaminya, atau keluarganya
(informed consent);
e. Dilakukan pada sarana kesehatan tertentu.
Mengenai Abortus Provokatus ada anggapan sebagai
perbuatan medical malpraktek yang dilakukan dengan sengaja
(dolus). Hal ini berarti perbuatan malpraktek terdapat dua bentuk
yaitu:
a. Medical malpraktek oleh dokter yang dilakukan dengan
sengaja misalnya abortus tanpa indikasi medis;
b. Medical malpraktek yang dilakukan dengan kelalaian (culpa)
semisalnya tertinggalnya alat operasi di dalam rongga badan
pasien (Lilik Purwastuti Yudaningsih, 2007:99)
Dokter yang melaksanakan aborsi berdasar Pasal 15
Undang-Undang No 23 tahun 1992 tetap melakukan kejahatan atau
malpraktek medis (dengan sengaja). Akan tetapi, tidak dipidana
karena tindakan yang memenuhi syarat Pasal 15 tersebut menjadi
hapus sifat terlarangnya sebagai pembenaran tindakan medis dokter.
(Adami Chazawi, 2007:118).
a) Pasal 346 KUHP
Pasal ini merumuskan:
Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun
J ika dokter diminta untuk melaksanakan pengguguran dan
pembunuhan kandungan seorang perempuan atas dasar permintaan
si perempuan maka dokter telah melakukan malpraktek medis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



b) Pasal 347 KUHP
Pasal ini merumuskan:
(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun
(2) J ika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun
Aborsi tanpa persetujuan perempuan pemilik kandungan
tanggung jawab pidananya lebih berat daripada aborsi atas
persetujuan perempuan pemilik kandungan. J ika menimbulkan
kematian perempuan itu sama saja dengan pembunuhan. Tanpa
persetujuan diartikan pada akibat bukan pada perbuatan tertentu.
Bisa jadi perempuan setuju pada wujud perbuatan tertentu yang
dikatakan pembuat berupa pengobatan atau perawatan.
Kesengajaan pembuat ditujukan pada perbuatan akibat
gugurnya kandungan. Kesengajaan harus diartikan tiga bentuk
kesengajaan, yakni: sebagai maksud; kemungkinan; atau
kesengajaan sebagai kepastian.
c) Pasal 348 KUHP
Pasal 348 KUHP merumuskan:
(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang perempuan dengan persetuannya diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) J ika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Perbedaan pokok aborsi dalam Pasal 348 terletak pada
aborsi terhadap perempuan yang mengandung disetujui oleh
pemilik kandungan sendiri. Pasal 346, di mana jelas inisiatif aborsi
berasal dari perempuan. J ika tindakan aborsi dilakukan oleh dokter,
persetujuan oleh perempuan yang mengandung tidak dapat disebut
informed consent. Karena informed consent harus persetujuan untuk
melakukan tindakan yang sesuai hukum atau tidak melawan hukum.
Persetujuan menurut Pasal 348 adalah persetujuan untuk melakukan
tindak pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



5) Euthanasia
Euthanasia secara harfiah, artinya kematian yang baik atau
kematian yang menyenangkan. Menurut Seutonius euthanasia
artinya mati cepat tanpa derita. Kemudian istilah ethunasia
diartikan membunuh atas kehendak korban sendiri (Adami
Chazawi, 2007, 124).
Euthanasia menjadi persolan karena menyangkut hak dasar
manusia yakni hak untuk berbuat sesuatu terhadap dirinya sendiri.
Hak untuk mati adalah hak asasi manusia sehingga penolakan atas
pengakuan terhadap hak untuk mati merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia. Kewajiban dokter untuk
mempertahankan hak hidup manusia, merupakan kewajiban yang
harus dijalankan.
Dalam hukum Indonesia jelas setiap perbuatan
menghilangkan nyawa orang lain adalah kejahatan. Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan
Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau J aringan
Tubuh Manusia. Pasal 1 merumuskan:
Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli
kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan, dan
atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Syarat konkret
adanya kematian ditentukan tiga hal takni terhentinya fungsi otak,
pernapasan dan jantung.
Chrisdiono memaparkan adanya istilah pseudo
euthanasia artinya euthanasia semu. Empat bentuk pseudo
euthanasia yakni:
b. Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak.
J antung masih berdenyut, peredaran darah dan pernapasan
masih berjalan, tetapi tidak ada kesadaran karena otak tidak
berfungsi sama sekali. Misalnya karena kecelakaan;
c. Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap
dirinya. Dasarnya, dokter tidak dapat melakukan sesuatu jika
tidak dikehendaki pasien;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



d. Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa
tidak terlawan. Dalam hal terjadi dua kepentingan hukum yang
tidak bisa memenuhi kedua-duanya;
e. Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang
diketahui tidak ada gunanya. (Adami Chazawi, 2007:128)
UU Indonesia tidak mentoleransi salah satu alasan
pengakhiran hidup manusia tersebut. Pasal 344 KUHP
merumuskan:
Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan, kesungguhan hati
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun
Nilai jahatnya pembunuhan atas permintaan korban ini,
sedikit lebih ringan daripada pembunuhan biasa yang diancam
pidana penjara setinggi-tingginya 15 tahun penjara. Lebih ringan
dari pembunuhan biasa disebabkan pembunuhan atas permintaan
korban ini terdapat unsur atas permintaan korban itu sendiri yang
dinyatakan dengan kesungguhan hati.
Permintaan adalah suatu pernyataan kehendak yang
ditujukan pada orang lain agar orang lain itu melakukan perbuatan
tertentu bagi kepentingan orang yang meminta nyawa dihilangkan.
Dalam membuktikan adanya permintaan korban perlu diperhatikan:
a. Inisiatif bunuh diri harus terbukti berasal dari korban itu
sendiri;
b. Permintaan harus ditujukan pada si pembuat, bukan pada orang
lain; dan
c. Isinya pernyataan harus jelas, jelas dimengerti bagi yang
menerim pernyataan yang sama seperti apa yang dinyatakan
oleh pemilik nyawa. (Adami Chazawi, 2007:130)

3. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis Dalam Hukum Administrasi
a. Pelanggaran Hukum Administrasi Kedokteran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Pelanggaran hukum administrasi kedokteran kini menjadi tindak
pidana. Terdapat dalam Pasal 75, 76, 77, 78 Undang-Undang No 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Tindak pidana tersebut
bermula dari pelanggaran hukum administrasi. Sebelum terbit UU No
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dokter yang praktik
menyalahi hukum administrasi seperti Pasal 42 mempekerjakan dokter
yang tidak memiliki surat izin praktik atau memberikan pelayanan di
luar standar profesi dianggap penipuan (Pasal 378 KUHP).
Hubungan pelanggaran administrasi dengan malpraktek medis
terjadi bila selama pelanggaran hukum administrasi kedokteran tidak
membawa kerugian kesehatan, fisik, mental atau nyawa bagi pasien,
dokter dapat dipidana dengan pasal 75-80 Undang-Undang No 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran. Tetapi bila pelanggaran hukum
administrasi kedokteran menimbulkan kerugian kesehatan bagi pasien
maka dapat menjadi malpraktek medis pidana atau perdata. Dokter yang
melakukan pelanggaran hukum administrasi kedokteran, sudah
membuka jalan menuju malpraktek medis. Bila menimbulkan kerugian
fisik, mental, nyawa bagi pasien maka terjadi malpraktek medis.
Pelanggaran hukum administrasi kedokteran, adalah
pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban hukum administrasi
kedokteran. Kewajiban administrasi kedokteran terdiri dari 2 (dua) hal
yakni:
a. Kewajiban administrasi yang berhubungan dengan kewenangan
sebelum dokter berbuat;
b. Kewajiban administrasi pada saat dokter sedang melakukan
pelayanan medis. (Adami Chazawi, 2007:131-133).
Pelanggaran terhadap kewajiban administrasi dapat menjadi
malpraktek medis. Dua macam pelanggaran administrasi tersebut yaitu:
a. Pelanggaran hukum administrasi tentang kewenangan praktik
kedokteran (dokter atau dokter gigi);
b. Pelanggaran administrasi mengenai pelayanan medis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



b. Pelanggaran Hukum Administrasi Tentang Kewenangan
Lahirnya UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
mengatur mengenai tata laksana praktik dokter di Indonesia. Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang dokter, agar berwenang
menjalankan praktik kedokteran, tidak hanya keahlian yang diperoleh
dari pendidikan dokter. Syarat administrasi tersebut antara lain:
1. Memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dokter atau dokter gigi
yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia yang berlaku 5
tahun dan setiap 5 (lima) tahun di registrasi ulang (Pasal 29);
2. Dokter lulusan Luar Negeri yang praktik di Indonesia harus lulus
evaluasi. Bagi dokter asing selain lulus evaluasi harus memiliki izin
kerja di Indonesia. Setelah memenuhi syarat lainnya, baru dokter
asing dapat diberikan Surat Tanda Registrasi (STR) (Pasal 30);
3. Memiliki Surat Izin Praktik (SIP) yang dikeluarkan oleh pejabat
kesehatan yang berwenang di kabupaten atau kota tempat praktik
(Pasal 36 jo 37).
Untuk dokter spesialis, ada Peraturan Menteri Kesehatan No.
561/Menkes/Per/X/1981 tentang Pemberian Izin Menjalankan
pekerjaan dan izin Praktik bagi Dokter Spesialis. Tiga macam surat izin
Praktik dokter:
a. Surat izin dokter (SID) adalah izin yang dikeluarkan bagi dokter
spesialis yang menjalankan pekerjaan sesuai bidang profesinya di
wilayah NKRI.
b. Surat izin praktik (SIP) adalah izin yang dikeluarkan bagi dokter
spesialis yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan bidang
profesinya sebagai swasta perorangan di samping tugas/fungsi lain
pada pemerintah atau unit pelayanan kesehatan swasta.
c. Surat izin praktik (SIP) perorangan semata-mata adalah izin yang
dikeluarkan bagi dokter spesialis yang menjalankan pekerjaan
sesuai dengan profesinya sebagai swasta perseorangan semata-mata
tanpa tugas pada pemerintah atau unit pelayanan kesehatan swasta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Masing-masing surat izin dokter dan surat izin praktik berlaku
5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui dengan mengajukan
permohonan kembali. Dengan dipenuhinya syarat administrasi dokter
berwenang melakukan pelayanan medis karena dimilikinya SIP, SID,
STR.
c. Pelanggaran Hukum Administrasi Tentang Pelayanan Medis
Ada sebagian kewajiban hukum administrasi kedokteran
berhubungan dengan pelayanan medis yang harus dipenuhi.
Pelanggaran kewajiban hukum administrasi dapat menjadi malpraktek
medis bila menimbulkan kerugian kesehatan atau kematian pasien.
Pasal 51 menetapkan ada lima kewajiban dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran:
a. Kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis
pasien;
b. Kewajiban merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang
mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila
tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. Kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
pasien, bahkan setelah pasien itu meninggal dunia;
d. Kewajiban melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas
dan mampu melaksanakannya; dan
e. Kewajiban menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran dan kedokteran gigi.
Apabila lima kewajiban tersebut dilanggar, potensial menimbulkan
malpraktek medis.
1) Kewajiaban Pelayanan Medis Sesuai Dengan Standar Profesi,
Standar Prosedur Operasional, dan Kebutuhan Medis Pasien
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Kewajiban ketika melakukan pelayanan medis ada 3 (tiga) yaitu:
sesuai standar profesi; sesuai standar prosedur operasional; sesuai
dengan kebutuhan medis pasien.
Pengertian standar profesi, standar prosedur operasional tercantum
dalam Pasal 50, yaitu:
Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimal yang harus
dikuasai oleh seorang individu untuk melakukan kegiatan
profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh
organisasi profesi.
Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat
instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan
suatu kerja rutin tertentu.
Pelayanan medis harus sesuai kebutuhan pasien, meliputi:
a. Kepentingan pasien harus menjadi tujuan utama dari pelayanan
medis;
b. Dokter tidak dapat dibenarkan, bila dalam hal pilihan metode
pelayanan semata-mata berdasarkan pertimbangan pada
pembayaran prestasi;
c. Langkah yang diambil dokter harus pada langkah yang
mengandung resiko paling kecil dari sekian banyak kemungkinan
resiko;
d. Langkah yang diambil dokter adalah langkah yang sudah cukup
bagi kepentingan pasien dan tidak mengambil langkah yang lebih
beresiko dengan pertimbangan yang tidak sesuai etika dan moral,
walaupun dengan harapan menguntungkan pasien. (Adami
Chazawi, 2007:139)
2) Kewajiban Merujuk Pasien ke Dokter Lain yang Mempunyai
Keahlian atau Kemampuan yang Lebih Baik
Tidak merujuk pada dokter lain yang lebih ahli melainkan
menanganinya sendiri termasuk pelanggaran kode etik kedokteran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



(Pasal 11). Pelanggaran kode etik berpotensi menimbulkan malpraktek
medis bila menimbulkan kerugian bagi pasien.
3) Kewajiban Merahasikan Segala Sesuatu Mengenai Pasien
(Memegang Rahasia Dokter)
Sifat khusus kedudukan dokter ialah dokter mendapatkan
kepercayaan luar biasa dari pasien dan keluarganya. Kepercayaan untuk
berbuat maksimal dan mampu menyembuhkan pasien. Kepercayaan
tersebut diwujudkan berupa jaminan bahwa segala sesuatu yang
disampaikan dokter maupun yang diketahuinya harus dirahasiakan.
Kewajiban merahasikan tercantum dalam Pasal 14 Kode Etik
Kedokteran. Rahasia adalah semua hal mengenai diri pasien, terutama
penyakitnya, diagnosis, dan terapinya.
Hak pasien untuk mendapat keterangan dari dokter mengenai
segala sesuatu mengenai penyakitnya (Pasal 52). Segala sesuatu yang
dirahasiakan oleh dokter adalah apa yang menjadi kewajiban dokter
untuk disampaikan pada pasien. Dalam Pasal 52 jo 45 Ayat (3)
Undang-Undang No 29 Tahun 2004, hak pasien adalah segala sesuatu
yang harus disampaikan dokter tentang pasien yang terdiri:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
4) Kewajiban Melakukan Pertolongan Darurat atas Dasar
Perikemanusiaan
Dalam keadaan darurat, Undang-Undang meletakkan kewajiban
hukum pada dokter untuk melakukan upaya pertolongan. Dalam
keadaan darurat persetujuan medis (informed consent) tidak diperlukan.
Kewajiban dokter untuk mendapatkan informed consent dapat
disimpangi terlebih dahulu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Apabila dokter tidak memberikan pertolongan dan akibat fatal
disebabkan langsung karena tidak segera mendapatkan pertolongan,
dokter atau rumah sakit dapat dibebani tanggung jawab hukum terhadap
timbulnya akibat tersebut. J ika segera diberi pertolongan maka akibat
fatal tersebut dapat dihindari. Menurut pertimbangan ilmu kedokteran,
akibat tersebut tidak akan terjadi. Tidak memberikan pertolongan sama
sekali disamakan dengan berbuat salah karena melanggar kewajiban
hukum untuk berbuat.
Dokter dibebankan kewajiban hukum untuk memberi pertolongan
medis pada pasien dalam keadaan darurat berdasarkan:
a. Dari sudut hukum pidana, merujuk Pasal 531 KUHP mewajibkan
setiap orang melakukan perbuatan menolong orang yang dalam
keadaan bahaya maut, apabila orang itu mampu menolong tanpa
membahayakan jiwanya sendiri. Dan, jika karena tidak memberikan
pertolongan menyebabkan orang yang membutuhkan pertolongan
itu benar-benar meninggal maka orang yang melalaikan kewajiban
hukum telah bersalah dan dapat dipidana.
b. Dari sudut moral-etika. Dokter adalah orang yang diberi kelebihan
oleh Tuhan berupa ilmu yang tinggi (kedokteran) serta kemampuan
melakukan penyembuhan penyakit atau pengobatan yang tidak
dimiliki oleh kebanyakan orang.
Saat kewajiban hukum disandang dokter, dimanapun berada ada
dua kemungkinan:
a. Pertama, berdasar hukum pidana (Pasal 531 KUHP) kewajiban
hukum itu mengikuti orangnya.
b. Kedua, berdasar Pasal 51 huruf d berbunyi kecuali ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya dapat
ditafsirkan dokter tersebut harus dalam keadaan bertugas. Frasa
ada orang lain kurang pas, seharusnya adalah orang sebagai
dokter. (Adami Chazawi, 2007: 144-145)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



5) Kewajiban Menambah Ilmu Pengetahuan dan Mengikuti
Perkembangan Ilmu Kedokteran
Dokter dapat melakukan kesalahan praktik karena kurangnya
pengetahuan disamping ceroboh atau kurang teliti maupun kurang hati-
hati. Terjebaknya dokter ke dalam masalah malpraktek medis bisa
terjadi karena dokter kurang pengetahuan, kurang pemahaman, dan
pengalaman.
6) Kewajiban Memberikan Penjelasan pada Pasien Sebelum
Melakukan Tindakan Medis
Kewajiban hukum untuk memberi penjelasan secara lengkap
terhadap pasien sebelum ia memberikan persetujuan terapi terhadap
dirinya (Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran). Kewajiban tersebut timbul karena hak pasien yang
tidak dapat diganggu gugat yakni hak menentukan diri sendiri, hak
untuk menentukan apa yang boleh diperbuat dan tidak boleh terhadap
dirinya.
Dokter tidak sedikit pun mempunyai hak untuk menyentuh tubuh
pasien tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu. Dokter yang
melakukan tindakan medis terhadap pasien sebelum memberikan
penjelasan secara lengkap mengenai segala hal, telah membuka jalan
malpraktek medis. Berujung pada malpraktek medis atau tidak
bergantung pada tindakan medis dokter membawa akibat fatal atau
tidak bagi pasien.

4. Tanggung Jawab Hukum Pemberi Pelayanan Kesehatan Terhadap
Dugaan Kasus Malpraktek Medis
Menurut hukum, setiap pertanggungjawaban harus mempunyai
dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum seseorang untuk
menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban
hukum orang lain itu untuk memberi pertanggungjawabannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Dalam hukum perdata dasar pertanggungjawaban ada dua macam
yaitu kesalahan dan tanggungjawab. Dikenal pertanggungjawaban atas
dasar kesalahan (liability based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (liability based without fault) yang dikenal dengan
pertanggungjwaban tanpa resiko (risk liability) atau tanggung jawab
mutlak (strict liability).
Prinsip dasar pertanggungjawaban atas dasar kesalahan
mengandung arti seseorang harus bertanggungjawab karena ia telah
bersalah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Sebaliknya
dengan prinsip pertanggungjwaban risiko adalah sebagai dasar
pertanggungjawaban, maka konsumen tidak diwajibkan lagi membuktikan
kesalahan produsen sebab menurut prinsip ini dasar pertanggungjawaban
bukan lagi kesalahan melainkan produsen langsung bertanggungjawab
sebagai risiko usahanya.
Tanggung jawab hukum pemberi pelayanan kesehatan dalam hal
ada dugaan malpraktek medis menimbulkan tanggung jawab hukum.
Yakni, pertanggungjawaban hukum dokter, pertanggungjawaban perdata
dalam pelayanan kesehatan, pertanggungjawaban pidana dalam pelayanan
kesehatan, pertanggungjawaban administrasi dalam pelayanan kesehatan,
pertanggungjawaban hukum rumah sakit, dan pertanggungjawaban
hukum dan etik dalam pelayanan kesehatan. (Titik Triwulan Tutik,
2010:49)
a. Pertanggungjawaban Hukum Dokter
Pertanggungjawaban karena kesalahan, yaitu merupakan bentuk
klasik pertanggungjawaban yang didasarkan atas tiga prinsip, yaitu:
a. Setiap tindakan yang mengakibatkan kerugian atas diri orang lain,
menyebabkan orang yang melakukannya harus membayar
kompensasi sebagai pertanggungjawaban kerugian;
b. Seseorang harus bertanggungjawab tidak hanya karena kerugian
yang dilakukannya dengan sengaja tetapi juga dengan kelalaian
dan kurang hati-hati; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



c. Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya
atas kerugian yang dilakukannya sendiri, tetapi juga karena
tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya.
Pertanggungjawaban karena resiko, sebagai pertanggungjawaban
dihubungkan dengan produk tertentu, misalnya; obat, peralatan medis,
atau alat-alat lainnya.
Pertanggungjawaban seorang dokter yang diduga melakukan
malpraktek atau kelalaian medis maka langkah pertama yang
dilakukan adalah dokter diperiksa dan diputuskan oleh Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), dengan memberi sanksi
antara lain sebagai berikut:
a. Sanksi yang diberikan tergantung dari berat ringannya kesalahan
yang dilakukan;
b. Sanksi tersebut dapat berupa:
1) Peringatan lisan
2) Peringatan tertulis
3) Pemecatan sementara sebagai anggota IDI yang diikuti dengan
mengajukan secara tertulis kepada kepala dinas kesehatan
kabupaten/kotamadya untuk mencabut ijin praktek selama:
a) 3 (tiga) bulan untuk pelanggaran ringan
b) 6 (enam) bulan untuk pelanggaran sedang
c) 12 (dua belas) bulan untuk pelanggaran berat
c. Dilakukan pemecatan tetap apabila 3 (tiga) kali peringatan lisan,
yang dilanjutkan 3 (tiga) kali peringatan tertulis yang
disampaikan kepada dokter yang bersangkutan tidak ada
perbaikan. (Agus Irianto, 2006: 34-35)
b. Pertanggungjawaban Perdata dalam Pelayanan Kesehatan
Transaksi terapeutik antara dokter dan pasien adalah sederajat,
dengan demikian hukum menempatkan keduanya memiliki tanggung
gugat hukum. Gugatan pasien terhadap dokter untuk meminta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



pertanggungjawaban dokter bersumber dari dua dasar hukum, yaitu:
wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum (onrechmatigedaad).
Wanprestasi dalam pelayanan medis timbul karena tindakan
seorang dokter berupa pemberian jasa perawatan yang tidak patut
sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Perawatan yang tidak patut
dapat berupa tindakan kekurang hati-hatian, atau akibat kelalaian dari
dokter yang bersangkutan sehingga menyalahi tujuan terapeutik.
Wanprestasi dalam pelayanan medis terjadi, bila memenuhi unsur:
1. Hubungan dokter dengan pasien terjadi berdasarkan kontrak
terapeutik;
2. Dokter telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak
patut yang menyalahi tujuan kontrak terapeutik;
3. Pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang
bersangkutan.
Dasar hukum kedua untuk melakukan gugatan adalah perbuatan
melawan hukum. J ika terdapat fakta-fakta yang berwujud suatu
perbuatan melawan hukum, walaupun di antara pihak-pihak tidak
terdapat suatu perjanjian. Untuk mengajukan gugatan harus dipenuhi 4
(empat) syarat sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata:
1. Pasien harus mengalami kerugian;
2. Ada kesalahan;
3. Ada hubungan kausal anatara kesalahan dengan kerugian; dan
4. Perbuatan itu melawan hukum.
Ciri khas gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum dapat
dilihat dari model pertanggungjawaban yang diterapkan yaitu:
pertanggungjawaban karena kesalahan (fault liability) yang bertumpu
pada ketiga unsur yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, dan 1367
KUHPerdata:
1. Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



2. Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian
yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga kerugian
yang disebabkan karena kelalaian atau kekurang hati-
hatiannya;
3. Setiap orang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian
yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga
kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang
berbeda di bawah tanggung jawabnya atau disebabkan oleh
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. (Bahder
J ohan Nasution, 2005:67).
Kesalahan berdasarkan perbuatan melanggar hukum melahirkan
pertanggung jawaban hukum, baik perbuatannya sendiri maupun
terhadap perbuatan orang yang berada di bawah tanggung jawab dan
pengawasannya. Dalam pelayanan kesehatan seorang dokter tidak
selamanya melakukan perawatan secara mandiri, sebagian besar
menggunakan jasa tenaga kesehatan lainnya seperti paramedis untuk
membantu tugas-tugas perawatan pasien.
Kriteria perbuatan melawan hukum:
1. Perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2. Perbuatan itu melanggar hak orang lain;
3. Perbuatan itu melanggar kaidah tata susila; dan
4. Perbuatan itu bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian
serta sikap hati-hati.
Dalam pelayanan kesehatan, bila pasien atau keluarganya
menganggap bahwa dokter telah melakukan perbuatan melawan
hukum, pasien atau keluarganya dapat mengajukan tuntutan ganti rugi
dengan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang No 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan.
c. Pertanggungjawaban Pidana dalam Pelayanan Kesehatan
Hukum pidana menganut asas Tiada pidana tanpa kesalahan.
Pasal 2 KUHP disebutkan ketentuan pidana dalam perundang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan
suatu delik di Indonesia. Menentukan bahwa setiap orang yang
berada dalam wilayah hukum Indonesia, dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana atas kesalahan yang dibuatnya.
Hukum pidana mengenal adanya alasan penghapus pidana dalam
pelayanan kesehatan, yaitu: alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Namun tidak serta merta alasan pemenar dan pemaaf tersebut
menghapuskan suatu tindak pidana bagi profesi dokter. Persetujuan
(informed consent) sebagai peniadaan pidana. Tidak berarti bahwa
bagi profesi dokter dibebaskan dari segala tanggung jawab pidana,
sebab alasan pembenar dan pemaaf bagi tindakan dokter, hanya
terdapat pengecualian tertentu seperti dalam Pasal 15 Undang-Undang
No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Tenaga kesehatan dibenarkan
melakukan abortus berdasarkan indikasi medis untuk menyelamatkan
ibu hamil.
Alasan penghapus pidana bagi tindakan yang dilakukan oleh
dokter, yaitu alasan penghapus pidana yang berada di luar undang-
undang. Bagi setiap dokter yang melakukan perawatan, jika terjadi
penyimpangan terhadap suatu kaidah pidana, sepanjang doker yang
bersangkutan melakukannya dengan memenuhi standar profesi dan
standar kehati-hatian, dokter tersebut masih tetap dianggap telah
melakukan peristiwa pidana, hanya saja kepadaanya tidak dikenakan
suatu tindak pidana.
Seorang dokter dalam melakukan perawatan hampir selalu
menghadapi resiko. Menurut J Guwandi (1989:15), risiko yang
dihadapi doker dalam melakukan perawatan dapat digolongkan
menjadi tiga macam, yaitu: kecelakaan (accident), tindakan medis
(risk of treatment), salah penilaian (error of judgement). (Bahder
J ohan Nasution, 2005:78)
Risiko kecelakaan dalam perawatan terjadi, apabila seorang dokter
yang telah berbuat dengan kesungguhan dan kehati-hatian namun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



karena sulitnya tindakan perawatan yang dilakukannya risiko tidak
bisa dihindarkan. Risiko yang kedua bersumber dari tindakan medis,
yaitu suatu bentuk risiko perawatan yang terjadi sebagai akibat
sampingan diagnosis dan terapi yang dilakukan terhadap pasien.
Risiko yang ketiga yaitu risiko karena kesalahan penilaian adanya
kesalahan penilaian yang dilakukan oleh dokter.
Hak dan kewajiban kedua belah pihak yang terikat dalam transaksi
terapeutik, yaitu pasien dan dokter. Hak dan kewajiban tersebut
meliputi:
1) Masalah informasi yang diterima oleh pasien sebelum dia
memberikan persetujuan untuk menerima perawatan;
2) Masalah pesetujuan tindakan medis yang akan dilakukan oleh
dokter atau tenaga kesehatan;
3) Masalah kehati-hatian dokter atau tenaga kesehatan yang
melaksanakan perawatan.
Ketiga masalah pokok ini dipandang dalam kerangka hukum
kesehatan pada garis besarnya mengatur dua pokok persoalan: standar
pelayanan medis yang membicarakan kewajiban-kewajiban dokter,
standar profesi medis yang timbul karena adanya dasar kealpaan yang
berbentuk:
a) Kewajiban;
b) Pelanggaran kewajiban;
c) Penyebab;
d) Kerugian.
Seorang dokter baru dihadapkan ke pengadilan bila sudah timbul
kerugian bagi pasien. Kerugian ini timbul akibat pelanggaran
kewajiban di mana sebelumnya telah dibuat suatu persetujuan. Standar
pelayanan medis dibuat berdasarkan hak dan kewajiban dokter, baik
yang diatur kode etik maupun yang diatur perundang-undangan.
Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan, ancaman pidana terhadap kesalahan atau kelalaian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



yang dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan pasien menderita
cacat atau luka-luka, tidak lagi semata-mata mengacu pada ketentuan
Pasal 359, 360, dan 361 KUHP, karena dalam Undang-Undang
kesehatan telah dirumuskan ancaman pidananya. Ancaman tersebut
dimuat dalam pasal 82 Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan pada ayat (1) huruf (a) disebutkan barang siapa yang tanpa
keahlian dan kewenangan dengan sengaja melakukan pengobatan atau
perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda
paling banyak seratus juta rupiah
d. Pertanggungjawaban Hukum Administrasi dalam Pelayanan
Kesehatan
Aspek hukum administrasi dimulai dari sudut kewenangan, yaitu:
apakah dokter yang bersangkutan berwenang atau tidak melakukan
perawatan. Untuk melakukan pekerjaan sebagai dokter diperlukan
berbagai persyaratan, salah satu persyaratan yang paling penting
adalah adanya izin Menteri Kesehatan RI.
Untuk dapat menjalankan pekerjaan sebagai dokter, dikenal tiga
jenis surat izin sesuai dengan Permenkes RI No. 560 dan
561/Menkes/Per/1981, yaitu sebagai berikut:
a. Surat Izin Dokter (SID) merupakan izin yang dikeluarkan bagi
dokter yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan bidang
profesinya di wilayah Negara RI;
b. Surat Izin Praktik (SIP), yaitu izin yang dikeluarkan bagi
dokter yang menjalankan pekerjaan sesuai bidang profesinya
sebagai swasta perseorangan di samping tugas/fungsi lain pada
pemerintahan atau unit pelayanan kesehatan swasta;
c. Surat Izin Praktik (SIP) semata-mata, yaitu izin yang
dikeluarkan bagi dokter yang menjalankan pekerjaan sesuai
dengan profesinya swasta perseorangan semata-mata, tanpa
tugas pada pemerintah atau unit pelayanan kesehatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Dengan adanya izin tersebut, barulah seorang dokter berwenang
melakukan tugas sebagai pelayan kesehatan, baik pada instansi
pemerintah maupun instansi swasta atau melakukan praktik
perseorangan.
Dari status kepegawaiannya, profesi kesehatan dapat dibagi
menjadi dua: pertama yang bekerja pada Pemerintah atau PNS dan
anggota TNI/POLRI; kedua yang berstatus sebagai tenaga swasta
yang terdiri dari: Pensiunan PNS/TNI POLRI, dokter yang telah
menyelesaikan wajib kerja sarjana dan para pegawai tidak tetap pada
Departemen Kesehatan. Bagi golongan pertama, dokter yang
bersangkutan tunduk pada UU Kepegawaian. Bagi golongan kedua,
mereka tunduk pada ketentuan yang berlaku di luar ketentuan-
ketentuan yang mengatur tentang PNS.
Kesalahan seorang dokter dalam perawatan yang menimbulkan
kerugian bagi pasien mengandung pertanggungjawaban di bidang
hukum administrasi. Terdapat dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang berbunyi terhadap
tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan dan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenankan tindakan disiplin.
Tindakan disiplin adalah salah satu bentuk tindakan administratif,
misalnya pencabutan izin untuk jangka waktu tertentu atau hukuman
lain sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya.
Tujuan hukuman disiplin yang dijatuhkan tehadap tenaga kesehatan
yang melakukan kesalahan, adalah untuk memperbaiki dan mendidik
tenaga kesehatan yang bersangkutan. J ika hukuman disiplin dalam
bidang pelayanan kesehatan diterapkan bagi tenaga kesehatan, maka
akan timbul rasa tanggung jawab yang mendalam dan mendorong
mereka untuk melakukan kewajiban profesi dan mematuhi ketentuan-
ketentuan hukuman yang telah digariskan.
e. Pertanggungjawaban Rumah Sakit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Hampir kebanyakan tuntutan terhadap malpraktek medis terjadinya
di rumah sakit. J ika ada tuntutan malpraktek medis, rumah sakit pun
pasti akan ikut bertanggungjawab. Bila di rumah sakit pemerintah ada
tuntutan dugaan malpraktek medis, maka yang bertanggungjawab
adalah pemerintah itu sendiri. J ika rumah sakit swasta yang
bertanggungjawab adalah badan hukumnya sebagai pemilik (Yayasan,
Perseroan Terbatas, Perkumpulan, dan lain-lain).
J ika dilihat dari segi hukum, tanggung jawab rumah sakit baik
dimiliki pemerintah ataupun swasta tanggungjawabnya sama yakni
dapat dituntut dan dimintakan ganti rugi apabila terbuktikan adanya
kelalaian, baik dari pihak dokter, perawat, bidan ataupun adanya
kelalaian di bidang manajemen rumah sakit.
Salah satu prinsip organisasi, yaitu prinsip authority
menentukan bahwa dalam setiap organisasi apa pun, termasuk juga
organisasi rumah sakit harus ada pucuk pimpinan tertinggi yang
memikul tanggung jawab. Tanggung jawab yuridis dari sebuah rumah
sakit mencakup, (J . Guwandi, 2006:83-88):
1) Tanggungjawab terhadap Personalia
Berdasar prinsip Vicarious Liability, tanggung jawab rumah
sakit terhadap pasien:
a) memilih tenaga dokter yang kompeten dan berkualifikasi;
b) memerikan perintah dan melakukan pengawasan;
c) menyediakan fasilitas dan peralatan yang baik;
d) menentukan sistem yang dibutuhkan untuk keamanan
jalannya rumah sakit.
2) Tanggungjawab terhadap mutu perawatan/Pengobatan (Duty of
Due care)
Tanggungjawab ini termasuk pemberian pelayanan kesehatan,
baik oleh dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya, harus
berdasarkan ukuran standar profesi.
3) Tanggungjawab terhadap sarana dan peralatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Tanggungjawab termasuk peralatan dasar perumahsakitan,
peralatan medik, dan lain-lain. Yang dipentingkan adalah
peralatan tersebut setiap saat harus berada dalam keadaan siap
pakai.
4) Tanggungjawab terhadap keamanan bangunan dan
perawatannya
Misal bangunan yang roboh, genting jatuh sampai mencederai
orang, lantai yang licin sampai ada pengunjung/pasien yang
jatuh dan terjadi fraktur, pasien jatuh dari tingkat atas.
5) Tanggungjawab yuridis dokter-dokter di rumah sakit,
Harus dibedakan antara tiga golongan:
(1) Dokter purna waktu (Organik) yang dapat dibedakan antara:
(a) Pasien rumah sakit
(b) Pasien pribadi dokter
(2) Dokter paruh waktu
(3) Dokter tamu
(1) Dokter Organik:
(a) Pasien rumah sakit
Kelompok dokter organik adalah para dokter yang hanya
menerima imbalan dari rumah sakit dan tidak memungut
honor langsung dari pasien. Mereka bekerja dan
bertindak untuk dan atas nama Rumah sakit.
Prinsip Vicarious Liability yang bertanggungjawab
secara hukum dan harus mengganti kerugian adalah
rumah sakit dimana dokter itu bekerja. J ika tuntutannya
pidana, maka yang bertanggungjawab adalah dokter itu
sendiri, karena tanggungjawab pidana bersifat pribadi.
(b) Pasien Pribadi Dokter
Dokter dalam kelompok ini bisa membuka praktek
sendiri. J ika pasien menuntut ganti rugi, maka yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



bertanggungjawab adalah dokter organik itu sendiri.
Karena ialah yang menerima honor langsung dari pasien.
(2) Dokter Paruh waktu (Part Time)
Di rumah sakit swasta yang merupakan dokter paruh waktu
adalah: dokter spesialis bedah, dokter spesialis anastesi,
dokter obgin, radiolog dan dokter patologi klinik. Dalam
hukum medik terdapat suatu doktrin yang dinamakan
Captain of the Ship doctrine bertanggung jawab terhadap
segala sesuatu yang terjadi selama operasi yang dilakukan
itu berlangsung. Termasuk juga kelalaian tenaga
perawatnya yang juga harus ditanggung secara perdata oleh
dokter tersebut.
(3) Dokter Tamu (Visiting)
Dokter tamu adalah para dokter yang tidak terikat kepada
rumah sakitnya, namun sudah diterima dan diperbolehkan
untuk memakai fasilitas rumah sakit untuk jangka waktu
tertentu. Dokter tamu bisa dari berbagai spesialisasi; bedah,
jantung, anestesi, penyakit dalam, obgin, anak, dan lain-
lain.
Pertanggungjwaban hukum rumah sakit dalam hal badan hukum
yang memilikinya bisa dituntut atas kerugian yang terjadi, bisa secara:
1. Langsung sebagai pihak, pada suatu perjanjian bila ada
wanprestasi;
2. Tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam
pengertian peraturan perundang-undangan melakukan perbuatan
melanggar hukum. (Titik Triwulan Tutik, 2010:52)
f. Pertanggungjawaban Hukum dan Etik dalam Pelayanan
Kesehatan
Penilaian mengenai sejauh mana tindakan dokter jika terjadi
kesalahan atau kelalaian dalam perawatan atau pelayanan kesehatan
dapat dilihat dari dua sisi, pertama dinilai dari sudut etik dan dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



sudut hukum. Dari segi etika profesi, dengan memilih profesi di
bidang kesehatan sudah disyaratkan adanya kecermatan yang tinggi
termasuk berbagai ketentuan yang berlaku bagi dokter. Dengan tidak
mematuhi peraturan itu saja sudah dianggap telah berbuat kesalahan.
Dilihat dari sudut hukum, kesalahan yang diperbuat dokter
meliputi beberapa aspek hukum, yaitu aspek hukum perdata, pidana
dan administrasi. Ketiga aspek ini saling berkaitan satu sama lain.
Untuk dapat menyatakan dokter melakukan suatu kesalahan,
penilaiannya harus beranjak dari transaksi terapeutik, kemudian diihat
dari sudut hukum administrasi, apakah dokter yang bersangkutan
mampu dan berwenang melaksanakan perawatan. Dari sudut hukum
pidana dilihat apakah seorang dokter melakukan kesengajaan dan atau
kelalaian dalam melaksanakan tugasnya sehingga menimbulkan
kerugian bagi orang yang dirawatnya, dan perbuatan itu telah diatur
terlebih dahulu dalam hukum pidana.
Secara yuridis kesalahan yang dilakukan oleh seorang dokter
mempunyai implikasi yang luas dan bersifat multidisipliner. Karena
kode etik dalam kehidupan hukum sangat memegang peranan,
menunjukkan bahwa kode etik membawa peranan yang positif bagi
perkembangan hukum. Misalnya, tindakan seorang dokter yang
mengeluarkan surat keterangan dokter untuk kepentingan
persidangan, visum dokter yang menerangkan keadaan korban.
(Bahder J ohan Nasution, 2005:61-63).








perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user






















BAB IV
PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. a. Sampai saat ini di Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang
secara implisit mengatur mengenai malpraktek medis, yang ada
pengaturan mengenai kesalahan dokter yang menyebabkan larangan
dan bentuk perbuatan dokter yang dapat dijatuhi sanksi pidana,
perdata dan administrasi karena menimbulkan kerugian bagi pasien.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



Menyebabkan tenaga kesehatan maupun penerima jasa kesehatan
tidak mengetahui kriteria jelas terjadinya malpraktek medis sehingga
bila terjadi kerugian kedua belah pihak tidak mendapat perlindungan
hukum.
b. Dari sistem hukum Indonesia diatas, tidak semua sistem hukum
Indonesia berkaitan dengan malpraktek medis. Hanya beberapa
sistem hukum yang mengaturnya, yaitu Hukum Perdata yang
tercantum dalam KUHPerdata, Hukum Pidana tercantum dalam
KUHP dan Hukum Administrasi. Ditinjau dari hierarki sistem hukum
Indonesia tidak semuanya berkaitan dengan malpraktek medis. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada mengenai malpraktek medis.
Sedangkan Undang-Undang yang ada, tidak mengatur secara tegas
dan jelas tetapi beberapa menggambarkan kesalahan dokter yang
menimbulkan kerugian bagi pasien, antara lain : UU No 23 Tahun
1992, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU No 44
Tahun 2009. UUPK memberikan upaya hukum bagi pasien yang
menjadi korban malpraktek medis dapat menuntut upaya hukum
untuk memperoleh keadilan. Peraturan yang tidak masuk dalam
hierarki sistem hukum Indonesia tetapi berkaitan dengan malpraktek
medis antara lain: Peraturan Menteri Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medik, Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin
Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/Menkes/Per/III/2008
tentang Rekam Medis.
c. Belum adanya pengaturan secara khusus tentang malpraktek medis
sampai saat ini, maka sistem hukum yang dapat digunakan untuk
menjerat dugaan malpraktek medis yaitu Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan mendasarkan
pada pasien selaku konsumen dan dokter, rumah sakit selaku
penyedia jasa kesehatan atau produsen. Bila produsen melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



pelanggaran terhadap hak pasien maka dapat dilakukan tuntutan ganti
rugi kepada produsen yang telah menimbulkan kerugian konsumen.
d. Dari Undang-Undang diatas terdapat Undang-Undang yang sudah
tidak berlaku lagi yakni, Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan. Hal tersebut berdasarkan Pasal 85 Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang memberikan
rumusan:
Dengan disahkannya Undang-Undang ini maka Pasal 54 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berkaitan
dengan dokter dan dokter gigi dinyatakan tidak berlaku lagi
Dan lahirnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, dalam Pasal 204 berbunyi:
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

2. Secara yuridis, kasus malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan
dengan bersandar pada pengaturan-pengaturan:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
Konsumen;
e. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
f. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
g. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
h. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik;
i. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



j. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
512/Menkes/Per/IV/2007 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan
Praktik Kedokteran.

B. SARAN

1. Belum adanya hukum dan kajian hukum khusus tentang malpraktek medis
yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan adanya malpraktek
medis, maka perlu disusun peraturan perundang-undangan tentang
malpraktek medis yang jelas, tertata secara sitematis, tersusun
komprehensif dan aplikatif tentang malpraktek medis guna menjamin
terciptanya tertib hukum di Indonesia, yang didalamnya mencakup mulai
dari ketentuan umum malpraktek medis, kriteria, hingga sanksi yang
diterapkan bila terjadi malpraktek medis.
2. Minimnya pengetahuan masyarakat akan kesehatan, dan kepercayaan
masyarakat yang tinggi terhadap dokter menyebabkan masyarakat awam
belum memahami perbuatan-perbuatan dan kesalahan dokter yang dapat
dilaporkan sebagai dugaan malpraktek medis, sehingga masyarakat perlu
mendapat sosialisasi dan pemberitahuan mengenai hak-hak dan kewajiban
baik yang dilakukan oleh dokter maupun rumah sakit serta perlunya
mendapat pendampingan hukum bila terhadap malpraktek medis yang
menimbulkan kerugian pasien.
3. Adanya pembenahan terhadap pola hubungan antar stakeholders (dokter,
perawat, bidan, rumah sakit, klinik, pasien) yang ada sehingga kejadian
malpraktek medis bisa dicegah atau diminimalisir. Pencegahan yang
diberikan berupa adanya lembaga independen yang melakukan pembinaan
dan pengawasan antar stakeholder tersebut bila terjadi malpraktek medis.




perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user























DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang: Bayumedia.
Agus Irianto. 2006. Analisis Yuridis Kebijakan Pertanggungjawaban Dokter
Dalam Malpraktik. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret.
Amiek Sumindriyatmi, 2007. Pengantar Hukum Indonesia. Surakarta: Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Anonim. Geografi Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia) [5
Oktober 2010 pukul 16.00].
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



_______. (http://www.google.co.id/search?q="pengertian+sistem) [5 Oktober
2010 pukul 16.05].
_______. (www.indosiar.com/tags/malpraktek) [5 Oktober 2010 pukul 16.23].
_______. http: //id.wikipedia.org/wiki/Hukum Indonesia . [9 Oktober 2010 pukul
19.56].
_______. Pusatmedis.com/pengertian medis_70htm). [10 Oktober 20101 pukul
12.40 WIB].
Bahder J ohan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan dan Pertanggungjawaban
Dokter. J akarta: PT Rineka Cipta.
Bryan A Garner. 2004. Black Law Dictionary Eight Edition. West: Thomson.
Danny Wiradharma. 1996. Hukum Kedokteran. J akarta: Binarupa Aksara.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Kamus Kedokteran Indonesia.
J akarta: Universitas Indonesia Press.
Hans Kelsen, 2007. Teori Hukum Murni Dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung:
Nusamedia&nuansa.
Hari Wujoso. 2008. Analisis Hukum Tindakan Medik. Surakarta: UNS Press.
J . Guwandi. 2006. Dugaan Malpraktek Medis dan Draft RPP Perjanjian
Terapetik Antara Dokter dan Pasien. J akarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
J ohny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia.
Kasimin. www.bantuanhukum.info, malpraktek tenaga keperawatan. [8 Oktober
2010 pukul 20.00].
Kayus Koyowuan Lewloba. 2008. Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan
(Malpraktek Medis). Bina Widya. Vol. 19, No 3. J akarta.
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=53789&
idc=21 [14 Maret 2011 pukul 20.00].
Lilik Purwastuti Yudaningsih. 2007. Tinajuan Yuridis Terhadap Malpraktek
Medik Dilihat Dari Aspek Hukum Pidana. Majalah Hukum Forum
Medika. Vol. 15, No 1. J ambi.
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=53569&
idc=21 [14 Maret 2011 pukul 20.50].
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user



M. J usuf Hanafiah. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. J akarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC..
Patricia M. Danzon. 1991. Liabillity For Medical Malpractice. Journal Of
Economic Perspectives. Vol 5, No 33. Pennsylvania.
http://hc.wharton.upenn.edu/danzon/html/CV%20pubs/1991_Danzon_Lia
bilityForMedicalMalpractice_J EconPerspectives5.3.pdf. [14 Maret 2011
pukul 19.00].
________________. 2011. Tort Reform : The Case Of medical Malpractice.
Oxford Review of Economic Policy Ltd and Oxford University Press. Vol.
10 No 1. Oxford. http://oxrep.oxfordjournals.org/content/10/1/84.extract. [
15 Maret 2011 Pukul 16.00].
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. J akarta: Kencana Prenada
Media Group.
Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press.
R. Subekti. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. J akarta: PT Pradnya
Paramita.
Salim HS. 2003. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. J akarta:
Sinar Grafika.
Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar).Yogyakarta:
Liberty.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pusat Bahasa. 1999.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. J akarta: Balai Pustaka.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pusat Bahasa. 2005.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. J akarta: Balai Pustaka.
Titik Triwulan Tutik. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. J akarta: Prestasi
Pustaka Publiser.
Y.A. Trianan Ohoiwutun. 2007. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Malang:
Bayumedia.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id










































ommit to user

Anda mungkin juga menyukai