Anda di halaman 1dari 16

RANGKUMAN SEJARAH

KESULTANAN ACEH DARUSSALAM








NAMA KELOMPOK :
Ahmad Hatim A.
Choirul Hanna M. (9)
Magfir Akbar A.A. (16)
Oktiq Kurnia S. (20)
Ringga Adystian (23)



SMA NEGERI 01 REMBANG
TAHUN PELAJARAN 2013/2014
Kerajaan Aceh Darusallam

Sejarah Pendirian
Kesultanan Aceh berdiri setelah samudra pasai mengalami keruntuhan akibat
penyerangan majapahit pada awal abad ke-14. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di
atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya,
seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan
Indrapura (Indrapuri). Menurut Anas Machmud, seperti dinukilkan Badri Yatim,
berpendapat bahwa kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-
puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dia yang membangun kota
Darussalam. Menurutnya, pada masa pemerintahan Muzaffar Aceh Darussalam mulai
mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar Muslim
yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh,
setelah Malaka dikuasai Protugis (1511 M). Sebagai akibat penaklukan Malaka oleh
Portugis tersebut, jalan dagang yang sebelumnya dari laut Jawa ke Utara melalui selat
Karimataterus ke Malaka, pindah melalui selat Sunda dan menyusur pantai Barat
Sumatera, terus ke Aceh. Berbeda pendapat dengan Anas Machmud, H.J. de Graaf
mengatakan kerajaan Aceh Darussalam merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil,
yaitu kerajaan Lamuri dan Atjeh Darul Kamal, sedang Sultannya Ali Mughayat Syah. Dia
menyatukan kembali kerajaan Lumuiri yang telah runtuh dengan nama kerajaan Aceh
Darrusalam dengan Sultan Ali Mughayat Syah sebagai sultannya. Sultan Ali Mughayat
Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September
1507 Masehi. berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari
batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan
Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh).


Raja-raja yang Berkuasa
1) Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
2) Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
3) Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
4) Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
5) Sulthan Muda (1575)
6) Sulthan Sri Alam (1575-1576)
7) Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
8) Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
9) Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
10) Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
11) Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12) Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
13) Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
14) Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
15) Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
16) Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17) Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
18) Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
19) Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20) Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21) Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22) Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
23) Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
24) Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
25) Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
26) Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
27) Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
28) Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
29) Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
30) Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31) Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
32) Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
33) Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
34) Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
35) Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
36) Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
RAJA-RAJA TERMASYUR

Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
Kedatangan bangsa Eropa, dalam hal ini Portugis selaku bangsa Eropa yang
pertama kali tiba di Aceh, menjadi salah satu faktor utama runtuhnya Kerajaan Samudera
Pasai, selain juga disebabkan serangan Majapahit. Pada 1508, atau kurang dari setahun
setelah Sultan Ali Mughayat Syah memproklamirkan berdirinya Kesultanan Aceh
Darussalam, armada Portugis pertama yang dipimpin Diogo Lopez de Sequeira tiba di
perairan Selat Malaka. Armada de Sequeira ini terdiri dari empat buah kapal dengan
perlengkapan perang. Namun, kedatangan rombongan calon penjajah asal Portugis yang
pertama ini tidak membuahkan hasil yang gemilang dan terpaksa mundur akibat
perlawanan dari laskar tentara Kesultanan Malaka.
Pada Mei 1521, penguasa Kesultanan Aceh Darussalam yang pertama, Sultan
Ali Mughayat Syah, memimpin perlawanan dan berhasil mengalahkan armada Portugis
yang dipimpin Jorge de Britto yang tewas dalam pertempuran di perairan Aceh itu.
Dalam menghadapi Kesultanan Aceh Darussalam dan keberanian Sultan Ali Mughayat
Syah, Portugis membujuk Kerajaan Pedir dan Samudera Pasai untuk mendukungnya.
Setelah mengalami kekalahan dari Kesultanan Aceh Darussalam, armada
Portugis kemudian melarikan diri ke Kerajaan Pedir, namun pasukan Aceh Darussalam
tetap mengejar dan sukses menguasai wilayah Kerajaan Pedir. Pihak Portugis bersama
Sultan Ahmad, Raja Kerajaan Pedir, melarikan diri lagi dan mencari perlindungan ke
Samudera Pasai. Pasukan Sultan Ali Mughayat Syah meneruskan pengejarannya dan
berhasil mematahkan perlawanan Pasai pada 1524. Sejumlah besar rampasan yang
berupa alat-alat perang, termasuk meriam, digunakan tentara Aceh Darussalam untuk
mengusir Portugis dari bumi Aceh.
Kekalahan Portugis tersebut sangat memalukan karena pasukan Aceh
Darussalam mendapat barang-barang rampasan dari alat-alat perang milik Portugis yang
lebih memperkuat Aceh Darussalam karenanya (Said a, 1981:187). Sultan Ali Mughayat
Syah memang dikenal sebagai sosok pemimpin yang pemberani dan penakluk yang
handal. Selain berhasil mengusir Portugis serta menundukkan Kerajaan Pedir dan
Samudera Pasai, Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat
Syah, juga meraih kegemilangan dalam menaklukkan beberapa kerajaan lainnya di
Sumatra, seperti Kerajaan Haru, Kerajaan Deli, dan Kerajaan Daya.
Beberapa catatan dari Barat, salah satunya yang ditulis oleh C.R. Boxer,
mengatakan bahwa menjelang tahun 1530 armada perang Kesultanan Aceh Darussalam
sudah mendapat kelengkapan perang yang cukup lengkap dan mutakhir. Bahkan,
sejarawan Portugis sendiri, Fernao Loper de Costanheda, menyebut bahwa Sultan Aceh
(Ali Mughayat Syah) lebih banyak memperoleh pasokan meriam dibandingkan dengan
benteng Portugis di Malaka sendiri. Selain itu, menurut pejalan dari Barat lainnya,
Veltman, salah satu rampasan paling berharga dari Samudera Pasai yang berhasil dibawa
pulang oleh Sultan Ali Mughayat Syah adalah lonceng besar yang kemudian diberi nama
Cakra Dunia. Lonceng bersejarah merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho kepada
Raja Samudera Pasai ketika panglima besar dari Kekaisaran Tiongkok itu berkunjung ke
Pasai pada awal abad ke-15 (Said a, 1981:168).
Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh Darussalam hanya
selama 10 tahun. Menurut prasasti yang ditemukan dari batu nisan Sultan Ali Mughayat
Syah, pemimpin pertama Aceh Darussalam ini meninggal dunia pada 12 Dzulhijah Tahun
936 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 7 Agustus 1530 Masehi. Kendati masa
pemerintahan Sultan Mughayat Syah relatif singkat, namun ia berhasil membangun
kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Sultan Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-
dasar politik luar negeri Kesultanan Aceh Darussalam, antara lain :
Mencukupi kebutuhan sendiri sehingga tidak tergantung pada pihak lain.
Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam lain
di nusantara.
Bersikap waspada terhadap kolonialisme Barat.
Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar.
Menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara.
Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah Al-Kahar (1537-1568)

Tahun 1539, kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dialihkan kepada
anak bungsu Mughayat Syah, yaitu Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau yang sering
dikenal juga dengan nama Sultan Mansur Syah. Adik dari Salah ad-Din ini perlahan-
perlahan mengukuhkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam dengan melakukan
beberapa gebrakan. Tidak lama setelah dinobatkan, pada tahun yang sama Sultan Ala ad-
Din Ri`ayat Syah al-Kahar menyerbu orang-orang Batak yang tinggal di pedalaman.
Menurut Mendez Pinto, pengelana yang singgah di Aceh pada 1539, balatentara
Kesultanan Aceh di bawah pimpinan Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, terdiri
atas laksar-laskar yang antara lain berasal dari Turki, Kambay, dan Malabar (Lombard,
2007:65-66).
Hubungan Kesultanan Aceh Darussalam pada era Sultan Ala ad-Din Ri`ayat
Syah al-Kahar dengan kerajaan-kerajaan mancanegara tersebut memang cukup solid.
Pada 1569, misalnya, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar mengirimkan utusannya
ke Istanbul untuk meminta bantuan meriam. Tidak hanya memberikan meriam beserta
ahli-ahli senjata untuk dikirim ke Kesultanan Aceh Darussalam, penguasa Turki juga
mengirimkan pasukan perang untuk mendukung Aceh melawan Portugis. Bahkan, Sultan
Turki juga memerintahkan Gubernur-Gubernur Yaman, Aden, serta Mekkah untuk
membantu laskar Turki yang sedang bertolak menuju Aceh. Laksamana Turki, Kurt Oglu
Hizir, diserahi memimpin ekspedisi tersebut dengan tugas khusus mengganyang musuh
Aceh, mempertahankan agama Islam, dan merampas benteng-benteng kafir (Said a,
1981:199).
Selain terus berteguh melawan kaum penjajah dari Barat, Sultan Ala ad-Din
Ri`ayat Syah al-Kahar juga melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan lokal
yang membantu Portugis. Pasukan Aceh Darussalam menyerbu Kerajaan Malaka
sebanyak dua kali (tahun 1547 dan 1568), menawan Sultan Johor karena membantu
Portugis, serta berhasil mengalahkan Kerajaan Haru (Sumatra Timur) pada 1564. Untuk
melegalkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam atas Kerajaan Haru, maka
diangkatlah Abdullah, putra pertama Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, untuk
memegang kendali pemerintahan Kerajaan Haru yang sudah takluk dan menjadi bagian
dari kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Namun, berbagai peperangan besar antara
Kesultanan Aceh Darussalam melawan Portugis memakan banyak korban dari kedua
belah pihak yang berseteru. Dalam suatu pertempuran yang terjadi pada 16 Februari
1568, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar kehilangan putra tercintanya, Sultan
Abdullah yang memimpin bekas wilayah Kerajaan Haru.
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar tutup usia pada 8 Jumadil Awal
tahun 979 Hijriah atau 28 September 1571 Masehi.

Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam
(1607-1636)
Pemerintahan baru di bawah komando Sultan Muda alias Sultan Ali Ri`ayat
Syah ternyata menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa pihak, termasuk dari
saudaranya sendiri, yakni Sultan Husin yang berkuasa di Pedir. Rasa tidak puas atas
kepemimpinan Sultan Ali Ri`ayat Syah di Kesultanan Aceh Darussalam juga ditunjukkan
oleh seorang anak muda yang pemberani, bernama Darma Wangsa atau yang dikenal
juga dengan panggilan kehormatan: Perkasa Alam ( kelak menjadi sultan aceh dengan
gelar Sultan Iskandar Muda ). Karena Sultan Ali Ri`ayat Syah memandang bahwa
pergerakan Perkasa Alam cukup membahayakan, maka kemudian Sultan Ali Ri`ayat
Syah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Perkasa Alam. Namun, Perkasa
Alam terlebih dulu mengetahui rencana itu dan lantas meminta perlindungan kepada
Sultan Husin di Pedir.
Sultan Ali Ri`ayat Syah semakin murka dan kemudian dilakukanlah serangan
yang cukup besar terhadap Pedir. Alhasil, Perkasa Alam dapat ditangkap dan
dipenjarakan. Daro balik kurungan, Perkasa Alam mendengar bahaya-bahaya yang terjadi
akibat agitasi Portugis dan tidak stabilnya kondisi rakyat Kesultanan Aceh Darussalam
karena ketidakbecusan Sultan Ali Ri`ayat Syah. Maka dari itulah, Perkasa Alam
kemudian mengirimkan pesan kepada Sultan Ali Ri`ayat Syah bahwa sekiranya dia
dibebaskan dari penjara dan diberi perlengkapan senjata, dia berjanji akan dapat mengusir
Portugis dari Bumi Serambi Mekkah. Boleh jadi karena Sultan Ali Ri`ayat Syah sudah
frustasi dengan kekisruhan yang ditimbulkan oleh Portugis, maka permintaan Perkasa
Alam tersebut dikabulkan.
Perkasa Alam kemudian memimpin perang melawan Portugis secara habis-
habisan dan hasilnya memang tidak mengecewakan. Sekitar 300 orang serdadu Portugis
tewas akibat serangan jitu yang dikomandani Perkasa Alam. Benteng yang diduduki
Portugis dapat direbut kembali oleh pasukan Perkasa Alam. Karena mengalami
kekalahan terbesar, Portugis memutuskan untuk lari dari Aceh dan mundur ke Malaka.
Namun, di tengah jalan mereka berpapasan dengan armada Belanda yang kemudian
menyerang mereka sehingga Portugis benar-benar terpukul mundur dan hancur.
Tanggal 4 April 1607, Sultan Ali Ri`ayat Syah mangkat. Terjadilah sedikit
ketegangan sepeninggal Sultan Ali Ri`ayat Syah ihwal siapa yang berhak menyandang
gelar sebagai Sultan Aceh Darussalam berikutnya. Perkasa Alam muncul sebagai
kandidat terkuat karena didukung oleh segenap tokoh adat yang berpengaruh. Tidak
seberapa lama, tersiarlah kabar bahwa Perkasa Alam didaulat menjadi penguasa
Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan baru inilah yang kemudian terkenal dengan nama
Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Kendati suasana berlangsung
sedikit tegang, namun dalam waktu yang relatif tidak lama, Perkasa Alam atau yang
bergelar sebagai Sultan Iskandar Muda, mampu menguasai keadaan dengan
mengkoordinir alat-alat pemerintah, sipil, dan militer, sehingga kedudukannya sebagai
Sultan Aceh Darussalam semakin teguh.
Perkasa Alam lahir pada 1590. Anak muda gagah perkasa ini adalah
keturunan dari pemimpin Aceh Darussalam terdahulu, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-
Kahar. Perkasa Alam juga dikenal dengan beberapa nama lain, di antaranya
Darmawangsa dan Tun Pangkat. Setelah memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan
Aceh Darussalam dan menyandang nama Sultan Iskandar Muda, gelarnya pun bertambah
sebagai Mahkota Alam. Selain itu, Sultan Aceh Darussalam yang terbesar ini juga
dikenal dengan nama kehormatan Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat. Kadang-kadang
orang menyebutnya dengan menyatukan nama-nama itu, yakni menjadi Perkasa Alam
Maharaja Darmawangsa Tun Pangkat.
Berbagai nama dan gelar ini menunjukkan betapa mashurnya Sultan Iskandar
Muda, baik di dalam maupun di luar Aceh, di dalam dan di luar kepulauan nusantara,
sejak masa itu dan untuk beberapa waktu lamanya, bahkan hingga kini. Di dalam negeri
Aceh sendiri tidak ada seorang putra Aceh yang tidak mengenal nama ini dari masa itu.
Tiap-tiap orang sampai ke pelosok, tahu siapa Iskandar Muda, demikian sejak beratus-
ratus tahun hingga sekarang (Said a, 1981:282).
Setelah berjaya menduduki tahta tertinggi Kesultanan Aceh Darussalam,
Perkasa Alam yang bergelar Sultan Iskandar Muda segera merancang program untuk
meluaskan wilayah Kesultanan Aceh Darussalam. Beberapa misi yang diusung dalam
rangka program tersebut adalah antara lain :
1. Menguasai seluruh negeri dan pelabuhan di sebelah-menyebelah Selat Malaka,
dan menetapkan terjaminnya wibawa atas negeri-negeri itu sehingga tidak
mungkin kemasukan taktik licik pemecah-belah devide et impera yang
diterapkan kaum penjajah dari Barat.
2. Memukul Johor supaya tidak lagi dapat ditunggangi oleh Portugis ataupun
Belanda.
3. Memukul negeri-negeri di sebelah timur Malaya, sejauh yang merugikan
pedagang-pedagang Aceh dan usahanya untuk mencapai kemenangan dari
musuh, seperti Pahang, Patani, dan lain-lain.
4. Memukul Portugis dan merampas Malaka.
5. Menaikkan harga pasaran hasil bumi untuk ekspor, dengan jalan memusatkan
pelabuhan samudera ke satu pelabuhan di Aceh, atau sedikit-dikitnya
mengadakan pengawasan yang sempurna sedemikian rupa sehingga kepentingan
kerajaan tidak dirugikan (Said a, 1981:285).
Semenjak Sultan Iskandar Muda memegang kendali pemerintahan Kesultanan
Aceh Darussalam, wilayah Aceh sendiri di sebelah timur sampai ke Tamiang disusun
kembali, dan di sebelah barat, terutama daerah-daerah di luar Aceh yang sudah dikuasai,
seperti Natal, Paseman, Tiku, Pariaman, Salida, dan Inderapura, kembali dipercayakan
kepada pembesar-pembesar yang cukup berwibawa dan ahli menjalankan tugas untuk
mengatur cukai-cukai dan pendapatan lain bagi pemasukan Kesultanan Aceh Darussalam.
Sementara itu, setelah kekalahan Portugis, Belanda pun harus berpikir ulang
dalam meneruskan usahanya untuk menduduki Aceh karena memperhitungkan posisi
Sultan Iskandar Muda. Maka dari itu, sejak tahun 1606, Belanda lebih memusatkan
perhatiannya ke tempat-tempat lain di luar Aceh. Mau tidak mau, Belanda harus
memasang siasat dengan mendahulukan kepentingan untuk menguasai tempat-tempat
lain, terutama Jawa dan Maluku. Belanda, di bawah kendali Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon Coen, memimpin Hindia Belanda sebanyak dua periode yakni pada 1619
1623 dan 16271629, sangat sadar bahwa Aceh saat itu tidak akan bisa dihadapi dengan
cara militer. Coen menganggap lebih baik menjalankan politik adu domba atau pemecah
belah saja. Tidak hanya Belanda saja yang gentar melihat kebesaran Kesultanan Aceh
Darussalam di bawah komando Sultan Iskandar Muda, Inggris pun merasakan kecemasan
yang sama. Untuk itulah kemudian Inggris lebih berkonsetrasi untuk beroperasi di
daerah-daerah yang bukan menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam memiliki angkatan perang yang kuat sehingga
mendukung upaya Sultan Iskandar Muda untuk meluaskan daerah kekuasaannya. Dalam
masa Sultan Iskandar Muda, seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulu telah berada
dalam kuasa Aceh Darussalam. Di tempat-tempat tersebut, terutama di pelabuhannya
seperti Pariaman, Tiku, Salida, Indrapura, dan lain-lainnya, ditempatkanlah seorang
panglima untuk memimpin masing-masing daerah taklukan. Kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam di bawah Sultan Iskandar Muda juga sudah meluas di seluruh Sumatra
Timur. Dengan jatuhnya Pahang, Kedah, Patani, dan Perak, boleh dikatakan masa itu
Semenanjung Melayu dengan Sumatra Timur, termasuk Siak, Indragiri, Lingga, serta
wilayah-wilayah di selatannya, di mana di dalamnya terdapat Palembang dan Jambi,
sudah menjadi bagian dari imperium Kesultanan Aceh Darussalam.

Pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar
Muda diuraikan sebagai berikut:
1. Wilayah Aceh Raja
Dibagi dalam tiga Sagoi (ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara dengan
kecamatan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Panglima
Sagoe, yaitu:
Sagoe XXII Mukim,
Sagoe XXV Mukim
Sagoe XXVI Mukim.
Di bawah tiap-tiap Panglima Sagoe terdapat beberapa Uleebalang dengan daerahnya yang
terdiri dari beberapa Mukim (ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara dengan
kelurahan/desa). Di bawah Uleebalang terdapat beberapa Mukim yang dipimpin oleh
seorang kepala yang bergelar Imeum. Mukim terdiri dari beberapa kampung yang
masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Keutjhi.
2. Daerah Luar Aceh Raja
Daerah ini terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin oleh seorang kepala
yang bergelar Uleebalang Keutjhi. Wilayah-wilayah di bawahnya diatur sama dengan
aturan wilayah yang berlaku di Daerah Aceh Raja.
3. Daerah yang Berdiri Sendiri
Di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam terdapat juga daerah-daerah
yang tidak termasuk ke dalam lingkup Daerah Aceh Raja ataupun Daerah Luar Aceh
Raja. Daerah-daerah yang berdiri di perintahkan oleh uleebalang untuk tunduk kepada
Sultan Aceh Darussalam (hasjmy, 1961:3).
pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-
1636) merupakan masa kebanggaan dan kemegahan, tidak hanya dalam hal pengaruh dan
kekuasaan, tetapi juga di bidang penertiban susunan pemerintahan, terutama dalam hal
mengadakan penertiban perdagangan, kedudukan rakyat sesama rakyat (sipil), kedudukan
rakyat terhadap pemerintah, kedudukan sesama anggota pemerintahan, dan sebagainya.
Sultan Iskandar Muda telah merumuskan perundang-undangan yang terkenal dengan
sebutan Adat Makuta Alam yang disadur dan dijadikan landasan dasar oleh sultan-sultan
setelahnya.
Penertiban hukum yang dibangun Sultan Iskandar Muda memperluas
kebesarannya sampai ke luar negeri, antara lain India, Arab, Turki, Mesir, Belanda,
Inggris, Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Banyak negeri tetangga yang mengambil
aturan-aturan hukum di Aceh untuk ditiru dan diteladani, terutama karena peraturan itu
berunsur kepribadian yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama. Dengan
demikian, Adat Makuta Alam yang dicetuskan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda adalah adat yang bersendi syara`. Hukum yang berlaku di Kesultanan Aceh
Darussalam ada dua yakni hukum Islam dan hukum adat.

Dalam makalah bertajuk Ichtisar Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan
Iskandar Muda (1961) yang ditulis oleh A. Hasjmy disebutkan, susunan pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda menempatkan Sultan
sebagai penguasa tertinggi pemerintahan, baik dalam bidang eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif. Sebagai penguasa tertinggi, Sultan memiliki hak-hak istimewa, antara lain:
1. Pembebasan orang dari segala macam hukuman.
2. Membuat mata uang.
3. Memperoleh hak panggilan kehormatan Deelat atau Yang Berdaulat.
4. Mempunyai kewenangan untuk mengumumkan dan memberhentikan perang.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, Sultan Aceh Darussalam dibantu oleh beberapa
lembaga pendukung kesultanan, yaitu antara lain:
1. Majelis Musyawarah
Ketua dari majelis ini adalah Sultan Aceh Darussalam sendiri, sedangkan
wakilnya adalah Wazir A`am (Menteri Pertama), dan anggota-anggotanya diangkat dari
kalangan beberapa menteri serta dari kaum cerdik-pandai.
2. Pengadilan Sultan (Mahkamah Agung)
Sultan Aceh Darussalam juga menjadi ketua dari lembaga pengadilan tertinggi ini,
sedangkan sebagai wakil adalah Ketua Kadhi Malikul Adil, dan anggota-anggotanya
diangkat dari kalangan ulama dan cerdik-pandai.
3. Majelis Wazir (Dewan Menteri)
Sultan Aceh Darussalam duduk sebagai ketua majelis ini, sedangkan Wazir
A`am (Menteri Pertama) bertindak sebagai wakilnya, dan anggota-anggotanya adalah
dari kalangan para menteri kesultanan.
Selain itu, Sultan Aceh Darussalam bertindak sebagai Panglima Tertinggi
Angkatan Perang dan dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Perang yang bergelar
Laksamana sebagai wakilnya. Sultan juga berposisi sebagai Pemimpin Tertinggi
Kepolisian yang dibantu oleh Kepala Polisi Negara selaku wakilnya. Ibukota
Kesultanan Bandar Aceh Darussalam (termasuk istananya) berada langsung di bawah
pimpinan Sultan yang dibantu oleh pejabat dengan gelar Teuku Panglima Kawaj
sebagai wakilnya. Di samping itu, Sultan dibantu pula oleh dua orang Sekretaris
Kesultanan yang terdiri dari dua gelar, yaitu (1) Teuku Keureukon Katibumuluk Sri
Indrasura (jabatan ini kira-kira seperti Menteri Sekretaris Negara), dan (2) Teuku
Keureukon Katibulmuluk Sri Indramuda (semacam Ajun Sekretaris Negara) (Hasjmy,
1961:2).
Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh Darussalam
mengalami puncak masa keemasan. Permintaan akan lada, yang kala itu menjadi
komoditas yang cukup laku di pasaran Eropa, terus meningkat sehingga harganya pun
melambung tinggi. Dalam keadaan demikian, bisa dikatakan hampir seluruh bandar
dagang dan pelabuhan yang menghasilkan lada di seantero Sumatra dan Malaya,
demikian juga dengan hasil-hasil lainnya, termasuk timah, telah berada di dalam
koordinasi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Penduduk Aceh sangat gemar berniaga.
Mereka berbakat dagang karena memiliki cukup banyak pengalaman dalam bidang
tersebut. Selain itu, kebanyakan masyarakat Aceh juga ahli dalam sektor pertukangan.
Banyak di antara penduduk Aceh yang bermatapencaharian sebagai tukang emas, tukang
meriam, tukang kapal, tukang besi, tukang jahit, tukang periuk, tukang pot, dan juga suka
membuat berbagai macam minuman. Mengenai alat transaksi yang digunakan, pada
sekitar abad ke-16, masyarakat Aceh yang bernaung di bawah pemerintahan Kesultanan
Aceh Darussalam sudah mengenal beberapa jenis mata uang. Uang yang digunakan di
Aceh kala itu terbuat dari emas, kupang, pardu, dan tahil (Said a, 1981:219).Tidaklah
mengherankan jika perekonomian Kesultanan Aceh Darussalam semakin mantap. Kas
kesultanan bertambah penuh, pembangunan angkatan perang dapat diselenggarakan
dengan lancar, demikian juga dengan pembangunan di sektor-sektor lain.
Di sisi lain, Sultan Iskandar Muda ternyata masih penasaran dengan Portugis
yang berlindung di Malaka. Aceh melihat kedudukan Portugis di Malaka merupakan
suatu ancaman besar. Kendati sudah dalam kondisi terdesak, Portugis masih saja
melakukan kegiatannya dengan menghubungi negeri-negeri kecil yang sudah berada
dalam kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Jadi, mau tidak mau Malaka dan
Portugis harus dikalahkan dan untuk itu rencana menyerang Malaka tetap merupakan
program yang selalu harus dijalankan dengan segera. Realisasi dari rencana itu terjadi
pada 1629 di mana angkatan perang Kesultanan Aceh Darussalam menyiapkan pasukan
berkekuatan 236 buah kapal dengan 20.000 prajuritnya.
Ketika armada perang Kesultanan Aceh Darussalam tiba di perairan Malaka,
terlibatlah pertempuran di laut melawan armada Portugis. Aceh menang telak dalam
perang ini sehingga pecahlah kekuatan angkatan laut Portugis. Hal yang sama juga terjadi
dalam pertempuran darat. Angkatan perang Aceh Darussalam yang perkasa mengurung
laskar tentara Portugis selama berbulan-bulan hingga tidak berkutik. Meski di atas angin,
namun Sultan Iskandar Muda ternyata bisa lalai juga. Karena terlalu berkonsentrasi
dalam upaya pengepungan, angkatan perang Aceh Darussalam tidak memperhitungkan,
dengan tidak mengadakan penjagaan yang ketat di laut, adanya bantuan-bantuan dari luar
kepada Portugis. Portugis sendiri telah mengantisipasi strategi pengepungan oleh Aceh
Darussalam dengan menyediakan bahan makanan di dalam benteng untuk berbulan-bulan
lamanya.
Pemimpin terbesar Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda,
akhirnya meninggal dunia pada 28 Rajab 1046 Hijiriah atau 27 Desember 1636 Masehi,
dalam usia yang relatif masih muda, 46 tahun. Menurut T.H. Zainuddin seperti yang
dikutip oleh H. Mohammad Said dalam bukunya bertajuk Aceh Sepanjang Abad
(Waspada Medan, 1981), Sultan Iskandar Muda mempunyai 3 orang anak. Pertama
adalah seorang anak perempuan bernama Puteri Sri Alam, yang merupakan buah hati
Sultan dengan Permaisuri dari Reubee. Kedua, dari selir yang berasal dari Habsyi, Sultan
Iskandar Muda memperoleh anak lelaki bernama Imam Hitam, yang kelak menurunkan
Panglima Polim. Anak terakhir Sultan Iskandar Muda adalah Meurah Peupok, diperoleh
dari istri selir yang berasal dari Gayo. Menurut adat serta hukum yang berlaku di Aceh
saat itu, anak dari selir tidak bisa diangkat menjadi raja (Said a, 1981:332). Sepeninggal
Sultan Iskandar Muda, eksistensi Kesultanan Aceh Darussalam masih terus berlanjut
kendati belum bisa mencapai kejayaan seperti yang diperoleh semasa kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda.














KERUNTUHAN

Setelah era kebesaran Sultan Iskandar Muda berakhir, Belanda mencium
peluang untuk kembali mengusik tanah Aceh. Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh
mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris. Pada akhir abad ke-18, wilayah
kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh
Inggris. Tahun 1871, Belanda mulai mengancam Aceh, dan pada 26 Maret 1873, Belanda
secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal
menaklukkan Aceh. Pada 1883, 1892 dan 1893, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi
Belanda gagal merebut Aceh.
Memasuki abad ke-20, dilakukanlah berbagai cara untuk dapat menembus
kokohnya dinding ideologi yang dianut bangsa Aceh, termasuk dengan menyusupkan
seorang pakar budaya dan tokoh pendidikan Belanda, Dr. Snouck Hugronje, ke dalam
masyarakat adat Aceh. Snouck Hugronje sangat serius menjalankan tugas ini, bahkan
sarjana dari Universitas Leiden ini sempat memeluk Islam untuk memperlancar misinya.
Di dalaminya pengetahuan tentang agama Islam, demikian pula tentang bangsa-bangsa,
bahasa, adat-istiadat di Indonesia dan perihal yang khusus mengenai pengaruh-
pengaruhnya bagi jiwa dan raga penduduk (H. Mohammad Said b, 1985:91). Snouck
Hugronje menyarankan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda agar mengubah
fokus serangan yang selama ini selalu berkonsentrasi ke Sultan dan kaum bangsawan,
beralih kepada kaum ulama. Menurut Snouck Hugronje, tulang punggung perlawanan
rakyat Aceh adalah kaum ulama. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat
Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada kaum ulama Aceh tersebut. Secara lebih
detail, Snouck Hugronje menyimpulkan hal-hal yang harus dilakukan untuk dapat
menguasai Aceh, antara lain :
1. Hentikan usaha mendekat Sultan dan orang besarnya.
2. Jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang aktif,
terutama jika mereka terdiri dari para ulama.
3. Rebut lagi Aceh Besar.
4. Untuk mencapai simpati rakyat Aceh, giatkan pertanian, kerajinan, dan
perdagangan.
5. Membentuk biro informasi untuk staf-staf sipil, yang keperluannya memberi
mereka penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal ihwal rakyat
dan negeri Aceh.
6. Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh
dan membikin korps pangrehpraja senantiasa merasa diri kelas memerintah
(Said b, 1985:97).
Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda
dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah
yang dibakar Belanda. Saran Snouck Hugronje membuahkan hasil: Belanda akhirnya
sukses menaklukkan Aceh. Pada 1903, kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam
semakin melemah seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda.
Setahun kemudian, tahun 1904, hampir seluruh wilayah Aceh berhasil dikuasai
Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya
terhadap penjajah. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh adat dan masyarakat
tetap berlangsung. Aceh sendiri cukup banyak memiliki sosok pejuang yang bukan
berasal dari kalangan kerajaan, sebut saja: Chik Di Tiro, Panglima Polim, Cut Nya`
Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, dan lain-lainnya.












Daftar Pustaka
file:///C:/Users/lenovo/Downloads/Kerajaan%20Aceh%20Darussala
m%20~%20The%20History%20Of%20Aceh.htm
file:///C:/Users/lenovo/Downloads/Sejarah%20Lengkap%20%20%2
0Kesultanan%20Aceh%20Darussalam%20(Mengulas%20Lebih%20
Detail)%20%E2%80%94%20ATJEHCYBER%E2%84%A2.htm

Anda mungkin juga menyukai