Anda di halaman 1dari 15

BAB I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelainan mata yang diakibatkan oleh infeksi virus herpes simpleks meliputi
bleparitis, konjungtivitis, keratitis, uveitis, dan glaukoma sekunder. Keratitis herpes
simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh infeksi virus Herpes
simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Di negara-negara barat 9! dari populasi orang
de"asa dilaporkan memiliki antibodi terhadap herpes simpleks. #amun demikian,
hanya kurang dari 1! yang menimbulkan kelainan pada mata. $ebagian besar bersifat
sub-klinis dan tidak terdiagnosis. %rekuensi keratitis herpes simpleks di
&merika$erikat sebesar '! di antara seluruh kasus kelainan mata. Di #egara- negara
berkembang insidensi keratitis herpes simpleks berkisar antara ',9-2,( per 1.
orang tiap tahunnya. Di )an*ania +'-,! ulkus kornea disebabkan oleh keratitis
herpes simpleks.
B. Tujuan Penulisan
-enulisan referat ini ditujukan untuk mengetahui gejala, tanda, komplikasi,
penatalaksanaan keratitis herpes simpleks
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 KERATITIS HERPES SIMPLEKS
A. Deinisi
Keratitis herpes simpleks merupakan peradangan pada kornea yang
disebabkan oleh infeksi virus herpes simpleks tipe . maupun tipe ... Herpes Simpleks
Virus /H$01 merupakan virus D#& rantai ganda yang termasuk ke dalam famili
herpesviridae. 2engandung + komponen pembentuk utama. 3agian inti yang
mengandung D#& virus, membran sel dan 4asid. Tegument terletak di antara kapsid
dan selubung serta berbagai protein yang dikirim ke dalam sel yang terinfeksi selama
fusi.
5ambar struktur H$0
B. Pat!l!gi
H$0 adalah virus D#& yang umumnya menyerang manusia. .nfeksi terjadi
oleh kontak langsung kulit atau membran mukosa dengan lesi virus-laden atau
sekresinya. H$0 yang menyerang manusia terdiri dari dua tipe yaitu H$0 tipe 1 dan
tipe 2. H$0 tipe 1 /H$0-11 infeksinya terutama pada daerah orofasial dan o4ular,
sementara H$0 tipe 2 /H$0-21 umumnya ditularkan melalui hubungan seksual dan
menyebabkan penyakit genitalia. H$0-2 jarang namun dapat menginfeksi mata
melalui kontak orofasial dengan lesi genitalia dan se4ara tidak sengaja ditularkan
kepada neonatus ketika neonatus lahir se4ara normal pada ibu yang teinfeksi H$0-2.
Keratitis herpetika yang disebabkan oleh herpes simpleks dibagi dalam 2
bentuk yaitu epitelial dan stromal. -erbedaan ini perlu dipahami karena mekanisme
kerusakannya yang berbeda.
-ada yang epitelial kerusakan terjadi akibat pembelahan virus di dalam sel
epitel, yang akan mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk ulkus kornea
superfisial. $edangkan pada yang stroma diakibatkan reaksi imunologik tubuh pasien
sendiri terhadap virus yang menyerang. Karena kornea merupakan bangunan yang
avaskuler, maka pertahanan pada "aktu peradangan tidak bereaksi dengan 4epat,
seperti jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. $ehingga badan kornea,
wandering cells dan sel-sel lainnya yang terdapat di dalam stroma kornea akan segera
bekerja sebagai makrofag yang kemudian akan disusul dengan terjadinya dilatasi dari
pembuluh darah yang terdapat di limbus dan akan tampak sebagai injeksi perikornea.
Kemudian akan terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel plasma dan sel
polimorfonuklear yang akan mengakibatkan timbulnya infiltrat yang selanjutnya
dapat berkembang dengan terjadinya kerusakan epitel dan timbulla ulkus /tukak1
kornea.
-ada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan
jaringan parut /sikatrik1, yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. #ebula bila
ulkus tidak terlalu dalam dan tampak sebagai ber4ak seperti a"an, yang hanya dapat
dilihat di kamar gelap dengan 4ahaya buatan. 2akula, terjadi bila ulkus lebih dalam
dan tampak sebagai ber4ak putih yang tampak di kamar biasa. 6eukoma, didapat bila
ulkus lebih dalam lagi dan tampak sebagai ber4ak putih seperti porselen, yang sudah
tampak dari jarak jauh.
". Maniestasi Klinis
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. lnfeksi primer ditandai oleh adanya de- mam, malaise, limfadenopati
preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 27+ kasus terjadi keratitis
epitelial. Kira-kira 98-99! kasus bersifat unilateral, "alaupun pada 8! atau lebih
dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik. .nfeksi primer dapat
terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur , bulan-' tahun atau 1,-2'
tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 8
tahun ke atas.
5ejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi9 nro4os, fotofobia, injeksi
perikornea, dan penglihatan kabur. 3erat ringannya gejala-gejala iritasi tidak
sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas
kornea. Dalam hal ini harus di"aspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai
hipestesi kornea, misalnya pada9 herpes *oster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan
dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik.
5ejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia.
.nfeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-+ minggu pas4a infeksi primer.Dengan
mekanisnie yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau
ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n. trigeminus,
dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. #amun akhir-akhir ini
dibuktikan bah"a jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus
herpes simpleks.
3eberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi kambuhan antara lain9
demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional, pemaparan sinar matahari
atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi imunosupresi. Keratitis herpes
simpleks kambuhan atau la*im disebut keratitis herpes simpleks dibedakan atas
bentuk superfisial, profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis.
Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geo- grafik. Keratitis
dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan okh
perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulka: kematian set serta membentuk
defek dengan gambaran ber4abang. Keratitis dendritika dapat berkembang menjadi
keratitis geografika, hat ini terjadi akibat bentukan ulkus ber4abang yang melebar dan
bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta
geografi dengan kaki 4abang mengelilingi ulkus. Keratitis herpes simpleks bentuk
dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes *oster, pada herpes *oster bukan suatu
ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mucus plaques; selain itu,
bentuk dendriform lebih ke4il. Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus
metaherpetik, dalam hat ini terjadi perobekan membrana basalis. <lkus metaherpetik
bersifat steril, deepitelisasi meluas sampai stroma. <lkus ini berbentuk bulat atau
lonjong dengan ukuran beberapa mm dan bersifat tunggal. -ada kasus ini dapat
dijumpai adanya edema stroma yang berat disertai lipatan membrana Des4emet.
=eaksi iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. =eflek lakrimasi
berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatiftidak 4ukup. <lkus
metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. <ntuk
penyembuhannya memerlukan "aktu sekurang-kurangnya , minggu.
)erdapat dua bentuk keratitis stroma, yaitu keratitis disciform dan keratitis
interstitial. Keratitis disciform dihipotesiskan sebagai reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, sedang keratitis interstitialis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas imun
komp1ek. Karakteristik keratitis disciform berupa edema stroma berbentuk lonjong
atau gambaran meilingkar seperti 4akram dengan ukuran diameter '( mm, biasanya
disertai infiltrat ringan. >dema dapat terbatas pada bagian depan stroma, tetapi dapat
juga meluas ke seluruh tebal stroma. Keratic precipitates biasanya dijumpai
menempel di endotel kornea belakang daerah edema. Keluhan penderita antara lain9
penglihatan kabur, nrocos, rasa tidak enak, dan fotofobia terjadi bila disertai ada- nya
iritis. -ada kasus yang ringan, tanpa disertai nekrosis dan neovaskularisasi
penyembuhan dapat terjadi dalam beberapa bulan tanpa meninggalkan sikatriks. -ada
kasus yang berat, penyembuhan memerlukan "aktu sampai 1 tahun atau lebih, bahkan
sering terjadi penyullt berupa penipisan kornea maupun perforasi. Keratitis disciform
dapat pula terjadi akibat infeksi herpes *oster, varisela, 4ampak, keratitis karena bahan
kimia, dan trauma tumpul yang mengenai kornea. -ada keratitis disciform dapat
diisolir virus herpes simpleks dan 4airan akuos.
Keratitis instertitialis memiliki bentuk bervariasi, lesi dapat tunggal maupun
beberapa tempat. 5ambaran klinisnya bahkan dapat mirip keratitis bakteri maupun
jamur. .nfiltrat tampak mengelilingi daerah stroma yang edema, dan dijumpai adanya
neovaskularisasi. Kadang-kadang dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih
dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi
antigen antibodi virus herpes simpleks. 3eberapapenyulit keratitis stroma antara lain9
kornea luluh, des4emeto4ele, penipisan kornea, superinfeksi, dan perforasi. )erjadinya
kornea luluh disebabkan oleh mekanisme aktif en*im kolagenase, nekrosis, replikasi
virus, dan efek steroid. >n*im ko-lagenase dilepaskan oleh sd epitel rusak, sel
polimorfonuklear, dan fibroblas selama reaksi radang.
D. Klasiikasi
Hogan dkk. /19,81 membuat kiasifikasi diagnosis keratitis herpes simpleks
sebagai berikut9
1. $uperfisial, dibedakan atas bentuk dendritika, dendritika dan stroma, geografika.
2. -rofunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan penyembuhan, stroma
dan ulserasi.
+. <veitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal keratouveitisdibedakan
atas bentukulserasi dan non ulserasi.
Klasifikasi tersebut ternyata kurang sempurna, karena bentuk keratitis
pungtata yang merupakan a"al keratitis dendnitik tidak dimasukkan. $elain itu, pada
beberapa kasus yang berat ternyata dijumpai glaukoma sekunder yang diakibatkan
oleh radang jaringan trabekulum. <ntuk membuat diagnosis, seka- rang ini dianut
kiasifikasi yang dibuat oleh -avan-6angston /19?+1 sebagai berikut 9
1. <lserasi epitelial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika, dendrogeografika,
geografika.
2. <lserasi trophik atau meta herpetika.
+. $troma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis.
8. <veitis anterior dan trabekulitis.
Klasifikasi menurut -avan-6angston inipun belum sempurna, mengingat sangatjarang
ditemukan kasus uveitis anterior maupun trabekulitis yang berdiri sendini tanpa
melibatkan adanya keratitis.
E. Diagn!sis
-emeriksaan pada Kornea
1. <ji %luoresein
<ji untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. @aranya kertas fluoresein
dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologis kemudian diletakkan pada sa44us
konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu penderita diberi anestesi lokal.
-enderita diminta menutup matanya selama 2 detik, kemudian kertas diangkat.
Defek kornea akan terlihat ber"arna hijau sebagai uji fluoresein positif.
2. <ji %istel
<ji untuk mengetahui letak dan adanya kebo4oran kornea. -ada konjungtiva
inferior ditaruh kertas fluoresein. 3ila terdapat fistel kornea akan terlihat
pengaliran 4airan mata ber"arna hijau.
+. <ji -la4ido
<ntuk melihat kelengkungan kornea. @aranya dengan memakai papan plasido
yaitu papan dengan gambaran lingkaran konsentris putih hitam yang menghadap
pada sumber 4ahaya, sedang pasien berdiri membelakangi sumber 4ahaya. 2elalui
lubang di tengah dilihat gambaran bayangan plasido pada kornea. #ormal
bayangan plasido pada kornea berupa lingkaran konsentris.
8. <ji $ensibilitas Kornea
<ji untuk menilai fungsi saraf trigeminus kornea. @aranya dengan meminta
penderita melihat jauh ke depan, kemudian dirangsang dengan kapas basah dari
bagian lateral kornea. 3ila terdapat refleks mengedip, rasa sakit atau mata berair
berarti fungsi saraf trigeminus dan fasial baik.
-emeriksaan -enunjang
Diagnosis keratitis herpes simpleks kadang-kadang sulit dibedakan dengan
kelainan kornea yang lain. Dalam hal ini pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan
untuk membedakan dengan keratitis lain, misalnya keratitis bakteri, jamur, dan trauma
kimia. 0irus herpes dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakkan. -ada keadaan
tidak terdapat lesi dapat diperiksa antibodi H$0. -emeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pusat-pusat penelitian adalah 9
1. 2ikroskop 4ahaya 9 sampel berasal dari sel-sel di dasar lesi, atau apusan pada
permukaan mukosa, atau dari biopsi, mungkin ditemukan intranuklear inklusi
/6ipshut* in4lusion bodies1. $el-sel yang terinfeksi dapat menunjukkan sel yang
membesar menyerupai balon /balloning1 dan ditemukan fusi.
2. Kultur virus dari 4airan vesikel pada lesi /A1 untuk H$0 adalah 4ara yang paling
baik karena paling sensitif dan spesifik dibanding dengan 4ara-4ara lain. H$0
dapat berkembang dalam 2-+ hari. Bika tes ini /A1, hampir 1! akurat, khususnya
jika 4airan virus dalam sel ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sitoplasmik,
degenerasi balon dan sel raksasa berinti banyak. $ejak virus sulit untuk
berkembang, hasil tesnya sering /-1. #amun 4ara ini memiliki kekurangan karena
"aktu pemeriksaan yang lama dan biaya yang mahal.
+. 2ikroskop elektron 9 mikroskop elektron tidak sensitif mendeteksi H$0, ke4uali
pada kasus dengan 4airan pada vesikel mengandung 1? atau lebih partikel per
millimeter.
8. -emeriksaan antigen langsung 9 sel-sel dari spesimen dimasukkan dalam aseton
yang dibekukan. )api yang lebih sensitif adalah dengan menggunakan 4ahay
elektron /9! sensitif, 9! spesifik1 tetapi tidak dapat di4o4okkan dengan kultur
virus.
'. $erologi 9 dengan >n*yme-6inked .mmunosorbent &ssays />6.$&s1 dan H$0-..
serologi4 assay, immunofluoresensi, immunoperoksidasi dapat mendeteksi
antibodi yang mela"an virus. )es ini dilakukan se4ara imunologik memakai
antibodi poliklonal atau monoklonal. Deteksi antigen se4ara langsung dari
spesimen sangat potensial, 4epat dan dapat merupakan deteksi paling a"al pada
infeksi H$0. -emeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluoresensi
langsung memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil positif
palsu dan negatif palsu. Dengan memakai antibodi monoklonal pada pemeriksaan
imunofluoresensi, dapat ditentukan tipe virus. -emeriksaan antibodi monoklonal
dengan 4ara mikroskopik imunofluoresein tidak langsung dai kerokan lesi,
sensitifitasnya (?! - ??!. -emeriksaan dengan 4ara >6.$& adalah pemeriksaan
untuk menemukan antigen H$0. -emeriksaan ini sensitifitasnya 9'! dan sangat
spesifik, tapi dapat berkurang jika spesimen tidak segera diperiksa. )es ini
memerlukan "aktu 8,' jam. )es ini juga dapat dipakai untuk mendeteksi antibodi
terhadap H$0 dalam serum penderita. )es >6.$& ini merupakan tes alternatif
yang terbaik di samping kultur karena mempunyai beberapa keuntungan seperti
hasilnya 4epat diba4a, dan tidak memerlukan tenaga ahli.
,. Deteksi D#& H$0 dengan -@= dari 4airan vesikel. @airan vesikel mengandung
sel manusia dan partikel virus. -@= adalah teknik yang mendeteksi jumlah ke4il
dari D#& dan dapat menginformasikan bah"a virus herpes terdapat pada vesikel.
(. Kultur 0irus 9 pada per4obaabn )*ank dengan pe"arnaan 5iemsa atau Cright,
dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear. )es
)*ank dari lesi kulit dapat menunjukkan hasil yang konsisten dengan infeksi
herpes virus.
II.# PENATALAKSANAAN
Hal-hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi9 rasa sakit,
fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. -engobatan keratitis
epitelial meliputi pemberian antiviral topikal mata ditutup, dan pemberian antibiotik topikal
untuk men4egah infeksi sekunder. $ebagian besar para pakar menganjurkan melakukan
debridement sebelumnya. ebridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan
spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sa"ar epitelial sehingga antiviral lebih
mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial !ghost" opacity yang
sering mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi
kandungan virus epitelial, konsekuensinya reaksi radang akan 4epat berkurang. Di antara ?
kelompok penelitian yang dilakukan antara tahun 19(,D19?( tentang peranan debridement
ternyata ' kelompok peneliti menyimpulkan bah"a tindakan debridement memper4epat
penyembuhan. &pabila tidak ada perbaikan dalam 21 hari, perlu diganti dengan antiviral yang
lain.
-ada keratitis mata herpetik terjadi kerusakan membrana basalis, untuk itu perlu di4egah
kerusakan lebih lanjut dengan verban dan lensa kontak lunak. -engobatan yang diberikan
meliputi pemberian antiviral, air mata buatan, sikloplegik, dan asetil sistein 1D2! tetes
mata tiap 2 jam bila ada tanda-tanda penipisan dan 6uluhnya stroma. $elain itu, perlu
ditambahkan lem cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. 3ila tindakan tersebut
gagal, harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. %lap
konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea, bila sudah erjadi
des4emeto4ele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan keratoplastik lamelar.
-engobatan pada keratitis disciform meliputi pemberian steroid topikal, antiviral salep, bila
terjadi iritis perlu diberikan steroid oral 2-+mg selama (-1 hari. &ntibiotik topikal perlu
diberikan, jika steroid topikal diberikan se4ara masif. 3ila terjadi ulserasi, steroid topikal agar
dikurangi pembeniannya dan bila perlu distop. &pabila terjadi penyulit misalnya luluh
kornea, descemetocele, atau perforasi, kemudian dikelola seperti pengelolaan ulkus
metaherpetik yang mengalami penyulit.
PEMILIHAN ANTI$IRAL
&ntiviral yang efektif dan aman adalah jika mampu menghentikan replikasi virus, tanpa
merusak sel-sel sehat. Ebat-obat lama sepenti idoksuridina dan vidarabina memiliki toksisitas
sema4am dan khasiat sepadan guna menghentikan replikasi virus. >fek samping pemberian
idoksuridina antara lain9 keratitis pungtata, dermatitis kontakta, konjungtivitis folikularis, dan
oklusi pungtum lakrimalis. >fektivitas kedua obat tersebut untuk pengobatan kenatitis
dendritik sebesar ?!, sedang trifluridina mempunyal efektivitas 9(! dengan "aktu
penyembuhan 2 minggu. )ingkat kepatuhan pasien pengguna trifluridma lebih baik
dibanding kedua obat antivinal tendahulu, karena lebih mudah larut dalam air. -ada +-'!
kasus ternyata dalam 1 minggu tidak ada perbaikan dengan trifluridin, dalam hal ini
diperlukan debridement. =esistensi terhadap trifluridin sangat jarang, dan bila dijumpai
ternyata tidak dijumpai resistensi silang tenhadap idoksunidina maupun vidarabina.
Hasil penelitian tentang daya guna asikiovir dengan idoksuridina pertama kali dilaponkan
oleh @ollum dkk. /19?1, didapatkan hasil berupa lama penyembuhan keratitis dendritik rata
rata 8,8 hari dan se4ara bermakna lebih pendek dibandingkan kelompok idoksuridina. <ntuk
kasus-kasus keratitis geografik memerlukan "aktu penyembuhan rata-rata ',, hari.
Keratitis stroma memiliki hasil kurang baik bila diobati dengan idoksuridina maupun
asiklovir. -enggunaan kombinasi antara asikiovin dengan steroid topikal dapat meningkatkan
"aktu penyembuhan. $teroid topikal dapat membantu menekan reaksi radang, dan
menghambat vasku.arisasi -ornier dkk. /19?21 membuktikan bah"a asikiovin topikal
menghasilkan daya penetrasi terbaik dibandingkan vidarabina maupun triflu-ridina. -ada
pasien-pasien keratitis stroma yang mendapat pengobatan kombinasi asiklovir salep mata dan
betametason ,1! ternyata sembuh komplit memerlukan "aktu rata-rata 19,8 hari.
-orter dkk. /1991 membandingkan pengobatan asiklovir se4ara topikal dan oral pada kasus-
kasus keratitis dis4iform. 2asing-masing kelompok menggunakan tambahan prednisolon
,'! tetes mata ' kali sehari. Hasil penelitian rnenunjukkan hilangnya lakrimasi dan
perbaikan visus lebih 4epat pada kelompok pemberian oral, sedang "aktu penyembuhan tidak
berbeda dan memerlukan "aktu rata-rata 2',, hari. $elain itu tidak dijumpai perbedaan angka
kekambuhan pada pengamatan sampai + tahun pas4a penyembuhan.
2engenai resistensi klinik antiviral, pernah dilaporkan untuk idoksuridina sebesar +(!, dan
vidarabina sebesar 11 !. 3erdasarkan hasil uji laboratorik sensitivitas, beberapa antiviral
terhadap virus herpes simpleks mengalami penurunan, tetapi untuk asiklovir maupun
gansiklovir tidak sampai 1!; sedang untuk fos4arnet, vidarabina, dan i4loksuridina
didapatkan penurunan sensitivitas jauh lebih banyak.
5ansiklovir dan karbosiklik oksetanosin 5 merupakan 4alon obat antiviral yang potensial,
karena terbukti lebih baik dibandingkan asiklovir pada per4obaan binatang. .nterferon tetes
mata sebagai terapi tunggal pada keratitis dendritik kurang bermanfaat, tetapi akan lebih
efektif bila dikombinasi dengan antiviral selain vidarabina. 2ekanisme dasar interferon
sebagai terapi adalah membuat sel-sel sehat menjadi resisten terhadap virus, dan memblok
penyebaran virus. -ada keratitis stroma pemberian kombinasi steroid dan interferon
memberikan hasil yang baik pada per4obaan binatang. Kombinasi antiviral dan interferon
diharapkan dapat mengatasi resistensi virus herpes simpleks di masa mendatang.
Keratitis herpes simpleks biasanya sembuh sendiri dalam jangka "aktu sekitar + minggu,
meskipun demikian terapi yang diberikan bertujuan untuk menghentikan replikasi virus di
dalam kornea, sambil memperke4il timbulnya kerusakan pada stromaa dan meminimalkan
timbulnya sikatrik pada kornea.
1. Debridement
Debridement epitel merupakan salah satu 4ara efektif mengobati keratitis herpes
simpleks karena berlokasi di dalam epitel. Debridement juga dapat mengurangi
infeksi virus dan beban antigenik virus pada stroma kornea. >pitel sehat melekat erat
pada kornea namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan
dengan aplikator berujung kapas khusus. Fodium atau eter topikal tidak banyak
bermanfaat dan dapat menimbulkaan keratitis kimia"i. Ebat siklopegik seperti atropi
1! atau homatropin '! diteteskan ke dalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan
sedikit tekanan. -asien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya samapi
defek kornea sembuh umumnya dalam (2 jam. -engobatan tambahan dengan
antivirus topikal memper4epat pemulihan epitel. )erapi obat topikal tanpa
debridement epitel epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu
ditutup, namun ada kemungkinan pasien mengalami kera4unan obat.
2. )erapi Ebat
A. Anti%irus
-engobatan menggunakan agen antivirus baik oral maupun topikal efektif
untuk mengobati infeksi keratitis herpes simpleks. &gen antivirus yang
dipakai pada keratitis herpes antara lain 9
a. .doGuridine
$ering digunakan untuk infeksi pada epitel kornea. .nfeksi yang ditandai
dengan timbulnya gambaran dendritik lebih memberikan respon yang baik
dengan menggunakan obat ini daripada infeksi pada stroma. .doGuridine
merupakan analog dari thymidine. Ebat ini menghambat sintesis D#& virus
dan manusia, sehingga toksik untuk epitel normal dan tidak boleh digunakan
lebih dari 2 minggu. )erdapat dalam larutan1! dan diberikan setiap jam.
$alep ,'! diberikan setiap 8 jam. =esistensi terhadap obat ini dilaporkan
terdapat pada 1,' D 8! kasus. Ebat ini sering menimbulkan efek samping
antara lain keratitis pungtata, dermatitis kontakta, konjungtivitis folikularis,
dan oklusi pungtum lakrimalis.
b. 0idarabine
$uatu turunan dari adenin yang 4ara kerjanya dengan menghambat sintesis
D#& virus pada tahap a"al. Hanya terdapat dalam bentuk salep +! yang
diberikan lima kali sehari. &pabila tidak ada tanda perbaikan setelah ( hari
pemakaian atau dalam 21 hari proses reepitelisasi tidak sempurna maka
pertimbangkan untuk memakai obat lain.
4. )rifluridine
2erupakan analog dari thymidine, menghambat D#& polymerase virus.
)rifluridine dapat berpenetrasi dengan baik melalui kornea dan lebih manjur
/ tingkat kesembuhan 9'! dibandingkan dengan obat topikal yang lain. Ebat
ini jauh lebih efektif untuk penyakit stroma daripada yang lain. )erdapat
dalam larutan 1! diberikan setiap 8 jam. &pabila tidak ada respon setelah ( D
18 hari pemakaian obat ini maka dapat dipertimbangkan untuk menggunakan
obat lain. $eperti .doGuridine, obat ini sering menimbulkan reaksi toksik.
d. &4y4lovir
Ebat ini merupakan derivat guanin. Di dalam sel yang terinfeksi virus herpes,
a4y4lovir mengalami fosforilasi menjadi bentuk aktif a4y4lovir D trifosfat, +
D 1 kali lebih 4epat dari pada di dalam sel yang tidak terinfeksi. &4y4lovir
trifosfat bekerja sebagai penghambat dan sebagai substrat dari herpes se4ified
D#& polymerase sehigga men4egah sintesis D#& dari virus lebih lanjut tapa
mempengaruhi proses sel yang normal.
&4y4lovir oral ada manfaatnya utuk pengobatan penyakit herpes mata berat,
khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan
kulit agresif / a4*ema herpeti4um 1. )erdapat dalam betuk tablet 8mg
'G7hari per oral, dan topikal dalam bentuk salep + ! yang diberikan tiap 8jam.
$ama efektifnya dengan antivirus lain akan tetapi dengan efek samping yang
minimal.
B. K!rtik!ster!i&
=eplikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada
epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal.
Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotesi
sangat merusak, sayangnya klinikus kadang D kadang menekan kekebalan
pasien dengan kortikosteroid untuk mengurangi peradangan akan mengurangi
penyakitnya. $ekalipun respon peradangan itu diduga timbul semata-mata
karena proses immunologik, seperti pada keratitis dis4iformis, jika
kemungkinan besar akan sembuh sendiri. $ekali dipakai kortikosteroid topikal,
umumnya pasien terpaksa harus memakai obat itu untuk megendalikan
episode keratitis berikutnya, dengan kemungkinan terjadi replikasi virus yang
tidak terkendali dan efek samping lain berhubungan dengan steroid, seperti
superinfeksi bakteri dan fungi, glaukoma dan katarak. Kortikosteroid topikal
dapat pula mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan resiko
perforasi kornea. Bika memang perlu menggunakan kortikosteroid topikal
karena hebatnya respo peradangan, penting sekali ditambahkan obat antivirus
se4ukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.
+. )erapi 3edah
Kertoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan pasien
yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan
setelah penyakit herpes non-aktif. -as4a-bedah, infeksi herpes rekurens dapat tumbul
karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk men4egah
penolakan transplantasi kornea. Buga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea
dari penyakit stromaa rekurens.
-erforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau super infeksi bakteri atau fungi
mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. -erlekatan jaringan sianokrilat
dapat dipakai se4ara efektif untuk meutupi perforasi ke4il, dan graft HpetakI lamemar
berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasti lamelar memiliki keuntungan
dibanding keratoplasti penetrans karena lebih ke4il terjadi reaksi penolakan transplant.
6ensa kontak lunak untuk terapi mungkin diperlukan untuk memulihkan defek epitel
yang terjadi padaa keratitis herpes simpleks.
8. -engendalian infeksi keratitis herpes simpleks berulang
.nfeksi H$0 rekurens pada mata banyak dijumpai, kira D kira sepertiga kasus dalam 2
tahun setelah serangan pertama. $ering dapat ditemukan mekanisme pemi4unya,
setelah dengan anamnesis yang teliti terhadap pasien. 3egitu ditemukan, pemi4u itu
dapat dihindarkan. &spirin dapat dipakai ukntuk men4egah demam, pajanan
berlebihan terhadap sinar matahari atau ultraviolet dapat dihindari, keadaan D keadaan
yang dapat menimbulkan stress psikis dapat dikurangi, dan aspirin dapat diminum
sebelum menstruasi.

Anda mungkin juga menyukai