Anda di halaman 1dari 22

6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Bedside Teaching
2.1.1 Pengertian Bedside Teaching
Bedside teaching merupakan metode mengajar kepada peserta didik, yang
aktivitasnya dilakukan di samping tempat tidur klien dan meliputi kegiatan
mempelajari kondisi klien dan asuhan keperawatan yang dibutuhkan klien
(Nursalam, 2007).
2.1.2 Manfaat
Agar pembimbing klinik dapat mengajarkan dan mendidik peserta didik
untuk menguasai keterampilan prosedural, menumbuhkan sikap profesional,
mempelajari perkembangan biologis/fisik, melakukan komunikasi dan
pengamatan langsung (Nursalam, 2007). Bedside teaching juga memberikan
kesempatan pembimbing klinik mengobservasi keterampilan klinik peserta didik
dan memberikan umpan balik yang langsung dan segera kepada peserta didik.
Selain itu dapat dilaksanakan pada hampir semua klien, baik yang menjalani rawat
inap maupun rawat jalan (http://www.ucimc.netouch.com). Pembelajaran bedside
teaching memungkinkan peserta didik belajar sambil melakukan sendiri, sehingga
hal ini sesuai dengan pepatah: Apa yang saya dengar, saya lupa; Apa yang saya
lihat, saya ingat; Apa yang saya lakukan, saya tahu.
2.1.3 Persiapan (Nursalam, 2007; http://www.ucimc.netouch.com)
2.1.3.1 Pembimbing
1) Berkoordinasi dengan staf di klinik agar tidak mengganggu jalannya
rutinitas perawatan klien.
7

2) Mempersiapkan diri menjadi model peran profesional bagi peserta didik.
3) Diperlukan untuk menjadi pembimbing yang efektif dan efisien, serta
memiliki keahlian dan keterampilan dalam melaksanakan tindakan dan
prosedur keperawatan.
4) Membuat tujuan tiap sesi pembelajaran, misalnya keterampilan klinik yang
harus dicapai peserta didik.
2.1.3.2 Peserta Didik
1) Peserta didik mampu menggunakan dirinya secara efektif, artinya dapat
mengoptimalkan penggunaan kekuatannya dan meminimalkan pengaruh
kelemahan yang ada pada dirinya.
2) Peserta didik mempersiapkan diri untuk menghadapi kasus yang akan
dikelolanya.
3) Peserta didik memahami persiapan teknikal yang harus dilalui:
(1) Peserta didik mengikuti pembelajaran bedside teaching.
(2) Peserta didik melakukan keterampilan teknik prosedural langsung di bawah
supervisi pembimbing klinik.
(3) Peserta didik melakukan keterampilan secara mandiri tanpa kehadiran
pembimbing klinik.
2.1.3.3 Sarana dan Prasarana
1) Melengkapi fasilitas/prasarana yang akan digunakan.
2) Jika dibutuhkan persiapkan tempat konferensi khusus, atau ruangan yang
disepakati untuk melakukan pre dan post conference.
2.1.3.4 Persiapan Klien
1) Perkenalkan diri (pembimbing dan peserta didik) kepada klien.
8

2) Jelaskan tujuan pertemuan.
3) Jelaskan pada klien bahwa klien boleh berpartisipasi dalam pelaksanaan
kegiatan.
2.1.4 Prinsip Pelaksanaan (Nursalam, 2007):
1) Jumlah peserta didik dibatasi (ideal 5-6 orang).
2) Diskusi pada awal dan paska demonstrasi di depan klien dilakukan
seminimal mungkin.
3) Kaji pemahaman peserta didik sesegera mungkin terhadap apa yang
didapatnya saat itu.
4) Kegiatan didemonstrasikan adalah sesuatu yang belum pernah diperoleh
peserta didik sebelumnya, atau apabila peserta didik menghadapi kesulitan
menerapkan.
2.1.5 Fase-Fase Pelaksanaan (Nursalam, 2007; http://www.ucimc.netouch.com)
2.1.5.1 Pre-Conference/Briefing
1) Menentukan kasus yang akan dihadapi, tujuan spesifik yang ingin dicapai
oleh peserta didik dan kriteria evaluasi.
2) Persiapkan peserta didik sebelum bertemu dengan klien, yang meliputi:
menanyakan pengetahuan dan pengalaman peserta didik sebelumnya,
menanyakan permasalahan peserta didik yang memerlukan bantuan
pembimbing.
3) Berikan peserta didik penjelasan tentang pedoman pelaksanan.
4) Persiapkan klien dan jelaskan tujuan pertemuan.


9

2.1.5.2 Implementasi/Demonstration and Inclusion of Microskills
1) Memberikan kesempatan peserta didik untuk melihat bagaimana
pembimbing berinteraksi dengan klien.
2) Memberi kesempatan peserta didik melakukan keterampilan teknik
prosedural dalam rangka memberikan asuhan keperawatan dengan
supervisi.
3) Memfasilitasi belajar aktif peserta didik dengan memberikan pertanyaan
berkaitan dengan apa yang dilakukan peserta didik dan mengapa itu
dilakukan.
4) Mengobservasi kemampuan klinik peserta didik dan mengobservasi
interaksi peserta didik dengan klien.
2.1.5.3 Post-Conference/Debriefing
1) Membahas hal-hal yang telah dilakukan pada saat implementasi.
2) Berikan kesempatan kepada peserta didik untuk memberikan masukan atau
menyampaikan pertanyaan.
3) Berikan umpan balik pada peserta didik baik yang positif maupun yang
negatif. Mulailah umpan baik yang positif dengan memberikan penguatan
baik pujian dan dorongan untuk lebih baik lagi.
4) Koreksi kesalahan peserta didik dengan menunjukkan atau menjelaskan
bagaimana melakukan keterampilan klinik tersebut dan bagaimana
meningkatkannya.
5) Menemukan kendala yang dihadapi dan mencari cara untuk mengatasinya.
6) Mengukur tingkat pencapaian tujuan praktik saat itu.

10

2.1.5.4 Evaluasi
1) Menilai kemampuan intelektual, teknikal dan interpersonal peserta didik.
2) Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menilai cara dan
metode yang dilaksanakan pembimbing.
3) Mencari cara yang lebih efektif yang digunakan untuk meningkatkan
metode pembelajaran.
2.1.6 Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Bedside Teaching
2.1.6.1 Faktor Internal Peserta Didik (Herawani, 2001; Sunaryo, 2004)
1) Faktor fisiologis
(1) Kematangan fisik: fisik peserta didik yang sudah matang atau siap untuk
belajar akan memudahkan dan memperlancar proses bedside teaching.
(2) Keadaan indra: keadaan indra peserta didik yang sehat dan normal, terutama
penglihatan dan pendengaran akan memperlancar dan mendukung proses
bedside teaching.
(3) Keadaan kesehatan: kondisi badan peserta didik yang sehat dan tidak cacat
akan memperlancar dan mendukung proses bedside teaching.
2) Faktor psikologis
(1) Motivasi dan kesiapan: motivasi adalah keinginan untuk belajar, sedangkan
kesiapan mencerminkan keinginan dan kemampuan peserta didik untuk
belajar. Belajar yang dilandasi motivasi yang kuat dan berasal dari dalam
diri individu serta peserta didik merasa siap, akan memperlancar proses
bedside teaching.
(2) Emosi: emosi yang stabil, terkendali dan tidak emosional akan mendukung
proses bedside teaching.
11

(3) Sikap: sikap peserta didik yang positif terhadap materi, fasilitator, kondisi
fisik dan dalam menerima pengajaran akan memperlancar proses bedside
teaching.
(4) Minat: materi pembelajaran yang menarik akan mempermudah peserta didik
mempelajari materi pembelajaran dengan sebaik-baiknya.
(5) Bakat: peserta didik yang berbakat pada bidang tertentu, bila mengikuti
materi pembelajaran yang sesuai dengan bakatnya akan mempermudah
proses pembelajaran.
(6) Intelegensi: di antara berbagai faktor yang dapat mempengaruhi bedside
teaching, faktor intelegensi sangat besar pengaruhnya dalam proses dan
kemajuan pembelajaran peserta didik. Apabila peserta didik memiliki
intelegensi tinggi akan mudah untuk memperoleh hasil pembelajaran yang
baik.
(7) Kreativitas: peserta didik yang mempunyai kreativitas, memiliki usaha
untuk memperbaiki kegagalan, sehingga akan merasa aman bila menghadapi
bedside teaching.
2.1.6.2 Faktor Eksternal/di Luar Peserta Didik (Herawani, 2001; Sunaryo, 2004)
1) Faktor sosial:
(1) Pembimbing/pendidik: pembimbing yang mampu mendidik dengan baik,
mampu berkomunikasi dengan baik, penuh perhatian terhadap peserta didik,
tahu kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi peserta didik, dan mampu
menciptakan hubungan baik dengan peserta didik, akan berpengaruh besar
terhadap keberhasilan bedside teaching.
12

(2) Manusia yang hadir: manusia yang hadir pada saat peserta didik sedang
belajar dapat mengganggu proses bedside teaching, misalnya: suasana
menjadi gaduh dan berisik. Selain itu dukungan klien terhadap interaksi
selama bedside teaching akan mempengaruhi keberhasilan pembelajaran.
2) Faktor non sosial:
(1) Alat bantu serta sarana dan prasarana yang memadai akan membantu proses
bedside teaching.
(2) Lingkungan belajar yang optimal memfasilitasi pembelajaran dengan
mengurangi distraksi dan memberikan kenyamanan fisik dan psikologis.
(3) Materi atau bahan pelajaran serta metode pembelajaran: dengan keterlibatan
aktif, pemberian umpan balik, pengulangan dan pembelajaran dari
sederhana ke kompleks. Keterlibatan aktif dan pengulangan membuat
pembelajaran lebih cepat dan retensi materi akan lebih baik. Umpan balik
membantu orang mempelajari keterampilan psikomotor dengan mengaitkan
dengan tujuan yang diinginkan. Sedangkan pembelajaran dari sederhana ke
kompleks mempermudah pemahaman informasi baru, mengasimilasikannya
dengan pembelajaran sebelumnya dan membentuk pemahaman baru, karena
materi terorganisasi sedara logis dan berurutan.

2.2 Konsep Kemampuan
2.2.1 Pengertian
Kemampuan adalah kesanggupan/kecakapan untuk melakukan sesuatu (Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990).
Kemampuan dapat diartikan juga sebagai kapasitas individu untuk mengerjakan
13

berbagai tugas dalam suatu pekerjaan dan merupakan perilaku yang
dihasilkan/terbentuk dari proses belajar (Notoatmodjo, 2003).
2.2.2 Komponen Utama Kemampuan
Sesuai dengan taxonomi Bloom Theory, kemampuan seseorang dalam
mengerjakan suatu pekerjaan atau kegiatan merupakan hasil dari proses belajar,
baik yang sengaja dilakukan maupun terjadi secara kebetulan. Proses
pembelajaran manusia tersebut mencakup 3 domain: cognitive domain, yaitu
domain yang berkaitan dengan aspek intelektual atau berpikir/bernalar, yang dapat
diukur dengan knowledge/pengetahuan; affective domain, yaitu domain yang
berkaitan dengan aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan
terhadap moral dan sebagainya, yang dapat diukur dengan attitude/sikap; dan
psychomotor domain, yaitu domain yang berkaitan dengan aspek keterampilan
yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuromuscular system) dan fungsi
psikis, yang dapat diukur dari practice/keterampilan (BNSP, 2003; Notoatmodjo,
2003; Sudrajat, 2008; Sunaryo, 2004). Kemampuan terbentuk diawali dari
cognitive domain, yaitu individu terlebih dahulu tahu terhadap materi, sehingga
menimbulkan pengetahuan pada individu, kemudian diikuti affective domain,
yaitu respons batin dalam bentuk sikap dari individu dan diakhiri dengan
psychomotor/tindakan individu. Hal itu terjadi karena kemampuan merupakan
hasil dari belajar dan pengalaman (George, 1994). Kemampuan yang didasari
pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Notoatmodjo, 2003; Sunaryo, 2004).
2.2.2.1 Domain Kognitif
Adapun tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif, mencakup 6
tingkatan, yaitu (Notoatmodjo, 2003; Sudrajat, 2008):
14

1) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengenal dan
mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah tetapi paling mendasar. Dilihat dari objek yang
diketahui, isi pengetahuan dapat digolongkan sebagai berikut (Sudrajat, 2008):
(1) Mengetahui sesuatu secara khusus:
- Mengetahui terminologi, yaitu berhubungan dengan mengenal atau
mengingat kembali istilah atau konsep tertentu yang dinyatakan dalam
bentuk simbol, baik berbentuk verbal maupun non verbal.
- Mengetahui fakta tertentu, yaitu mengenal atau mengingat kembali
tanggal, peristiwa, orang, tempat, sumber informasi, kejadian masa lalu
dan sebagainya.
(2) Mengetahui tentang cara untuk memproses atau melakukan sesuatu:
- Mengetahui kebiasaan atau cara mengetengahkan ide atau pengalaman.
- Mengetahui urutan dan kecenderungan, yaitu proses, arah dan gerakan
suatu gejala atau fenomena pada waktu yang berkaitan.
- Mengetahui penggolongan atau pengkategorisasian. Mengetahui kelas,
kelompok, perangkat atau susunan yang digunakan dalam bidang
tertentu atau memproses sesuatu.
- Mengetahui kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi fakta,
prinsip, pendapat atau perlakuan.
15

- Mengetahui metodologi, yaitu seperangkat cara yang digunakan untuk
mencari, menemukan atau menyelesaikan masalah.
- Mengetahui prinsip dan generalisasi.
- Mengetahui teori dan struktur.
- Mengetahui hal-hal yang universal dan abstrak dalam bidang tertentu,
yaitu ide, bagan dan pola yang digunakan untuk mengorganisasi suatu
fenomena atau pikiran.
2) Memahami (Comprehension)
Memahami atau disebut juga mengerti diartikan sebagai suatu kemampuan
untuk mengorganisasikan materi yang diketahui, dengan menjelaskan dan
mengintepretasikan dengan benar tentang materi tersebut. Orang yang telah
paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajarinya.
Adapun tingkatan dalam pemahaman meliputi (Sudrajat, 2008):
(1) Translasi, yaitu mengubah simbol tertentu menjadi simbol lain tanpa
perubahan makna.
(2) Interpretasi, yaitu menjelaskan makna yang terdapat dalam simbol, baik
dalam bentuk simbol verbal maupun nonverbal. Individu yang dikatakan
dapat menginterpretasikan tentang konsep atau prinsip tertentu, jika
dapatmembedakan, memperbandingkan atau mempertentangkan konsep
satu dengan konsep yang lain.
(3) Ekstrapolasi, yaitu melihat kecenderungan, arah atau kelanjutan dari suatu
temuan tertentu.

16

3) Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini
diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya ke dalam konteks atau situasi lain, untuk memecahkan masalah.
4) Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen/bagian lebih kecil, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi yang masih terkait satu dengan yang lain. Ukuran kemampuan analisis
adalah dapat menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan,
mengelompokkan, dan sebagainya. Menurut Bloom, yang dikutip Sudrajat (2008),
kemampuan analisis terdiri atas:
(1) Menganalisis unsur:
- Kemampuan melihat asumsi-asumsi yang dinyatakan secara eksplisit
pada suatu pernyataan.
- Kemampuan untuk membedakan fakta dan hipotesa.
- Kemampuan untuk membedakan pernyataan faktual dengan pernyataan
normatif.
- Kemampuan untuk mengidentifikasi berbagai motif dan membedakan
mekanisme perilaku antara individu dan kelompok.
- Kemampuan untuk memisahkan kesimpulan dari berbagai pernyataan
yang mendukungnya.
(2) Menganalisis hubungan:
- Kemampuan melihat secara komprehensif interrelasi antar ide-ide.
17

- Kemampuan untuk mengenal berbagai unsur khusus yang
membenarkan suatu pernyataan.
- Kemampuan untuk mengenal fakta atau asumsi yang esensial yang
mendasari suatu pendapat atau tesis atau argumen yang mendukungnya.
- Kemampuan untuk memastikan konsistensinya hipotesis dengan
informasi atau asumsi yang ada.
- Kemampuan untuk menganalisis hubungan di antara pernyataan dan
argumen guna membedakan mana pernyataan yang relevan dan mana
yang tidak.
- Kemampuan untuk mendeteksi hal-hal yang tidak logis di dalam suatu
argumen.
- Kemampuan untuk mengenal hubungan kausal dan unsur-unsur yang
penting dan yang tidak penting di dalam perhitungan historis.
(3) Menganalisis prinsip-prinsip organisasi:
- Kemampuan untuk menguraikan antara alat dan bahan.
- Kemampuan untuk mengenal bentuk dan pola dalam rangka memahami
maknanya.
- Kemampuan untuk mengetahui maksud, sudut pandang atau cara
berpikir pengarang materi dan perasaan yang dapat diperoleh dalam
materi tersebut.
- Kemampuan untuk melihat teknik yang digunakan dalam menyusun
suatu materi yang bersifat persuatif.
5) Sintesis (Synthesis)
Sintesis yaitu suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, atau kemampuan untuk menyusun
18

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. Kemampuan berfikir
induktif dan konvergen merupakan ciri kemampuan ini. Ukuran kemampuan
sintesis adalah dapat menyusun, meringkas, merencanakan, dan menyesuaikan
suatu teori atau rumusan yang telah ada.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria
yang telah ada, baik yang kualitatif maupun kuantitatif.
2.2.2.2 Domain Afektif
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesiapan/kecenderungan
untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek (Notoatmodjo, 2003; Sunaryo, 2004). Menurut Allport (1954),
sikap mempunyai 3 komponen pokok, yang pertama kepercayaan/keyakinan, ide
dan konsep terhadap objek, yang kedua, kehidupan emosional atau evaluasi
terhada objek, dan yang terakhir kecenderungan untuk bertindak/tend to behave
ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude). Penentuan sikap yang utuh ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan,
pikiran, keyakinan dan emosi (Notoatmodjo, 2003). Menurut Soekidjo
Notoatmodjo (2003), sikap memiliki berbagai tingkatan, yaitu:
1) Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang ingin dan mau serta memperhatikan materi
(stimulus) yang diberikan. Tahapan penerimaan adalah (Sudrajat, 2008):
19

(1) Kesiapan untuk menerima (awareness), yaitu adanya kesiapan untuk
berinteraksi dengan stimulus (fenomena atau objek yang dipelajari), yang
ditandai dengan kehadiran dan usaha untuk memberi perhatian pada
stimulus yang bersangkutan.
(2) Kemauan untuk menerima (willingness to receive), yaitu usaha untuk
mengalokasikan perhatian pada stimulus yang yang bersangkutan.
(3) Mengkhususkan perhatian (controlled or selected attention). Mungkin
perhatian itu hanya tertuju pada warna, suara atau kata-kata tertentu saja.
2) Merespons (Responding)
Pada tingkat ini, individu mengadakan aksi terhadap stimulus, individu
dapat memberikan jawaban bila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan. Adanya usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan
tugas yang diberikan berarti bahwa orang tersebut menerima ide tersebut. Adapun
proses merespon meliputi (Sudrajat, 2008):
(1) Kesiapan menanggapi (acquiescene of responding), misalnya mengajukan
pertanyaan, mentaati peraturan dan lain-lain.
(2) Kemauan menanggapi (willingness to respond), yaitu usaha untuk melihat
hal-hal khusus di dalam bagian yang diperhatikan.
(3) Keputusan menanggapi (satisfaction in response), yaitu adanya aksi atau
kegiatan yang berhubungan dengan usaha untuk memuaskan keinginan
mengetahui.
3) Menghargai (Valuing)
Pada tingkat ini sudah timbul proses internalisasi untuk memiliki dan
menghayati nilai dari stimulus yang dihadapi, sikap individu mengajak orang lain
20

untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah. Adanya tindakan untuk
mengerjakan atau mendiskusikan masalah tersebut, berarti individu mempunyai
sikap yang positif. Menghargai terbagi atas empat tahap, sebagai berikut
(Sudrajat, 2008):
(1) Menerima nilai (acceptance of value), yaitu kelanjutan dari usaha
memuaskan diri untuk menanggapi secara lebih intensif.
(2) Menyeleksi nilai yang lebih disenangi (preference for a value) yang
dinyatakan dalam usaha untuk mencari contoh yang dapat memuaskan
perilaku menikmati.
(3) Komitmen yaitu kesetujuan terhadap suatu nilai dengan berbagai alasan
tertentu yang muncul dari rangkaian pengalaman.
(4) Komitmen ini dinyatakan dengan rasa senang, kagum, terpesona. Kagum
atas keberanian seseorang, menunjukkan komitmen terhadap nilai
keberanian yang dihargainya.
4) Bertanggung jawab (Responsible)
Hal ini berarti individu bertanggung jawab dan siap menanggung segala
risiko atas segala sesuatu yang telah dipilihnya. Pada tahap ini, individu tidak
hanya menginternalisasi satu nilai tertentu seperti pada tahap komitmen, tetapi
mulai melihat beberapa nilai yang relevan untuk disusun menjadi satu sistem nilai,
selain itu individu memiliki kemampuan untuk menghayati atau mempribadikan
sistem nilai, sehingga sistem ini selalu konsisten (Sudrajat, 2008).
2.2.2.3 Domain Psikomotor/Practice/Tindakan
Tindakan atau praktik adalah sesuatu yang dilakukan/dilaksanakan secara
nyata sesuai dengan teori (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1990). Domain ini berkaitan dengan berbagai aspek
21

keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuromuscular
system) serta fungsi psikis (Sudrajat, 2008). Faktor pendukung atau kondisi yang
memungkinkan terlaksananya tindakan, antara lain fasilitas, dan dukungan dari
pihak lain (support). Tindakan ini mempunyai beberapa tingkatan, yaitu
(Notoatmodjo, 2003; Sudrajat, 2008; Sunaryo, 2004):
1) Persepsi (Perception)
Persepsi yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang akan diambil/dilakukan, hal ini berhubungan dengan kesediaan diri
melatih keterampilan tertentu.
2) Respons Terpimpin (Guided Response)
Respons terpimpin yaitu individu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan
urutan yang benar dan sesuai dengan contoh yang diamatinya walaupun belum
mengerti hakekat atau makna dari keterampilan itu.
3) Mekanisme (Mechanism)
Mekanisme, individu dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis tanpa harus melihat contoh, dengan kata lain keterampilan tersebut sudah
menjadi kebiasaan individu tersebut.
4) Adaptasi (Adaptation)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik dan tindakan tersebut sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut untuk disesuaikan dengan kebutuhan atau situasi tempat di mana
keterampilan itu dilaksanakan.


22

5) Menciptakan (Origination)
Menciptakan, di mana individu sudah mampu menciptakan sendiri suatu
karya. Menciptakan merupakan aktivitas motorik yang paling kompleks yang
mencakup penciptaan pola gerakan baru.

2.3 Standard Operating Procedur/SOP
2.3.1 Pengertian
Standard operating procedur/SOP adalah seperangkat instruksi tertulis yang
membuktikan kebenaran suatu aktivitas rutin atau berulang yang diikuti oleh suatu
organisasi, yang menetapkan pelaksanaan suatu kegiatan agar dapat dilaksanakan
dengan tepat. SOP dapat juga disebut sebagai protokol, prosedur tetap, instruksi,
atau worksheets/kertas kerja. Tujuan SOP dibuat adalah untuk menjaga
konsistensi kualitas tindakan, jaminan kualitas pelayanan dan memastikan
pelayanan yang diberikan sesuai dengan regulasi pemerintah (US EPA, 2008).
2.3.2 SOP Memasang Infus
2.3.2.1 Tujuan:
Umumnya cairan infus diberikan untuk mencapai tujuan spesifik, antara
lain: untuk menyediakan air, elektrolit dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, menggantikan air, memperbaiki kekurangan elektrolit dan
keseimbangan asam-basa pada klien yang tidak mungkin atau tidak bisa
mengkonsumsi/mempertahankan masukan yang adekuat secara per oral, serta
menyediakan suatu medium untuk pemberian obat secara intravena (Nurachmah,
2000; Smeltzer, 2001).


23

2.3.2.2 Pemilihan Tempat Pungsi Vena
Pemilihan tempat pungsi vena merupakan hal yang sangat penting artinya
selain pemilihan jenis kanula yang paling sesuai dengan klien (usia dan ukuran
vena). Berbagai faktor yang mempengaruhi pilihan ini termasuk jenis larutan yang
diberikan, lamanya terapi intravena yang diharapkan, keadaan umum klien dan
keadaan vena yang digunakan (Smeltzer, 2001). Kriteria pemilihan vena, antara
lain: gunakan cabang vena distal yang cukup besar pada lengan nondominan, pilih
vena yang dilatasi baik, pada klien dewasa, vena yang terdapat pada ekstremitas
bawah hanya digunakan sebagai pilihan terakhir, dan adapun pilihan vena yang
digunakan: vena metakarpal, vena basilika/sefalika (memudahkan pergerakan
tangan), vena fossa antekubital, mediana basilika atau sefalika hanya untuk
pemasangan infus yang singkat saja serta hindari vena yang melintasi persendian
(Nurachmah, 2000; Perry, 2005).
Selain pemilihan tempat pungsi vena, perlu juga untuk memilih kanul yang
sesuai. Pedoman untuk pemilihan kanul antara lain:
1) Panjang kanul 1,8 cm-3 cm.
2) Kateter dengan diameter yang kecil (misalnya no. 22G dan 24G) hanya
untuk memenuhi ruang minimal dalam vena, misalnya pada anak dan lansia.
3) Ukuran 20G dan 22G untuk kebanyakan cairan infus; ukuran yang lebih
besar untuk larutan yang mengiritasi atau kental; ukuran 18G atau yang
lebih besar untuk pemberian darah.
2.3.2.3 Persiapan Klien
Klien harus dipersiapkan sebelum dipasang infus intravena, kecuali pada
situasi darurat. Klien harus diinformasikan secara singkat tentang proses pungsi
24

vena, tentang lamanya infus yang diperkirakan dan pembatasan aktivitas tempat
pungsi vena. Klien harus juga diberi kesempatan untuk mengungkapkan
kekhawatirannya, setelah mengetahui ketakutan ini, perawat dapat memberikan
tanggapan yang sesuai (Smeltzer, 2001).
2.3.2.4 Persiapan Peralatan:
1) Pemilihan larutan intravena dan juga selang pemberian didasarkan pada
situasi klinis.
2) Kateter jarum, ukuran dan tipenya didasarkan pada situasi klinis.
3) Torniquet.
4) Sarung tangan.
5) Swab alkohol 70% atau betadin 2%.
6) Band aid dan balutan plastik yang transparan dan perekat.
7) Kassa steril 4 x 4 inchi.
8) Plester 1 inchi dan stiker kosong untuk menulis tanggal pemasangan infus.
2.3.2.5 Pelaksanaan Memasang Infus (Jastremski, 1996; Perry, 2005)
1) Mencuci tangan.
2) Menjelaskan prosedur dan tujuannya serta mintalah ijin tindakan (pada klien
dan keluarga).
3) Memberikan posisi semi fowler atau terlentang di atas tempat tidur dan atur
pencahayaan.
4) Perawat berdiri di dekat lengan yang akan digunakan/dipungsi.
5) Gulung lengan baju klien dan pasang torniquet di pertengahan lengan atas.
6) Siapkan peralatan dan persiapkan agar peralatan itu dekat dengan perawat:
(1) Selang intravena dikaitkan ke wadah larutan intravena serta isi sebagian
tabung selang dengan larutan tersebut kemudian gantungkan dan alirkan
25

cairan dengan selang menghadap ke atas sehingga udara di dalamnya keluar
tutup ujung selang (periksa label infus yang sesuai dengan program therapi
cairan yang akan diberikan).
(2) Band aid dan balutan plastik transparan dan perekat yang telah dibuka.
(3) Beberapa lembar plester yang diperlukan.
7) Pakailah sarung tangan.
8) Pasang torniquet dan identifikasi vena yang sesuai.
9) Pilih letak insersi.
10) Pilih kanula/kateter IV yang sesuai.
11) Bersihkan kulit sekitar tempat tusukan dengan swab alkohol atau betadin.
Gerakkan dengan gerakan melingkar dari tempat tusukan kurang lebih 5 cm,
biarkan agar kering dulu atau keringkan dengan kassa steril 4 x 4 inchi.
12) Lepaskan tutup dari ujung dan pastikan kateter dapat dengan mudah
meluncur dari jarum.
13) Lakukan palpasi 5 sampai 7,5 cm dari sistal vena yang dipilih menjadi
tempat tusukan dengan jari telunjuk/ibu jari tangan non dominan perawat,
ini membantu mengarahkan vena.
14) Peganglah unit kateter jarum IV dengan tangan anda yang dominan
sedemikian rupa sehingga hub kateter berada di antara ibu jari dan jari
telunjuk serta ujung dari jarum diperkuat oleh jari ketiga dan jari keempat.
15) Lakukan pungsi vena dengan memasukkan kateter IV, dengan bagian jarum
yang miring menghadap ke atas, agak distal terhadap tempat pungsi vena
paralel dengan vena dan dengan sudut 20
o
sampai 30
o
terhadap kulit.
16) Secara perlahan-lahan majukan kateter IV ke dalam vena sampai darah
mengalir melalui ruang kateter, lalu turunkan jarum sampai rata dengan
26

kulit. Masukkan lagi kateter inchi ke dalam vena, kemudian kendurkan
stilet dan majukan kateter secara keseluruhan dengan ibu jari dan telunjuk.
17) Stabilisasi kateter dan jarum dengan satu tangan dan tangan lain melepaskan
torniquet, dengan memberikan tekanan lembut tetapi kuat dengan jari
telunjuk tangan non dominan 3 cm di atas tempat insersi. Lepaskan
stilet/jarum kateter IV.
18) Dengan cepat, sambungkan adapter dari set selang infus dengan hub kateter.
Jangan menyentuh titik masuk adapter jarum. Pastikan larutan intravena
dapat mengalir dengan lancar.
19) Bersihkan semua darah yang ada dengan bantalan kassa 4 x 4 inchi.
20) Fiksasi atau amankan kateter IV dan pasang balutan steril/band aid di atas
tempat insersi.
21) Periksa ulang kecepatan tetesan infus untuk perhitungan tetesan per menit.
22) Tuliskan tanggal dan waktu pemasangan kateter IV pada balutan.
23) Buang jarum atau benda tajam lain pada wadah yang tepat dan aman.
Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan.
2.3
27

2.4 Kerangka Konseptual













Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian Pengaruh Bedside Teaching
terhadap Kemampuan Mahasiswa dalam Melaksanakan SOP
Keperawatan Medikal Bedah.
Keterangan:
: Diteliti : Tidak diteliti

2.5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau
pertanyaan penelitian (Nursalam, 2003). Adapun hipotesis penelitian ini (hipotesis
alternatif/H1), adalah: ada pengaruh positif bedside teaching terhadap kemampuan
mahasiswa dalam melaksanakan melaksanakan SOP keperawatan medikal bedah
(memasang infus).
Faktor internal:
1. Faktor fisiologis:
Maturasi; keadaan indera;
keadaan kesehatan.
2. Faktor psikologis:
Motivasi; kesiapan; emosi;
sikap; minat; bakat;
pengetahuan & intelegensi;
kreativitas; percaya diri.
Kemampuan SOP Keperawatan Medikal Bedah
(prosedur pemasangan infus):
- Persiapan alat.
- Persiapan pasien.
- Persiapan lingkungan.
- Pelaksanaan.
- Dokumentasi.
Faktor eksternal:
1. Tuntutan masyarakat
mendapatkan asuhan yang
bermutu.
2. Pembimbing/pengajar.
3. Dukungan orang lain
(komunitas profesi, dll).
4. Alat bantu dan sarana
prasarana pembelajaran.
5. Lingkungan belajar optimal
6. Metode pembelajaran.
Bedside teaching
Peningkatan Keterampilan Mahasiswa
Mahasiswa keperawatan
Mutu asuhan keperawatan berkualitas

Anda mungkin juga menyukai