Anda di halaman 1dari 11

Demokrasi di Indonesia (Permasalahan Pilkada pada Tahun 2005)

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti
pemerintahan. Demokrasi adalah suatu pemerintahan dimana rakyat memegang peranan penting yang
menentukan kesejahteraan suatu Negara.

Pada waktu sekrang ini sebagai ciri demokrasi ialah bahwa tiap-tiap keputusannya selalu bersandarkan
atas dasar kelebihan suara. Golongan besar memperoleh suara terbanyak, sedangkan golongan kecil
menderita kekalahan.

Kesadaran akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran serta
rakyat Indonesia dalam melaksanakan Pemilihan Umum baik yang dilaksakan oleh pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Ini terlihat dari jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya yang
sedikit. Pemilihan umum ini langsung dilaksanakan secara langsung pertama kali untuk memilih
presiden dan wakil presiden serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004. Walaupun masih
terdapat masalah yang timbul ketika waktu pelaksanaan. Tetapi masih dapat dikatakan suses.


Indonesia pertamakali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak
partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara langsung
untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan sekarang ini mulai bulan Juni 2005
telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan
sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada
langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan
wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal
18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32
Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia
menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk
kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai
nuraninya.
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah
salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam
pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah,
antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan
dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari
atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari
200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para
pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya
pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.

^. Pelaksanaan dan Penyelewengan Pilkada

Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang tersebar dalam 11 provinsi dan
215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala daerah masing masing secara langsung dan sesuai
hati nurani masing masing. Dengan begini diharapkan kepala daerah yang terpilih merupakan pilihan
rakyat daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum
Daerah masing masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu mengatur pelaksanaan
pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas
suara, hingga pelaksanaan pilkada ini.

Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijasah
palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali . Seandainya calon tersebut dapat lolos
bagai mana nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena
mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga biaya untuk menjadi calon
yang tidak sedikit, jika tidak iklas ingin memimpin maka tidakan yang pertama adalah mencari cara
bagaimana supaya uangnya dapat segera kemali atau balik modal. Ini sangat berbahaya sekali.

Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang
kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan
massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor
KPUD salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik
masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar
siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut.

Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat.
Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu tersebut. Dana
yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Tindakan ini sangat memprihatinkan.
Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dengan mudah mereka memanfaatkan
jabatannya untuk kesenangan dirinya sendiri. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon
juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta.

Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan.
Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :

1. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan
memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah
mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis yaitu desa
Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal
calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu.
Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan
seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena
uang.

Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak.
Karena untuk biaya ini, biaya itu.

2. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai
pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat
menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.

3. Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam
pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga
untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah.
Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika
sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon
menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.

4. Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini
disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi
mereka hanya manut dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye
negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.

^. Solusi
Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat
meminimalkan kendala kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta masyarakat karena ini tidak hanya
tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain
:

1. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan
kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi
souri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik.
2. Semua warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan
pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang
lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.
3. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat
memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang
lain.
4. Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa
ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pemilu dapat terlaksana dengan baik.

^. Kesimpulan
Dari pengalaman masa lalu bangsa kita, kelihatan bahwa demokrasi belum membudaya. Kita memang
telah menganut demokrsai dan bahkan telah di praktekan baik dalam keluarga, masyarakat, maupun
dalam kehidupan bebangsa dan bernegara. Akan tetapi, kita belum membudanyakannya.
Membudaya berarti telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Mengatakan Demokrasi telah
menjadi budaya berarti penghayatan nilai-nilai demokrasi telah menjadi kebiasaan yang mendarah
daging di antara warga negara. Dengan kata lain, demokrasi telah menjadi bagian yang tidak dapat
dipisah-pisahkan dari kehidupanya. Seluruh kehidupanya diwarnai oleh nilai-nilai demokrasi.
Namun, itu belum terjadi. Di media massa kita sering mendengar betapa sering warga negara, bahkan
pemerintah itu sendiri, melanggar nilai-nilai demokrasi. Orang-orang kurang menghargai kebabasan
orang lain, kurang menghargai perbedaan, supremasi hukum kurang ditegakan, kesamaan kurang di
praktekan, partisipasi warga negara atau orang perorang baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam kehidupan pilitik belum maksimal, musyawarah kurang dipakai sebagai cara untuk merencanakan
suatu program atau mengatasi suatu masalah bersama, dan seterusnya. Bahkan dalam keluarga dan
masyarakat kita sendiri, nilai-nilai demokrasi itu kurang di praktekan.

Sumber : www.lprasaja.web.ugm.ac.id/files

Masalah yang Kerap Muncul
dalam Proses Pilkada
By ilhamqmoehiddin

Kesadaran akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran
serta rakyat Indonesia dalam melaksanakan Pemilihan Umum, baik yang dilaksanakan oleh
pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah. Ini terlihat dari jumlah pemilih yang tidak
menggunakan hak pilihnya yang sedikit.
Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung pertama kali, yakni pemilu untuk memilih
presiden dan wakil presiden, serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004. Tentu saja,
ketika itu masih terdapat banyak masalah dalam pelaksanaannya, namun tetap masih dapat
disebut sukses.
Setelah kesuksesan proses pemilihan langsung presiden dan wakil presiden di tahun 2004 itu,
maka sejak Juni 2005, model pemilu langsung ini juga kemudian diterapkan berupa Pemilihan
Umum Kepala Daerah (Pilkada) di 226 daerah, yang meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten
dan kota. Tujuannya tetap sama, yakni agar warga dapat menentukan pemimpin daerahnya
menurut hati nuraninya sendiri.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, ketika itu metode pemilihan kepala daerah menggunakan
sistem perwakilan partai-partai di dewan legislatif, maka pemilihan kali ini sepenuhnya
dilakukan oleh masyarakat, dengan harapan prosesnya nanti lebih aspiratif dan demokratis.
Rupanya, sistem pemilihan langsung yang diterapkan dalam Pilkada juga menuai masalah.
Muncul berbagai penyimpangan, mulai dari masalah data administrasi bakal calon sampai
dengan yang berhubungan langsung dengan pemilih.

Pengertian dan Landasan Hukum Pilkada
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos, yang berarti rakyat, dankratos, yang berarti
pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya berada di tangan rakyat. Semua anggota
masyarakat (yang memenuhi syarat pilih) diikutsertakan dalam kehidupan kenegaraan dalam
aktivitas pemilu.
Pelaksanaan demokrasi ini telah dilakukan sejak dahulu di berbagai daerah, hingga Indonesia
merdeka sampai sekarang ini. Demokrasi di Indonesia bersumber dari Pancasila dan UUD 1945,
yang kemudian disebut sebagai Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan;
musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada faham kekeluargaan dan
kegotongroyongan. Indonesia pertamakali melaksanakan pemilu pada akhir tahun 1955, yang
diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan.
Pilkada secara langsung ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada lima
pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di
Indonesia.
1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat, karena pemilihan
presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan
secara langsung.
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah
diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, gubernur, bupati dan wali kota, masing-
masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic
education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang
diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang
pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan
otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik
pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung, maka komitmen pemimpin
lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah; antara lain untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi
masyarakat agar dapat diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan
nasional. Disadari atau tidak, ketersediaan kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari
jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang
kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar
yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional
justru dari pilkada langsung seperti ini.
Pelaksanaan dan Penyelewengan Pilkada
Dalam pelaksanaannya Pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di
wilayah masing-masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat, yaitu mengatur
pelaksanaan Pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon,
persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan Pilkada.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian
ijasah palsu oleh para bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali. Seandainya para bakal
calon tersebut kemudian berhasil menduduki posisinya, bagaimana nantinya nasib daerah
tersebut, karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja
sudah menggunakan cara yang tidak benar.
Di sisi lain, biaya yang digunakan dalam masa pencalonan yang tidak sedikit, seringkali
membuat calon terpilih melakukan segala cara agar biaya yang telah dikeluarkannya selama
proses pencalonan dan pemilihan berlangsung, dapat kembali secepatnya, alias balik modal.
Ini sangat berbahaya.
Dalam sebuah pelaksanaan Pilkada, pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali pihak
yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Ketidakpuasan ini kerap
berujung pada hal-hal yang negatif dan destruktif. Lihat saja, kasus pembakaran kantor KPUD di
salah satu provinsi di Sumatra, misalnya. Ini membuktikan, sangat rendahnya kesadaran politik
masyarakat yang terlibat dalam sebuah pesta demokrasi.
Tidak saja masalah muncul dari para bakal calon. KPUD juga tidak sedikit menyumbang
persoalan. Di salah satu KPUD di Jakarta, para anggotanya terbukti mengemplang dana Pilkada.
Korupsi dana Pilkada itu sempat memperlambat proses Pilkada.
Dapatlah dilihat seperti apa rendahnya mental para penjabat publik ini. Bahkan yang paling
memalukan adalah, untuk sekadar meloloskan bakal calon yang tidak memunihi syarat, anggota
KPUD meminta dana puluhan juta rupiah dari para bakal calon.
Sejumlah kecurangan yang dilakukan oleh para bakal calon, antara lain :
1. Politik Uang.
Politik uang ini selalu saja menyertai setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan kondisi
ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, para bakal calon membagi-bagikan uang
kepada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Masih rendahnya tingkat
pendidikan masyarakat, memudahkan para pelaku politik ini memperalat dan mengatur proses
pemilihan di tingkat masyarakat pemilih. Barangkali, inilah sebabnya, untuk menjadi seorang
kapal daerah, keahlian politik dan kemampuan memimoin saja tidak cukup. Mereka harus
berbakal uang yang banyak.
1. Intimidasi.
Beberapa oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos
salah satu calon. Ini jelas-jelas melanggar peraturan pemilihan umum.
1. Pendahuluan Start Kampanye.
Tindakan inilah yang paling sering terjadi. Modusnya beragam pula, seperti pemasangan baliho,
spanduk, pembagian selebaran. Motif kunjungan kerja pun sering dilakukan, khususnya bagi
calon incumbent. Intensitas kunjungan kerja ini akan makin tinggi saat mendekati pemilu. Media
lokal bahkan sering digunakan sebagai alat kampanye dini. Para balon menyembunyikan visi-
misi kampanyenya di balik berita-berita media. Ini juga disebabkan kurangnya pemahaman
jurnalis terhadap pemilihan umum.
1. Kampanye Negatif.
Ini dikarenakan, informasi masih dilihat sebagai sebuah hal yang tidak penting oleh masyarakat.
Masyarakat hanya menurut pada sosok tertentu yang selama ini dianggap tokoh masyarakat.
Kampanye negatif seperti ini dapat mengarah pada fitnah yang dapat merusak integritas daerah
tersebut.

Solusi
Untuk meminimalkan masalah yang mungkin timbul itu, diperlukan peran serta masyarakat,
tidak semata-mata tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul
karena pemilu antara lain :
1. Seluruh pihak yang ada di daerah sampai pusat, bersama-sama menjaga ketertiban dan
kelancaran pelaksanaan Pilkada. Tokoh-tokoh masyarakat yang merupakan panutan
diharapkan memberikan contoh yang baik bagi warganya. Ini akan menekan munculnya
konflik.
2. Saling menghargai pendapat. Perbedaan pendapat dalam demokrasi adalah hal wajar.
Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat
berjalan dengan lancar.
3. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan, agar masyarakat dapat memperoleh informasi
yang akurat.
4. Memilih dengan hati nurani tanpa paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip-prinsip
pemilu dapat terlaksana dengan baik.
Bangsa yang belajar adalah bangsa yang setiap waktu mau berbenah diri. Pemerintah Indonesia
telah berusaha membenahi sistem yang telah ada untuk mengedepankan kepentingan rakyat.
Walaupun dalam pelaksanaannya, pilkada masih kerap memunculkan masalah, tetap harus
dihargai sebagai sebuah proses yang akan terus disempurnakan hingga didapati sebuah sistem
yang benar-benar menjamin keakuratan dan kredibilitas sebuah proses demokratisasi.
Sebagai bahan pendidikan politik bagi masyarakat, baik persoalan maupun prestasi yang timbul
karena proses politik tersebut harus selalu diapresiasi dengan positif, bahwa menghargai
pendapat, kebersamaan dalam menghadapi sesuatu, adalah hal positif lainnya dari sebuah
demokrasi.
Manusia yang bodoh dan pandir adalah manusia yang masuk lubang kesalahan berulangkali,
tanpa ada sikap dan dan niat untuk memperbaikinya. Sebisa mungkin, persoalan-persoalan yang
pernah terjadi pada pilkada lampau, tidak terulang pada pilkada kali ini. ***
Tujuh Masalah Pilkada DKI Jakarta
Senin, 09 Juli 2012, 10:49 WIB


Petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Menteng menyiapkan kotak-kotak suara Pilkada DKI Jakarta 2012-2017
di Kantor Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (19/6). (Aditya Pradana Putra/Republika)
Berita Terkait
57,9 Persen Warga DKI tak Tahu 11 Juli Pencoblosan
Warga DKI Pilih Cagub Karena Programnya? Belum Tentu
Polisi Kawal Pencopotan Atribut Kampanye
Sosiolog UI: Pemilukada DKI Dua Putaran
UI: Gunakan Akal Sehat dalam Pemilukada DKI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia melihat, setidaknya
ada tujuh masalah yang perlu diwaspadai menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta yang akan dilangsungkan
pada Rabu (11/6). Tak hanya oleh pemilih, masalah itu juga harus diantisipasi pemantau, peserta,
penyelenggara, dan pengawas pilkada.

''Pertama, terjadinya pelanggaran atas pemenuhan hak politik rakyat untuk memilih. Ini lantaran adanya
persoalan adminstratif yang berhubungan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT),'' kata Koordinator Kajian KIPP,
Girindra Sandino, melalui rilis yang diterima, Senin (9/6).

Kedua, lanjutnya, adanya bujukan atau janji tidak realistis yang pada dasarnya dapat menipu rakyat untuk
memilih psangan calon tertentu. Ketiga, adanya upaya untuk terus melakukan politisasi berbagai isu yang
berdampak terhadap menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap integritas penyelenggara pemilu.

Ke empat, potensi terjadinya serangan fajar, dalam berbagai bentuk. Mulai politik uang, sembako, sampai janji
akan memberikan imbalan dengan bukti telah memilih pasangan calon tertentu.

Ke lima, kemungkinan tekanan psikologis baik dari kelompok kontestan tertentu ataupun unsur birokrasi di
lingkungan. Atau komunitas tertentu untuk menentukan pilihan politik yang diarahkan. Ke enam, ketidakberesan
adminstratif di jajaran penyelenggara saat pemungutan suara, penghitungan dan penetapan hasil.

''Ke tujuh, upaya-upaya untuk terus membangun opini bahwa pilkada adanya kecurangan guna memudahkan
mobilisasi protes massif dan sebagai prakondisi bagi langkah hukum menggugat hasil pilkada ke Mahkamah
Konstitusi,'' pungkas Girindra.
Permasalahan DPT Warnai Pilkada DKI
Jakarta
Sejumlah warga tidak masuk daftar pemilih tetap (DPT) pemilihan kepala daerah Jakarta
sehingga tidak bisa menggunakan hak suaranya.

Surianto, 60, warga kelurahan Tanah Tinggi, kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat,
terkejut ketika ia tidak dapat menggunakan hak pilihnya untuk pemilihan kepala daerah
Jakarta pada Rabu (11/7). Meski ia memiliki kartu tanda penduduk (KTP) DKI Jakarta, ia
dinyatakan tidak termasuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Saya tanya Pak RT, hak suara saya ke mana, kok tidak terdaftar. Saya beri KTP karena
ingin menyoblos, tapi tidak diterima. Petugas TPS [Tempat Pemungutan Suara]
mengatakan nama saya tidak ada, ujar Sorianto.

Saya katakan saya punya KTP, dan Kartu Keluarga. Saya merasa dirugikan kalau
caranya begini. Saya tinggal di sini sejak 1965, selama ini tidak pernah ada masalah,
tambahnya.

Di Apartemen Taman Rasuna, Jakarta Selatan, kurang lebih 15 orang warga berang
karena menemukan namanya tidak ditemukan dalam DPT meski sudah memiliki KTP
dan mendaftar.

Kami adalah penghuni lama di sini, sudah mendaftar dan saya sudah memilih baik di
pemilu dan pilkada sebelumnya. Mengapa jadi tidak bisa menggunakan hak pilih? Saya
tidak menyangka niat baik untuk memilih gubernur dihalangi birokrasi yg berantakan,
kekakuan legalistik dan kemungkinan niat curang, ujar Devi Asmarani, salah seorang
warga.

Menurut Devi, ia dan warga-warga lainnya telah memarahi petugas TPS dan
mengancam akan melakukan class action, namun tetap tidak diperbolehkan memilih
meski sudah menunjukkan KTP.

Menanggapi permasalahan itu, Safari Musir, ketua penyelenggara pemungutan suara
wilayah Tanah Tinggi menjelaskan, warga yang tidak terdaftar kemungkinan memiliki
KTP ganda.

Bukannya tidak tercatat, sebenarnya dicatat. Cuma kita perlu penyortiran, takut nanti
ada yang ganda, ujarnya.

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta menyatakan telah menghapus
21.344 pemilih dari DPT karena memiliki identitas ganda, sehingga jumlah pemilih pun
berubah dari 6.983.692 orang pemilih menjadi 6.962.348 orang.

Para pemilih tersebut pada Rabu menggunakan hak politiknya untuk memilih gubernur
dan wakil gubernur untuk periode 2012-2017. Masing-masing warga memilih sepasang
kandidat dari enam pasang calon yang bertarung dalam pemilihan tersebut: Pasangan
Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli; Hendardji- Riza Patria; Joko Widodo-Basuki Tjahaja
Purnama; Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini; Faisal Basri-Biem Benjamin; dan Alex
Noerdin - Nono Sampono.

Beberapa lembaga penelitian dan media massa pada hari yang sama mulai melakukan
penghitungan cepat (quick count) hasil pilkada DKI Jakarta. Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mencatat pasangan Joko
Widodo-Basuki Tjahaja Purnama untuk sementara unggul dengan angka 44 persen,
disusul Fauzi Bowo 33 persen, Hidayat 11,24 persen.

Suhardi, ketua tim penghitungan cepat LP3ES mengatakan, ini baru hasil sementara
dari 500 Tempat Pemilihan Suara (TPS) yang di data.

Sekarang suara sudah masuk sekitar 52 persen dari 500 TPS yang menjadi sampling.
Metode kita perhitungan langsung dari TPS-TPS yang menjadi sampling, jelasnya.

Sementara itu, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menempatkan pasangan Jokowi-
Basuki Tjahaja Purnama di posisi pertama dengan suara 43,03 persen, disusul Fauzi
Bowo-Nahrowi Ramli dengan 34,58 persen dan Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini
11,49 persen. LSI telah menyelesaikan quick count sebanyak 64,86 persen.
INILAH.COM, Jakarta - Relawan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI
Jakarta 2012 Joko Widodo (Jokowi)-Basuki T Purnama (Ahok) yang tergabung dalam Pos
Perjuangan Rakyat (Pospera), optimis 50 persen suara dari suara Golput (tidak memilih)
pada Pilkada putaran pertama akan memberikan hak pilihnya.

Menurut Koordinator Pospera, Mustar Bona Ventura, berubahnya sebagian besar suara Golput
karena mereka telah sadar akan keadaan politik saat ini. Kami optimis 50 persen dari 2,6 juta
angka Golput pada pemilihan putaran kemarin, pada putaran kedua pasti akan melakukan
pemilihan. Pasalnya, mereka baru menyadari segala permasalahan yang ada setelah Pemilu
berlangsung, kata Mustar kepada INILAH.COM di Gading Nias Resident, Kelapa Gading,
Jakarta Utara, Minggu (22/7/12).

Menurut Mustar, KPUD DKI Jakarta telah melakukan banyak kesalahan sistematis dalam
pemilihan putaran pertama. Hal itulah yang kemudian dianggap menjadi pemicu para pemilih di
Jakarta untuk ikut ambil bagian dalam pemilihan putaran kedua nanti.

Angka itu kan sebenarnya kesalahan panitia pemilihan. Ini terbukti KPUD tidak siap
menyelenggarakan pemilu yang berkualitas, tegasnya.

Mustar menambahkan, saat ini pihaknya optimis bahwa Jokowi-Ahok dapat merebut suara
Golput tersebut. Pasalnya, saat ini pihaknya sudah mempersiapkan langkah strategis untuk
mendapatkannya yangi cukup besar terjadi di Jakarta.

Kita membangun kesadaran politik. Untuk memilih itu orang karena kesadaran dan bukan
karena uang, tandasnya. [ton]

Anda mungkin juga menyukai