Anda di halaman 1dari 23

1

LEMBAR PENGESAHAN




JUDUL REFERAT : SIROSIS HEPATIS
NAMA MAHASISWA : Henza Ayu Primalita (030.09.110)
DIBACAKAN TANGGAL :
DIREVISI TANGGAL :









Tegal, Juni 2014
Pembimbing







dr. Said Baraba, Sp.PD-FINASIM





2
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan.................................................................................................1
Daftar Isi..................................................................................................................2
Bab I (Pendahuluan)................................................................................................3
Bab II (Isi)...............................................................................................................4
Definisi........................................................................................................4
Epidemiologi...............................................................................................4
Etiologi dan Klasifikasi...............................................................................5
Patogenesis dan Patofisiologi......................................................................7
Penegakan Diagnosis..................................................................................10
Penatalaksanaan..........................................................................................16
Komplikasi..................................................................................................20
Prognosis.....................................................................................................21
Bab III (Kesimpulan)..............................................................................................22
Daftar Pustaka.........................................................................................................23















3
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit sirosis hepatis merupakan penyebab kematian terbesar setelah
penyakit kardiovaskuler dan kanker (Lesmana, 2004). Diseluruh dunia sirosis hepatis
menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap
tahun akibat penyakit ini. Sirosis hepatis merupakan penyakit hati yang sering
ditemukan dalam ruang perawatan dalam. Gejala klinis dari sirosis hepatis sangat
bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas. Apabila
diperhatikan, laporan di negara maju, maka kasus sirosis hepatis yang datang berobat
kedokter hanya kira-kira 30% dari seluruh populasi penyakit ini dan lebih dari 30%
lainnya ditemukan secara kebetulan ketika berobat , sisanya ditemukan saat otopsi
(Sutadi, 2003).
Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), pada tahun 2000 sekitar 170 juta
umat manusia terinfeksi sirosis hepatis. Angka ini meliputi sekitar 3% dari seluruh
populasi manusia di dunia dan setiap tahunnya infeksi baru sirosis hepatis bertambah
3-4 juta orang. Angka prevalensi penyakit sirosis hepatis di Indonesia, secara pasti
belum diketahui. Prevalensi penyakit sirosis hepatis pada tahun 2003 di Indonesia
berkisar antara 1-2,4%.
Menurut Ali (2004), angka kasus penyakit hati menahun di Indonesia sangat
tinggi. Jika tidak segera diobati, penyakit itu dapat berkembang menjadi sirosis atau
kanker hati, sekitar 20 juta penduduk Indonesia terserang penyakit hati menahun.
Angka ini merupakan perhitungan dari prevalensi penderita dengan infeksi hepatitis B
di Indonesia yang berkisar 5-10 persen dan hepatitis C sekitar 2-3 persen. Dalam
perjalanan penyakitnya, 20-40 persen dari jumlah penderita penyakit hati menahun itu
akan menjadi sirosis hati dalam waktu sekitar 15 tahun, tergantung sudah berapa lama
seseorang menderita hepatitis menahun itu.
Sirosis hepatis merupakan penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia
termasuk di Indonesia, kasus ini lebih banyak ditemukan pada kaum laki-laki
dibandingkan kaum wanita dengan perbandingan 2-4 : 1 dengan umur rata-rata
terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar 40-49 tahun
(Hadi, 2008).


4
BAB II
ISI

A. DEFINISI
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat
nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan
ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati. Sirosis hati
secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala
klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda
klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis
kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya
dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati. Gejala klinis dari sirosis hepatis
sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas.
Gejala patologik dari sirosis hepatis mencerminkan proses yang telah berlangsung
lama dalam parenkim hepar dan mencakup proses fibrosis yang berkaitan dengan
pembentukan nodul-nodul regeneratif. Kerusakan dari sel-sel hepar dapat
menyebabkan ikterus, edema, koagulopati, dan kelainan metabolik lainnya.
1
Secara lengkap, sirosis hepatis adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro,
anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sistem arsitektur hepar mengalami
perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis) di
sekitar parenkim hepar yang mengalami regenerasi.
1


B. EPIDEMIOLOGI
Insidensi sirosis hepatis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk.
Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hepar alkoholik dan infeksi virus kronik.
Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada, hanya laporan-laporan dari
beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis
hepatis berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam
kurun waktu 1 tahun pada tahun 2004. Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun
dijumpai pasien sirosis hepatis sebanyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien di
Bagian Penyakit Dalam.
4
Penderita sirosis hepatis lebih banyak dijumpai pada laki-
laki jika dibandingkan dengan wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak
antara golongan umur 30 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 49 tahun
1,2

5

C. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Penyebab pasti dari sirosis hepatis sampai sekarang belum jelas. Sebagian
besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologi dan morfologis menjadi: 1).
alkoholik, 2) kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrosis), 3) biliaris, 4) kardiak,
dan 5) metabolik, keturunan, dan terkait obat.
Di negara barat yang tersering akibat alkoholik sedangkan di Indonesia
terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di Indonesia
menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus
hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk
kelompok virus bukan B dan C (non B-non C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di
Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya.
1) Faktor keturunan dan malnutrisi
Kekurangan protein menjadi penyebab timbulnya sirosis hepatis. Hal
ini dikarenakan beberapa asam amino seperti metionin berpartisipasi dalam
metabolism gugus metil yang berperan mencegah perlemakan hati dan sirosis
hepatis.
2) Hepatitis virus
Hepatitis virus sering juga disebut sebagai salah satu penyebab dari
sirosis hepatis. Secara klinik telah dikenal bahwa virus hepatitis B lebih
banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan gejala sisa serta
menunjukkan perjalanan yang kronis bila dibandingkan dengan virus hepatitis
A. penderita dengan hepatitis aktif kronik banyak yang menjadi sirosis karena
banyak terjadi kerusakan hati yang kronis.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sekitar 10% penderita virus hepatitis B akut
akan menjadi kronis. Apalagi bila pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
HBsAg positif dan menetapnya antigen virus lebih dari 10 minggu disertai
tetap meningginya kadar asam empedu puasa lebih dari 6 bulan, maka
mempunyai prognosis yang kurang baik.
3) Zat hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan fungsi sel hati secara akut dan kronik. Kerusakan hati secara akut
akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak. Sedangkan kerusakan kronik
akan berupa sirosis hepatis. Pemberian bermacam obat-obatan hepatotoksik
6
secara berulang kali dan terus menerus. Mula-mula akan terjadi kerusakan
setempat, kemudian terjadi kerusakan hati yang merata, dan akhirnya dapat
terjadi sirosis hepatis. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut adalah
alcohol. Efek yang nyata dari etil akohol adalah penimbunan lemak dalam
hati.
4) Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-
orang muda ditandai dengan sirosis hepatis, degenerasi ganglia basalis dari
otak, dan terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan
disebut Kayser Fleiscer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defisieni
sitoplasmin bawaan.
5) Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada 2 kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
i. Sejak dilahirkan, penderita mengalami kenaikan absorpsi dari
besi
ii. Kemungkinan didapat setelah lahir (aquisita), misalnya dijumpai
pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya
absorpsi dari besi kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis
hepatis.
Sebab-sebab lain:
1,2

1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak.
Perubahan fibrotic dalam hati terjadi sekunder terhadap anoksia.
2. Sebagai akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat
menimbulkan sirosis biliaris primaer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada
kaum wanita
3. Penyebab sirosis hepatis yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis
hepatic yang tidak diketahui dan digolongkan dalam siross kriptogenik.
Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris (Sherlock melaporkan 49&).
Penderita ini sebelumnya tidak menunjukkan tanda-tanda hepatitis atau
alkoholisme, sedangkan dalam makanannya cukup mengandung protein
(Nurjanah, 2007)
Sirosis secara morfologi diklasifikasikan sebagai makronodular (besar nodul
lebih dari 3 mm) atau mikronodular (besar nodul kurang dari 3 mm) atau campuran
7
mikro dan makronodular.
1,2

Di negara barat yang tersering akibat alkoholik sedangkan di Indonesia
terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di Indonesia
menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus
hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk
kelompok virus bukan B dan C (non B-non C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di
Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya.
Secara fungsional, sirosis hepatis terbagi atas:
1,2

1. Sirosis Hepatis Kompensata
Sering disebut dengan latent cirrhosis hepar. Pada stadium kompensata ini
belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada
saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis Hepatis Dekompensata
Dikenal dengan active cirrhosis hepar, dan stadium ini biasanya gejala-gejala
sudah jelas, misalnya ; asites, edema dan ikterus.

D. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus mulai dari hepatitis virus
menjadi sirosis hepatis belum jelas. Pathogenesis yang mungkin terjadi yaitu:
1. Mekanis
2. Immunologis
3. Kombinasi keduanya
Namun yang utama adalah terjadinya peningkatan aktivitas fibroblast dan
pembentukan jaringan ikat.
1. Mekanis
Pada daerah hati yang mengalami nekrosis konfluen, kerangka reticulum
lobulus hepar yang mengalami kolaps akan berlaku sebagai kerangka untuk terjadinya
daerah parut yang luas. Dalam kerangka jaringan ikat ini, bagian parenkim hati yang
bertahan hidup berkembang menjadi nodul regenerasi. (Silbernagl & Lang 2006)
2. Teori Immunologis
Sirosis hepatis dikatakan dapat berkembang dari hepatitis akut jika melalui
proses hepatitis kronik aktif terlebih dahulu. Mekanisme imunologis mempunyai
peranan penting dalam hepatitis kronis. Ada dua bentuk hepatitis kronis:
i. Hepatitis kronik tipe B
8
ii. Hepatitis kronik autoimun atau tipe Non A-Non B
Proses respon imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk
menyingkirkan virus atau hepatosit terinfeksi, dan sel yang mengandung virus ini
merupakan rangsangan untuk terjadinya proses imunologis yang berlangsung terus
sampai terjadi kerusakan sel hati.
Faktor genetic dan lingkungan yang menyebabkan kerusakan sel hati dapat
menyebabkan sirosis melalui respon patobiologi yang saling berhubungan, yaitu
reaksi sistem imun, peningkatan sintesis matriks dan abnormalitas perkembangan sel
hati yang tersisa. Perlukaan terhadap sel hati dapat menyebabkan kematian sel, yang
kemudian diikuti terjadinya jaringan parut (fibrosis) atau pembentukan nodul
regenerasi. Hal tersebut selanjutnya akan menyebabkan gangguan fungsi hati,
nekrosis sel hati dan hipertensi porta. Hipertensi porta mengakibatkan penurunan
volume intravaskuler sehingga perfusi ginjal menurun. Hal ini meningkatkan aktifitas
plasma renin sehingga aldosterone juga meningkat. Aldosterone berperan dalam
mengatur keseimbangan elektrolit terutama natrium. Dengan peningkatan aldosterone
makan terjadi retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan retensi cairan
(Silbernagl & Lang, 2006)

Gambar 1. Patofisiologi Sirosis
[9]


9
Sirosis hepatis termasuk 10 besar penyebab kematian di dunia Barat.
Meskipun terutama disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol, kontributor utama
lainnya adalah hepatitis kronis, penyakit saluran empedu, dan kelebihan zat besi.
Tahap akhir penyakit kronis ini didefinisikan berdasarkan tiga karakteristik :
3,4

1. Bridging fibrous septa dalam bentuk pita halus atau jaringan parut lebar
yang menggantikan lobulus.
2. Nodul parenkim yang terbentuk oleh regenerasi hepatosit, dengan ukuran
bervariasi dari sangat kecil (garis tengah < 3mm, mikronodul) hingga
besar (garis tengah beberapa sentimeter, makronodul).
3. Kerusakan arsitektur hepar keseluruhan.
Beberapa mekanisme yang terjadi pada sirosis hepatis antara lain kematian
sel-sel hepatosit, regenerasi, dan fibrosis progresif. Sirosis hepatis pada mulanya
berawal dari kematian sel hepatosit yang disebabkan oleh berbagai macam faktor.
Sebagai respons terhadap kematian sel-sel hepatosit, maka tubuh akan melakukan
regenerasi terhadap sel-sel yang mati tersebut. Dalam kaitannya dengan fibrosis,
hepar normal mengandung kolagen interstisium (tipe I, III, dan IV) di saluran porta,
sekitar vena sentralis, dan kadang-kadang di parenkim. Pada sirosis, kolagen tipe I
dan III serta komponen lain matriks ekstrasel mengendap di semua bagian lobulus dan
sel-sel endotel sinusoid kehilangan fenestrasinya. Juga terjadi pirau vena porta ke
vena hepatika dan arteri hepatika ke vena porta. Proses ini pada dasarnya mengubah
sinusoid dari saluran endotel yang berlubang dengan pertukaran bebas antara plasma
dan hepatosit, menjadi vaskular tekanan tinggi, beraliran cepat tanpa pertukaran zat
terlarut. Secara khusus, perpindahan protein antara hepatosit dan plasma sangat
terganggu.
3,4

Hipertensi porta mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga
perfusi ginjal menurun. Hal ini meningkatkan aktifitas plasma renin sehingga
aldosterone juga meningkat. Aldosterone berperan dalam mengatur keseimbangan
elektrolit terutama natrium. Dengan peningkatan aldosterone makan terjadi retensi
natrium yang pada akhirnya menyebabkan retensi cairan (Silbernagl & Lang, 2006)

10

Gambar 2. Manifestasi hipertensi portal
[5]



Gambar 3. Manifestasi kegagalan fungsi hati
[5]

E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Gejala-gejala Sirosis
2

11
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit
lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi:
Perasaan mudah lelah dan lemas,
Selera makan berkurang,
Perasaan perut kembung,
Mual,
Berat badan menurun,
Pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, bush dada
membesar, hilangnya dorongan seksualitas.

Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol
terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi:
Hilangnya rambut badan
Gangguan tidur
Demam tak begitu tinggi
Gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan
siklus haid
Ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat
Muntah darah dan/atau melena
Perubahan mental meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung,
agitasi, sampai koma.

2. Temuan Klinis
9

Temuan klinis sirosis meliputi:
Spider angioma spiderangiomata (atau spider telangiektasi), suatu lesi
vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini sering
ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak
diketahui, ada anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio
estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan selama
hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada orang sehat,
walau umumnya ukuran lesi kecil.

12









Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar
telapak tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme
hormon estrogen. Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan
pula pada kehamilan, artritis reumatoid, hipertiroidisme, dan
keganasan hematologi.










Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horisontal
dipisahkan dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum
diketahui, diperkirakan akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa
ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom
nefrotik.
Jari gada (clubbing finger) lebih sering ditemukan pada sirosis bilier.
Osteoartropati hipertrofi suatu periostitis proliferatif kronik,
menimbulkan nyeri.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan
kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak
13
secara spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan
pada pasien diabetes melitus, distrofi refleks simpatetik, dan perokok
yang juga mengkonsumsi alkohol.
Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan
glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan
androstenedion. Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan
aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah
feminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti
sehingga dikira fase menopause.
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil.
Tanda ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.
Hepatomegali, ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau
mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular.
Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang
penyebabnya non-alkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti karena
hambatan aliran darah dari limpa ke hepar, sehingga limpa
membengkak.
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi
porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat
hipertensi porta.
Fetor hepatikum, bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan
peningkatan konsentrasi dimetil sulfid akibat pintasan porto sistemik
yang berat.
Ikterus pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila
konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3 mg/ dl tak terlihat. Warna urin
terlihat gelap seperti air teh.
Asterixis-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-
ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan.



14

Gambar 4. Manifestasi klinis dari sirosis hepatis
[6]
Tanda-tanda lain yang menyertai di antaranya:
Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar.
Batu pada vesika felea akibat hemolysis
Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini
akibat sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat
resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta
pankreas.

3. Gambaran Laboratoris
9

Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada
waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi
15
keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gamma
glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin, dan waktu protrombin.
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat (SGOT)
dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase
(SGPT) meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih meningkat daripada ALT,
namun bila transaminase normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.
Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali Batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis
primer dan sirosis bilier primer.
Gamma-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali
fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati
alkoholik kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal
hepatik, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa
meningkat pada sirosis yang lanjut.
Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai
dengan perburukan sirosis.
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari
pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi imunoglobulin.
Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkatan disfungsi sintesis hati,
sehingga pada sirosis memanjang.
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.
Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia
normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer.
Anemia dengan trombositopenia, lekopenia, dan netropenia akibat
splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi pork sehingga terjadi
hipersplenisme.
Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi
adanya hipertensi porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan
karena pemeriksaannya non invasif dan mudah digunakan, namun
sensitivitasnya kurang. Pemeriksaan hati yang bisa dinilai dengan USG
meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa.
16
Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan irregular, dan ada
peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga bisa untuk melihat
asites, splenomegali, trombosis vena porta dan pelebaran vena porta, serta
shining adanya karsinoma hati pada pasien sirosis. Tomografi komputerisasi,
informasinya sama dengan USG, tidak rutin digunakan karena biayanya
relatifmahal. Magnetic resonance imaging, peranannya tidak jelas dalam
mendiagnosis sirosis selain mahal biayanya.

Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan
diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempuma mungkin bisa
ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium
biokimia/serologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan
diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisis, laboratorium, dan USG. Pada
kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit
membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini.
Pada stadium dekompensata diagnosis kadangkala tidak sulit karena gejala dan
tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.

F. PENATALAKSANAAN

Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan komplikasi. Pengobatan sirosis hati pada
prinsipnya berupa:
2

1. Simtomatis
2. Suportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang;
misalnya : cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
c. Pengobatan berdasarkan etiologi
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untk mengurangi
progresi kerusakan hati.
1. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati, meliputi :
17
Menghentikan penggunaan alcohol dan bahan atau obat yang
hepatotoksik
Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang dapat
menghambat kolagenik
Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif
Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai
konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
Pada penyakit hati nonalkoholik, menurunkan BB akan mencegah
terjadinya sirosis
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi
utama. Lamivudin diberikan 100mg secara oral setiap hari selama satu
tahun. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3MIU, 3x1
minggu selama 4-6 bulan.
Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin
merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara subkutan
dengann dosis 5 MIU, 3x1 minggu, dan dikombinasi ribavirin 800-
1000 mg/hari selama 6 bulan
Untuk pengobatan fibrosis hati, masih dalam penelitian. Interferon,
kolkisin, metotreksat, vitamin A, dan obat-obatan sedang dalam
penelitian.
2. Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata
Asites
Tirah baring
Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
Diuretic : spironolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic bisa
dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem kaki)
atau 1,0 kg/hari (dengan edema kaki). Bilamana pemberian
spironolakton tidak adekuat, dapat dikombinasi dengan
furosemide 20-40 mg/hari (dosis max.160 mg/hari)
Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter),
diikuti dengan pemberian albumin.
Peritonitis Bakterial Spontan
18
Diberikan antibiotik golongan cephalosporin generasi III seperti
cefotaksim secara parenteral selama lima hari atau quinolon secara
oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk profilaksis dapat
diberikan norfloxacin (400 mg/hari) selama 2-3 minggu.
Varises Esofagus
Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat penyekat
beta (propanolol)
Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin
atau okreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau
ligasi endoskopi
Ensefalopati Hepatik
Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia
Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia
Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama diberikan
yang kaya asam amino rantai cabang
Sindrom Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk SHR. Oleh
karena itu, pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian
utama berupa hindari pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites,
dan restriksi cairan yang berlebihan.
Transplantasi hati; terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata.
Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang
harus dipenuhi oleh resipien
Kriteria Umum Resipien pada Transplantasi Hati
2,7

Kriteria umum resipien yang akan dilakukan transplantasi hati, yaitu:
1) Tidak ada tindakan operasi maupun pengobatan medik yang dapat
memperpanjang harapan hidup pasien
2) Tidak ada komplikasi penyakit hati kronik yang menyebabkan peningkatan
resiko atau kontra-indikasi dilakukannya transplantasi hati
3) Adanya pengertian dari pasien dan keluarga tentang konsekuensi transplantasi
hati, meliputi resiko, keuntungan, dan biaya.
Ada empat macam kategori penyakit hati yang diindikasikan untuk
19
transplantasi hati yaitu:
a) Penyakit hati kronik irreversible
b) Keganasan hati nonmetastatik
c) Gagal hati fulminant
d) Gangguan metabolisme sekunder.
Seleksi Donor
Usia 2 bulan- 65 tahun,
trauma otak yang menyebabkan kematian batang otak,
adanya kecocokan ABO dan HLA,
kesediaan keluarga donor dengan bukti informed with consent,
tak ada penyakit berbahaya pada donor.
Komplikasi (selama dan setelah operasi)
Komplikasi akibat procedural
Kegagalan graft perioperative
Komplikasi non teknis
Penolakan Graft
Rejeksi hiperakut sangat jarang terjadi dan ini biasanya disebabkan oleh
presensitasi terhadap antigen donor. Rejeksi akut umunya reversible dan sebaliknya
pada rejeksi kronik
Immunosupresan
Obat-obat ini banyak digunakan untuk mempertahankan jaringan graft hati,
seperti:
a) Kortikosteroid. Diberikan setelah revaskularisasi jaringan hati donor.
Turunkan secara tapering dosis obat ini sampai mencapai baseline yang dapat
mempertahankan jaringan hati donor
b) Siklosporin dan Takrolimus.diberikan sebelum memulai dan setelah tindakan
transplantasi. Jika tidak dapat mentoleransi obat ini dapat ditambahkan
azatioprin untuk mencapai efek imunosupresi yang adekuat. Beberapa bulan
setelah kondisi jaringan hati donor stabil, turunkan dosis obat secara gradual.
20
c) Imunosupresan lainnya. Dapat digunakan mycophenolat mofetil, serolimus,
antilymphocyte antibody, dan specific monoclonal antibody sebagai
alternative kombinasi atau jika terdapat kontraindikasi pemberian obat diatas.
Kualitas Hidup
Proses transplantasi akan memperpanjang daya tahan hidup dan produktivitas
pasien. Sampai saat ini perpanjangan usia 1 tahun yang dicapai dengan transplantasi
hati mengalami peningkatan (50%), bahkan perpanjangan usia mencapai 3-8 tahun.
Hal ini tergantung dari banyak factor, terutama perawatan dan manajemen sebelum,
salama, maupun sesudah transplantasi hati oleh tim ahli hepatologi dan
ganstroenterologis.
G. KOMPLIKASI
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup
pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.
Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bakterial spontan,
yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra
abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri
abdomen.
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri,
peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal. Kerusakan hati
lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi
glomerulus.
Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esofagus. 20% sampai
40 % pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan.
Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak dua-pertiganya akan meninggal dalam
waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini
dengan beberapa cara.
Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi
hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat
timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.
21
Gambar 5. Grade ensefalopati hepatik
[8]

Pada sindrom hepatopulmonal terdapat hidrotoraks dan hipertensi
portopulmonal.

H. PROGNOSIS

Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain yang
menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Turcotte juga untuk menilai prognosis pasien
sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin,
albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati, dan status nutrisi.
Klasifikasi Child-Turcotte berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka
kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A,B, dan C
berturut-turut 100%,80%, dan 45%.
2

Gambar 6. Klasifikasi Modifikasi Child-Pugh
9

22
BAB III
KESIMPULAN

Mengingat pengobatan sirosis hati hanya merupakan simptomatik dan
mengobati penyulit, maka prognosisnya bisa buruk. Umumnya untuk menegakkan
diagnosis diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium terhadap
sirosis hepatis. Namun penemuan sirosis hati yang masih terkompensasi mempunyai
prognosis yang baik. Oleh karena itu ketepatan diagnosis dan penanganan sangat
dibutuhkan dalam penatalaksanaan sirosis hati.





































23
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1) Sutadi SM. Sirosis hati. Usu repository. 2003. [cited on 2014 June 17
th
].
Available from : URL :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3386/1/penydalam-
srimaryani5.pdf
2) Nurdjanah Sitti. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UI; 2006. hal. 443-53.
3) Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Hati dan saluran empedu Dalam : Hartanto
H, Darmaniah N, Wulandari N. Robbins Buku Ajar Patologi. 7
th
Edition.
Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. hal. 671-2.
4) Taylor CR. Cirrhosis. emedicine. 2009. [cited on 2014 June
17th
]. Available
from: URL : http://emedicine.medscape.com/article/366426-overview
5) Porth CM. Alterations in hepatobiliary function. In Essentials of
pathophysiology: concepts of altered health states. 2nd ed.: Lippincott
Williams & Wilkins; 2004. p. 494-516.)
6) Raymon T. Chung, Daniel K. Podolsky. Cirrhosis and its complication. In:
Kasper DL et.al, eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th Edition.
USA : Mc-Graw Hill; 2005. p. 1858-62
7) Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC
8) Ghany M, Hoofnagle JH. Approach to the patient with liver disease. In Kasper
DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors.
Harrison's principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill; 2005. p.
1808-13.
9) Schuppan D., Afdhal N.H. Liver Cirrhosis. [cited on 2014 June 17
th
] Available
from: URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2271178/

Anda mungkin juga menyukai