Anda di halaman 1dari 6

Alloh telah memilihkan STAN, untukku

*Ellen Maharani

Siapa yang tidak mengenal Sekolah Tinggi Akuntansi Negara? Rasanya sebagian besar
masyarakat Indonesia sudah mengenalnya. Tapi tidak untuk seorang Ellen Maharani ketika
masih belajar sebagai siswa di SMA Negeri 2 Bandar Lampung. Tidak untuk seseorang dengan
mimpi besar menjadi seorang Diplomat untuk negara-negara di dunia. Tidak untuk seseorang
yang lebih menyukai Geografi dan Sejarah dibandingkan Ekonomi atau Akuntansi. Tidak untuk
seseorang yang bahkan tidak pernah berniat untuk mendaftar menjadi seorang pegawai negeri.
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara bahkan tidak pernah melintas bahkan di salah satu
pemikiran luangnya, tidak sekalipun.


Aku adalah aku dengan pemikiran simple. Aku, Ellen Maharani. Seorang kakak perempuan
sulung dengan dua adik laki-laki. Anak dari kedua orang tua yang bukan samasekali pegawai
negeri di sebuah provinsi dengan paradigma bahwa menjadi pegawai negeri adalah suatu
kehormatan tersendiri. Ada beberapa cita-cita yang pernah ada dalam daftar jawabanku untuk
pertanyaan-pertanyaan standar yang pernah dilontarkan orang-orang disekelilingku baik secara
langsung maupun tidak langsung, baik dalam bentuk isian biodata tidak resmi dan resmi. Aku
pernah ingin menjadi dokter ketika SD. Kupikir cita-cita ini merupakan hal yang serius kala itu,
karena menjadi bahasan dan pertanyaan dimana-dimana, sehingga ketika aku menjadi siswa
SLTP, aku mulai melakukan pembahasan serius dengan datukku perihal cita-cita. Dalam
benakku saat itu, yang namanya cita-cita adalah pekerjaan, mau jadi apa aku nanti namun
harus sesuai dengan kesukaan. Aku mau jadi arkeolog, aku mau jadi sastrawan. Tapi menurut
datuk, cita-citaku tidak umum, namun dia tetap mendengarkan. Seiring berjalannya waktu,
akhir SLTP menuju SMA, aku sudah punya cita-cita logis yang umum yakni menjadi penyiar radio
dan guru bahasa inggris di bimbel terkemuka. Dengan cita-cita seperti itu, mana ada yang
menganggapnya serius karena menurut teman-temanku kurang bonafide. Sehingga cita-cita
seriusku berikutnya, dengan keinginan simple yaitu berkeliling dunia, adalah menjadi Diplomat.

Ketika SMA, menurutku menjadi Diplomat adalah pilihan logis. Ketika siswa-siswa lain di kelas
digolongkan sesuai dengan kompetensinya dalam science (matematika, fisika, biologi, kimia)
sedangkan aku digolongkan menjadi siswa dengan kompetensi bahasa inggris, di sebuah Program
Akselerasi yang tidak memungkinkan siswanya untuk memilih penjurusan ilmu sosial atau
bahasa. Pilihan seriusku di kala itu adalah aku harus bisa masuk Jurusan Hubungan Internasional
Universitas Indonesia (UI) untuk bisa meraih cita-citaku sebagai Diplomat. Targetku adalah
kelulusan di SNMPTN (istilah untuk ujian masuk perguruan tinggi) bukan hanya kelulusan Ujian
Nasional. Menurutku, kelulusan SMA adalah titik dimana semua takdir masa depanku bertumpu.
Titik dimana keseluruhan nama baik seseorang sebagai siswa dipertaruhkan. Setelah bertahun-
tahun belajar di sebuah sistem pendidikan, kelulusan SNMPTN masih menjadi indikator
keberhasilan seseorang yang paling berpengaruh. Menurut ibuku, pemilihan perguruan tinggi
sangatlah berpengaruh. Lulusan perguruan tinggi di Pulau Jawa jauh lebih dihargai dibanding
dengan lulusan perguruan tinggi provinsi yang bersangkutan. Proses pemikiran selanjutnya
adalah pemilihan jurusan dan universitas untuk pengisian formulir SNMPTN-ku. Untuk
menghargai ayah dan jurusan IPA yang kuambil selama SMA, aku menetapkan pilihan pertama
yakni Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB). Pilihan pertamaku di kala itu adalah
peringkat pertama tersulit. Aku tahu tidak akan berhasil lulus pilihan pertama karena aku lebih
yakin akan pilihan keduaku yakni Hubungan Internasional UI. Pilihan ketiga hanya bersifat jaga-
jaga yang disesuaikan dengan minat science-ku yakni Biologi dan Kimia sehingga jatuh pada
pilihan Farmasi ITB.

Segala sesuatu berjalan sesuai rencana, aku tidak pernah absen mengikuti bimbingan belajar
SNMPTN-ku bahkan sebelum Ujian Nasional. Aku pun tidak pernah absen mengikuti bimbingan
belajar bahasa inggrisku. Aku pun tidak pernah absen beribadah dan berdoa. Aku melakukan
segala sesuatu untuk mewujudkann cita-citaku yakni berikhtiar maksimal dan berdoa. Aku yakin
ikhtiarku akan ikut dinilai oleh Alloh, maka aku berikhtiar dengan sebaik-baiknya ikhtiar yang
dapat ku lakukan. Tidak pantas bagiku untuk menodai ikhtiarku dengan setitikpun
ketidakpatutan seperti mencontek. Aku memiliki prinsip untuk tidak akan melakukan
ketidakpatutan itu demi apapun. Aku tidak membutuhkan penilaian maksimal di kertas, aku
hanya membutuhkan penilaian Alloh yang memungkinkannya untuk menyayangiku di titik
penentuan takdir masa depan. Keyakinanku amat besar sekali bahwa Alloh selalu bersamaku.

Targetku adalah lulus Hubungan Internasional UI melalui SNMPTN. Aku fokus dan akan
melakukan apapun untuk mewujudkannya. Aku tidak memilih untuk mendaftar PMDK atau
yang dikenal dengan sistem undangan dari Universitas Lampung (Unila). Pun aku tidak
mengikuti Ujian Masuk Universitas Gadjah Mada (UM-UGM) seperti yang dilakukan oleh
sebagian besar teman-temanku. Aku fokus karena aku tahu apa yang aku inginkan. Ketika aku
bercerita kepada ibuku mengenai kelulusan teman-teman di Unila dan UM-UGM, beliau mulai
diserang kepanikan, mengapa aku bukan merupakan salah satu di antaranya. Aku jelaskan
keinginanku dan memberitahukan sekalipun aku tidak lulus, aku akan tetap melanjutkan
bimbingan belajar bahasa inggris dan ikut sesekali menjadi pengajar. Tekad bulat dan usahaku
ternyata belum cukup meyakinkannya. Beliau mengatakan bahwa aku harus tetap memiliki
rencana cadangan untuk tetap melanjutkan pendidikan. Ibu,, bagaimana mungkin aku
mengatakan tidak padanya. Sampai tiba saatnya beliau menemukan Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara (STAN) dan STT-Telkom sebagai alternatif rencana cadangannya. Setelah mencari
informasi, aku putuskan untuk tidak mencoba STT-Telkom karena aku tidak begitu menyukai
science.

Ibu sangat bersemangat mencarikan informasi mengenai STAN dengan siapapun dan
dimanapun. Beliau yang turut berperan aktif menentukan spesialisasi yang sebaiknya ku pilih.
Aku awam. Aku ikhlas, karena toh ini hanyalah rencana cadangan, yang akan dijalankan ketika
rencana utama tidak berjalan dengan baik. Aku diikutsertakan dengan pendaftaran dan
pemberangkatan yang terkoodinasi dengan Keluarga Mahasiswa Lampung (Kemala) STAN
dengan pelaksanaan ujian di Jakarta. Di masaku, Lampung belum menjadi salah satu lokasi
ujian. Aku patuh. Aku belum mengenal jenis soal STAN USM STAN samasekali. Saking fokusnya
aku dengan target SNMPTN-ku, aku menolak untuk mengikuti Try Out USM STAN yang
ternyata sudah pernah dilaksanakan sebelumnya oleh Kemala STAN. Aku mulai berkenalan
dengan jenis soal USM STAN ketika pendaftaran di Jakarta, ada beberapa orang yang menjual
Buku Kumpulan Soal-Soal USM STAN. Menurutku, tidak pernah ada salahnya untuk mengikuti
keinginan ibu dan aku mulai memupuk doa untuk segala kebaikan dari keseluruhan ikhtiar-
ikhtiarku.

Menurutku, waktu-waktu akhir sebelum pelaksanaan ujian hanya boleh diisi dengan doa tiada
henti dan review soal-soal dan jawaban semua latihan-latihan yang pernah aku jalani dengan
porsi secukupnya saja. Pembebanan belajar yang terlalu berat hanya akan berakibat terhadap
ketegangan dan kepanikan semata. Ayah mengajak kami sekeluarga makan di luar, H-1
SNMPTN untuk menyemangatiku. Ayah senantiasa mengantar dan menjemputku selama dua
hari pelakasnaan SNMPTN. Beliau menanyakan, bagaimana pelaksanaan SNMPTN-ku, ku
jawab baik-baik saja. Baik-baik saja jelas merupakan kebohongan putih yang kulakukan untuk
memberikan ketenangan dalam hatinya. Jelas-jelas pelaksanaan ujianku tidak baik-baik saja.
Bagaimana mungkin aku melakukan beberapa kesalahan yang sebetulnya bodoh dan ceroboh.
Aku mengambil ujian IPC (campuran IPA dan IPS). Hari pertama, untuk ujian dasar, aku
membubuhkan tandatangan untuk kotak yang salah. Hari kedua, untuk ujian IPA, aku hampir
saja lupa membubuhkan kode soal bahkan ketika lembar jawabanku sudah dikumpulkan.
Untuk ujian IPS, semua soal yang ada adalah soal yang samasekali baru yang aku tidak mengerti
samasekali. Aku panik di bagian awal ujian, aku hanya mampu mengisi 20% dari keseluruhan
jumlah soal dengan keyakinan. Aku sempat terdiam dan berpikir, HI-UI akankah melayang
semudah ini. Maka aku melakukan sesuatu yang menurutku berada di luar logika dan
penalaran. Aku berdoa, aku meminta. Aku melakukan pengisian hampir 80% dari semua
pertanyaan dengan gambling berstrategi. Kujawab terlebih dahulu soal-soal dengan keyakinan
50% dan kukalikan jumlah-jumlah soal tersebut dengan empat untuk menentukan jumlah soal
yang harus kujawab dengan keyakinan 25%. Aku benar-benar memaksimalkan ikhtiarku tanpa
penodaan mencontek di setiap bagiannya.

Waktu pelaksanaan SNMPTN dan STAN hanya bertaut dua hari. Keesokan pagi setelah
SNMPTN, rombongan bus dari Lampung menuju lokasi ujian Jakarta. Pagi itu, ramai sekali.
Semua orang tua ikut mengiringi kepergian putra-putri kesayangannya. Aku dan beberapa
temanku hanya mengobrol sepanjang perjalanan. Tidak sedikit peserta rombongan yang belajar
bersama, saling bertanya satu samalain mengenai soal-soal USM STAN. Semua serius, semua
mengadu nasibnya. Senja hari kami tiba di asrama yang berlokasi di area kampus STAN untuk
menginap sebelum ujian keesokan harinya. Entah mengapa, aku dan teman-temanku termasuk
mereka yang tidak mendapatkan kamar. Kami diberikan ruangan kosong dengan air conditioner
yang sangat dingin sekali hingga membuat kami tidak bisa tidur. Tidak bisa tidurnya kami
membuat kami mandi jam 2 dini hari di kamar mandi umum. Konsentrasi belajar sudah
menguap dan tidak ada gunanya lagi. Yang masih sangat berguna dengan situasi semacam itu
hanyalah doa. Aku melaksanakan sholat sunnah malam, sholat shubuh dengan khusyuk dan doa
yang begitu serius. Jika teman-teman lainnya dapat berikhtiar semaksimal mungkin dalam
mengulang belajar USM STAN, aku akan mengimbangi ikhtiar mereka dengan doa yang lebih
dari maksimal. Itu prinsipku, apa yang membedakan aku dan lainnya di mata Alloh, ikhtiarku-
kah atau doaku-kah atau aku mampu mempersembahkan keduanya.

Kumulai hari USM STAN-ku dengan senyuman optimis dan bersemangat, aku ingat wajah ibu,
aku ingat wajah ayah, aku ingat wajah keluargaku yang penuh harap di sana. Pagi itu aku
mulai tersadar, mungkin saja STAN tidak hanya sekadar rencana cadangan. Bus kami
dikelompokkan ulang berdasar sektor ujian yang bertempat di Gelora Bung Karno untuk
memudahkan. Hampir sebagian besar isi busku adalah laki-laki. Aku hanya membawa
peralatan pamungkasku, kotak pensil dan alat-alat tulis lengkap serta alas kertas ujian. Aku
melangkah dengan doa. Aku menyusuri Gelora Bung Karno untuk menuju sektor atas, lokasi
tempat dudukku. Aku duduk di paling depan sektor atas. Aku menatap nanar keseluruhan
penjuru Gelora Bung Karno dan menyadari tingginya kompetisi yang akan kuhadapi. Aku diam
dan melafadz doa. Toh tidak ada lagi yang mampu aku perbuat. Aku mengerjakan soal dengan
begitu tenang, berhati-hati dan bersemangat. Sesekali aku berdiri dan menggerak-gerakkan
badan untuk tetap relaks karena bangku tempat dudukku begitu keras sehingga sangat tidak
nyaman untuk diduduki dalam waktu yang lama. Di jamanku, jenis soal TPA dan Bahasa Inggris
memiliki alokasi waktu yang berbeda. Ketika alokasi waktu soal Bahasa Inggris, kita tidak boleh
mengerjakan kembali soal TPA. Aku melakukannya dengan sangat disiplin dan tidak melewati
aturan, sekalipun alokasi waktu Bahasa Inggrisku masih menyisakan waktu 15 menit dan masih
ada sepuluh soal TPA-ku yang belum diisi. Aku kembali melakukan pengecekan pembulatan
jawaban dan berdoa. Seusai mengerjakan ujian, seketika langsung aku menelepon ibu, bercerita
bahwa aku mampu mengerjakan ujian dengan sangat tenang dan mengucapkan terimakasih
atas doanya yang senantiasa untukku.

Selang waktu pengumuman SNMPTN dan USM STAN hanya satu hari saja. Sesaat setelah
pengumuman kelulusan HI-UI, aku langsung mempersiapkan berkas-berkas pendaftaran ulang.
Hanya ibu dan mungkin datuk yang masih memupuk harapan kelulusan USM STAN. Salah satu
teman SMA yang memiliki fasilitas koneksi internet di rumah, sudah menyampaikan informasi
bahwa aku lulus STAN jurusan akuntansi. Aku masih mempertanyakan Diploma I atau Diploma
III dan beliau masih belum yakin. Aku hanya menganggapnya sebagai berita baik saja. Sepulang
dari mengurus Surat Keterangan Sehat di salah satu Puskemas di Kota Bandar Lampung, aku,
ibu dan nenek seketika langsung menghampiri tempat yang mengkoordinasi keberangkatan
ujianku. Di sana ditempelkan pengumuman kelulusan USM STAN dan benar saja, nama Ellen
Maharani tertera di sana dengan spesialisasi Diploma III Akuntansi. Ada beberapa mahasiswa
STAN di sana dan ibu paling bersemangat mencari segala informasi yang berkaitan dengan
pendaftaran ulang. Aku membiarkan saja, toh tidak salah seorang ibu begitu bersemangat.

Dalam rangka pendaftaran ulang HI-UI kami berangkat ke Jakarta, dengan terlebih dahulu
menghampiri Kampus STAN yang ada di Bintaro, Tangerang Selatan. Ternyata, pendaftaran
ulang baru akan dilakukan sebulan kemudian. Kami tetap menuju Universitas Indonesia yang
ada di Depok. Sepanjang perjalanan, ayah dan ibu senantiasa menasehatiku dan mengatakan
bagaimana bangganya mereka atas kelulusan USM STAN-ku. Aku diam tanpa komentar. Aku
sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku tiba di Universitas Indonesia, kampus impian, kampus yang
dicita-citakan. Kampus yang diinginkan hampir semua orang namun tidak semua orang memiliki
keberanian menggapainya dan tidak semua orang berhasil memasukkan namanya di daftar
calon mahasiswa. Tanpa sadar, kelopakku sudah tidak lagi mampu menampung air mata. Air
itupun akhirnya menetes deras tanpa aku sadari. Tidak ada suara di sana. Suara yang ribut ada
di pikiranku, suara itu menanyakan kepada Alloh, apa artinya semua ini? Pilihan itu bukan lagi
rencana utama dan cadangan namun sudah bertransformasi menjadi pilihan cita-cita dan
orangtua. Dengan segala kesadaran, aku meminta Alloh untuk memilihkan. Sayup-sayup aku
masih mampu mendengar ibu mengatakan bahwa, jika tekadku masih bulat untuk mendaftar
ulang HI-UI, kami akan menginap semalam lagi. Jika tidak, maka lebih baik kami pulang besok
pagi. Aku masih terdiam dalam kesunyian. Ibu mengerti dan tidak mendesak jawabannya saat
itu juga.

Malam itu aku mengulang setiap memori dua bulan terakhir sambil berdoa, aku minta Alloh
pilihkan. Keesokan paginya, aku bilang kepada ibu dan ayah mari kita pulang. Tidak ada
bahasan panjang dan lebar, mereka mengiyakan. Yang aku sadari semalaman adalah
keinginanku hanyalah kelulusan SNMPTN di HI-UI dan Alloh sudah memberikannya. Mungkin,
keinginan dan doa ibuku untuk kuliahnya aku di STAN lebih diijabah. Pagi itu pun aku semakin
menyadari bahwa nyatanya, Alloh telah memilihkan STAN untukku.

Aku mulai menjalani masa adaptasi di fase kehidupan baru sebagai mahasiswa. Tidak mudah,
namun aku berusaha belajar mengisinya dengan sesuatu yang berguna. Aku mematok target IP
sebesar 3,75. Namun aku pun tidak sekedar ingin menjadi mahasiswa yang mampu belajar secara
akademik di kelas, organisasi dan kegiatan kampus pun menjadi agenda harianku. Aku benar-
benar coba menikmati setiap peluh dan denting waktu sekalipun tidak menjadi bagian dari
Universitas Indonesia. Beberapa kelebat keingininan untuk keluar dari ikatan kerja Pegawai
Negeri Sipil setelah lulus dari STAN, kerapkali muncul. Hal tersebut yang kemudian menjadi
motivasi untuk mempelajari mata kuliah sulit khas ekonomi dan keuangan. Keinginan untuk
mengecap penempatan sesuai pilihan pun menjadi motivasi tersendiri karena seandainya akan
keluar dari ikatan kerja pun aku ingin mendapatkan kesempatan untuk bekerja di Direktorat
Jenderal Pajak. Pada masa sebelumku, jika termasuk sepuluh persen terbaik, pilihan
penempatannya akan dikabulkan. Mengapa kukatakan pada masa sebelumku? Karena tepat
pada masaku, tidak ada lagi janji-janji itu. Kembali, aku pasrah pada pilihan yang sekiranya
Alloh akan berikan kepadaku.

Siang itu, di bulan Ramadhan, seorang teman meneleponku dan memberikan kabar istimewa.
Kabar mengenai ditempatkannya aku pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan di
bawah Kementerian Keuangan. Informasi berikutnya, aku sudah wajib magang seminggu setelah
Hari Raya Idul Fitri. Tangisan dan isakan yang sama kembali keluar. Entah perasaan apa yang
sebenarnya menggelayutiku, yang aku tahu, apa-apa yang aku rencakan tidak sesuai dengan
kenyataan. Lagi-lagi aku tanya Alloh, apa yang sebenarnya Dia inginkan untukku. Aku lupa
pemasrahanku sebelumnya. Aku samasekali tidak pasrah, saat ini tidak juga nanti. Aku kufur
nikmat. Saat itu, aku mengancam-Nya untuk tidak menempatkanku pada STAN, tempat
perkuliahanku. Dalam hati, masa tidak ada peningkatan. Kuliah di STAN, kerja di STAN lagi.
Namun apa yang Alloh berikan kepadaku, menurutku justru hal-hal yang ku benci. Dua minggu
melaksanakan magang, aku mendapatkan Surat Keputusan untuk kembali ke STAN, menjadi
salah satu pegawainya. Tidak hanya itu, aku menjadi satu-satunya lulusan Diploma III Akuntansi
Pemerintahan Tahun 2007, penempatan STAN. Lagi-lagi, aku menangis. Aku tidak mengerti apa
yang sebenarnya Alloh pilihkan. Hak istimewa untuk mengikuti Program Diploma IV Langsung
yang mungkin menjadi satu-satunya oase di tengah kegersangan takdir yang menderaku.

Mungkin karena kekufuran nikmat, hak istimewa untuk mengikuti Program Diploma IV
Langsung yang seharusnya aku jalani tiga bulan setelah penempatan, tidak terlaksana. Tiba-tiba
pejabat kepegawaian yang baru memberikan kebijakan mengenai pendidikan kedinasan dan
menunda hakku. Aku kembali menggugat Alloh, apa yang sebenernya diinginkan-Nya. Aku
mencoba sabar dan belajar bersyukur dengan melaksanakan tugasku sebagai calon pegawai
negeri sipil dengan baik, hingga tiba masa perkuliahan yang aku tunggu-tunggu. Surat perijinan
kuliah yang sempat raib entah kemana, proses permintaan ijin yang tidak mudah hingga proses
pendaftaran ulang yang tidak sama sekali memberikan keistimewaan bagi pegawai internal
membuatku semakin mensyukuri kesempatan untuk kuliah. Kembali ke STAN, kali ini kembali
menjadi mahasiswa. Namun kepercayaan diri yang kuusung ketika Diploma IV, tidak sebesar
ketika pertama menjadi mahasiswa Diploma III. Kali ini, aku lebih rendah diri.

Aku semakin rendah diri, di hari pertama kuliah. Ketika semua mahasiswa sekelas bahkan
seangkatanku merupakan mahasiswa-mahasiswa hebat di jamannya yang sudah bekerja di
instansi bonafide macam Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan
Pengawasan Keuangan Pemerintah. Ketika semua telah siap mengikuti perkuliahan dengan
amunisi pengetahuan yang lebih mengenai teori dan praktek. Ketika semua elemen kelas
berpartisipasi aktif dalam perkuliahan dengan pertanyaan dan pengetahuan yang luar biasa.
Ketika aku hanya mampu menggugu dan terkagum-kagum saja. Aku terpana, seandainya aku
samasekali belum pernah bekerja dan masuk ke dalam kelas semacam ini, mungkin kerendahan
diriku akan semakin menjadi-jadi. Sejak hari pertama itu, aku putuskan, aku tidak ingin menjadi
yang paling rendah di antara satu angkatan. Sudah penempatan STAN, tidak boleh mencoreng
dan mempermalukan, batinku. Aku akan berusaha lebih keras, lebih jauh dan lebih banyak lagi.
Aku akan menggadaikan waktu-waktu malamku dengan ikhtiar dan doa. Hingga ketika IP
yang pertama aku peroleh, menisbatkanku menjadi peringkat pertama di angkatanku. Itulah
awal kegilaan untuk menambah ikhtiar segila-gilanya ikhtiar dan segila-gilanya doa untuk
bertahan di predikat itu, hingga kelulusan.

Semakin aku menjalani hari-hari perkuliahan Diploma IV, semakin banyak paradigmaku yang
berubah dan berganti. STAN tidak lagi menjadi momok dan kebencianku, justru sebaliknya.
Apapun akan kulakakukan untuk kembali ke pangkuan institusi pendidikan itu, kembali
menjadi pegawainya. Untuk sebagian orang, bodoh, memang. Untuk sebagian orang yang
menggodaku untuk menjalankan mimpi masa lalu untuk berkecimpung di dunia selain Pegawai
Negeri Sipil. Mimpi masa lalu itu telah tergantikan dengan misi baru yaitu menjadi Guru Besar
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Ketika semua orang berlomba-lomba untuk meninggalkan
status pegawai negeri dan institusi pendidikan ini, aku berpikir justru sebaliknya, ketika orang-
orang hebat pergi maka mungkin kita mewariskan almamater ini kepada kaum mediocre. Atas
itu, aku samasekali tidak ikhlas. Aku akan melakukan apapun untuk membuat almamaterku
bangga pernah memilikiku dengan menjadi bagian atasnya, kalau perlu selamanya. Saat itu,
aku terhenyak. Aku diam. Kelebat masa lalu muncul, per episode. Aku baru menyadari bahwa
nyatanya, Alloh yang telah memilihkan STAN untukku, bahkan sejak awal. Dan Alloh kembali
memilihkan STAN hingga saat ini.





*penulis adalah lulusan terbaik Diploma IV Akuntansi Tahun 2010 dan merupakan salah satu
pegawai struktural serta staf pengajar di STAN.

Anda mungkin juga menyukai