Anda di halaman 1dari 17

1

KAJIAN KERANGKA LEGISLATIF PENERAPAN GREEN CONSTRUCTION


PADA PROYEK KONSTRUKSI GEDUNG DI INDONESIA

Oleh:

Wulfram I. Ervianto
1
, Biemo W. Soemardi
2
, Muhamad Abduh
3
dan Suryamanto
4


1
Kandidat Doktor Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi
Bandung, email: ervianto@mail.uajy.ac.id
2
Staf Pengajar Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknik
Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email: b_soemardi@si.itb.ac.id
3
Staf Pengajar Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknik
Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email: abduh@si.itb.ac.id
4
Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Institut Teknologi Bandung,
email: titus@ar.itb.ac.id

ABSTRAK

Fenomena pemanasan global yang disebabkan oleh efek gas rumah kaca di Bumi diyakini
oleh para peneliti disebabkan salah satunya adalah pembangunan. Sebuah gagasan yang
dianggap berpotensi dapat mengurangi pemanasan global adalah dengan menerapkan
konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ini mengandung tiga pilar utama yang saling
terkait dan saling menunjang yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan
pelestarian lingkungan hidup. Salah satu terjemahan konsep pembangunan berkelanjutan di
tingkat praktis dikenal dengan green construction dimana implementasinya mulai mendapat
perhatian dari berbagai pihak. Kajian tentang green construction ditinjau dari aspek teknis
telah banyak dilakukan untuk meyakinkan dapat diterapkannya di Indonesia. Selain kajian
aspek teknis tentu dibutuhkan kepastian apakah kerangka legislatif yang telah ada di
Indonesia dapat mengakomodasi secara komprehensif bila green construction diterapkan.
Sampai dengan saat ini belum ada informasi yang lengkap tentang pemetaan kerangka
legislatif yang mendukung penerapan green construction. Tujuan penulisan ini adalah
melakukan kajian terhadap berbagai peraturan yang telah mengakomodasi konsep green
construction di Indonesia. Manfaat kajian ini adalah tersedianya mapping kerangka
legislatif dalam mendukung penerapan green construction untuk bangunan gedung baru.
Data dan informasi diperoleh melalui berbagai media dalam bentuk undang-undang,
peraturan menteri, peraturan daerah dan peraturan lain yang terkait dengan obyek kajian.
Beberapa landasan legislatif yang ada pada saat ini diantaranya adalah Undang-Undang
Bangunan Gedung Nomor 28 tahun 2002. Sedangkan peraturan yang mengatur secara
spesifik tentang bangunan ramah lingkungan adalah Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 08 Tahun 2010. Di tingkat Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang
Bangunan Gedung Hijau adalah Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012.

Kata kunci: Landasan Legislatif; Green Construction, Proyek Konstruksi.
2

PENDAHULUAN

Fenomena global warming yang disebabkan oleh efek gas rumah kaca menjadi topik yang
banyak dibahas dalam berbagai forum ilmiah. Salah satu indikator bahwa bumi tengah
mengalami perubahan adalah tingginya konsentrasi karbondioksida (CO
2
) di udara yang
bersifat menghalangi pelepasan panas dari bumi. Kwanda (2003) mengemukakan,
konsumsi energi yang besar dengan pertumbuhan 2% per tahun sampai tahun 2020 akan
menghasilkan emisi global CO
2
dan gas rumah kaca lainnya naik menjadi dua kali lipat dari
tahun 1965-1998 yang berdampak pada perubahan iklim dunia. Hal senada juga
diungkapkan oleh Salim (2010) yang menyatakan, bila cara-cara pembangunan tetap
dilakukan seperti biasanya tanpa perubahan, maka pada tahun 2050 diperkirakan
konsentrasi CO
2
akan mencapai 500 part per million (ppm) atau menjadi dua kali lipat
konsentrasinya bila dibandingkan sebelum revolusi industri. Secara global, Indonesia
berada di urutan ke lima dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca atau sekitar 4,63%
(World Resources Institute, 2005).

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-13 tentang Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) yang diselenggarakan di Bali pada bulan Desember 2007, Indonesia sepakat
untuk menurunkan konsentrasi CO
2
di udara sebesar 26% sampai dengan 41% di akhir
tahun 2020 dan disepakati tentang peta jalur hijau dengan pola pembangunan abad ke-21
yang berkadar rendah karbon. Indonesia seharusnya tidak terfokus hanya untuk
menurunkan konsentrasi CO
2
saja, namun tetap melanjutkan aktivitas industri termasuk
industri konstruksinya dengan cara-cara yang memperhatikan lingkungan guna
menyediakan ruang untuk hidup layak bagi generasi mendatang. Indonesia sebagai negara
yang sedang berkembang dan sedang membangun, telah memiliki cetak biru bagi sektor
konstruksi sebagai grand design dan grand strategy yang disebut dengan Konstruksi
Indonesia 2030. Salah satu agenda yang diusulkan adalah melakukan promosi sustainable
construction untuk penghematan bahan dan pengurangan limbah (bahan sisa) serta
kemudahan pemeliharaan bangunan pasca konstruksi (LPJKN, 2007). Kedua hal tersebut
diatas terkait erat dengan daya dukung lingkungan. Khanna (1999), mengelompokan daya
dukung lingkungan hidup menjadi dua komponen, yaitu: (1) kapasitas penyediaan
(supportive capacity) dan (2) kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).

Conseil International du Batiment, (1994) menyatakan bahwa tujuan sustainable
construction adalah menciptakan bangunan berdasarkan disain yang memperhatikan
ekologi, menggunakan sumberdaya alam secara efisien dan ramah lingkungan selama
operasional bangunan. Du Plessis (2002) menyatakan bahwa bagian dari sustainable
construction adalah green construction yang merupakan proses holistik yang bertujuan
untuk mengembalikan dan menjaga keseimbangan antara lingkungan alami dan buatan.

USEPA (2010) mendefinisikan green construction merupakan praktik membangun dengan
menerapkan proses yang memperhatikan lingkungan dan efisiensi sumber daya sepanjang
siklus hidup bangunan dari tapak untuk perencanaan, konstruksi, operasi, pemeliharaan,
renovasi, dan dekonstruksi. Green construction menurut Glavinich (2008) adalah
perencanaan dan pengelolaan proyek konstruksi agar supaya pengaruh proses konstruksi
3

terhadap lingkungan seminimal mungkin Ervianto, (2012) mendefinisikan green
construction adalah:

Suatu perencanaan dan pelaksanaan proses konstruksi untuk meminimalkan dampak
negatif proses konstruksi terhadap lingkungan agar terjadi keseimbangan antara
kemampuan lingkungan dan kebutuhan hidup manusia untuk generasi sekarang dan
mendatang

Faktor green construction di Indonesia dapat disintesakan menjadi 16 faktor, yaitu: (1)
Perencanaan dan penjadwalan proyek konstruksi; (2) Sumber dan siklus material; (3)
Rencana perlindungan lokasi pekerjaan; (4) Manajemen limbah konstruksi; (5)
Penyimpanan dan perlindungan material; (6) Kesehatan lingkungan kerja tahap konstruksi;
(7) Program kesehatan dan keselamatan kerja; (8) Pemilihan dan operasional peralatan
konstruksi; (9) Dokumentasi; (10) Pelatihan bagi subkontraktor; (11) Pengurangan jejak
ekologis tahap konstruksi; (12) Kualitas udara tahap konstruksi; (13) Konservasi air; (14)
Tepat guna lahan; (15) Efisiensi dan konservasi energi; (16) Manajemen lingkungan proyek
konstruksi (Ervianto, 2012).

Dalam setiap faktor green construction terdapat sejumlah indikator green construction.
Secara keseluruhan indikator green construction untuk bangunan gedung di Indonesia
adalah 142 indikator, yang terdiri dari 77 indikator Prioritas I dan 65 indikator Prioritas II
Secara rinci indikator Prioritas I terdiri dari 16% kategori perilaku, 34,67%, kategori
minimum waste, dan 49,33% kategori maksimum value. Sedangkan dalam Prioritas II
terdiri dari 27,69% kategori Perilaku, 12,31% kategori Minimum Waste, dan 60% kategori
Maksimum Value. Komposisi indikator green construction secara keseluruhan terdiri dari
21,43% dalam kategori Perilaku, 24,29% dalam kategori Minimum Waste, dan 54,29%
dalam kategori Maksimum Value. (Ervianto, 2012).

Dengan terdefinisikannya faktor dan indikator green construction tersebut diatas tentunya
posibilitas untuk diterapkan dalam proses pembangunan di tingkat praktis semakin besar.
Namun demikian masih perlu dikaji lebih mendalam dalam hal-hal sebagai berikut:
peraturan legislatif, risiko yang akan ditanggung oleh pihak-pihak yang terkait dalam
pembangunan, kesiapan kontraktor, kesiapan konsultan pengawas, kesiapan pemasok
material bangunan pabrikasi maupun bukan pabrikasi, kesiapan pekerja konstruksi secara
keseluruhan. Tentu saja semua hal tersebut tidak dapat ditunggu kesiapannya secara
simultan, akan tetapi harus direncanakan dan dikelola secara strategis agar green
construction secara perlahan dapat diterapkan di Indonesia. Dari berbagai hal tersebut
diatas aspek yang berkekuatan untuk mendorong penerapan green construction di Indonesia
adalah peraturan yang berkekuatan hukum yang dikeluarkan oleh instansi sebagai regulator
yaitu pemerintah.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan kesepakatan Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-13 tentang
Perubahan Iklim Perhimpunan Bangsa Bangsa yang diselenggarakan di Bali pada bulan
4

Desember 2007 tentang peta jalur hijau dengan pola pembangunan abad ke-21 yang
berkadar rendah karbon. Merujuk pada agenda dalam Konstruksi Indonesia untuk
melakukan promosi sustainable construction melalui penghematan bahan dan pengurangan
limbah (bahan sisa) serta kemudahan pemeliharaan bangunan pasca konstruksi. Dimulainya
era green dengan terdefinisikannya konsep green secara komprehensif dalam berbagai
infrastruktur seperti green building dan green construction, maka diperlukan berbagai
peraturan yang berkekuatan hukum sebagai dasar dalam implementasinya di tingkat praktis.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi serta melakukan kajian terhadap
kerangka legislatif yang telah ada untuk mendukung dalam penerapan green construction
pada bangunan gedung di Indonesia.

KAJIAN PUSTAKA

Kerangka Legislatif
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kerangka didefinisikan sebagai garis
besar atau rancangan, sedangkan legislatif berasal dari kata legislate yang berarti lembaga
yang bertugas membuat undang-undang. Lembaga legislatif berwenang untuk menentukan
kebijakan dan membuat undang undang disertai dengan hak-hak tertentu yang dimilikinya.
Keanggotaan lembaga legislatif dianggap sebagai perwakilan rakyat, karena itulah lembaga
legislatif sering dinamakan sebagai badan atau Dewan Perwakilan Rakyat.

Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, jenis dan hirarki peraturan perundang-
undangan adalah sebagai berikut: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945; (2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); (3)
Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; (6) Peraturan Daerah.

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi: (a) Peraturan Daerah Provinsi
dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur; (b) Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; (c)
Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota; (d) Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat
dengan itu, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala
Desa atau nama lainnya.

Selain peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan
keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu peraturan yang dikeluarkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank
Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk
oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan
5

Rakyat Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi bersama Gubernur.

Terkait dengan green construction, aspek legislatif yang telah ada saat ini landasan
legislatif yang ada pada saat ini diantaranya adalah Undang-Undang Bangunan Gedung
Nomor 28 tahun 2002. Sedangkan peraturan yang mengatur secara spesifik tentang
bangunan ramah lingkungan adalah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
08 Tahun 2010. Di tingkat Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang Bangunan
Gedung Hijau adalah Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012. Peraturan
setingkat menteri yang sedang dipersiapkan adalah Rancangan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan
Gedung
Undang-undang ini terdiri dari 10 Bab dan 49 Pasal, bertujuan untuk mewujudkan
bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan
selaras dengan lingkungannya. Pasal-pasal yang terkait dengan aspek lingkungan adalah
pasal 11; pasal 14, terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang ruang terbuka hijau
yang seimbang; pasal 15, tentang persyaratan pengendalian dampak lingkungan; pasal 22,
tentang sirkulasi dan pertukaran udara; pasal 23, tentang keharusan mempunyai bukaan
untuk pencahayaan alami; pasal 24, tentang sistem pembuangan air kotor/kotoran/sampah
dan penyaluran air hujan; pasal 25 ayat 1, tentang (1) penggunaan bahan bangunan yang
aman bagi kesehatan; pasal 26 ayat 4, tentang kenyamanan kondisi udara dalam ruang,
pasal 26 ayat 6, kenyamanan tingkat getaran; pasal 39 tentang dekonstruksi bangunan.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010.
Dasar dari Peraturan Menteri ini adalah: (a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung; (b) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah; (c) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup; (d) Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Penghematan Energi dan Air; (e) Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 10 Tahun
2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran Pada Bangunan
Gedung dan Lingkungan.

Dalam peraturan ini mencakup tiga hal, yaitu: (1) Kriteria bangunan ramah lingkungan; (2)
Sertifikasi bangunan ramah lingkungan; (3) Registrasi lembaga sertifikasi bangunan ramah
lingkungan. Bagian yang terkait langsung dengan bangunan ramah lingkungan adalah Bab
II tentang Kriteria Bangunan Ramah Lingkungan yang diatur dalam pasal 4 (Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria Bangunan Ramah Lingkungan
NO. ITEM DESKRIPSI
a.
Menggunakan material bangunan yang
ramah lingkungan.
Material bangunan yang bersertifikat eco-label.
Material bangunan lokal.
b. Terdapat fasilitas, sarana, dan rasarana Mempunyai sistem pemanfaatan air yang dapat
6

NO. ITEM DESKRIPSI
untuk konservasi sumber daya Air dalam
bangunan gedung
dikuantifikasi.
Menggunakan sumber air yang memperhatikan
konservasi sumber daya air.
Mempunyai sistem pemanfaatan air hujan.
c.
Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana
konservasi dan diversifikasi Energi
Menggunakan sumber energi alternatif terbarukan
yang rendah emisi Gas rumah kaca.
Menggunakan sistem pencahayaan dan
pengkondisian udara buatan Yang hemat energi.
d.
Menggunakan bahan yang bukan bahan
perusak ozon dalam bangunan Gedung
Refrigeran untuk pendingin udara yang bukan
bahan perusak ozon.
Melengkapi bangunan gedung dengan peralatan
pemadam kebakaran Yang bukan bahan perusak
ozon.
e.
Terdapat fasilitas,sarana, dan prasarana
pengelolaan air limbah domestik Pada
bangunan gedung
Melengkapi bangunan gedung dengan sistem
pengolahan air limbah Domestik pada bangunan
gedung fungsi usaha dan fungsi khusus.
Melengkapi bangunan gedung dengan sistem
pemanfaatan kembali air Limbah domestik hasil
pengolahan pada bangunan gedung fungsi Usaha
dan fungsi khusus.
f. Terdapat fasilitas pemilahan sampah -
g.
Memperhatikan aspek kesehatan bagi
penghuni bangunan
Melakukan pengelolaan sistem sirkulasi udara
bersih.
Memaksimalkan penggunaan sinar matahari.
h.
Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana
pengelolaan tapak berkelanjutan
Melengkapi bangunan gedung dengan ruang
terbuka hijau sebagai Taman dan konservasi hayati,
resapan air hujan dan lahan parkir
Mempertimbangkan variabilitas iklim mikro dan
perubahan iklim.
Mempunyai perencanaan pengelolaan bangunan
gedung sesuai Dengan tata ruang.
Menjalankan pengelolaan bangunan gedung sesuai
dengan Perencanaan.
i.
Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana
untuk mengantisipasi bencana
Mempunyai sistem peringatan dini terhadap
bencana dan bencana Yang terkait dengan
perubahan iklim.
Menggunakan material bangunan yang tahan
terhadap iklim atau Cuaca ekstrim intensitas hujan
yang tinggi, kekeringan dan Temperatur yang
meningkat.

Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum Tentang Pedoman
Teknis Bangunan Hijau.
Dasar peraturan ini adalah : (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002
Tentang Bangunan Gedung; (b) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang; (c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Sampah. Tujuan adanya rapermen ini adalah terselenggaranya fungsi
bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan keandalan teknis dan mengutamakan
aspek bangunan hijau yang meliputi:(1) Efisiensi dalam penggunaan energi; (2) Efisiensi
7

dalam penggunaan air; (3) Mutu udara dalam bangunan gedung; (4) Pengelolaan limbah;
(5) Manajemen penyelenggaraan bangunan gedung. Kriteria bangunan hijau dibedakan
menjadi dua, yaitu: Pertama, kriteria pembangunan yang mencakup aspek perencanaan dan
pelaksanaan. Kedua, kriteria pemanfaatan yang mencakup aspek pemeliharaan, aspek
perawatan, dan aspek pemeriksaan berkala. Lebih spesifik kriteria yang memuat tahap
pelaksanaan adalah (1) Manajemen efisiensi energi; (2) Manajemen efisiensi air; (3)
Manajemen penggunaan material; (4) Manajemen pelaksanaan konstruksi.

Tabel 2. Pedoman Teknis Pelaksanaan
NO. ITEM DESKRIPSI
a.
Manajemen efisiensi
energi
Memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya listrik yang
tersedia dan/atau menyediakan sumber catu daya mandiri (generator
power supply).
Menggunakan alat transportasi vertikal/lif konstruksi
(material/passenger hoist) yang hemat energi.
Menggunakan seoptimal mungkin pencahayaan alami.
Memasang alat ukur beban listrik atau kWh meter terpisah untuk
masing-masing kelompok beban >100 kVa sehingga memudahkan
untuk memantau penggunaan daya listrik masing-masing kelompok.
Mendorong penggunaan sumber daya non-fosil dalam kegiatan
pelaksanaan.
b.
Manajemen efisiensi
air
Menyediakan penampungan air hujan dengan kapasitas semaksimal
mungkin untuk dimanfaatkan sebagai sumber air bersih proyek.
Melakukan manajemen air dewatering
Sumur resapan dan/atau kolam penampungan air hujan digunakan
untuk menjaga keseimbangan air tanah, mengurangi aliran
permukaan dan/atau untuk alternatif sumber air bersih
Manajemen penggunaan air dengan memisahkan kegiatan yang
memerlukan air untuk kebersihan dengan kegiatan yang
membutuhkan air dengan kualitas lebih rendah
c.
Manjemen penggunaan
material
Menggunakan material secara efisien dan cermat untuk mengurangi
sisa bahan tak terpakai (zero waste, zero defect, dan sistem pracetak)
Menggunakan material yang bahan baku dan proses produksinya
ramah lingkungan.
Menyiapkan area pemilahan dan menyelenggarakan manajemen
sampah untuk tempat material sisa pelaksanaan proyek sebelum
digunakan kembali dan/atau didaur ulang.
Mengutamakan penggunaan material lokal hasil olahan yang mudah
diperoleh di sekitar kawasan proyek.
Menggunakan pemasok bahan konstruksi yang bersedia
membawa/mengambil kembali kemasan pembungkus, pallets, dan
material yang tidak terpakai atau material sisa yang ditimbulkan oleh
produk yang disediakannya.
Melakukan penjadwalan pengadaan material secara akurat untuk
mengurangi penyimpanan.
Mendorong penggunaan kembali material untuk kantor proyek,
bedeng pekerja konstruksi, dan gudang.
Mendorong penggunaan kembali alat bantu konstruksi seperti cetakan
beton, perancah, dan alat bantu lainnya.

8

NO. ITEM DESKRIPSI
d.
Manajemen
pelaksanaan konstruksi
bangunan gedung
Manajemen Kebisingan, Getaran, dan Debu
1. Manajemen kebisingan dan getaran dari kegiatan pelaksanaan
konstruksi yang dirasakan di luar area konstruksi.
2. Manajemen debu konstruksi yang dirasakan di luar area
konstruksi.
Testing Commissioning
1. Testing Commissioning dilakukan oleh pihak ketiga independen.
2. Aktifitas testing commissioning dimulai sejak proses desain
hingga penyusunan bahan training untuk manajemen gedung.
3. Pelaksanaan testing commissioning harus mengacu kepada
pedoman tertentu.

Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang
Bangunan Hijau

Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah memberlakukan Peraturan Gubernur
(Pergub) DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau sejak bulan April
2012. Dasar dari peraturan ini adalah: (a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung; (b) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup; (c) Perauran !aera" #omor 2 $a"un 2%%& enang
Pengendalian Pencemaran Udara; (d) Perauran Gubernur #omor &4 $a"un 2%%' enang
Baku (uu )ualias Udara !alam *uang ()U!*); (e) Perauran !aera" #omor + $a"un
2010 tentang Bangunan Gedung.

Dalam peraturan ini dibedakan menjadi dua, yaitu bangunan baru (new building) dan
bangunan lama (eksisting). Aspek yang dilihat untuk bangunan baru adalah disain yang
menjadi standar teknis bangunan yang memiliki lima kriteria, yaitu: (a) pengelolaan
bangunan masa konstruksi; (b) pengelolaan lahan dan limbah; (c) efisiensi energi; (d)
efisiensi air; (e) kualitas udara dan kenyamanan termal. Sedangkan aspek yang dilihat
untuk bangunan lama adalah konsumsi energi yang memiliki empat kriteria, yaitu: (a)
pengelolaan bangunan masa operasional; (b) konservasi dan efisensi energi; (c) konservasi
dan efisiensi air (d) serta kualitas udara dan kenyamanan termal. Peraturan ini bersifat
wajib atau mandatori, oleh karenanya bagi pihak-pihak yang tidak mengindahkan aturan
tersebut akan dikenakan sanksi berupa tidak akan mendapat Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) bagi bangunan baru (new building) dan tidak akan mendapat Sertifikat Laik Fungsi
(SLF) bangunan untuk bangunan lama (existing building).

DATA DAN ANALISIS

Untuk mendapatkan kerangka legislatif yang mendukung penerapan green construction
pada bangunan gedung di Indonesia didahului dengan melakukan pendataan terkait dengan
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Sejumlah peraturan tersebut selanjutnya
diinterpretasikan secara detil untuk menentukan bagian-bagian yang terkait dengan
penerapan green construction pada bangunan gedung. Mengingat konsep ini masih relatif
baru di Indonesia, saat ini belum banyak regulasi yang mengatur penerapannya di
9

Indonesia. Namun demikian terdapat beberapa yang mengatur dalam pembangunan gedung
terkait dengan aspek lingkungan dan merupakan bagian dari konsep green construction.
Analisis data yang digunakan secara deskriptif mengingat karakter data berupa paparan
dalam berbagai regulasi. Untuk mengidentifikasi pasal dan ayat dalam peraturan yang
terkait dengan tahapan dalam proyek konstruksi akan dibedakan menjadi dua, yaitu
langsung (L) dan tidak langsung (TL). Langsung didefinisikan jika aktivitas tersebut
diciptakan pada tahapan proyek tersebut, sedangkan Tidak Langsung jika aktivitas terjadi
sebagai akibat dari aktivitas tahapan proyek lainnya.

Tabel 3. Pasal dan Ayat Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
2002 Tentang Bangunan Gedung Yang Terkait Dengan Lingkungan.
Pasal Deskripsi
P
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

P
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

O
p
e
r
a
s
i
o
n
a
l

Pasal 14
Terciptanya ruang luar bangunan gedung dan
ruang ruang terbuka hijau yang seimbang
L - -
Pasal 15 Persyaratan pengendalian dampak lingkungan L - -
Pasal 22 Sirkulasi dan pertukaran udara L - TL
Pasal 23
Keharusan mempunyai bukaan untuk
pencahayaan alami
L - TL
Pasal 24
Sistem pembuangan air kotor/kotoran/sampah dan
penyaluran air hujan
L L TL
Pasal 25 ayat 1
Penggunaan bahan bangunan yang aman bagi
kesehatan
L L /TL TL
Pasal 26 ayat 4 Kenyamanan kondisi udara dalam ruang L - TL
Pasal 26 ayat 6 Kenyamanan tingkat getaran L L TL
Pasal 39 Dekonstruksi bangunan L L /TL -
Catatan: L : langsung, TL : tidak langsung

Tabel 4. Pasal dan Ayat Dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08
Tahun 2010 Yang Terkait Dengan Aspek Lingkungan
Pasal/Ayat Deskripsi
P
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

P
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

O
p
e
r
a
s
i
o
n
a
l

Pasal 4 - a
Menggunakan material
bangunan yang ramah
lingkungan.
Material bangunan yang
bersertifikat eco-label.
L TL TL
Material bangunan lokal. L L -
Pasal 4 - b
Terdapat fasilitas, sarana, dan
rasarana untuk konservasi
sumber daya Air dalam
bangunan gedung
Mempunyai sistem pemanfaatan
air yang dapat dikuantifikasi.
L L TL
Menggunakan sumber air yang
memperhatikan konservasi
L L -
10

Pasal/Ayat Deskripsi
P
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

P
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

O
p
e
r
a
s
i
o
n
a
l

sumber daya air.
Mempunyai sistem pemanfaatan
air hujan.
L L TL
Pasal 4 - c
Terdapat fasilitas, sarana, dan
prasarana konservasi dan
diversifikasi Energi
Menggunakan sumber energi
alternatif terbarukan yang
rendah emisi gas rumah kaca.
L L TL
Menggunakan sistem
pencahayaan dan pengkondisian
udara buatan yang hemat energi.
L L TL
Pasal 4 - d
Menggunakan bahan yang
bukan bahan perusak ozon
dalam bangunan Gedung
Refrigeran untuk pendingin
udara yang bukan bahan
perusak ozon.
L L TL
Melengkapi bangunan gedung
dengan peralatan pemadam
kebakaran yang bukan bahan
perusak ozon.
L L TL
Pasal 4 - e
Terdapat fasilitas,sarana, dan
prasarana pengelolaan air
limbah domestik Pada
bangunan gedung
Melengkapi bangunan gedung
dengan sistem pengolahan air
limbah domestik pada bangunan
gedung fungsi usaha dan fungsi
khusus.
L L TL
Melengkapi bangunan gedung
dengan sistem pemanfaatan
kembali air limbah domestik
hasil pengolahan pada bangunan
gedung fungsi usaha dan fungsi
khusus.
L L TL
Pasal 4 - f
Terdapat fasilitas pemilahan
sampah
- L L -
Pasal 4 - g
Memperhatikan aspek
kesehatan bagi penghuni
bangunan
Melakukan pengelolaan sistem
sirkulasi udara bersih.
L L TL
Memaksimalkan penggunaan
sinar matahari.
L L TL
Pasal 4 - g
Terdapat fasilitas, sarana, dan
prasarana pengelolaan tapak
berkelanjutan
Melengkapi bangunan gedung
dengan ruang terbuka hijau
sebagai taman dan konservasi
hayati, resapan air hujan dan
lahan parkir
L - TL
Mempertimbangkan variabilitas
iklim mikro dan perubahan
iklim.
L - TL
Mempunyai perencanaan
pengelolaan bangunan gedung
sesuai dengan tata ruang.
L - -
Menjalankan pengelolaan
bangunan gedung sesuai dengan
perencanaan.
L - TL
11

Pasal/Ayat Deskripsi
P
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

P
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

O
p
e
r
a
s
i
o
n
a
l

Pasal 4 - i
Terdapat fasilitas, sarana, dan
prasarana untuk
mengantisipasi bencana
Mempunyai sistem peringatan
dini terhadap bencana dan
bencana yang terkait dengan
perubahan iklim.
L - TL
Menggunakan material
bangunan yang tahan terhadap
iklim atau cuaca ekstrim
intensitas hujan yang tinggi,
kekeringan dan temperatur yang
meningkat.
L L -
Catatan: L : langsung, TL : tidak langsung

Tabel 5. Pedoman Teknis Pelaksanaan dalam Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen)
Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau.
NO. ITEM DESKRIPSI
P
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

P
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

O
p
e
r
a
s
i
o
n
a
l

II.2.2. Manajemen efisiensi energi
Memanfaatkan semaksimal mungkin
sumber daya listrik yang tersedia
dan/atau menyediakan sumber catu
daya mandiri (generator power
supply).
- L -
Menggunakan alat transportasi
vertikal/lif konstruksi
(material/passenger hoist) yang
hemat energi.
- L -
Menggunakan seoptimal mungkin
pencahayaan alami.
- L -
Memasang alat ukur beban listrik
atau kWh meter terpisah untuk
masing-masing kelompok beban
>100 kVa sehingga memudahkan
untuk memantau penggunaan daya
listrik masing-masing kelompok.
- L -
Mendorong penggunaan sumber daya
non-fosil dalam kegiatan
pelaksanaan.
- L -
II.2.3. Manajemen efisiensi air
Menyediakan penampungan air hujan
dengan kapasitas semaksimal
mungkin untuk dimanfaatkan sebagai
sumber air bersih proyek.
- L -
Melakukan manajemen air - L -
12

NO. ITEM DESKRIPSI
P
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

P
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

O
p
e
r
a
s
i
o
n
a
l

dewatering
Sumur resapan dan/atau kolam
penampungan air hujan digunakan
untuk menjaga keseimbangan air
tanah, mengurangi aliran permukaan
dan/atau untuk alternatif sumber air
bersih
- L -
Manajemen penggunaan air dengan
memisahkan kegiatan yang
memerlukan air untuk kebersihan
dengan kegiatan yang
membutuhkan air dengan kualitas
lebih rendah
- L -
II.2.4.
Manjemen penggunaan
material
Menggunakan material secara efisien
dan cermat untuk mengurangi sisa
bahan tak terpakai (zero waste, zero
defect, dan sistem pracetak)
- L -
Menggunakan material yang bahan
baku dan proses produksinya ramah
lingkungan.
- L -
Menyiapkan area pemilahan dan
menyelenggarakan manajemen
sampah untuk tempat material sisa
pelaksanaan proyek sebelum
digunakan kembali dan/atau didaur
ulang.
- L -
Mengutamakan penggunaan material
lokal hasil olahan yang mudah
diperoleh di sekitar kawasan proyek.
- L -
Menggunakan pemasok bahan
konstruksi yang bersedia
membawa/mengambil kembali
kemasan pembungkus, pallets, dan
material yang tidak terpakai atau
material sisa yang ditimbulkan oleh
produk yang disediakannya.
- L -
Melakukan penjadwalan pengadaan
material secara akurat untuk
mengurangi penyimpanan.
- L -
Mendorong penggunaan kembali
material untuk kantor proyek, bedeng
pekerja konstruksi, dan gudang.
- L -
Mendorong penggunaan kembali alat
bantu konstruksi seperti cetakan
beton, perancah, dan alat bantu
lainnya.

- L -
13

NO. ITEM DESKRIPSI
P
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

P
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

O
p
e
r
a
s
i
o
n
a
l

II.2.5.
Manajemen pelaksanaan
konstruksi bangunan gedung
Manajemen Kebisingan, Getaran,
dan Debu
1. Manajemen kebisingan dan
getaran dari kegiatan pelaksanaan
konstruksi yang dirasakan di luar
area konstruksi.
2. Manajemen debu konstruksi yang
dirasakan di luar area konstruksi.
- L -
Testing Commissioning
1. Testing Commissioning dilakukan
oleh pihak ketiga independen.
2. Aktifitas testing commissioning
dimulai sejak proses desain
hingga penyusunan bahan
training untuk manajemen
gedung.
3. Pelaksanaan testing
commissioning harus mengacu
kepada pedoman tertentu.
- L -
Catatan: L : langsung, TL : tidak langsung

Tabel 6. Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun 2012
tentang Bangunan Hijau.
Kriteria Pasal/Ayat DESKRIPSI
P
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

P
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

O
p
e
r
a
s
i
o
n
a
l

Efisiensi energi
Pasal 6, Ayat 1, 2, 3. Sistem selubung bangunan. L - -
Pasal 7, Ayat 1-3. Sistem ventilasi. L - -
Pasal 8, Ayat 1-3.
Pasal 9, Ayat 1-9.
Sistem pengkondisian udara. L - -
Pasal 10, Ayat 1, 2.
Pasal 11, Ayat 1-6.
Sistem pencahayaan. L - -
Pasal 12, Ayat 1-3.
Sistem transportasi dalam
gedung.
L - -
Pasal 13, Ayat 1-6. Sistem kelistrikan. L - -
Kriteria
efisiensi air
Pasal 15, Ayat 1, 2.
Perencanaan peralatan saniter
hemat air.
L - -
Pasal 16, Ayat 1, 2.
Perencanaan pemakaian air.
L - -
Pasal 17, Ayat 1-3. - - L
Kualitas udara
dalam ruang
Pasal 18, Ayat 1-5. Kualitas udara dalam ruang. L - -
14

Kriteria Pasal/Ayat DESKRIPSI
P
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

P
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

O
p
e
r
a
s
i
o
n
a
l

Pengelolaan Lahan
dan Limbah
Pasal 20.
Pasal 21, Ayat 1-6.
Pasal 22, Ayat 1-4.
Pasal 23, Ayat 1, 2, 3.
Persyaratan tata ruang. L - -
Pasal 26, Ayat 1,2.
Fasilitas pendukung.
L -
Pasal 26, Ayat 3,4. - - L
Pasal 8, Ayat 1-3. Pengelolaan limbah padat dan
limbah cair.
L - -
Pasal 9, Ayat 1-9. L - -
Pelaksanaan
Kegiatan
Konstruksi
Pasal 28, Ayat 1, 2.
Pasal 29, Ayat 1-3.
Keselamatan, kesehatan kerja
dan lingkungan.
- L -
Pasal 30, Ayat 1, 2.
Konservasi air pada saat
pelaksanaan kegiatan
konstruksi.
- L -
Pasal 31, Ayat 1, 2, 3.
Pengelolaan limbah B3 kegiatan
konstruksi .
- L -
Keselamatan,
kesehatan kerja
Dan lingkungan

Pasal 29, Ayat 1
Pelaksana konstruksi wajib
menyediakan fasilitas Mandi
Cuci Kakus (MCK)dan bedeng
pekerja.
- L -
Pasal 29, Ayat 2
Pelaksana konstruksi harus
membuat sumur resapan
sementara untuk air limbah
kegiatan konstruksi dan
menyediakan kolam
pengendapan (sump pit) untuk
penampungan limbah bentonite,
lumpur dan sisa beton.
- L -
Pasal 29, Ayat 3
Penggunaan jaring pengaman di
sekeliling bangunan (full safety
net) untuk mengendalikan
sebaran debu dan puing
- L -
Konservasi air pada
saat kegiatan
konstruksi

Pasal 30, Ayat 1
Air bersih untuk kebutuhan
pelaksanaan kegiatan konstruksi
harus menggunakan tempat
penampungan air (water
reservoir).
- L -
Pasal 30, Ayat 2
Melaksanaan kegiatan
konstruksi yang melakukan
pemompaan air (dewatering)
- L -
Pengelolaan b3
kegiatan konstruksi
Pasal 31, Ayat 1
Apabila pelaksana konstruksi
menggunakan B3 harus
menyediakan absorban untuk
penyimpanannya
- L -
Pasal 31, Ayat 2
Pelaksana konstruksi juga harus
melakukan pemilahan sampah
berdasarkan sampah organik,
- L -
15

Kriteria Pasal/Ayat DESKRIPSI
P
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

P
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

O
p
e
r
a
s
i
o
n
a
l

sampah anorganik dan sampah
B3 dan menyediakan tempat
sampah sementara serta
mengatur posisi/letak
penempatannya sehingga tidak
mengganggu lingkungan
Pasal 31, Ayat 3
Pengelolaan limbah B3
sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus mengikuti
prosedur sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
- L -

Tabel 7. Rekapitulasi Pasal/Ayat Yang Mengatur Tentang Bangunan Hijau Dibedakan
Berdasarkan Perencanaan, Pelaksanaan, dan Operasional.
No. Nama Peraturan Perencanaan Pelaksanaan Operasional
1.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun
2002 Tentang Bangunan
Gedung
9 pasal/ayat 6 pasal/ayat 6 pasal/ayat
2.
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 08
Tahun 2010 Yang Terkait
Dengan Aspek Lingkungan
20 pasal/ayat 15 pasal/ayat 15 pasal/ayat
3.
Rancangan Peraturan Menteri
(Rapermen) Pekerjaan Umum
Tentang Pedoman Teknis
Bangunan Hijau
- 18 pasal/ayat -
4.
Peraturan Gubernur (Pergub)
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 38 Tahun 2012
tentang Bangunan Hijau
13 pasal/ayat 11 pasal/ayat 2 pasal/ayat
Jumlah 42 pasal/ayat 50 pasal/ayat 23 pasal/ayat









16


Gambar 1. Komposisi Tahap Perencanaan, Pelakasanaan, Dan Operasional dari
Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis
Bangunan Hijau; Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010;
Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun 2012;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002.

KESIMPULAN

Berdasarkan kajian dari masing-masing peraturan tentang bangunan hijau yang ada di
Indonesia (tabel 3-6), dapat dinyatakan bahwa terdapat 42 Pasal/ayat yang mengatur
tentang perencanaan bangunan hijau di Indonesia, sedangkan banyaknya pasal/ayat yang
mengatur pada tahap pelaksanaan adalah 53 dan pada tahap operasional bangunan sebanyak
26 pasal/ayat.

Dari empat peraturan tersebut diatas yang mengakomodasi tentang green construction
terbanyak berturut-turut adalah: (1) Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan
Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau; (2) Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 tentang Kriteria Dan Sertifikasi Bangunan
Ramah Lingkungan; (3) Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau; (4) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.
9
20
0
13
42
9
15
18
11
53
9
15
0
2
26
Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor
28 Tahun 2002
Peraturan
Menteri Negara
Lingkungan
Hidup Nomor 08
Tahun 200
Rapermen
Peker!aan Umum
Tentang
Pedoman Teknis
"angunan Hi!au
Pergub #$I
%akarta Nomor &8
Tahun 202
Total
Peraturan Tentang Bangunan Hijau di Indonesia
Perencanaan
Pelaksanaan
Operasional
17

DAFTAR PUSTAKA

.., Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan
Hijau.
., Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 Tentang
Kriteria Dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan
., Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum Tentang Pedoman
Teknis Bangunan Hijau
., Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan
Gedung.
Conseil International Du Batiment, 1994.
Du Plessis, Chrisna, Edit., 2002: Agenda 21 for Sustainable Construction in Developing
Countries Pretoria: Capture Press.
Ervianto, W.I., 2012, Laporan Penelitian Identifikasi Faktor Green Construction Pada
Bangunan Gedung di Indonesia, ITB-JICA.
Ervianto, W.I., 2012, Selamatkan Bumi Melalui Konstruksi Hijau, Penerbit ANDI,
Yogyakarta.
Glavinich, T. E., 2008, Contractor's Guide to Green Building Construction, John Wiley.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kibert, C., 2008, Sustainable Construction, John Wiley & Sons, Canada.
Kwanda T., 2003, Pembangunan permukiman yang berkelanjutan untuk mengurangi polusi
udara , Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 31, no.1, hh. 20-27.
Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional 2007, Konstruksi Indonesia 2030 Untuk
Kenyamanan Lingkungan Terbangun, Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
Nasional, Jakarta.
Salim, E., 2010, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Gramedia, Jakarta.
United States Environmental Protection Agency (USEPA)., 2010: Definition of Green
Building.[online] (updated 23 Desember 2010). Tersedia di:
http://www.epa.gov/greenbuilding/pubs/about.htm#1. (Diakses pada 9 November
2010).
World Resources Institute, 2005

Anda mungkin juga menyukai