Anda di halaman 1dari 14

IPTEK ILMIAH POPULER

EFEK RADIASI
PENGION DAN NON PENGION
PADA MANUSIA

Zubaidah Alatas
Puslitbang Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir BATAN
J alan Cinere Pasar J umat, J akarta 12440
PO Box 7043 J KSKL, J akarta 12070


PENDAHULUAN
Radiasi tidak dapat dilihat, dirasakan atau
diketahui keberadaannya oleh tubuh dan pajanan
radiasi yang berlebih dapat menyebabkan efek
yang merugikan. Pemanfaatan berbagai sumber
radiasi harus dilakukan secara cermat dan
mematuhi ketentuan keselamatan kerja dengan
sumber radiasi untuk menghindari terjadinya
pajanan radiasi yang tidak diinginkan. Setiap
individu yang bekerja dengan menggunakan
radiasi baik pengion maupun non pengion harus
selalu sadar bahwa aktivitas yang sedang
dilakukannya dapat menimbulkan efek yang
merugikan baik bagi dirinya maupun
lingkungannya bila terjadi kecelakaan akibat
kesalahan/keteledoran yang dilakukan. Supaya
setiap individu selalu hati-hati bila berada atau
bekerja di medan radiasi, atau bila mengetahui
keberadaan suatu sumber radiasi yang bukan pada
tempat yang seharusnya, maka perlu diketahui
berbagai efek biologi yang dapat terjadi sebagai
akibat dari pajanan radiasi yang berlebihan pada
tubuh.
Berdasarkan panjang gelombang, energi
dan juga frekuensinya, radiasi elektromagnetik
dapat dibedakan atas radiasi pengion dan non
pengion, seperti yang ditunjukkan pada spektrum
elektromagnetik (Gambar 1). Radiasi pengion
mempunyai panjang gelombang lebih kecil dari
100 nm dengan energi di atas 10 eV sehingga
mempunyai kemampuan untuk melakukan proses
ionisasi pada molekul yang dilaluinya. Sedangkan
radiasi non pengion yang mempunyai panjang
gelombang lebih besar, frekuensi lebih kecil dan
mempunyai energi lebih rendah, tidak mampu
untuk menghasilkan ion-ion ketika berinteraksi
dengan materi biologik.

Gambar 1. Perbandingan panjang gelombang,
frekuensi dan energi pada spektrum radiasi
elektromagnetik (pengion dan non pengion) [1].

Informasi mengenai efek biologi dari
radiasi yang diuraikan dalam tulisan ini terutama
berdasarkan pada rekomendasi terakhir dari
Komisi Internasional untuk Proteksi Radiasi
(International Commission on Radiological
Protection, ICRP) dan dari Komisi Internasional
untuk Proteksi Radiasi Non Pengion
Efek radiasi pengion dan non pengion pada manusia 99
(Zubaidah Alatas)
IPTEK ILMIAH POPULER
(International Commission on Non-Ionizing
Radiation Protection, ICNIRP). Keduanya
merupakan suatu organisasi ilmiah yang
menetapkan prinsip dasar dan rekomendasi
mengenai standar keselamatan dalam proteksi
radiasi.

INTERAKSI RADIASI DENGAN TUBUH
Setiap organ tubuh tersusun dari jaringan
yang merupakan kumpulan dari sejumlah sel
yang mempunyai fungsi yang sama. Sel manusia
pada dasarnya tersusun dari sitoplasma dan inti
sel (nucleus) yang keduanya dilindungi oleh suatu
membran sel yang memungkinkan terjadinya
komunikasi antar sel dan mengatur transportasi
bahan-bahan keluar masuk sel. Sitoplasma
mengandung sejumlah organel sel yang berfungsi
mengatur berbagai fungsi metabolisme penting
sel. Sedangkan inti sel mengandung suatu
struktur biologik yang sangat kompleks yang
disebut kromosom yang mempunyai peranan
penting sebagai tempat penyimpanan semua
informasi genetika yang berhubungan dengan
keturunan atau karakteristik dasar manusia.
Kromosom manusia yang berjumlah 23
pasang mengandung ribuan gen yang merupakan
suatu rantai pendek dari DNA (Deoxyribonucleic
acid) yang membawa suatu kode informasi
tertentu dan spesifik untuk satu macam
polipeptida yang harus disintesa oleh sel. DNA
merupakan sepasang rantai panjang
polinukliotida berbentuk spiral ganda (double
helix) yang dihubungkan dengan ikatan hidrogen.
Sebuah nukliotida tersusun dari molekul gula
(deoxyribose), basa dan gugus fosfat. Empat jenis
basa nitrogen yang terikat pada molekul gula dan
saling berpasangan adalah adenin (A) dengan
timin (T) dan guanin (G) dengan sitosin (C).
Urutan dari basa-basa tersebut mengekspresikan
kode genetik yang dibawa.
Interaksi radiasi pengion dengan materi
biologik dapat terjadi secara langsung maupun
tidak langsung. Secara langsung bila penyerapan
energi langsung terjadi pada molekul organik
dalam sel yang mempunyai arti biologik penting,
seperti DNA. Sedangkan interaksi secara tidak
langsung bila terlebih dahulu terjadi interaksi
radiasi dengan molekul air. Penyerapan energi
radiasi oleh molekul air dalam proses radiolisis
air menghasilkan radikal bebas yang tidak stabil,
sangat reaktif dan toksik terhadap molekul
organik vital tubuh. Radikal bebas yang terbentuk
dapat saling bereaksi menghasilkan suatu
molekul hidrogen peroksida yang lebih stabil.
Sedangkan radiasi non pengion merupakan
pancaran energi yang tidak mampu menyebabkan
terjadinya proses ionisasi pada materi biologik.
Radiasi non pengion yang mengacu pada
kelompok radiasi elektromagnetik dengan energi
< 10 eV, meliputi radiasi optik dan medan
radiofrekuensi. Interaksi radiasi non pengion,
khususnya pada rentang radiasi optik, dengan
materi biologik umumnya menimbulkan reaksi
panas/termal dan reaksi fotokimia. Mekanisme
kerusakan akibat suhu membutuhkan energi yang
cukup yang diserap oleh jaringan dalam waktu
singkat menimbulkan peningkatan suhu yang
nyata/berpengaruh pada jaringan normal. Reaksi
fotokimia terjadi ketika sebuah foton mempunyai
energi kuantum yang cukup untuk menginisiasi
terjadinya eksitasi yang merubah suatu molekul
menjadi satu atau lebih molekul kimia yang
berbeda.


KLASIFIKASI EFEK BIOLOGI RADIASI
PENGION
Berdasarkan letak sumber radiasi, efek
radiasi dibedakan atas efek eksterna dan interna.
Efek eksterna terjadi bila sumber radiasi berada
di luar tubuh manusia. Sinar-X, gamma, neutron
dan beta (>65 keV) dapat menembus kulit dan
menyinari jaringan/organ dalam tubuh sehingga
berbahaya sebagai sumber pajanan radiasi
eksterna. Faktor yang diketahui mempengaruhi
efek biologi dari pajanan luar yaitu dosis serap,
distribusi pajanan pada tubuh, distribusi waktu
pajanan dan usia. Efek radiasi interna timbul bila
sumber radiasi yang menempel pada tubuh
dan/atau masuk ke dalam tubuh. Sumber radiasi
100 Buletin ALARA, Volume 5 Nomor 2&3, April 2004, 99 112

IPTEK ILMIAH POPULER
yang dimaksud adalah partikel alpha, beta (<65
keV) dan elektron (konversi interna). Banyaknya
ion untuk satuan jarak lintasan yang ditimbulkan
radiasi alpha jauh lebih besar dari pada yang
ditimbulkan oleh radiasi beta atau gamma.
Pajanan radiasi dapat mengenai seluruh
tubuh maupun hanya sebagian tubuh saja.
Pajanan radiasi pengion seluruh tubuh dengan
dosis tinggi dapat menimbulkan sindroma radiasi
akut yang dapat menyebabkan kematian. Pajanan
radiasi pengion lokal dapat menimbulkan
berbagai jenis kerusakan bergantung pada lokasi
pajanan dan dosis radiasi pengion yang diterima.
Tubuh manusia terdiri dari dua jenis sel
utama yaitu sel genetik (sel telur dan sel sperma)
dan sel somatik (sel penyususn tubuh). Bila
dilihat dari jenis sel, maka efek radiasi dapat
dibedakan atas efek genetik dan efek somatik.
Efek genetik atau efek pewarisan terjadi bila sel
yang terpajan radiasi dan mengalami
kerusakan/perubahan kode genetik adalah sel
sperma atau sel telur. Efek genetik ini dirasakan
oleh keturunan dari individu yang terpajan
radiasi. Sedangkan bila sel somatik terpajan
radiasi, maka akan timbul efek sel somatik yang
diderita oleh individu yang terpajan. Waktu yang
dibutuhkan sampai terlihatnya gejala efek
somatik sangat bervariasi, sehingga dibedakan
atas efek segera dan efek tertunda.
Bila ditinjau dari segi kepentingan proteksi
radiasi, efek radiasi pengion dibedakan atas efek
deterministik dan efek stokastik. Efek
deterministik timbul sebagai akibat dari proses
kematian sel akibat pajanan radiasi yang
mengubah fungsi jaringan/organ terpajan. Efek
ini timbul bila dosis yang diterima di atas dosis
ambang (threshold dose) dan umumnya timbul
beberapa saat setelah terpajan. Tingkat
keparahannya akan meningkat bila dosis yang
diterima lebih besar dari dosis ambang. Tetapi
sebenarnya, tidak ada batasan dosis ambang
untuk dapat menimbulkan perubahan pada sistem
biologik. Serendah apapun dosis radiasi selalu
berisiko menimbulkan perubahan pada sistem
biologik baik pada tingkat molekul maupun
seluler yang akhirnya nanti akan berkembang dan
mengakibatkan suatu efek kesehatan yang parah
seperti malignansi. Dengan demikian, pajanan
radiasi dosis rendah pada jaringan dapat
meningkatkan risiko kanker yang secara statistik
dapat dideteksi pada suatu populasi, namun tidak
secara serta merta terkait dengan pajanan
individu. Pajanan radiasi dosis rendah pada organ
reproduksi dapat menginduksi terjadinya mutasi
atau perubahan pada kromosom sel genetik yang
berpotensi menimbulkan kelainan pada keturunan
individu terpajan. Semua efek yang terdeteksi
secara statistik ini disebut efek stokastik karena
sifatnya yang acak. Dengan demikian, pada efek
stokastik ini, tidak ada dosis ambang dan akan
muncul setelah masa laten yang lama. Peluang
terjadinya efek stokastik lebih besar pada dosis
yang lebih tinggi, namun keparahannya tidak
bergantung pada dosis.


EFEK BIOLOGI RADIASI PENGION
PADA TUBUH
1. Efek pada DNA
Kerusakan pada DNA sebagai akibat radiasi
dapat terjadi secara langsung maupun tak
langsung. Kerusakan yang parah adalah putusnya
kedua atau salah satu untai pasangan DNA yang
masing-masing dikenal sebagai double strand
breaks atau single strand break, serta clustered
damage sebagai gabungan dari semua kerusakan
yang berada pada suatu tempat yang sama. Selain
itu radiasi juga dapat menyebabkan terjadinya
perubahan struktur molekul gula atau basa,
hilangnya gula atau basa dan lainnya. Kerusakan-
kerusakan yang terjadi dapat diperbaiki secara
alamiah tanpa kesalahan sehingga struktur DNA
kembali seperti semula dan tidak menimbulkan
perubahan fungsi pada sel. Tetapi dalam kondisi
tertentu, proses perbaikan tidak berjalan
sebagaimana mestinya sehingga walaupun
kerusakan dapat diperbaiki tetapi tidak secara
tepat atau sempurna sehingga menghasilkan DNA
dengan struktur yang berbeda, yang dikenal
dengan mutasi.
Efek radiasi pengion dan non pengion pada manusia 101
(Zubaidah Alatas)
IPTEK ILMIAH POPULER
2. Efek pada Kromosom
Radiasi dapat menyebabkan terjadinya
perubahan baik pada jumlah maupun pada
struktur kromosom yang disebut dengan aberasi
kromosom. Perubahan jumlah kromosom,
misalnya menjadi 47 buah pada sel somatik yang
memungkinkan timbulnya kelainan genetik.
Sedangkan kerusakan struktur kromosom berupa
patahnya lengan kromosom yang terjadi secara
acak dengan peluang yang semakin besar dengan
meningkatnya dosis radiasi.
Aberasi kromosom yang mungkin timbul
adalah (1) fragmen asentrik sebagai hasil dari
proses delesi yaitu patahnya fragmen kromosom
yang tidak mengandung sentromer, (2)
kromosom cincin, (3) kromosom disentrik yaitu
sebuah kromosom dengan dua sentromer, dan (4)
translokasi yaitu terjadinya perpindahan atau
pertukaran fragmen dari dua atau lebih
kromosom. Kromosom disentrik merupakan
aberasi yang ternyata hanya dapat terjadi akibat
pajanan radiasi. Dengan demikian jenis aberasi
kromosom ini digunakan sebagai dosimeter
biologik yang dapat diamati pada sel darah
limfosit. Frekuensi terjadinya kelainan kromosom
bergantung pada besar dosis, energi dan jenis
radiasi yang diterima.

3. Efek pada sel
Kerusakan sel akan mempengaruhi fungsi
jaringan atau organ bila jumlah sel yang
mati/rusak dalam jaringan/organ tersebut cukup
banyak. Semakin banyak sel yang rusak/mati,
semakin parah perubahan fungsi yang terjadi
sampai akhirnya organ tersebut akan kehilangan
kemampuannya untuk menjalankan fungsinya
dengan baik sehingga menimbulkan kerusakan
yang dapat diamati secara klinik. Gangguan pada
fungsi jaringan atau organ tubuh ini menimbulkan
efek deterministik. Banyaknya sel yang
mengalami kematian akan meningkat dengan
meningkatnya dosis radiasi.
Radiasi dapat pula tidak membunuh sel
tetapi merubah sel dengan fungsi yang berbeda
yang akan menimbulkan efek stokastik. Sel yang
mengalami modifikasi atau sel terubah ini
mempunyai peluang untuk lolos dari sistim
pertahanan tubuh yang berusaha untuk
menghilangkan sel seperti ini. Bila sel yang
mengalami perubahan ini adalah sel genetik maka
sifat sel yang baru tersebut akan diwariskan
kepada turunannya sehingga timbul efek genetik
atau efek pewarisan. Apabila sel terubah ini
adalah sel somatik maka sel-sel tersebut dalam
jangka waktu yang relatif lama, ditambah dengan
pengaruh dari bahan-bahan yang bersifat toksik
lainnya, akan tumbuh dan berkembang menjadi
jaringan ganas atau kanker.

4. Efek Radiasi Lokal pada
Jaringan/Organ/Sistem Tubuh
Respon dari berbagai jaringan dan organ
tubuh terhadap radiasi pengion sangat bervariasi.
Selain bergantung pada sifat fisik radiasi juga
bergantung pada karakteristik biologik penyusun
jaringan/organ tubuh terpajan. Tingkat
sensitivitas dari jaringan penyusun organ
berbeda-beda bergantung antara lain pada tingkat
proliferasi dan diferensiasi yang akhirnya akan
mempengaruhi tingkat sensitivitas dari organ
terhadap pajanan radiasi. Berikut ini diuraikan
beberapa efek deterministik dan stokastik yang
dapat terjadi pada tubuh akibat pajanan radiasi
pengion secara lokal dan akut.

4.1. Kulit
Efek deterministik pada kulit bervariasi
dengan besarnya dosis, lokasi kulit dan faktor
lainnya. Dosis ambang sekitar 2 Gy dapat
menimbulkan efek kemerahan (eritema)
sementara yang timbul dalam waktu beberapa
jam. Gejala ini kemudian menghilang dan akan
timbul kembali dalam waktu sekitar 7 10 hari,
bergantung dosis radiasi yang diterima. Dengan
demikian eritema akibat pajanan radiasi pengion
terjadi dalam 2 tahapan. Dosis radiasi yang lebih
tinggi, sekitar 3 8 Gy akan menyebabkan
kerontokan rambut (epilasi) dan pengelupasan
kering (radang kulit kering) dalam waktu 3 6
102 Buletin ALARA, Volume 5 Nomor 2&3, April 2004, 99 112

IPTEK ILMIAH POPULER
minggu setelah pajanan radiasi. Pada dosis
12 20 Gy, akan mengakibatkan terjadinya
pengelupasan kulit disertai dengan pelepuhan dan
bernanah serta peradangan akibat infeksi pada
lapisan dalam kulit (dermis) sekitar 4 6 minggu
kemudian. Kematian jaringan (nekrosis) dapat
terjadi dalam waktu 10 minggu setelah terpajan
radiasi dengan dosis lebih besar dari 20 Gy. Bila
dosis yang di terima sekitar 50 Gy, nekrosis akan
terjadi dalam waktu yang lebih singkat yaitu
sekitar 3 minggu.




Gambar 1. Luka bakar pada kulit akibat pajanan
radiasi eksterna Ir-192 dengan aktivitas 37 Ci
(1,37 TBq) pada kasus kecelakaan radiasi di
PLTAYanango, Peru, pada tgl 20 Februari 1999.

Efek stokastik pada kulit adalah kanker
kulit. Keadaan ini, berdasarkan studi
epidemiologi, banyak dijumpai pada para
penambang uranium yang menderita kanker kulit
di daerah muka akibat pajanan radiasi dari
kontaminasi eksterna debu uranium yang
menempel pada permukaan kulit muka.

4.2. Mata
Bagian mata yang sangat sensitif terhadap
radiasi adalah lensa mata yang tersusun dari sel
serabut lensa yang bersifat transparan. Terjadinya
kekeruhan atau hilangnya sifat transparansi sel
pada lensa sudah mulai dapat dideteksi setelah
pajanan radiasi yang relatif rendah yaitu sekitar
0,5 Gy dan bersifat akumulatif. Proses kekeruhan
akibat pajanan radiasi terjadi pada bagian
permukaan posterior. Dengan demikian tidak
seperti efek deterministik pada organ lainnya,
katarak tidak akan terjadi beberapa saat setelah
pajanan, tetapi setelah masa laten berkisar dari 6
bulan sampai 35 tahun, dengan rerata sekitar 3
tahun.
22 Februari 1999

4.3. Tiroid
Tiroid tidak terlalu peka terhadap radiasi.
Pajanan radiasi dapat menyebabkan terjadinya
tiroiditis akut dan hipotiroidism. Dosis ambang
untuk tiroiditis akut sekitar 200 Gy. Efek
stokastik berupa kanker tiroid. Hal ini banyak
terjadi sebagai efek tertunda akibat pajanan
radiasi (sampai 5 Gy) pada kelenjar timus bayi
yang menderita pembesaran kelenjar timus akibat
infeksi. Pajanan radiasi pada kelenjar timus yang
berada tepat di bawah kelenjar tiroid ini
menyebabkan kelenjar tiroid juga terirradiasi
walaupun dengan dosis yang lebih rendah. Hal ini
mengakibatkan individu tersebut menderita
kanker tiroid setelah dewasa.
1 Maret 1999
3 Mei 1999

4.4. Paru
Paru dapat terkena pajanan radiasi eksterna
dan interna. Efek deterministik berupa
pneumonitis biasanya mulai timbul setelah
beberapa minggu atau bulan. Efek utama adalah
pneumonitis interstisial yang dapat diikuti dengan
terjadinya fibrosis sebagai akibat dari rusaknya
sel sistim vaskularisasi kapiler dan jaringan ikat
Efek radiasi pengion dan non pengion pada manusia 103
(Zubaidah Alatas)
IPTEK ILMIAH POPULER
yang dapat berakhir dengan kematian. Kerusakan
sel yang mengakibatkan terjadinya peradangan
akut paru ini biasanya terjadi pada dosis
5 15 Gy.

Sumsum tulang adalah organ sasaran dari
sistem pembentukan darah karena pajanan radiasi
dosis tinggi akan mengakibatkan kematian dalam
waktu beberapa minggu. Hal ini disebabkan
karena terjadinya penurunan sel stem pada
sumsum secara tajam. Dosis sekitar 0,5 Gy dapat
menyebabkan penekanan proses pembentukan sel
darah sehingga jumlah sel-sel darah akan
menurun. J umlah sel limfosit menurun dalam
waktu beberapa jam pasca pajanan radiasi,
sedangkan jumlah granulosit dan trombosit
(platelet) juga menurun tetapi dalam waktu yang
lebih lama, beberapa hari atau minggu. Sementara
penurunan jumlah eritrosit (sel darah merah) baru
terjadi dalam waktu beberapa minggu kemudian.
Penurunan jumlah sel limfosit absolut/total dapat
digunakan untuk memperkirakan tingkat
keparahan yang mungkin diderita seseorang
akibat pajanan radiasi akut.

4.5. Organ reproduksi
Efek deterministik pada organ reproduksi
atau gonad adalah sterilitas. Pajanan radiasi pada
testis akan mengganggu proses pembentukan sel
sperma yang akhirnya akan mempengaruhi
jumlah sel sperma yang dihasilkan. Pengaruh
radiasi pada produksi sel sperma tidak dapat
diketahui segera setelah terpajan radiasi, tetapi
dalam waktu sekitar 2 bulan kemudian. Dosis
radiasi 0,15 Gy sudah dapat mengakibatkan
penurunan jumlah sel sperma (oligospermia).
Dosis sampai 2 Gy menyebabkankan sterilitas
sementara selama sekitar 1 2 tahun. Menurut
ICRP 60, dosis ambang sterilitas permanen
adalah 3,5 6 Gy. Radiasi pada laki-laki tidak
mempengaruhi libido secara nyata.
Pengaruh radiasi pada sel telur sangat
bergantung pada usia. Semakin tua usia, semakin
sensitif terhadap radiasi. Radiasi dapat
menyebabkan strilitas atau menopause dini. Dosis
ambang sterilitas menurut ICRP 60 adalah 2,5 6
Gy. Pada usia yang lebih muda (20-an), sterilitas
permanen terjadi pada dosis yang lebih tinggi
yaitu mencapai 12 15 Gy.
Efek stokastik yang dikenal dengan efek
pewarisan terjadi karena mutasi pada gen atau
kromosom sel sperma dan sel telur. Perubahan
kode genetik yang terjadi akibat pajanan radiasi
akan diwariskan pada keturunan individu
terpajan. Tapi sampai saat ini belum ada bukti
adanya efek pewarisan pada manusia akibat
radiasi. Penelitian pada hewan dan tumbuhan
menunjukkan bahwa efek yang terjadi bervariasi
dari ringan hingga kehilangan fungsi atau
kelainan anatomik yang parah bahkan kematian
prematur.

4.6. Sistem Pembentukan Darah
Pada dosis yang lebih tinggi, individu
terpajan umumnya mengalami kematian sebagai
akibat dari infeksi karena terjadinya penurunan
jumlah sel lekosit (limfosit dan granulosit) atau
dari pendarahan yang tidak dapat dihentikan
karena menurunnya jumlah trombosit dalam
darah.
Efek stokastik pada sumsum tulang adalah
leukemia dan kanker sel darah merah.
Berdasarkan pengamatan pada para korban bom
atom di Hiroshima dan Nagasaki, leukemia
merupakan efek stokastik tertunda pertama yang
terjadi setelah pajanan radiasi seluruh tubuh
dengan masa laten sekitar 2 tahun dengan
puncaknya setalah 6 - 7 tahun.

4.7. Janin
Efek pajanan radiasi pada janin dalam
kandungan sangat bergantung pada umur
kehamilan pada saat terpajan radiasi. Dosis
ambang yang dapat menimbulkan efek pada janin
adalah 0,05 Gy. Perkembangan janin dalam
kandungan dapat dibagi atas 3 tahap. Tahap
pertama yaitu preimplantasi dan implantasi yang
dimulai sejak proses pembuahan sampai
menempelnya zigot pada dinding rahim yang
terjadi sampai umur kehamilan 2 minggu.
Pengaruh radiasi pada tahap ini menyebabkan
kematian janin. Tahap kedua adalah
104 Buletin ALARA, Volume 5 Nomor 2&3, April 2004, 99 112

IPTEK ILMIAH POPULER
organogenesis pada masa kehamilan 27 minggu.
Efek yang mungkin timbul berupa malformasi
tubuh dan kematian neonatal. Tahap ketiga
adalah tahap fetus pada usia kehamilan 840
minggu dengan pengaruh radiasi berupa retardasi
pertumbuhan, dan retardasi mental.
Kemunduran mental diduga terjadi karena
salah sambung sel syaraf di otak yang
menyebabkan penurunan nilai IQ. Dosis ambang
diperkirakan sekitar 0,1 Gy untuk usia kehamilan
8 - 15 minggu dan sekitar 0,4 - 0,6 Gy untuk usia
kehamilan 16 - 25 minggu.
J anin juga berisiko terhadap efek stokastik
dan yang paling besar adalah risiko terjadinya
leukemia pada masa anak-anak .


EFEK RADIASI PADA SELURUH TUBUH
Pajanan radiasi dosis cukup tinggi pada
seluruh tubuh akan menimbulkan sindroma
radiasi akut (Acute Radiation Syndrome) yang
dapat menyebabkan kematian dalam waktu
singkat. Kematian terjadi sebagai akibat
kerusakan dan kematian sel dalam jumlah yang
banyak dari organ dan sistem vital tubuh.
Seseorang yang terpajan radiasi seluruh tubuh
akan mengalami sindroma prodromal atau gejala
awal yang umumnya berupa hilang nafsu makan,
rasa mual, muntah, lelah, letih, sakit kepala dan
diare. Untuk beberapa lama gejala ini akan
hilang, yang kemudian akan timbul gejala atau
sindroma sistemik sesungguhnya yang
bergantung dosis yang diterima.
Sindroma radiasi akut yang terjadi adalah :
1. Sindroma sistem pembentukan darah
(hematopoietic syndrome).
Dosis ambang sindroma ini adalah 1 Gy
yang berupa penurunan jumlah komponen sel
darah setelah 2 4 minggu. Dosis sekitar 2
Gy sudah dapat menyebabkan terjadinya
kematian dalam waktu 2 8 minggu, bila
tidak ada interfensi medis.Kematian akibat
infeksi dan haemorrhage.
2. Sindroma sistem pencernaan (gastrointestinal
syndrome).
Dosis ambang sindroma sekitar 5 Gy
dalam waktu 3 5 hari dan dosis ambang
kematian sekitar 10 Gy dalam waktu 3 hari
sampai 2 minggu akibat dari kerusakan parah
pada usus halus.
3. Sindroma sistim syaraf pusat (central nervous
system syndrome).
Dosis ambang sindroma ini adalah 20 Gy
yang timbul dalam waktu kurang dari 3 jam
akibat kerusakan parah pada sistem
kardiovaskuler dan syaraf pusat.

SRA plus sindroma kutanius pada kasus Chernobyl


Gambar 2. Sindroma radiasi akut pada seorang
pekerja radiasi pada kasus Cherrnobyl.


EFEK KONTAMINASI INTERNA
RADIONUKLIDA
Masuknya radionuklida ke dalam tubuh
(kontaminasi interna) dapat melalui saluran
pernafasan (inhalasi), saluran pencernaan (ingesi)
dan luka di kulit. Kontaminasi interna dapat
terjadi secara akut maupun kronis, langsung
maupun tidak langsung (melalui beberapa
perantara pada jalur masuk atau pathway). Empat
tahapan berlangsungnya kontaminasi interna
yaitu (1) masuk tubuh melalui jalan masuk; (2)
penyerapan ke dalam darah atau cairan getah
bening; (3) distribusi ke dalam tubuh dan
akumulasi pada organ sasaran; dan (4)
pengeluaran melalui urin, feses atau keringat.
Efek radiasi pengion dan non pengion pada manusia 105
(Zubaidah Alatas)
IPTEK ILMIAH POPULER
Efek radiasi akibat masuknya radionuklida
ke dalam tubuh dipengaruhi antara lain oleh
jumlah radionuklida yang masuk, jalan masuk ke
dalam tubuh, sifat fisik radionuklida, sifat
kimiawi dan kinetikanya termasuk organ sasaran
radionuklida. Tempat akumulasi radionuklida
ditentukan oleh jenis dan bentuk/susunan
kimianya. Seperti yodium akan menuju kelenjar
gondok karena yodium adalah zat yang
diperlukan untuk pembuatan hormon tiroid.
Strontium dan radium akan terakumulasi pada
tulang dan cesium pada jaringan lunak.
Efek radiasi yang terjadi pada tingkat
molekul dan sel secara umum tidak jauh berbeda
dengan efek yang ditimbulkan akibat pajanan
radiasi eksterna, hanya mungkin tingkat
keparahannya yang lebih tinggi. Organ tulang,
tiroid dan paru merupakan organ yang berisiko
tinggi mengalami kerusakan akibat kontaminasi
interna.
Sumsum tulang dan selaput dalam serta luar
tulang merupakan bagian tulang yang peka
terhadap radiasi. Kerusakan pada tulang biasanya
sebagai akibat dari kontaminasi interna oleh
sronsium-90 atau radium-226. Efek stokastik
berupa kanker pada sel epitel selaput tulang. Para
pekerja di pabrik jam banyak yang menderita
kanker ini sebagai akibat dari penggunaan radium
sulfat sebagai bahan yang membuat jam menjadi
bersifat flouresense.
Kelenjar tiroid berisiko kerusakan tidak
hanya akibat pajanan radiasi eksterna, tetapi juga
akibat pajanan radiasi interna. Inhalasi bahan
radioaktif yodium akan segera terakumulasi
dalam kelenjar tersebut dan mengakibatkan
kerusakan. Selain dapat menyebabkan tiroiditis
dan hipotiroidism, juga terdapat kemungkinan
pembentukan kanker tiroid.
Inhalasi partikel radioaktif dapat berisiko
menyebabkan kerusakan pada organ paru. Setelah
inhalasi, distribusi dosis dapat terjadi dalam
periode waktu yang lebih singkat atau lebih lama,
antara lain bergantung pada ukuran partikel dan
bentuk kimiawinya. Efek yang mungkin timbul
antara lain limpositopenia, leukositopenia,
fibrosis, gangguan pernafasan, edema yang
akhirnya dapat menyebabkan kematian. Tingkat
keparahan yang ditimbulkan sangat bergantung
pada tingkat aktivitas radionuklida yang
terinhalasi. Sedangkan kanker paru banyak
dijumpai pada para penambang uranium. Selama
melakukan aktivitasnya, para pekerja meng-
inhalasi gas Radon-222 secara terus menerus
sebagai hasil luruh dari uranium. Di dalam paru,
radon selama proses peluruhannya sampai
mencapai bentuk stabil yaitu timbal, akan
melepaskan beberapa partikel alpha yang
diketahui sangat berbahaya sebagai sumber
pajanan radiasi interna.


EFEK RADIASI NON PENGION
Efek biologik radiasi non pengion akan
dibedakan atas efek akibat radiasi optik yang
meliputi radiasi ultraviolet (100 400 nm),
radiasi tampak/cahaya (400 770 nm) dan radiasi
infra merah ( 770 nm - 1 mm) dan efek medan
radiofrekuensi elektromagnetik yang meliputi
gelombang mikro (1 mm 30 cm), gelombang
frekuensi tinggi (30 cm 100 km) dan
gelombang frekuensi rendah ( > 100 km).
Radiasi UV pendek (< 220 nm) diserap oleh
oksigen pada lapisan terluar atmosfer yang
kemudian membentuk lapisan ozon yang
berfungsi sebagai filter atau pelindung terhadap
radiasi UV dengan panjang gelombang <310 nm.
Dengan demikian radiasi lainnya yang dapat
menembus lapisan ozon yang akan menimbulkan
efek bagi manusia. Tetapi semakin berkurangnya
lapisan ozon sebagai akibat dari pelepasan
chlorofluorocarbon ke atmosfer menyebabkan
tingkat kerusakan akibat pajanan radiasi UV
semakin besar.

1. Radiasi optik
Berdasarkan panjang gelombang, radiasi
UV dibagi atas UV-C (100 - 280 nm), UV-B (280
- 315 nm) dan UV-A (315 - 400 nm), sedangkan
radiasi infra merah dibagi atas IR-A (770 nm -1,4
m), IR-B (1,4 3 m) dan IR-C (3 m 1 mm).
Efek yang ditimbulkan akibat pajanan radiasi
106 Buletin ALARA, Volume 5 Nomor 2&3, April 2004, 99 112

IPTEK ILMIAH POPULER
optik pada tubuh sangat bergantung pada
panjang gelombang yang berhubungan dengan
daya tembus atau penetrasi radiasi optik pada
jaringan tubuh. Sasaran utama dari pajanan pada
tubuh adalah kulit dan mata.

a. Efek radiasi optik pada kulit
Mekanisme yang dominan dari efek
pajanan radiasi pada kulit adalah reaksi
fotokimia. Efek dari pajanan kronik radiasi UV
lebih serius dari pada pajanan akut. Pajanan
kronik pada kulit menyebabkan perubahan yang
sangat bervariasi dalam struktur dan komposisi
kulit, yang mengarah pada hilangnya sifat
elastisitas (elastosis), dilasi pembuluh darah, dan
penebalan kulit (keratosis). Efek kronik yang
paling penting adalah risiko kanker kulit
khususnya kanker kulit melanoma dan penuaan
dini.
Penetrasi energi radiasi UV-C dapat
menembus strotum korneum, lapisan atas stratum
malpighi dan menimbulkan efek tidak langsung
pada lapisan hidup epidermis (sel melanosit dan
sel keratinosit). Penyerapan radiasi UV-C
menginduksi produksi sitokin yang bertanggung
jawab terhadap timbulnya eritema dan
mempengaruhi fungsi imunitas sel langerhans
dan terdapat kemungkinan terlibat dalam
pembentukan kanker kulit.
Radiasi UV-B dapat menembus semua
lapisan epidermis dan hanya sekitar 10-15 %
dapat menjangkau bagian atas lapisan dermis.
Efek dari pajanan ini adalah eritema dan kanker
kulit. Diketahui bahwa panjang gelombang yang
dapat menimbulkan efek akut paling parah berupa
induksi luka bakar/sunburn adalah 307 nm.
Sunburn yang parah biasanya diikuti dengan
peningkatan ketebalan epidermis dan deskuamasi
sel epidermis yang mati dan diikuti dengan blister
pada 48 jam kemudian.
Ternyata radiasi UV-B juga memberikan
dampak yang menguntungkan bagi kesehatan
yaitu menginduksi terjadinya reaksi fotokimia
untuk menkonversi senyawa 7-dehydro
cholesterol menjadi vitamin D3 di lapisan
epidermis. Intensitas radiasi UV-B yang
dibutuhkan hanya sedikit dan kelebihan pajanan
dapat mengakibatkan penghentian aksi vitamin
D3 yang telah terbentuk. Bila telah sampai dalam
organ ginjal, vitamin D akan dikonversi menjadi
hormon yang berfungsi mengatur keseimbangan
kalsium dan fosfat dalam darah, menstimulasi
penyerapan kalsium dari makanan dalam usus
halus, memobilisasi kalsium ke tulang, memacu
differensiasi sel dan menghambat pembelahan
beberapa jenis sel terutama sel kanker.
Sedangkan radiasi UV-A yang diserap
lapisan epidermis hanya sebanyak 50% dan
sisanya mampu menembus lapisan dermis sampai
kedalaman 2 mm. Efek yang ditimbulkan adalah
kanker kulit, penuaan dini dan juga pigmentasi
kulit sebagai akibat dari peningkatan produksi
pigmen melanin.
Radiasi UV juga mengganggu proses
imunitas dengan merusak sel langerhans yang
berada tepat di bawah stratum korneum dan
dermis. Sel langerhans merupakan sel yang
terlibat dalam sistem imunitas seluler yang dapat
mendeteksi benda asing, mengisolasi dan
membawa antigen tersebut keluar lapisan
epidermis menuju pembuluh getah bening untuk
kemudian diinaktivasi atau dihancurkan oleh sel
limfosit T.
Pajanan laser yang termasuk dalam
kelompok radiasi cahaya tampak dan infra merah
dapat menyebabkan sunburn yang parah,
bergantung pada energi yang diserap. Radiasi
pada 310 700 nm menyebabkan reaksi
fotosensitif berupa eritema yang ringan dan tidak
sakit dan 700 nm 1 mm menimbulkan kulit
terbakar dan kering.

b. Efek radiasi optik pada mata
Pada mata, energi radiasi pada panjang
gelombang <280 nm (UV-C) dapat diserap
seluruhnya oleh kornea. Energi radiasi UV-B (
280 315 nm) sebagian besar diserap kornea dan
dapat pula mencapai lensa. Sedangkan energi
UV-A (315-400 nm) secara kuat diserap dalam
lensa dan hanya sebagian kecil energi saja (<1%)
Efek radiasi pengion dan non pengion pada manusia 107
(Zubaidah Alatas)
IPTEK ILMIAH POPULER
yang dapat mencapai retina. Untuk mata aphakic
(mata yang telah mengalami operasi katarak),
penetrasi radiasi UV pada 300 400 nm dapat
mencapai retina.
Paling tidak terdapat 3 jenis kerusakan
akibat pajanan radiasi UV pada mata, yaitu:
Photokeratoconjunctivitis/welders flash/
snow blindness yaitu reaksi peradangan akut
pada kornea dan conjunctiva mata sebagai
akibat pajanan radiasi pada panjang
gelombang 200 400 nm (UV-C, UV-B dan
UV-A). Ini merupakan kerusakan akibat
reaksi fotokimia pada kornea (fotokeratitis)
dan konjunctiva (fotokonjunctiva) yang
timbul beberapa jam setelah pajanan akut dan
umumnya berlangsung hanya 24 48 jam.
Simpton fotokeratitis berupa memerahnya
bola mata yang disertai rasa sakit yang parah.
Efek ini bersifat sementara karena kerusakan
yang terjadi sangat ringan (bagian
permukaannya saja) dan penggantian sel
epitel permukaan kornea berlangsung dengan
cepat (satu siklus 48 jam).
Pterygium dan droplet keratopathy adalah
patologis pada kornea yang berhubungan
dengan mata yang umum dijumpai pada
lingkungan pulau yang kaya akan pajanan
radiasi UV kronik (pajanan sepanjang hidup).
Pterygium atau penebalan conjuctiva sebagai
hasil dari pertumbuhan jaringan lemak diatas
kornea, sedangkan droplet keratopathy adalah
degenerasi lapisan ikat/fibrous pada kornea
dengan droplet-shaped deposit.
Kataraktogenesis atau proses pembentukan
katarak. Telah diduga radiasi UV pada
panjang gelombang 290 320 nm
menyebabkan katarak. Terdapat hubungan
yang jelas antara katarak dengan pajanan UV-
B sepanjang hidup.

Penetrasi radiasi cahaya tampak dan IR-A
(400 1400 nm) dapat mencapai retina dan
menimbulkan fotoretinitis, peradangan pada
retina. Kerusakan pada retina timbul khususnya
akibat pajanan cahaya tampak biru (400 550
nm) sehingga dikenal pula sebagai blue light
retinal injury. Diketahui bahwa fotoretinitis yang
biasanya disertai dengan scotoma (blind spot),
terjadi akibat menatap sumber cahaya yang
sangat tajam dan terang seperti matahari dalam
waktu yang sangat singkat ataupun cahaya terang
dari laser untuk waktu yang lebih lama.
Peningkatan suhu pada retina yang hanya
beberapa derajat lebih tinggi dari suhu yang
terjadi ketika demam diyakini dapat
menimbulkan kerusakan retina yang permanen.
Pajanan IR-A juga memberikan kontribusi dalam
pembentukan katarak pada lensa akibat panas.

Tabel 1. Rangkuman efek radiasi optik
pada kulit dan mata.
Radiasi
()
Efek pada
kulit
Efek pada mata
UV-C

Eritema
Kanker kulit
Fotokeratitis
Pterigium
UV-B

Eritema
Luka bakar
Kanker kulit
Fotokeratitis
Pterigium
Katarak
UV-A

Pigmentasi
Penuaan dini
Kanker kulit
Fotokeratitis
Katarak
Cahaya
Tampak
Luka bakar Fotoretinitis
IR-A

Luka bakar Fotoretinitis
katarak
IR-B

Luka bakar Katarak
Luka bakar
pada Kornea
dan conjuctiva
IR- C

Luka bakar Luka bakar
pada Kornea
dan conjuctiva

Radiasi IR-B (1,4 3 m) dapat menembus
lebih jauh dan diserap lensa dan memberikan
kontribusi pembentukan katarak dan juga
menimbulkan luka bakar pada kornea dan
konjuctiva. Sedangkan energi radiasi IR-C (3 m
1 m) diserap kornea yang dapat menyebabkan
terjadinya fotokeratitis atau yang lebih parah lagi
luka bakar pada kornea dan juga konjuctiva.
Dengan demikian, radiasi laser yang
menggunakan radiasi cahaya tampak dan juga
108 Buletin ALARA, Volume 5 Nomor 2&3, April 2004, 99 112

IPTEK ILMIAH POPULER
infrared dapat menyebabkan kerusakan pada
kornea, lensa atau retina, bergantung pada
panjang gelombang cahaya dan karakteristik
penyerapan energi dari struktur mata.

2. Radiasi Radiofrekuensi
Dalam membahas efek biologi dari medan
radiasi radiofrekuensi elektromagnetik pada
manusia, radiasi non pengion kelompok ini
dibedakan atas 2 sub kelompok yaitu gelombang
mikro (microwave) yang didefinisikan sebagai
radiasi elektromagnetik yang berada pada rentang
frekuensi dari 30 MHz 300 GHz dan
gelombang radiofrekuensi yang didefinisikan
sebagai radiasi elektromagnetik dengan rentang
frekuensi dari 0,3 30 MHz meliputi frekuensi
tinggi (orde kHz 230 MHz) dan frekuensi
rendah (orde Hz 1 MHz). Sedangkan ultrasonik
yaitu gelombang suara dengan frekuensi sangat
tinggi (> 20 kHz) dimasukkan pula ke dalam
kategori radiasi non pengion.
Berdasarkan studi epidemiologi diketahui
belum ada bukti yang kuat mengenai risiko
kanker baik pada anak-anak maupun dewasa dari
tingkat normal radiasi gelombang mikro atau
radiofrekuensi. Yang jelas perubahan medan
magnit atau listrik dapat menginduksi arus listrik
internal ke tubuh yang menimbulkan panas dan
tingkat atau laju perubahan ini sebanding dengan
frekuensi.

a. Gelombang mikro
Efek kesehatan pada umumnya sebagai
akibat dari panas yang timbul pada saat terjadi
interaksi antara energi gelombang mikro dengan
materi biologik. Efek biologik yang terjadi karena
pemanasan disebut efek termal dan yang terjadi
bukan karena proses pemanasan disebut efek non
termal. Efek yang berbahaya akibat pajanan
microwave adalah efek termal atau hipertermia
yang terutama merusak mata dan testis. Kedua
jaringan relatif sangat sensitf terhadap kenaikan
suhu jaringan.
Lensa mata tidak berpembuluh darah dan
terselubung dalam kapsul, sehingga mudah
terbakar akibat penambahan/penimbunan panas
yang mengakibatkan peningkatan suhu dari
pajanan radiasi intensitas yang tinggi. Selain itu
melalui efek termal dan mungkin melalui efek
non termal juga, gelombang ini dapat
menginisiasi serangkaian perubahan pada
permukaan posterior kapsul lensa yang mengarah
pada pembentukan katarak.
Kataraktogenesis ini sama halnya dengan
akibat radiasi pengion. Sedangkan katarak akibat
penuaan diawali pada bagian permukaan anterior
lensa. Kondisi pajanan, waktu dan intensitas yang
menyebabkan suhu pada jaringan mata mencapai
45
o
C atau lebih diyakini bersifat kataraktogenik.
Bila dalam kondisi praktis, risiko tinggi
pembentukan katarak berhubungan dengan
pajanan pada satuan ratusan atau lebih mW/cm2.
Fungsi testis sangat bergantung pada suhu.
Secara normal, suhu testis 2
o
C lebih rendah dari
suhu tubuh 37
o
C. Peningkatan suhu testis
walaupun hanya sampai 37
o
C sudah dapat
mengganggu spermatogenesis, proses
pembentukan sperma. Dengan demikian pajanan
radiasi gelombang mikro juga berisiko
mengganggu spermatogenensis melalui
mekanisme efek termal.
Efek non termal yang ditemukan pada para
pekerja yang secara kronik terpajan microwave
adalah berupa peningkatan kelelahan, sakit kepala
periodik dan konstan, iritasi parah, ketiduran
selama bekerja, dan penurunan sensitivitas
olfactory. Gejala klinik yang timbul antara lain
bradycardia, hipotensi, hipertiroid dan
peningkatan tingkat histamin darah. Pada
kelompok pekerja yang berada di medan
gelombang mikro dijumpai pula efek subyektif
seperti sakit kepala, lelah, pusing, tidur tidak
nyenyak, perasaan takut, tegang, depresi mental,
daya ingat kurang baik, nyeri pada otot dan
daerah jantung dan susah bernafas.

b. Gelombang radiofrekuensi
Terdapat data yang konsisten dari suatu
studi yang menunjukkan bahwa risiko leukemia
lebih tinggi pada anak-anak yang tinggal dekat
dengan jaringan listrik, tetapi dasar dari
Efek radiasi pengion dan non pengion pada manusia 109
(Zubaidah Alatas)
IPTEK ILMIAH POPULER
hubungan tersebut tidak diketahui. Ternyata tidak
ada bukti yang didukung dengan penelitian di
laboratorium yang menunjukkan adanya
kerusakan DNA dan kromosom, mutasi, dan
peningkatan frekuensi transformasi sebagai
respon terhadap pajanan medan frekuensi rendah.
Dengan demikian tidak diharapkan terjadinya
efek mutasi dan transformasi neoplastik yang
mengarah pada pembentukan kanker.
Risiko pembentukan kanker akibat pajanan
frekuensi listrik medan elektromagnetik
diperkirakan dapat terjadi atau terlibat dalam
satu atau semua tahapan utama pembentukan
kanker yaitu inisiasi, promosi dan progresi. Pada
tahap inisiasi, perubahan terjadi pada aspek
sitogenetik sebuah sel normal yang menyebabkan
terbentuknya sel yang termodifikasi atau
abnormal. Proses transformasi sel normal ini
akibat dari efek genotoksik dari suatu agen yang
bersifat karsinogenik. Pada tahap promosi sebagai
akibat dari efek epigenetik dari suatu agen, sel
abnormal ini akan terinduksi untuk melakukan
pembelahan atau proliferasi secara aktif dan
membentuk suatu klone atau kumpulan sel yang
tidak normal. Sedangkan tahap progresi adalah
tahap terjadinya peningkatan tingkat keganasan.
Studi laboratorium tidak berhasil
membuktikan secara konklusif bahwa radiasi
radiofrekuensi mempunyai aktivitas genotoksik
dan epigenetik. Dan studi epidemiologi pada
sekelompok pekerja industri yang terpajan radiasi
radiofrekuensi elektromagnetik menunjukkan
tidak adanya peningkatan risiko leukemia.
Sebagian hasil studi epidemiologi mengenai
hubungan antara radiasi radiofrekuensi dengan
kanker menunjukkan adanya hubungan yang
lemah dan tidak konsisten.
Dengan demikian hasil penelitian baik
epidemiologi maupun laboratorium secara in vivo
dan in vitro ternyata belum konklusif karena
belum ada bukti yang saling mendukung adanya
hubungan dosis-respon dan belum ada
mekanisme biologik yang diketahui tentang
pengaruh radiasi radiofrekuensi dalam proses
pembentukan kanker.
PENUTUP
Pemanfaatan radiasi pada berbagai bidang
untuk kesejahteraan manusia dapat dilakukan
tanpa batas selama tetap memperhatikan prosedur
standar proteksi dan keselamatan radiasi.
Prosedur proteksi dan keselamatan dalam bekerja
dengan sumber radiasi bertujuan untuk mencegah
terjadinya efek deterministik pada individu
dengan mempertahankan dosis di bawah ambang
dan untuk menjamin bahwa semua tindakan telah
dilakukan untuk memperkecil kemungkinan
terjadinya efek stokastik pada populasi di masa
kini dan masa mendatang. Bila setiap individu
yang bekerja dengan radiasi tidak dengan
kesadaran dan kewaspadaan yang tinggi, maka
sebaik apapun prosedur proteksi radiasi yang
telah dibuat/ direkomendasikan tidak akan ada
artinya.
Meskipun sampai saat ini belum berhasil
dibuktikan secara signifikan bahwa radiasi non
pengion sebagai karsinogen, tetapi di sisi lain,
juga tidak pernah dapat dinyatakan bahwa efek
kesehatan dari pajanan radiasi non pengion
adalah suatu hal yang tidak mungkin untuk
terjadi. Dengan demikian meskipun risiko
kesehatan yang mungkin timbul tidak dapat
dibuktikan secara konklusif, tetapi secara pasti
tidak dapat diabaikan. Kontroversi yang belum
berakhir tentang medan elektromagnetik dan
kanker, selain merefleksikan banyaknya kesulitan
intrinsik inherent pada pengkajian risiko kanker
juga membuktikan fakta bahwa tidak ada
penyebab yang sederhana terbentuknya kanker.
Manusia merupakan target dari berbagai
jenis bahan karsinogenik yang membuat sangat
tidak mungkin untuk memperkirakan bahwa
kanker yang diderita seseorang hanya disebabkan
oleh satu faktor lingkungan saja. Selama dalam
hidupnya manusia akan sulit untuk melepaskan
diri dari pajanan radiasi alam seperti gas radon
dan radionuklida alam lainnya, polusi dari hasil
buangan kendaraan, gas industri, asap rokok,
limbah kimia dari pestisida dan herbisida, lemak
pada makanan, alkohol, bahan kimia pengawet
dan pewarna makanan, dan juga sinar matahari.
110 Buletin ALARA, Volume 5 Nomor 2&3, April 2004, 99 112

IPTEK ILMIAH POPULER
DAFTAR PUSTAKA
1. ICRP, 1990 Recommendations of the
International Commission on Radiological
Protection, Publication 60, Pergamon Press,
Oxford (1991).
2. ICNIRP, Guidelines for Limiting Exposure to
Time-Varying Electric, Magnetic, and
Electromagnetic Fileds (up to 300 GHz).
Health Physics 74, 494-522 (1998).
3. UNITED NATIONS SCIENTIFIC
COMMITTEE ON THE EFFECTS OF
ATOMIC RADIATION (UNSCEAR),
Sources, Effects and Risks of Ionizing
Radiation (Report to the General Assembly),
UN, New York (1988).
4. COMMITTEE ON THE BIOLOGICAL
EFFECTS OF IONIZING RADIATION,
National Research Council, Health Effects of
Exposure to Low Levels of Ionizing
Radiation (BEIR V), National Academy
Press, Washington, DC (1990).
5. INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY
AGENCY (IAEA), Health Surveillance of
Persons Occupationally Exposed to Ionizing
Radiation: Guidance for Occupational
Physicians. Safety Reports Series No. 5,
IAEA, Vienna (1998).
6. IAEA, Health Effects and medical
Surveillance. Practical Radiation Technical
Manual, IAEA, Vienna (1998).
7. DENNIS, J .A. and STATHER, J . Non-
Ionising Radiation. Radiation Protection
Dosimetry. Vol. 72 (3-4), 161-313 (1997).
8. UNSCEAR. Ultraviolet Radiation: Exposures
and Effects. Vienna (1994).
9. CESARINI, J .P. UV and Skin: the Biological
Effects of UVA and UVB. International
Congress on Radition Protection (IRPA 9),
Vienna. 339-343 (1996).
10. CESARINI, J .P. Ultra Violet Radiation: the
Eye. International Congress on Radition
Protection (IRPA 9), Vienna. 345-351 (1996).
11. SLINEY, D.H. Ultra Violet Radiation effects
upon the Eye: Problems of Dosimetry.
Radiation Protection Dosimetry, 72 (3-4),
197-206 (1997).
12. CLASSIC, K.L. Organization and
Management of a Laser Safety Program. In
Miller, K.L. (ed.) Handbook of Management
of radiation Protection Programs. 2nd ed.
CRC Press, Boca Reton, USA (1992).
13. ROBINETTE, C.D., SILVERMAN, C. and
J ABLON, S. Effects Upon Health of
Occupational Exposure to Microwave
Radiation. Am. J. Epidemiol. 112, 39-53
(1980).
14. SZMIGIELSKI, S. Cancer Morbidity in
Subjects Occupationally Exposed to High-
Frequency (Radiofrequency and Microwave)
Electromagnetic Radiation. Sci. Total
Environ. 180, 9-17 (1996).
15. HIGASHIKIBO, R., CULBRETH, V.O. and
SPITZ, D.R. Radiofrequency Electromagnetic
Fields Have No Effect on the In Vivo
Proliferation of the 9L Brain Tumor. Radiat.
Res. 152, 665-671 (1999).
16. ZOOK, B.C. and SIMMENS, S.J . The Effects
of 860 MHz Radiofrequency Radiation on the
Induction or Promotion of Brain Tumors and
Other Neoplasms in Rats. Radiat. Res. 155,
572-583 (2001).
17. VIJ AYALAXMI, LEAL, B.L., SZILAGYI,
M., PRIHODA, M.J ., and MELTZ, M.L.
Primary DNA Damage in Human Blood
Lymphocytes Exposed In Vitro to 2450 MHz
Radiofrequency Radiation. Radiat. Res. 154,
479-486 (2000).
18. GARAJ -VRHOVAC, V., FUIC, A. and
HORVAT D. The Correlation Between the
Frequency od Micronuclei and Specific
Chromosome Aberrations in Human
Lymphocytes Exposed to Microwave
Radiation In Vitro. Mutat. Res. 281, 181-186
(1992).
Efek radiasi pengion dan non pengion pada manusia 111
(Zubaidah Alatas)
IPTEK ILMIAH POPULER
19. MAES, A. VERSCHAEVE, L., and
ARROYO, A. In Vitro Cytogenetic Effects of
2450 MHz Waves on Human Peripheral
Blood Lymphocytes. Biolelectromagnetics
14, 495-501 (1993).
20. HIGASHIKUBO, R., RAGOUZIS, M., and
MOROS, E.G. Radiofrequency
Electromagnetic Fields do not Alter the Cell
Cycle Progression of C3H 10T1/2 and
U87MG Cells. Radiat. Res. 156, 786-795
(2001).
21. ROTI ROTI, J .L., MALYAPA, and R.S.,
BISHT, K.S. Neoplastic Transformation in
C3H 10T1/2 Cells after Exposure to 835.62
MHz FDMA and 847.74 MHz CDMA
Radiations. Radiat. Res. 155, 239-247 (2001).














Hubungan antar satuan fisika radiasi
RADIOLOGICAL
QUANTITY OLD UNIT SI UNIT RELATION BETWEEN UNITS
Activity of The Curie The becquerel 1 Bq =2,7x10
-11
Ci 1Ci =37 kBq
Radioactive 1 Ci =3,7x10
10
dis/s 1 Bq =1 dis/s 1 kBq =2,7x10
-8
Ci 1mCi =37 MBq
Material 10
3
Bq =1 kilobecquerel (kBq) 1 MBq =2,7x10
-5
Ci 1 Ci =37 GBq
10
6
Bq =1 megabecquerel (MBq)
10
9
Bq =1 gigabecquerel (GBq) 1 GBq =27 mCi 10
3
Ci =37 TBq
10
12
Bq =1 terabecquerel (TBq) 1 TBq =27 Ci 10
6
Ci =37 PBq
10
15
Bq =1 petabecquerel (PBq) 1 PBq =27 kCi 10
9
Ci =37 EBq
10
18
Bq =1 exabecquerel (EBq) 1 EBq =27 MCi

Absorbed Dose The rad The gray 1 Ci =0.1 mrad 1 mrad =10 Gy
1 rad =0.01 J /kg 1 mGy =100 mrad 1 mGy =100 mrad 1 rad =10 mGy
1 Gy =10
3
Gy =10
6
mGy 1 Gy =100 rad 100 rad =1 Gy

Dose Equivalent The rem The sievert 1 Sv =0.1 mrem 1 mrem =10 Sv
1 rem =1 rad x Q 1 Sv =1 Gy x Q x N 1 mSv =100 mrem 1 rem =10 mSv
1 Sv =10
3
mSv =10
6
Sv 1 Sv =100 rem 100 rem =1 Sv
Q is the quality factor
N is the product of all other modifying factors (currently taken as by ICRP)


112 Buletin ALARA, Volume 5 Nomor 2&3, April 2004, 99 112

Anda mungkin juga menyukai