Anda di halaman 1dari 56

KEJANG Page 1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rhinitis adalah kondisi dimana membran dari hidung menjadi meradang
dan memiliki gejala kompleks yang terdiri dari gabungan dari gejala-gejala
seperti bersin, kongesti hidung, hidung terasa gatal dan rhinorrhea. Selain gejala
pada hidung, gejala pada rhinitis alergi ini dapat timbul di mata, sinus, dan
tenggorokan. Rhinitis alergi adalah penyebab paling banyak pada rhinitis.
Rhinitis alergi ini kondisi yang biasa terjadi, mempengaruhi sekitar 20 persen
dari populasi.
Rhinitis alergi nerupakan penyakityang tidak mengancam jiwa, tetapi
sering mengalami kekambuhan, sulit disembuhkan, merugikan produktifitas kerja
serta memerlukan biaya besar untuk penyembuhannya. Prevalensi RA di
Amerika Serikat adalah 20% (sekitar 40 juta orang). Dan membutuhkan biaya
berobat sebesar 5,3 miiar dollar pertahun. Jumlah kasus RA yang dijumpai di
Indonesia belum ada laporan, hanya menurut beberapa penulis dari beberapa
senter adalah sebagai berikut: Bratawidjaja dkk (1990) sebanyak 23,47%
(Jakarta), IB. Agung dan N.Soetomo (1977) sebanyak 15-20%, Nroesmono
1,14% (RSCMJakarta) dan T Madiadipoera dkk (RS Hasa Sadikin Bandung)
(1993) 1,5%. Di Semarang dengan menggunakan kuisioner International Study
of Asthma and Aleergis in Children (ISAAC) pada murid SLTP usia 13-14 tahun
didapatkan sebesar 18,6%.




KEJANG Page 2

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Anatomi Hidung
a. Hidung Luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung
luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak
dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari
atas ke bawah :
o pangkal hidung (bridge),
o batang hidung (dorsum nasi),
o puncak hidung (hip),
o ala nasi,
o kolumela,
o lubang hidung (nares anterior).
KEJANG Page 3


Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:
o tulang hidung (os nasal)
o prosesus frontalis os maksila
o prosesus nasalis os frontal;
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
o sepasang kartilago nasalis lateralis superior
o sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (ala mayor)
o tepi anterior kartilago septum.

b. Anatomi Hidung Dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.
internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan
rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding
lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara
konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya
celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas
konka media disebut meatus superior
KEJANG Page 4


1. Septum Nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri.
Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian
anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela
membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila ,
Krista palatine serta krista sfenoid.
2. Kavum Nasi
Cavum nasi terdiri dari :
a) Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan
prosesus horizontal os palatum.
b) Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior,
os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus
os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa
yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
KEJANG Page 5

c) Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus
frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media
yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina
perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.
d) Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka.
Celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus
inferior, celah antara konka media dan inferior disebut meatus media,
dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-
kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas.
Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa
lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.
e) Meatus Superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang
sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media.
Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior
melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas
belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat
resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sphenoid
f) Meatus Media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di
balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada
dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk
bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum
yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
KEJANG Page 6

infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan
dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada
penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu
sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel
etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus
maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel
etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium
tersendiri di depan infundibulum
g) Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara
3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.
h) Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi
dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan
kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh
lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas
oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoideus.
i) Sinus Paranasal
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang
terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus
maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang
berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa
nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus
zygomatikus os maksilla.

c. Kompleks Ostiomental
KEJANG Page 7

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior
yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka
media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM
adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula
etmoid, agger nasi dan ressus frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena
sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah
sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus
frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut
sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat
langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara
prosesus unsinatus dan konka media.


2.2 Vaskularisasi Hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
KEJANG Page 8

maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan
a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian
depan hidung mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya .Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.

2.3 Inervasi Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas
ujung posterior konka media.
Nervus olfaktorius : saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

KEJANG Page 9

2.4 Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :
a. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik lokal;
b. Fungsi Penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan
pengecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung,
konka superior, dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik nafas dengan kuat.
c. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi
tulang;
d. Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas;
e. Refleks nasal. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin
dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung, dan pankreas.

2.5 Sistem Mukosiliar Hidung
Transportasi mukosiliar adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk
membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang
terperangkap pada palut lender ke arah nasofaring. Merupakan fungsi
pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga
clearance mukosiliar atau sistem pembersih mukosiliar sesungguhnya.


KEJANG Page 10


Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan,
yaitu gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus
gumpalan mukus dan bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing
yang terperangkap di dalamnya ke arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus
mengikuti pola tertentu. Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal
dari dasar yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium
sinus alami.
Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan
menggunakan suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa.
Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini
dapat merusak bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A
(Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel.
Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung
sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak
dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah
posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring.
Cairan perisiliar yang di bawahnya akan di alirkan kearah posterior oleh
aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi
mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh.
Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap
KEJANG Page 11

oleh palut lender akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit.
Kecepatan dari TMS sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara
1 sampai 20 mm / menit.
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan
bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di
dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba
eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus
etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian
melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari
rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian
hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin
hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit.

2.6 Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang
sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu.
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal,
empat buah pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri,
sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang
terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan
dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan
mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui
ostium masing-masing.
KEJANG Page 12


Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian
anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media,
atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel
anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas
konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid.
Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas
antara kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting
sinus paranasal adalah sebagai sumber lendir yang segar dan tak terkontaminasi
yang dialirkan ke mukosa hidung.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris
dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial
dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh
pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan
lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang
menghasilkan sel-sel goblet
1. Sinus Maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal
yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan
pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat
lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan
KEJANG Page 13

cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat
dewasa.
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan
ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat
berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan
berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media.
Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah lateral sehingga
terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga
sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan
berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun.
Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada
usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar
hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan
perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi
permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun.
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap
ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os
maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang
disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding
medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum,
prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior, dan
sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan
dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus
maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku
anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir
7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum
mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui
lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas
KEJANG Page 14

dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi
ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya.
Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah :
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas ,
yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga
gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut
tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi
premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat
dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga
sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di
sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh
darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan
hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3. Os sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis
2. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada
usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga
sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-
kadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri
KEJANG Page 15

biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan
oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa
hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya
tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5
cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran
septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari
sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui
ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid.
3. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan
akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus
infeksi bagi sinus-sinus lainnya.
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan,
berasal dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel
etmoid anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir
kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai
masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-
5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di
bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan
letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara
di meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid
KEJANG Page 16

yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila.
Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
sinusitis maksila
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat
tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang
sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.
4. Sinus Spenoidalis
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan
evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi.
Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi
mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis posterior
maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil,
namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya
di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang
sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang
letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar
daripada sisi lainnya.
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya
1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding
sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri
media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring,
sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna
KEJANG Page 17

(sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

2.7 Fisiologi Sinus
Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.
Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini
adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku
Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka
tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dipatahkan
oleh Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa,
tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa
kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu
dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat
mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus
paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat
pertumbuhan tulang muka.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain adalah:
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini
ialah ternyata tidak didapati pertukaran udara yangdefinitif antara
sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi
sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas,
sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam
sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan
kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas ,
melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang
KEJANG Page 18

berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak
terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan
tulang hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari
berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat ,
posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi
sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi
suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi
karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling
strategis(

KEJANG Page 19

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Skenario
Seorang wanita berusia 17 tahun. Datang ke Poliklinik Rumah Sakit
dengan keluhan setiap hari bersinbersin hebat dan kedua hidung selalu berarir
encer dan bening selama 1 bulan. Keluhan disertai nyeri kepala dan pipi, gatal
dihidung, mulut serta tenggorokan. Hidung terasa buntu dan demam tidak ada.
Keluhan memberat bila pasien membersihkan rumah. Pasien mengaku minum
obat pilek, amun keluhan muncul lagi. Riwayat penyakit keluarga ayah
menderita asma bronchial.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan rinore bening dan encer, kona nasi
inferior udem dan pucat, obstruksii cavum nasi, didapatkan post nasal drip, nyeri
tekan fosa kanina, translumiinasi sinus maksilaris gelap
3.2 Terminologi
Rinore adalah aliran atau drainase cairan hidung
Fosa kanina adalah batas anterior inferior dari sinus maksilaris.
Transluminasi adalah pemeriksaan sinus frontalis dan maksilaris dengan
menggunakan cahaya yang diberikan pada sinus untuk mengetahui
apakah ada cairan di dalam sinus.
Post nasal drip adalah suatu aliran secret hidung yang mengalir melalui
koana ke posterior dan melalui nasofaring.
3.3 Permasalahan
Mengapa timbul nyeri pada kepala dan pipi, serta pada mulut, hidung
dan tenggorokan terasa gatal?
KEJANG Page 20

Nyeri pada kepala, timbul akibat gangguan keseimbangan. Dimana
salah satu fungsi sinus berperan dalam keseimbangan kepala. Jika salah
satu sinus terganggu maka keseimbanganpun terganggu sehingga
menimbulkan nyeri.
Nyeri pada daerah pipi di sebabkan karena adanya penumpukan mucus
di dalam sinus maksiilaris. Di mana mucus tersebut tiidak dapat di
alirkan keluar karena ada edem pada meatus media yang merupakan
muara dari saluran sinus maksilari.
Gatal pada mulut, hidung dan tenggorokan timbul akibat adanya
histamine yang merangsang reseptor H1 pada nervus vidianus.
Ada tida hubungan riwayaat asma bronkiial ayah pederita dengan gejala
yang di alami?
Interpretasi pemeriksaan fisik
a. Rinore bening dan encer : rinore yang bening dan encer di sebabkan
oleh hipersekresi dari kelenjar mucus dan sel goblet
b. Konka nasi inferior edem : karena adanya reaksi alergi,
menyebabkan permbuluh darah di sekitar konka menjadi lebih
permeabilitas, sehingga timbul edem
c. Obstruksi cavum nasi : obstruksi timbul akibat dari adanya edem
pada konka, serta peningkatan sekresi oleh kelenjar mucus dan sel
goblet
d. Post nasal discharge : akibat meningkatnya produksi mucus, silia di
sekitar hidungpun berusaha keras untuk medorong mucus tersebut
kea rah posterior menuju saluran pencernaan. Sehingga timbul rasa
seperti ada lender di tenggorokan
e. Nyeri tekan pada fosa kanina : fosa kanina terletak pada bagian
inferior dari sinus maksilaris, nyeri timbul akibat adanya
penumpukan mucus dalam sinus maksilaris
f. Transluminasi sinus maksilaris gelap : di akibatkan oleh adanya
edem pada meatus media.
KEJANG Page 21

Apa pengaruh obat pilek terhadap penyakit pasien?
Obat pilek seperti dekongestan berguna untuk mencegah kongesti pada
pembuluh darah.
.
3.4 Sinusitis
a. Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, bila mengenai beberapa
sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal
disebut pansinusitis.

Sesuai dengan anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.

Paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis ethmoid,
sedangkan sinusitis frontal dan sinisitis sfenoid lebih jarang. Pada anak hanya
sinus maksila dan sinus ethmoid yang berkembang, sedangkan sinus frontal
dan sinus sfenoid belum.
Menurut Cauwenberg berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi atas
:

- Sinusitis akut, bila infeksi berlangsung dari beberapa hari sampai
4 minggu.
- Sinusitis subakut, bila infeksi berlangsung dari 4 minggu sampai 3
bulan.
- Sinusitis kronik, bila infeksi berlangsung lebih dari 3 bulan.
Berdasarkan gejalanya disebut akut bila terdapat tanda-tanda radang
akut, subakut bila tanda akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa
sinus masih reversibel, dan kronik bila perubahan tersebut sudah irreversibel,
misalnya menjadi jaringan granulasi atau polipoid.
KEJANG Page 22

b. Epidemiologi
Sebagian besar infeksi virus penyebab pilek seperti common cold
dapat menyebabkan suatu sumbatan pada hidung, yang akan hilang dalam
beberapa hari. Namun jika terjadi peradangan pada sinusnya dapat muncul
gejala lainnya seperti nyeri kepala dan nyeri tekan pada wajah.
Sinusitis adalah infeksi atau peradangan dari mukosa sinus paranasal.
Sinusitis mungkin hanya terjadi pada beberapa hari (sinusitis akut) atau
berlanjut menjadi sinusitis kronis jika tanpa pengobatan yang adekuat.
Angka kejadian sinusitis akut mendekati 3 dalam 1000 orang,
sedangkan sinusitis kronis lebih jarang kira-kira 1 dalam 1000 orang. Bayi di
bawah 1 tahun tidak menderita sinusitis karena pembentukan sinusnya belum
sempurna, tetapi sinusitis dapat terjadi pada berbagai usia dengan cara lain.
Sinusitis pada anak lebih banyak ditemukan karena anak-anak
mengalami infeksi saluran nafas atas 6 8 kali per tahun dan diperkirakan
5% 10% infeksi saluran nafas atas akan menimbulkan sinusitis. Menurut
Rachelevsky, 37% anak dengan rinosinusitis kronis didapatkan tes alergi
positif sedangkan Van der Veken dkk mendapatkan tidak ada perbedaan
insiden penyakit sinus pada pasien atopik dan non atopik. Menurut Takahasi
dan Tsuttumi sinusitis sering di jumpai pada umur 6-11 tahun. Sedangkan
menurut Gray terbanyak di jumpai pada anak umur 5-8 tahun dan mencapai
puncak pada umur 6-7 tahun.

c. Etiologi

1. Sebab-sebab lokal

Sebab lokal sinusitis supurativa :
KEJANG Page 23

- Patologi septum nasi seperti deviasi septum.
- Hipertrofi konka media.
- Benda asing di hidung seperti tampon, rinolith, material
yang terinfeksi seperti air terinfeksi yang berkontak selama
berenang atau menyelam.
- Polip nasi.
- Tumor di dalam rongga hidung.
- Rinitis alergi dan rinitis kronik.
- Polusi lingkungan, udara dingin dan kering.
2. Faktor-faktor predisposisi regional.

Faktor regional yang paling lazim untuk berkembangnya sinusitus ialah:
- Khususnya sinisitus maksilaris meliputi gigi geligi yang buruk,
karies gigi atau abses apikal. Gigi-gigi premolar atau molar yang
sering terkena karena gigi geligi tersebut didekat dasar sinus
maksilaris.
- Sinusitus rekuren dapat disebabkan oleh obstruksi nasofaring
seperti tumor ganas, radiasi kobalt disertai radionekrosis atau
hipertrofi adenoid juga tumor-tumor palatinum jika ada perluasan
regional.
3. Faktor-faktor sistemik.

Faktor-faktor sistemik yang mempredisposisi perkembangan
rinosinusitis ialah :
- Keadaan umum yang lemah, seperti malnutrisi.
- Diabetes yang tidak terkontrol.
- Terapi steroid jangka lama.
- Diskrasia darah.
KEJANG Page 24

- Kemoterapi dan keadaan depresi metabolisme.
Faktor etiologi pada rinosinusitis anak adalah :

1. Peradangan : infeksi saluran nafas atas dan alergi.
2. Mekanikal : deformitas septum / nasal, obstruksi Kompleks Osteo
Meatal (KOM), konka hipertropi, polip, tumor, adenoid hipertropi,
benda asing dan cleft palate.
3. Sistemik : fibrosis kistik, sindroma Kartagener, imunodefisiensi.
4.
Lain-lain : berenang atau menyelam.


Menurut Lanza di kutip oleh Siow Jin Keat, penyebab multi faktor
rinosinusitis yaitu :

1. Faktor penderita.
Genetik / kondisi kongenital (fibrosis kistik dan sindrome immotil
silia), alergi / kondisi imun, anatomi yang abnormal, penyakit
sistemik (endokrin & metabolik), mekanisme saraf, neoplasma.
2. Faktor lingkungan.
Virus / infeksi, trauma, kimia noxiuos dan iatrogenik (obat-obatan
dan pembedahan).

d. Patofisiologi
Bila terjadi edema di kompleks ostiomeatal, mukosa yang letaknya
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan
lender tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drenase dan ventilasi
didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang
diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang
baik untuk tumbuhnya bakteri pathogen.
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi
lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi
perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista.
KEJANG Page 25

Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis.Polipoid
berasal dari edema mukosa, dimana stroma akan terisi oleh cairan
interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses
terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan
kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai,
sehingga terjadilah polip.
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah
ini, yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara
berurutan:
1. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum. Sedangkan
permukaannya kering. Leukosit juga mengisi rongga
jaringan submukosa.
3. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah
akibat edema dan pembengkakan struktur subepitel. Pada
stadium ini biasanya tidak ada kelainan epitel.
4. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan
leukosit keluar melalui epitel yang melapisi mukosa.
Kemudian bercampur dengan bakteri, debris, epitel dan
mukus. Pada beberapa kasus perdarahan kapiler terjadi dan
darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula
encer dan sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak,
karena terjadi koagulasi fibrin dan serum.
5. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat
dan berhentinya pengeluaran leukosit memakan waktu 10
14 hari.
6. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari
tipe kongesti ke tipe purulen, leukosit dikeluarkan dalam
jumlah yang besar sekali. Resolusi masih mungkin
meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan
belum menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan
KEJANG Page 26

jaringan akan menjadi permanen, maka terjadi perubahan
kronis, tulang di bawahnya dapat memperlihatkan tanda
osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang.
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi : (1) Melalui
suatu tromboflebitis dari vena yang perforasi ; (2) Perluasan langsung
melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik ; (3) Dengan
terjadinya defek; dan (4) Melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia.
Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus secara
limfatik.
Pada sinusitus kronik perubahan permukaan mirip dengan peradangan
akut supuratif yang mengenai mukosa dan jaringan tulang lainnya. Bentuk
permukaan mukosa dapat granular, berjonjot-jonjot, penonjolan seperti
jamur, penebalan seperti bantal dan lain-lain. Pada kasus lama terdapat
penebalan hiperplastik. Mukosa dapat rusak pada beberapa tempat akibat
ulserasi, sehingga tampak tulang yang licin dan telanjang, atau dapat
menjadi lunak atau kasar akibat karies. Pada beberapa kasus didapati
nekrosis dan sekuestrasi tulang, atau mungkin ini telah diabsorpsi.
Pemeriksaan mikroskopik pada bagian mukosa kadang-kadang
memperlihatkan hilangnya epitel dan kelenjar yang digantikan oleh jaringan
ikat. Ulserasi pada mukosa sering dikelilingi oleh jaringan granulasi,
terutama jika ada nekrosis tulang. Jaringan granulasi dapat meluas ke
periosteum, sehingga mempersatukan tulang dengan mukosa. Jika hal ini
terjadi, bagian superfisial tulang diabsorpsi sehingga menjadi kasar. Osteofit
atau kepingan atau lempengan tulang yang terjadi akibat eksudasi plastik,
kadang-kadang terbentuk di permukaan tulang.
Terjadinya sinusitis secara kronis tak lepas dari proses inflamasi yang
terdapat pada sinus paranasal. Manusia memiliki empat pasang sinus
paranasal yang terdiri dari epitel kolumnar semu dengan silia. Di sela-sela
epitel tersebut terdapat sel goblet yang terus menjaga kelembaban daerah
sinus. Mukosa sinus menempel langsung pada tengkorak yang sering sekali
KEJANG Page 27

menyebabkan penyebaran infeksi ke daerah orbita dan kompartemen
intrakranial. Biasanya penyebaran infeksi ini terjadi pada pasien sinusitis
akut yang tidak sempurna pengobatannya.
Sinus paranasal itu sendiri sebenarnya merupakan invaginasi dinding
saluran napas ke dalam rongga-rongga tengkorak. Tidak terlalu jelas
mengapa bentuk anatomis sinus paranasal seperti ini, namun fungsi yang
diketahui hingga saat ini ialah sebagai rongga resonansi dan penyeimbang
tekanan udara dalam tubuh. Invaginasi sinus ini terbagi menjadi sinus
frontal, maksila, etmoid, dan sfenoid. Daerah sinus maksila, sinus frontal,
dan sinus etmoid anterior bermuara ke dalam hidung melalui kompleks
osteomeatal yang terletak lateral dari meatus medial. Sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid membuka menuju meatus superios dan resesus
sfenoetmoidal. Sedangkan ostium dari sinus maksila tersambung ke rongga
hidung melalui saluran kecil yang dinamakan infundibulum. Saluran ini
terletak di bagian tertinggi dari sinus, padahal letak maksila agak sedikit
lebih ke bawah dari rongga hidung. Dengan demikan saluran ini melawan
gaya gravitasi untuk mengalirkan mukus ke dalam rongga hidung. Lantai
sinus maksila pun bersentuhan langsung dengan prosesus alveolaris gigi
geligi. Akibatnya, infeksi gigi akan mudah menyebar menuju sinus maksila.
Namun jika tidak ada infeksi, biasanya rongga sinus akan tetap steril
meskipun terdapat jutaan kuman di dalam rongga hidung.
Sinusitis terjadi jika kompleks osteomeatal di hidung mengalami
obstruksi mekanis, baik itu akibat edema mukosa setempat atau akibat
berbagai etiologi semisal ISPA atau rhinitis alergi. Keadaan ini membuat
statis sekresi mukus di dalam sinus. Stagnasi mukosa ini membentuk media
yang nyaman untuk pertumbuhan patogen. Awalnya, terjadi sinusitis akut
dengan gejala klasik dan biasanya terdiri dari satu macam bakteri aerob saja.
Jika infeksi ini dibiarkan terus-menerus, akan tumbuh pula berbagai flora,
organisme anaerob, hingga kadang tumbuh jamur di dalam rongga sinus.
Sebagian besar kasus sinusitis kronis terjadi pada pasien dengan sinusitis
KEJANG Page 28

akut yang tidak respon atau tidak mendapat terapi. Peran bakteri sebagai
dalang patogenesisi sinusitis kronis saat ini sebenarnya masih dipertanyakan
juga. Infeksi sinus yang berulang dan persisten dapat terjadi tidak hanya
akibat timbunan bakteri, tapi memang dari lahir orang tersebut sudah
mengalami imunodefisiensi kongenital atau penyakit lain seperti fibrosis
kistik.

e. Tanda Dan Gejala
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek,
umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja.
Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya. Polusi bahan kimia
menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung.
Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi
imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi
kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.
A. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari
- Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan
sekret pasca nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen
dan hidung biasanya sedikit tersumbat.
- Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di
tenggorokan.
- Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi
sumbatan tuba eustachius.
- Ada nyeri atau sakit kepala.
- Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus
nasolakrimalis.
- Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa
bronkhitis atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.
KEJANG Page 29

- Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi
gastroenteritis.

B. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak
terdapat pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat
ditemukan sekret kental, purulen dari meatus medius atau meatus
superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi sinusitis.
Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau
turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat
ditemukan etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis
frontalis atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini dapat menyertai
poliposis hidung kronis.

f. Diagnosis
Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :
1. Anamnesis yang cermat
2. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
3. Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni
pada daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
4. Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters,
PA dan Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk
memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum
maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian
rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama
untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid.
Posisi Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral
untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.
5. Pungsi sinus maksilaris
KEJANG Page 30

6. Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan
dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor
atau kista dan bagaimana keadaan mukosa dan apakah osteumnya
terbuka. Pada sinusitis kronis akibat perlengketan akan menyebabkan
osteum tertutup sehingga drenase menjadi terganggu.
7. Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu
dilakukan sinoskopi.
8. Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan
naso- endoskopi.
9. Pemeriksaan CT Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan
sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan
pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level,
perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus
paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus
kronik).

Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :
g. Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin,
homogen, pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans.
KEJANG Page 31

Kadang sukar membedakannya dengan polip yang terinfeksi,
bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan
gambaran air-fluid level.
h. b.Polip yang mengisi ruang sinus
i. Polip antrokoanal
j. Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
k. Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-
angsur oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan
gambaran pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas
rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.
l. Tumor
g. Tata Laksana
1. Medikamentosa
a. Antibiotik
Bedasarkan kuman yang sering menjadi penyebab, maka
antibiotika lini pertama adalah amoksisilin. Pemilihan amoksisilin
ini karena merupakan antibiotika yang relative aman dan harganya
terjangkau. Pilihan ini dilakukan terutama untuk serangan yang
pertaman dimana belum pernah diterapi dengan antibiotika. Untuk
yang berulang atau adanya riwayat pemberian antibiotika sebelunya
mungkin amoksisilin kurang efektif, untuk itu antibiotika lini kedua
dapat menjadi alternatif.
Bila ditengarai adanya kuman penghasil enzim -laktamase
maka kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat dapat digunakan.
Untuk penderita hipersensitif terhadap penisilin dapat digunakan
katrimoksazol, makrolid atau doksisiklin, namun obat yang terakhir
ini tidak dianjurkan pada anak-anak. Antibiotika ahrus diberikan
10-14 hari.
KEJANG Page 32

Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif
seperti siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan
kultur. Jika diduga ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazol.
b. Terapi medik tambahan
1. Dekongestan
Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal
mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi
reseptor -adrenergik dimukosa hidung dengan efek
vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung,
meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi.
Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal
mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi
reseptor -adrenergik dimukosa hidung dengan efek
vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung,
meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat
terhadap sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak
fisiologik dan pemakaian jangka lama (lebih dari 7 hari) akan
menyebabkan rinitis medika mentosa.
2. Antihistamiin
Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada
lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru
dianjurkan, demikian juga kemungkinan imunoterapi.
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek
antikolinergik yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti
azelastine, acrivastine, cetirizine, fexofenadine dan loratadine.
3. Kortikosteroid
Ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid topikal
dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek
KEJANG Page 33

lokal terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan
hipo/anosmia.
Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada
kelainan alergi dan non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak
mencapai komplek osteomeatal, keluhan pasien berkurang
karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang.
Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh
rongga sinus. Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif
menghilangkan beberapa keluhan. Preparat oral dapat diberikan
mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka sumbatan
hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot merata.
2. Operatif
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan
pesat dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan
tindakan konservatif yang lebih efektif dan fungsional. Keuntungan BSEF
adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang,
sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya
kelainan patologi dirongga-rongga sinus .
Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal
dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar. Dengan ini ventilasi sinus
lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi dan kelainan didalam
sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.

3.5 Rhinitis Alergi
b. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan
alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
KEJANG Page 34

paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986).
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.
Berdasarkan penyebabnya, ada 2 golongan rhinitis :
1. Rhinitis alergi disebabkan oleh adanya alergen yang terhirup oleh
hidung.
2. Rhinitis non alergi disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu :
Rhinitis vasomotor, rhinitis medicamentosa, rhinitis struktural

Menurut WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari
4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas

c. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi
KEJANG Page 35

tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anakanak.
Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen
yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau
jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa
dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau
biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk
untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
o Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta
jamur.
o Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
o Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan,
misalnya penisilin atau sengatan lebah.
o Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

d. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu :
KEJANG Page 36

1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan
alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena
hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan
pelepasan amin vasoaktif seperti histamin.
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul
dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal
ini berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil,
basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen yang
menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret kental.

Patofisiologi rinitis alergi dapat dibedakan ka dalam fase sensitisasi
dan elisitasi. Fase elisitasi dibedakan atas tahap aktivasi dan tahap efektor.
KEJANG Page 37

Fase sensitisasi diawali dengan paparan alergen yang menempel
dimukosa hidung bersama udara pernapasan. Alergen tersebut ditangkap
kemudian dipecah oleh sel penyaji antigen (APC) seperti sel Langerhans, sel
dendritik dan makrofag menjadi peptida rantai pendek. Hasil pemecahan
alergen ini akan dipresentasikan di permukaan APC melalui molekul
kompleks histokompatibilitas mayor kelas II (MHC kelas II). Ikatan antara
sel penyaji antigen dan sel Th 0 (sel T helper) melalui MHC-II dan
reseptornya (TcR-CD4) memicu deferensiasi Sel Th0 menjadi sel Th2.
Beberapa sitokin yaitu IL3, IL4, IL5, IL9,IL10, IL13 dan granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GMCSF) akan dilepaskan.
IL-4 dan IL-13 selanjutnya berikatan dengan reseptornya di permukaan
sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE) yang akan dilepaskan di sirkulasi darah dan jaringan
sekitarnya. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan berikatan
dengan reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator
membentuk ikatan IgE-sel mast. Individu yang mengandung komplek
tersebut disebut individu yang sudah tersensitisasi, yang menghasilkan sel
mediator yang tersensitisasi.
Fase aktivasi bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen
yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
menyebabkan terjadinya degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan
Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien
D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
KEJANG Page 38


Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFL, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating
Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein
(ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti
KEJANG Page 39

asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar
keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan
terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis
besar terdiri dari :
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon
sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi
selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
KEJANG Page 40

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi
ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi
ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate
hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi
kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak
dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi
e. Tanda dan Gejala
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali
setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di
hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan
hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung hidung
akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat
(allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul
kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair.
Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi
membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba
eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia
KEJANG Page 41

submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan
edema pita suara
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah
penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip.
Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan
nafsu makan dan sulit tidur..

f. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak
terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan
dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya
serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang
timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor
predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan
dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap
serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung
tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan
allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena
KEJANG Page 42

stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu,
dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada
dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung
yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute).
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah,
berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer
dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung
yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula
ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan
lainnya seperti sinusitis dan otitis media.

3. Pemeriksaan Penunjang
1. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent
test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi
pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis
alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna
adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam
jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan
jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
2. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin
End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
KEJANG Page 43

bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat
diketahui.

g. Penatalaksanaan
1. Terapi Non-farmakologi
Terapi non-farmakologi yang paling ideal adalah dengan
menghindari alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Terapi Farmakologi (Terapi Simptomatis)
Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan
simpatomimetik, kortikosteroid dan antikolinergik topikal.
1) Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1. Antagonis reseptor
histamin H1 berikatan dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi
reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja histamin. Merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini
pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi
atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin
generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah
otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik.
Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran
molekul lebih besar sehingga lebih banyak dan lebih kuat terikat
dengan protein plasma dan berkurang kemampuannya melintasi otak.
Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan
farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja
cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata,
KEJANG Page 44

namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi
kongesti hidung.
2) Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa
hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang
membengkak, dan memperbaiki pernapasan.
a. Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan
pseudoefedrin, merupakan obat simpatomimetik yang dapat
mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada
pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek
samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar, gelisah,
agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran
mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau
tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan
perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun
efek samping juga bertambah.
b. Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin,
oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti
hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada
dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10
hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek
sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan.
Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk
KEJANG Page 45

rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas
antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis
toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf
pusat.
3) Preparat Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan
berbagai penyakit alergi oleh karena sifat anti inflamasinya yang
kuat. Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai oleh
pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah
diketahui bahwa kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin
seperti interleukin IL-1 sampai IL-6, tumor nekrosis factor- (TNF-
), dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-
CSF). Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8,
regulated on activation normal T cell expressed and secreted
(RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory protein- 1 (MIP-
1), dan monocyt chemoattractant protein-1.

a. Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon)
dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini
merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis
alergik dan efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat
setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah beberapa hari.
Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak
dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek
lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping
setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang.
Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis
setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi
KEJANG Page 46

hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan
hidung tersumbat yang menonjol.
b. Kortikosteroid oral/IM
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason,
hidrokortison, metilprednisolon, prednisolon, prednison,
triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi
dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin
diperlukan. Jika memungkinkan, kortikosteroid intranasal
digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM.
Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping
sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid
sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada
anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat
intranasal dan inhalasi.
4) Sodium Kromolin
Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah
degranulasi sel mast dan pelepasan mediator termasuk histamin
dengan cara memblokade pengangkutan kalsium yang dirangsang
antigen melewati membran sel mast.
5) Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik permukaan sel efektor.
6) Anti-leukotrien seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast,
akan memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang
menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data
mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh
dengan baik.

KEJANG Page 47

3. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor
asetat.
4. Imunoterapi - Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika
pengobatan medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan
efek samping yang tidak dapat dikompromi. Imunoterapi menekan
pembentukan IgE. Imunoterapi juga meningkatkan titer antibodi IgG
spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi & netralisasi.
Desensitisasi dan hiposensitisasi membentuk blocking antibody.
Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama
dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak
membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan.
3.6 Rhinitis Vasomotor
a. Definisi
Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan
mukosa hidung yang disebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis.
Penyakit ini termasuk dalam penyakit rinitis kronis selain rinitis alergika.
Rinitis vasomotor adalah inflamasi kronis lapisan mukosa hidung yang
disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan
simpatis. Parasimpatis menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan
pembangkakan pembuluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa hidung
tersumbat, bersin dan ingus yang encer.
Rinitis vasomotor adalah kondisi dimana pembuluh darah yang
terdapat di hidung menjadi membengkak sehingga menyebabkan hidung
tersumbat dan kelenjar mukus menjadi hipersekresi.

b. Epidemiologi
Mygind (1988), seperti yang dikutip oleh Sunaryo (1998),
memperkirakan sebanyak 30 60 % dari kasus rhinitis sepanjang tahun
KEJANG Page 48

merupakan kasus rhinitis vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia
dewasa terutama pada wanita.
10
Walaupun demikian insidens pastinya tidak
diketahui.
2,5
Biasanya timbul pada dekade ke 3 4.
3
Secara umum prevalensi
rinitis vasomotor bervariasi antara 7 21%.

Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon (1989)
dijumpai sebanyak 21% menderita keluhan hidung non alergi dan hanya 5%
dengan keluhan hidung yang berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi
dari kelompok non alergi dijumpai pada dekade ke 3.
Sibbald dan Rink (1991) di London menjumpai sebanyak 13% dari
pasien, menderita rinitis perenial dimana setengah diantaranya menderita
rhinitis vasomotor.
Sunaryo, dkk (1998) pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis
selama 1 tahun di RS Sardjito Yogyakarta menjumpai kasus rinitis vasomotor
sebanyak 33 kasus (1,38 %) sedangkan pasien dengan diagnosis banding
rinitis vasomotor sebanyak 240 kasus (10,07 %).


c. Etiologi
Etiologi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat
gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :

1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor
topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara
yang tinggi dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti
hamil dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

d. Patofisiologi
KEJANG Page 49

Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan
sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur
oleh sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi
kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang
menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja
saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem
parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola
dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan
menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti.
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif
dari sel-sel seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin,
leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-
elemen ini tidak nhanya mengontrol diameter pembuluh darah yang
menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem
saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore.
Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated)
seperti pada rinitis alergi.
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis
vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang
spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan
udara, perfume, asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ).
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan
rinitis vasomotor yaitu :
1. Meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. Mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. Mengurangi peptide vasoaktif
4. Mencari dan menghindari zat-zat iritan.

e. Gejala Klinis
KEJANG Page 50

Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit
dibedakan dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore
yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung
tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang
lain, terutama sewaktu perubahan posisi.
Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan
rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata.
1,2,6,7
Gejala
dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya
perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok
dan sebagainya.
1
Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang
jatuh ke tenggorok ( post nasal drip ).
Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam
2 golongan, yaitu golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore (runners
/ sneezers). Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada
golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis
alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan
diagnosisnya.

f. Diagnosis
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan
vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi.
1
Biasanya penderita
tidak mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada
usia dewasa.Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon
terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila
tidak terpapar.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa
edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah
tua ( karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan
konka dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat
sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret
KEJANG Page 51

yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak.Pada rinoskopi
posterior dapat dijumpai post nasal drip.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian
pula test RAST, serta kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang
ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang
sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil
dalam sekret.
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema
dan mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.

Tabel 2. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor
5
Riwayat Penyakit - Tidak berhubungan dengan
musim.
- Riwayat keluarga ( - )
- Riwayat alergi sewaktu anak-
anak ( - )
- Timbul sesudah dewasa.
- Keluhan gatal dan bersin ( - )
Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - )
- Tanda tanda infeksi ( - )
- Pembengkakan pada mukosa ( + )
- Hipertrofi konka inferior sering
dijumpai.
Radiologi X-Ray/CT - Tidak dijumpai bukti kuat
keterlibatan sinus.
- Umumnya dijumpai penebalan
mukosa.
Bakteriologi - Rinitis bakterial ( - )
KEJANG Page 52

Tes Alergi Ig E total - Normal
Prick test - Negatif atau positif lemah
RAST - Negatif atau positif lemah

g. Diagnosis Banding
1. Rinitis alergi
2. Rinitis infeksi

Tabel 3. Perbedaan Karakteristik antara Rhinitis Alergi dan Rhinitis
Vasomotor.

Karakteristik Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor
Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 4
Riwayat terpapar allergen (
+)
Riwayat terpapar allergen ( - )
Etiologi Reaksi Ag - Ab terhadap
rangsangan spesifik
Reaksi neurovaskuler terhadap
beberapa rangsangan mekanis
atau
kimia, juga faktor psikologis
Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol
Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat
Neurektomi
n. vidianus
Tidak membantu Membantu

h. Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol.
Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
KEJANG Page 53

Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi
keluhan hidung tersumbat. Contohnya: Pseudoephedrine dan
Phenylpropanolamine (oral) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline (
semprot hidung ).
Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore
dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang
disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit
selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan.
Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau
Beclomethasone
Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray )
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :
Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau
triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik (
electrical cautery ).
Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the
inferior turbinate ).
Bedah beku konka inferior ( cryosurgery ).
Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection).
Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy ).
Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan
melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak
memberikan hasil.
Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang
hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup
tinggi dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi.
KEJANG Page 54


Algoritme penatalaksanaan Rhinitis vasomotor

KEJANG Page 55

i. Komplikasi

1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah

j. Prognosis
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang
dapat membaik dengan tiba tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap
pengobatan yang diberikan.














KEJANG Page 56

BAB IV
KESIMPULAN
Dari gejala yang di alami oleh pasien, yaitu bersin bersin yang hebat, rinore,
nyeri kepala dan pipi serta hidug mulut dan gatal

Anda mungkin juga menyukai