Anda di halaman 1dari 34

3

Case Report Session






KARSINOMA NASOFARING

Oleh :

Romance De Astriella Sanjaya 0810312110
Nadia Yenita 0810313228
Suci Chairiya Akmal 0910313230
Dinda Putri Amir 1010313066


Preseptor :
dr. Al Hafiz, Sp.THT-KL



BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK
RS Dr. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014
4

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial
pelapis ruang di belakang hidung (nasofaring).
1
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas
yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap
nasofaring, merupakan tumor daerah kepala dan leher yang terbanyak di temukan di
Indonesia. Fossa rosenmuller pada nasofaring merupakan daerah transisional dimana epitel
kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.
2,3


Gambar 2.1 Tumor nasofaring
2.2 Anatomi nasofaring
2.2.1 Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang terletak di belakang rongga hidung di atas
tepi bebas palatum mole yang secara anatomis termasuk bagian faring.
4
Nasofaring
merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral.
5
Disamping dilapisi
jaringan limfoepitelium, di dinding nasofaring juga terdapat kelenjar dan jaringan ikat yang
dibentuk oleh tulang dan kartilago dari dasar tengkorak. Ukuran rata-rata dimensi nasofaring
pada orang dewasa adalah dengan tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan jarak anteroposteriornya 3
cm.
5
5


Gambar 2.2 Anatomi Nasofaring
2.2.2 Batas-batas nasofaring
Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas posterior dari septum nasi. Dinding
bawahnya dibentuk oleh permukaan atas dari palatum mole yang membentuk dua pertiga
depan nasofaring dan oleh itsmus nasofaringeal. Atap dan dinding posterior membentuk
permukaan yang miring dibentuk oleh tulang sfenoid, basal oksiput dan dua tulang servikal
yang paling atas sampai pada level palatum mole. Bagian paling atas dari dinding posterior,
tepat di depan dari tulang atlas terdapat jaringan limfoid yang melekat pada mukosa (tonsil
faringeal atau adenoid).
4

Tiap dinding lateral nasofaring terdapat muara dari tuba faringotimpanik (tuba
eustachius). Muara tuba ini terletak sekitar 1 cm dibelakang ujung posterior dari konka
inferior, sedikit di level bawah dari palatum durum. Ujung medial dari kartilago tuba
membuka, terbentuk seperti koma. Di belakang dan atas dari kartilago tuba terdapat faringeal
reses atau fossa Rosenmuller.
6
2.2.3 Jaringan lunak pembentuk rongga nasofaring
a. Selaput lendir (mukosa) nasofaring
Mukosa nasofaring permukaannya tidak rata dan mempunyai tonjolan dan lekukan.
Pada orang dewasa luasnya lebih kurang 50 cm persegi. Kira-kira 60% dari total permukaan
epitel dilapisi oleh epitel skuamosa stratified. Disekitar koana dan atap nasofaring diliputi
6

oleh epitel bersilia. Dinding lateral dan sebagian atap nasofaring terdiri dari kumpulan epitel
skuamosa dan epitel bersilia, bercampur dengan kumpulan-kumpulan epitel kecil transisional.
Dinding belakang sebagian besar terdiri dari epitel skuamosa.
7

Selaput lendir ini terdiri dari lapisan epitel, jaringan limfoid dan kelenjar saliva.
Jaringan kelenjar limfoid terletak di dalam dan di bawah mukosa yang merupakan kumpulan
sel limfoid tipe B dan sedikit tipe T yang membentuk folikel-folikel dan pusat germinal tanpa
kapsul. Aliran limfe dari nasofaring bersifat bilateral dan langsung ke bagian lateral kelenjar
limfe retrofaringeal dari Rouviere, kelenjar limfe jugulodigastrik, dan rantai kelenjar limfe
spinalis. Jaringan epitel mukosa nasofaring bentuknya sangat bervariasi dan terdiri dari epitel
skuamosa bertingkat, pseudoepitel bertingkat bersilia dan epitel tak beraturan. Selama masa
kehidupan janin terdapat perubahan secara bertahap dari epitel saluran nafas bersilia sampai
epitel skuamosa di bagian bawah dan belakang nasofaring.
7

b. Jaringan submukosa nasofaring
Dinding posterior dibentuk oleh 4 lapisan yaitu (1) mukosa faring, (2) aponeurosis
faring, (3) otot konstriktor faringeus superior, (4) fasia bukofaringeal. Otot dinding
nasofaring tidaklah lengkap, pada bagian atas dinding lateral hanya terdiri atas 2 lapisan
yaitu, mukosa dan aponeurosis faring. Daerah dengan struktur otot 2 lapis ini disebut sinus
morgagni. Fasia faring dinding posterior dan lateral melekat pada tuberculinfaring yang
merupakan tonjolan tulang dari basis oksiput dan berada tepat di depan foramen magnum. Ke
arah lateral dari masing-masing sisi, fasia ini berada pada permukaan bawah pyramid
petrosus dan terdapat di depan kanalis karotikus dan anterior terdapat pada apeks dari pars
petrosus os temporal dan merupakan batas posterior dari lamina pterigoid interna. Fasia ini
melanjutkan diri sebagai jaringan fibrosa dan mengisi foramen laserum yang hanya
dipisahkan dari fossa kranii media oleh jaringan fibrokartilago.
8,9

2.2.4 Pendarahan dan persarafan
Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri
faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang faringeal arteri
sfenopalatina. Pleksus vena terletak di bawah selaput lendir nasofaring dan berhubungan
dengan pleksus pterigoid di atas dan vena jugularis interna di bawah. Daerah nasofaring
dipersarafi oleh pleksus faringeal di atas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus
terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan
7

serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal
dari saraf glossofaringeus hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisium tuba yang
mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari
cabang maksila saraf trigeminus (V1).
8,9









Gambar 2.3. Perdarahan nasofaring

Gambar 2.4 Persarafan nasofaring



8

2.1.5 Sistem limfatik nasofaring
Nasofaring mempunyai anyaman limfatik submukosa yang banyak. Bagian aliran
limfe yang pertama adalah pada kelenjar di retrofaringeal yang terdapat diantara dinding
posterior nasofaring, fascia faringobasilar dan fascia prevertebra.
7
Pada nasofaring terdapat
banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral, bermuara di kelenjar retrofaring
Krause (kelenjar Rouviere).
10
Kumpulan jaringan limfe, disebut tonsil faringeal, dijumpai
pada membran mukosa yang melapisi basis sfenoid.
11

Dibandingkan dengan mukosa saluran napas lainnya, mukosa nasofaring mengandung
banyak sekali jaringan limfoid. Struktur limfoid ini banyak terdapat di dinding lateral
terutama disekitar muara tuba eustakius, dinding posterior dan bagian nasofaring di palatum
mole. Struktur limfoid ini merupakan lengkung bagian atas dari cincin Waldeyer.
7







Gambar 2.5 Kelenjar getah bening daerah kepala dan leher

2.3 Epidemiologi
Tumor ganas ini termasuk penyakit yang jarang terjadi disebagian besar bagian dunia,
dimana insidennya secara umum rata-rata kurang dari 1 per 100.000 penduduk tiap tahunnya.
Namun, penyakit ini merupakan salah satu tumor ganas yang sangat biasa terjadi pada
penduduk di China Selatan dan Asia Tenggara, dengan insiden antara 20 sampai 50 per
100.000 penduduk tiap tahunnya.
6,12
Angka kejadian Karsinoma nasofaring di Indonesia
cukup tinggi, yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000-8000
kasus/tahun di seluruh Indonesia.
2

9

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak ditemukan
di Indonesia, menduduki urutan pertama dari seluruh keganasan pada pria dan urutan ke-4 dari
seluruh keganasan pada wanita setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, dan kulit, dapat terjadi
pada semua golongan umur, insiden meningkat pada dekade II akhir dan mencapai puncaknya pada
usia 40-50 tahun.
13

Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF, kemudian diikuti oleh tumor
ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,
hipofaring dalam persentase rendah.
2
Prevalensi KNF di Indonesia 3,9 per 100.000 penduduk
pertahun.
14

Di Indonesia frekuensi penderita ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr.Cipto
Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung
rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, di Padang dan
Bukit Tinggi 11 kasus. Demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya
dan daerah lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia.
2

Dalam banyak studi dilaporkan insiden kejadian KNF menurut jenis kelamin, penderita laki-
laki selalu lebih banyak dibanding perempuan. Pada populasi dengan risiko tinggi, perbedaan ini
sangat signifikan, seperti di Cina dan Singapura, rasio laki-laki dan perempuan adalah 2,3 : 1; dan di
Hongkong rasionya 2,5 :1. Perbandingan di Indonesia adalah 2-3 : 1.
13
Berdasarkan umur, dilaporkan
penderita KNF termuda berumur 2 tahun dan paling tua 91 tahun, sedangkan di Indonesia umur
termuda 4 tahun dan tertua 84 tahun.
4,15

2.4 Etiologi dan Faktor predisposisi
Etiologi KNF sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebabnya adalah virus
Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup
tinggi. Banyak penelitian mengemukakan bahwa virus EB bukan merupakan penyebab satu-
satunya, banyak factor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini,
seperti letak geografis, rasial,jenis kelamin, genetic, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup,
kebudayaan, social ekonomi, infeksi kuman atau parasit.
2
a. Infeksi Virus Epstein-Barr (VEB)
Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1960 dalam
biakan sel limfoblas dari pasien limfoma Burkitt. Virus ini merupakan virus DNA yang
diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes (Herpesviridae) yang saat ini telah diyakini
sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu, mononukleosis infeksiosa, penyakit
10

Hodgkin, limfoma-Burkitt dan KNF. Genom DNA VEB mengandung 172 kbp dan memiliki
kandungan guanin-plus-sitosin sebesar 59%. Melalui tempat replikasinya di orofaring, VEB
dapat menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada sel ini, menetap pada
pasien yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit yang berarti.
4

Ada dua jenis infeksi VEB yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA dan protein
virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel. Jenis infeksi kedua
adalah infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan di dalam sel terinfeksi sebagai
episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut menjadi keganasan. Berbagai antigen yang
disandi oleh virus dapat diidentifikasi dalam nucleus, sitoplasma dan membrane sel
terinfeksi. Antigen ini dapat menginduksi respon imun seperti EBNA (Epstein-barr nuclear
antigen) yang diekspresikan pada infeksi litik dini tapi juga dapat diekspresikan pada infeksi
laten. Protein lain adalah LMP (laten membrane protein) dan VCA (viral capsid antigen).
Infeksi VEB mempunyai dampak yang jelas pada sel B. Percobaan invitro membuktikan
bahwa virus ini merupakan aktivator proliferasi poliklonal sel B yang tidak tergantung pada
sel T, dan mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi immortal dan mengalami
transformasi ganas. Walaupun dapat terjadi respon seluler atau respon humoral terhadap
antigen yang disandi oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik Beberapa
penelitian juga mendapatkan bahwa makanan yang mengandung nitrosamin dan nitrit yang
dikonsumsi semasa kecil mempunyai resiko untuk terjadinya KNF pada umur dewasa.
b. Faktor genetik
Pada sel normal pertumbuhan (pembelahan/proliferasi) dan diferensiasi diatur oleh
gen yang disebut proto-onkogen. Pembelahan pada sel normal terjadi bila ada rangsang
pertumbuhan yang diterima oleh reseptor faktor pertumbuhan (growth factor receptor) yang
terletak pada membran sel. Pesan tersebut kemudian diteruskan melalui membran sel ke
dalam sitoplasma, yang seterusnya melalui penghantar isyarat di dalam sitoplasma akan
disampaikan ke dalam inti. Rangsang pertumbuhan selanjutnya akan mengaktifkan faktor
pengatur inti untuk memulai transkripsi DNA.
4

Onkogen terjadi melalui mutasi somatik proto-onkogen. Dalam keadaan normal
ekspresi proto-onkogen diperlukan untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel dan tidak
mengakibatkan keganasan, karena aktivitasnya dikontrol secara ketat. Aktivasi proto-
onkogen menjadi onkogen dapat terjadi melalui perubahan struktural dalam gen, translokasi
11

kromosom, amplifikasi gen atau mutasi dalam berbagai elemen yang dalam keadaan normal
berfungsi untuk mengontrol ekspresi gen bersangkutan.
4

Mutasi proto-onkogen relatif sering terjadi dalam sel yang berproliferasi aktif, namun
perubahan ke arah ganas dapat dicegah dengan bantuan ekspresi berbagai gen supresor
(tumor suppresor gen atau anti-onkogen) yang berperan menginduksi terhentinya siklus sel
atau menginduksi proses apoptosis. Apabila fungsi gen-gen yang berperan dalam pengawasan
ini terganggu akibat mutasi atau hilang (delesi), maka sel bersangkutan akan menjadi rentan
terhadap transformasi ganas.
4

Perubahan yang dialami proto-onkogen seluler pada aktivasi menjadi onkogen selalu
menstimulasi suatu fungsi sel yang mengakibatkan pertumbuhan dan diferensiasi sel. Sejauh
aktivasi ini terjadi karena mutasi, hal ini disebut mutasi dominan. Mekanisme onkogen
merangsang pertumbuhan pada sel neoplastik adalah sebagai berikut:
a. Mengkode pembuatan protein yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan (growth
factor) yang berlebihan (overekspresi) dan merangsang diri sendiri (autokrin),
misalnya c-sis (cellular-sis)
b. Memproduksi reseptor faktor pertumbuhan (growth factor receptor) yang tidak
sempurna, yang memberi isyarat pertumbuhan terus menerus, meskipun tidak ada
rangsang dari luar, misalnya c-erb B
c. Pada amplifikasi gen terbentuk reseptor faktor pertumbuhan yang berlebihan,
sehingga sel tumor sangat peka terhadap faktor pertumbuhan dengan konsentrasi di
bawah ambang rangsang normal, misalnya c-neu.
d. Memproduksi protein yang berfungsi sebagai penghantar isyarat di dalam sel yang
tidak sempurna, yang terus menerus menghantarkan isyarat, meskipun tidak ada
rangsang dari luar sel, misalnya c-K-ras
e. Memproduksi protein yang berkaitan langsung dengan inti yang merangsang
pembelahan sel, misalnya c-myc
Tumor tidak hanya terbentuk karena aktivasi onkogen yang bekerja dominan, tetapi dapat
terjadi akibat hilangnya atau tidak aktifnya gen yang bekerja menghambat pertumbuhan sel
yang disebut anti-onkogen atau gen supresor tumor. Pada pertumbuhan dan diferensiasi sel
normal, anti-onkogen bekerja menghambat pertumbuhan dan merangsang diferensiasi sel.
Beberapa anti-onkogen ialah gen p53, Rb, APC, WT, DCC, NFI, NF-2.
4

12

c. Faktor lingkungan dan kebiasaan
Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya KNF adalah debu, asap
rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa (kemenyan), obat-obatan tradisional, tetapi
hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF belum dapat dijelaskan. Serbuk
kayu pada industri mempunyai hubungan yang kuat dengan pasien KNF. Kebiasaan merokok
dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko menderita KNF. Sedangkan peminum
alkohol tidak dijumpai ada hubungan resiko terjadinya KNF. Yu dkk tahun 1990, melaporkan
bahwa pada orang merokok lebih dari 30 batang mempunyai resiko 3 kali lebih besar
daripada yang bukan perokok. KNF juga berhubungan akibat sering kontak dengan bahan
karsinogen antara lain bezopyrenen, benzo anthrancene, gas kimia, asap industri, asap kayu
dan beberapa ekstrak tumbuhan. Adanya peradangan menahun di nasofaring maka mukosa
nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF.
4

2.5 Klasifikasi
2.5.1 Histopatologi
Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi tipe 1
karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 gambaran histologinya karsinoma tidak
berkeratin dengan sebagian sel berdiferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang
lebih ke arah diferensiasi baik, tipe 3 karsinoma tanpa diferensiensi adalah sangat heterogen,
sel ganas membentuk sinsitial dengan batas sel tidak jelas. Jenis KNF yang banyak dijumpai
adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa difresiensi mempunyai sifat
radiosensitif dan mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis
karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak
menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr.
2

2.5.2 Stadium
Sistem klasifikasi stadium menurut UICC 2009
16
:
Stadium T (ukuran/luas tumor):
T0 Tak ada kanker di lokasi primer
T1 Tumor terletak/terbatas di daerah nasofaring, orofaring atau kavum nasi tanpa
perluasan ke parafaring
13

T2 T1 dengan perluasan ke parafaring
T3 T2 dan tumor mengenai struktur tulang dari dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal
T4 T3 dan tumor meluas ke intrakranial, dan melibatkan saraf kranial, hipofaring, fossa
infratemporal, orbita , atau ruang mastikator.
Limfonodi regional (N) :
N0 Tidak ada metastasis ke limfonodi regional
N1 Metastasis unilateral servikal, unilateral atau bilateral retrofaringeal nodus limfa,
dengan nodus < 6 cm diatas fossa supraklavikula
N2 Metastasis bilateral dengan nodus < 6 cm, diatas fossa supraklavikula
N3 Metastasis nodus : N3a > 6 cm
N3b didalam fossa supraklavikula
Metastasis jauh (M) :
Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tak ada metastasis jauh
M1 Metastasis jauh

Stadium 0 Tis, N0, M0
Stadium I T1, N0, M0
Stadium II T1, N1, M0
T2, N0/N1, M0
Stadium III T1/T2,N2, MO
T3,N0/N1/N2, MO
Stadium IVA T4, N0/N1/N2, M0
Stadium IVB Setiap T, N3, M0
Stadium IVC Setiap T, setiap N, M1

2.6 Diagnosis
14

2.6.1 Anamnesis
Keluhan penderita karsinoma nasofaring sangat bervariasi. Pada stadium dini keluhan
sering tidak menimbulkan kecurigaan atas adanya tumor ini. Keluhan tersebut biasanya
berupa keluhan telinga, hidung atau keduanya. Pada stadium lanjut, kecurigaan pada penyakit
ini akan mudah timbul dan sering ditemukan ialah pembesaran kelenjar limfe leher, gejala
kelainan saraf kranial atau gejala akibat metastase jauh yang sangat berat dirasakan pasien.
2,17

Gejala akibat tumor primer :
1. Gejala telinga
a. Kataralis / oklusi tuba eustakhius
Pada umumnya tumor bermula di fosa Rosenmuller dan pertumbuhannya
dapat menyumbatan muara tuba. Pasien mengeluh rasa penuh ditelinga, rasa
berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini
merupakan gejala yang sangat dini dari karsinoma nasofaring. Perlu diperhatikan
jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa penyebab yang jelas.
2

b. Otitis media serosa sampai perforasi dengan gangguan pendengaran
2. Gejala hidung
a. Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga apabila terjadi iritasi ringan dapat
terjadi perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, biasanya jumlahnya
sedikit bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu.
2

b. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor kedalam
rongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-
kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
2

Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk
penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya rinitis kronis, sinusitis
dan lain-lainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak-anak yang sedang menderita
radang. Namun jika keluhan ini timbul berulang kali, tanpa penyebab yang jelas atau
15

menetap walaupun telah diberikan pengobatan, kita harus waspada dan segera
melakukan pemeriksaan yang lebih tinggi terhadap rongga nasofaring, sampai terbukti
bahwa bukan karsinoma nasofaring penyebabnya.
2

3. Gejala akibat tumor yang mengadakan infiltrasi
Limfadenopati servikal
Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe di
sana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel kanker
tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang lebih jauh. Di dalam kelenjar ini sel
tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak
sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri
karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang
terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat
pada otot dan sulit digerakkan. Keadaaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.
Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter.
2

4. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar dan metastase jauh
Tumor meluas ke intra kranial menjalar sepanjang fosa medialis, disebut
penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan mengenai grup
anterior saraf otak yaitu n.II s/d n.VI. Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di
Indonesia, tersering mengenai n.VI dengan keluhan berupa diplopia, kemudian n.V
cabang 1 dengan keluhan berupa hipestesia pipi/wajah.Perluasan ke belakang secara
ekstra kranial sepanjang fosa posterior, disebut penjalaran retroparotidian. Yang
terkena adalah grup posterior saraf otak yaitu n.VII s/d n.XII beserta nervus
simpatikus servikalis. Tumor dapat mengenai otot dan menyebabkan kekakuan otot-
otot rahang sehingga terjadi trismus. Sindrom retroparotidian terjadi akibat
kelumpuhan n.IX,X,XI, dan XII. Manifestasi kelumpuhan ialah :
a. n.IX :Kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta
gangguan pengecap pada sepertiga belakang lidah.
b n.X :Hiper/hipo/anastesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan
respirasi.
16

c. n.XI :Kelumpuhan atau atropi otot-otot trapezius, sternokleidomastoideus, serta
hemiparesis palatum mole.
d n.XII :Hemiparalisis dan atropi sebelah lidah.
Biasanya beberapa saraf otak terkena secara unilateral, tetapi pada beberapa
kasus pernah ditemukan bilateral. Nervus VII dan VIII, karena letaknya agak tinggi
serta terletak dalam kanalis tulang, sangat jarang terkena tumor.
2

5. Gejala akibat metastase jauh
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang
(femur), hati dan paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.
2

2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan nasofaring
Nasofaring merupakan daerah yang tersembunyi atau daerah buta. Karsinoma
nasofaring biasanya berasal dari lapisan epitel fossa Rosenmuller, biasanya bersembunyi di
dekat muara tuba eustakhius.
17

a. Pemeriksaan nasofaring secara konvensional adalah dengan menggunakan kaca rinoskopi
posterior, dengan atau tanpa menggunakan kateter. Pemeriksaan yang lebih sempurna
adalah dengan menggunakan nasofaringoskopi baik yang fleksibel maupun yang kaku.
18

b. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dewasa yang tidak sensitif. Tumor yang
tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah
c.Rinoskopi posterior menggunakan kateter
Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan dan kiri.
Setelah tampak di orofaring, ujung kateter terebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar
selanjutnya disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya. Kedua ujung ini
ditarik dengan kuat agar palatum mole terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas,
selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca besar (kaca laring), rongga nasofaring
17

tampak dengan jelas. Adanya kelainan yang minimal akan mudah tampak. Selanjutnya
dengan tang biopsi, daerah yang dicurigai diambil.
17

2.7 Pemeriksaan penunjang
2.7.1 Nasofaringoskopi
1. Nasofaringoskopi kaku
Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi yaitu sudut 0, 30,
dan 70 derajat dan tang biopsi yang membuka ke kanan atau ke kiri.
7
Nasofaringoskopi dapat
dilakukan dengan cara : transnasal (teleskop dimasukkan melalui hidung) dan transoral
(teleskop dimasukkan melalui rongga mulut).
2. Nasofaringoskopi lentur
Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya dilengkapi alat biopsi. Biopsi massa tumor
dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran.
18

2.7.2 Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah : foto polos nasofaring dan dasar
tengkorak dan CT scan nasofaring.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan suatu sarana pemeriksaan diagnostik
yang terbaru dan canggih yang tidak menggunakan sinar X tetapi dengan menggunakan
medan magnit dan gelombang radio untuk menghasilkan gambar.
18
Bone Scintigraphy, jika
dicurigai adanya metastase tulang, selanjutnya diikuti dengan foto lokal pada tulang yang
dicurigai pada bone scantigraph.
19,20

2.7.3 Pemeriksaan patologi anatomi
1. Biopsi aspirasi jarum halus
Sebagian besar karsinoma nasofaring ditemukan dengan pembesaran kelenjar getah
bening di leher. Untuk membuktikan pembesaran kelenjar getah bening merupakan metastase
karsinoma nasofaring dilakukan pemeriksaan biopsi aspirasi. Dengan cara ini dapat diketahui
massa mengandung sel tumor ganas atau tidak dan jenis sel. Pemeriksaan ini sangat
sederhana dikerjakan dan hanya memerlukan sedikit peralatan dan pengalaman.
21

18

Biopsi aspirasi jarum halus juga dapat dilakukan pada massa tumor di nasofaring.
Teknik ini telah digunakan oleh Lubis dimana dia melaporkan kegunaan teknik biopsi
aspirasi jarum halus pada nasofaring.
22

2.7.4 Histopatologi
Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditegakkan dari pemeriksaan histopatologi atas
sediaan biopsi nasofaring. Disamping itu pemeriksaan histopatologi dapat menentukan
subtipe histopatologi.
2.7.5 Pemeriksaan serologi
Akhir-akhir ini pemeriksaan serologi banyak digunakan untuk membantu diagnosis
karsinoma nasofaring, terutama di negara-negara dimana karsinoma nasofaring merupakan
penyakit endemi seperti Cina, Hongkong, Taiwan, dan di negara ASEAN seperti Singapura
dan Malaysia. Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan
dalam timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar dari pemeriksaan serologis ini.
Pemeriksaan antibodi yang banyak dipakai dan diyakini paling menyokong adalah
immunoglobulin A (lgA) terhadap virus Epstein Barr (Epstein Barr virus / EBV) spesifik
untuk kapsul virus (viral capsid antigen / VCA) dan antigen awal (early antigen / EA). IgA
EBV VCA mempunyai sensitifitas / kepekaan yang tinggi tetapi tingkat spesifitasnya kurang
terutama pada titer yang rendah, sedangkan lgA EBV EA nilai sensifitasnya/kepekaannya
kurang tetapi lebih spesifik dan titernya akan menurun mendekati normal pada karsinoma
nasofaring stadium lanjut dan titer yang tinggi dapat merupakan indikator karsinoma
nasofaring. Antibodi ini hanya meninggi pada penderita karsinoma nasofaring tipe WHO-2
(non keratinizing carcinoma) dan tipe WHO-3 (undifferentiated carcinoma), sedangkan pada
tipe WHO-1 (Squamous cell carcinoma) tidak ditemukan ataupun kalau ada dalam titer yang
rendah.
18,21

2.8 Diagnosa banding
a. Angiofibroma Juvenile, merupakan tumor yang terdiri dari 2 macam jaringan, yaitu
jaringan vaskular dan jaringan fibrosa. Pada pemeriksaan radiologis dengan menggunakan
foto polos didapatkan gambaran masa jaringan lunak di nasofaring ataupun dapat digunakan
pemeriksaan yang lebih sensitif seperti CT Scan, MRI, dan angiografi.
19

b. Limfoma, terlihat licin, eksofitik, sub mukosal, non ulseratif. Limfoma yang terjadi di
nasofaring biasanya dapat terdeteksi jauh lebih cepat daripada di daerah lain, karena akibat
dari oklusi tuba eustakhius menyebabkan munculnya penyakit otitis media serosa.
2.9 Tatalaksana
Terapi standar KNF adalah radioterapi. Keuntungan dengan memberikan radioterapi
sebagai regimen tunggal pada kanker stadium I dan II akan memberikan harapan hidup 5
tahun 90-95%, namun kendala yang dihadapi adalah sebagian besar pasien datang dengan
stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang
jelek. Disamping itu KNF dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk
mengadakan metastasis regional maupun jauh.
Keberhasilan terapi sangat dipengaruhi oleh stadium. Keterlambatan untuk
mendapatkan penanganan yang adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari menggembirakan.
Prognosis KNF stadium lanjut biasanya buruk dengan angka harapan hidup 5 tahun hanya
25-30% pada regimen tunggal radioterapi. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah
diterima oleh kebanyakan ahli onkologi sebagai standar terapi KNF stadium lanjut.
22

2.9.1. Radioterapi
Radioterapi sebagai terapi standar KNF sudah dimulai sejak lama. Hasil radioterapi
untuk KNF stadium dini cukup baik dengan complete respons sekitar 80-100%. Sedangkan
untuk KNF stadium lanjut loko-regional, respon radioterapi menurun tajam dengan angka
ketahanan hidup 5 tahun kurang dari 40%. Respon tumor terhadap radioterapi secara
keseluruhan sebesar 25-65%.
2.9.2. Kemoterapi
Alternatif lain untuk mengobati pasien karsinoma sel skuamosa kepala dan leher yang
secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti dengan kemoradioterapi
sebagai terapi radikal, terutama pada pasien dengan respon yang baik terhadap kemoterapi
induksi.
Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah diterima oleh kebanyakan ahli onkologi
sebagai standar terapi KNF stadium lanjut. Beberapa penelitian yang dilakukan dalam dua
dekade terakhir ini melaporkan keberhasilan penggunaan kemoterapi dikombinasikan dengan
radioterapi dalam penanganan kasus KNF stadium lanjut loko-regional.
15,19

20

2.9.3 Pembedahan
Terapi bedah sedikit sekali mendapat tempat pada penatalaksanaan KNF.
Pembedahan yang pernah dilaporkan adalah diseksi paska radioterapi. Ini dikerjakan apabila
tumor primer sudah menghilang sedang kelenjar leher masih tersisa. Syarat lainnya adalah
tidak ada metastase jauh.
Pembedahan pada tumor di nasofaring melalui berbagai pendekatan seperti rinotomi
lateral, mid facial degloving, trans-antral dan sebagainya. entunya ini dilakukan untuk tumor
yang masih terbatas di nasofaring. Mungkin ini lebih cocok pada tumor residif.
17

2.10 Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari
leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi, dan hipoplasia
struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat
radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat terjadi dalam beberapa
kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin
dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka
yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari
mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan
gigi yang tepat.
3

2.11 Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko
tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-
ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor
penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA
bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini.
3

2.12 Prognosis
Dalam dua dekade terakhir ini, walaupun pendidikan tentang kesehatan ataupun
kewaspadaan tentang penyakit kanker ataupun kemajuan yang pesat dalam eralatan maupun
teknik diagnostik lebih baik dibandingkan dengan dekade sebelumnya, namun stadium I
karsinoma nasofaring yang datang berobat ke institusi kesehatan kurang dari 10% dari
21

seluruh kasus nasofaring. Sedangkan pembesaran kelenjar getah bening leher masih tetap
merupakan gejala pertama yang paling sering (lebih dari 70%) yang mendorong pasien untuk
datang berobat dan berarti sudah merupakan gejala stadium lanjut. Jika sudah terdapat
metastase, survival rate kira-kira 25% untuk 5 tahun dan jika terjadi penekanan intrakranial,
survival ratekira-kira 10%.
22

Dari banyak hasil penelitian didapatkan angka survival rate lima tahun secara
keseluruhan berkisar antara 30% sampai 48%. Selain stadium tumor, faktor lain yang juga
mempengaruhi prognosis karsinoma nasofaring adalah jenis histologis, usia, jenis kelamin
dan bentuk pengobatan yang diberikan. Disamping itu faktor keadaan umum, termasuk
keadaan gizi, jumlah hemoglobin dan faktor ras, sosial ekonomi serta lingkungan
berpengaruh terhadap prognosis karsinoma nasofaring.
22
















22

BAB II
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. N
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta
Suku Bangsa : Minangkabau
Alamat : PJKA, Padang
Tanggal pemeriksaan : 15 Maret 2014
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 52 tahun dirawat di bangsal THT RSUP dr.
M.Djamil Padang pada tanggal 15 Maret 2014 dengan :
Keluhan Utama :
Telinga kiri terasa penuh sejak 3 tahun yang lalu.
Keluhan Tambahan :
Pasien sudah dikenal menderita tumor nasofaring dan datang untuk kemoterapi yang kedua.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Telinga kiri terasa penuh sejak 3 tahun yang lalu. Nyeri telinga (-), keluar cairan dan
darah dari telinga (-), dan telinga dirasa berdenging.
Bengkak di leher kiri dan kanan sejak 1,5 tahun yang lalu. Awalnya bengkak di
sebelah kiri, makin lama makin membesar. Setelah itu timbul bengkak di sebelah
kanan. Nyeri (-).
Riwayat keluar darah dari hidung setahun yang lalu dengan frekuensi 1 x, banyaknya
setengah gelas.
Riwayat hidung tersumbat sejak 6 bulan yang lalu, hidung berair terus menerus,
sekretnya berwarna bening dan encer
23

Riwayat penurunan berat badan sejak 6 bulan yang lalu, turun sebanyak 10 kg
Riwayat gangguan menelan sejak 3 bulan yang lalu
Riwayat penglihatan ganda sejak 3 minggu yang lalu.
Pada tahun 2013 pasien telah berobat ke poliklinik THT M. Djamil dan dianjurkan
untuk radioterapi dan kemoterapi, namun pasien menolak. Pada tanggal 15 februari
2014 pasien telah mendapatkan kemoterapi pertama.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Adik sepupu pasien meninggal karena tumor rahim.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:
Pasien seorang wiraswasta
Pasien sering makan ikan kaleng dan ikan asin.
Pasien merokok sejak 40 tahun yang lalu sebanyak satu bungkus perhari dan telah
berhenti sejak satu tahun yang lalu.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 110/60 mmHg
Frekuensi Nadi : 85x/menit
Frekuensi nafas : 22x/menit
Suhu :37
0
C
Pemeriksaan sistemik
Kepala : Tidak ditemukan kelainan
Wajah : Tidak ditemukan kelainan
24

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : Dalam batas normal
Jantung : Dalam batas normal
Abdomen : Distensi tidak ditemukan
Extremitas : teraba hangat, refilling kapiler baik
STATUS LOKALIS THT
Telinga
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Daun Telinga
Kel. Kongenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Kel. Metabolik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Dinding liang
telinga


Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Sempit Tidak ada Tidak ada
Hiperemi Tidak ada Tidak ada
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada

Sekret /
Serumen

Bau

Tidak Ada

Tidak ada
Warna Kekuningan Kecoklatan
25

Jumlah Sedikit Banyak
Jenis Kering Kering
Membran Timpani
Utuh
Warna Putih keabuan Putih keabuan
Refleks cahaya (-) (-)
Bulging Tidak ada Tidak ada
Retraksi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada
Perforasi
Jumlah perforasi Tidak ada Tidak ada
Jenis Tidak ada Tidak ada
Kwadran Tidak ada Tidak ada
Pinggir Tidak ada Tidak ada
Gambar

Mastoid

Tanda radang

Tidak ada

Tidak ada
Fistel Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Rinne (+) (-)
26

Tes Garpu tala
512 Hz

Schwabach Sama dengan
pemeriksa
Memanjang
Weber Lateralisasi ke kiri
Kesimpulan Tuli konduktif aurikula sinistra
Audiometri Tidak dilakukan

Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra
Hidung luar
Deformitas Tidak ada Tidak ada
Kelainan congenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada


Sinus Paranasal
Inspeksi
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada



Rinoskopi Anterior
Vestibulum Vibrise Ada Ada
27

Radang Tidak ada Tidak ada
Kavumnasi Cukup lapang (N) Tidak Tidak
Sempit + +
Lapang Tidak Tidak

Sekret
Lokasi
Jenis Mukopurulen Mukopurulen
Jumlah Banyak Banyak
Bau Tidak Ada Tidak Ada
Konka inferior


Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak Tidak
Konka media Ukuran Sukar dinilai Sukar dinilai
Warna Sukar dinilai Sukar dinilai
Permukaan Sukar dinilai Sukar dinilai
Edema Sukar dinilai Sukar dinilai


Septum


Cukup lurus/
deviasi


Cukup lurus
Permukaan Licin Licin
Warna Merah muda Merahmuda
Spina Tidak ada Tidak ada
Krista Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidakada Tidak ada
Massa Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Ukuran Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
28

Warna Tidak ada Tidak ada
Konsistensi Tidak ada Tidak ada
Mudah digoyang Tidak ada Tidak ada
Pengaruh
vasokonstriktor
Tidak ada Tidak ada

Rinoskopi Posterior : Sulit Dilakukan
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Koana
Cukuplapang (N)
Sempit
Lapang
Mukosa
Warna
Edema
Jaringangranulasi
Konka superior
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Adenoid
Ada/tidak
Muara tuba
eustachius
Tertutup secret
Edema mukosa
Massa
Lokasi
Ukuran
Bentuk
Permukaan



Ada/tidak




29

Post Nasal Drip Jenis

Orofaring dan Mulut
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Trismus Tidak ada
Uvula Edema Tidak ada Tidak ada
Bifida Tidak ada Tidak ada
Palatum mole
Arkus faring
Simetris/tidak Asimetris, palatum mole kiri lebih
rendah dari kanan
Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Bercak/eksudat Tidak ada Tidak ada
Dinding Faring Warna Sulit dinilai
karena palatum
mole yang turun
Sulit dinilai
karena palatum
mole yang turun
Permukaan Sulit dinilai Sulit dinilai
Tonsil Ukuran T1 T1
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Rata Rata
Muara kripti Tidak Melebar
Detritus Tidak ada Tidak ada
Eksudat Tidak ada Tidak ada
Perlengketan dengan
pilar
Tidak ada Tidak ada
Peritonsil Warna Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Tumor Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
30

Ukuran Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
Konsistensi Tidak ada Tidak ada
Gigi
Karies/radiks Tidak ada Tidak ada
Kesan Higiene gigi dan
mulut baik
Higien gigi dan
mulut baik
Lidah
Warna Merah muda Merah muda
Bentuk Normal Normal
Deviasi Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Laringoskopi Indirek : Sulit dilakukan
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Epiglotis
Bentuk
Warna
Edema
Pinggir rata/tidak
Massa
Aritenoid
Warna
Edema
Massa
Gerakan
Ventrikular Band
Warna
Edema
Massa
PlikaVokalis
Warna
31

Gerakan
Pinggir medial
Massa
Subglotis/trachea
Massa
Sekret ada/tidak
Sinus piriformis
Massa
Sekret

Valekule

Massa




Sekret (jenisnya)


Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher
Pada Inspeksi : terlihat pembesaran kelenjar getah bening di region colli sinistra,
bentuk bulat, multiple
Pada Palpasi : Teraba pembesaran kelenjar getah bening pada
o Kiri : level II, bentuk bulat, ukuran 4x3x2 cm, konsistensi padat, terfiksir
Level III, bentuk bulat, ukuran 1x1x1 cm, konsistensi kenyal padat,
mobile
Level IV, bentuk bulat ukuran 2x1x1 cm, konsistensi kenyal padat,
mobile
o Kanan : level II, bentuk bulat, ukuran 1x1x1 cm, konsistensi kenyal padat,
mobile


RESUME
Anamnesis :
Telinga kiri terasa penuh sejak 3 tahun yang lalu dan telinga dirasa berdenging.
32

Bengkak di leher kiri dan kanan sejak 1,5 tahun yang lalu. Awalnya bengkak di
sebelah kiri, makin lama makin membesar. Setelah itu timbul bengkak di sebelah
kanan. Nyeri (-).
Riwayat keluar darah dari hidung setahun yang lalu dengan frekuensi 1 x, banyaknya
setengah gelas.
Riwayat hidung tersumbat sejak 6 bulan yang lalu, hidung berair terus menerus,
sekretnya berwarna bening dan encer
Riwayat penurunan berat badan sejak 6 bulan yang lalu, turun sebanyak 10 kg
Riwayat gangguan menelan sejak 3 bulan yang lalu
Riwayat penglihatan ganda sejak 3 minggu yang lalu.

Pemeriksaan Fisik :
o Keadaan Umum : Tampak sakit berat
o Suhu : 37
0
C
o Telinga : daun telinga tidak ada kelainan, liang telinga lapang,
serumen ada sedikit tidak berbau, membran timpani utuh, reflek cahaya
negatif kiri dan kanan
o Rhinoskopi anterior : kavum nasi sempit, sekret mukopurulen pada hidung
kiri dan kanan.
o Mulut dan orofaring : palatum mole sinistra turun ke bawah
o Kelenjar getah bening :
Pada Inspeksi : terlihat pembesaran kelenjar getah bening di region
colli sinistra, bentuk bulat, multiple
Pada Palpasi : Teraba pembesaran kelenjar getah bening pada
Kiri : level II, bentuk bulat, ukuran 4x3x2 cm,
konsistensi padat, terfiksir
Level III, bentuk bulat, ukuran 1x1x1 cm, konsistensi
kenyal padat, mobile
Level IV, bentuk bulat ukuran 2x1x1 cm, konsistensi
kenyal padat, mobile
Kanan : level II, bentuk bulat, ukuran 1x1x1 cm,
konsistensi kenyal padat, mobile
33


Diagnosis Kerja : Tumor Nasofaring Susp. Ganas
Diagnosis Tambahan : Limfadenopati Bilateral
Diagnosis Banding : Tumor sinonasal
Limfoma Hodgkin
Pemeriksaan Anjuran : Nasoendoskopi, Biopsi, CT-Scan
Terapi : Radioterapi dan Kemoterapi
Prognosis :
Quo ad Vitam : dubia at malam
Quo ad Sanam : dubia at malam




















34

BAB III
DISKUSI
Telah diperiksa pasien laki-laki usia 52 tahun. Pada kasus di atas, diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis Telinga kiri terasa
penuh sejak 3 tahun yang lalu dan telinga dirasa berdenging. Bengkak di leher kiri dan kanan
sejak 1,5 tahun yang lalu. Awalnya bengkak di sebelah kiri, makin lama makin membesar.
Setelah itu timbul bengkak di sebelah kanan. Riwayat keluar darah dari hidung setahun yang
lalu dengan frekuensi 1 x, banyaknya setengah gelas. Riwayat hidung tersumbat sejak 6 bulan
yang lalu, hidung berair terus menerus, sekretnya berwarna bening dan encer. Riwayat
penurunan berat badan sejak 6 bulan yang lalu, turun sebanyak 10 kg. Riwayat gangguan
menelan sejak 3 bulan yang lalu. Riwayat penglihatan ganda sejak 3 minggu yang lalu. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan, membran timpani utuh, reflek cahaya negatif kiri dan kanan.
Kavum nasi sempit, sekret mukopurulen pada hidung kiri dan kanan. Palatum mole sinistra
turun ke bawah. Teraba pembesaran kelenjar getah bening pada

Kiri : level II, bentuk bulat, ukuran 4x3x2 cm, konsistensi padat, terfiksir
Level III, bentuk bulat, ukuran 1x1x1 cm, konsistensi kenyal padat, mobile
Level IV, bentuk bulat ukuran 2x1x1 cm, konsistensi kenyal padat, mobile
Kanan : level II, bentuk bulat, ukuran 1x1x1 cm, konsistensi kenyal padat, mobile
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, pasien dicurigai menderita Tumor nasofaring
susp. Ganas. Pasien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan nasoendoskopi, biopsi, dan
CT-Scan. Pasien telah mendapatkan kemoterapi sebanyak 2 kali.








35

DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A & Adham M, 2010, Karsinoma Nasofaring, Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Balai Penerbit FK-UI, Edisi Kelima,
Jakarta, pp.182-187
2. Japaris, Willie. Karsinoma Nasofaring Dalam: Onkologi Klinis. Jakarta : FKUI. 2008.
Hal : 263-278
3. McDermott AL, Dutt SN, Watkinson JC, 2001, The Etiology of Nasopharyngeal
Carcinoma, Clin. Otolaryngol, vol. 26, pp. 82-92
4. Holt GR & Shockley WW, 1993, Head & Neck Cancer, Clinical Oncology, A Lange
Medical Book, London, pp. 214-37
5. Yang XR, Diehl S, Pfeiffer R, et al, 2005, Evaluation of Risk Factors for
Nasopharyngeal Carcinoma in High-Risk Nasopharyngeal Carcinoma Families in
Taiwan, Cancer Epidemiology Biomarkers Prevention, vol.14, no.4, pp. 900-5
6. Chew CT, 1997 Nasopharynx (the Postnasal Space), Scott-Browns Otolaryngology,
6th edition, Butterworth-Heinemann, Great Britain, vol 5, pp. 5/13/1-30
7. Ballenger JJ, 1994, Anatomy Bedah Faring dan Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher, Binarupa Aksara, Edisi 13, Jilid 1, pp. 318-27
8. Beasley P, 1997, Anatomy of the Pharynx and Oesophagus, Scott-Browns
Otolaryngology, 6th ed., Butterworth-Heinemann, Great Britain, vol.1, pp.1/10/1-40
9. Ackerman, LV & Del Regato, JA 1970, Cancer Diagnosis and Treatment and
Prognosis, 4th ed, The CV Mosby Company, St. Louis, pp. 254-76
10. Cottrill CP & Nutting CM, 2003, Tumours of the Nasopharynx, Evans PHR,
Montgomery PQ, Gullane PJ, ed. Principle and Practice of Head and Neck Oncology,
London, Martin Dunitz, pp. 193-218
11. Wei WI & Sham JST, 1996, Cancer of the Nasopharynx, Cancer of the Head and
Neck. Philadelphia, 3rd ed, pp. 277-91
12. Susworo R, 2004, Tinjauan Kepustakaan Kanker Nasofaring Epidemiologi dan
Pengobatan Mutakhir, Cermin Dunia Kedokteran, vo.144, pp. 16-18
13. Fachiroh J, Schouten T, Hariwiyanto B et al, 2004, Molecular Diversity of Epstein-
Barr Virus IgG and IgA Antibody Responses in Nasopharyngeal Carcinoma: A
Comparison of Indonesian, Chinese, and European Subjects, The Journal of Infectious
Diseases, pp. 53-62
36

14. Roezin A, 1995, Deteksi dan Pencegahan Karsinoma Nasofaring, Pencegahan dan
Deteksi Dini Penyakit Kanker, Perhimpunan Onkologi Indonesia, pp. 274-88
15. Wei WI & Sham JST, 1996, Cancer of the Nasopharynx, Cancer of the Head and
Neck. Philadelphia, 3rd ed, pp. 277-91
16. Brennan JA, Boyle JO, Koch WM, et al, 1995, Association Between Cigarette
Smoking and Mutation of the p53 Gene in Squamous-Cell Carcinoma of the Head and
Neck, The New England Journal of Medicine, pp. 712-7
17. Her C, 2001, Nasopharyngeal Cancer and the Southeast Asian Patient. American
Family Physician, vol.63, no.9, pp. 1776-80
18. Kurniawan AN, 1995, Diagnosis Patologik Karsinoma Nasofaring, Pencegahan dan
Deteksi Dini Penyakit Kanker, Perhimpunan Onkologi Indonesia, pp. 289-93
19. Mulyarjo, 2002, Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring,
Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan Tumor Ganas THT-KL, FK
UNAIR, Surabaya, pp.149-55
20. Sudiana IK, 2005, Teknologi Ilmu Jaringan dan Immunohistokimia, Sagung Seto,
Jakarta, pp. 36-40
21. Irish JC, Kammel S, Gullane PJ, et al, 2003, Molecular Biology, Principles and
Practice at head and neck oncology, Martin Dunitz, London, pp.15-30
22. Dhingra PL, 2004, Tumours of Nasopharynx, Disease of Ear, Noses, and Throat,Third
edition, Elsevier, New Delhi, pp. 299-01
23. Holt GR & Shockley WW, 1993, Head & Neck Cancer, Clinical Oncology, A Lange
Medical Book, London, pp. 214-37

Anda mungkin juga menyukai