PEMILIHAN PRESIDEN
NAMA : DEDE NURHUDA
NIM : 13.420.4100.655
JURUSAN TEKNIK PERMINYAKAN
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan kasih
sayangNya sehingga penyusunan Makalah yang berjudul Pilpres 2014 dan Upaya
Menjaga Kerukunan Berbangsa dan Bernegara dapat terselesaikan tepat pada
waktunya.
Dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan kami tengah membahas,
mengulas dan memahami mengenai Pilpres 2014 yang akan berlangsung pada
tanggal 9 Juli 2014 besok.Sebelumnya disini saya juga akan membahas, Apa itu
Pilpres, bagaimana tahapan Pilpres dan seperti apa Pilpres di negara kita
Indonesia. Sehingga penyusunan makalah ini sendiri dalam rangka memenuhi
tugas yang diberikan oleh HM.ALI S./HENDRA P,SH selaku dosen mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan.
Demikian makalah ini semoga dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat
bagi saya selaku penyusun dan juga bagi pembaca.
2
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Pada tanggal 9 Juli 2014, bangsa Indonesia akan menyelenggarakan
pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih Presiden Republik Indonesia. Sejak
tahun 2009, sistem Pemilu yang digunakan berbeda jauh dengan Pemilu
sebelum era reformasi, dimana sekarang yang menentukan wakil rakyat dan
pemimpin adalah masyarakat sendiri secara langsung. Mengingat demikian
pentingnya arti Pemilu dalam negara yang berlandaskan pada prinsip
kedaulatan rakyat, maka Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan
penyelenggaraan Pemilu secara berkala, yaitu sekali dalam lima tahun.
Dalam kerangka negara demokrasi, pelaksanaan Pemilu merupakan
momentum yang sangat penting bagi pembentukan pemerintahan dan
penyelenggaraan negara untuk periode berikutnya. Melalui pemilihan umum
rakyat memberikan persetujuan siapa pemegang kekuasaan pemerintahan dan
bagaimana menjalankan kekuasaan tersebut.
Pemilihan umum anggota legislatif pada tanggal 9 Juli 2014
diselenggarakan melalui berbagai tahapan,yaitu :
a) Penyusunan Daftar Pemilih (3 Maret - 2 Juli 2014)
b) Pendaftaran Bakal Pasangan Calon (18 - 20 Mei 2014)
c) Penetapan Pasangan Calon (10 Juni 2014)
d) Kampanye (14 Juni - 5 Juli 2014)
e) Masa Tenang (6 - 8 Juli 2014)
f) Pemungutan dan Penghitungan Suara (9 Juli 2014)
g) Penetapan dan Pengumuman Hasil Pilpres (21 - 22 Juli 2014)
h) Pelantikan dan Pengucapan Sumpah Janji Presiden dan Wakil Presiden
Terpilih (20 Oktober 2014).
3
Setiap tahapan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu
sesuai dengan asas-asas konstitusional, dibentuk peraturan perundang-
undangan yang mengatur norma dan prosedur pelaksanaan Pemilu yang harus
dipatuhi oleh semua pihak, antara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Perhelatan akbar pesta demokrasi nasional untuk memilih calon
presiden dan wakil presiden pada tanggal 9 juli 2014 akan penuh persaingan.
Hiruk-pikuk pelaksanaan Pemilu Indonesia yang melibatkan 2 kandidat capres
cawapres, kerap menghiasi pemberitaan utama diberbagai media massa.
Sistem Pemilu yang digunakan di Indonesia, disebut sebagai sistem Pemilu
yang terumit di dunia sehingga benih-benih potensi pelanggaran dan sengketa
Pemilu terjadi hampir disebagian besar daerah pemilihan, khususnya terkait
dengan proses penghitungan suara. Berhubung usia demokrasi di Indonesia
masih sangat muda maka wajar bila ada berbagai pelanggaran maupun
sengketa menyangkut hasil dan proses Pemilu. Permasalahan dan pelanggaran
yang terjadi dalam Pemilu legislatif 9 April lalu secara garis besar dapat
dibagi dalam tiga bagian besar. Pertama, hilangnya hak pilih puluhan juta
warga negara Indonesia akibat tidak beresnya penyusunan Daftar Pemilih
Tetap (DPT) yang dikeluarkan oleh KPU. Kedua, ketidaknetralan Panitia
Pemungutan Suara (PPS). Ketiga, tertukarnya surat suara antar daerah
pemilihan.
Salah satu mekanisme penting dalam pelaksanaan Pemilu adalah
penyelesaian pelanggaran dan perselisihan atau sengketa Pemilu. Mekanisme
ini diperlukan untuk mengoreksi jika terjadi pelanggaran atau kesalahan dan
memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran sehingga proses Pemilu benar-
benar dilaksanakan secara demokratis dan hasilnya mencerminkan kehendak
rakyat. Pelanggaran Pemilu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap
Undang-Undang Pemilu, yang dapat berupa pelanggaran administrasi dan
pelanggaran pidana Pemilu. Sedangkan sengketa Pemilu adalah sengketa
antara dua atau lebih warga negara yang memiliki hak pilih, peserta Pemilu
4
(partai politik maupun individual), badan pengelolaan Pemilu, maupun
pengamat Pemilu. Sengketa ini terjadi karena perbedaan penafsiran dan tidak
ada kesepakatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, ditentukan ada dua jenis pelanggaran
Pemilu, yaitu pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana Pemilu.
Pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-
Undang Pemilu yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan
ketentuan lain yang diatur oleh KPU. Adapun pelanggaran pidana Pemilu
adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam
Undang-Undang Pemilu. Pada dasarnya, untuk pelanggaran yang menyentuh
ranah administrasi adalah menjadi kewenangan KPU, sedangkan terhadap
pelanggaran pidana Pemilu masuk ke dalam ranah pengadilan umum.
Sementara itu, untuk perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) menjadi
domain khusus bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskannya.
5
II. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
a. Bagaimana mekanisme penyelesaian pelanggaran Pemilu berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Bagaimana prosedur teknis penyelesaian sengketa Pemilu di Mahkamah
Konstitusi.
III. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian pelanggaran Pemilu
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Untuk mengetahui prosedur teknis penyelesaian sengketa Pemilu di
Mahkamah Konstitusi.
IV. Mamfaat
Mamfaat dari penulisan makalah ini adalah :
a) Memberikan siswa pengetahuan baru
b) Memberikan imformasi tentang Pilpres
c) Cara menyikapi Pilpres
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Demokratisasi sebagai salah satu agenda pokok yang diperjuangkan oleh
rakyat Indonesia dalam memasuki gerbang reformasi dewasa ini, diyakini
merupakan prasyarat penting bagi pembangunan kembali semangat kebangsaan
seluruh rakyat Indonesia untuk menjadi bangsa yang sejahtera, bersatu dan
berkeadilan di masa depan.
Sampai saat ini demokratisasi itu sendiri masih belum selesai, karena di
dalamnya terkait berbagai persoalan yang parah dan rumit, tidak saja berkenaan
dengan keperluan untuk mengadakan penataan ulang berbagai kelembagaan
sosial, ekonomi dan politik, yang didukung oleh perbaikan sistem aturan
berdasarkan hukum, tetapi juga menyangkut kualitas sistem informasi, dorongan
budaya membangun sesuai dengan cita-cita demokrasi, serta kualitas sumber daya
manusia yang menjadi pelaku dalam keseluruhan sistem demokrasi itu sendiri,
sehingga perjuangan demokrasi memerlukan usaha yang berkelanjutan, agar
demokrasi menjadi kesadaran kolektif yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Sebagian yang mendasar dalam sistem peraturan perundang-undangan yang
diperlukan untuk demokrasi telah diperbaiki. Berbagai peraturan perundang-
undangan telah dijadikan acuan normatif untuk mengembangkan sistem
demokrasi. Penataan lembaga-lembaga politik dan kenegaraan, baik pada tingkat
supra struktur maupun infra struktur, telah dimulai. Meskipun demikian, kehendak
yang bermakna simbolis tentang ada tidaknya ide demokratisasi itu pertama;
terletak pada lembaga kepresidenan dan kedua; pada kelembagaan konstitusi.
UUD 1945 sebagai konstitusi negara, sekarang telah mengalami perubahan.
Reformasi Sistem Hukum Tata Negara terhadap lembaga kepresidenan
belum cukup dirasakan perubahannya sampai sekarang. Presiden dan Wakil
Presiden sebagai person (orang/pribadi) memang telah berganti, akan tetapi
Presiden dan Wakil Presiden itu bila dilihat sebagai satu institusi, justru belum
terlihat adanya perubahan yang berarti, baik yang tercermin dalam berbagai
perangkat peraturan perundang-undangan yang ada maupun dalam mekanisme
7
kerja dan kinerja konkrit lembaga kepresidenan itu dalam praktek. Termasuk
dalam hal ini tata cara dan syarat pemilihan Presiden dan wakil Presiden.
Selain hal itu dalam amandemen UUD 1945 Pasal 6A ditetapkan bahwa
Presiden dan wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Selanjutnya
berdasarkan Pasal 6A tersebut disusun UU No.23 Tahun 2003 tentang pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2003 tersebut, untuk pertama kalinya
dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia akan dilakukan Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden Putaran Pertama akan diadakan pada tanggal 5 Juli 2004,
dilanjutkan dengan Pemilu Putaran Kedua pada tanggal 20 September 2004,
apabila berdasarkan hasil Pemilu Putaran Pertama belum ada calon Presiden dan
Wakil Presiden yang memperoleh dukungan suara yang diperlukan. Karenanya,
Apakah pemilihan presiden dan wakil presiden sesuai dengan sistem hokum tata
negara Indonesia saat ini?
I. Pelanggaran Pemilu
Terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilu legislatif tahun 2009
sudah tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat terjadi karena adanya unsur
kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran Pemilu dapat dilakukan
oleh banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi untuk
menjadi pelaku pelanggaran Pemilu. Sebagai upaya antisipasi, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD (UU Pemilu) mengaturnya pada setiap tahapan dalam bentuk kewajiban
dan larangan dengan tambahan ancaman atau sanksi.
8
Potensi pelaku pelanggaran Pemilu dalam UU Pemilu antara lain :
1. Penyelenggara Pemilu, yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU
Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu
Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas
pelaksana lapangan lainnya;
2. Peserta Pemilu, yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD,
DPRD, dan tim kampanye;
3. Pejabat tertentu, seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus
BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan
badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
4. Profesi media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;
5. Pemantau dalam negeri maupun asing;
6. Masyarakat pemilih, pelaksana survey atau hitungan cepat, dan umum yang
disebut sebagai setiap orang.
Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam
Pemilu, tetapi secara garis besar UU Pemilu membagi pelanggaran Pemilu
berdasarkan kategori/jenis sebagai berikut :
1) Pelanggaran Administrasi Pemilu
Pasal 248 UU Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam
pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU
Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana Pemilu dan ketentuan
lain yang diatur dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua
jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana,
termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi.
Contoh pelanggaran administrasi tersebut misalnya : tidak memenuhi
syarat-syarat untuk menjadi peserta Pemilu, menggunakan fasilitas
pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye,
tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau Pemilu
melanggar kewajiban dan larangan.
9
2) Tindak Pidana Pemilu
Pasal 252 UU Pemilu mengatur tentang tindak pidana Pemilu sebagai
pelanggaran Pemilu yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini
merupakan tindakan yang dalam UU Pemilu diancam dengan sanksi
pidana. Sebagai contoh tindak pidana Pemilu antara lain sengaja
menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan
hak suara dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya,
maka proses penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga
penegak hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
3) Perselisihan Hasil Pemilu
Yang dimaksud dengan perselisihan hasil Pemilu menurut Pasal 258
UU Pemilu adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dan peserta Pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil
pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana
dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara
yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu. Sesuai dengan
amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenai
hasil perolehan suara diselesaikan melalui peradilan konstitusi di
Mahkamah Konstitusi.
II. Sengketa Pemilu
Salah satu jenis pelanggaran yang menurut Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, menjadi salah satu
kewenangan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) kabupaten/kota untuk
menyelesaikannya adalah pelanggaran Pemilu yang bersifat sengketa.
Sengketa adalah perbenturan antara dua kepentingan, antara kepentingan dan
kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum
(konflik), yang dalam konteks Pemilu dapat terjadi antara peserta Pemilu
dengan penyelenggara Pemilu, maupun antara peserta Pemilu dengan peserta
Pemilu lainnya. Pada Pemilu tahun 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis
10
pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri, yaitu Pasal 129 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003. Terhadap sengketa Pemilu ini, yaitu
perselisihan Pemilu selain yang menyangkut perolehan hasil suara, Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya.
Sengketa juga dapat terjadi antara KPU dengan peserta Pemilu atau
pihak lain yang timbul akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan
KPU. Kebijakan tersebut, karena menyangkut banyak pihak, dapat dinilai
merugikan kepentingan pihak lain seperti peserta Pemilu (partai politik dan
perorangan), media/pers, lembaga pemantau, pemilih maupun masyarakat.
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang menegaskan
bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat, dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak ada
ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan
mengikat. Dengan demikian maka Keputusan KPU yang dianggap merugikan
terbuka kemungkinan untuk diubah. Persoalannya, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 (UU Pemilu) juga tidak memberikan ruang khusus untuk
menyelesaikan ketidakpuasan tersebut.
Contoh kasus yang telah nyata ada adalah : (1) sengketa antara calon
peserta Pemilu dengan KPU yang menyangkut Keputusan KPU tentang
Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap
merugikan salah satu atau beberapa calon peserta Pemilu. (2) sengketa antara
partai politik peserta Pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai
pendaftaran calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap
tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.
Untuk sengketa Pemilu yang berkaitan dengan hasil perolehan suara
Pemilu, lembaga kehakiman yang berwenang menyelesaikan adalah
Mahkamah Konstitusi. Jika melihat pada sejarah bangsa Indonesia, pemikiran
mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi sudah muncul sebelum
Indonesia merdeka. Hal ini dapat diketahui dari pembahasan Rancangan
Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI. Anggota BPUPKI, yaitu Prof. MR. M.
Yamin mengusulkan agar selain Mahkamah Agung seharusnya dibentuk juga
11
Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai pembanding undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar. Namun akhirnya usulan itu gagal.
Usulan atas pembentukan Mahkamah Konstitusi muncul kembali
setelah era reformasi terutama pada waktu pembahasan rancangan perubahan
Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan yang terjadi pada masa reformasi
telah menyebabkan perubahan dari supremasi Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Setelah melalui proses
pembahasan yang mendalam, akhirnya MK menjadi kenyataan dengan
disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945,
yang menjadi perubahan ketiga dari Undang-Undang Dasar 1945 pada Sidang
Tahunan MPR tanggal 21 November 2001. Dengan disahkannya kedua pasal
tersebut, maka Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk Mahkamah
Konstitusi dan menjadi negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk
lembaga kekuasaan kehakiman tersebut. Untuk menjalankan amanat Undang-
Undang Dasar 1945 tersebut, pemerintah telah mengeluarkan peraturan
khusus, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945, salah satu wewenang dari Mahkamah Konstitusi adalah memutus
sengketa atau perselisihan atas hasil pemilihan umum. Tidak semua sengketa
yang berkaitan dengan Pemilu berada dalam kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Hanya sengketa hasil Pemilu yang diumumkan secara nasional
oleh KPU yang mempengaruhi hal-hal berikut yang dapat dibawa ke depan
Mahkamah Konstitusi :
1. Pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
2. Penentuan pasangan calon yang akan bersaing pada tahap kedua
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
3. Kursi yang dimenangkan dalam sebuah daerah pemilihan oleh satu partai
politik yang bersaing.
12
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam suatu sistim pemerintahan Presidensil seperti Indonesia, kedudukan
Presiden sangat penting. Presiden memegang posisi kunci dalam menentukan
keputusan-keputusan bersifat nasional atas nama dua ratus juta penduduk
Indonesia. Oleh karena itu proses pemilihan Presiden harus mampu menghasilkan
seorang Presiden yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat.
Indonesia dalam praktek ketatanegaraan belum memiliki tradisi pemilihan
Presiden yang kukuh. Sepanjang sejarah negara ini, pemilihan Presiden oleh
MPR dengan lebih dari satu kandidat Presiden baru terjadi pada tahun 1999 ketika
Presiden Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden. Sebelum 1999, proses
pemilihan Presiden RI tidak pernah melalui proses pemilihan, namun lebih
merupakan proses pengangkatan.
Kini Indonesia sedang memasuki era baru yang diharapkan lebih
demokratis, sehingga kita perlu membuka wacana baru tentang Pemilihan
Presiden. Salah satu usulan adalah untuk merubah sistim Pemilihan Presiden
menjadi Sistim Pemilihan Presiden Langsung. Sistim ini memungkinkan rakyat
untuk memberikan suaranya secara langsung kepada kandidat Presiden
pilihannya. Sistim ini oleh para pendukungnya dianggap sebagai suatu
mekanisme yang lebih demokratis dan merupakan solusi untuk mencegah
berbagai distorsi yang terjadi pada sistim pemilihan Presiden yang sekarang ada.
Namun kita perlu menggali lebih jauh lagi mekanisme tersebut untuk dapat
menentukan sistim pemilihan presiden yang lebih demokratis sekaligus tepat
dengan kondisi Indonesia.
13
I. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pemilu
Meski jenis pelanggaran Pemilu bermacam-macam, tetapi tata cara
penyelesaian yang diatur dalam undang-undang hanya mengenai pelanggaran
pidana Pemilu. Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan
KPU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Penyelesaian
Pelanggaran Administrasi Pemilu, dan mengenai perselisihan hasil perolehan
suara telah diatur dalam UU Mahkamah Konstitusi.
a. Mekanisme Pelaporan
Penyelesaian pelanggaran Pemilu diatur dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 BAB XX. Secara umum, pelanggaran diselesaikan
melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu) sesuai dengan tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki
kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan
Pemilu. Dalam proses pengawasan tersebut, Bawaslu dapat menerima
laporan, melakukan kajian atas laporan dan temuan adanya dugaan
pelanggaran, dan meneruskan temuan dan laporan dimaksud kepada institusi
yang berwenang.
Selain berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran dapat dilaporkan
oleh anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan
peserta pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu
kabupaten/kota paling lambat 3 (tiga) hari sejak terjadinya pelanggaran
Pemilu. Bawaslu memiliki waktu selama 3 (tiga) hari untuk melakukan
kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran. Apabila Bawaslu
menganggap laporan belum cukup lengkap dan memerlukan informasi
tambahan, maka Bawaslu dapat meminta keterangan kepada pelapor dengan
perpanjangan waktu selama 5 (lima) hari.
Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu dapat mengambil kesimpulan
apakah temuan dan laporan merupakan tindak pelanggaran Pemilu atau
bukan. Dalam hal laporan atau temuan tersebut dianggap sebagai
pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi :
1) pelanggaran pemilu yang bersifat administratif, dan
14
2) pelanggaran yang mengandung unsur pidana.
Bawaslu meneruskan hasil kajian tersebut kepada instansi yang berwenang
untuk diselesaikan. Aturan mengenai tata cara pelaporan pelanggaran
Pemilu diatur dalam ketentuan Pasal 247 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 yang diperkuat dalam Peraturan Bawaslu Nomor 05 Tahun 2008.
b. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Administrasi
Pelanggaran Pemilu yang bersifat administrasi menjadi kewenangan
KPU untuk menyelesaikannya. UU membatasi waktu bagi KPU untuk
menyelesaikan pelanggaran administrasi tersebut dalam waktu 7 (tujuh) hari
sejak diterimanya dugaan laporan pelanggaran dari Bawaslu. Sesuai dengan
sifatnya, maka sanksi terhadap pelanggaran administrasi hendaknya berupa
sanksi administrasi. Sanksi tersebut dapat berbentuk teguran, pembatalan
kegiatan, penonaktifan dan pemberhentian bagi pelaksana Pemilu. Aturan
lebih lanjut tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi dibuat
dalam peraturan KPU. Peraturan KPU mengenai hal ini adalah Peraturan
KPU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Penyelesaian
Pelanggaran Administrasi Pemilu.
Meski kewenangan menyelesaikan pelanggaran administrasi menjadi
domain KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagaimana diatur
dalam ketentuan UU Pemilu Pasal 248 sampai Pasal 251, tetapi UU Pemilu
juga memberikan tugas dan wewenang kepada Panwaslu kabupaten/kota,
Panwaslu provinsi dan Bawaslu untuk menyelesaikan temuan dan laporan
pelanggaran terhadap ketentuan kampanye yang tidak mengandung unsur
pidana (Pasal 113 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008). Terhadap pelanggaran yang menyangkut
masalah perilaku yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu seperti anggota
KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota dan jajaran sekretariatnya, maka
Peraturan KPU tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat
diberlakukan. Hal yang sama juga berlaku bagi anggota Bawaslu, Panwaslu
15
provinsi, Panwaslu kabupaten/kota dan jajaran sekretariatnya, yang terikat
dengan Kode Etik Pengawas Pemilu.
c. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu
1) Proses Penyidikan
Sebenarnya penanganan tindak pidana Pemilu tidak berbeda
dengan penanganan tindak pidana pada umumnya, yaitu melalui
kepolisian kepada kejaksaan dan bermuara di pengadilan. Secara umum
perbuatan tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu juga terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tata cara
penyelesaian juga mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Dengan asas lex specialist derogat lex generali maka
aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat aturan yang sama
maka ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku.
Mengacu kepada Pasal 247 angka (9) UU Pemilu, temuan dan
laporan tentang dugaan pelanggaran Pemilu yang mengandung unsur
pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung dengan data permulaan
yang cukup, diteruskan oleh Bawaslu kepada penyidik kepolisian. Proses
penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri dalam jangka waktu selama-
lamanya 14 (empatbelas) hari terhitung sejak diterimanya laporan dari
Bawaslu. Kepolisian mengartikan 14 (empatbelas) hari tersebut termasuk
hari libur. Hal ini mengacu kepada KUHAP yang mengartikan hari
adalah 1 x 24 jam dan 1 bulan adalah 30 hari. Guna mengatasi kendala
waktu dan kesulitan penanganan pada hari libur, pihak kepolisian telah
membentuk tim kerja yang akan menangani tindak pidana Pemilu. Setiap
tim beranggotakan antara 4 sampai 5 orang.
Dengan adanya tim kerja tersebut maka penyidikan akan dilakukan
bersama-sama. Setelah menerima laporan pelanggaran dari Bawaslu,
penyidik segera melakukan penelitian terhadap : (1) kelengkapan
administrasi laporan yang meliputi keabsahan laporan (format, stempel,
tanggal, penomoran, penanda tangan, cap/stempel), kompetensi Bawaslu
16
terhadap jenis pelanggaran, dan kejelasan penulisan; dan (2) materi
laporan yang antara lain : kejelasan indentitas (nama dan alamat) pelapor,
saksi dan tersangka, tempat kejadian perkara, uraian kejadian/
pelanggaran, waktu laporan. Berdasarkan identitas tersebut, penyidik
melakukan pemanggilan terhadap saksi dalam waktu 3 (tiga) hari dengan
kemungkinan untuk memeriksa saksi sebelum 3 (tiga) hari tersebut yang
dapat dilakukan di tempat tinggal saksi. 14 (empatbelas) hari sejak
diterimanya laporan dari Bawaslu, pihak penyidik harus menyampaikan
hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada penuntut umum (PU).
Maksimal 5 (lima) hari sejak berkas diterima, penuntut umum
melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Karena sejak awal
penanganan kasus di kepolisian pihak kejaksaan sudah dilibatkan untuk
mengawal proses penyidikan maka duduk perkara sudah dapat diketahui
sejak Bawaslu melimpahkan perkara ke penyidik. Dengan demikian
maka penuntut umum dapat mempersiapkan rencana awal penuntutan
yang memuat unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta perbuatan. Pada
saat tersangka dan barang bukti dikirim/diterima dari kepolisian maka
surat dakwaan sudah dapat disusun pada hari itu juga. Karena itu masalah
limitasi waktu tidak menjadi kendala.
2) Proses Persidangan
Tindak lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana Pemilu
oleh kejaksaan adalah pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum.
Mengingat bahwa Pemilu berjalan cepat, maka proses penanganan
pelanggaran menggunakan proses perkara yang cepat (speed tryal).
Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana Pemilu
menggunakan KUHAP sebagai pedoman beracara, kecuali yang diatur
secara berbeda dalam UU Pemilu. Perbedaan tersebut terutama
menyangkut masalah waktu yang lebih singkat dan upaya hukum yang
hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi.
17
7 (tujuh) hari sejak berkas perkara diterima, Pengadilan Negeri
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu. Batasan
waktu ini akan berimbas kepada beberapa prosedur yang harus dilalui
seperti pemanggilan saksi dan pemeriksaan khususnya di daerah yang
secara geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU memerintahkan
agar penanganan pidana Pemilu di pengadilan ditangani oleh hakim
khusus yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 03/2008. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor
07/A/2008 yang memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk segera
mempersiapkan/ menunjuk hakim khusus yang menangani tindak pidana
Pemilu.
Dalam hal terjadi penolakan terhadap putusan Pengadilan Negeri,
para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan banding ke
Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap putusan tersebut
diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan. Pengadilan
Negeri melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada
Pengadilan Tinggi paling lama 3 (tiga) hari sejak permohonan banding
diterima. Pengadilan Tinggi memiliki kesempatan untuk memeriksa dan
memutus permohonan banding paling lama 7 (tujuh) hari setelah
permohonan banding diterima. Putusan banding tersebut merupakan
putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan
upaya hukum.
3) Proses Pelaksanaan Putusan
Tiga hari setelah putusan pengadilan dibacakan, Pengadilan Negeri/
Pengadilan Tinggi harus telah menyampaikan putusan tersebut kepada
penuntut umum. Putusan harus dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) hari
setelah putusan diterima jaksa. Jika perkara pelanggaran pidana Pemilu
menurut UU Pemilu dipandang dapat mempengaruhi perolehan suara
peserta Pemilu maka putusan pengadilan atas perkara tersebut harus
sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil
Pemilu secara nasional. Khusus terhadap putusan yang berpengaruh
18
terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU provinsi dan KPU
kabupaten/kota, dan peserta Pemilu harus sudah menerima salinan
putusan pengadilan pada hari putusan dibacakan. KPU berkewajiban
untuk menindaklanjuti putusan sebagaimana dimaksud.
II. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi
Sesuai dengan Konstitusi yang dijabarkan dalam ketentuan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, perselisihan
tentang hasil perolehan suara Pemilu diselesaikan melalui Mahkamah
Konstitusi. Tata cara penyelesaian perselisihan perolehan hasil suara Pemilu
2009 telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun
2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
Pada sengketa hasil Pemilu tahun 2004, Mahkamah Konstitusi telah
memutus 252 perkara yang diajukan oleh partai politik, 23 perkara yang
diajukan oleh calon anggota DPD, dan 1 perkara yang diajukan oleh pasangan
calon presiden/calon wakil presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
252 perkara yang diajukan partai-partai politik itu terbagi kepada empat jenis,
yaitu permohonan dikabulkan sebanyak 41 perkara (14,96%), permohonan
ditolak sebanyak 135 perkara (49,27%), permohonan tidak dapat diterima
sebanyak 89 perkara (32,48%) dan 9 perkara (3,28%) ditarik kembali oleh
pemohon. Sedangkan pada Pemilu legislatif 2009, Mahkamah Konstitusi
telah menerima 71 permohonan yang meliputi 42 permohonan untuk partai
politik dan 29 permohonan dari calon anggota DPD. Permohonan yang
diajukan oleh partai politik meliputi seluruh partai politik peserta Pemilu
2009, baik nasional maupun partai lokal di Aceh, kecuali Partai Rakyat Aceh
dan Partai Aceh Aman Sejahtera. Sementara itu perkara yang diajukan calon
anggota DPD berasal dari daerah pemilihan Sulawesi Tenggara, Papua Barat,
Papua, Maluku, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Gorontalo, Kepulauan Riau,
Lampung, Nanggroe Aceh Darussalam, lampung, Jambi, Banten, Sulawesi
Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
19
Permohonan sengketa Pemilu diajukan oleh peserta Pemilu paling
lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil
Pemilu secara nasional. Pengajuan permohonan disertai dengan alat bukti
pendukung seperti sertifikat hasil penghitungan suara, sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan setiap jenjang, berita acara penghitungan beserta berkas
pernyataan keberatan peserta, serta dokumen tertulis lainnya. Apabila
kelengkapan dan syarat permohonan dianggap tidak cukup, panitera
Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada pemohon untuk diperbaiki
dalam tenggat waktu 1 x 24 jam. Apabila dalam waktu tersebut perbaikan
kelengkapan dan syarat tidak dilakukan, maka permohonan tidak dapat
diregistrasi.
Tiga hari kerja sejak permohonan tercatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi, panitera mengirimkan permohonan kepada KPU. Dalam
permohonan tersebut disertakan juga permintaan keterangan tertulis dari KPU
yang dilengkapi dengan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang
diperselisihkan. Keterangan tertulis tersebut harus sudah diterima Mahkamah
Konstitusi paling lambat satu hari sebelum hari persidangan. Mahkamah
menetapkan hari sidang pertama dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak
permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada
pemohon dan KPU paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.
Pemeriksaan permohonan dibagi menjadi :
1) pemeriksaan pendahuluan, untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan
materi permohonan. Panel Hakim yang terdiri atas 3 orang hakim
konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi
dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan paling
lambat 1 x 24 jam.
2) pemeriksaan persidangan, yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan
Mahkamah Konstitusi, kedudukan pemohon, pokok permohonan,
keterangan KPU dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim
dalam sidang yang terbuka untuk umum.
20
BAB IV
PENUTUP
I. Kesimpulan
a. Penyelesaian pelanggaran Pemilu adalah melalui Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sesuai
dengan tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan Pemilu.
Mekanisme penyelesaian diawali dengan adanya laporan pelanggaran
dari masyarakat maupun berdasarkan temuan Bawaslu/Panwaslu di
lapangan. Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu dapat mengambil
kesimpulan apakah temuan dan laporan merupakan tindak pelanggaran
Pemilu atau bukan. Bawaslu meneruskan hasil kajian tersebut kepada
instansi yang berwenang untuk diselesaikan. Untuk pelanggaran
administrasi adalah menjadi kewenangan KPU untuk
menyelesaikannya. sanksi terhadap pelanggaran administrasi hendaknya
berupa sanksi administrasi. Sedangkan penyelesaian pelanggaran
pidana Pemilu dilakukan melalui proses penyidikan oleh penyidik
kepolisian, proses penuntutan oleh kejaksaan, persidangan di
pengadilan negeri/pengadilan tinggi dan pelaksanaan putusan.
b. Lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil Pemilu
berkaitan dengan perolehan suara adalah Mahkamah Konstitusi. Tata
cara penyelesaian perselisihan perolehan hasil suara Pemilu 2009 telah
diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2008
tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD. Permohonan sengketa Pemilu diajukan oleh
peserta Pemilu paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan
penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Pemeriksaan
permohonan dibagi menjadi pemeriksaan pendahuluan, yaitu untuk
memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
21
II. Saran
Secara umum UU Pemilu telah memberikan pedoman untuk
menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Pengaturan penyelesaian
pelanggaran Pemilu dengan batasan waktu yang singkat bertujuan untuk
mendorong penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan tahapan pelaksanaan
Pemilu sehingga ada jaminan bahwa Pemilu diselenggarakan secara bersih.
Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil merupakan bukti adanya
perlindungan kedaulatan rakyat dari tindakan-tindakan yang dapat
mencederai proses dan hasil Pemilu. Adalah kewajiban bagi pengawas,
penyelenggara dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua
pelanggaran Pemilu yang terjadi dapat diselesaikan secara adil dan konsisten.
22
DAFTAR PUSTAKA
Januari Sihotang, Mahkamah Konstitusi dan Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu,
Artikel, Harian Analisa, Jakarta, 2008.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Pelanggaran Pemilu 2009 dan
Mekanisme Penyelesaiannya, Position Paper, Jakarta, Desember 2008.
Pan Mohamad Faiz, Sengketa Pemilu dan Masa Depan Demokrasi, Artikel Jurnal
Hukum, 2009.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata
Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilu.
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi