TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA Satinah binti Jumadi saat ini sedang menunggu upaya pem erintah Indonesia supaya terbebas dari hukuman mati di Arab Saudi atas kasus pem bunuhan terhadap majikannya. Satinah berangkat ke Arab Saudi menjadi TKI setelah September 2006 mendaftar mel alui Perusahaan PT Djamin Harapan Abadi. Keberangkatannya tersebut merupakan kal i ke tiga setelah ditinggal sang suami. Tujuan ibu yang memiliki anak satu ini m engadu nasib ke negeri orang adalah untuk menghidupi anaknya. "Ini yang ketiga kali (Satinah jadi TKI di Arab Saudi), jadi dia ingin (menjadi TKI) ini yang terakhir lah," kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah s aat ditemui di Sekretariat Migran Care, Pulogadung, Jakarta Timur, Selasa (25/3/ 2014). Ia pun bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga dengan nama majikan Muhammed Al Mos aemeri di Arab Saudi. Sampai akhirnya terjadi insiden pada 18 September 2007. Sa at itu, Satinah sedang berada di dapur, tiba-tiba majikannya memanggil dirinya s ambil berteriak-teriak. Kemudian sang majikan pun menjambak dan mencaci maki Sat inah. Majikan Satinah yang marah tanpa alasan yang jelas lantas menarik kepalanya dan berupaya membenturkan kepala Satinah ke tembok. Satinah pun tidak berdiam diri, merasa nyawanya terancam tangannya berupaya mengambil benda yang bisa membantuny a dari penganiayaan sang majikan. Tangan Satinah berhasil menggapai sebuah pengg ulung roti dan memukulka sekenanya kepada majikan yang menganiayanya. "Kemudian (benda yang dipegang Satinah) ditimpukan pada kepala belakang atau ten gkuk majikannya. Kemudian majikan langsung ambruk terus dibawa ke rumah sakit. S atinah sendiri melarikan diri ke polisi dan menyerahkan diri ke polisi," ungkap Anis. Di kantor polisi, Satina diberi kesempatan untuk mengabari keluarganya. Kabar Sa tinah pun membuat keluarga terkejut mendengar kabar sedang berada di kantor poli si karena didera masalah tanpa mengabarkan apa duduk permasalahannya. Sejak saat itu, Satinah tidak pernah lagi ada kabar, sampai akhirnya pada 2008 d atang seseorang perempuan bernama Sri kepada keluarga Satinah dan mengabarkan Sa tinah berada di penjara. Pengakuan Sri saat itu, dirinya bertemu Satinah saat me ngantar majikannya membesuk seseorang yang kebetulan berada dalam satu penjara d engan Satinah. Satinah meminta tolong kepada Sri untuk mengabarkan keluarganya dan memberikan alamat tempat tinggalnya di Semarang kepada Sri. Keluarga pun kemudian kembali m endapatkan kabar dari Satinah pada 2009. Satinah melalui sambungan teleponnya me ngabarkan kepada keluarga bahwa dirinya berada di penjara karena dituduh membunu h majikan perempuannya dan sudah menjalani persidangan. "Selama dua tahun menjalani proses persidangan Satinah itu tidak disediakan lawy er, tidak didampingi sama sekali, pemerintah tidak tahu sama sekali," ungkap Ani s. Kemudian pada 13 Oktober 2009, kakak kandung Satinah, Paeri Al Feri mendatangi M igran Care di Jakarta Timur mengadukan kasus mendera adiknya. Didampingi Migran Care, Paeri mendatangi Kementrian Luar Negeri Direktorat Pelindungan WNI dan Bad an Hukum Indonesia. Tetapi laporan tersebut tidak mendapat tanggapan, sampai akhirnya keluarga bersa ma Migrant Care kembali membuta laporan ke Kemenlu pada 26 September 2011. "Sela ma rentan waktu dua tahun itu kita terus komunikasi dengan Kemenlu tetapi jawaba nnya tidak ada perkembangan," ujarnya. Baru 2011 pemerintah mulai memperhatikan permasalahan hukum yang dihadapi para T KI termasuk Satinah setelah ramai TKI Indonesi dihukum mati. Pemerintah bergerak cepat dengan membentuk Satgas penangan TKI yang terancam hukuman mati. Posisi Satinah saat itu sudah divonis bersalah melakukan pembunuhan berencana. K emudian sidang pun minta diulang sampai akhirnya Satinah divonis bersalah melaku kan pembunuhan. "Tetapi vonisnya tetap hukuman mati," ucapnya. Setelah laporan ke dua, baru lah Kemenlu bergerak dengan mendatangi keluarga Sat inah di Semarang, Jawa Tengah kemudian memberikan informasi penanganan kasus Sat inan melalui surat pada 13 Oktober 2011. Ada informasi penting yang disampaikan Kemenlu kepada keluarga Satinah diantaran ya pihak pemerintah berupaya melakukan negosiasi dengan keluarga majikan Satinah supaya Satinah bisa terbebas dari hukuman mati. "Keluarga korban memberikan maaf. Dengan difasilitasi dari Gubernur Gassem kelua rga sepakat untuk memberikan maaf dan meminta diyat sebesar 500 ribu riyal atau sekitar Rp 1,25 miliar," ungkapnya. Tetapi dikatakan Anis, tidak tahu bagaimana asal-usulnya justru diyat yang harus dibayar menjadi 7 juta riyal atau sekitar Rp 21 miliar. Hal tersebut lah yang h ingga kini masih alot jadi bahan negosiasi dengan majikan Satinah. Pembayaran diyat tersebut sudah tertunda hingga empat kali, awalnya pembayaran d iyat terakhir harus dibayarkan Desember 2012, kemudian diperpanjang lagi hingga Desember 2013, diperjang lagi hingga Febuari 2014, diperpanjang lagi hingga 3 Ap ril 2014. "Sekarang negosiasi yang kelima, saya tidak tahu akan ada negosiasi perpanjangan diyat lagi atau pemerintah akan bayar diyat, kalau nadanya pada saat pemerintah kemarin konpers tetap tidak mau membayar dengan alasan khawatir akan terjadi pr eseden semua TKI akan terancam hukuman mati dan harus bayar diyat," ungkapnya. Dikatakan Anis, bila pemerintah memberikan bantuan hukum yang maksimal sejak awa l, maka proses hukum yang dijalani Satinah tidak akan berakhir seperti saat ini. Nyawa Satinah kini hanya tergantung upaya negosiasi pemerintah Indonesia dengan keluarga majikan Satinah. "Satinah kan kasusnya 2007 dan pemerintah baru tahu 2009. Kalau sejak awal mungk in akan berbeda ceritanya," ungkapnya. Terkait#Satinah Berita Terkait: Satinah Divonis Hukuman Mati Dua Bulan Lagi Satinah Bebas Keluarga Belum Tahu Satinah Bebas dari Hukuman Pancung Satinah Lolos dari Pancungan Algojo Arab Saudi PBB Kaji Berkas Peradilan Satinah karena Diduga Tidak Adil Melanie Subono Tak Serahkan Rp 2,8 Miliar kepada Keluarga Satinah Penulis: Adi Suhendi Editor: fajar anjungroso