Anda di halaman 1dari 4

Cermati Tiga Kekuatan Militer Baru di Asia Pasifik: Cina, Jepang dan

India
Penulis : Hendrajit, Peneliti Senior Global Future Institute



Ketegangan antara Filipina dan Cina di wilayah Laut
Cina Selatan seperti yang terjadi di Scarborough
Shoal, memang lampu kuning menuju Perang
Perpanjangan tangan (Proxy War) antara Amerika
Serikat dan Cina di kawasan Asia Tenggara, atau pada
skala yang lebih luas, di kawasan Asia Pasifik.


Amerika kiranya cukup beralasan untuk berbagi kecemasan bersama Jepang dan
Vietnam menyusul semakin agresifnya postur militer Cina di Asia Pasifik. Berdasar
studi SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute, 2010), China
merupakan negara Asia dengan anggaran militer terbesar.
Pada 2000, militer Cina sudah menghabiskan anggaran militer sebesar US$90 miliar
dan pada 2010, malah semakin meningkat mencapai US$120 miliar. Berdasarkan
data dari sumber yang sama, saat ini Cina memiliki 2,3 juta tentara. Angkatan
Daratnya saat ini merupakan kekuatan paling besar di dunia. Pada 2012 tahun ini.
anggaran militer Beijing mencapai US$160 miliar.
Sudah barang tentu data-data terbaru dari SIPRI yang kita tahu sangat valid ini,
telah memicu kecemasan di kalangan para perancang keamanan nasional Jepang.
Maklum, karena baik Cina maupun Jepang kebetulan sama samamasuk deretan
negara-negara adidaya baru di kawasan Asia Timur. Maka tak heran bila sebuah
laporan dari Kementerian Pertahanan Jepang menegaskan bahwa kenaikan
anggaran militer Jepang yang sedemikian cepat tersebut pada gilirannya bisa
mempengaruhi tata tertib regional di kawasan Asia Timur, sehingga memiliki
dampak yang cukup membahayakan bagi keamanan nasional Jepang.
Kecemasan Jepang semakin menjadi-jadi ketika beberapa waktu lalu pihak Jepang
sempat melaporkan bahwa Cina telah meningkatkan intensitas kegiatan militernya
di Perairan Jepang.
Lucunya lagi, para pemegang otoritas keamanan nasional sempat mencemaskan
tidak adanya keterbukaan atau transparansi mengenai aktivitas militer Cina di Asia
Timur maupun strategi nasional Cina itu sendiri. Tentu saja ini satu sikap yang
cukup aneh mengingat pihak Jepang pun pasti tahu bahwa yang namanya fakta-
fakta seputar perkembangan dan peningkatan postor militer suatu negara, jelas
jelas masuk kategori rahasia negara.
Dalam hal konflik perbatasan antara Cina dan Jepang yang belakangan ini kian
menajam, tentunya juga tidak kalah krusialnya dengan ketegangan konflik
perbatasan antara Filipina dan Cina di Laut Cina Selatan.
Pada September 2010, misalnya, sempat terjadi ketegangan antara Cina dan
Jepang atas Kepulauan Senkaku/Diaoyu yang mengungkap adanya potensi konflik
kedua negara bertetangga ini di dalam beberapa bulan atau tahun mendatang.

Pada September 2010 itu Tokyo sempat menahan seorang kapten kapal RRC di
ibukota Okinawa, Naha, dengan tuduhan kapten kapal Bejing itu melanggar
kedaulatan hukum Jepang.
Masalah semakin memanas ketika pihak Beijing kemudian menuntut
pembebasannya, dengan melancarkan serangan balik dengan menangkap empat
karyawan Fujita Corporation di Provinsi Hebei, China, dan malah dalam lawatan
Perdana Menteri Wen Jibao ke New York, ia menegaskan Cina akan mengambil
langkah lebih lanjut terhadap Jepang jika Tokyo tidak membebaskan kapten kapal
tersebut (BBC News,2010). Menghadapi ofensif Diplomatik Cina, Jepang akhirnya
keder juga, dan kemudian membebaskan kapten kapal Cina itu.
Mungkinkah kasus kasus serupa bakal menjadi kasus Beli perang antara Cina dan
Jepang sehingga memicu Perang terbuka antara Amerika dan Cina di tahun-tahun
mendatang?
Memang belum bisa dipastikan, meski dalam bukunya the Clash of Civilization Dr
Samuel Huntington memprediksi akan pecah konflik militer terbuka antara
Amerika dan Cina di kawasan Asia Pasifik pada sekitar 2014-2017.
Namun yang jelas, beberapa prakondisi untuk memantik perang terbuka Cina dan
Jepang sepertinya sudah tersedia.
Pertama, pada Desember 2010 lalu, Tokyo telah mengumumkan haluan Pertahanan
Baru sebagai respons atas meningkatnya anggaran militer Cina dan sepak-
terjangnya di kawasan Asia Pasifik. Berarti, ada satu tren terjadinya militerisasi
baik di pihak Jepang yang notabene masih terikat pada perjanjian persekutuan
keamanan bersama antara Jepang dan Amerika Serikat.
Kedua, sebagai konsekwensi dari haluan baru pertahanan Jepang untuk
mengimbangi kekuatan militer Cina, Jepang memutuskan untuk menjalin
kerjasama strategis dengan Amerika Serikat untuk menjamin keamanan nasional
Jepang. Dan konsekwensinya, Jepang akan mempersilahkan kehadiran militer
Amerika di Jepang(Mainichi Daily News, 2011).
Bukan itu saja. Di bagian lain kawasan Asia Timur, tepatnya di Selat Taiwan,
ternyata Cina juga telah mengembangkan armada laut yang diperkuat dengan
kapal selam yang memiliki jarak tembak 2100 km sehingga mampu memberlakukan
Strategy anti access aerial denial, suatu strategi penolakan dan penangkalan
terhadap kehadiran militer AS , sehingga mampu memaksa pasukan marinir AS
berada di luar kawasan Selat Taiwan dan Pasifik Barat, jika sewaktu-waktu terjadi
aksi militer Cina ke Taiwan.
Dari konstalasi kekuatan militer Cina yang seperti itu, angkatan bersenjata AS
akan bisa dicegah untuk memberi dukungan angkatan laut kepada Jepang jika
terjadi konflik militer terbuka antara Cina dan Jepang.
Sepertinya kedigdayaan militer Cina belakangan ini dimungkinkan karena
kemajuan pesat perekonomian Cina dalam beberapa tahun belakangan ini.
Inilah yang kemudian mendorong berbagai pakar dan think thank di Amerika untuk
merekomendasikan adanya persekutuan-persekutuan baru di kawasan Asia Pasifik,
dalam rangka menghadang ancaman militer Cina di kawasan ini. Seperti yang
dilakukan terhadap Filipina, Malaysia, Singapore, Brunei Darussalam, dan bahkan
Vietnam, yang pada era 1970-an, merupakan musuh utama Amerika di kawasan
Asia Tenggara.
Bahkan seorang pakar strategi dan keamanan nasional Amerika jelas jelas
mengumandangkan kecemasannya terhadap perkembangan militer Cina.
Bagaimanapun AS cemas dan khawatir dengan kebangkitan militer China, selain
isu nuklir Iran dan Korea Utara, kata Prof Robert Gallucci di Universitas
California Berkeley, pekan kemarin.
Asia: Importir Senjata Terbesar di Dunia
Studi Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan
wilayah Asia-Pasifik menyumbang 44 persen impor senjata hasil produksi Eropa.
Angka ini merupakan angka teratas dalam lima tahun terakhir.
SIPRI melaporkan bahwa secara global volume perdagangan senjata pada periode
20072011 lebih tinggi 24% dibandingkan pada periode 20022006. Dalam kurun
waktu lima tahun terakhir, perdagangan senjata di Asia dan Oceania mencapai 44%
dari perdagangan impor senjata di seluruh dunia. Angka itu tentu lebih tinggi
dibandingkan dengan hanya 19% untuk wilayah Eropa, 17 untuk Timur Tengah, 11%
untuk Amerika Selatan dan Utara, serta 9% untuk Afrika.
Tidak hanya Cina yang menaikkan anggaran militernya dengan US$100 miliar. Tapi
juga Taiwan, Korsel, Filipina, Indonesia sampai Vietnam dan Singapura. Seiring
dengan pertumbuhan ekonomi, naik pula anggaran militer mereka dengan ratusan
juta dolar per tahun. Para pengamat sampai menyebut ada semacam lomba
senjata di Asia.
Sepak-terjang India, sebagai salah satu negara yang berpotensi menjadi negara
adidaya baru di Asia Pasifik kiranya penting untuk kita cermati secara seksama dan
penuh kewaspadaan.
Menurut data SIPRI, India merupakan importir senjata terbesar pada periode
20072011 dengan persentase impor mencapai 10% dari volume perdagangan
internasional.
Hal ini diikuti oleh Korea Selatan (Korsel) dengan 6%, Cina dan Pakistan (masing-
masing 5%), serta Singapura (4%). Impor senjata India, Korsel, China, Pakistan, dan
Singapura mencapai 30% dari volume perdagangan internasional.
Impor senjata India meningkat menjadi 38% pada periode 20022006
dibandingkan dengan 20072011, demikian laporan SIPRI. Dan itu termasuk
pengiriman pesawat udara pada periode 20072011 meliputi 120 Su-30MK dan 16
MiG-29K dari Rusia serta 20 Jaguar Ss dari Inggris.
Perkembangan pesat postur pertahanan India tentu saja memancing Pakistan
sebagai pesaing India di kawasan Asia Selatan, untuk meningkatkan juga postur
pertahanannnya.
Karena India menjadi importir senjata terbesar, tetangga yang juga musuh
bebuyutannya, Pakistan dengan tak ayal menjadi pengimpor senjata terbesar
ketiga. Pakistan membeli pesawat tempur pada periode 20072011 yakni 50 JF-17
dari China dan 30 F-16. India dan Pakistan juga mengimpor tank dalam jumlah
besar.
Sebagian besar negara pengimpor senjata kini terus mengembangkan industri
senjata mereka. Dengan demikian, itu mempengaruhi penurunan pasokan senjata
dari luar, kata Pieter Wezeman, peneliti senior Program Impor Senjata SIPRI.
Pada 20062007 Cina merupakan pengimpor senjata terbesar dunia. Tapi tahun
2011 Beijing hanya menempati urutan keempat. Penurunan impor China
dipengaruhi peningkatan industri senjata China yang masif.
Dengan penurunan peringkat China dalam impor, India merebut posisi itu pada
2011. SIPRI menyimpulkan, peningkatan posisi India itu karena faktor Pakistan.
Sementara setelah tidak lagi menjadi pengimpor senjata terbesar, China kini terus
membuat terobosan.
Di Asia, Bejing kini justru menjadi pengekspor senjata terbesar keenam setelah
Amerika Serikat (AS), Rusia, Jerman, Prancis,dan Inggris.
Negara-negara Asia Tenggara dan Cina kini lebih memilih kendaraan dan peralatan
militer terbaru serba canggih. Yang mencolok adalah pembelian kapal selam.
Malaysia baru saja membeli tiga kapal selam, Indonesia pesan tiga, Vietnam enam
dan Thailand berniat membeli empat dari Jerman.
Negara-negara Asia tenggara membeli senjata karena faktor perasaan kurang
aman. Vietnam dan Filipina misalnya cemas akan kebijakan maritim yang akan
ditempuh Beijing. Di laut China Selatan ada enam pulau Vietnam.
Pesatnya perlombaan senjata di kawasan Asia, bisa dipastikan akan meningkatkan
ketegangan militer dan bahkan militerisasi di kawasan Asia Pasifik.
Bagi Indonesia, tiada lain harus mencermati secara sungguh sungguh dan penuh
perhatian kebijakan militer Cina dan Jepang yang kian agresif di kawasan Asia
Pasifik.

Anda mungkin juga menyukai