Anda di halaman 1dari 12

RASIONALITAS SUARA HATI

Suara hati adalah kesadaran akan kewajiban kita dalam situasi


konkret. Jadi, yang dilakukan suara hati adalah sebuah penilaian
moral. Suatu padangan bers\asumsi bahwa penilaian moral pada
hakikatnya merupakan masalah perasaan belaka, dan suatu
perasaan memang tidak dapat disebut benar atau salah dan karena
itu juga tidak masuk akal, kalau dituntut pertanggungjawaban.
Emotivisme (dari kata emotion, yang artinya perasaan)
memandang penilaian moral pada umunya tidak berkaitan dengan
benar atau salah, melainkan hanya pada ungkapan sikap seseorang
terhadap sesuatu (perasaaan subjektif masing-masing orang).
(Lanjut...)
Contohnya adalah penilain seseorang mengenai buah durian, ada
yang mengatakan buah durian itu buruk rasanya ada pula yang
mengatakan buah durian itu baik rasanya. Keduanya tidak dapat kita
salahkan, tidak ada ketentuan mana yang benar dan mana yang
salah, karena memang hal tersebut tergantung pada perasaan
individu masing-masing.
APAKAH PENILAIAN MORAL SEKEDAR MASALAH PERASAAN?
Salah satu contoh kasus yang menarik untuk diperhatikan adalah
Pengguguran Isi Kandungan. Ada dua belah pihak yang membenarkan
pengguguran isi kandungan dengan alasan untuk memperoleh hak
meraih masa depan seorang gadis, namun ada pula pihak yang
menyangkal dengan alasan yang digugurkan bukanlah segumpal daging
melainkan seorang manusia kecil yang memiliki hak untuk hidup, dan
manusia tidak berhak menentukan hidup-mati seseorang. Situasi ini
berbeda dengan masalah durian yang salah satu pihak mendapat
pembenaran. Kalau pengguguran dapat dibenarkan, maka yang
menyangkalnya yang salah, begitu pula sebaliknya. Kesimpulannya dari
kasus tersebut adalah, penilaian moral tidak hanya sekedar masalah
perasaan, melainkan masalah kebenaran objektif.
(Lanjut...)
Kalau ada perdebatan pendapat moral, kita tidak berdebat tentang
perasaan kita, melainkan apa yang secara objektif menjadi
kewajiban kita dan apa yang tidak.Penilaian moral bersifat rasional
dan objektif, karena hanya dapat dibenarkan atau disangkal. Seperi
penilaian gunung tertinggi di Jawa adalah gunung Tidar rasional
(meskipun salah) dan rasionalitasnya terlihat dari fakta bahwa orang
harus memilih atara setuju dan tidak setuju (tentu dapat juga
menghindar dengan menjawab tidak tahu).
(Lanjut...)
Pertanggung jawaban rasionalitas suara hati bukan berarti setiap
padangan moral harus kita buktikan dahulu, melainkan bahwa kita
harus terbuka bagi setiap argumen, sangkalan, pertanyaan dan
keragu-raguan dari orang lain atau dari dalam hati kita sendiri.
Lantas kita harus mencari argumentasi (seperti dalam kasus
pengguguran) untuk mempertanggungjawabkan pendapat moral
kita. Kehabisan argumen belum berarti pendapat moral kita salah.
Bisa jadi menjadi sadar akan perlunya studi yang serius. Maka
jangan kita dengan mudah melepaskan keyakinan moral kita hanya
karena kalah dalam debat.
MENGAMBIL KEPUTUSAN
Pertanggung jawaban rasionalitas suara hati bukan berarti setiap
padangan moral harus kita buktikan dahulu, melainkan bahwa kita
harus terbuka bagi setiap argumen, sangkalan, pertanyaan dan
keragu-raguan dari orang lain atau dari dalam hati kita sendiri.
Lantas kita harus mencari argumentasi (seperti dalam kasus
pengguguran) untuk mempertanggungjawabkan pendapat moral
kita. Kehabisan argumen belum berarti pendapat moral kita salah.
Bisa jadi menjadi sadar akan perlunya studi yang serius. Maka
jangan kita dengan mudah melepaskan keyakinan moral kita hanya
karena kalah dalam debat.
MENGAMBIL KEPUTUSAN
Sebelum mengambil keputusan:

1. Sikap terbuka (bersedia membiarkan pendapat sendiri
dipersoalkan). Bisanaya sebelum mengambil keputusan, sudah
adal kecondongan dalam hati kita ke salah satu arah. Terutama
kita harus terbuka terhadap pandangan yang berbeda dengan
padangan kita. Kita harus mempertimbangkan argumen pro dan
contra, mana yang lebih kuat, barangkali pendapat semula dan
suara hati kita berubah dan berkembang dalam proses
pencarian keputusan terbaik (sekaligus merupakan proses
belajar), dengan demikian dapat memberi kejelasan dalam
mengambil keputusan. Namun ini tidak berarti kita harus mulai
dari titik nol lagi, hanya saja berbagai pertimbangan yang perlu
kata lakukan sebelum mengambil keputusan perlu benar-benar
dipelajari. Kalau kita behadapan dengan masalah yang sama,
maka kita tidak perlu mengulang dari awal untuk mengambil
keputusan.
(Lanjut...)
Misalnya masalah pengguguran, kalau seorang dokter sudah lama
memikirkannya secara mendalam, mendiskusikannya bersama
dokter-dokter lain dan bersama para ahli etika dan moral agama,
dan berdasarkan itu sudah dicapai pendirian yang pasti, misalnya ia
tidak melakukan pengguguran meskipun diminta, maka ia tentu saja
tidak setiap kali harus mengadakan semua pertimbangan itu dari
semula. Tetapi apabila dalam debat segi-segi penting yang baru,
maka ia harus membuka permasalahan lagi dan menentukan
pendiriannya kembali berhadapan dengan segi-segi yang baru itu.
Jadi, kita tidak boleh mengambil sikap aku sudah mempunyai
pendirian dan oleh karena itu argumen-argumen, padangan-
padangan dan tantangan-tantangan baru tak perlu aku hiraukan!,
karena kita harus terus belajar.
(Lanjut...)
2. Kita harus seperlunya bersedia untuk memikirkan pendirian
kita kembali dan bahkan untuk mengubahnya.
3. Kita tidak berhak untuk ngotot pada apa yang kita sebut
keyakinan atau suara hati kita.
4. Kita harus mencari segala informasi yang relevan
5. Memerhatikan serta menanggapi pendapat dan sangkalan
orang lain.
6. Seperlunya kita mencari nasihat.
(Lanjut...)
Mengambil keputusan:

Kalau sesaat sebelum keputusan diambil adalah saat tuntutan
rasionalitas suara hati, maka saat keputusan diambil berada di
bawah tuntutan kemutlakannya. Keputusan selalu harus diambil
menurut apa yang pada saat itu disadari sebagai kewajiban, jadi
menurut suara hati. Kewajiban untuk selalu bertindak sesuai dengan
suara hati tidak membawa jaminan bahwa dalam pertimbangan-
pertimbangan yang mendahului pengambilan keputusan tidak ada
yang keliru. Barangkali suatu informasi yang relevan baru kemudian
diketahui, atau segi penting yang tadinya kita pertimbangkan dengan
kurang masak, ataupun kurang terkesan oleh peringatan orang lain
yang tidak mampu untuk memberikan argumentasi yang kuat, tetapi
sesudahnya ternyata tepat dalam penilaian. Atau sebaliknya terlalu
terkesan oleh pandangan atau pendapat teman dibandingkan pada
penilaian diri sendiri.
(Lanjut...)
Manusia dapat keliru, tetapi tidak berarti bahwa keputusan yang
ternyata salah itu secara moral salah juga. Selama keputusan yang
diambil dilakukan dengan berbagai usaha dan pertimbangan yang
baik dan benar, maka secara moral tidak dapat disalahkan meskipun
keputusan tersebut ternyata tidak tepat atau bahkan merugikan
orang lain. Yang patut dipermasalahkan secara moral adalah kalau
persiapan sebelum mengambil keputusan itu kurang teliti, atau
kurang terbuka, ataupun terlalu mudah terpengaruh oleh pendapat
orang lain.
SOAL-SOAL LATIHAN
1. Apa yang dimaksud dengan suara hati?
Jawab : Suara hati adalah kesadaran akan kewajiban kita dalam situasi
konkret.
2. Bagaimana pandangan emotivisme terhadap penilaian moral?
Jawab : Emotivisme memandang penilaian moral pada umunya tidak
berkaitan dengan benar atau salah, melainkan hanya pada ungkapan
sikap seseorang terhadap sesuatu (perasaaan subjektif masing-masing
orang)
3. Dalam mengambil keputusan, hal apa yang seharusnya dipermasalahkan
secara moral?
Jawab : Persiapan sebelum mengambil keputusan

Anda mungkin juga menyukai