Anda di halaman 1dari 10

PROSI DI NG 201 2 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK

Arsi tektur Elektro Geologi Mesi n Perkapalan Si pi l



Volume 6 : Desember 2012 Group Tekni k Geologi ISBN : 978-979-127255-0-6
TG8 - 1
STUDI FASIES PENGENDAPAN BATUBARA BERDASARKAN
KOMPOSISI MASERAL DI KABUPATEN BARRU
SULAWESI SELATAN

Sri Widodo & Rini Antika
Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea - Makassar, 90245
Telp./Fax: (0411) 580202
e-mail: srwd_007@yaho.com


Abstrak
Salah satu permasalahan pada sumberdaya batubara di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan
adalah tingginya kandungan sulfur dan abu. Untuk mengetahui lebih jelas genesa dan
karakteristik batubara tersebut, maka rencana penelitian ini akan melakukan pengamatan
mikroskopi untuk analisis komposisi maseral dan mineral dengan menggunakan sistem
standar Australia AS dan terminologi Australia. Dari hasil analisis komposisi maseral,
lapisan batubara di Kabupaten Barru didominasi oleh maseralvitrinit dengan kisaran angka
42,8 88,4%,liptinit 0,4 4,2% dan inertinit 0,6 4,4%. Berdasarkan nilai TPI dan GI
lapisan batubara di daerah penelitian terendapkan pada lingkungan marsh. Hal ini
mengindikasikan bahwa karakteristik batubaranya kaya akan kandungan sulfur dan mineral
matter, sehingga akan ada kendala dalam pemanfaatannya.
Kata Kunci: batubara, maseral, sulfur



LATAR BELAKANG

Batubara merupakan sumber energi alternatif yang sangat berperan dalam meningkatkan laju pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi. Dengan meningkatnya harga batubara di pasar domestik maupun mancanegara pada
beberapa tahun terakhir ini, maka berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengeksploitasi
dan memanfaatkan batubara yang ada di Pulau Kalimantan, Sumatra maupun Sulawesi Selatan serta di daerah-
daerah lainnya yang dianggap prospek. Karena itu produksi dan konsumsi batubara Indonesia akan terus
ditingkatkan terutama sebagai bahan bakar langsung pada pembangkit-pembangkit listrik, pabrik semen,
industri kecil maupun rumah tangga.

Batubara di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan memiliki nilai kalori yang cukup baik dan memenuhi syarat
untuk bahan bakar, misalnya pada pabrik semen, pembakaran batu merah, genteng, serta untuk industri briket.
Namun untuk memenuhi kebutuhan batubara di Sulawesi Selatan, terdapat suatu permasalahan yang cukup
signifikan, yakni tingginya kandungan sulfur dan abu yang umumnya berkisar di atas dua persen. Akibatnya
masalah ini sangat mempengaruhi mutu dan nilai ekonomi batubara, dimana batubara di Sulawesi Selatan
belum dapat diolah dan dimanfaatkan secara maksimal pada saat ini.


MASERAL PADA BATUBARA

Batubara adalah suatu endapan yang tersusun dari bahan organik (organic) dan bukan organic (inorganic).
Bahan organik berasal dari sisa tumbuh-tumbuhan yang telah mengalami berbagai tingkat pembusukan
(decomposition) dan perubahan sifat-sifat fisik serta kimia baik sebelum maupun sesudah tertutup oleh endapan
lain di atasnya (Stach, 1975).

Bahan-bahan bukan organik terdiri dari bermacam-macam mineral (mineral matters) terutama mineral-mineral
lempung, karbonat, sulfida, silikat, dan beberapa mineral lainnya (Taylor, dkk., 1998).

Secara optik bahan-bahan organik pembentuk batubara disebut maseral (maceral). Maseral pada batubara
analog dengan mineral pada batuan atau bagian terkecil dari batubara yang bisa teramati dengan mikroskop.
Maseral-maseral ini dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama yaitu kelompok vitrinit, liptinit (eksinit), dan


Studi Fasi es Pengendapan Batubara Sri Wi dodo & Ri ni Anti ka
Arsi tektur Elektro Geologi Mesi n Perkapalan Si pi l

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Tekni k Geologi Volume 6 : Desember 2012
TG8 - 2
inertinit. Pengelompokkan ini didasarkan pada bentuk, morfologi, ukuran, relief, struktur (internal structure),
kesamaan komposisi kimia, warna pantulan, dan intensitas refleksi serta tingkat pembatubaraan (degree of
coalification) (Widodo, 2008).

Kelompok Vitrinit

Kelompok ini berasal dari tumbuhan yang mengandung serat kayu (woodytissues) seperti batang, dahan, akar,
dan serat-serat daun. Vitrinit adalah bahan utama penyusun batubara (biasanya lebih dari 50%) kecuali untuk
batubara Gondwana (Ting, 1978). Pengamatan dengan mikroskop sinar langsung (transmittedlightmicroscope)
kelompok vitrinit menunjukkan warna cokelat kemerahan sampai gelap, tergantung dari tingkat ubahan
(metamorfosa) batubara itu. Semakin tinggi tingkatan suatu batubara semakin gelap terlihatnya maseral tersebut
di bawah mikroskop dan demikian pula sebaliknya.

Pengamatan dengan mikroskop sinar pantul (reflectedlightmicroscope), vitrinit memberikan warna pantul yang
lebih terang mulai dari abu-abu tua sampai abu-abu terang dan juga tergantung dari tingkatan batubara itu,
semakin tinggi tingkat pembatubaraannya semakin terang terlihatnya kelompok maseral ini. Kelompok vitrinit
mengandung unsur hydrogen dan zat terbang yang persentasenya berada diantara kelompok inertinit dan liptinit
(eksinit). Klasifikasi maseral pada batubara diperlihatkan pata tabel 1.

Menurut Cook (1982), sedikitnya kandungan vitrinit dapat memberikan petunjuk bahwa lapisan batubara
tersebut relatif berada di bagian atas, sedangkan banyaknya vitrinit menunjukkan lapisan batubara tersebut
berada di bagian bawah. Pada lingkungan lower delta plain(laut dangkal) umumnya kandungan vitrinit banyak,
sedangkan sebaliknya pada lingkungan upper delta plain (laut dalam) dan meanderingfluvial, bila vitrinit
banyak, maka ditafsirkan kecepatan penurunan cekungan berjalan cepat, artinya muka air tinggi, sedangkan jika
kandungan vitrinit sedikit ditafsirkan kecepatan penurunan berjalan pelan, artinya muka air rendah. Telocollinit
akan banyak terbentuk di bawah kondisi air tawar, sedangkan desmocollinit akan banyak terbentuk di bawah
kondisi marin (Styan dan Bustin, 1983).

Kelompok Liptinit (Eksinit)

Kelompok ini sering juga disebut eksinit (extinite) berasal dari jenis tanaman yang relatif rendah tingkatannya
seperti spora (spores), ganggang (algae), kulit luar (culticles), getah tanaman (resin), dan serbuk sari (pollen).
Kelompok eksinit ini terlihat sebagai maseral yang berwarna terang, kuning sampai kuning tua di bawah sinar
langsung, sedangkan di bawah sinar pantul kelompok eksinit menunjukkan pantulan berwarna abu-abu sampai
gelap. Kelompok eksinit mengandung unsur hydrogen yang paling banyak diantaramaseral lainnya.
Berdasarkan morfologi dan bahan asalnya kelompok eksinit dibedakan menjadi sporinit, kutinit, alginit,
fluorinit, suberinit, exudatinit, bituminit, liptodetrinit, dan resinit.

Tabel 1. Klasifikasi Maseral pada Batubara (AS 2856, 1986)
Grup Maseral Subgrup Maseral Maseral
Vitrinite
(Huminite)
Telo-vinite
Textinite
Texto-ulminite
Eu-ulminite
Telecolinite
Detro-vinite
Atninite
Desinite
Desmocolinite
Gelo-vinite
Corpogelinite
Pongelinite
Eugilinite
Liptinite
Sporinite
Qutinite
Resinite
Suberinite
Fluorinite
Liptodetrinite
Exudatinite
Bituminite



PROSI DI NG 201 2 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK
Arsi tektur Elektro Geologi Mesi n Perkapalan Si pi l

Volume 6 : Desember 2012 Group Tekni k Geologi ISBN : 978-979-127255-0-6
TG8 - 3
Tabel 1. Klasifikasi Maseral pada Batubara (AS 2856, 1986) (lanjutan)
Inertinite
Telo-inertinite
Fusinite
Semifusinite
Sclerotinite
Detro-inertinite
Inertodetrinite
Micrinite
Gelo-inirtenite Macrinite


Kelompok Inertinit

Kelompok inertinit diduga berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar (charcoal) dan sebagian lagi
diperkirakan berasal dari maseral lainnya yang telah mengalami proses oksidasi atau proses decarboxylation
yang disebabkan oleh jamur dan bakteri (proses biokimia). Dalam proses karbonisasi, kelompok inertinit sangat
lamban bereaksi (inert). Kelompok inertinit mengandung unsur hydrogen yang terendah diantara dua kelompok
lainnya. Berdasarkan struktur, tingkat pengawetan (preservation), dan intensitas pembakaran, kelompok
inertinit dibedakan menjadi fusinit, semifusinit, sclerotinit, mikirinit, inertodetrinit, dan macrinit.

Pembagian kelompok maseral seperti pada tabel 1, umumnya dipakai untuk jenis batubara yang berderajat
tinggi (hardcoal), sedangkan untuk batubara berderajat rendah mulai dari lignit sampai subbituminus
(browncoal) penamaannya agak berbeda. Istilah atau terminologi vitrinit yang biasa digunakan untuk hardcoal
berubah menjadi huminit (huminite) dalam browncoal, demikian pula dengan maseral dan variasi maseralnya
dibedakan pula sesuai dengan struktur dan morfologinya. Terminologi liptinit (eksinit) dan inertinit masih tetap
dipertahankan pada batubara tingkat rendah karena kenampakanmaseral ini dikedua tingkatan tersebut masih
tetap sama.


REFLEKTANSI VITRINIT

Peningkatan intensitas sinar pantul pada maseralvitrinit berbanding lurus dengan pertambahan tingkat proses
pembatubaraan pada lapisan batubara (tabel 2). Pengukuran reflektansivitrinit dilakukan di bawah medium
minyak imersi (imersionoil). Indeks refraksi dari minyak imersi dapat berubah dengan temperatur, sehingga
dapat mempengaruhi hasil pengukuran reflektansi. Oleh karena itu perlu digunakan standar reflektansi yang
telah diketahui pada kondisi temperatur standar (23C-25C) sebagai faktor koreksi. Hubungan antara
reflektansi dan sifat-sifat optik material dan medium imersi dapat diterangkan dengan persamaan Beer.
Reflektansimaseralvitrinit akan naik dengan meningkatnya peringkat (rank) batubara.

Tabel 2. Hubungan antara Reflektansivitrinit dengan Peringkat Batubara menurut Klasifikasi ASTM (American
Society for Testing Material)
Reflektansi Vitrinit (%) Peringkat Batubara
< 0,37
0,37 0,47
0,47 0,57
0,57 0,71
0,71 1,10
1,10 1,50
1,50 2,05
2,05 3,00
> 3,00
Lignite
Subbituminous
High volatilebituminous C
High volatilebituminous B
High volatilebituminous A
Med. volatilebituminous
Low volatilebituminous
Semi anthracite
Anthracite

Persamaan Beer diformulasikan sebagai berikut:

=
(
1

2
)
2
+
1
2

1
2
(
1
+
2
)
2
+
1
2

1
2
100% (1)

dimana:
R = reflektansi
n = indeks refraksi


Studi Fasi es Pengendapan Batubara Sri Wi dodo & Ri ni Anti ka
Arsi tektur Elektro Geologi Mesi n Perkapalan Si pi l

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Tekni k Geologi Volume 6 : Desember 2012
TG8 - 4
k = indeks absorbsi
1 = obyek
2 = minyak


HASIL DAN DISKUSI

Analisis Komposisi Maseral

Analisis komposisi maseral adalah analisis untuk menentukan persentasi kandungan maseral dari suatuconto
batubara. Dalam pengamatan ini digunakan mikroskop sinar pantul Carl ZeissMicroscope dan PointCounter
Model F dengan pembesaran 400 kali. Untuk identifikasi grup maseralliptinit digunakan sinar ultraviolet
(fluoresen), yaitu dengan mengganti filter dan lampunya. Klasifikasi maseral yang digunakan dalam analisis ini
adalah sistem standar Australia AS 2856 (Standart Association of Australian, 1986) dan terminologi Australia,
ini dilakukan sebagai penyesuaian terhadap diagram Diessel 1978 yang akan digunakan untuk
menginterpretasikan lingkungan pengendapan lapisan batubara di daerah penelitian (Daerah Doi-Doi). Hasil
analisis maseral dapat dilihat pada tabel 3.

Jumlah pengamatan yang dilakukan terhadap masing-masing bidang poles dalam penelitian ini adalah sebanyak
500 kali pengamatan tersebar di seluruh permukaan conto (pelet). Persentasimaseral dalam suatu lapisan
batubara memiliki kaitan (hubungan) yang erat terhadap kondisi lingkungan pengendapan (fasies) pada saat
akumulasi gambut dan batubara, sehingga analisis maseral ini dapat digunakan dalam merekontruksi
lingkungan pengendapan batubara.

Tabel 3. Hasil Analisis Maseral menggunakan Standar Australia (AS 2856, 1986)
No No Conto
Komposisi Maseral dan Mineral
Vitrinite
(% vol.)
Liptinite
(% vol.)
Inertinite
(% vol.)
Mineral
(% vol.)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
DD101
DD102
DD103
DD201
DD202
PL101
PL102
PL103
PD101
PD102
87,7
78,8
88,4
76,0
66,4
42,8
72,0
65,2
84,0
85,6
4,0
2,0
2,4
4,2
3,2
2,2
2,2
1,2
2,2
0,4
4,2
4,0
3,6
1,0
2,2
1,2
4,2
0,6
2,4
0,6
4,1
15,2
5,6
18,8
28,2
53,8
21,6
33,0
11,4
13,4

Hasil pengamatan grup maseral pada conto batubara memperlihatkan kandungan vitrinit yang sangat dominan
(hampir seluruh conto didominasi oleh vitrinit berupa telovitrinit dan gelovitrinit). Liptinit adalah grup maseral
terbanyak kedua yang ditemukan dalam setiap conto, dan inertinit hampir jarang ditemukan (sangat sedikit
jumlahnya). Grup inertinit ini pun muncul hanya berupa maseralsclerotinit yang merupkan ciri khas batubara
Tersier.

Analisis Reflektansi Vitrinit

Analisis reflektansivitrinit adalah analisis untuk menentukan besarnya intensitas sinar yang dipantulkan kembali
oleh maseralvitrinit. Peningkatan besaran intensitas ini bersifat progresif dengan meningkatnya pembatubaraan,
sehingga dapat digunakan sebagai parameter tingkat kematangan (peringkat) suatu lapisan batubara.
Pengukuran reflektansivitrinit dilakukan di bawah medium minyak imersi (immersionoil) yang memiliki indeks
refraksi 1,518 pada panjang gelombang 546 nm dan temperatur 23C. Untuk mendapatkan hasil pengukuran
yang akurat digunakan standar reflektansi yang telah diketahui. Dalam penelitian ini standar reflektansi yang
dipergunakan adalah spinel sintetik dengan besaran reflektansi 0,586%. Pengukuran standar reflektansi
dilakukan sebelum pengukuran reflektansivitrinit. Maseralvitrinit yang diukur reflektansinya adalah telocollinit
atau ulminit, karena maseral ini merupakan maseral yang paling banyak ditemukan diantaramaseral lain,
bersifat homogen, dan ukurannya relatif lebih besar. Jenis reflektansi yang diukur adalah reflektansi acak.




PROSI DI NG 201 2 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK
Arsi tektur Elektro Geologi Mesi n Perkapalan Si pi l

Volume 6 : Desember 2012 Group Tekni k Geologi ISBN : 978-979-127255-0-6
TG8 - 5
Tabel 4. Hasil Analisis Pengukuran Reflektansi Vitrinit pada Conto Batubara.
No No Conto Mean Stdv Rank Batubara
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
DD101
DD102
DD103
DD201
DD202
PL101
PL102
PL103
PD101
PD102
0,3009
0,2924
0,2898
0,2564
0,2977
0,3020
0,3531
0,3125
0,7975
0,7670
0,0225
0,0347
0,0465
0,0587
0,0276
0,0245
0,0459
0,0422
0,0293
0,0500
Lignite
Lignite
Lignite
Lignite
Lignite
Lignite
Lignite
Lignite
High VolaltileBituminous A
High VolatileBituminous A


Jumlah pengukuran reflektansi untuk setiap conto mengikuti standar Australia yaitu sebanyak seratus kali
pengukuran atau dapat dilakukan lima puluh kali pengukuran saja jika nilainya relatif konstan. Karena pada
semua conto batubara yang diamati memiliki nilai reflektansi yang konstan, maka pengukuran dilakukan hanya
empat puluh kali. Nilai reflektansi yang dipakai untuk menentukan peringkat batubara adalah nilai reflektansi
rata-rata dari seluruh pengukuran. Berdasarkan hasil pengukuran, peringkat batubara di Daerah Doi-Doi dan
Daerah Padang Lampe merupakan batubara berperingkat lignite, sedangkan batubara di Daerah paluda
memiliki peringkat highvolatilebituminous A (lebih lengkapnya lihat pada Tabel 4).

Fasies Pengendapan Batubara

Fasies dari maseral yang diperoleh dari hasil analisis maseral telah digunakan untuk mengetahui lingkungan
pengendapan pada saat pengendapan gambut (Diessel, 1986). Komposisi maseral pada batubara diyakini
menunjukkan material organik yang mengkonstribusi pada pengendapan gambut, dan kondisi selama
pengendapan. Kondisi ini termasuk tinggi muka air tanah, pH, pembusukan dari bakteri aerobik dan anaerobik,
serta mekanisme pecahnya material organik yang menunjukkan transportasi selama pengendapan.

Menurut Cook (1982), sedikitnya kandungan vitrinit dapat memberikan petunjuk bahwa lapisan batubara
tersebut relatif berada di bagian atas, sedangkan banyaknya vitrinit menunjukkan lapisan batubara tersebut
berada di bagian bawah. Pada lingkungan lower delta plain(laut dangkal) umumnya kandungan vitrinit banyak,
sedangkan sebaliknya pada lingkungan upper delta plain (laut dalam) dan meanderingfluvial, bila vitrinit
banyak, maka ditafsirkan kecepatan penurunan cekungan berjalan cepat, artinya muka air tinggi, sedangkan jika
kandungan vitrinit sedikit ditafsirkan kecepatan penurunan berjalan pelan, artinya muka air rendah. Telocollinit
akan banyak terbentuk di bawah kondisi air tawar, sedangkan desmocollinit akan banyak terbentuk di bawah
kondisi marin (Styan dan Bustin, 1983).

Tingginya vitrinit dan rendahnya inertinit mengindikasikan bahwa rawa gambut di Daerah Doi-Doi terletak
pada cekungan yang tidak stabil. Akibat cekungan yang tidak stabil terjadi perubahan lingkungan yang akan
mengakibatkan tingginya pembentukan mineral matter pada lapisan batubara.

Berdasarkan kontrol fasies lingkungan pengendapannya, maka Horne (1978) menyebutkan bahwa batubara
yang terbentuk di lingkungan back-barrier cenderung tipis, demikian juga pada lingkungan lower delta plain
umumnya juga tipis, hal ini sesuai dengan yang didapati di daerah penelitian bahwa lapisan-lapisan batubara
tersebut mempunyai ketebalan rata-rata kurang dari 2 meter.

Diagram Fasies Menurut Diessel

Dalam penentuan fasies lingkungan pengendapan, Diessel menggunakan dua parameter yaitu Tissue
Preservation Index (TPI) dan Gelification Index (GI). Harga TPI ditentukan dari perbandingan antara maseral-
maseral yang terawetkan (tellinit, telocollinit, fusinit, dan semifusinit) dengan maseral-maseral yang struktur
selnya tidak terawetkan dengan baik (desmocollinit, makrinit dan inertodetrinit). Pengrusakan struktur sel oleh
organisme akan sangat mudah terjadi pada tanaman yang banyak mengandung selulosa (tumbuhan perdu dan
angiospermae), namun tanaman yang banyak mengandung lignin (tumbuhan kayu) akan sukar dihancurkan.
Sehingga peningkatan harga TPI menunjukkan peningkatan prosentase kehadiran tumbuh-tumbuhan kayu (jika
peningkatan harga TPI tersebut akibat banyaknya tellinit dan telocollinit). Jika harga TPI tinggi dikarenakan


Studi Fasi es Pengendapan Batubara Sri Wi dodo & Ri ni Anti ka
Arsi tektur Elektro Geologi Mesi n Perkapalan Si pi l

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Tekni k Geologi Volume 6 : Desember 2012
TG8 - 6
banyaknya fusinit atau semifusinit maka ini menunjukkan proses dekomposisi yang diakibatkan oleh proses
oksidasi yang berlangsung dengan cepat (pembakaran hutan).

GelificationIndex (GI) merupakan suatu perbandingan maseral yang terbentuk karena proses gelifikasi (vitrinit
dan makrinit) terhadap maseral yang terbentuk karena proses oksidasi (fusinit, semifusinit, dan inertodetrinit).
Kondisi yang baik untuk terbentuknya vitrinit dan makrinit adalah jika gambut selalu dalam kondisi basah dan
supplai oksigen terbatas (Lambersonet. al., 1991) yaitu jika muka air tanah berada atau sedikit di atas
permukaan gambut. Sehingga dari harga GI dapat diinterpretasikan muka air tanah relatif tinggi terhadap
permukaan gambut. Kombinasi TPI dan GI dapat dipergunakan untuk memperkirakan derajat dekomposisi dan
kecapatan akumulasi tumbuh-tumbuhan. Diagram yang menggunakan parameter TPI dan GI oleh Diessel
ditentukan berdasarkan formula sebagai berikut:

=
( + -)
(- + + - + -)
(2)

=
( + -)
(- + -)
(3)

Dari formula TPI dan GI ini, maka diperoleh angka TPI dan GI seperti yang diperlihatkan pada tabel 5.

Tabel 5. Nilai TPI dan GI Hasil Analisis Maseral
No No Conto TPI GI
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
DD101
DD102
DD103
DD201
DD202
PL101
PL102
PL103
PD101
PD102
1,30
1,34
2,07
1,15
1,20
0,69
1,08
0,90
0,93
0,89
20,88
19,70
24,56
76,00
30,18
35,67
15,57
108,67
35,00
29,79

Dari tabel di atas terlihat bahwa nilai GI yang dihasilkan pada lapisan batubara untuk masing-masing daerah
penelitian cukup tinggi, bahkan ada satu titik yang nilainya berada di atas seratus (conto PL103). Hal ini
dikarenakan karakteristik batubara di daerah penelitian (Sulawesi Selatan) dan batubara Tersier Indonesia pada
umumnya, memiliki kandungan maseralinertinit yang sangat kecil (rata-rata 1,2%).

Fasies Pengendapan

1. Lingkungan pengendapan (fasies) lapisan batubara di Daerah Doi-Doi (conto DD101, DD102, DD103)

Nilai TissuePreservationIndex(TPI) dan GelificationIndex(GI) dari hasil analisis maseral untuk Daerah Doi-Doi
telah diperlihatkan pada tabel 5. Dari nilai tersebut telah dibuat diagram lingkungan pengendapan (fasies)
lapisan batubara untuk Daerah Doi-Doi, seperti yang terlihat pada gambar 1.

Berdasarkan diagram fasies pengendapan pada gambar 1 dapat diinterpretasikan bahwa, lapisan batubara di
Daerah Doi-Doi ini (DD101, DD102, dan DD103) terbentuk pada lingkungan pengendapan yang sama yakni
pada stadium marsh.

2. Lingkungan pengendapan (fasies) lapisan batubara di Daerah Doi-Doi (conto DD201 dan DD202)

Lokasi penelitian yang kedua (conto DD201 dan DD202) berjarak 5 km dari lokasi penelitian yang pertama
(DD101, DD102, dan DD103), namun masih terdapat di daerah yang sama yaitu di Daerah Doi-Doi. Hasil
analisis maseral pada daerah ini menunjukkan angka TissuePreservationIndex (TPI) dan GelificationIndex (GI)
yang menggambarkan lapisan batubara DD201 terendapkan pada stadium limnic(diperlihatkan pada gambar 2).

Stadium limnic adalah stadium dimana lapisan batubara terendapkan pada lingkungan di bawah permukaan air
surut. Secara genesanya lingkungan ini bersifat eutroph yaitu kaya akan bahan makanan (mineral). Lapisan


PROSI DI NG 201 2 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK
Arsi tektur Elektro Geologi Mesi n Perkapalan Si pi l

Volume 6 : Desember 2012 Group Tekni k Geologi ISBN : 978-979-127255-0-6
TG8 - 7
batubara yang lingkungan pengendapannya terbentuk pada lingkungan limnic, akan memberikan konstribusi
kandungan abu dan sulfur yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kimia, dimana lapisan ini
memperlihatkan kandungan abu sebesar 20,78% dan kandungan sulfur 2,22%.

Sedangkan lapisan batubara DD202 seperti yang terlihat pada diagram lingkungan pengendapan batubara
(gambar 2), diinterpretasikan terendapkan pada stadium marsh. Lapisan ini memiliki kandungan abu relatif
lebih tinggi dari pada lapisan di atasnya (DD201) yakni 27,99%. Terjadinya hal ini dimungkinkan sebagai
akibat dari perbedaan stadium lingkungan pengendapan yang berbeda, dimana stadium yang lebih dominan
dipengaruhi oleh air laut (marine) akan memberikan suatukonstribusi kandungan abu dan sulfur yang lebih
tinggi (Horneet. al., 1978).


Gambar 1. Diagram Fasies Lingkungan Pengendapan Batubara Daerah
Doi-Doi (Conto DD101, DD102, dan DD103)



Gambar 2. Diagram Fasies Pengendapan Batubara (Fasies) di Daerah
Doi-Doi (DD201 dan DD202)


3. Lingkungan pengendapan (fasies) lapisan batubara di Daerah Padang Lampe (conto PL101, PL102, dan
PL103)

Lapisan batubara Daerah Padang Lampe (conto PL101, PL102, dan PL103) terendapkan pada dua stadium
lingkungan pengendapan yang berbeda. Stadium yang pertama adalah telmatic/terrestrial(darat)yang
mengontrol terbentuknya lapisan batubara PL103, yaitu lapisan batubara yang terdapat di bagian bawah
(bottomply). Berdasarkan diagram lingkungan pengendapan (fasies) pada gambar 3, stadium yang kedua
0
1
10
100
0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50
Tissue Preservation Index (TPI)
G
e
l
i
f
i
c
a
t
i
o
n

I
n
d
e
x

(
G
I
)
DD201
DD202
Limnic
Telmatic
Wet forest swamp
Marsh
Terrestrial
Fen
Dry f orest
swamp
0
1
10
100
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50
G
e
l
i
f
i
c
a
t
i
o
n

I
n
d
e
x

(
G
I
)
Tissue Preservation Index (TPI)
DD103 DD101
DD102
Limnic
Telmatic
Wet forest swamp
Marsh
Terrestrial
Fen
Dry forest


Studi Fasi es Pengendapan Batubara Sri Wi dodo & Ri ni Anti ka
Arsi tektur Elektro Geologi Mesi n Perkapalan Si pi l

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Tekni k Geologi Volume 6 : Desember 2012
TG8 - 8
merupakan stadium marsh yang diinterpretasikan sebagai kontrol terhadap pembentukan lapisan batubara
PL101 dan PL102 (middleply& top ply).

Ditinjau dari sejarah pembentukannya, setelah lapisan batubara PL103 (bottomply) terbentuk dalam kondisi
telmatic, terjadi proses transgresi yang mengakibatkan kontrol lingkungan berubah dalam kondisi laut (marine).
Akhirnya untuk tahap pembentukan lapisan batubara yang berikutnya, yakni lapisan batubara PL102 dan PL101
akan dikontrol oleh lingkungan pengendapan dalam kondisi marsh. Hal ini dibuktikan dengan adanya lapisan
batugamping (marine stratum) yang terendapkan di atas Formasi Malawa yang merupakan formasi pembawa
lapisan batubara di daerah penelitian.Pengamatan secara makroskopis di lokasi sampling batubara, dijumpai
juga adanya jejak (trace) berupa fosil moluska yang dapat dijadikan sebagai indikasi terhadap kontrol
lingkungan pengendapan batubara di Daerah Padang Lampe.


Gambar 3. Diagram Fasies Pengendapan Batubara Daerah Padang
Lampe (Conto PL101, PL102, dan PL103)


4. Lingkungan pengendapan (fasies) lapisan batubara di Paluda (conto PD101 dan PD102).

Berdasarkan diagram fasies pengendapan lapisan batubara pada gambar 4, lapisan batubara di Daerah Paluda
(conto PD101 dan PD102) diinterpretasikan terbentuk pada lingkungan pengendapan (fasies) yang sama, yaitu
pada stadium marsh. Dari hasil analisis kimia terhadap karakteristik lapisan batubara ini, terutama terhadap
kandungan abunya memperlihatkan perbedaan angka yang tidak terlalu ekstrim (kandungan abu PD101 sebesar
10,55% dan PD102 sebesar 14,71%). Hal ini mendukung interpretasi bahwa kedua lapisan batubara tersebut
dikontrol lingkungan pengendapan yang sama. Lingkungan pengendapan yang sama akan memberikan variasi
komposisi batubara yang sama, sedangkan lingkungan (fasies) yang berbeda akan memberikan variasi
komposisi batubara yang berbeda pula.

Lambersonet. al., (1991) menyatakan bahwa variasi komposisi batubara tergantung pada kondisi lingkungan
pengendapannya. Variasi ini berhubungan dengan type vegetasi, tinggi muka air tanah, tingkat penghancuran,
dan tingkat kecepatan penumpukan (akumulasinya).

Hasil analisis maseral ini diharapkan akan memberikan suatuillustrasi yang tepat terhadap genesa dan
rekontruksifasies lingkungan pengendapan batubara di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Demikian halnya
dengan hasil analisis mineral, diharapkan dapat mendukung sasaran dan target yang diinginkan dalam penelitian
ini.


0
1
10
100
1000
0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50
Tissue Preservation Index (TPI)
G
e
l
i
f
i
c
a
t
i
o
n

I
n
d
e
x

(
G
I
)
Limnic
Telmatic
Wet forest swamp
Marsh
Terrestrial
Fen
Dry f orest
swamp
PL102
PL101
PL103


PROSI DI NG 201 2 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK
Arsi tektur Elektro Geologi Mesi n Perkapalan Si pi l

Volume 6 : Desember 2012 Group Tekni k Geologi ISBN : 978-979-127255-0-6
TG8 - 9

Gambar 4. Diagram Fasies Pengendapan Batubara (Fasies) di Daerah
Paluda (Conto PD101 dan PD102)


SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis maseral, umumnya batubara di daerah penelitian didominasi oleh maseralvitrinit
dengan persetase antara 42,8 88,4%. Maseralliptinit dijumpai dengan persentase antara 0,4 4,2% dan
inertinit 0,6 4,4%.
Rekonstruksi fasies pengendapan dengan bantuan diagram Diessel memberikan gambaran bahwa secara
umum lapisan batubara di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan terendapkan pada lingkungan marsh.
Batubara di daerah penelitian mengindikasikan bahwa karakteristik batubaranya kaya akan kandungan
sulfur dan mineral matter, sehingga akan ada kendala dalam pemanfaatannya.


UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan selesainya tulisan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Fakultas
Teknik Universitas Hasanuddin yang telah memberikan dukungan biaya dalam penelitian ini. Terima kasih
ditujukan juga kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (Tekmira) di
Bandung yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam pelaksanaan analisis batubara, serta Ibu Nining
SudiniNingrumMSc. yang telah membantu pelaksanaan analisis petrografi batubara.


DAFTAR PUSTAKA

Cook, A.,C., (Ed.), (1982), The Origin and Petrology of Organic Matterin Coals, Oil Shalesand Petroleum
Source Rocks, The University of Wollongong, Wollongong.
Diessel, C.,F.,K., (1986), On the Correlation between Coal Facies and Depositional Environments, Proceeding
of 20
th
Symposium of Department of Geology, UniversityNewcastle, NSW, pp. 19-22.
Horne, J.,C., (1978), Depositional Models in Coal Exploration and Mining Planning in Appalachian Region,
AAPG Buletin, USA, 62, 2379-2411.
Lamberson, M.,N., Bustin, R.,M., & Kalkreuth, W., (1991), Lithotype (Maceral) Composition and Variation as
Correlated with Paleowetland Environments, GatesFormations, Northeastern British Columbia, Canada,
International Journal of Coal Geology 18, 87-124.
Nuroniah, N., Rochman, T., Hanafiah, H., Mahfud, A., Kosasih, E., & Hernawati, T., (1995), Pengkajian
Karakterisasi Batubara Indonesia, Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jenderal
Pertambangan Umum, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral, Bandung.
0
1
10
100
0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50
Tissue Preservation Index (TPI)
G
e
l
i
f
i
c
a
t
i
o
n

I
n
d
e
x

(
G
I
)
PD101
PDD102
Limnic
Telmatic
Wet forest swamp
Marsh
Terrestrial
Fen
Dry f orest
swamp


Studi Fasi es Pengendapan Batubara Sri Wi dodo & Ri ni Anti ka
Arsi tektur Elektro Geologi Mesi n Perkapalan Si pi l

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Tekni k Geologi Volume 6 : Desember 2012
TG8 - 1 0
Stach, E., (1975). Coal Petrology, Second Completely Revised Edition, GebruderBorntraeger-Berlin-Stutgart,
121-132.
Styan, W.,B., & Bustin, R.M., (1983), Petrography of some Fraser Delta Peat Deposits: Coal Maceral and
Microlithoty Peprecursors Intemperate-Climatepeats. International Journal of Coal Geology, 2, 321-370.
Taylor, G.,H., Teichmuller, M., Davis, A., Diessel, C.,F.,K., Littke, R., & Robert, P., (1998), OrganicPetrology,
Gebruder Borntraeger, Berlin. 704 pp.
Ting, F.,T.,C., (1992), Origin and Spacing of Coalbeds, Journal of PressureVessel Technology, 99.
Widodo, S., (2008), Organic Petrology and Geochemistry of Miocene Coals from Kutai Basin, Mahakam
Delta, East Kalimantan, Indonensia: Genesis of Coal and Depositional Environment. Disertation, Johann
Wolfgang Goethe Universitaet, Frankfurt am Main, Germany.

Anda mungkin juga menyukai