Anda di halaman 1dari 13

1

Myasthenia gravis :
Lima hal baru

Rangkuman
Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang paling umum yang
mengenai/memengaruhi transmisi neuromuscular junction. MG ditandai dengan
kelemahan otot yang memburuk bersamaan dengan aktivitas dan naik turun
sepanjang hari. Keterlibatan perototan pernafasan dapat mengakibatkan krisis yang
mengancam jiwa yang mana memerlukan rawatan intensive care unit (ICU).
Pemeriksaan antibodi hasilnya positif pada sebagian besar pasien MG. Penanganan
MG termasuk terapi simptomatis jangka pendek, imunosupresi kronik, intervensi
bedah, dan terapi imunomodulator pada penyakit yang sudah berat atau yang sudah
krisis. Kami meninjau manfaat-manfaat pada 5 area yang berkaitan dengan
diagnosis and manajemen MG : peran imunoglobulin IV vs plasmafaresis pada krisis
myastenik dan sakit berat ; karakterisasi klinis pasien dengan antibodi-antibodi
terhadap reseptor muscle-specific tyrosine kinase ; terapi investigasional lama dan
baru ; manajemen MG pada kehamilan ; dan tes diagnostik pemastian yang baru.


Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang paling sering ditemui
dari neuromuscular junction dengan perkiraan prevalensi seluruh dunia antara 15 dan
179 per satu juta orang. MG menyebabkan kelemahan fluktuatif (naik turun) yang
memburuk dengan aktivitas dan seiring berjalannya waktu, dan kelemahan okular,
menyebabkan ptosis dan diplopia. Pada 15% pasien, kelemahan pernafasan yang
mengancam jiwa dapat terjadi, yang disebut krisis myastenik. Gejala-gejala okular
merupakan gejala yang paling sering hadir, dengan sekitar dua pertiga pasien
mengalami perkembangan menjadi penyakit general, biasanya dalam jangka 2 tahun
pertama. Diagnosis berdasarkan riwayat klinis dan pemeriksaan neurologis dan
2

dipastikan dengan pengujian elektrodiagnostik dan hadirnya autoantibodi-
autoantibodi serum yang mengarah pada protein-protein di neuromuscular junction.
Sebagian besar pasien dengan MG general (;85%) dan MG okular murni (;50%) akan
memiliki antibodi-antibodi yang menuju acetylcholine receptor (AChR) nikotinik otot
rangka. Tambahan 8%10% pasien dengan penyakit general, antibodi-antibodinya
menuju muscle-specific tyrosine kinase receptor (MuSK), sebuah enzim yang terlibat
dalam pengumpulan reseptor asetilkolin di celah/belahan sinaptik.







Sebagian besar pasien merespon dengan baik terhadap terapi imunosupresif,
termasuk prednisone dan imunosupresan seperti azathioprine, cyclosporine, dan
mycophenolate mofetil. Agen-agen penghambat kolinesterase menghilangkan
sementara gejala-gejala namun tidak mengubah arah jalannya penyakit. Sekitar 10% -
15% pasien akan terbukti mengidap thymoma pada CT Scan dada dan manfaat dari
thimektomi, namun peranan thymektomi pada MG non-thimoma masih dalam
penelitian. Pada pasien yang sedang mengalami krisis myastenik, dengan sakit yang
berat yang tidak respon terhadap terapi imunosupresif, atau bersiap-siap menjalani
thimektomi, plasmapheresis (PLEX) dan imunoglobulin intravena (IVIg) digunakan
untuk mencapai perbaikan yang cepat dan segera.
Pada ulasan ini, kami membahas 5 topik penting dalam diagnosis dan
manajemen MG: keefektifan relatif PLEX vs IVIg pada krisis myastenik atau
eksaserbasi penyakit ; karakterisasi fenotip pasien dengan antibodi-antibodi MuSK ;
terapi investigasional MG lama dan baru termasuk thimektomi dan rituximab;
manajemen MG pada kehamilan ; dan akhirnya, antibodi-antibodi yang baru
ditemukan dan peranannya di masa datang dalam diagnosis MG.
Berdasarkan bukti yang ada dan pengalaman pribadi kami, Ig intravena
(IVIg) dan PLEX sama efektifnya dalam menterapi MG berat atau
eksaserbasi MG, namun PLEX tampak lebih unggul dalam kondisi
krisis yang sebenarnya yang mana memerlukan bantuan ventilator.

3

Plasmaferesis vs IVIg
Mortalitas pada pasien dengan krisis MG atau eksaserbasi berat telah
berkurang dengan signifikan dalam beberapa dekade terakhir disebabkan dukungan
intensive care unit (ICU) dan penggunaan PLEX dan IVIg. Namun, hanya terdapat
sedikit informasi mengenai strategi terapi yang mana yang lebih baik. Terdapat 2
percobaan paralel prospektif yang memperbandingkan PLEX dengan IVIg. Kedua
pengujian menyimpulkan tidaklah ada perbedaan antara PLEX dan IVIg, dan kedua
terapi memperbaiki gejala dari sebelumnya, memenuhi target respon klinis yang
dituju sebelumnya pada 55%65% partisipan. Sebuah penelitian menemukan sebuah
tren pada memendeknya waktu untuk membaiknya gejala dengan PLEX vs IVIg,
namun lebih sedikit kejadian efek sampingnya dengan penggunaan IVIg.
Keterbatasan-keterbatasan penelitian termasuk kriteria penyertaan (dalam penelitian)
yang berbeda, pendosisan rejimen yang berbeda pada IVIg (0.4 g/kg selama 3 atau 5
hari, atau 1 g/kg selama 2 hari), dan definisi-definisi respon (skor MG kuantitatif vs
skor otot myastenik). Pedoman konsensus yang baru direvisi untuk penaksiran
prognosis pada uji-uji klinis yang akan datang dapat membantu dalam interpretasi
studi silang pada uji-uji MG. Sebuah rangkaian kasus retrospektif pada pasien-pasien
yang dalam keadaan krisis MG akut (didefinisikan sebagai kelemahan pernafasan dan
forced vital capacity 1,0 L) menemukan bahwa pada pasien yang sedang
menggunakan ventilator pada randomisasi terdapat sebuah frekuensi ekstubasi yang
lebih tinggi pada pasien yang mendapat PLEX dibanding dengan IVIg pada 2
minggu, yang mana berkorespondensi dengan keparahan klinis yang membaik pada 1
minggu. Namun, mereka tidak mampu menyimpulkan apakah ini mewakili waktu
yang lebih singkat yang diperlukan untuk merespon PLEX atau manfaat nyata PLEX
dibanding IVIg pada krisis myastenik.
American Academy of Neurology (AAN) menerbitkan pedoman untuk
penggunaan IVIg pada terapi gangguan neuromuskular, dan merekomendasikan
bahwa IVIg harus dipertimbangkan dalam terapi MG (level B). Yang lebih
kontroversial, pedoman konsensus dalam penggunaan PLEX pada penyakit
4

neurologis yang dipublikasikan oleh AAN pada tahun 2011 menyatakan bahwa masih
kurang bukti dalam penggunaan PLEX pada krisis MG akut, disebabkan kurangnya
uji-uji kontrol plasebo yang terandomisasi. Namun, banyak spesialis neuromuskular
yang tidak setuju dengan asesmen ini, which led to an editorial in response to the
guidelines. Editorial menguraikan sejumlah poin mengenai apa yang kita anggap
sebagai poin perhatian khusus : bukti-bukti yang kurang dapat disalahartikan sebagai
sebuah rekomendasi negatif; randomized controlled trials may not be feasible in
rare diseases; dan sebuah percobaan dengan sebuah kelompok plasebo mungkin tidak
dipandang sebagai sesuatu yang etis untuk sebuah terapi yang diterima secara luas
sebagai sebuah standar penanganan.
Berdasarkan pada bukti yang ada dan pengalaman pribadi kami, IVIg dan
PLEX sama efektifnya dalam terapi MG berat atau eksaserbasi MG, namun PLEX
tampak lebih unggul dalam krisis sebenarnya yang memerlukan dukungan ventilator.
IVIg mudah diberikan dan umumnya dapat ditoleransi dengan baik, namun bisa saja
diperlukan lebih lama untuk mencapai efek klinis yang berarti dibandingkan PLEX.
PLEX umumnya perlu 10 hari terapi jika pengobatan diberikan setiap selang satu
hari, dan PLEX tidak tersedia secara luas. Akhirnya, sebuah analisis biaya-manfaat
IVIg vs PLEX menyimpulkan bahwa IVIg ada kaitannya dengan biaya rumah sakit
yang lebih rendah dan komplikasi yang lebih sedikit ; namun, keparahan penyakit
pada awal terapi tidak tercantum dalam analisis mereka. Memungkinkan bahwa
pasien-pasien yang mendapat PLEX lebih parah terkena, sehingga mengakibatkan
rawatan yang lebih lama di ICU dan meningkatnya biaya.


Fenotip MuSK
Antibodi-antibodi terhadap MuSK menyumbang sekitar 40% pasien negatif-
AChR dengan MG. MuSK berperan penting dalam clustering/pengumpulan AChR di
neuromuscular junction postsinaptik. Banyak rangkaian kasus mulai menguraikan /
menerangkan gambaran-gambaran klinis kunci, dan perbedaan-perbedaan penting
5

sebagai jawaban atas terapi pada pasien dengan MuSK vs pasien dengan MG general
lainnya. Satu dari perbedaan yang mencolok adalah dominasi pasien wanita dengan
MuSK, berkisar antara dari 78% hingga 100% wanita. Tiga pola klinis yang relatif
berbeda mengemuka : kelemahan okulofaringeal, dengan lidah yang kadang
membesar (profound tongue) dan atrofi wajah ; leher, bahu, dan kelemahan
pernafasan tanpa kelemahan okular ; dan sebuah fenotip yang tidak dapat dibedakan
dari MG positif-AChR. Sebuah rangkaian pengamatan pada 53 pasien positif-MuSK
yang membentuk 9 pusat neuromuskular US, ditemukan kelemahan wajah dan bulbar
pada 96%, kelemahan leher pada 92%, lemah tungkai pada 81%, kelemahan okular
pada 72%, dan sulit nafas pada 60% pasien. Tingginya prevalensi keterlibatan
pernafasan penting untuk dipikirkan ketika mempertimbangkan diagnosis dan pilihan
terapetik. Tidak seperti MG positif-AChR general, mayoritas rangkaian kasus
melaporkan respon yang buruk terhadap obat-obatan inhibitor kolinesterase pada
pasien positif-MuSK, dan respon terhadap thimektomi pada pasien jenis ini berkisar
dari tanpa respon hingga 50%. Banyak pasien memerlukan PLEX untuk stabilisasi,
dan sebuah rangkaian kasus menemukan 98% pada 2 atau lebih bentuk imunoterapi.
Meski demikian, prognosis jangka panjang masih cukup bagus, dengan sekitar tiga
perempat pasien akhirnya mencapai kesembuhan farmakologis, klinis, atau
manifestasi minimal.
MG positif-antibodi-MuSK harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding
pada pasien dengan gagal nafas restriktif tak terjelaskan, atau pada pasien-pasien ICU
yang diventilasi mekanis yang tidak dapat diekstubasi dengan tanpa etiologi jelas
yang mendasari.

Strategi-strategi terapi baru (dan lama)
Thimektomi. Thimektomi pertama untuk MG berthimoma terjadi lebih dari
70 tahun lalu. Sementara thimektomi dianggap sebagai terapi standar untuk 10%
20% kasus MG dengan thimoma, peranan thimektomi pada MG non-thimoma masih
belum jelas, dan secara umum tidak dianggap cocok untuk MG okuler murni. AAN
6

mempublikasikan pedoman pada tahun 2000 mengenai peranan thimektomi pada
MG, dan menyimpulkan bahwa thimektomi adalah sebuah pilihan untuk terapi MG.
Mereka mendasarkan rekomendasi ini pada sebuah keterkaitan yang tampaknya
menunjukkan prognosis yang lebih baik pada pasien yang mendapat thimektomi pada
rangkaian 28 kasus antara 1953 dan 1998: dengan menggunakan tingkat respon
median, pasien yang menjalani thimektomi 2,0 kali lebih cenderung mencapai
kesembuhan tanpa obat-obatan, 1,6 kali lebih cenderung asimptomatis, dan 1,7 kai
lebih cenderung untuk membaik. Manfaat yang didapat sedang-sedang saja dan
tampaknya paling nyata/jelas pada kasus MG sedang dan berat. Keterbatasan-
keterbatasan yang ada termasuk perbedaan dalam karakteristik-karakteristik dasar
antara pasien yang mendapat pembedahan dan manajemen obat-obatan saja,
kurangnya blinding, dan metode assessmen yang berbeda.
Thorakotomi yang dipandu video non-invasif, thoratransservikal, dan
transsternal secara rutin dilakukan. Perbandingan pada teknik-teknik tersebut sangat
retrospektif. Umumnya, manfaat teknik-teknik yang kurang invasif dengan waktu
pemulihan yang lebih singkat perlu ditekankan dibanding kemampuan untuk
memperoleh reseksi maksimal jaringan. Tingkat respon jangka panjang (> 5 tahun)
pada pendekatan teknik-teknik invasif minimal 40% dalam kesembuhan simptomatis
total, dengan tingkat morbiditas terkait prosedur (;20%) dibandingkan dengan teknik-
teknik yang lebih invasif. Sebuah meta-analisis yang membandingkan VATS dengan
sternotomi median pada 6 penelitian MG non-thimoma, ditemukan fakta
berkurangnya durasi rawat inap dengan menggunakan VATS, berkurangnya tingkat
kehilangan darah, dan massa yang serupa dari reseksi jaringan thymoma. Memang,
teknik-teknik invasif minimal makin direkomendasikan oleh ahli-ahli bedah, dan
akan menjadi sebuah pilihan yang umum disodorkan kepada pasien.
Bagi klinisi yang mencoba untuk memutuskan peranan thimektomi vs terapi
obat yang terbaik untuk MG, sebuah percobaan internasional yang disponsori NIH-
yang sedang berlangsung mengenai thimektomi pada MG non-thimoma saat ini
hampir rampung dan diharapkan akan menjawab pertanyaan penting ini.
7

Rituximab. Arus utama terapi imunosupresif untuk MG adalah prednisone.
Selain itu, banyak obat-obatan imunosupresif padanan steroid (misal, azathioprine
atau cyclosporine) telah terbukti efektif. Meski demikian, sejumlah pasien dengan
MG masih tetap resisten terhadap terapi.

Tabel 1. Rituximab pada MG : Rangkaian kasus yang dirangkum dalam ulasan
ini
Penelitian Pasien Tingkat
respon
Pendosisan
rejimen
Kejadian
sampingan
15 11 AChR, 3
MuSK
(non-
responsif atau
kontraindikasi
terhadap
terapi IS)
11 pasien
menunjukkan
perbaikan
dengan
MGFA Clinical
Research
Standards
(3 pasien
MuSK
mencapai
kesembuhan
klinis)
1 g infus, tidak
tergantung berat
badan, pada 2
dosis yang
terbagi, dengan
rentang 2
minggu
2 kejadian efek
samping yang
segera terjadi
(gejala mirip flu,
sensasi hangat,
hipertensi),
1 perubahan
pada rasa cecap
manis, 1
reaktivasi herpes
zoster oral
17 6 AChR, 8
MuSK
(non-
responsif,
tidak dapat
direndahkan
lagi dosis
terapinya
tanpa
mengalami
kekambuhan,
atau
kontraindikasi
terhadap
13 pasien yang
sedang
mendapat
Kortikosteroid
menunjukkan
berkurangnya
dosis yang
digunakan (8
benar-benar
berhenti
mendapat
prednisone
setelah 3
siklus); 11/12
375 mg/m2 (X 4
infus, jarak 1
minggu), siklus
diulang dalam 6
bulan, hingga 4
siklus
Dari 132 catatan
penginfusan
Yang tersedia : 6
reaksi selama
penginfusan
(pruritus,
kemerahan,
dyspnea,
menggigil/rigors,
sensasi panas); 1
pasien dengan
menggigil/rigors
dalam 2
penginfusan
8

terapi IS) pasien yang
mendapat
PLEX sebelum
bebas PLEX 12
bulan pada
12 bulan;
perbaikan klinis
dengan chart
review pada 11
pasien
berturut-turut
16 11 AChR, 6
MuSK
(resistan
terhadap
terapi
sebelumnya,
prednisone,
Dan
sekurangnya
3 IS lini
kedua ,
MGFA kelas
III hingga V)
16 pasien
mengalami
perbaikan pada
mean 31 bulan
follow-up
dengan MGFA
Clinical
Research
Standards
(termasuk 6
pasien MuSK
yang masih
mengalami
manifestasi
atau
kesembuhan
ringan)
375 mg/m2 (x4
penginfusan,
selang 1 minggu,
lalu bulanan
x2 bulan)
2 pasien
mengalami
kemerahan
wajah dan ruam
kulit general
Yang mana
merespon
terhadap
hidrokortison
parenteral

Singkatan : AChR = acetylcholine receptor antibody positive ; IS = imunosupresif ; MG =
myasthenia gravis ; MGFA = Myasthenia Gravis Foundation of America ; MuSK = muscle
specific tyrosine kinase receptor antibody positive; PLEX = plasmaferesis.



Rituximab adalah sebuah antibodi monoklonal terhadap CD20, yang berakibat
pada pelemhan/pengurangan B-limfosit, yang terbukti efektif pada gangguan-
gangguan autoimun (yang diperantarai antibodi) lainnya. Sejumlah rangkaian kasus
9

retrospektif telah menguji penggunaan rituximab pada terapi pasien-pasien myastenik
yang membandel (tabel). Tingkat respon yang berkisar antara 78% dan 100% pada
perbaikan klinis telah dilaporkan selama jangka waktu yang biasanya > 6 bulan,
sering dengan siklus terapi yang berulang ; selain itu, terdapat laporan penurunan
serentak dosis kortikosteroid atau imunosupresif. Tingkat respon serupa terlihat pada
MG membandel non-terapi. Tingkat komplikasi beragam diantara penelitian yang
ada, dengan efek samping yang paling umum secara langsung berkaitan dengan infus
(kemerahan, pruritus, menggigil, atau kekakuan). Respon dramatis terlihat pada
pasien positif MuSK, dengan perbaikan terlihat pada hampir semua pasien. Efek pada
kadar-kadar antibodi yang bersirkulasi tidak konsisten, namun tampaknya ada sebuah
tren menuju pengurangan langsung pada kadar antibodi setelah pemberian infus.
Sebuah penelitian mencatat perbaikan klinis yang mana berkaitan dengan
melemahnya / berkurangnya B-cell, dan perburukan gejala yang berkaitan dengan
pemulihan B-cell, membuatnya menjadi indikator yang memungkinkan dalam
kebutuhan infus ulang. Interpretasi yang merumitkan pada rangkaian kasus adalah
regimen yang beragam untuk infus rituximabsejumlah penelitian menggunakan
pendosisan per meter persegi area tubuh, lainnya dengan menggunakan dosis tetap
dan jumlah berbeda siklus infus ulang, dengan membedakan periode waktu antara
penginfusan. Sebuah percobaan kontrol acak multicenter pada rituximab untuk MG
sedang direncanakan.

Myasthenia gravis dan kehamilan
MG menimbulkan tantangan tersendiri dalam manajemen pada wanita selama
kehamilan. Sekitar sepertiga wanita akan mengalami eksaserbasi gejala, paling sering
pada trimester pertama atau postpartum. Eksaserbasi berat yang terjadi tiba-tiba dan
sesekali, termasuk insufisiensi pernafasan, dapat terjadi pada minggu-minggu
pertama puerperium; oleh karena itu, direkomendasikan pemantauan yang lebih ketat
selama saat-saat ini. Menariknya, perbaikan gejala MG atau bahkan kesembuhan total
10

dapat terjadi pada sejumlah wanita di trimester ke dua atau ke tiga, diduga terkait
dengan imunosupresi fisiologis yang terjadi selama fase-fase gestasi tersebut.
Insidensi aborsi spontan tampaknya tidak meningkat pada wanita yang
menderita MG, meskipun sejumlah penelitian melaporkan peningkatan frekuensi
ruptur membran yang prematur. Sebuah penelitian yang memeriksa prognosis
kehamilan yang kurang baik pada 163 wanita dengan MG antara 2001 dan 2003 di
Taiwan, ditemukan tidak terdapat peningkatan signifikan pada prognosis kehamilan
yang kurang baik pada MG, meskipun terdapat tren berat lahir endah, bayi kecil, dan
persalinan cesar.
Terapi untuk MG selama kehamilan harus dikhususkan per individu
berdasarkan keparahan kelemahan yang mendasari. Untuk penyakit yang ringan,
inhibitor kolinesterase simptomatis dapat digunakan secara tunggal tanpa bersama
obat lain, yang pada dosis terapetik biasa (< 600 mg/hari) aman untuk janin.
Penggunaan kortikosteroid memiliki sedikit resiko jika ada resiko teratogenik
terhadap janin dan dpat dilanjutkan pada wanita hamil yang memerlukan
imunosupresi. Agen-agen imunosupresif yang lain jangan digunakan ; terutama,
mikofenolate hrus dihindari pada wanita usia subur yang merencanakan untuk punya
anak dikarenakan resiko teratogeniknya, dan resiko aborsi spontan. Namun,
imunosupresan steroid-sparing/setara steroid yang paling sering digunakan pada MG,
azathioprine, dilaporkan aman pada kehamilan pada penyakit-penyakit dalam
kehamilan pada penyakit-penyakit autoimun lainnya dan sebuah database
transplantasi yang besar. Jika diperlukan, IVIg dan PLEX umumnya aman digunakan
untuk menangani perburukan gejala yang parah. Thimektomi harus dipertimbangkan
sebelum merencanakan kehamilan.

Pengujian antibodi baru
Pengujian antibodi pada AChR dan MuSK dapat dipastikan pada MG; meski
demikian, sekitar 10% pasien tetap akan negatif-antibodi. Sebuah protein yang baru
ditemukan memainkan peranan dalam pensinyalan retrograde dari otot ke terminal
11

saraf presinaptik menimbulkan banyak perhatian, seperti antibodi-antibodi terhadap
protein ini, yaitu lipoprotein receptorrelated protein 4 (Lrp4) densitas rendah,
diyakini akan ditemukan di sebuah bagian dari pasien double-seronegatif dengan MG
(negatif pada antibodi AChR dan MuSK). Lrp4 dibutuhkan untuk aktivasi MuSK
yang diinduksi agrin dan diduga menginduksi pengumpulan synaptic-vesicle dan
protein-protein zona aktif di neuromuscular junction. Antibodi-antibodi terhadap
Lrp4 pertama diidentifikasi pada 2011, dan 3%50% pasien double-seronegatif yang
memenuhi kriteria diagnostik untuk MG telah terbukti mempunyai antibodi Lrp4
yang dapat terdeteksi. Selain pada pasien dengan MG double-seronegatif, antibodi
Lrp4 dapat dideteksi pada pasien positif-MuSK frekuensi rendah dan jarang pada
pasien dengan penyakit neurologis lainnya (termasuk pasien dengan neuromyelitis
optika), namun belum ditemukan pada pasien positif-AChR atau anggota kelompok
kontrol yang sehat. Selain itu, sebuah bagian sera dari pasien positif-antibodi Lrp4
mengganggu interaksi agrin-Lrp4 dan menghambat agregasi AChR agrin-induced di
kultur myotub, menunjukkan sebuah kemungkinan peran patogenik pada antibodi.
Memang, istilah seronegatif mungkin saja sebuah istilah yang kurang tepat
pada MG, sebuah penyakit dimana tampaknya seems increasingly likely that patients
dengan uji antibodi negatif dapat serta merta menggambarkan ketidakmampuan kami
untuk menguji antibodi yang pas. Yang mendukung ini adalah 2 penelitian yang
menguji sera pasien terhadap AChRs yang berkumpul dan menemukan yang disebut
antibodi-antibodi AChR yang berkumpul (clustered AChR antibodies) pada 60%
pasien dengan MG general yang sebelumnya seronegatif, dan 50% MG okular
seronegatif. Mereka mampu menunjukkan bahwa mentransfer antibodi-antibodi IgG1
ini ke mencit mereduksi potensial-potensial endplate miniatur ke sesuatu yang lebih
serupa dengan antibodi-antibodi AChR.
Pengujian antibodi-antibodi AChR dan MuSK masih arus utama pengujian
diagnostik pada MG dan mendeteksi antibodi-antibodi pada sekitar 90% pasien
dengan MG general, pengujian Lrp4 atau antibodi-antibodi AChR yang berkumpul
12

dapat meningkatkan sensitivitas pengujian antibodi MG hingga 95% di masa
mendatang.

PEMBAHASAN
Perkembangan dalam pengetahuan kami serta terapi MG telah mengubah
penyakit yang melemahkan ini menjadi salah satu dari penyakit gangguan
neuromuskular yang paling bisa diobati. Mayoritas pasien dapat mencapai
kesembuhan gejala dengan obat-obatan imunosupresif dan inhibitor kolinesterase.
Terapi-terapi imunomodulator semacam PLEX dan IVIg telah menurunkan tingkat
morbiditas dan mortalitas selama krisis myastenik, berkurangnya waktu yang
dibutuhkan dalam hal pemakaian ventilator dan lamanya rawat inap. Peranan
thimektomi masih dalam pembuktian, namun merupakan sebuah terapi lini pertama
untuk pasien dengan MG terkait thimoma, dan dapat menjadi sebuah pilihan bagus
untuk MG non-thimoma. Obat-obatan investigational baru seperti rituximab
menjanjikan untuk terapi penyakit yang membandel di masa mendatang. Seperti
pemahaman kami mengenai keuntungan neuromuscular junction, begitu juga pilihan
target rasional kami pada terapi dan pengujian diagnostik, membuat MG salah satu
yang paling dipahami dan gangguan-gangguan neuromuskular autoimun yang dapat
diobati.


Myasthenia gravis : Lima hal baru
- IVIg atau plasmaferesis dapat digunakan pada penyakit berat dan eksaserbasi,
namun PLEX kemungkinan lebih baik pada krisis myastenik nyata.
Plasmaferesis dapat menghasilkan respon yang lebih cepat, namun IVIg lebih
murah dan mungkin memiiki komplikasi yang lebih sedikit.
13

- Pasien dengan antibodi-antibodi MuSK lebih sering adalah wanita, dan dapat
memiliki pola klinis yang berbeda akan penyakitnya termasuk sebuah pola
okulofaringeal dan leher, bahu, dan pola kelemahan pernafasan.
- Rangkaian kasus menyatakan thimektomi bermanfaat pada MG non-thimoma,
dan yang lebih baru, teknik-teknik yang kurang invasif menunjukkan
keefektifan yang dapar diperbandingkan, dengan durasi rawat inap yang lebih
singkat. Rituximab dapat memberi manfaat pada pasien dengan MG yang
resisten terhadap terapi imunosupresif dan pasien dengan antibodi-antobodi
MuSK.
- Peningkatan gejala MG dapat terlihat pada kehamilan, namun dengan
manajemen multidisiplin yang tepat, kehamilan secara umum tidak terkait
dengan prognosis kehamilan yang buruk.
- Meningkatnya kemampuan kami untuk mendeteksi antibodi-antibodi target
baru terhadap protein-protein di neuromuscular junction, menurunnya jumlah
pasien yang masih seronegatif, dan sensitivitas pengujian antibodi
meningkat hingga ;95%.

Anda mungkin juga menyukai