Anda di halaman 1dari 4

Polemik Kuasa Ugal-Ugalan

Oleh: Hengky Sulaksono*


Publik Indonesia kini tengah harap-harap cemas menunggu bingkisan rutin lima
tahunan yang diamanatkan konstitusi. Di tengah-tengah iklim sosial yang gersang,
hadiah ini menjadi satu-satunya harapan publik yang terkekang dahaga. Dalam proyek
bagi-bagi hadiah ini, demokrasi menjadi instrumen vital yang menopang kehadiran
hadiah musiman tersebut.
Demokrasi menjadi perkakas yang dikehendaki undang-undang untuk memperbaiki
keadaan bangsa. Namun tak selamanya prinsip-yang berasaskan kuasa rakyat-ini
mampu menanggung beban yang diamanatkan tuannya. Indonesia menginginkan
perubahan yang instan. Tapi rakyat terkesan malas berpikir keras untuk mencari
alternatif berekspresi selain di balik bilik suara, itupun cuma lima tahunan sekali. Di sisi
lain para pemangku kebijakan bertingkah sebaliknya, mereka terlalu sibuk mencari cara
untuk berburu demos (kekuasaan) yang tahan banting, semantara kratos (rakyat)
dininabobokan lewat pesta pora lima tahunan sekali.
Hal ini tentunya menjadi sangat genting jika dibiarkan terus berlarut-larut. Demokrasi
bukanlah tujuan umum bangsa Indonesia yang diamanatkan konstitusi. Rakyat dan
pemerintah-lah yang harus saling bahu-membahu memperbaiki keadaan bangsa. Untuk
itulah konstitusi mengkehendaki kehadiran instrumen-instrumen politik yang mampu
mengakomodasi (mayoritas) suara rakyat, kecuali golongan kiri (komunis) dan anarkis.
Dalam konteks pemilu 2014 ini, suara rakyat terkooptasi kepada dua golongan dominan
yang tengah meretas jalan menuju kekuasaan: nasionalis dan agamis (Islam).
Golongan yang terakhir disebut bahkan tengah gencar berkoalisi untuk memperkuat
relasi dan mempertegas posisi strategis kepentingan politknya. Lewat koalisi poros
tengah parpol Islam kini saling bersinergi untuk memperkuat diri. Tujuannya? Tak bisa
dinafikan lagi segalanya mengarah pada kekuasaan politik.
Tidak ada yang salah memang ketika parpol Islam ikut terlibat dalam perburuan kuasa
tersebut. Prinsip demokrasi dan Islam tidak mengharamkan hal itu. Namun seperti
halnya demokrasi, kekuasaan bukanlah tujuan akhir dari serangkaian kerja politik yang
amat menguras duit, keringat, bahkan martabat. Mungkin sebagian besar dari kita telah
me(lupa)kan alasan mengapa para pendahulu kita sangat ngotot ingin melepaskan diri
dari penjajahan bangsa luar. Tak perlu kiranya kita kembali ke masa Sekolah Dasar
untuk mengikuti mata pelajaran PPKn atau menjadi peserta upacara bendera tiap Senin
pagi. Cita-cita Indonesia yang sekaligus menjadi tugas kita adalah melindungi seluruh
elemen bangsa; kesejahteraan umum; keadilan sosial; serta perdamaian dunia.
Reformasi Nilai-Nilai Politik
Kekuasaan hampir tidak mungkin lepas dari unsur ekonomi politik yang menjadi basis
penopangnya, setidaknya itulah yang dikatakan Foucault. Konsekuensi logis dari hal
tersebut adalah timbulnya quo vadis kuasa rakyat dalam dinamika politik Indonesia.
Selain modal, unsur politik massa juga banyak dimanfaatkan oleh berbagai elit politik
untuk meretas jalan menuju kekuasaan, termasuk para elitis parpol Islam. Parpol Islam
seharusnya tidak sebatas menghadirkan variasi warna bagi demokrasi Indonesia.
Idealnya, mereka (parpol Islam) mampu merekonstruksi nilai-nilai luhur demokrasi
yang juga diinisiasi Islam, serta melaksanakan titah rakyat sebagai amanat kekuasaan.
Semangat emansipatoris harus menjadi ruh kekuatan politik Islam, laiknya Nabi S.A.W
yang tidak sekedar membenamkan ajaran kuasa Tuhan di jazirah Arab. Muhammad
adalah seorang politisi sejati yang tidak hanya mampu menggugurkan takhayul kuasa
jahili dalam genealogi politik Arab, ia juga mampu merekonstruksi dan menanamkan
nilai-nilai lima dasar ideologis-yang diadopsi-Indonesia sekaligus: ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, serta keadilan sosial. Untuk mencapai hal tersebut,
sang reformis tidak pernah lupa bahwa seluruh kerja politiknya didedikasikan untuk
pembebasan umat.
Bagi Muhammad, kekuasaan hadir beriringan dengan tanggung jawab. Berbeda dengan
corak politik Islam yang tendensius, Kemal Attaturk dengan Turki Utsmani, atau
Daulah Bani Abassiyah contohnya. Laiknya kolonialisme modern, politik ekspansif
yang mereka usung menitikberatkan faktor kekuasaan sebagai unsur pokok rezim yang
digawanginya. Akibatnya dinasti hancur lebur serta mewariskan kesengsaraan bagi
rakyat, pun cacat dalam wacana sejarah kemanusiaan.
Selain itu, pola yang mengedepankan kekuasaan akan sangat membahayakan bagi
karakter politik bangsa. Publik dipaksa manggut-manggut terhadap realitas politik yang
tak kunjung mereka pahami. Tak banyak awam yang mafhum ihwal esensi politik bagi
bumi pertiwi. Publik lebih hapal tentang produk politik ugal-ugalan yang semakin
masif. Politik kian identik dengan duit dan korupsi. Hal ini merupakan suatu indikator
kegagalan bagi pendidikan politik bangsa. Pola politik yang berorientasi kekuasaan
adalah sesuatu yang monoton bagi publik. Tak salah jika kemudian publik membentuk
paradigma baru tentang dinamika politik tanah air: logika politik tidak bisa dipahami
akal sehat, dengan kata lain, politik adalah suatu entitas yang mengakomodasi kegilaan.
Jika merunut pada pribadi Muhammad, tak ada yang salah dengan kegilaan.
Muhammad adalah orang gila tulen yang menggunakan akal sehatnya untuk
mengobok-obok kuasa rezim jahili yang bengis. Pluralitas narasi sejarah tak
menghalangi kepribadian Rasulullah untuk mengisi bagian terpenting dalam sejarah
kemanusiaan. Karena itulah Muhammad menjadi sosok yang sangat layak untuk
dicontoh semua kalangan, terkhusus yang mengaku Islam. Perangainya yang penuh
kepedulian sangat menginspirasi dalam segala konteks kehidupan, tak terkecuali
kehidupan politik.
Dalam kiprah politiknya, Muhammad berhasil menanamkan kebijakan-kebijakan
manusiawi yang dianggap bertentangan dengan tradisi Quraisy waktu itu. Ia tercatat
sebagai seorang reformis sejati yang mampu mempreteli kedzaliman para pemuka suku
Quraisy. Ajaran politiknya secara implisit mengarahkan kita pada nilai-nilai luhur yang
tertanam dalam kebijaksanaan beliau. Kekuasaan baginya tak layak untuk dipertukarkan
dengan emansipasi kemanusiaan, beliau adalah pemimpin yang penuh pengorbanan.
Kekuasaan adalah alat, sementara tujuannya adalah rakyat, seperti itulah konsep luhur
demos dan kratos Mungkin terlampau sulit untuk membuntuti sosok Muhammad, tapi
setidaknya kita teramat mampu untuk tidak lupa bahwa segala kerja politik yang
dilakoni idealnya bermuara pada pembebasan umat manusia dari kerangkeng rezim
yang dzalim.

*penulis adalah mahasiswa ilmu komunikasi, aktif di LPIK dan LPM Suaka. Tidak suka
banyak bicara karena hanya punya satu mulut, lebih suka mendengar dengan dua
telinga, mengamati dengan sepasang bola mata dan menulis dengan seperangkat tangan.

Anda mungkin juga menyukai