Anda di halaman 1dari 3

BAB VII Berkenalan dengan Epistemologi Islam

Tema bab ini tentang rekonstruksi Nalar arab al Jabiri tentang tipologi epistemology islam,
yaitu bayani, irfani dan burhani. Pembicaraan tentang islam didalamnya adalah suatu
keniscayaan. Karena islam sebagai bagian dari tradisi arab dan keduanya saling mempengaruhi.
A. Epistemologi Bayani
Dalam bahasa arab maknanya adalah penjelasan, menyingkap dan menjelaskan
sesuatu. Dengan berdasar pada lisanul arab, secara etimologi Al jabiri menjelaskan
bahwa bayani secara metode berarti al fasl wa al infishal dan secara visi berarti al
dzhuhur wal idzhar. Sedangkan secara terminologi kajian bayani terbagi menjadi dua
yaitu aturan-aturan penafsiran wacana dan syarat-syarat memproduksi wacana.
Menurut al jabiri peletak pertama aturan penafsiran wacana adalah Imam
Syafii. selanjutnya Al jahidz menambah syarat adanya keharmonisan lafadz dan makna
karena dia melihatnya dari sisi pedagogik. Perkembangan selanjutnya oleh Ibnu Wahb
ditambahkan dengan merumuskan dari sisi tingkat kepastian dan penunjukannya, yaitu
ada 4 tingkatan, yaitu penjelasan seseatu dengan menunjuk pada materi pernyataan,
pemahaman dalam batin, redaksi lisan dan redaksi tertulis.
Sumber pengetahuan bayani adalah teks (tekstualisme) yang terepresentasi
dalam disipllin ilmu fikih, kalam, teologi, nahwu dan balaghah. Adapun sarana yang
dipakai dalam tekstualisme adalah kaidah-kaidah bahasa arab, dan metode berikutnya
adalah dengan memperhatikan proses transmisi teks (yang berupa nash) dari generasi
ke generasi guna menjaga validitas pengetahuannya. Karena tolok ukur kebenaran
dalam burhani adalah kedekatan antara teks dan realitas.
Teks menjadi rujukan utama dalam bayani, maka akal harus dikerahkan untuk
memperoleh pemahaman dan pemahaman terhadap teks. Metode pengerahan akal ini
disebut ijtihad, dalam fiqih disebut qiyas dan istinbath, sedangkan dalam kalam disebut
dengan istidlal, dan ini juga berlaku dalam balaghah dan nahwu. Tradisi epistemology ini
menggunakan beberapa kerangka teori sebagai media analisis, yaitu lafadz dan makna,
Ushul dan furu dan argumen tentang jauhar (substansi) dan ardh (aksiden).
Dalam lafadz dan makna ada 2 aspek, yaitu aspek teoretis dan praktis. Tataran
teoretis berkisar pada pembahasan masalah bahasa, yang terjadi perbedaan pendapat
antara mutazilah dan asyariyah, sehingga lahir ilmu nahwu dan ilmu kalam. Sedangkan
dalam aspek teoretis berkaitan dengan penafsiran khitab syara yang lebih banyak
dikembangkan oleh ulama ushul fiqh.
Dalam pembahasan ushul dan furu ada 2 pembahasan yaitu tentang otoritas
tradisionalis dalam kaitannya dengan sunah, darinya lahir ilmu hadits yang menunjukkan
otoritas salaf dalam menentukan keabsahan proses transmisi nash yang menjadi sumber
pengetahuan bayani. Kedua, problem qiyas bayani, pembahasannya berkisar pada
penerapan qiyas dalam berbagai bidang ilmu, yang kelihatannya sama, namun memiliki
perbedaan yang signifikan.
Selanjutnya dalam pembahasan problem substansi dan aksidensi lebih mengacu
kepada pergumulan pendapat ulama kalam yang keberadaanya dipengaruhi filsafat
yunani, yaitu ketika memperbincangkan masalah ilmu Allah yang dikatakan meliputi
segala sesuatu. Dari kata sesuatu inilah muncul pembahasan substansi dan aksidensi.
Darinya muncul pembahasan hubungan antara akal dan wujud serta hubungan antara
subjek dan objek.

B. Epistemologi Irfani
Irfani dalam bahasa arab adalah masdar dari arafa, ia semakna dengan makrifat
yang berhubungan dengan pengalaman atau pengetahuan langsung dengan objek
pengetahuan. Ia sudah ada di yunani dan Persia jauh sebelum adanya teks keagamaan.
Dalam islam ia mulai berkembang pada abad 3 dan 4 H.
Bagi kalangan irfaniyun pengetahuan didapat melalui pengalaman langsung,
sehingga pengalaman adalah sumber pokok pengetahuan irfani. Pendekatan yang
digunakan adalah psikognosis, intuisi, ilham, qalb, dlamir dan semacamnya. Dan metode
yang digunakan adalah al dzauqiyah, al riyadhah, al mujahadah, al israqiyah, al
laduniyah atau penghayatan batin. Oleh karena itu, pengetahuan yang didapat
menggunakan kesadaran intuitif dan spiritual, bukan dengan rasio.
Dalam irfani terdapat konsep dhahir dan bathin. Bathin adalah sumber
pengetahuan karena ia adalah hakekat. Sementara dhahir teks adalah pelindung dan
penyinar. Yang dhahir adalah turunnya (tanzil) wahyu atau kitab suci kepada Nabi,
sedangkan bathinnya adalah turunnya pemahaman (fahm) dari Tuhan kepada hati umat
islam yaitu irfaniyun.
Dalam penggalian ilmu, itibar bathini atau kasyf atau qiyas irfani digunakan
untuk menjembatani antara yang dhahir dan bathin. Qiyas irfani lebih memperhatikan
kecenderungan hati yang berdasarkan keserupaan hubungan, bukan hubungan
keserupaan. Epistemology irfani lebih menekankan corak spiritual daripada lahiriyah.
Sehingga validitas kebenarannya adalah dengan sikap empati, simpati, toleran, pluralis
dan universal reciprocity. Sehingga terjalin hubungan intersubjektif antara subjek dan
objek.
C. Epistemologi Burhani
Burhani dalam bahasa arab berarti argumen yang jelas. Dan secara umum
adalah aktifitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis. Epistemology ini lebih
bersandar kepada kekuatan indra, pengalaman dan akal didalam mencari pengetahuan.
Sumber pengetahuan burhani adalah realitas yang didapat melalui proses abstraksi
rasional yang kemudian muncul makna yang diungkapkan dengan kata-kata sebagai
symbol dari makna. Proses tersebut terangkum dalam 3 tingkatan; yaitu ekperimentasi
realitas, abstraksi dan ekspresi.
Terkait dengan proses ketiga, metode yang digunakan adalah silogisme
demonstrative atau qiyas burhani. Dalam silogisme ini premis-premisnya terbentuk dari
konsep yang benar, meyakinkan sesuai dengan realitas dan akal. Epistemology ini
terepresentasi dalam filsafat, ilmu alam dan sosial. Dan tolak ukur validitas
kebenarannya adalah adanya korespondensi (saling berhubungan) antara realitas dan
akal, adanya koherensi atau konsistensi dari premis-premis yang ada, dan hasilnya pasti.

D. Illuminasi Suhrawardi
BAB VIII Problem Filsafat Ilmu Dewasa ini

Anda mungkin juga menyukai