Anda di halaman 1dari 15

Pendahuluan

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang sebab-sebab


terjadinya kecelakaan anesthesia. Dokter spesialis anestesiologi seyogyanya mengunjungi
pasien sebelum pasien dibedah, agar ia dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien
dibedah dalam keadaan bugar.
Kadang-kadang dokter spesialis anestesiologi mempunyai waktu terbatas untuk menyiapkan
pasien, sehingga persiapan kurang sempurna. Penundaan jadwal operasi akan merugikan
semua pihak, terutama pasien dan keluarganya.
Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Tinjauan Pustaka
Penilaian Prabedah
Terjadinya kasus salah identitas dan salah operasi bukan cerita untuk menakut-nakuti atau
dibuat-buat, karena memang pernah terjadi di Indonesia. Identitas setiap pasien harus lengkap
dan harus dicocokkan dengan gelang identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi
mengenai hari dan jenis bagian tubuh yang akan dioperasi.
1

Dasar pelatihan dan pengalaman para ahli anestesi membuat mereka mampu menilai risiko-
risiko dasar pemberian obat anestesi secara unik. Idealnya, setiap pasien harus diperiksa oleh
ahli anestesi sebelum dilakukan pembedahan agar dapat mengidentifikasi, mengelola, dan
meminimalkan risiko-risiko tersebut. Umumnya, pemeriksaan dilakukan pada saat pasien
masuk ke rumah sakit, biasanya sehari sebelum prosedur bedah elektif dilakukan. Namun,
apabila pada saat itu ditemukan komorbiditas yang bermakna pada pasien, operasi bedah
sering kali ditunda, dan segera menjadwal pasien lain untuk operasi. Akhir-akhir ini, dalam
upaya meningkatkan efisiensi, terjadi perubahan berupa perawatan pasien pada hari yang
sama dengan jadwal pembedahan yang direncanakan. Ini menimbulkan situasi yang bahkan
lebih sulit dengan semakin berkurangnya kesempatan untuk melakukan penilaian anestesi
yang adekuat. Hal ini lebih lanjut menyebabkan perubahan yang bermakna dalam manajemen
preoperatif pasien-pasien yang menjalani pembedahan elektif, termasuk pengenalan klinis
terutama dalam penilaian anestetik. Terdapat berbagai model klinik preoperative atau
penilaian anestetik.
2

Penilaian Anestetik
Penilaian anestetik terdiri atas anamnesis dan pemeriksaan fisik setiap pasien, dulanjutkan
dengan pemeriksaan lanjutan yang sesuai. Apabila dilakukan oleh petugas non anestetik,
sering digunakan protokol untuk memastikan semua hal yang relevan tercakup. Bagian ini
menekankan pada hal-hal khusus yang relevan bagi ahli anestesi.
2


Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anesthesia sebelumnya sangatlah penting
untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi,
mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat
merancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik. Kita harus pandai-pandai memilah
apakah cerita pasien termasuk alergi atau efek samping obat.
Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah di masa lampau
sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu
tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang
mempengaruhi system kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja
silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum
alcohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.
1


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting
untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan
kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan
seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi sistem organ tubuh pasien.
1

Bagian ini menitik beratkan pada system kardiovaskular dan pernapasan, sistem tubuh yang
lain diperiksa bila ditemukan adanya masalah yang relevan dengan anesthesia pada
anamnesis. Pada akhir pemeriksaan fisik, jalan napas pasien dinilai untuk mengenali adanya
potensi masalah. Apabila direncanakan suatu anestesi regional, dilakukan pemeriksaan
anatomi yang sesuai (mis, pemeriksaan vertebra lumbalis pada blockade saraf sentral).
2

Sistem Kardiovaskular
Periksa secara khusus adanya tanda-tanda berikut:
2

Aritmia
Gagal jantung
Hipertensi
Penyakit katup jantung
Penyakit vaskular perifer
Jangan lupa melakukan inspeksi vena perifer untuk mengidentifikasi setiap masalah yang
berpotensi pada akses IV.

Sistem Pernapasan
Periksa secara khusus adanya tanda-tanda berikut:
2

Gagal napas
Gangguan ventilasi
Kolaps, konsolidasi, efusi pleura
Tidak adanya suara napas atau dadanya suara napas tambahan.

Sistem Saraf
Perlu dikenali adanya penyakit kronik sistem saraf pusat dan perifer dan setiap tanda adanya
gangguan sensorik atau motorik dicatat. Harus diinat bahwa beberapa kelainan akan
memengaruhi sistem kardiovaskular dan pernapasan, misalnya disrotia miotonika dan
sklerosis multipel.
2


Sistem Muskuloskeletal
Catat setiap keterbatasan pergerakan dan deformitas bila pasien memiliki kelainan jaringan
ikat. Pasien yang mengidap penyakit rheumatoid kronik sangat sering mengalami
pengurangan massa otot, neuropati perifer, dan keterlibatan paru. Vertebra servikalis dan
sendi temporomandibular pasien perlu diperhatikan secara khusus.
2


Jalan Napas
Jalan napas semua pasien harus dinilai untuk mencoba memprediksi apakah pasien akan sulit
diintubasi.
2


Observasi anatomi pasien
Amati:
Keterbatasan membuka mulut
Mandibula yang mundur (receding mandible)
Posisi, jumlah, dan kesehatan gigi
Ukuran lidah
Pembengakan jaringan lunak di depan leher
Deviasi laring atau trakea
Keterbatasan fleksi dan ekstensi vertebra servikalis
Terangan salah satu dari hal tersebut mengindikasikan bahwa intubasi mungkin akan lebih
sulit. Namun, harus diingat bahwa semua ini bersifat subjektif.
2




Pemeriksaan Bedside Sederhana
Kriteria Mallampati: Pasien duduk tegak, diminta untuk membuka mulut mereka dan
menjulurkan lidah mereka semaksimal mungkin. Gambaran struktur faring dicatat dan
digolongkan sebagai kelas I-IV. Kelas III dan IV mengisyaratkan intubasi sulit.
Jarak Tiromental: Pada kepala yang diekstensikan sejauh mungkin, diukur jarak
antara puncak tulang pada dagu dan penonjolan tulang rawan tiroid. Jarak 7 cm
mengisyaratkan intubasi sulit.
Skor Wilbur: Peningkatan berat badan, berkurangnya pergerakan kepala dan leher,
berkurangnya pembukaan mulut, dan adanya mandibula predisposisi terjadinya
peningkatan kesulitan intubasi.
Tes Galder: Pasien diminta untuk memajukan mandibula sejauh mungkin. Incisivus
bagian bawah akan terletak di depan (anterior) atau sejajar atau di belakang
(posterior) incisivus atas. Dua yang disebut terakhir mengindikasikan berkurangnya
lapangan penglihatan laringoskopi.
Tidak ada satu pun dari tes ini, sendiri atau gabungan, akan memprediksi semua kesulitan
intubasi. Mallampati kelas III atau IV dengan jarak tiromental <7cm akan memprediksi 80%
kesulitan intubasi. Apabila masalah sudah diantisipasi, anesthesia lurus direncanakan sesuai
dengan temuannya. Apabila terbukti sulit diintubasi, hal ini harus dicatat di tempat yang jelas
terlihat dalam catatan pasien dan pasien diberitahu.
2

Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang
sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin
walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb,
leukosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50
tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus
dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam
ini.
1


Kebugaran untuk Anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam
keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.


Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi lambung dan kotoran
yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani
anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anesthesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anesthesia.


Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam.
Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman bening,
air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah
terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.




Klasifikasi Status Fisik
Klasifukasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik sesorang ialah yang berasal
dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat
prakiraan risik anesthesia, karena dampak samping anesthesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistem berat, sehingg aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam.
Kelas VI : Pasien mati batang otak, pembedahan dilakukan untuk keperluan
transplantasi organ.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.


Persiapan prabedah
Agar ahli anestesiologi dapat melakukan pilihan rasional bagi tindakan untuk pasien tertentu
yang menjalanii operasi, penting evaluasi prabedah yang teliti dan menyeluruh. Pemeriksaan
klinik prabedah dan pemeriksaan selanjutnya oleh ahli anestesiologi bertujuan memperoleh
keterangan penting tentang riwayat penyakit, keadaan klinik, pemeriksaan fisik dan hasil
laboratorium pasien. Keterangan-keterangan ini membantu mengklasifikasi pasien menurut
keparahan penyakit sistemik, menggunakan ASA.


Ada hubungan yang erat, tetapi tidak langsung antara keadaan fisik di satu pihak dengan
anestesi serta kematian dan kesakitan operasi di pihak lain, tetapi kesakitan keseluruhan
sekurang-kurangnya 4-5 kali lebih besar pada pasien Kelas 3 dan 4 daripada pasien kelas 1.
Selain data-data di atas, faktor utama lain harus dipertimbangkan prabedah. Tempat dan jenis
tindakan bedah yang akan dilakukan mempunyai dampak bermakna atas kebutuhan anestesi,
karena ahli anestesiologi akan menyesuaikan teknik anestesi dengan jenis operasi, keadaan
pasien dan efek fisiologi agen anestesi. Efek fisiologi dan farmakologi berbagai agen anestesi
berperan penting dan akan dibicarakan lebih lanjut. Pengalaman ahli anestesiologi juga
penting. Tidak semua orang yang dapat melakukan anestesi sama berpengalaman dalam
melakukan semua jenis tindakan anestesi. Pada saat makin banyaknya subspesialisasi,
pengalaman, latar belakang dan latihan ahli anestesiologi menjadi faktor penting. Sebagai
pedoman umum, dianjurkan ahli anestesiologi agar memberikan jenis anestesi yang paling
sering dilakukannya. Akhirnya, pengalaman, keterampilan dan latihan ahli bedah juga
merupakan faktor penting bagi ahli anestesiologi. Kebutuhan anestesi untuk herniorafi
inguinalis berbeda jelas dari operasi rekonstruksi aorta, tetapi juga anestesi yang dibutuhkan
untuk apendektomi oleh ahli bedah berpengalaman yang membutuhkan waktu 20 menit untuk
seluruh operasi berbeda dari ahli bedah yang kurang berpengalaman yang membutuhkan 1
jam anestesi.




Klinik Penilaian Preoperatif
Tingkat I
Walaupun tidak semua pasien perlu diperiksa oleh seorang ahli anestesi di klinik penilaian
preoperatif, semua pasien tetap perlu dinilai oleh individu yang terlatih. Peran ini sering
dilakukan oleh perawat, yang melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisil, serta meminta
pemeriksaan lanjutan sesuai dengan protokol setempat. Tujuan primernya adalah untuk
mengidentifikasi pasien yang:
2
Tidak mempunyai masalah medis penyerta
Mempunyai masalah medis penyerta yang terkontrol baik, dan tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari, misalnya hipertensi
Tidak memerlukan pemeriksaan dasar
Tidak memiliki riwayat atau prediksi kesulitan anestetik
Memerlukan pembedahan dengan komplikasi minimal.
Apabila memenuhi kriteria tersebut, pasien dinyatakan dapat menjalani pembedahan. Pada
tingkatan ini, pasien biasanya diberikan informasi awal mengenai anesthesia, sering dalam
bentuk lembar penjelasan.
2

Pada saat di rumah sakit, pasien-pasien ini perlu diperiksa oleh seorang anggota tim bedah,
untuk memastikan bahwa tidak terjadi perubahan bermakna sejak diperiksa di klinik; dan
oleh seorang ahli anestesi yang akan:
2

Memastikan temuan yang didapat pada penilaian preoperatif
Memeriksa hasil pemeriksaan dasar
Menjelaskan pilihan-pilihan anesthesia yang sesuai dengan prosedur yang dilakukan
Mempunyai tanggun jawab akhir untuk memutuskan apakah pasien aman untuk
menjalani prosedur selanjutnya
Mendapatkan persetujuan untuk anesthesia

Tingkat 2
Tentunya tidak semua pasien seperti yang dijelaskan sebelumnya. Berbagai kondisi yang
umum ditemukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria di atas meliputi:
2

Masalah medis penyerta yang sebelumnya tidak terdiagnosis, seperti diabetes,
hipertensi
Kondisi-kondisi medis yang ditatalaksana secara kurang optimal, misalnya angina
Hasil pemeriksaan dasar yang tidak normal.
Pemeriksaan lanjutan perlu dilakukan pada pasien-pasien seperti ini mencakup
elektrokardiografi (ECG), uji fungsi paru, dan ekokardiografi, atau dirujuk ke dokter spesialis
yang tepat untuk saran atau tatalaksana lanjutan sebelum kembali dinilai. Temuan yang
didapat dari pemerksaan lanjutan akan memutuskan perlu tidaknya pasien diperiksa oleh
seorang ahli anestesi.

Tingkat 3
Pasien-pasien yang perlu diperiksa oleh seorang ahli anestesi di klinik preoperatif adalah
mereka yang:
2

Memiliki penyakit penyerta, dan bergejala walaupun telah mendapat terapi yang
optimal
Diketahui memiliki riwayat kesulitan anestetik sebelumnya, misalnya intubasi sulit
Diprediksi berpotensi mengalami kesulitan anesthesia, misalnya obesitas
Memiliki riwayat atau riwayat keluarga mengalami apnea berkepanjangan setelah
anesthesia
Akan menjalani pembedahan yang kompleks dengan atau tanpa rencana untuk dirawat
di unit perawatan intensif (ICU) pascaoperasi.
Konsultasi ini akan memungkinakan ahli anestesi untuk:
2

Membuat penilaian menyeluruh mengenai kondisi medis pasien
Mengevaluasi hasil setiap pemeriksaan atas saran dari dokter spesialis lain
Meminta pemeriksaan tambahan lainnya
Menelaah riwayat pemberian obat anestesi sebelumnya
Memutuskan teknik yang paling sesuai misalnya anesthesia umum atau regional
Memulai proses meminta persetujuan, menjelaskan dan mencatat:
o Pilihan obat anestesi yang tersedia dan efek samping yang potensial
o Risiko yang berkaitan dengan anesthesia
Mendiskusikan rencana perawatan pascaoperasi
Sebagaimana sebelumnya pasien akan diperiksa oleh ahli anestesi akan memastikan bahwa
tidak ada perubahan yang berarti sejak terakhir kali diperiksa di klinik, menjawab berbagai
pertanyaan lanjutan yang munkin ditanyakan pasien mengenai anesthesia, dan meminta
informed consent.
2

Tujuan akhirnya adalah memastikan bahwa ketika pasien dipersiapkan untuk menjalani
pembedahan, prosedur yang akan dilakukan tidak dibatalkan karena pertimbangan pasien
yang tidak siap atau karena kondisi medisnya tidak diperiksa dengan baik. Oleh sebab itu,
jelas bahwa waktu antara pemeriksaan pembedahan tidak boleh terlalu jauh: 4-6 minggu
biasanya dapat diterima.
2


Riwayat Penyakit Sekarang dan Dahulu
Dari seluruh riwayat medis pasien, aspek-aspek yang berhubungan dengan system
kardiovaskuler dan pernapasan lebih bernilai bagi seorang ahli anestesi dibandingkan aspek
lain.
3
Sistem Kardiovaskuler
Tanyakan secara spesifik mengenai gejala-gejala:
3

Penyakit jantung iskemik
Gagal jantung
Hipertensi
Penyakit katup jantung
Defek hantaran, aritmia
Penyakit vaskular perifer, riwayat thrombosis vena dalam (DVT), atau emboli paru
(PE)
Pasien dengan riwayat miokard infark (MI) berisiko besar mengalami infark lanjutan selama
operasi. Risiko mengalami infark ulangan berkurang seiring dengan bertambahnya waktu
sejak kejadian awal terjadi. Pengurangan risiko hingga tingkat yang dapat diterima, atau yang
sama dengan pasien tanpa riwayat MI, bervariasi antara pasien yang satu dengan yang
lainnya. Untuk pasien dengan MI tanpa komplikasi dan uji toleransi latihan fisik (ETT) yang
normal, pembedahan elektif mungkin hanya perlu ditunda selama 6-8 minggu. Panduan
Pemeriksaan Kardiovaskular Perioperatif telah dibuat oleh The American Heart Association.
3

Gagal jantung merupakan salah satu faktor prediksi terpenting terjadinya komplikasi
perioperatif, terutama melalui peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas jantung
perioperatif. Derajat keparahannya paling baik diuraikan dengan menggunakan skala yang
sudah dikenal, seperti Klasifikasi New York Heart Association (NYHA).
3

Hipertensi yang tidak diobati atau kurang terkontrol dapat menimbulkan peningkatan respons
kardiovaskular selama anesthesia. Dapat terjadi hipertensi maupun hipotensi, yang dapat
meningkatkan risiko iskemia miokardium dan serebral. Derajat keparahan hipertensi akan
menentukan tindakan yang diperlukan:
3

Ringan (SBP 140-159 mmHg, DBp 90-99) Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa
penundaan pembedahan untuk dilakukan terapi hipertensi akan memengaruhi hasil akhir.
Sedang (SBP 160-179 mmHg, DBP 100-109 mmHg) Pertimbangkan untuk meninjau ulang
terapi. Bila tidak ada perubahan, perlu pemantauan ketat untuk menghindari pergeseran
tekanan darah selama anesthesia dan pembedahan.
Berat (SBP >180 mmHg, DBP > 109 mmHg) Dengan tekanan darah setinggi ini,
pembedahan elektif harus ditunda karena adanya risiko iskemia miiokardium, aritmia, dan
perdarahan intraserebral yang signifikan. Pada kasus emergensi, kondisi ini akan memerlukan
pengendalian yang cepat disertai pemantauan yang agresif.

Sistem Pernapasan
Tanyakan secara spesifik mengenai gejala:
4
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
Bronkitis kronik
Emfisema
Asma
Infeksi
Penyakit paru restriktif
Pasien dengan riwayat penyakit paru memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
infeksi rongga dada pascaoperasi, terutama bila disertai obesitas, atau akan menjalani
pembedahan region toraks atau abdomen bagian atas. Apabila terdapat infeksi saluran napas
atau akut, anesthesia dan pembedahan harus ditunda kecuali pada kondisi yang mengancam
nyawa.
4


Penilaian Toleransi Latihan Fisik
Kapasitas latihan fisik telah lama dikenal sebagai faktor prediksi yang baik untuk morbiditas
dan mortalitas pascaoperasi. Hal ini disebabkan oleh terupanya respons fisiologis yang
terlihat pada saat latihan fisik dengan respons setelah pembedahan, antara lain peningkatan
curah jantung dan penyaluran oksigen untuk mencukupi peningkatan curah jantung dan
pernapasan diketahui dengan menanyakan pasien mengenai kemampuan mereka untuk
melakukan aktivitas fisik sehari-hari sebelum akhirnya berhenti karena adanya gejala-gejala
nyeri dada, kehadiran napas, dll, misalnya:
4

Seberapa jauh Anda dapat berjalan di tempat yang datar?
Berapa anak tangga yang dapat Anda naik sebelum akhirnya berhenti?
Dapatkah Anda berlari mengejar bus?
Mampukah Anda berbelanja?
Apakah Anda bias melakukan pekerjaan rumah tangga?
Dapatkah Anda merawat diri Anda sendiri?
Masalah dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sifatnya yang sangat subjektif,
tergantung dari motivasi pasiennya, dan pasien sering cenderung terlalu tinggi dalam menilai
kemampuannya.
4

Penilaian dapat dilakukan secara lebih objektif dengan merujuk pada Skala Aktivitas
Spesifik. Berbagai aktivitas fisik umum diklasifikasikan tingjatannya menurut metabolik
ekuivalen aktivitasnya atau MET, dengan 1 MET merupakan energy (atau lebih tepatnya
oksigen) yang digunakan saat istirahat. Semakin berat aktivitasnya, semakin besar nilai MET.
Hal ini tidak spesifik untuk setiap pasien tetapi berguna sebagai panduan, dan sekali lagi
bergantung pada penilaian pasien mengenai aktivitasnya.
4



Pemeriksaan Penunjang
Hanya sedikit bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan penunjang rutin sehingga
pemeriksaan tersebut sebaiknya hanya diminta bila hasilnya akan memengaruhi
penatalaksanaan pasien. Pada pasien yang tidak disertai penyakit penyerta (ASA 1),
pemeriksaan penunjang preoperassi akan bergantung pada tingkat pembedahan dan usia
pasien. Sinopsis mengenai panduan yang berlaku bagi pasien-pasien ini, yang dikeluarkan
oleh the National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). Untuk setiap
kelompok usia dan tingkat pembedahan data-data di bagian atas menunjukkan tes yang
direkomendasikan dan data-data di bagian bawah menunjukkan tes yang dipertimbangkan
(tergantung dari karakteristik pasien). Urinalisis dipilih hanya perlu dilakukan pada individu-
individu yang bergejala.

Gambar 1. Jarak Tiomental

Pemeriksaan Penunjang Tambahan
Berikut merupakan panduan kapan diperlukannya pemeriksaan penunjang preoperative yang
umum. Sekali lagi, kebutuhan terhadap pemeriksaan ini akan bergantung pada tingkat
pembedahan dan usia pasien. Informasi lebih lanjut bias didapat di Panduan Klinis 3, yang
dipublikasikan oleh NICE.
Urea dan elektrolit pasien yang mengonsumsi digoksin, diuretik, steroid, dan mereka yan
mengidapt diabetes, penyakit ginjal, muntah-muntah, dan diare.
Uji fungsi hati pengidap penyakit hati, riwayat konsumsi alcohol tinggi (>50 unit/minggu)
dari anamnesis, penyakit metastasis, atau tanda-tanda malnutrisi.
Gula darah pengidap diabetes, penyakit arteri perifer berat, dalam terapi steroid jangka
panjang.
ECG hipertensi dengan gejala atau tanda penyakit jantung iskemik, aritmia jantung, atau
pengidap diabetes berusia >40 tahun.
Rontgen toraks gejala atau tanda penyakit jantung atau paru, atau tersangka atau pengidap
keganasan, bila direncanakan bedah toraks, atau mereka yang berasal dari daerah endemis
tuberculosis yang belum melakukan pemeriksaan Roentgen toraks sejak tahun lalu.
Uji fungsi paru dyspnea saat melakukan aktivitas ringan, PPOK, atau asma. Ukur laju aliran
ekspirasi puncak (PEFR), volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV) dan FVC. Psien yang
mengalami dyspnea atau sianosis saat beristirahat yang terbukti memiliki FEV <60% prediksi
atau akan menjalani bedah toraks, juga harus dianalisis gas darah arterinya selagi melakukan
inspirasi.
Skrining koagulasi dalam terapi antikoagulan, riwayat diathesis perdarahan atau riwayat
penyakit hati atau ikterik.
Skrining sel sabit riwayat penyakit sel sabit di keluarga atau etnis tertentu dengan
peningkatan risiko penyakit sel sabit. Apabila positif, akan diperlukan elektroforesis untuk
diagnosis definitif.
Roentgen Vertebra Servikalis artritis rheumatoid, riwayat trauma besar atau pembedahan di
leher, atau bila diprediksi akan terjadi kesulitan intubasi.

Ekokardiografi
Pemeriksaan ini semakin diakui sebagai suatu alat yang bermanfaat untuk menilai fungsi
ventrikel kiri pada pasien-pasien dengan penyakit katup jantung atau penyakit jantung
iskemik yang kemampuan latihan fisiknya terbatas, misalnya karena osteotritis berat. Fraksi
ejeksi ventrikel kiri dapat dihitung dan abnormalitas pergerakan dinding ventrikel serta
kontraktilitas dapat terdeteksi. Fungsi ventrikel pasca MI juga dapat dinilai. Pada pasien-
pasien dengan lesi katup (aperture) dapat diukur dan perbedaan tekanan yang melintasi katup
yang merupakan indikasi keparahan penyakit yang merupakan indikasi keparahan penyakit
yang baik dapat dihitung. Karena ekokardiogram dilakukan saat pasien beristirahat,
pemeriksaan ini tidak memperlihatkan mengenai hal-hal yang akan terjadi saat kebutuhan
metabolic meninkat. Pemeriksaan ekokardiogram dapat dilakukan untuk membuat kondisi
seperti saat latihan fisik dan juga kondisi-kondisi yang mungkin dialami pasien selama
anesthesia atas setelah pembedahan. Ini serinkali dicapai dengan memberikan suatu zat
inotropik, misalnya dobutamin, yang meningkatkan frekuensi jantung dan aktivitas
miokardium sementara setiap perubahan pada performa miokardium dimonitor.

Anda mungkin juga menyukai