Anda di halaman 1dari 26

TUGAS

PAPER
PENGELOLAAN EKOSISTEM WILAYAH PESISIR
KERUSAKAN TERUMBU KARANG DILIHAT DARI SEGI
EKONOMI, MASYARAKAT DAN LINGKUNGAN SERTA FAKTOR
PENYEBABNYA

Oleh :
I Kadek Ardi Putra
(1391261020)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, atas segala karunia dan perkenan-Nya, sehingga dapat terselesaikan paper yang
berjudul Kerusakan Terumbu Karang Dilihat Dari Segi Ekonomi, Masyarakat Dan
Lingkungan Serta Faktor Penyebabnya Selesainya paper ini disusun tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak. Berkenaan dengan itu perkenankan pada kesempatan ini
disampaikan ucapan terima kasih kepada Yang Terhormat,
1) Bapak Dr. Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc., selaku dosen pengampu mata kuliah
Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir, yang telah memotivasi, memberi
bimbingan, arahan, petunjuk, saran dan kritik sehingga paper ini dapat
diselesaikan.
2) Semua pihak yang telah membantu selesainya paper, terutama rekan-rekan
mahasiswa angkatan 2013 di Program Studi Magister Ilmu Lingkungan
Universitas Udayana.
Demikianlah paper ini saya susun, semoga paper ini dapat bermanfaat bagi
pembaca, terima kasih.

Denpasar, 23 Juni 2014


Penulis,

I Kadek Ardi Putra

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................

DAFTAR ISI .....................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................

1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................

1.4 Manfaat Penulisan....................................................................................

BAB II KAJIAN PUSTAKA


2.1...................................................................................................................
Terumbu Karang.............................................................................................

2.1.1. Ekosistem Terumbu Karang.........................................................

2.1.2. Syarat Hidup dan Berkembangnya Terumbu Karang...................

2.1.3. Arti Penting Terumbu Karang Bagi Kehidupan Manusia.............

2.2...................................................................................................................
Wilayah Pesisir...............................................................................................

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Penelitian Kelangsungan Hidup Karang pada Area Yang Telah
Mengalami Kerusakan di Perairan Pulau Hari.........................................

3.2 Penelitian Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Terhadap


Hasil Penangkapan Ikan Oleh Nelayan Secara Tradisional Di Pulau
Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara...............................................

3.3 Kajian Potensi Kerusakan Terumbu Karang dan Alternatif


Dan Alternatif Pemecahannya Di Pantai Sanur..................................................

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

12

ii

3.4 Penelitian Manfaat Langsung Terumbu Karang Di Desa Tumbak


Kabupaten Minahasa Tenggara................................................................

15

3.5 Penelitian Kondisi Tutupan Karang Pulau Kapoposang


Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan...............

12

BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan

........................................................................................

20

4.2. Saran........................................................................................................

21

DAFTAR PUSTAKA

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

iii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) yang terbesar di
dunia. Dengan berbagai keanekaragaman hayati yang ada didalamnya salah
satunya terumbu karang. Saat ini kondisi terumbu karang di beberapa daerah
pantai di indonesia berada dalam kondisi memprihatinkan. Beberapa laporan
survey memperlihatkan kondisi terumbu yang rusak secara keseluruhan mencapai
80%, sisanya masih dalam kondisi baik (Reef Check, 2006). Kordi (2010)
menyatakan bahwa terumbu karang merupakan kelompok organisme yang hidup
didasar perairan laut dangkal, terutama di daerah tropis. Terumbu karang dikenal
sebagai salah satu ekosistem yang paling beragam, kompleks dan produktif di
muka bumi (Buddemeier et all, 2004; Burke et all, 2002). Penggunaan bahan
peledak dalam menangkap ikan diduga sebagai penyebab utama kerusakan
terumbu karang (Fox et al, 2001; Raymundo et al, 2007). Dampak lebih lanjut
adalah hilangnya habitat alami ikan dimana terumbu karang merupakan tempat
berlindung, memijah dan mencari makan bagi ikan. Area terumbu karang yang
telah rusak pada dasarnya memiliki kemampuan untuk pulih secara alami tetapi
membutuhkan waktu yang lama.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang didapat
penulisan yaitu : Apa penyebab kerusakan terumbu karang, serta faktor-faktor apa
saja yang menyebabkan?
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuannya penulis ini mengetahui penyebab kerusakan terumbu karang, serta
faktor-faktor apa saja yang menyebabkan.

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

1.3 Manfaat Penulisan


Mengacu pada tujuan yang ingin dicapai, maka terdapat sejumlah manfaat
yang diharapkan diperoleh dari penyusunan paper ini, yaitu dapat mengkontribusi
pada penambahan teori dan serta dapat memberikan informasi tentang kerusakan
terumbu karang di beberapa daerah di Indonesia

BAB II
Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Terumbu Karang


2.1.2 Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem yang khas terdapat
dilaut-laut daerah tropis. Ekosistem ini mempunyai produktivitas organik yang
sangat tinggi. Demikian pula keanekaragaman biota yang ada di dalamnya.
Komponen biota terpenting disuatu terumbu karang ialah hewan karang batu
(stony coral) yang krangkanya terbuat dari bahan kapur. Tetapi disamping itu
sangat banyak jenis biota lainnya yang hidupnya mempunyai kaitan erat dengan
karang batu ini. Semuanya terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis
dalam satu ekosistem terumbu karang.
Hewan karang batu umumnya merupakan koloni yang terdiri dari banyak
individu berupa polip yang bentuk dasarnya seperti mangkok dengan tepian
berumbai-rumbai (tentakel). Tiap polip tumbuh dan mengendapkan kapur yang
membentuk krangka. Polip ini akan memperbanyak dirinya secara vegetatif
(dengan jalan pembelahan berulang kali) hingga satu koloni karang bisa terdiri
dari ratusan ribu polip. Tetapi selain itu terdapat juga perbanyakan secara generatif
(pembuahan antara sel kelamin jantan dengan sel telur) yang menghasilkan larva
yang disebut planula.
Di dalam jaringan polip karang, hidup berjuta-juta tumbuhan mikroskopis
yang dikenal sebagai zooxanthella. Keduanya mempunyai hubungan simbiosis
mutualistik (saling menguntungkan). Zooxanthella malalui proses fotosintesis
membantu memberi suplai makanan dan oksigen bagi polip dan juga membantu
proses pembentukan krangka kapur. Sebaliknya polip menghasilkan sisa-sisa
metabolisme berupa karbon dioksida, fosfat dan nitrogen yang digunakan oleh
zooxanthella untuk fotosintesis dan pertumbuhannya.
Kebanyakan karang adalah carnivore (pemakan daging), karang menangkap
zooplankton dengan menggunakan tentakel yang mempunyai tangan-tangan
dengan dilengkapi oleh sel-sel penyengat yang dikenal sebagai nematocyst.
2.1.2. Syarat Hidup dan Berkembangnya Terumbu Karang

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

Cahaya, diperlukan untuk proses fotosintesis alga simbiotik (zooxanthella)


yang produknya kemudian disumbangkan kepada hewan karang yang
menjadi inangnya. Kedalaman laut maksimal 40 meter, lebih dari itu
cahaya matahari sudah lemah.

Suhu sekitar 25-30 C, terumbu karang tidak ditemukan di daerah Ugahari


(daerah Sedang), apalagi di daerah Dingin.

Salinitas air laut sekitar 27-40 %n pada laut-laut dimana banyak sungai
yang bermuara tidak dijumpai terumbu karang.

Air lautnya jernih, pada laut-laut yang airnya banyak mengandung lumpur
atau pasir maka hewan karang mengalami kesulitan untuk membersihkan
diri.

Arus diperlukan untuk mendatangkan makanan berupa plankton, juga


untuk membersihkan diri dari endapan - endapan lumpur dan pasir dan
untuk mensuplai oksigen dari laut lepas.

Substrat yang keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk peletakan
planula yang akan membentuk koloni baru.
Formasi terumbu karang pada umumnya dapat diklompokan atas fringing

reef (terumbu karang pantai), barrier reef (terumbu karang penghalang) dan atol
(pulau karang yang melingkar).
a. Fringing reef (terumbu karang pantai), terdapat di sepanjang pantai yang
mempunyai kedalaman tidak lebih dari 40 meter. Pertumbuhan yang terbaik
terdapat di daerah yang menerima pukulan ombak. Sebaran terumbu karang
di Indonesia lihat peta.
b. Barrier reef (terumbu karang penghalang), berada jauh dari pantai dan
dipisahkan oleh goba (lagoon) yang dalamnya sekitar 40 - 75 meter.
Kedalaman maksimuin dimana karang biasa hidup. Contoh terumbu karang
penghalang yang terdapat di Indonesia adalah Terumbu Karang Penghalang
Sunda Besar (Great Sunda Barrier Reef) yang terletak di selat Makasar di
sebelah Tenggara Kalimantan, sepanjang tepian paparan Sunda dengan
panjang sekitar 500 km. Umumnya berada sedikit di bawah permukaan laut.
Terumbu karang yang sangat terkenal adalah the Great Barrier Reef terdapat
di sebelah Timur Laut Australia dengan panjang sekitar 2.500 km.

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

c. Atol merupakan terumbu karang yang bentuknya melingkar seperti cincin,


mengitarai goba yang dalamnya 40 - 100 meter. Atol yang terbesar di
Indonesia adalah Atol Taka Bone Rate di laut Flores sebelah Tenggara pulau
Selayar. Luas atol ini 2.220 km2, merupaka atol terbesar ke tiga di dunia
setelah Atol Kwajalein (di Kep. Marshall Pasifik) seluas 2.850 km2 dan Atol
Suvadiva (di Kep. Maldives - Samudera Hindia) seluas 2.240 km .
Menurut teori Darwin terbentuknya atol bermula dari terumbu karang pantai.
Bersama dengan amblasnya gunung atau daratan asal maka terumbu karang pantai
makin tumbuh keluar, hingga terbentuklah goba antara pantai dengan terumbu
karang itu sendiri. Proses amblasnya gunung tersebut berjalan terus menerus dan
sementara terumbu karang di bagian tepi mengimbangi terus dengan pertumbuhan
ke atas hingga terbentuklah atol. Teori ini dikenal sebagai teori amblasan
(subsidence theory) yang merupakan salah satu dari beberapa teori terbentuknya
atol.
2.1.3. Arti Pentingnya Terumbu karang bagi kehidupan manusia

Dari segi estetika terumbu karang yang masih utuh menampilkan


pemandangan yang sangat indah. Taman-taman laut yang terkenal dan
dapat dijadikan sebagai objek wisata terdapat di pantai-pantai yang
mempunyai terumbu karang.

Terumbu karang merupakan pelindung fisik terhadap pantai, bagaikan


tembok yang kokoh dari terjangan ombak/gelombang laut. Apabila
terumbu karang dirusak atau diambil karang serta pasirnya secara
berlebihan maka pantai akan terus terkikis oleh pukulan ombak yang
mengakibatkan terjadinya pergeseran pantai kearah daratan seperti yang
banyak terjadi dibeberapa daerah di Indonesia.

Sebagai sumber daya hayati terumbu karang dapat pula menghasilkan


berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomis yang penting seperti
berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, kerang mutiara
dan sebagainya. Ikan dari terumbu karang dalam pruduksi perikanan kita
antara lain ikan ekor kuning dan ikan pi sang-pi sang. Selain itu di terumbu
karang hidup banyak jenis ikan (mencapai 253 jenis) yang warnanya indah

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

dan mempunyai nilai yang tinggi sebagai ikan hias.


Melihat pentingnya terumbu karang baik sebagai ekosistem maupun sebagai
sumber daya ekonomi maka perlu untuk menjaga kelestariannya. Salah satu
ancaman terbesar yang sangat memprihatinkan adalah semakin banyaknya dan
semakin meluasnya penggunaan bahan peledak oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab yang bermaksud mencari ikan dengan cara mudah tetapi
sangat merusak lingkungan. Demikian pula dampak negative yang dapat
diakibatkan oleh penambangan karang dan pasir dari terumbu karang. Sekali
terumbu karang menjadi hancur akan sangat lama untuk memulihkannnya
kembali.
Pertumbuhan karang batu sangat lambat, diperlukan waktu ribuan tahun.
Dalam setahun pertumbuhan terumbu karang hanya beberapa centimeter saja.
Oleh karena itu terumbu karang yang merupakan kekayaan alam yang banyak
memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, lebih-lebih bagi bangsa kita yang
berada di daerah tropis ini, agar dapat menjaga dan menyelamatkannya dari
kerusakan akibat orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
2.2. Wilayah Pesisir
Perairan pesisir adalah daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas darat
dapat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih
mendapat pengaruh sifat-sifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air
laut. Ke arah laut, perairan pesisir mencakup bagian batas terluar dari daerah
paparan benua yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di
darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar.
Definisi wilayah seperti diatas memberikan suatu pengertian bahwa
ekosistem perairan pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai
kekayaan habitat beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi. Selain
mempunyai potensi besar wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang mudah
terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara
langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem
perairan pesisir (Dahuri et al., 1996).
Menurut Dahuri et al. (1996), hingga saat ini masih belum ada definisi

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia
bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Apabila ditinjau dari garis pantai {coast line), maka wilayah pesisir mempunyai
dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore)
dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore).
Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat suatu wilayah pesisir
ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan (planning zone) dan
batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian
(day-to-day management). Batas wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh
daerah daratan dimana terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat
menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya di
wilayah pesisir dan lautan, sehingga batas wilayah perencanaan lebih luas dari
wilayah pengaturan.
Dalam day-to-day management, pemerintah atau pihak pengelola memiliki
kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan pembangunan.
Sementara itu, bila kewenangan semacam ini berada di luar batas wilayah
pengaturan (regulation zone), maka akan menjadi tanggung jawab bersama antara
instansi pengelola wilayah pesisir dalam regulation zone dengan instansi/lembaga
yang mengelola daerah hulu atau laut lepas.

BAB III

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

PEMBAHASAN

3.1. Penelitian Kelangsungan Hidup Karang (Acropora formosa) pada Area


yang Telah Mengalami Kerusakan di Perairan Pulau Hari
Saat ini kondisi terumbu karang di Sulawesi Tenggara berada dalam kondisi
memprihatinkan. Beberapa laporan survey memperlihatkan kondisi terumbu yang
rusak secara keseluruhan mencapai 80%, sisanya masih dalam kondisi baik (Reef
Check, 2006). Kordi (2010) menyatakan bahwa terumbu karang merupakan
kelompok organisme yang hidup didasar perairan laut dangkal, terutama di daerah
tropis. Terumbu karang dikenal sebagai salah satu ekosistem yang paling beragam,
kompleks dan produktif di muka bumi (Buddemeier et all, 2004; Burke et all,
2002). Penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan diduga sebagai
penyebab utama kerusakan terumbu karang (Fox et al, 2001; Raymundo et al,
2007). Dampak lebih lanjut adalah hilangnya habitat alami ikan dimana terumbu
karang merupakan tempat berlindung, memijah dan mencari makan bagi ikan.
Critical review dari Jurnal tersebut adalah :
1. Penelitian dilakukan bawah air yang dilakukan di kawasan terumbu karang Pulau
Hari Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan pada bulan Oktober 2012.
Dengan menggunakan alat selam SCUBA kawat jaring mesh size 1 cm, kawat
almunium, plastik taging, gunting kakak tua, palu, pasak be si dan alat-alat yang
dibutuhkan untuk keperluan analisis kualitas air di laboratorium
2. Kualitas air merupakan factor utama dalam pertumbuhan terumbu karang

diantaranya Suhu, Salinitas, Kecerahan dan Kecepatan Arus. Pada jurnal


penelitian ini dijelaskan bahwa suhu dikedalaman 3 m dan 6 m sebesar
30oC dan 29oC sedangkan pada kedalaman 10 m suhu mencapai 1 oC
disebabkan karena berkurangnya penetrasi cahaya yang masuk ke dalam
perairan. Untuk salinitas pada kedalaman 3 m, 6 m dan 10 m sebesar 33
ppt dan masih mendukung untuk kelangsungan hidup dan biota karang,
dimana untuk daerah tropis salinitas rata-rata mencapai 35 ppt. Pada
kecerahan perairan pada kedalam 3 m, 6 m dan 10 m mencapai 100%,

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

karena intensitas cahaya masuk mencapai dasar perairan.


3. Pada pengamatan minggu pertama setelah karang di tranplantasi, karang

mengeluarkan lender yang menandakan karang dalam kondisi stress.


Setelah minggu ke dua karang lender pada karang ilang yang menandakan
organism yang ada masih hidup, setelah minggu ke empat tingkat
keberasilan hidup terumbu karang mencapai 100%

(tidak ada koloni

karang yang mengalami kematian).


3.2 Penelitian Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Terhadap Hasil
Penangkapan Ikan Oleh Nelayan Secara Tradisional Di Pulau Siompu
Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara
Pulau Siompu merupakan salah satu daerah penangkapan (fishing ground)
yang potensial dari pulau-pulau kecil lainnya dengan hasil tangkapan ikan
pelagis/permukaan antara lain lemuru (Sardinella longiceps), cumi-cumi
(loligo,sp), tongkol (Nueuthynsattinis), Layang (De-capterus spp), dan ikan
domersal seperti Kakap (Lujtanus spp), dan Kerapu (Plectropomus sp). Penduduk
Pulau Siompu sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan sehingga
diasumsikan bahwa aktifitas masyarakat sehari-hari senantiasa berhubungan
dengan keberadaan lokasi ekosistem terumbu karang di perairan sekitarnya.
Lokasi penelitian desa Tongali dan desa Biwinapada yang terletak di pulau
Siompu, dan secara admistratif masuk da-lam wilayah Kecamatan Siompu,
dengan status tanahnya adalah tanah negara (TN) dan tanah milik (TM). Luas
wilayah desa Tongali 2.50 km2, jumlah penduduk 1.420 jiwa dengan kepadatan
penduduk 568 jiwa /km2, mata pencaharian penduduk sebagai patani/nelayan.
Desa Biwinapada dengan luas wilayah 3.54 km2, jumlah penduduk 1.210 jiwa,
kepadatan penduduk 342 jiwa/ km2, mata pencaharian penduduk sebagai meliputi
kondisi fisik kimia air laut seperti suhu, salinitas (kadar garam), kecerahan
(clarynitas) dan kecepatan arus
Saat ini masyarakat di pulau siompu melakukan penangkapan ikan dengan
cara sendiri yang dianggap gampang baik secara langsung maupun tidak langsung
terutama sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pantai.

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

sehingga dikhawatirkan ekosistem terumbu karang mendapat tekanan terus


menerus, sebagai akibat dari berbagai kegiatan manusia. Hal ini secara langsung
merupakan ancaman bagi kelestarian sumberdaya wilayah ini, apabila
pengelolaannya tidak sesuai dengan perencanaan dan prinsip pengelolaan
lingkungan hidup yang berkelanjutan (sustainable).
Salah satu penyebab tekanan yang berlangsung terus menerus terhadap
ekosistem terumbu karang serta biota yang berasosiasi dengannya di pulau
Siompu adalah aktivitas masyarakat nelayan yang menggunakan jaring muromi,
bubu (perangkap tradisional), panah,tombak dan bahan peledak serta racun ikan
(potasium cyanida) di wilayah perairan ekosistem terumbu karang. Faktor lain
yang menyebabkan tekanan pada ekosistem ini adalah kegiatan pengambilan batu
karang (stony coral) untuk berbagai peruntukan seperti : pengerasan jalan, fondasi
rumah, pengeringan pantai, penghalang ombak, dan gelombang laut, serta
berbagai keperluan lainnya yang secara langsung berdampak negatif bagi
pertumbuhan dan perkembangan karang secara generative.
Beberapa daerah menunjukan adanya gejala lebih tangkap (over fishing),
penangkapan menggunakan bahan peledak (bom) dan bahan beracun yang
menyebabkan rusaknya ekosisitem perairan daerah tangkapan ikan, sehingga ada
kecenderun-gan disuatu daerah terjadi peningkatan hasil tangkapan dan di daerah
lain terjadi penurunan hasil tangkapan ikan oleh nelayan tradisional sebagai akibat
intensifnya keg-iatan pengeboman ikan oleh nelayan yang memiliki modal cukup
(Pakpaham,1996).
Critical review dari Jurnal tersebut adalah :
1. Data terumbu karang dilakukan dengan menggunakan transek garis hasil
modifikasi dari Loya (1972) dengan cara : pemasangan plot transek pada
kedalaman masing-masing lokasi pengamatan 3 meter dan 10 meter,
sepanjang tali transek 30 meter.
2. Data sosial ekonomi dapat dianalisis secara deskriptif, variabel bebas
(independent variabel) adalah tingkat pendidikan (XI), tingkat pendapatan
(XI), dankesem-patan kerja lain (X3) sedangkan (Y) variabel) adalah
tingkat pengetahuan (XI), tingkat pendapatan (X2), dan kesempatan kerja

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

lain (X3). Variabel terikat (dependent variabel) adalah perilaku (Y).


3. Dari hasil penelitian didapatkan beberapa pembahasan, salah satunya
bahwa kondisi perarian di desa Tongali dan desa Biwinapada yang terletak
di pulau Siompu, masih dibawah ambang baku mutu air laut yang sangat
sesuai dengan kondisi optimal pertumbuhan biota laut termasuk binatang
karang, sesuai dengan ketentuan Kementrian Lingkungan Hidup RI No. 51
Kep. KLH Tahun 2000.
4. Di satu sisi kondisi terumbu karang secara umum di lokasi penelitian
termasuk dalam kategori jelek hingga baik. Pada lokasi penelitian Desa
Tongali kondisi karang telah rasak (jelek/buruk) dengan rata-rata
prosentase tutupan karang hidup 20.93 %, tutupan biota lain (OT) 10.08
%, tutupan alga (AL) 1.55 %, dan tutupan benda mati (AB) 17.44 %.
Dibandingkan disekitar perairan desa Biwinapada kondisi terumbu karang
dalam keadaan rusak sedang dengan rata-rata prosentase tutupan karang
hidup 41.13 %, tutupan biota lain (OT) 6.05 %, tutupan alga (AL) 0.80 %,
dan tutupan benda mati (AB) 2.42 %, meskipun pada kedalaman 3 meter
prosentase tutupan karang hidup sebesar 31.45 % termasuk dalam kategori
rusak sedang, sedangkan pada kedalaman 10 meter kondisi terumbu
karang termasuk dalam kategori baik ditunjukan dengan karang hidup
sebesar 50, 81 % rusak (sedang). Kerusakan tersebut sangat dominan
disebabkan oleh kegiatan nelayan yang melakukan penangkapan ikan
dengan menggunakan bahan peledak (bom), terbukti dengan banyaknya
pecahan karang dan benda mati (AB) 15.49 % pada kedalaman 10 meter.
5. Dari hasil penelitian dan pembahasan pada Jurnal ini dapat disimpulkan
bahwa kondisi terumbu karang di Desa Tongali termasuk dalam kategori
rusak berat sampai rusak sedang dengan persentase sebesar 11,63% sampai
30,25% dan Desa Biwinapada termasuk dalam kategori baik sampai rusak
sedang dengan persentase 31,45% sampai 50,81% yang berada di Pulau
Siompu disebabkan oleh faktor manusia (nelayan), dimana sebagian besar
nelayan menggunakan bom untuk mendapatkan ikan disisi lain masyarakat
juga melakukan penambangan karang serta menggunakan jala troll.
Kerusakan terumbu karang akan berpengaruh terhadap tangkapan ikan

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

para nelayan yang mengalami penurunan sebesar 4,30 ton (25,95 %) pada
pada tahun 2006 menjadi 2,47 ton (14,91 %) pada tahun 2010.
3.3.

Kajian

Potensi

Kerusakan

Terumbu

Karang

dan

Alternatif

Pemecahannya di Perairan Sanur


Gambaran hasil monitoring penutupan karang hidup di Sanur dan
Serangan tahun 2011, menunjukan hasil dari Buruk hingga Baik, stasiun 1 yang
terletak di sekitar perairan Sanur utara di sekitar pantai Bali beach hotel
menunjukkan status yang baik dengan prosentase lebih dari 50 % baik pada
kedalaman 3 meter maupun 10 meter, walaupun dalam status kondisi baik pada
kisaran terendah (51,28 % - 57,44%). Stasiun 2 yang terletak di sekitar perairan
pantai Sindu menunjukkan status yang baik lebih pada kedalaman 3 meter dengan
prosentase 54,10 % dan 10 meter dengan kondisi sedang dengan prosentase 33,52
%. Stasiun 3 yang terletak di sekitar perairan pantai Mertasari menunjukkan status
yang baik Dengan prosentase karang hidup pada kedalaman 3 meter mencapai
69,90 % dan 10 meter mencapai 69,58 %. Stasiun 4 yang terletak di sekitar selatan
Pantai Kesuma Sari menunjukkan status yang Buruk dengan prosentase 23,22 %
pada kedalaman 3 meter dan pada kedalaman 10 meter menunjukkan status baik
dengan prosentase 57,20 %. Pemantauan terhadap kondisi terumbu karang di
Serangan pada stasiun 5 dan stasiun 6 dilakukan terhadap 6 (enam) desain
terumbu karang buatan yang disebut Reef Ball dan octopus berbentuk bola,
Piramida, Sekapat, Corals day kemudian di stasiun 6 terumbu karang buatan yang
berbentuk huruf tulisan (huruf) dan bentuk Gorong-gorong. prosentase karang
hidup tertinggi 90 % pada corals day dan tulisan, sedang terendah 10 % pada
bentuk gorong-gorong. Hasil Monitoring terhadap ikan karang menunjukkan
Indeks keaneka ragaman (FT) berada dibawah 1, yang berarti nilai
keanekaragaman kecil yang mengindikasikan adanya tekanan ekologik yang sangat
kuat. Namun Nilai Keseragaman berada dibawah 0,4 yang berarti keseragaman
populasi kecil dan Nilai dominansi kurang dari 1, yang menandakan bahwa
walaupun nilai keanekaragaman kecil namun tidak ada spesies yang mendominasi
dan cukup bervariasi.

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

Tujuan dari kajian dalam jurnal ini adalah untuk mengetahui kondisi terkini
kondisi terumbu karang di perairan Sanur serta mengkaji potensi kerusakan yang
terjadi selama ini dengan membandingkan hasil monitoring yang telah dilakukan
pada beberapa tahun yang lalu di lokasi yang sama dengan metoda yang sama,
untuk selanjutnya dilakukan sebagai upaya peningkatan kualitas dan alternative
pemecahan apabila terjadi penurunan kualitas ekosistem terumbu karang
Metodologi penelitian dilakukan dengan tiga metode yaitu Metode
Inventarisasi Kondisi Terumbu Karang, Metode Visual Census ikan karang, dan
Metode Analisis Data
Critical review dari Jurnal tersebut adalah :
1. Dari hasil pemantauan pada stasiun 1 dari jurnal ini menjelaskan terumbu
karang masih dalam status baik dengan prosentase lebih dari 50 % baik
pada kedalaman 3 meter maupun 8 meter, walaupun dalam status kondisi
baik pada kisaran terendah (54,1 % - 57,7%). Hasil ini tidak ajuh beda dari
hasil pengamatan pada tahun lalu. Walaupun masih terdapat karang mati
yang ditumbuhi dengan alga (Dead Coral with Algae) pada kedalaman 8
meter, namun kematian karang yang lebih banyak disebabkan oleh
predator alami yakni dimakan oleh ikan ini tidak terlalu mengancam
keberadaan karang. Kondisi prosentase karang hidup pada lokasi ini
dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2003 adalah 31,26 hingga 37 %
kondisi ini kemungkinan masih terpengaruh oleh aktivitas pekerjaan
Pengamanan Pantai Bali yang berlokasi di Sanur, dengan kondisi pada
tahun 2009 pada kedalaman 3 meter berkisar antara 30,5 % hingga 53,3 %
sedang pada kedalaman 8 meter berkisar antara 37,42 % hingga 47,57 %.
Pada pengamatan monitoring karang tahun 2011 pada perairan dangkal 3
meter 52,28 % dan perairan dalam 8 meter mencapai 57,44 %. Hasil
monitoring tahun 2012 menunjukkan bahwa secara ekologis tidak terdapat
tekanan yang cukup berarti terhadap keberadaan karang hidup pada
perairan Sanur bagian utara, walaupun terdapat aktivitas transportasi yang
sangat intensive pada area yang berdekatan dengan lokasi ini, yakni jalur
perhubungan antar pulau yang berpusat pada area Sanur utara.

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

2. Pada lokasi Stasiun 2 yang terletak di sekitar perairan pantai Sindu


menunjukkan status yang baik lebih pada kedalaman 3 meter dengan
prosentase 62.95 % dan 10 meter dengan kondisi sedang dengan
prosentase 46,60 %. Karang mati yang ditumbuhi dengan alga (Dead
Coral with Algae) maupun karang mati (Dead Coral ) dijumpai tidak
terlalu signfikan pada kedalaman 3 meter dan 10 meter hingga mencapai
sekitar 18 %. Tetapi secara umum perairan di Sindu ini mengalami
pertumbuhan kembali (recovery), yang cukup membaik selama setahun
terakhir ini. Penutupan karang hidup di stasiun 2 ini adalah letaknya
berdekatan dengan area pusat wisata bawah air (snorkeling maupun
diving) di perairan Sindu. Dari pengamatan di sekitar lokasi terlihat bahwa
kerusakan fisik akibat aktivitas wisata bawah laut sudah mengalami
penurunan, hingga terlihat karang dalam kondisi recovery yang semakin
membaik
3. Kondisi terumbu karang di Stasiun 3 yang terletak di sekitar perairan pantai
Mertasari menunjukkan status yang baik dengan prosentase karang hidup
pada kedalaman 3 meter mencapai 64,25 % dan 10 meter mencapai 67,96
%. Indikasi dari perairan ini menunjukkan bahwa walaupun terdapat
aktivitas wisata selam di sekitar perairan ini, namun kualitas karang masih
cukup terjaga. Karang mati (Dead Coral) dan karang mati yang ditumbuhi
dengan alga (Dead Coral with Algae) sejak tahun 2003 -2011 Prosentase
karang hidup pada stasiun 3 ini menunjukkan perbaikan yang sangat
signifikan, khususnya pada kedalaman 10 meter, Pada perairan yang
dangkal dan dalam juga mengalami kenakan sejak tahun 2009-2012.
4. Kondisi terumbu karang di Stasiun 4 yang terletak di sekitar selatan Pantai
Kesuma Sari menunjukkan status yang sedang dengan prosentase 49,52 %
pada kedalaman 3 meter dan pada kedalaman 10 meter menunjukkan
status baik dengan prosentase 63,20 %. Buruknya kondisi di kedalaman 3
meter dikarenakan melimpahnya makro algae dan padang lamun yang
mencapai 37%. Penurunan prosentase karang hidup sejak dari tahun 2009
ke tahun 2011 sangat mungkin terjadi akibat peningkatan aktivitas manusia
di sekitar perairan ini. Namun rupanya pertumbuhan kembali (recovery)

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

karang cukup membaik hingga mencapai 49,5 % pada perairan dangkal dan
meningkat hingga 63,2 % pada perairan dalam.
5. Kondisi terumbu karang di Serangan pernah dilakukan penelitian oleh
kelompok nelayan setempat yang didanai dari berbagai instansi/lembaga
baik pemerintah atau swasta. Pada area sebelah utara terdapat 4 (empat)
desain terumbu karang buatan yang disebut Reef Ball dan Octopus
berbentuk bola, Piramida, Sekapat dan Coral Day. Bentuk terumbu buatan
Reef Ball dan Octopus dengan patahan karang di tempelkan pada
permukaannya prosentase karang hidupnya masih tetap bertahan naik
sedikit dari tahun lalu, yakni mencapai 75%. Berdekatan dengan area ini
adalah berbentuk Piramida dengan prosentase karang hidup mencapai
60%. Karang mengalami kematian akibat piramida yang di tempatkan di
daerah pasir tertimbun pasir selain itu karang mati juga akibat terlepas dari
substratnya. Desain lain adalah bentuk Sakapat, karang hidup tetap rendah
hanya 10%. Karang mati akibat terkubur pasir dan yang ke empat adalah
terumbu karang berbentuk meja bundar dengan meletakkan karang
transplan di atas permukaan meja, tingkat keberhasilan tinggi, jumlah
karang hidup meningkat sedikit hingga 95% karang mati karena terkena
jangkar, desain ini disebut pula dengan corals day untuk mengenang saat
pelaksanaan kegiatan bertepatan dengan hari karang.
3.4. Penelitian Manfaat Langsung Terumbu Karang Di Desa Tumbak
Kabupaten Minahasa Tenggara
Desa Tumbak merupakan desa pesisir yang terletak di Kecamatan Pusomaen
Kabupaten Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara, sekitar 100 km dari Kota
Manado. Desa Tumbak mempunyai ekosistem sumber daya pesisir yang sangat penting
yakni terumbu karang dan hutan bakau. Kedua ekosistem ini merupakan yang terluas di
Kabupaten Minahasa Tenggara, luasan terumbu karang mencapai lebih dari 500 hektar
dan hutan bakau mencapai 200 hektar. Kondisi ini menempatkan Desa Tumbak sebagai
daerah yang penting untuk pengelolaan sumber daya pesisir dan untuk aktivitas ekonomi
sehubungan dengan penangkapan ikan di Kabupaten Minahasa Tenggara. Aktivitas
manusia yang merusak karang sudah jauh berkurang dalam beberapa tahun terakhir ini,
namun demikian karang yang sudah terlanjur rusak memerlukan waktu bertahun-tahun

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

untuk melakukan regenerasi. Penelitian dilakukan di perairan Desa Tumbak Kabupaten


Minahasa Tenggara Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer
dansekunder dan bersifat deskriptif kuantitatif.
Data primer dikumpulkan

melalui pengamatan langsung kelapangan dan

wawancara dengan aparat desa serta rumah tangga responden. Data primer yang
dikumpulkan berupa data wawancara responden dan data ljfeform karang.
Data sekunder dikumpulkan dari pihak lain berupa laporan penelitian, laporan
dari instansi terkait, serta laporan Lembaga Swadaya Masyarakat dan Proyek Pesisir,
1999) yang pernah melakukan penelitian sebelumnya. Data sekunder yang dikumpulkan
berupa: luas terumbu karang yang tercakup dalam batasan lokasi penelitian, keadaan
umum tempat penelitian, jumlah nelayan, rumah tangga nelayan, umum dan
pembudidaya, kondisi rumah, data geografis, data demografi dan data lainnya

Critical review dari Jurnal tersebut adalah :


1.

Pada jurnal ini dijelaskan bahwa pemanfaatan terumbu karang oleh masyarakat
sekitar terlalu berlebihan

sehingga menyebabkan kerusakan terumbu karang

walupun dari segi ekonomi menambah pengasilan mereka atau sebagai fondasi
rumah karena berbagai alasan dan yang terutama karena meringankan mereka
dari segi dana.

2.

Persentase tutupan karang di depan desa dikategorikan rusak golongan sedang.


Masyarakat mengambil karang untuk keperluan fondasi karena dianggap telah
rusak namun jika kegiatan ini terjadi terus-menerus, maka dapat diperkirakan
lama kelamaan akan hilang. Ekosistem terumbu karang memiliki kemampuan
yang baikt dalam memperbaiki diri sendiri bila terjadi kerusakan.

3.

Dari tabel Nilai Manfaat Langsung Terumbu Karang diatas dapat dijelaskan
bahwa nilai manfaat langsung penangkapan ikan karang jauh lebih besar dari
nilai manfaat langsung kontruksi. Hasil dari manfaat penangkapan ikan karang
sebesar

Rp.

4.860.000.000/tahun

sedangkan

manfaat

kontruksi

sebesar

6.177.600/tahun, kalo dilihat dari segi pelestarian lingkungan dan manfaat


ekonomis, bahwa manfaat langsung penangkapan ikan justru mengasilkan
keuntungan lebih besar tanpa merusak ekosistem terumbu karang dibandingkan
dengan nilai manfaat langsung kontruksi mengasilkan keuntungan yang sangat
kecil serta merusak lingkungan

4.

Dari Jurnal ini perlu diperhatikan acaman terhadap kelangsungan hidup


terumbu karang serta dampaknya terhadap biodiversity yang ada laut serta

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

perlu upaya-upaya untuk menjaga ekosistem yang ada agar memberikan


nilai

ekonomis

yang

merusak/mengambil

lebih

terumbu

tinggi

kepada

karang,

peran

masyarakat
serta

tanpa

pemerintah,

pemerdayaan masyarakat diperlukan agar tidak terjadi kerusakan terumbu


karang pada khususnya serta keanekaragaman hayati laut pada umumnya
3.5. Penelitian Kondisi Tutupan Karang Pulau Kapoposang, Kabupaten
Pangkajene Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan.
Taman Wisata Alam laut (TWAL) Kapoposang merupakan salah satu tipe
perwakilan terumbu karang tepi/datar, lamun dan mangrove di Sulawesi. Terumbu
karang tepi merupakan ekosistem utama yang mengelilingi perairan Kapoposang.
Terumbu tersebut membentuk daratan (reef flat) sampai sejauh 200 meter sampai
tubir, dengan kedalaman 1-10 meter pada saat air surut (Faizal, 2010).
Terumbu karang merupakan koloni karang yang menjadi struktur di dasar
laut berupa deposit kalsium karbonat (CaC03) di laut yang dihasilkan terutama
oleh hewan karang yang merupakan hewan tak bertulang belakang, termasuk
dalam Filum Coelenterata (hewan berongga) atau Cnidaria. Yang disebut sebagai
karang (coral) mencakup karang dari Ordo scleractinia dan Sub kelas Octocorallia
(kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa. Satu individu karang atau disebut polip
karang memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari yang sangat kecil 1 mm
hingga yang sangat besar yaitu lebih dari 50 cm. Namun yang pada umumnya
polip karang berukuran kecil. Polip dengan ukuran besar dijumpai pada karang
yang soliter. Diketahui bahwa ekosistem terumbu karang dihuni oleh lebih dari
93.000 spesies, bahkan diperkirakan lebih dari satu juta spesies mendiami
ekosistem ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mendata bentuk kehidupan terumbu karang
dan kondisi tutupan karang untuk selanjutnya dijadikan pertimbangan dalam
pengelolaan dan recovery terumbu karang di Pulau Kapoposang. Penelitian
dilakukan pada bulan Maret-Juni 2010 di sekitar Pulau Kapoposang, Pangkep.
Critical review dari Jurnal tersebut adalah
1.

Dalam penelitian ini di bagi menjadi empat stasiun dengan topografi

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

berbeda. Utara, merupakan daerah sloope, tidak ada pulau terdekat di arah
utara, substrat dominan oleh batuan besar. Timur, merupakan daerah yang
dekat dengan daerah lamun, namun substrat di stasiun ini banyak berupa
pecahan karang dan karang yang ditumbuhi alga. Selatan merupakan
daerah flat, substratnya dominan karang. Barat, berbatasan langsung
dengan Selat Makassar, namun masih merupakan daerah flat.
2.

Terumbu karang didata dengan pengambilan data penutupan karang,


dengan menggunakan transek garis sepanjang 50 m. Data dicatat dan
diukur dengan ketelitian hingga satuan cm. Adapun kategori yang diamati
adalah LC = Life Coral, DC = Dead Coral, A = Algae, OT = Others dan
ABT = Abiotic.

3.

Pengamatan pada Stasiun I (sebelah Utara) dilakukan di kedalaman 7-15


meter. Pengamatan transek dilakukan di daerah drop off. Secara umum
substrat yang dominan adalah abiotik diwakili oleh batuan (Rock), karang
hidup (LC) golongan Scleractina atau hard coral non Acropora. Dan
tutupan substrat juga berupa Other Fauna (OT) (soft coral sponge dan
others)

4.

Pengamatan substrat pada Stasiun II (sisi Timur) dengan kedalaman 5-10


meter. Daerah ini didominasi oleh Other Fauna jenis karang lunak (Soft
Coral). Selain jenis karang hidup juga terdapat jenis penutupan oleh Dead
Coral (Dead Coral Algae/DCA). Jumlah penutupan oleh Life Coral r yang
diwakili oleh jenis karang branching dan massive, Komposisi substrat
selanjutnya adalah abiotik diwakili oleh Rubble

5.

Stasiun III (sebelah selatan) dengan kedalaman 3-7 meter berada di antara
Pulau Kapoposang dan Pulau Papandangan. Substrat yang paling dominan
adalah dari jenis karang hidup (Life Coral) selain itu terdapat juga tutupan
dari komponen abiotik yang mendominasi. Jenis lain yaitu DCA, Alga
Selain itu terdapat juga other fauna (soft coral, sponge dan others)

6.

Pada Stasiun IV (Barat) yang berhadapan dengan Selat Makassar, transek


diletakkan di kedalaman 1-5 m Pada kedalaman tersebut kategori life form
Abiotik paling mendominasi (Rock dan Sand). Karang hidup (LC).
Komponen Other Fauna meliputi

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

(soft coral,sponge dan others) juga

menutupi permukaan substrat di Stasiun ini.

BAB IV
PENUTUP

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

4.1. Kesimpulan
1. Kerusakan Ekosistem terumbu karang terjadi sebagai akibat pengetahuan
nelayan yang kurang memahami dampak kegiatan yang ditimbulkan, hal ini
dapat dibuktikan dengan kondisi terumbu karang di perairan desa Tongali
sebagai loksi penelitian termasuk rusak jelek hingga rusak sedang dengan
prosentase tutupan karang. Dampak yang ditimbulkan akibat kerusakan
ekosistem terumbu karang ber- pengaruh terhadap hasil penangkapan ikan
oleh nelayan tradisional.
2. Faktor sosial ekonomi tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan
kesempatan kerja lain berkorelasi positif terhadap sikap dan persepsi
(perilaku) masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang.
3. Teknik transplantasi yang langsung diterapkan pada area patahan karang
(rubble) bekas pemboman ikan dapat dilakukan untuk memulihkan ekosistem
terumbu karang.
4. Keberhasilan hidup karang yang digunakan sebagai spesimen transplantasi
pada umur 4 minggu dapat bertahan hidup.
5. Kerusakan Ekosistem terumbu karang terjadi sebagai akibat pengetahuan
nelayan yang kurang memahami dampak kegiatan yang ditimbulkan, hal ini
dapat dibuktikan dengan kondisi terumbu karang di perairan desa Tongali
sebagai loksi penelitian termasuk rusak jelek hingga rusak sedang.
Selanjutnya di lokasi pembanding sekitar perairan desa Biwinapada dapat
dikategorikan rusak sedang hingga baik.
6. Hasil monitoring penutupan karang hidup di Sanur dan Serangan menunjukan
hasil dari Sedang hingga Baik, hasil Sedang terdapat pada stasiun 2 di
kedalaman 8 meter, dan Stasiun 4 pada kedalaman 3 meter. Sedangkan di
Stesiun yang lain berstatus Baik.
7. Beberapa aspek yang perlu dioptimalkan dalam pengelolaan terumbu karang
di sanur adalah aspek hukum, aspek kelembagaan, aspek pendanaan dan
aspek sinergitas

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

4.2. Saran
Terumbu karang merupakan ekositem laut yang cukup unik dan indah di
Indonesia. Namun saat ini keberadaan terumbu karang sudah sangat terancam
punah karena sudah banyak mengalami kerusakan. Kerusakan yang terjadi
diakibatkan oleh berbagaimacam aspek ada yang rusak secara alami dan rusak
karena ulah manusia sendiri. Sehingga perlu adanya kerjasama yang baik dari
berbagai pihak, yakni dari pemerintah maupun masyarakat untuk dapat
melestarikan ekosistem laut ini supaya terumbu karang bisa terjaga dan tetap
lestari dan terhindar dari ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab

DAFTAR PUSTAKA

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

Adelfia Papu, 2011. Kondisi Tutupan Karang Pulau Kapoposang, Kabupaten


Pangkajene Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan, Jurnal EKOSAINS
I Vol. III No. 3 November 2011
Haruddin. Edi Purwanto, dan Sri Budiastuti, 2011. Dampak Kerusakan Ekosistem
Terumbu Karang Terhadap Hasil Penangkapan Ikan Oleh Nelayan Secara
Tradisional Di Pulau Siompu Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara.
Jurnal EKOSAINS I Vol. III No. 3 November 2011.
Prasetyo, Rahmadi dan I G Widhiantara, 2013.Kajian Potensi Kerusakan
Terumbu Karang dan Alternatif Pemecahannya di Perairan Sanur.
jurnal.undhirabali.ac.id/wp-content/uploads/penelitianbiologi.pd
Romy Ketjulan, 2013. Penelitian Kelangsungan Hidup Karang (Acropora
formosa) pada Area yang Telah Mengalami Kerusakan di Perairan
Pulau Hari, Jurnal Mina Laut Indonesia, Vol. 01 No. 01 hal (128-133)
ISSN: 2303-3959, 2013
Sembiring Ingrid, Adnan Wantasen, dan Edwin L.A. Ngangi. 2012. Manfaat
Langsung Terumbu Karang Di Desa Tumbak Kabupaten Minahasa
Tenggara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Vol. VIII-2, Agustus
2012

Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir

Anda mungkin juga menyukai