Anda di halaman 1dari 17

Community-Acquired Pneumonia (CAP)

PENDAHULUAN
Community-acquired pneumonia (CAP) merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di Amerika Serikat dan dunia. Influenza dan pneumonia
merupakan penyebab utama kematian kedelapan di Amerika Serikat dan penyebab
utama kematian keenam pada orang di atas usia 65 tahun. Pada tahun 2004, lebih dari
59.000 kematian dikaitkan dengan influenza dan pneumonia, dengan tingkat kematian
gabungan (usia disesuaikan) yaitu 20,3 kematian tiap 100.000 orang. Pada tahun
2005, sekitar 1,4 juta pasien dipulangkan dengan diagnosis pneumonia, dan pasien-
pasien ini memiliki rata-rata lama rawat inap 5,3 hari. Pada tahun 2004, perkiraan
biaya pengobatan CAP pada populasi pekerja adalah $ 12,5 miliar.
Dengan seringnya orang bepergian ke seluruh penjuru dunia, muncullah
patogen virulen baru dengan potensi menyebabkan epidemi global, seperti sindrom
pernafasan akut berat dan flu burung. Dengan ketersediaan dan penggunaan antibiotik
spektrum luas yang merata, patogen yang sering dijumpai malah mempunyai sifat
resistensi antimikroba terhadap pengobatan antimikroba standar. Community-
acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) and drug-resistant
Streptococcus pneumoniae (DRSP) adalah contoh patogen yang sekarang lebih sulit
untuk diobati karena telah resisten. Patogen-patogen yang muncul ini telah membuat
pengelolaan awal CAP semakin menantang. Selain itu, Centers for Medicare dan
Medicaid Services (CMS) baru-baru ini mendukung dokumentasi langkah-langkah
inti yang bertujuan untuk mengevaluasi kinerja institusi perawatan kesehatan dalam
merawat pasien CAP yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keuntungan finansial
bagi lembaga-lembaga ini. Hal ini telah mendorong banyak lembaga untuk lebih
memperhatikan regulasi pengobatan CAP dengan mengadopsi pedoman untuk
memastikan akreditasi di masa depan. Panduan ini mengkaji diagnosis dan
manajemen pasien dengan CAP.
DIAGNOSIS
Diagnosis CAP harus dipertimbangkan ketika gejala klinis dan tanda-tanda
menunjukkan infeksi saluran pernapasan dengan tambahan bukti radiologis baru yang
mengindikasikan adanya konsolidasi. Bukti mikrobiologis adanya infeksi pada
diagnosis awal tidak selalu tersedia dan tidak diperlukan untuk diagnosis. Riwayat
sugestif infeksi saluran pernapasan akut meliputi batuk, produksi sputum, dyspnea,
nyeri dada pleuritik, dan demam. Pemeriksaan fisik dapat mengungkap adanya
demam, takipnea, takikardia, dan termasuk keabnormalan pada pemeriksaan paru-
paru namun tidak terbatas pada suara nafas retak dan suara napas bronkial.
Oksigenasi harus segera dinilai pada semua pasien dengan pulse oximetri atau gas
darah arteri. Tertundanya assessmen oksigenasi telah dikaitkan dengan penundaan
pemberian antibiotik dan peningkatan risiko kematian di unit perawatan intensif
(ICU) pada CAP berat.
Gambaran radiografis pada CAP bervariasi dan sebagian besar tidak spesifik
untuk organisme. Temuan dapat berkisar dari konsolidasi ruang udara pada 1 atau
lebih lobus paru untuk mendifuskan retikular bilateral atau infiltrat nodular. Selain
memastikan diagnosis, pencitraan dapat menghasilkan diagnosis alternatif, seperti
gagal jantung kongestif. Kebanyakan pedoman merekomendasikan bahwa semua
pasien dengan diagnosis dicurigai CAP menjalani radiografi dada. Sementara
radiografi dada tetap menjadi standar emas untuk diagnosis CAP, ini bukan
pemeriksaan yang paling sensitif maupun tes yang paling spesifik untuk diagnosis ini.
Computed tomography (CT) resolusi tinggi telah terbukti meningkatkan konfirmasi
radiografi CAP lebih dari radiografi itu sendiri, tetapi penggunaan rutin CT tidak
dianjurkan karena paparan radiasi dan biaya yang lebih dibandingkan dengan
radiografi dada.
Hasil dari kultur darah rutin relatif rendah, berkisar antara 5,6 % sampai 13,9
%. Karena hasil dari kultur darah jarang menyebabkan perubahan dalam antibiotik
pada CAP yang tidak berat, beberapa telah menyarankan bahwa kultur darah
disediakan untuk pasien dengan CAP parah atau untuk hosts yang terkena. Namun,
kultur darah yang hasilnya positif dapat mengarahkan pengobatan dan
memungkinkan untuk penurunan (deeskalasi) di masa depan dalam pengobatan untuk
pasien individual. Kebanyakan ahli tetap menyarankan mendapatkan 2 perangkat
pretreatment kultur darah dari semua pasien dengan pneumonia berat dan pada
sebagian besar pasien rawat inap dengan CAP. Hanya 39 % sampai 62 % dari pasien
mampu menghasilkan sputum, dan dari jumlah ini hanya 54 % hingga 57 % dari
spesimen yang merupakan spesimen berkualitas memadai; antara 49 % dan 56 % dari
spesimen yang memadai akan memiliki hasil kultur positif cultures. Secara
keseluruhan perolehan kultur sputum dapat serendah 14 %. Kultur S. pneumoniae dan
H. influenzae adalah yang paling sensitif dan spesifik untuk patogen ini ketika
pewarnaan Gram mengungkapkan morfotipe predominan. Sementara hasil kultur
pernafasan rendah dan tergantung pada kualitas spesimen, kultur seperti itu harus
didapat bila memungkinkan.
Tes antigen kemih Legionella dan pneumokokus harus dilakukan pada semua
pasien dengan CAP berat. Tes antigen kemih untuk mendeteksi Legionella telah
terbukti berkorelasi dengan keparahan penyakit. Sensitivitas tes antigen kemih pada
penyakit legiuner ringan adalah 40 % sampai 53 % dibandingkan dengan 88 %
sampai 100 % pada penyakit legiuner berat. Karena antigen kemih pneumokokus
dapat tetap positif selama berhari-hari dan antigen kemih Legionella akan tetap positif
selama berminggu-minggu setelah infeksi, tes ini mungkin berguna pada pasien yang
tidak merespon terapi. Sebuah tes polymerase chain reaction untuk Legionella
sekarang tersedia, tetapi ada sedikit data klinis untuk mendukung kegunaannya dan
tidak umum digunakan dalam praktek rutin. Tes deteksi antigen influenza juga
berguna dalam seting klinis di mana ada suspek influenza. Kecepatan dari tes
memungkinkan untuk tindakan pengendalian infeksi dan pengobatan tepat waktu
pada influenza, jika diindikasikan. Beberapa tes juga membedakan antara influenza A
dan B, mengarahkan pengobatan dan memberikan informasi epidemiologis.
Diagnosis definitif CAP yang disebabkan oleh bakteri patogen atipikal memerlukan
demonstrasi adanya kenaikan titer akut dan titer fase konvalesen (pada tahap
penyembuhan) pada pengujian serologis. Karena titer fase konvalesen diambil setelah
infeksi akut, informasi tersebut umumnya tidak menuntun keputusan terapi dan tidak
umum digunakan dalam praktek klinis.
Ketika semua strategi diagnostik diambil bersama-sama, diagnosis
mikrobiologis dapat ditegakkan dalam 29,6 % sampai 75 % kasus CAP.


PENGOBATAN
Skor Keparahan Penyakit
Salah satu dilema yang paling umum dalam memulai pengobatan untuk CAP
adalah memutuskan apakah akan memulai pengobatan rawat jalan, atau, jika
pengobatan rawat inap dipandang perlu, menentukan tingkat perawatan yang tepat
pada pasien yang dirawat. Ketika sebagian besar dokter lebih memilih untuk berbuat
cenderung di sisi keselamatan, risiko komplikasi terkait rumah sakit dan infeksi
nosokomial di samping biaya tambahan rawat inap harus dipertimbangkan dengan
cermat. Keparahan sistem penilaian penyakit telah dikembangkan untuk membantu
dengan keputusan pengobatan pada pasien dengan CAP. 2 skor keparahan penyakit
yang paling umum digunakan adalah Indeks Keparahan Pneumonia (PSI) dan sistem
penilaian CURB - 65, yang direkomendasikan oleh British Thoracic Society (BTS).
PSI, awalnya dikembangkan oleh Fine dan rekan-rekan, dirancang untuk
mengidentifikasi pasien yang berisiko rendah dari kematian. Sistem penskoran PSI
menggunakan 20 variabel berdasarkan usia, adanya penyakit penyerta, temuan fisik,
dan temuan laboratorium abnormal pada presentasi awal untuk risiko,
mengelompokkan pasien ke dalam 5 kelas ( I- V ) sesuai dengan angka perkiraan
kematian pada 30 hari. Pedoman The Infectious Diseases Society of America (IDSA) /
American Thoracic Society (ATS) merekomendasikan bahwa pasien di kelas I dan II
PSI tidak memerlukan rawat inap karena rendahnya tingkat kematian pasien rawat
jalan yang diamati. Beberapa pasien yang masuk dalam kelas III mungkin sesuai
untuk rawat jalan, dan pasien kelas IV dan V memerlukan perawatan di rumah sakit.
PSI telah terbukti dapat memprediksi dengan memadai keparahan CAP dan
mengidentifikasi pasien yang berisiko rendah akan kematian. Namun, telah dikritik
sebagai tidak akurat dalam mengevaluasi pasien muda dengan hipoksemia dan efusi
pleura, karena cenderung lebih amat mengandalkan pada usia dan faktor komorbiditas
dan kurang sekali pada skor keparahan akut. PSI juga memerlukan penggunaan
angka-angka laboratorium dan daftar lengkap dari variabel yang mungkin dapat
membatasi kegunaannya sendiri dalam penskoran pada pasien rawat jalan.
Skor CURB-65 dikembangkan untuk lebih mudah mengidentifikasi pasien
dengan CAP yang beresiko tinggi kematian. Skor ini terdiri dari 5 variabel :
kebingungan, tingkat nitrogen urea darah (> 20 mg / dL), laju pernapasan ( 30 kali /
menit), tekanan darah rendah (sistolik < 90 mm Hg, diastolik 60 mm Hg), dan usia
( 65 tahun). Setiap variabel diberi skor 1 jika ada. Lim dan rekan-rekan
menggabungkan 1.068 pasien dari 3 percobaan prospektif menjadi 1 dataset, 80 % di
antaranya diacak menjadi kohort derivasi untuk mengidentifikasi prognosis. Derivasi
kohort kemudian diuji terhadap 20% sisanya, yang berfungsi sebagai kohort validasi.
Mereka menemukan bahwa pasien dapat dikelompokkan resikonya berdasarkan skor
0 sampai 5 sampai angka kematian masing-masing sebesar 0,7%, 3,2%, 3%, 17%,
41,5%, dan 57%. Akibatnya, BTS menunjukkan bahwa pasien dengan skor CURB-65
dari 0 dan 1 diobati sebagai pasien rawat jalan, pasien dengan skor 2 harus
dimasukkan ke bangsal umum, dan pasien dengan skor 3 atau lebih sering
membutuhkan rawatan ICU. Sebuah versi modifikasi dari sistem penilaian CURB-65
menghilangkan variabel nitrogen urea darah (CRB-65), yang mungkin lebih tepat
dalam seting rawat jalan. Meski dievaluasi tidak seekstensif dibanding skor PSI, skor
CURB-65 telah terbukti menjadi prediktor yang baik dari kematian dengan 5
parameter yang mudah dihitung. Skor ini paling efektif dalam kecepatan
mengidentifikasi pasien yang sakit akut dengan risiko tinggi kematian. Kelebihan ini
membuat skor CURB-65 menjadi pilihan yang menarik di ruang gawat darurat yang
sibuk atau pada pasien rawat jalan. Karena tidak memperhitungkan akun
komorbiditas, skor ini mungkin tidak cocok untuk pasien dengan beberapa
komorbiditas atau dalam mengidentifikasi pasien berisiko rendah.
Beberapa studi telah diusahakan untuk mengidentifikasi sistem penskoran
keparahan yang optimal untuk CAP dengan hasil yang berbeda, yang mana dapat
disimpulkan bahwa setiap sistem penilaian memiliki kekuatan dan kelemahannya
sendiri. Selain itu, baik penskoran PSI maupun CURB-65 tidak memperhitungkan
faktor-faktor sosial ekonomi seperti kemampuan untuk membeli obat atau tindak
lanjut pasien rawat jalan (meskipun ini adalah alasan yang cukup umum untuk
memasukkan pasien ke rawatan rumah sakit). Dokter harus menyadari keterbatasan
sarana penskoran ini dan membuat keputusan pengobatan yang sesuai. Dokter harus
ingat bahwa perawatan setiap pasien adalah tergantung individu dan sistem penilaian
seharusnya tidak melebihi penilaian klinis dalam mengambil putusan.

Pengelolaan Pasien dengan Pneumonia Berat
Pasien dengan pneumonia berat memiliki masalah tambahan yang dapat
mempengaruhi angka kematian.
Masalah manajemen spesifik yang berkaitan dengan pasien dengan CAP parah adalah
sebagai berikut :
1. Pasien dengan CAP berat harus dirawat segera ke ICU atau unit yang lengkap
untuk mengelola perawatan pernapasan. Sebuah unit pemantauan telemetri jantung
tidak dapat menggantikan unit monitoring pernapasan tingkat tinggi kecuali itu
dirancang untuk melakukannya.
2. Penilaian pernapasan harus dilakukan segera , dan keputusan harus dibuat
mengenai kebutuhan untuk ventilasi mekanis.
3. Jika kriteria untuk sindrom gangguan pernapasan akut terpenuhi, ventilasi mekanis
dengan ventilasi volume tidal rendah harus dimulai.
4. Antibiotik spektrum luas empiris harus diberikan dalam waktu 4 jam di instalasi
gawat darurat.

5. Dua set kultur darah pre-treatment harus diperoleh.
6. Jika pasien diintubasi, sebuah aspirasi trakea atau spesimen lavage bronchoalveolar
harus dikirim untuk dikultur.
7. Tes antigen Legionella dan pneumokokus harus dikirim.
8. Hemodinamik dan volume harus dinilai segera, dan sedini mungkin, terapi yang
langsung diarahkan pada tujuan harus dimulai jika diindikasikan.
9. Jika ada bukti respon inflamasi yang berat, drotrecogin alfa harus dipertimbangkan
pada saat yang tepat.
10. Setelah patogen primer diidentifikasi, pengurangan dari rejimen antibiotik diikuti
dengan beralih ke obat oral dan perencanaan pemulangan harus dipertimbangkan.

Pemilihan Antibiotik
Terapi antibiotik awal untuk pasien dengan CAP hampir selalu empiris .
Keputusan ini harus dipandu dengan gejala klinis dan tingkat keparahan, demografi
pasien dan faktor risiko, dan pola resistensi lokal. Dokter harus menyadari bahwa
sindrom klinis tidak selalu berkorelasi dengan patogen yang sebenarnya dan harus
berhati-hati tentang penggunaan antibiotik spektrum sempit pada pasien rawat inap
untuk pengobatan awal. Penggunaan awal regimen antibiotik yang tidak sesuai telah
terbukti dapat meningkatkan angka kematian dan lamanya rawatan pada pasien
dengan pneumonia, terutama pasien dengan pneumonia berat, pneumonia terkait
rawatan kesehatan (HCA), dan pneumonia yang didapat di rumah sakit, meskipun
belum terbukti mempengaruhi mortalitas pada CAP non - berat. Meskipun tidak ada
perubahan besar dalam pemilihan antibiotik awal dalam pedoman IDSA / ATS
terbaru, munculnya strain/kuman yang resisten terhadap obat baru patogen umum
seperti CA-MRSA dan DRSP telah meningkatkan kesadaran mengenai kemungkinan
kegagalan awal pengobatan. Kesadaran akan pola resistensi lokal dapat sangat
berguna dalam kasus semacam ini. Untuk pasien dengan pneumonia berat yang
membutuhkan masuk ICU, infeksi Legionella menjadi lebih mungkin. Antibiotik
awal untuk pasien ini harus dapat mengatasi S. pneumoniae dan spesies Legionella.
Pasien dengan faktor risiko atau sindrom klinis yang menunjukkan patogen yang
memerlukan jangkauan yang lebih luas seperti spesies Pseudomonas atau CA-MRSA
harus dipertimbangkan pada basis kasus-per-kasus.
Makrolida telah dikenal dengan baik dan sejak lama digunakan untuk
pengobatan CAP rawat jalan. Munculnya DRSP telah meningkatkan kekhawatiran
terhadap kegagalan pengobatan awal. Meskipun pernah tercatat kegagalan pemberian
makrolid dengan organisme yang resisten, kegagalan pengobatan belum terbukti
meningkatkan angka kematian jika pasien kemudian dirawat dan diobati dengan
kombinasi - laktam dan makrolida. Fluoroquinolon juga sering digunakan sebagai
antibiotik tunggal pada pasien rawat jalan. Tidak semua fluoroquinolon yang bisa
digunakan sebagai kuinolon pernapasan. Kuinolon pernapasan tersedia di Amerika
Serikat termasuk levofloxacin, moksifloksasin, gatifloksasin, dan gemifloxacin.
Untuk mengurangi resistensi yang luas, fluoroquinolon harus disediakan untuk pasien
dengan faktor risiko terkena DRSP, komorbiditas, penyakit bronkopulmonalis, dan
yang baru dirawat inap. Penelitian-penelitian retrospektif terbaru menunjukkan
peningkatan mortalitas dan kegagalan obat pada pasien dengan CAP berat yang
diobati dengan terapi obat tunggal obat dengan kuinolon dibandingkan dengan
kombinasi - laktam dan makrolida. Sejumlah penelitian retrospektif pada CAP berat
telah menemukan tren menuju hasil yang lebih baik dengan kombinasi makrolida dan
generasi ketiga cephalosporin dibandingkan dengan monoterapi. Telah dikemukakan
bahwa hal ini dapat dikaitkan dengan efek in vitro imunomodulator makrolida dan
anti inflamatif. Beberapa penelitian prospektif telah membandingkan efektivitas
terapi tunggal fluoroquinolon dengan kombinasi laktam ditambah makrolida, dan
studi lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi masalah ini. Namun,
kemungkinan kegagalan obat pada pasien rawat inap dengan CAP dapat
menyebabkan dokter untuk lebih memilih kombinasi pengobatan makrolida / -
laktam dibandingkan pengobatan dengan obat tunggal dengan fluoroquinolon.
Cakupan untuk Patogen Atipikal
Pneumonia atipikal disebabkan oleh patogen yang tidak tumbuh dalam media
kultur bakteri standar. Mereka mewakili sekitar 15 % dari semua kasus CAP.
Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae adalah organisme umum yang
menyebabkan pneumonia atipikal, dan keduanya mewakili proporsi yang signifikan
dari CAP pada pasien rawat jalan. Organisme tersebut juga telah dikaitkan dengan
hiperreaktivitas bronkus dan asma pasca - CAP. Legionella adalah patogen CAP
atipikal yang sering menyebabkan pneumonia lebih parah daripada patogen atipikal
lainnya. Sementara CAP yang disebabkan oleh patogen atipikal dapat hadir dengan
sindrom klinis yang berbeda (misalnya, penyakit legionnaire dengan gejala
ekstraparu), tidak mungkin untuk secara definitif membedakan CAP atipikal dengan
CAP khas/tipikal berdasarkan sindrom klinis saja. Selain itu, ada laporan dari
koinfeksi dengan patogen yang khas/tipikal dan atipikal. Karena diagnosis patogen
spesifik sering tidak memungkinkan, pengobatan CAP harus selalu ditargetkan /
dianggap terjangkit patogen atipikal. Kebanyakan patogen atipikal tidak memiliki
dinding sel dan karena itu tidak akan merespon - laktam. Antibiotik dengan
cakupan patogen atipikal termasuk makrolid, kuinolon, tetrasiklin, dan ketolides.
Untuk semua pasien dengan pneumonia berat, tes antigen Legionella kemih harus
dilakukan dan cakupan antibiotik empiris harus mencakup Legionella.

Pemberian Awal Antibiotik
Dalam sebuah penelitian retrospektif dari 18.209 pasien Medicare, Houck et
al menemukan bahwa pemberian antibiotik dalam waktu 4 jam sejak kedatangan ke
rumah sakit terkait dengan penurunan lamanya rawatan inap dan tinggal di rumah
sakit dan mortalitas 30 hari. Kesimpulan ini juga didukung oleh studi sebelumnya
oleh Kahn et al yang menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari pada pasien yang
menerima dosis pertama antibiotiknya dalam waktu 4 jam setelah tiba di RS. Pada
kedua studi, manfaat terhadap mortalitas hanya signifikan pada pasien yang berusia
65 tahun atau lebih. Temuan ini menyebabkan Proyek Pneumonia Nasional (NPP)
dari CMS untuk menyesuaikan ukuran kinerja NPP hingga 4 jam. Waktu 4 jam untuk
dosis antibiotik pertama (TFAD) sejak itu telah digunakan sebagai pengukur kinerja
untuk pelaporan publik tingkat-rumah sakit dan program membayar-untuk-kinerja,
mendorong banyak rumah sakit untuk menerapkan langkah-langkah untuk
memastikan 100% kepatuhan prosedur dijalankan. Pemberian awal antibiotik juga
telah diperluas dengan mencakup pasien yang lebih muda dari 65 tahun, meskipun
ada manfaat mortalitas ditunjukkan pada kelompok ini. Praktek ini telah
menimbulkan keprihatinan di kalangan penyedia layanan kesehatan bahwa antibiotik
sering diberikan sebelum diagnosis pneumonia sebenarnya untuk memastikan
kepatuhan dengan penilaian TFAD 4 jam. Hal ini dapat menempatkan pasien yang
mungkin tidak benar-benar memiliki pneumonia beresiko untuk terjadi resistensi
antimikroba dan komplikasi dari penggunaan antibiotik yang tidak perlu serta
menambah meningkatnya biaya perawatan. Memang, beberapa studi retrospektif
telah menunjukkan penurunan akurasi dalam diagnosis pneumonia dan peningkatan
penggunaan antibiotik sejak pelaksanaan penilaian TFAD 4 jam. Pedoman IDSA /
ATS untuk CAP saat ini tidak menentukan secara pasti waktu tetapi
merekomendasikan bahwa dosis pertama antibiotik harus diberikan di instalasi
darurat untuk pasien yang dirawat dan di praktik dokter untuk pasien rawat jalan.
Singkatnya, antibiotik harus diberikan sesegera setelah diagnosis pneumonia
ditegakkan atau dalam jumlah waktu yang wajar jika diagnosis masih belum pasti.
Idealnya, ini harus terjadi tidak lebih dari 4 jam (dan tentu saja tidak lebih dari 8 jam)
setelah masuk RS.

Step -Down Antibiotik, Waktu untuk Beralih ke Antibiotik Oral, dan Lama
Pengobatan
Ada tren kecenderungan beralih lebih awal ke antibiotik oral, durasi
pemberian antibiotik yang lebih singkat, dan pemulangan lebih awal untuk pasien
yang merespon terapi seperti diperkirakan. Antibiotik harus beralih ke bentuk oral
setelah hemodinamik pasien stabil, secara klinis membaik (batuk dan sesak napas
berkurang, suhu 37,8 C 8 jam, hitung sel darah putih normal), dan mendapat
asupan oral dan penyerapan gastrointestinal yang memadai. Hal ini berlaku untuk
pasien dengan CAP non - berat, dan pasien dengan CAP berat non-ICU, dan pasien
dengan pneumonia S. pneumoniae dengan bakteremia. Idealnya , pasien harus beralih
ke antibiotik yang sama atau antibiotik kelas yang sama dengan cakupan yang sama,
meskipun berhasil dengan misalnya peralihan dari sefalosporin ditambah makrolid
hingga ke makrolid oral saja yang mana obat dapat ditoleransi dengan baik. Tidak
diperlukan untuk mengalihkan pasien ke kelas pengobatan yang berbeda untuk
bioavailabilitas yang meningkat. Pasien dapat dipertimbangkan untuk dipulangkan
setelah mereka menunjukkan stabilitas klinis, bila tidak ada kebutuhan untuk
perawatan rawat inap untuk menangani komorbiditas yang sedang berlangsung atau
untuk evaluasi lebih lanjut, dan ketika tidak ada isu-isu sosial yang memerlukan
rawat inap lanjutan. Mengamati pasien selama 24 jam setelah beralih ke terapi oral
belum terbukti menurunkan tingkat rawat inap ulang di rumah sakit.
Sementara durasi terapi yang sesingkat selama 3 hari telah digunakan tanpa
perubahan signifikan pada kegagalan pengobatan, pedoman IDSA / ATS
merekomendasikan durasi pengobatan minimal 5 hari. Selain itu, pasien harus secara
klinis stabil dan tidak demam selama 48 sampai 72 jam sebelum penghentian
antibiotik. Pasien dengan pneumonia rumit atau patogen spesifik tertentu seperti S.
aureus mungkin memerlukan durasi terapi yang lebih lama. Ini harus
dipertimbangkan pada basis kasus-per-kasus.

PNEUMONIA NON-RESPONDING
Tidak ada definisi resmi tentang apa yang merupakan pneumonia non-
responding atau kegagalan pengobatan. Secara umum, istilah-istilah ini telah diakui
sebagai label untuk 2 entitas yang berbeda . Yang pertama adalah kerusakan akut atau
kurangnya perbaikan klinis pada awal 72 jam pertama pengobatan. Yang kedua
terjadi ketika ada gejala klinis persisten atau infiltrat saat tindak lanjut setelah selesai
pemberian antibiotik. Penyebab umum kegagalan pengobatan dini termasuk
mikroorganisme atipikal atau resisten, diagnosis alternatif seperti perdarahan paru
atau cryptogenic organizing pneumonia (COP), atau komplikasi dari CAP seperti
empiema. Kegagalan pengobatan yang terjadi kemudian sering menunjukkan adanya
diagnosis alternatif seperti COP, pneumonitis hipersensitivitas, dan karsinoma
bronchoalveolar.
Pada kedua kelompok pasien, reevaluasi menyeluruh dari riwayat pasien,
pemeriksaan fisik , dan hasil mikrobiologis dan pencitraan ulang harus dilakukan.
Evaluasi ulang harus mencakup riwayat lengkap dari faktor risiko dan kontak sakit
dan ulangi semua kultur, termasuk tes untuk patogen atipikal seperti uji antigen
Legionella kemih. Sebuah pengulangan rontgen dada dan sering CT scan dada yang
menyeluruh diharuskan. Bronkoskopi dengan bronchoalveolar lavage telah terbukti
meningkatkan hasil diagnostik pada pasien dengan pneumonia non-responding.
Bronkoskopi menmberi visualisasi langsung dari saluran udara, yang dapat mengarah
ke diagnosis alternatif, seperti lesi endobronkial menyebabkan pneumonia obstruktif.
Selain itu, dapat memberikan spesimen untuk analisis mikrobiologis lebih lanjut dan
spesimen histopatologi yang dapat mengarah ke diagnosa lain seperti pneumonia
Pneumoncystis jiroveci atau karsinoma bronchoalveolar. Jika efusi hadir,
thoracentesis diagnostik diindikasikan. Tidak ada studi yang membahas pengobatan
untuk pneumonia non-responding. Arah penyelidikan lebih lanjut dan perubahan pada
pengobatan harus dipandu oleh masing-masing pasien pada basis kasus - per-kasus .

Pencegahan
Influenza merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas dari CAP.
Influenza dapat menyebabkan pneumonia influenza primer atau pneumonia bakteri
sekunder dan menyebabkan eksaserbasi pada penyakit cardiopulmonary yang sudah
ada sebelumnya. Organisme umum yang menyebabkan pneumonia bakteri sekunder
di samping influenza adalah S. pneumoniae , S. aureus , dan H. influenzae. Influenza
juga dikaitkan dengan pneumonia CA-MRSA. Sekitar 35.000 kematian dan 200.000
rawat inap di Amerika Serikat yang terkait dengan influenza setiap tahun. Risiko
kematian tertinggi ada pada populasi lanjut usia dan pada pasien dengan
komorbiditas.
Vaksinasi adalah strategi preventif yang paling efektif terhadap influenza.
Khasiatnya bervariasi, karena tergantung pada host serta pertarungan antara vaksin
dan strain yang beredar secara lokal pada virus. Vaksinasi pada pasien di atas usia 65
tahun pada studi observasional telah terbukti secara signifikan mengurangi durasi
rawat inap untuk pneumonia atau influenza, penyakit jantung, penyakit
serebrovaskular, dan semua penyebab kematian. Ada sejumlah perdebatan tentang
tingkat manfaat yang ditemukan dalam penelitian ini, dan beberapa ahli telah
menyarankan bahwa penyelidikan lebih lanjut diperlukan. Pedoman IDSA / ATS
merekomendasikan vaksinasi influenza sejalan dengan Komite Penasehat Praktik
Imunisasi (ACIP) dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit. Semua orang
yang berusia 50 tahun dan yang lebih tua, penghuni fasilitas perawatan kronis, pasien
dengan penyakit kardiopulmoner kronis termasuk asma dan penyakit paru obstruktif
kronik, pasien dengan kondisi neurologis kronis yang mengganggu jalan napas,
pasien dengan komorbiditas lain, dan pekerja kesehatan harus divaksinasi terhadap
influenza setiap tahunnya. Kontraindikasi termasuk hipersensitivitas terhadap telur
atau produk telur, pengalaman efek samping yang serius sebelum vaksinasi, dan
sindrom Guillain - Barr yang pernah diderita sebelumnya. Vaksinasi influensa telah
dikaitkan dengan kecilnya peningkatan risiko dirawat di rumah sakit akibat sindrom
Guillain - Barr. Prevalensi yang rendah dan onset penyakit yang lambat
menyebabkan hubungan kausal dengan kesulitan vaksinasi influenza. ACIP
merekomendasikan bahwa manfaat vaksinasi influenza yang telah dikenal lebih besar
daripada risiko yang tidak pasti akibat sindrom Guillain - Barr saat ini.
Periode optimal untuk vaksinasi di Amerika Utara adalah Oktober dan
November, namun vaksin dapat diberikan sepanjang bulan-bulan musim dingin juga.
Meskipun telah ada rekomendasi ini, hanya 45,9 % orang dewasa di atas usia 50
tahun yang mendapat vaksinasi influenza pada tahun 2006. Oleh karena itu, semua
pasien harus dievaluasi untuk vaksinasi influenza .
Penyakit pneumokokus invasif merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di Amerika Serikat. Dengan munculnya DRSP, vaksinasi tampaknya
merupakan pilihan yang logis untuk pencegahan penyakit. Vaksin polisakarida
pneumokokus (PPV 23) direkomendasikan untuk digunakan pada orang dewasa.
Vaksin ini berisi 23 antigen polisakarida kapsular yang dimurnikan yang mewakili
serotipe yang paling umum yang menyebabkan penyakit pneumokokus invasif di
Amerika Serikat. Vaksinasi pneumokokus telah terbukti efektif mengurangi tingkat
infeksi pada anak-anak dan telah terbukti efektif pada pasien berusia 65 tahun ke atas.
Kemanjurannya terhadap pneumonia pneumokokus non-bacteremis masih belum
jelas. ACIP merekomendasikan vaksinasi pneumokokus pada orang berusia 65 tahun
dan ke atas, orang-orang berisiko tinggi berusia 2 sampai 64 tahun, dan orang-orang
dengan indikasi berisiko tinggi, seperti penyakit kardiopulmoner berat, diabetes, dan
pasien immunocompromised. Sementara ACIP tidak memasukkan rekomendasi
untuk perokok, IDSA/ATS merekomendasikan vaksinasi pneumokokus dan vaksinasi
influenza pada perokok yang tidak mau untuk berhenti karena risiko terkena
pneumokokus bakteremis yang lebih tinggi pada perokok. Pasien yang dirawat
dengan CAP juga harus divaksinasi karena tidak ada perlindungan silang di antara
serotipe. Sebuah vaksinasi ulang tunggal dianjurkan untuk orang yang berusia 65
tahun dan lebih tua yang pernah mendapat vaksinasi 5 tahun lalu atau lebih awal lagi
saat mereka masih berusia kurang dari 65 tahun. Pasien immunocompromised juga
harus mendapat vaksinasi ulang tunggal setelah 5 tahun. Sebuah vaksinasi ulang
ketiga belum diteliti secara luas dan karena itu tidak dianjurkan.
Merokok telah terbukti menjadi faktor risiko untuk penyakit pneumokokus
invasif pada perokok dan perokok pasif, dengan risiko yang timbul masing-masing 51
% dan 17 %. Merokok juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko pada penyakit
legiuner. Selain menawarkan vaksinasi pneumokokus, pasien harus didorong untuk
mencoba berhenti merokok .

CA-MRSA
CA-MRSA mengemuka pada akhir 1990-an ketika dilaporkan adanya wabah
kecil di penjuru AS. Laporan-laporan tersebut mengutip bahwa pasien yang terjangkit
merupakan atipikal saat dibandingkan dengan pasien-pasien lain yang terinfeksi
patogen resisten. Pasien yang terjangkit berusia muda, lebih sehat, dan tanpa faktor
resiko HCA. Selain infeksi sebagian besarnya ditemukan berupa infeksi kulit dan
jaringan lunak, infeksi-infeksi yang lebih invasif termasuk pneumonia nekrotik,
endokarditis, dan sepsis. Sejumlah kecil wabah di penjara-penjara dan sekolah-
sekolah telah meningkatkan kesadaran komunitas medis dan media. Perkiraan awal
adalah menyebarnya MRSA nosokomial MRSA ke komunitas, data klinis dan
epidemiologis menunjukkan bahwa CA-MRSA berdiam di tempat tinggal komunitas
dan mempunyai marker genotip yang sangat berbeda yang membedakannya dengan
HCA-MRSA. Di sisi lain, CA-MRSA telah dilaporkan menyebabkan wabah di RS.
Ini menandakan bahwa This CA-MRSA mempunyai potensi menyebar ke komunitas
perawatan kesehatan dan menegaskan pentingnya kontrol infeksi di lokasi rumah
sakit.
CA-MRSA menyebabkan pneumonia nekrotik berat, mengemuka pada tahap
awal dekade ini. Pasien dengan pneumonia CA-MRSA nekrotik sering hadir dengan
simptom mirip influenza, demam tinggi, leukopenia, dan hemoptisis, dan dapat saja
berlanjut may acute respiratory distress syndrome. Gambaran efusi pleural dan
empiema juga dilaporkan. Gambaran radiografis termasuk konsolidasi ekstensif
bilateral atau multilobular dan lesi cavitas. Efusi juga dapat hadir.
Resistensi Methicillin diperantarai oleh penicillinbinding protein PBP2A.
Kuman CA-MRSA membawa SCCmec tipe IV. Silsilah CA-MRSA yang paling
umum di AS adalah klon USA 300 dan USA 400. Sebaliknya, kuman HCA-MRSA
membawa SCCmec tipe I, II, dan III. Silsilah yang paling umum adalah USA 100 dan
USA 200.
Faktor virulensi utama pada CA-MRSA adalah Panton-Valentine leukocidin
(PVL) yang mengkodekan gen-gen lukS-PV dan lukF-PV. Gen PVL sering
ditemukan pada kuman CA-MRSA dan jarang pada kuman HCA-MRSA. PVL
Adalah sebuah exotoxin yang mempunyai kemampuan untuk melisiskan leukosit.
Dipercaya secara instrumental dalam menyebabkan nekrosis dan leukopenia pada
infeksi jaringan lunak dan pneumonia nekrotis dari CA-MRSA.
Seperti semua kuman MRSA, CA-MRSA resisten terhadap antibiotik -
lactam dan hampir secara universal rentan terhadap vancomycin dan linezolid.
Namun, CA-MRSA mempunyai pola kerentanan yang lebih luas dibanding HCA-
MRSA. Lebih umum rentan terhadap trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX),
clindamycin, tetracycline, chloramphenicol, dan rifampin. Saat ini, belum ada
percobaan pengobatan terhadap pneumonia CA-MRSA. Kebanyakan ahli
merekomendasikan clindamycin atau TMP-SMX untuk pengobatan rawat jalan.
Kemungkinan resisten clindamycin akibat induksi harus dikenali, dan uji pemberian
erythromycin harus dilakukan jika clindamycin akan digunakan.Untuk infeksi berat
yang mengancam jiwa, vancomycin atau linezolid harus digunakan. Rifampin dapat
digunakan dengan kombinasi dengan hanya antibiotik, ketika resistensi akan terjadi
jika hanya digunakan sebagai agen tunggal. Clindamycin dan linezolid telah terbukti
secara in vitro untuk menekan translasi gen-gen yang menghasilkan PVL, toxic shock
syndrome toxin-1, dan -hemolysin. Hal ini telah menyebabkan sejumlah ahli
merekomendasikan penggunaan clindamycin dan linezolid sebagai antibiotik yang
dipilih pada pengobatan pneumonia CA-MRSA pneumonia.

Kesimpulan
CAP masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas di AS. Diagnosis
dini dan triase juga penanganan segera dengan antibiotik yang sesuai penting untuk
keberhasilan pengobatan CAP. Pencegahan CAP dengan vaksinasi sebaiknya
digunakan kapanpun memungkinkan. Banyak literature yang berkembang ke
pengembangan banyak sarana pedoman dan diagnostik untuk membantu dokter
dalam mengobati pasien dengan CAP. Penerapan pedoman-pedoman ini dalam
fasilitas layanan kesehatan akan cenderung menjadi lebih banyak di masa depan.
Banyak pertanyaan terkait pengobatan CAP telah terjawab pada dekade lalu, meski
masih banyak kontroversi yag tersisa. Patogen-patogen baru terus bermunculan dan
pola resistensi baru akan mengemuka. Sangat penting bahwa kita harus melanjutkan
perluasan pengetahuan kita di bidang ini demi pasien-pasien kita.

Anda mungkin juga menyukai