Anda di halaman 1dari 12

1

Jurgen Habermas
Serta Pemikirannya tentang Ranah Publik



Tugas mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan
Semester Ganjil 2008/2009

Dosen: Dr. Akhyar Yusuf Lubis













Oleh: Satrio Arismunandar

NPM: 0806401916




Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia
Oktober 2008
2

Pendahuluan

Jurgen Habermas adalah anggota generasi kedua Sekolah Frankfurt, yang
merupakan figur paling terkemuka dan juga kontroversial, dalam dunia berdebatan
sosio-kritis dan filosofis Jerman. Ajaran Habermas banyak dipengaruhi gurunya, T.W.
Adorno, namun Habermas juga banyak mengangkat berbagai isu bersama gurunya itu.
Habermas mengabdikan karya kehidupannya untuk membela dan mengklaim
kembali proyek kritik pencerahan, atau apa yang disebutnya wacana filosofis tentang
modernitas. Dalam karya awalnya, seperti Knowledge and Human Interests (1968),
ia mengadopsi pendekatan yang dipengaruhi aliran Marxis dan Kantian secara
meluas. Ia berusaha merekonstruksi genealogi ilmu pengetahuan kemanusiaan dan
ilmu pengetahuan alam modern, dengan mempertanyakan kembali kondisi
kemunculan ilmu-ilmu itu secara sosial, historis, dan epistemologis.
Karya Habermas sangat banyak. Namun, karena keterbatasan dan
ketidaksanggupan makalah ini untuk membahas semuanya, maka bahasan di sini lebih
dipusatkan ke karya Habermas yang berkaitan dengan ranah publik (public sphere).
Fokus pilihan ini penulis kira sangat relevan dengan konteks Indonesia,
dengan makin tumbuhnya media elektronik (televisi) di berbagai kota, sejak era
reformasi. Saat ini sedikitnya ada 11 stasiun TV yang bersiaran secara nasional.
Belum lagi ditambah puluhan stasiun TV lokal, seperti TV Bali, TV Banten, Jak TV,
dan sebagainya.
Sementara ada keterbatasan alokasi frekuensi bagi keberadaan media-media
tersebut. Pada saat yang sama, banyak media TV dianggap belum menyajikan
program-program yang mendidik dan bermanfaat bagi masyarakat. Sementara mereka
memanfaatkan frekuensi yang terbatas (ranah publik) tersebut lebih untuk
kepentingan komersial dirinya sendiri.

Riwayat Jurgen Habermas

Jurgen Habermas lahir pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf, North Rhine-
Westphalia, Jerman. Ia adalah filsuf dan sosiolog Jerman dalam tradisi teori kritis dan
pragmatisme Amerika. Ia mungkin paling dikenal berkat karyanya tentang konsep
ranah publik, topik dan judul dari buku pertamanya.
3

Karya Habermas berfokus pada landasan-landasan teori sosial dan
epistemologi, analisis masyarakat kapitalistik maju dan demokrasi, penegakan hukum
(rule of law) dalam konteks sosial-evolusioner kritis, dan politik kontemporer
khususnya politik Jerman.
Sistem teoretis Habermas diabdikan untuk mengungkapkan kemungkinan
nalar, emansipasi, dan komunikasi rasional-kritis --yang laten dalam institusi-institusi
modern dan dalam kapasitas manusia-- untuk mempertimbangkan secara sungguh-
sungguh dan mengejar kepentingan-kepentingan rasional.
Sampai kelulusannya dari gimnasium, Habermas tinggal di Gummersbach,
dekat Cologne. Ayahnya, Ernst Habermas, adalah Direktur Eksekutif Kamar Dagang
dan Industri Cologne. Jurgen Habermas belajar di Universitas Gottingen (1949/50),
Zurich (1950/51), dan Bonn (1951-54) dan meraih doktor filsafat dari Bonn pada
1954, dengan disertasi berjudul das Absolute und die Geschichte. Von der
Zwiepaltigkeit in Schellings Denken (Yang Absolut dan Sejarah: Tentang Kontradiksi
dalam Pemikiran Schelling).


Jurgen Habermas

Dari tahun 1956 dan seterusnya, ia belajar filsafat dan sosiologi di bawah
pengusung teori kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno di Institut untuk Riset
Sosial di Johann Wolfgang Goethe University, Frankfurt am Main. Namun, kemudian
terjadi perselisihan antara dua tokoh itu tentang disertasi Habermas.
Adorno yang bangga pada Habermas, relatif lebih bisa menerima disertasi
Habermas. Namun, Horkheimer, yang menganggap Habermas terlalu radikal,
4

menuntut revisi-revisi yang tak bisa diterima oleh Habermas. Adanya perselisihan itu,
serta keyakinan Habermas bahwa Sekolah Frankfurt sudah lumpuh oleh skeptisisme
politik dan kemuakan pada budaya modern, membuat Habermas memilih
menyelesaikan habilitasi (disertasi pasca-doktoral) dalam ilmu politik di Universitas
Marburg, di bawah bimbingan tokoh Marxis, Wolfgang Abendroth.
Karya habilitasi Habermas berjudul Strukturwandel der Offentlichkeit;
Untersuchungen zu einer Kategorie der Burgerlichen Gesellschaft (Transformasi
Struktural Ranah Publik: Suatu Penyelidikan ke dalam Kategori Masyarakat Borjuis),
yang terjemahan Inggrisnya terbit pada 1989.
Pada 1961, Habermas menjadi Privatdozent (dosen luar biasa) di Marburg,
dan dalam langkah yang amat tidak biasa bagi dunia akademis Jerman pada waktu
ituHabermas ditawari posisi profesor luar biasa ilmu filsafat di Universitas
Heidelberg pada 1962. Tawaran itu ia terima. Pada 1964, Habermas dengan dukungan
kuat dari Adorno, kembali ke Frankfurt untuk mengambil alih kursi Horkheimer
dalam pengajaran filsafat dan sosiologi.
Habermas menerima posisi Direktur Institut Max Planck di Starnberg, dekat
Munich, pada 1971, dan bekerja di sana sampai 1983, dua tahun setelah terbitnya
karya utamanya, The Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif).
Habermas lalu kembali ke kursinya di Frankfurt dan jabatan Direktur Institut Riset
Sosial.
Sejak berhenti (pensiun) dari Frankfurt pada 1993, Habermas terus
menerbitkan karyanya secara meluas. Pada 1986, ia menerima Penghargaan Gottfried
Wilhelm Leibniz dari Deutsche Forschungsgemeinschaft, yang merupakan bentuk
penghargaan tertinggi untuk riset di Jerman. Habermas juga memegang jabatan
profesor tamu permanen di Northwestern University di Evanston, Illinois, dan
Profesor Theodor Heuss di The New School, New York, Amerika.
Habermas mengunjungi Republik Rakyat Cina pada April 2001. Ia juga
menjadi penerima Penghargaan Kyoto 2004 dalam bidang Seni dan Filsafat. Ia
berkunjung ke San Diego, dan pada 5 Maret 2005 sebagai bagian dari Simposium
Kyoto yang diadakan oleh Universitas San Diegomemberikan ceramah berjudul
Peran Publik Agama dalam Konteks Sekuler. Ceramah ini berkaitan dengan evolusi
pemisahan Gereja dan Negara, dari netralitas ke sekularisme yang intens. Habermas
menerima penghargaan Holberg International Memorial Prize pada 2005.

5

Habermas tentang Ranah Publik

Dalam bukunya, Transformasi Struktural Ranah Publik, Habermas
mengembangkan konsepnya yang berpengaruh, tentang ranah publik. Karya
Habermas ini sangat kaya dan memberi dampak besar pada berbagai disiplin ilmu.
Buku ini juga menerima berbagai kritik yang rinci, membuka wawasan, serta
mendorong munculnya diskusi-diskusi yang sangat produktif, antara lain tentang
demokrasi liberal, masyarakat sipil, kehidupan publik, dan perubahan-perubahan
sosial pada abad ke-20.
Dalam buku itu, dengan menggeneralisasi perkembangan-perkembangan di
Inggris, Perancis, dan Jerman pada penghujung abad ke-18 dan ke-19, Habermas
pertama membuat sketsa sebuah model yang disebutnya ranah publik borjuis. Ia
kemudian juga menganalisis kemunduran ranah publik ini pada abad ke-20.
Ranah publik borjuis, yang mulai muncul pada sekitar tahun 1700 dalam
penafsiran Habermas, adalah berfungsi untuk memperantarai keprihatinan privat
individu dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan keluarga, yang dihadapkan dengan
tuntutan-tuntutan dan keprihatinan dari kehidupan sosial dan publik.
Ini mencakup fungsi menengahi kontradiksi antara kaum borjuis dan citoyen
(kalau boleh menggunakan istilah yang dikembangkan oleh Hegel dan Marx awal),
mengatasi kepentingan-kepentingan dan opini privat, guna menemukan kepentingan-
kepentingan bersama, dan untuk mencapai konsensus yang bersifat sosial.
Ranah publik di sini terdiri dari organ-organ informasi dan perdebatan politik,
seperti suratkabar dan jurnal. Serta institusi diskusi politik, seperti parlemen, klub
politik, salonsalon sastra, majelis publik, tempat minum dan kedai kopi, balai
pertemuan, dan ruang-ruang publik lain, di mana diskusi sosio-politik berlangsung.
Konsep ranah publik yang diangkat Habermas ini adalah ruang bagi diskusi
kritis, terbuka bagi semua orang. Pada ranah publik ini, warga privat (private people)
berkumpul untuk membentuk sebuah publik, di mana nalar publik tersebut akan
bekerja sebagai pengawas terhadap kekuasaan negara.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, individu dan kelompok dapat
membentuk opini publik, memberikan ekspresi langsung terhadap kebutuhan dan
kepentingan mereka, seraya mempengaruhi praktik politik. Ranah publik borjuis
memungkinkan terbentuknya area aktivitas opini publik, yang menentang kekuasaan
6

negara yang opresif, serta kepentingan-kepentingan kuat yang membentuk masyarakat
borjuis.
Prinsip-prinsip ranah publik melibatkan suatu diskusi terbuka tentang semua
isu yang menjadi keprihatinan umum, di mana argumentasi-argumentasi diskursif
(bersifat informal, dan tidak ketat diarahkan ke topik tertentu) digunakan untuk
menentukan kepentingan umum bersama. Ranah publik dengan demikian
mengandaikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak untuk
secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan.
Sesudah terjadinya revolusi-revolusi demokratis, Habermas menyarankan,
agar ranah publik borjuis ini dilembagakan dalam aturan konstitusional, yang
menjamin hak-hak politik secara meluas. Serta, mendirikan sistem yudisial untuk
menengahi klaim-klaim antara berbagai individu atau berbagai kelompok, atau antara
individu dan kelompok dan negara.
Dalam konsep Habermas, media dan ranah publik berfungsi di luar sistem
politis-kelembagaan yang aktual. Fungsi media dan ranah publik ini sebagai tempat
diskusi, dan bukan sebagai lokasi bagi organisasi, perjuangan, dan transformasi
politik.
Dalam bukunya itu, Habermas juga mengkontraskan berbagai bentuk ranah
publik borjuis. Mulai dari ranah publik yang bersifat partisipatoris dan aktif di era
heroik demokrasi liberal, sampai dengan bentuk-bentuk ranah publik yang lebih privat
dari pengamat politik dalam masyarakat industri birokratis. Pada masyarakat
semacam itu, kalangan media dan elite mengontrol ranah publik.

Kemerosotan Ranah Publik

Sesudah menyatakan gagasan tentang ranah publik borjuis, opini publik, dan
publisitas, Habermas menganalisis struktur sosial, fungsi-fungsi politis, dan konsep
serta ideologi ranah publik. Kemudian, Habermas menggambarkan transformasi
sosial-struktural ranah publik, perubahan-perubahan dan fungsi publiknya, serta
pergeseran-pergeseran dalam konsep opini publik dalam tiga bab penyimpulan.
Dua tema utama dari buku Habermas itu mencakup analisis kelahiran historis
ranah publik borjuis, yang diikuti dengan ulasan tentang perubahan struktural ranah
publik di era kontemporer. Habermas menganalisis kemerosotan ranah publik itu pada
abad ke-20.
7

Yaitu, dengan bangkitnya kapitalisme negara, industri budaya, dan posisi yang
semakin kuat di pihak perusahaan ekonomi dan bisnis besar dalam kehidupan publik.
Dalam ulasannya ini, ekonomi besar dan organisasi pemerintah telah mengambil alih
ruang publik, di mana warga negara hanya diberi kepuasan untuk menjadi konsumen
bagi barang, layanan, administrasi politik, dan pertunjukan publik.
Menurut Habermas, berbagai faktor akhirnya mengakibatkan kemerosotan
ranah publik. Salah satu faktor itu adalah pertumbuhan media massa komersial, yang
mengubah publik menjadi konsumen yang pasif. Mereka menjadi tenggelam dalam
isu-isu yang bersifat privat, ketimbang isu-isu yang menyangkut untuk kebaikan
bersama dan partisipasi demokratis.
Faktor lain, adalah munculnya negara kesejahteraan, yang menyatukan negara
dan masyarakat sebegitu mendalam, sehingga ranah publik menjadi tertekan habis.
Negara mulai memainkan peran yang lebih fundamental dalam kehidupan sehari-hari
dan lingkungan aktivitas privat, sehingga mengikis perbedaan antara negara dan
masyarakat sipil, serta antara ranah publik dan privat.
Faktor-faktor ini juga mengubah ranah publik menjadi sebuah situs bagi
kontestasi atas sumber-sumber negara, yang lebih ditujukan untuk kepentingan diri
sendiri, ketimbang menjadi ruang bagi pengembangan konsensus rasional yang
mendahulukan kepentingan publik.
Menurut analisis Habermas, dalam ranah publik borjuis, opini publik dibentuk
oleh konsensus dan perdebatan politik. Sedangkan dalam ranah publik yang sudah
merosot kualitasnya di kapitalisme negara kesejahteraan (welfare state capitalism),
opini publik diatur oleh para elite politik, ekonomi, dan media, yang mengelola opini
publik sebagai bagian dari manajemen sistem dan kontrol sosial.
Jadi, pada tahapan yang lebih awal dari perkembangan borjuis, opini publik
dibentuk dalam debat politik terbuka, berkaitan dengan kepentingan umum bersama,
dalam upaya membentuk sebuah konsensus yang menghargai kepentingan umum.
Sebaliknya, dalam tahapan kapitalisme kontemporer, opini publik dibentuk oleh
kalangan elite yang dominan, dan dengan demikian sebagian besar mewakili
kepentingan privat partikular mereka.
Tidak ada lagi konsensus rasional di antara para individu dan kelompok, demi
kepentingan artikulasi kebaikan bersama, yang dijadikan sebagai norma. Sebaliknya,
yang terjadi adalah pertarungan di antara berbagai kelompok untuk memajukan
8

kepentingan privat mereka sendiri, dan inilah yang menjadi ciri panggung politik
kontemporer.
Karena itu, Habermas menjabarkan transisi dari ranah publik liberal, yang
berasal dari Pencerahan (Enlightenment) serta revolusi Amerika dan Perancis, ke
ranah publik yang didominasi media di era masa sekarang, yang disebutnya
kapitalisme negara kesejahteraan dan demokrasi massa.
Transformasi historis ini, sebagaimana bisa kira catat, didasarkan pada analisis
Horkheimer dan Adorno tentang industri budaya. Yakni, kondisi di mana perusahaan-
perusahaan raksasa mengambil alih ranah publik, dan mengubah ranah publik itu dari
ranah perdebatan rasional menjadi ranah konsumsi yang manipulatif dan pasifitas.
Dalam transformasi ini, opini publik bergeser dari konsensus rasional yang
muncul dari debat, diskusi, dan refleksi, menjadi opini yang direkayasa lewat jajak
pendapat atau pakar media. Jadi, perdebatan rasional dan konsensus telah digantikan
oleh diskusi yang diatur dan manipulasi lewat mekanisme periklanan dan badan-
badan konsultasi politik.
Bagi Habermas, fungsi media dengan demikian telah diubah dari memfasilitasi
wacana dan perdebatan rasional dalam ranah publik, menjadi membentuk,
mengkonstruksi, dan membatasi wacana publik ke tema-tema yang disahkan dan
disetujui oleh perusahaan-perusahaan media. Maka, saling-hubungan antara ranah
debat publik dan partisipasi individu sudah patah, dan berubah bentuk ke dalam
lingkungan aktivitas informasi politik atau pertunjukan publik. Dalam lingkungan
semacam itu, warga-konsumen menyerap dan mencernakan hiburan dan informasi
secara pasif.
Warga negara dengan demikian sekadar menjadi penonton pertunjukan dan
wacana media, yang membentuk opini publik, dan menurunkan derajat
konsumen/warganegara itu menjadi sekadar obyek bagi berita, informasi, dan urusan-
urusan publik.
Dalam magnum opusnya, The Theory of Communicative Action (1981),
Habermas mengeritik proses modernisasi sepihak, yang dipimpin oleh kekuatan-
kekuatan rasionalisasi ekonomi dan administratif. Habermas memandang, intervensi
yang semakin meningkat dari sistem formal terhadap kehidupan kita sehari-hari, itu
sejalan dengan pertumbuhan negara kesejahteraan, kapitalisme korporat, dan budaya
konsumsi massa.
9

Kecenderungan yang semakin kuat ini telah memberi pembenaran bagi
perluasan area kehidupan publik, dan menundukkan mereka di bawah logika pukul
rata tentang efisiensi dan kontrol.
Partai-partai politik, yang diregulerkan, dan kelompok-kelompok kepentingan
telah menjadi pengganti dari demokrasi partisipatoris. Masyarakat pun semakin diatur
pada tingkatan yang jauh dari masukan warga negara. Akibatnya, batas-batas antara
publik dan privat, antara individu dan masyarakat, serta antara sistem dan dunia
kehidupan, semakin memudar.
Proyek Habermas tentang ranah publik itu menggunakan berbagai disiplin
ilmu, termasuk filsafat, teori sosial, ekonomi, dan sejarah, dan dengan demikian
merintis gaya Institut untuk Riset Sosial, dalam menghasilkan teori sosial
supradisiplin. Pandangan historis proyek ini lalu menjadi landasan bagi proyek-
proyek yang dilakukan Institut tersebut, untuk pengembangan teori kritis era
kontemporer.
Aspirasi politik Habermas telah memposisikannya sebagai pengkritik atas
kemerosotan demokrasi di masa sekarang, dan imbauan bagi pembaruan demokrasi.
Ini adalah tema-tema yang tetap bersifat sentral dalam pemikiran Habermas.
Kehidupan publik demokratis hanya berkembang subur, manakala institusi-
institusi memungkinkan warga negara, untuk memperdebatkan masalah-masalah yang
menjadi kepentingan publik. Habermas menggambarkan jenis ideal dari situasi
bicara ideal (ideal speech situation), adalah ketika para aktor secara setara dibekali
dengan kapasitas wacana, mengakui persamaan sosial dasar antara satu dengan yang
lain, dan pembicaraan mereka tidak terdistorsi oleh ideologi atau salah pengenalan
(misrecognition).
Habermas optimistis tentang kemungkinan menghidupkan kembali ranah
publik. Ia melihat harapan bagi masa depan di era baru komunitas politik, yang
melampaui negara-bangsa yang berbasis pada kesamaan etnik dan budaya, menuju ke
arah negara yang berdasarkan pada hak-hak setara dan kewajiban warga negara yang
melekat secara hukum.
Teori diskursif tentang demokrasi ini mensyaratkan komunitas politik, yang
secara kolektif dapat merumuskan kehendak politiknya, dan mengimplementasikan
kehendak politik itu menjadi kebijakan di tingkatan sistem legislatif. Sistem politik ini
mensyaratkan sebuah ranah publik aktivis, di mana hal-hal yang menjadi kepentingan
10

bersama dan isu-isu politik dapat didiskusikan, dan kekuatan opini publik dapat
mempengaruhi proses pengambilan keputusan.

Beberapa kritik terhadap Habermas

Sejumlah akademisi telah melontarkan berbagai kritik terhadap pernyataan
Habermas tentang ranah publik. John B. Thompson, pengajar sosiologi di Universitas
Cambridge, menunjukkan bahwa pernyataan Habermas tentang ranah publik itu kini
menjadi usang, jika kita melihat penyebaran komunikasi media massa.
Sedangkan Michael Schudson dari Universitas California, San Diego,
memberi argumen yang lebih umum. Ia menyatakan, ranah publik sebagai tempat
perdebatan independen yang murni rasional seperti disebutkan Habermas-- adalah
tidak pernah ada.
Sejumlah pengeritik menyatakan, Habermas terlalu mengidealisasi ranah
publik borjuis di tahap-tahap awal, dengan menjabarkannya sebagai forum diskusi
dan debat yang rasional. Padahal, faktanya, kelompok-kelompok tertentu telah
disisihkan dari forum tersebut, dan dengan demikian partisipasi juga dibatasi.
Habermas sendiri kemudian mengakui bahwa ranah publik yang disebutkannya waktu
itu memang lebih sebagai jenis ideal, dan bukan ideal normatif yang mau
dibangkitkan lagi dari ambang kematian.
Memang, Habermas terkesan agak mengidealisasi ranah publik borjuis
sebelumnya. Meskipun konsep ranah publik dan demokrasi mengasumsikan adanya
perayaan liberal dan populis tentang keanekaragaman (diversitas), toleransi,
perdebatan, dan konsensus, pada kenyataannya ranah publik borjuis didominasi oleh
kaum pria, pemilik properti, yang berkulit putih. Ranah publik kelas pekerja, kaum
perempuan, dan warga kelas bawah lain, yang berkembang seiring dengan ranah
publik borjuis untuk mewakili suara dan kepentingan kelas bawah, disisihkan dari
forum ranah publik borjuis tersebut.
Oskar Negt dan Alexander Kluge mengeritik Habermas, karena mengabaikan
ranah-ranah publik kaum proletar dan masyarakat kelas bawah. Dalam refleksinya,
Habermas menulis bahwa ia sekarang menyadari sejak dari awal, publik borjuis yang
dominan berbenturan dengan publik kelas bawah, dan bahwa ia telah meremehkan
signifikansi ranah-ranah publik yang non-borjuis dan bersifat oposisional.
11

Maka, daripada membayangkan adanya sebuah ranah publik yang demokratis
atau liberal, adalah lebih produktif untuk membuat teori tentang berbagai macam
ranah publik, yang kadang-kadang tumpang-tindih namun juga bertentangan. Ini
mencakup juga ranah-ranah publik dari kelompok-kelompok yang disisihkan, serta
konfigurasi-konfigurasi yang lebih mewakili arus utama (mainstream). Ranah publik
itu sendiri bergeser dengan bangkitnya gerakan-gerakan sosial baru, teknologi baru,
dan ruang-ruang baru bagi interaksi publik, seperti Internet.
Sedangkan Mary Ryan mencatat adanya ironi bahwa bukan saja Habermas
telah mengabaikan ranah publik kaum perempuan. Namun, Habermas juga menandai
kemerosotan ranah publik persis pada momen ketika kaum perempuan mulai
mendapatkan kekuasaan politik dan menjadi aktor.
Vitalitas ranah publik kaum perempuan memang terjadi pada abad ke-19 di
Amerika. Terlihat dengan adanya usaha-usaha pengorganisasian oleh Susan B.
Anthony, Elizabeth Cary Stanton, dan lain-lain dari tahun 1840-an sampai masuk
abad ke-20, dalam suatu perjuangan yang berkelanjutan, demi memperoleh hak-hak
memberi suara dalam pemilu dan hak-hak kaum perempuan.
Selain kritik-kritik di atas, juga diragukan, apakah politik demokratis pernah
disemangati oleh norma rasionalitas atau opini publik, yang dibentuk lewat konsensus
dan perdebatan rasional, sampai ke tahapan ciri-ciri (ideal) konsep Habermas tentang
ranah publik borjuis. Politik di sepanjang era modern selalu menjadi permainan
kepentingan dan kekuasaan, serta diskusi dan perdebatan.
Mungkin hanya sedikit masyarakat borjuis Barat yang telah mengembangkan
ranah publik dalam ciri-ciri ideal yang dinyatakan Habermas. Meskipun patut
dihargai, usaha mengkonstruksi model masyarakat yang baik, yang bisa membantu
mewujudkan nilai-nilai egalitarian dan demokratis yang disepakati, adalah suatu
kekeliruan jika kita berlebih-lebihan mengidealisasi dan menguniversalkan suatu
ranah publik spesifik, sebagaimana yang dilakukan Habermas.
Proyek Habermas juga dilemahkan oleh pembedaan atau pembagian kategoris
yang terlalu kaku, antara ranah publik liberal klasik dan ranah publik kontemporer;
antara sistem dan dunia kehidupan; dan antara produksi dan interaksi. Konsepsi-
konsepsi dualistik seperti itu sendiri telah dinafikan oleh revolusi teknologi, di mana
media dan teknologi memainkan peran vital di kedua sisi dari pembagian kategoris
Habermas, dan dengan demikian merusak pembagian tersebut.
12

Pembedaan-pembedaan itu juga mengesampingkan usaha-usaha untuk
mentransformasikan sisi pembedaan Habermas, yang ia anggap sulit diubah atau
dipengaruhi, untuk kepentingan demokratis yang harus dilakukan, atau norma-norma
tindakan komunikatif.
Dari sudut pandang perumusan teori ranah publik, misalnya, Habermas
menyatakan, dari saat pengembangan pembedaan ini, Saya menganggap aparat
negara dan ekonomi adalah lahan-lahan tindakan yang terintegrasi secara sistematik,
yang tidak bisa lagi ditransformasikan secara demokratis dari dalam,tanpa merusak
logika sistem mereka yang ada dan kemampuannya untuk berfungsi.
Douglas Kellner beranggapan, pada masyarakat teknologi-tinggi kontemporer,
muncul perumusan ulang dan perluasan ranah publik, yang melampaui konsep
Habermas. Ranah publik adalah tempat bagi informasi, diskusi, kontestasi, perjuangan
politik, dan organisasi, yang mencakup media siaran dan ruang maya (cyberspace)
baru, serta interaksi face-to-face dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan-
perkembangan ini, yang terutama berhubungan dengan teknologi multimedia dan
komputer, menuntut perumusan ulang dan perluasan konsep ranah publik.
Meski dengan adanya beberapa kekurangan tersebut, analisis Habermas telah
berjasa dalam memfokuskan perhatian kita pada hakikat dan transformasi struktural
ranah publik, serta fungsi-fungsinya dalam masyarakat kontemporer.
Analisis Habermas ini perlu dikembangkan, dengan memperhitungkan
revolusi teknologi dan restrukturisasi kapitalisme global, yang terjadi saat ini. Serta,
meninjau ulang teori kritis tentang masyarakat dan politik demokratis, dengan melihat
perkembangan-perkembangan tersebut di atas. ***


Depok, September 2008




Referensi:
Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New
York: Oxford University Press.
Kellner, Douglas. Habermas, the Public Sphere, and Democracy: A Critical
Intervention (lihat: http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/papers/
habermas.htm dan http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/kellner.html)

Anda mungkin juga menyukai