Anda di halaman 1dari 8

MENGAKHIRI KONFLIK LAHAN DI

INDONESIA
Indonesia memiliki sumber kekayaan alam melimpah, terdiri atas hutan yang luas,
sumber daya mineral dan batubara, minyak dan gas serta kekayaan lain non
pertambangan berupa perkebunan, pertanian dan perikanan. Dengan potensi
kekayaan alam yang melimpah, Indonesia menjadi ajang rebutan investasi
internasional dalam menanamkan modal. Perebutan kekayaan alam Indonesia
dimulai dengan perebutan izin Hak Guna Usaha (HGU).
Orientasi utama investasi pada raw material memicu terjadinya konflik lahan/tanah
baik antara rakyat dengan pemerintah, antara investor, dan antara investor dengan
pemerintah. Tidak jarang konflik ini berujung di pengadilan baik nasional maupun
internasional. Pada tingkat level grassroot konflik berujung pada kekerasan dan
korban jiwa manusia serta pelanggara Hak Azasi Manusia.
Selain itu dinamika sistem pemerintahan yang silih berganti, adanya pengaruh
lingkungan global, pengaruh nasional terutama sejak berlakunya otonomi daerah,
munculnya primodialisme kedaerahan serta banyaknya regulasi yang dikeluarkan
pemerintah yang saling tumpang tindih semakin memperluas dimensi konflik tanah.

Neokolonial atas tanah sebagai akar konflik
Perkembangan sejarah sistem penguasaan tanah untuk tujuan investasi modal
besar yang cenderung menghilangkan aspek-aspek perlindungan nasional dan
petani dibandingkan dengan era-era sebelumnya baik itu menyangkut jangka waktu
pemberian izin penguasaan tanah, objek HGU dan perlindungan produksi pangan
rakyat.
Pada era kolonial, aturan hak tanah diatur melalui Undang-Undang Agraria
(Agrariesche Wet, 1870). Melalui Undang-undang ini diberikan dalam bentuk
hak erfpact selama tidak lebih dari 75 tahun. Gubernur Jenderal menjaga jangan
sampai melanggar hak-hak pribumi. Gubernur Jenderal melarang mengambil alih
tanah-tanah kepunyaan rakyat yang berasal dari pembukaan hutan yang digunakan
untuk kepentingan sendiri. Demikian juga tanah-tanah yang digunakan untuk
penggembalaan umum atau dasar lain yang merupakan kepunyaan desa kecuali
untuk kepentingan umum. Semuanya dengan pemberian ganti rugi yang layak.
Setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-
undangan berkaitan dengan tanah, seperti UU Nomor 6 Tahun 1953 tentang
Pernyataan perlunya beberapa tanah-tanah partikelir dikembalikan menjadi tanah
negeri dan UU Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir.
Terkait dengan penanaman modal, pemerintah mengeluarkan undang-undang lain
yaitu UU Nomor 78 tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing, UU Nomor 86
Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda, UU Nomor 10 Tahun
1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan dan UU Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pada era ini, secara umum
peraturan-perundangan yang lahir pada era ini embatasi kepemilikan/ penguasaan
swasta atas tanah dan mengedepankan penguasaan negara.
Pada era orde baru, ditetapkan berbagai UU yang berkaitan dengan hak atas tanah,
yaitu UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang selanjutnya
diikuti UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan yang memberikan hak
pengelolaan hutan kepada swasta selama 30 tahun dan UU Nomor 11 Tahun 1967
tentang Pertambangan. Hak penguasaan atas tanah dalam bentuk HGU pada era
orde baru diberikan dalam jangka waktu 70 tahun.
Pada masa era reformasi, pemerintah membuat berbagai peraturan terkait hak atas
tanah diantaranya adalah UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan, UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Kehutanan yang
memperbolehkan tambang beroperasi di kawasan hutan lindung. UU Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Menurut UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal izin penguasaan
tanah dalam bentuk HGU diberikan dalam jangka waktu 95 tahun. Dalam Bab X,
Pasal 22 ayat (1) yang menyatakan kemudahan pelayanan dan atau perizinan hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 huruf a (hak atas tanah) dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbaharui kembali atas
permohonan penanam modal berupa: (a) Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan
jumlah 95 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus
selama 60 tahun dan dapat diperbaharui selama 35 tahun. (b) Hak Guna Bangunan
dapat diberikan dalam jumlah 80 tahun dengan cara dapat diberikan dan
diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun dan dapat diperbaharui selama 30
tahun. (c) Hak Pakai dapat diberikan selama 70 tahun dengan cara dapat diberikan
dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbaharui
selama 25 tahun.
Selanjutnya setelah UU Penanaman Modal, Pemerintah mensahkan UU tentang
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Melalui UU ini pemerintah justru member
keleluasaan bagi penanaman modal khususnya penanaman modal asing untuk
menguasai lahan untuk kepentingan investasi skala besar.
Terkait dengan pihak yang dapat menguasai tanah dan melakukan pemanfaatan
yang berada di dalam dan di atasnya, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang
Daftar Negatif Investasi melalui Perpres Nomor 77 tahun 2007 tentang Bidang usaha
yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang
penanaman modal yang memberikan hak; untuk sektor energi dan sumber daya
mineral, batas kepemilikan asing maksimal sebesar 95%, Pekerjaan Umum,
termasuk Usaha Air minum dan jalan tol berkisar antara 55-95%, untuk sektor
pertanian, maksimal sebesar 95%. Perpres Nomor 36 tahun 2010 tentang Daftar
Negatif Investasi.
Dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah telah
mengeluarkan berbagai izin dan konsesi untuk eksploitasi SDA. Namun demikian,
masing-masing instansi pemerintah yang memiliki kewenangan pengeluaran izin dan
konsesi mempunyai target masing-masing dalam pencapaian pertumbuhan
ekonomi, sehingga aturan-aturan yang diterbitkan sering tidak selaras. Demikian
pula halnya dengan pemerintah daerah dimana sejak otonomi daerah diberlakukan,
kepala daerah dengan kewenangan yang dimilikinya telah mengeluarkan izin bagi
penguasaan tanah untuk kepentingan bisnis pribadi maupun untuk kepentingan
swasta dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah (PAD).
Sejak pemerintahan orde reformasi, pemerintah telah mengeluarkan izin dan
konsesi di berbagai sektor. Untuk sektor pertambangan dikeluarkan izin dalam
bentuk IP (Izin Pertambangan), IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan kontrak-kontrak
yang telah ada sebelumnya seperti Kontrak Karya (KK), Kuasa Pertambangan (KP).
Di sektor Kehutanan, Pemerintah mengeluarkan izin dalam bentuk HPH (Hak
Penguasaan Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HTR (Hutan Tanaman
rakyat). Di sektor Perkebunan, Pemerintah mengeluarkan HGU (Hak Guna Usaha).
Dan di sektor Migas, Pemerintah mengeluarkan PSC (Production Sharing
Contract/Kontrak Kerjasama).
Hingga saat ini, pemerintah telah mengalokasikan jutaan hektar lahan untuk
kegiatan bisnis. Masing-masing dalam bentuk izin pertambangan minerba seluas
sekitar 42 juta hektar, baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah. Untuk kegiatan usaha di sektor kehutanan, sekitar 32 juta
hektar. Untuk sektor perkebunan sawit dalam bentuk HGU, seluas sekitar 9 juta
hektar. Untuk sektor migas, diperkirakan telah mencapai 95 juta hektar.
Luasnya izin yang telah dikeluarkan oleh pemerintah melalui instansi terkait dan
pemerintah daerah belum didukung dengan basis data yang terintegrasi, baik
antarsektor yang satu dengan yang lain, maupun antara pemerintah pusat dengan
daerah. Hal itulah yang menyebabkan munculnya berita/informasi tentang konflik
tanah, baik antar pengusaha, antar pemerintah dengan pengusaha maupun antar
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Umumnya izin usaha, sebagian besar
berada di kawasan hutan sehingga seringkali terjadi tumpang tindih antara HGU
dengan izin usaha lainnya dan dengan kawasan yang masih berstatus kawasan
hutan seperti hutan lindung, dan pemukiman/lahan milik penduduk/tanah ulayat dan
lain-lain sehingga sering menimbulkan masalah. Basis verifikasi dari lahan-lahan
yang belum tersistem secara baik, terutama pada tingkat pemerintah lokal,
mahalnya pembiayaan untuk pengukuran/verifikasi, menyebabkan pendataan
tentang status lahan secara nasional semakin sulit dilakukan.
Kondisi tersebut diperparah para pimpinan instansi/dinas yang pada umumnya
tidak/belum pernah memanfaatkan teknologi penginderaan jarak jauh yang dimiliki
oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) atau Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) yang mampu memotret sampai dengan jarak 3-5 meter sebagai
fasilitas pemetaan. Di sisi lain terjadinya konflik kepentingan diantara unsur-unsur
pemerintahan daerah dan instansi terkait serta pelaku bisnis (calo, makelar),
menyebabkan sistem pemetaan yang sudah terbangun cenderung diabaikan. Hal
inilah yang menjadi penyebab banyaknya HGU-HGU yang masih bermasalah dan
menjadi konflik dalam masyarakat.

Konflik Agraria Meluas
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian sedikitnya ada 500 kasus gangguan
usaha dan konflik lahan di perkebunan. Permasalahan tersebut antara lain; tuntutan
ganti rugi lahan dan tanam tumbuh, tuntutan pengembalian lahan yang diambil alih,
tuntutan pengembalian tanah adat/ulayat, tuntutan luas areal plasma sesuai jumlah
petani peserta, tuntutan pengembalian lahan masyarakat terhadap tanah yang
sedang dalam proses perpanjangan HGU, tuntutan pembatalan izin HGU oleh
masyarakat, penyerobotan lahan di areal HGU, tumpang tindih lahan antara
perkebunan dengan kawasan hutan, tumpang tindih lahan antara perkebunan
dengan pertambangan.
Tuntutan masyarakat untuk pembangunan kebun seluas minimal 20% dari areal
yang disahkan oleh perusahaan (Peraturan Menteri Pertanian No
26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan)
hingga saat ini tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Menteri Pertanian telah
melimpahkan kasus tersebut ke BPN dan Menteri Kehutanan melalui surat No
120/HK.410/M/5/2013 tanggal 14 Mei 2013 perihal Fasilitasi Penyelesaian Sengketa
Lahan, namun sengketa semakin meluas.
Data yang tercatat di BPN RI sampai tahun 2012 menunjukan bahwa di seluruh
wilayah Indonesia terdapat sebanyak 95 masalah yang terkait HGU secara langsung
dan menimbulkan dampak ekonomi, sosial, politik, keamanan yang lebih
luas. Sementara itu data pemantauan yang dilakukan Konsorsium Pembaharuan
Agraria (KPA) antara Tahun 1970 2001 memperlihatkan terjadinya 334 konflik
agraria yang bersifat struktural, konflik ini lahir terkait penetapan kebijakan
pemerintah atas lahan yang melibatkan masyarakat hukum adat, masyarakat
setempat, dan Badan Usaha baik swasta maupun pemerintah yang hingga kini tidak
terselesaikan.
Selain itu, KPA juga melaporkan bahwa pada tahun 2012, dari 198 konflik agraria,
90 di antaranya adalah kasus konflik terkait dengan HGU perkebunan. Banyak di
antara konflik agraria tersebut disertai dengan tindak kekerasan dan pelanggaran
HAM. Dalam tahun 2012 sedikitnya 13 orang meninggal terkait konflik tersebut.
Disebutkan juga bahwa di seluruh wilayah Indonesia terdapat potensi tanah yang
terindikasi terlantar sebanyak 7,2 juta Ha sebagian besar berstatus HGU, kondisi ini
sangat ironis mengingat jutaan petani sangat membutuhkan lahan garapan. Lahan
terlantar yang belum ditetapkan statusnya sebagai lahan terlantar oleh Badan
Pertanahan Nasional memberi peluang penyerobotan oleh masyarakat dan mafia
tanah untuk menguasai tanah terlantar dengan memperalat aparat dan masyarakat.
Belakangan ini banyaknya kasus penyerobotan lahan dan penerbitan sertifikat tanah
ganda dengan berbagai latar belakang. Ombudsman nasional menunjukkan bahwa
antara tahun 2000 sampai 2001 pelaku utama penyerobotan lahan dilakukan oleh
perusahaan 63%, perorangan 23,1% dan Pemerintah 9,6%. Hingga saat ini
banyaknya penerbitan sertifikat tanah ganda oleh BPN RI hal yang mengakibatkan
potensi terjadinya konflik merupakan kekurangcermatan dari pejabat BPN namun
tidak mendapatkan sanksi yang tegas secara hukum.
Lambatnya proses pendaftaran tanah yang mengakibatkan status hak seseorang
atas tanah menjadi tidak pasti dan tidak terlindungi secara hukum. Sampai tahun
2008 jumlah tanah rakyat bersertifikat baru 39 juta bidang dari 80 juta bidang tanah
atau kurang dari separuh bidang tanah secara nasional. Artinya sekitar 60% tanah-
tanah rakyat belum terlindungi secara hukum.
Proses pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Tata ruang dan Wilayah baru
mencapai 42% dari seluruh wilayah RI. Sebanyak 14 propinsi dari 33 propinsi di
Indonesia telah berhasil menetapkan Perda RTRW, sedangkan 19 propinsi lainnya
masih dalam proses penetapan dengan DPRD masing-masing. Berdasarkan data
dari Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum RI, hingga awal Januari
2013 seluruh 33 Propinsi telah mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri
Pekerjaan Umum melalui Forum Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional
(BKPRN). Untuk Rancangan Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, sebanyak 220
dari 491 Kabupaten/Kota yang sudah mendapatkan persetujuan substansi dari
Menteri Pekerjaan Umum RI melalui forum BKPRN dan sebanyak 258
Kabupaten/Kota (52,54%) sudah memiliki PERDA. Salah satu sebabnya adalah
tingginya kasus korupsi yang berkaitan dengan proses pengurusan izin konsesi dan
upaya memperolah hak atas tanah yang melibatkan aparat pemerintah daerah
terkait.
Kebutuhan lahan untuk perkebunan khususnya kebun sawit relatif tinggi. Pemerintah
telah mentargetkan produksi 40 juta Ton minyak sawit mentah tahun 2020 dan 60
juta Ton pada tahun 2030. Untuk mencapai target produksi 2020 tersebut
dibutuhkan lahan seluas 12 juta Ha (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia/Gapki, Februari 2013). Di sisi yang lain hingga saat ini belum ditetapkan
pembatasan luas maksimum lahan yang dialokasikan untuk perkebunan, perikanan
dan peternakan yang proporsional dengan kepentingan lain. Padahal dengan kondisi
perkebunan sawit seluas 9 juta Ha konflik yang terjadi antar sektor dan pemangku
kepentingan lainnya cukup tinggi.
Semakin banyaknya perusahaan asing yang menguasai saham perusahaan
nasional yang telah memiliki izin HGU. Perusahan-perusahaan asing tersebut
adalah pemilik mayoritas saham pada badan perusahaan badan hukum nasional.
Timbulnya konflik internal di perusahaan nasional tersebut disebabkan karena: (1)
transaksi penjualan saham tidak dilaksanakan sesuai prosedur (dilaksanakan
dibawahtangan), (2) transaksi penjualan saham dilakukan hanya sampai dokumen
notaris PPAT tetapi belum dilakukan perubahan akte perusahaan dan tidak dicatat di
lembar negara. Hal ini dapat menimbulkan konflik sesama pemegang saham.
Adanya gugatan perusahaan asing terhadap pemerintah yang disebabkan oleh
ketidaksinkronannya izin yang diterbitkan oleh pemerintah daerah untuk kegiatan
pertambangan dan/atau perkebunan (pasal 30 UU Nomor 5 Tahun 1960, yang
berhak memperoleh HGU adalah Badan Hukum RI yang didirikan menurut hukum
Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia).
Tingginya laju kerusakan hutan Indonesia akibat perluasan perkebunan sawit
memicu kampanye internasional tentang emisi karbon yang bersumber dari CPO,
hal ini menyebabkan organisasi perdagangan internasional (Asia Pacific Economic
Cooperation/APEC) mengeluarkan CPO dari 54 produk yang dipromosikan sebagai
produk ramah lingkungan. Hal ini menyebabkan negara-negara industri maju
melakukan proteksi habis-habisan terhadap produk CPO.

Ketimpangan Kepemilikan Tanah
Paradigma pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi yakni Investasi perkebunan skala besar cenderung
membutuhkan/menginginkan areal HGU yang luas ( 25 hektar) untuk mencapai
skala ekonomi yang menguntungkan. Hal ini tidak didukung oleh ketersediaan lahan
yang memadai. Selain itu, jangka waktu penguasaan lahan melalui HGU selama 95
tahun oleh pihak swasta nasional dan asing menimbulkan sentimen yang luas di
tengah-tengah masyarakat.
Upaya pemerintah daerah dalam mengejar target penerimaan daerah (Pendapatan
Asli Daerah/PAD) memicu Pemda untuk mengeluarkan izin lokasi namun kurang
memperhatikan daya dukung wilayah. Tidak terintegrasinya antara penetapan target
produksi sektor perkebunan dan alokasi lahan yang diperuntukan secara
nasional. Tumpang tindih antara HGU dengan izin usaha lainnya dan dengan
kawasan yang masih berstatus kawasan hutan seperti hutan lindung, dan
pemukiman/lahan milik penduduk/tanah ulayat dan lain-lain
Akibatnya terjadi Konflik Kelembagaan yakni adanya tumpang tindih, disharmoni
peraturan Perundangan yang mana peraturan perundang undangan sektoral tidak
mengacu kepada UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria. Seperti UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU Nomor 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan berbagai peraturan perundangan
lainnya yang berhubungan dengan penggunaan lahan.
Sektoralisme kelembagaan yang cenderung mengedepankan kepentingan lembaga
masing-masing baik dalam rangka mengejar peningkatan dan penyerapan anggaran
APBN, dan kurang mengedepakan tujuan strategis nasional. Serta desentralisasi
otonomi daerah yang memberi kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk
mengeluarkan izin lokasi dalam rangka HGU dan izin lokasi dalam rangka investasi
yang lain yang beririsan dengan HGU. Persoalan lainnya yakni lemahnya kapasitas
kelembagaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam melakukan Pembinaan
pengawasan, monitoring dan evaluasi. Belum terintegrasinya basis data, baik antar
sektor yang satu dengan yang lain, maupun antara pemerintah pusat dengan
daerah yang menyebabkan kementerian, lembaga dan Pemda menggunakan data
dan informasi yang berbeda dalam administrasi HGU. Serta tidak adanya
perencanaan yang terintegrasi secara nasional terkait dengan HGU
Sementara itu mekanisme penyelesaian konflik dan sistem peradilan yang ada saat
ini dianggap belum memadai untuk mengatasi konflik-konflik yang terjadi. Hal inilah
yang semakin memperpanjang kisah konflik agrarian di Indonesia.
Masalah yang lebih mendasar adaah tingginya ketimpangan kepemilikan dan akses
atas tanah.Rasio Gini lahan saat ini mencapai 0,536 yang berarti bahwa
ketimpangan dalam kepemilikan lahan diantara anggota masyarakat cukup
tinggi. Terdapat perbedaan pandangan antara keyakinan hukum masyarakat dan
norma hukum positif negara tentang status tanah yang mengakibatkan terjadinya
konflik pertanahan. Selain itu tidak tersosialisasi peraturan perundang-undangan
mengenai pertanahan, perkebunan, perikanan, peternakan yang berkaitan dengan
HGU.
Paradigma ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang disertai dengan
desentralisasi kelembagaan dam otonomi daerah yang memicu peningkatan
penguasaan lahan oleh investasi skala besar melalui HGU yang menyebabkan
tingginya ketimpangan dalam penguasaan serta kepemilikan lahan yang bermuara
pada perebutan sumber-sumber agraria yang melahirkan konflik.Pradigma
pembangunan yang yang sesat menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek.
Adapun dampak Ekonomi adalah gangguan terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional (PDB) dan daerah (PDRB) yang berkualitas, ancaman bagi kesejahteraan
masyarakat di tingkat lokal, semakin minimnya lahan yang dapat digarap oleh
petani dan meningkatnya ketidaknyamanan bagi investor dalam melakukan usaha.
Selain itu dampak sosialnya adalah keresahan dan disintegrasi sosial pada
masyarakat di sekitar wilayah perkebunan/HGU. penyelesaian konflik lahan yang
tidak berkesudahan serta lemahnya penegakan hukum dapat mendorong
berkembangnya premanisme dan mafia tanah, dan mendorong terjadinya
urbanisasi. Kondisi ini menimbulkan dampak Politik yakni ketidakpercayaan publik
terhadap pemerintah dan terkikisnya rasa nasionalisme masyarakat, dimanfaatkan
untuk kepentingan politik sesaat oleh elit pemerintahan daerah. Lebih jauh adalah
dampak keamanan seperti Meningkatnya kriminalitas dan gangguan keamanan,
terjadinya situasi dan kondisi yang tidak kondusif. Terjadinya politik pengerahan
massa yang mengakibatkan korban jiwa.

Menata Ulang Kepemilikan Lahan
Berdasarkan pokok permasalahan dan analisis pemecahan masalah Antisipasi dan
Solusi HGU Yang Bermasalah Dalam Rangka Ketahanan Nasional dapat
disimpulkan sebagai berikut :
(a) Adanya tumpang tindih, disharmoni peraturan Perundangan yang mana
peraturan perundang undangan sektoral tidak mengacu kepada UU Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Hal ini dapat diatasi melalui
revisi kembali Instrumen Pengatur yang berkaitan dengan permasalahan HGU.
(b) Lemahnya kapasitas kelembagaan dibidang pertanahan dalam melakukan
pembinaan pengawasan, monitoring dan evaluasi. Hal ini dapat diatasi dengan
melakasanakan penguatan kelembagaan terkait yang membidangi permasalahan
pertanahan secara terpadu.
(c) Belum adanya sistem operasional yang menata kepemilikan, penggunaan,
penguasaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan bagi kelanjutan ketahanan
nasional.
Hal ini dapat diatasi dengan penguatan sistem sistem dan mekanisme operasional
bagi penataan kepemilikan, penggunaan, penguasaan dan pemanfaatan tanah yang
berkeadilan, yang lebih beorientasi kepada kesejahteraan masyarakat.
Untuk itu pemerintah perlu melakukan percepatan penyelesaian HGU yang
bermasalah melalui perubahan paradigma investasi yang kapotalistik dan
liberalis kepada orientasi kerakyatandengan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan
perundangan, dan percepatan redistribusi tanah untuk mengurangi ketimpangan
penguasaan dan kepemilikan tanah dalam rangka ketahanan nasional.
Strategi yang diperlukan yakni dengan menyusun arah, tujuan, program
pembangunan ekonomi nasional yang berorientasi pada pemerataan kepemilikian
serta penguasaan lahan bagi kepentingan peningkatan produktivitas dan
kesejahteraan rakyat.
Pada tingkat peraturan perundangan diperlukan sinkronisasi dan harmonisasi
peraturan perundangan. Merekognisi sistem hukum masyarakat hukum
adat. Penguatan sistem peradilan yang ada. Pengembangan sistem peradilan ad-
hock untuk kasus-kasus pertanahan. Memberikan kewenangan secara bertingkat
dan berjenjang untuk menyelesaikan masalah-masalah agraria (HGU). Serta
menetapkan Peraturan Presiden tentang Kelembagaan penyelesaian konflik agraria.
Sementara pada tingkat pemerintahan diperlukan upaya untuk memvalidasi
peraturan perundangan pertanahan dan meningktkan koordinasi antar lembaga
terkait dengan penggunaan lahan bagi kepentingan investasi. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan menyusun perencanaan penggunaan lahan secara
nasional. Mekanisme koordinasi antara Kementrian dan Lembaga (K/L) dalam
perencanaan dan penggunaan lahan perlu dikembangkan. Menyusun SKB antar
Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, BPN,
Kementerian PU dan Kemendagri. Mendorong pemerintah dan DPR untuk
menetapkan fungsi dan kewenangan atas hak tanah diatur oleh satu Kementerian /
kelembagaan.
Pengeluran izin maupun perpanjangan izin lokasi perlu dibatasi serta melakukan
pengawasan terhadap pengeluaran izin lokasi. Reqruitment dan pengembangan
pegawai dari calon-calon yang potensial juga diperlukan sejalan dengan penguatan
tugas dan fungsi Kedeputian konflik dan sengketa pertanahan yang ada di BPN
RI. Selain itu sistem koordinasi tentang penggunaan lahan terkait HGU antar K/L
dan Pemda juga harus diperkuat.
Semua upaya pemerintah harus diarahkan untuk melakukan redistribusi lahan bagi
pemerataan kepemilikan lahan sesuai kebutuhan masing masing sector bagi
peningkatan produksi, produktifitas dan kesejahteraan rakyat. Untuk sementara
waktu langkah ini dapat diinisiasi oleh BPN untuk mengurangi ketimpangan
kepemilikan lahan. Hal ini dapat dilakukan dengan penataan
ulang pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Redistribusi lahan dimaksudkan untuk memberikan akses yang lebih besar kepada
masyarakat untuk pengembangan pemanfaatan lahan. Hal ini tentu dapat dilakukan
dengan membatasi perizinan investasi perkebunan skala besar, membatasi
kepemilikan asing secara mayoritas di dalam investasi perkebunan, mendorong
pengembangan perkebunan rakyat, penetapan alokasi lahan untuk perkebunan
secara nasional dan penetapan target produksi sektor perkebunan sesuai alokasi
lahan yang ditetapkan.
Penataan kepemilikan lahan dengan prioritas distribusi lahan kepada rakyat
merupakan aspek utama dari reforma agrarian sehingga tanah dapat digunakan
secara maksimal dalam menopang produksi, produktifitas dan kesejahteraan rakyat
sekaligus. Tanah merupakan masalah bagi ketahanan ekonomi dan ketahanan
nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai