Anda di halaman 1dari 19

Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

1
Macro Economics Analysis

Merebaknya Gerai Fast Food dan Tingginya Konsumsi Masyarakat
Terhadap Fast Food di Indonesia

I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Salah satu bisnis atau usaha yang sedang popular dan berkembang di Indonesia
beberapa waktu belakangan ini adalah bisnis kuliner, baik itu makanan maupun
minuman. Bisnis ini menjadi tren bagi kalangan investor maupun entrepreneur untuk
dikembangkan dan dikelola lebih lanjut ke depannya. Ini dikarenakan oleh prospek akan
keuntungan yang didapat dari bisnis ini yang cukup menjanjikan dan dikatakan
menguntungkan, di mana bisnis makanan merupakan salah satu bidang bisnis dengan
pertumbuhan yang cukup tinggi di berbagai tempat atau belahan dunia (Nonto,
2006;13). Selain karena prospek akan keuntungan yang menjanjikan, bisnis ini juga bisa
dikatakan banyak dicari dan dibutuhkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pokok manusia, yaitu pangan. Salah satu konsep bisnis yang popular saat ini mungkin
bisa dibilang adalah bisnis makanan cepat saji (fast food).
Fast food atau makanan cepat saji adalah istilah untuk makanan yang dapat
disiapkan dan dilayankan dengan cepat. Definisi lain tentang fast food merupakan
makanan yang dapat disiapkan dan dikonsumsi dalam waktu singkat (Bertram, 1975).
Yang menjadi perbedaan mendasar antara servis di restoran biasa dengan fast food
menurut SNARR (Syndicat National pour LAlimentation et la Restauration Rapide)
adalah tidak adanya service table dan penggunaan alat makan yang disposable atau
sekali pakai (Bedoya, 2003). Dari segi jenis makanan, banyak jenis makanan yang dapat
dikategorikan sebagai makanan cepat saji, seperti pancake, waffle, hamburger, ayam
goreng, maupun kentang goreng.
Perkembangan fast food sendiri pertama kali muncul pada era perang dunia pertama,
di mana kebutuhan akan efisiensi dalam mempersiapkan makanan kemudian
mendorong munculnya alternatif-alternatif (Bedoya, 2003). Kemudian solusinya pun
muncul dan ternyata cukup simpel, yaitu evolusi dari restoran menjadi diners (restoran
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

2
Macro Economics Analysis

kecil dan lebih informal, semacam depot), kafetaria, dan generasi awal drive-in
restaurants (Ritzer, 1996). Dengan munculnya kepraktisan yang ditawarkan, konsumen
pun semakin tertarik untuk menikmati makanan cepat saji karena mereka tidak harus
repot-repot memasak dan berkutat di dapur rumah untuk dapat menikmati makanan.
Konsep restoran cepat saji ini pun mampu menjadi daya tarik hingga saat ini dan
menjadi alternatif bagi konsumen untuk mendapatkan makanan pesanan dengan cepat
dan bisa dikonsumsi di mana saja.
Awal perkembangan yang paling kentara dalam bisnis fast food yaitu pada periode
tahun 1944-1954, mulai dari konsep fast food yang masih sederhana hingga kemudian
munculnya McDonald yang berkembang pesat hingga saat ini. Di Indonesia sendiri,
pertumbuhan gerai fast food baru merambah masuk pada tahun 1970-an. Kemudian
seiring perkembangan ekonomi Indonesia, ekspansi gerai fast food ini semakin
menanjak dan masuk ke Indonesia terlebih lagi dengan adanya peraturan pemerintah
yang dikeluarkan pada tahun 1997 mengenai waralaba. Dengan adanya PP RI
No.16/1997 yang melegalkan dan member kekuatan hukum bagi ekspansi dan
eksplorasi para pemilik modal, keberadaan restoran cepat saji di Indonesia semakin
menjamur dan berkembang pesat. Ini terbukti dengan pertumbuhan penjualan restoran
cepat saji pada tahun 2006 sebesar 18,21%, tahun 2007 sebesar 22,1%, dan tahun 2008
sebesar 19,4% (SWA 01/XXIII/Februari 2008). Dari peningkatan tersebut, bisa terlihat
pula bahwa permintaan konsumen terhadap fast food, khususnya masyarakat Indonesia
semakin besar. Peningkatan permintaan konsumen ini pun dikarenakan oleh adanya
pertumbuhan ekonomi penduduk yang semakin baik dan juga karena perubahan
perilaku konsumsi akibat peningkatan pendapatan dan standar kehidupan masyarakat.
1.2 Tujuan penelitian
Dari tulisan ini diharapkan pembaca mengetahui mengenai perkembangan gerai fast
food di Indonesia dan juga mampu mengetahui bagaimana hubungannya dengan
perilaku konsumen terhadap konsumsi fast food.


Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

3
Macro Economics Analysis

II. Landasan Teori
2.1 Konsumsi
Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan
oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan. Barang-barang yang
diproduksi digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan
barang konsumsi. Fungsi konsumsi adalah suatu kurva yang menggambarkan sifat
hubungan di antara tingkat konsumsi rumah tangga dalam perekonomian dengan
pendapatan nasional. Fungsi konsumsi dapat dinyatakan dalam persamaan (Mankiw,
2003):
Fungsi konsumsi ialah : C = C + cY..........
Di mana C adalah konstanta atau konsumsi rumah tangga ketika pendapatan adalah
0, c adalah kecenderungan mengkonsumsi marginal di mana 0 < C > 1, di mana C
adalah konsumsi dan Y adalah tingkat pendapatan.
Pengeluaran konsumsi terdiri dari konsumsi pemerintah (government consumption)
dan konsumsi rumah tangga (household consumption/private consumption). Dalam
bahasan kali ini akan lebih difokuskan pada pengeluaran rumah tangga. Adapun faktor-
faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga, antara lain :
1. Faktor Ekonomi
Empat faktor ekonomi yang menentukan tingkat konsumsi, yaitu :
a. Pendapatan Rumah Tangga ( Household Income )
Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat
konsumsi. Biasanya makin baik tingkat pendapatan, tongkat konsumsi
makin tinggi. Karena ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan
rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi
semakin besar atau mungkin juga pola hidup menjadi semakin
konsumtif, setidak-tidaknya semakin menuntut kualitas yang baik.
b. Kekayaan Rumah Tangga ( Household Wealth )
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

4
Macro Economics Analysis

Tercakup dalam pengertian kekayaaan rumah tangga adalah kekayaan rill
(rumah, tanah, dan mobil) dan finansial (deposito berjangka, saham, dan
surat-surat berharga). Kekayaan tersebut dapat meningkatkan konsumsi,
karena menambah pendapatan disposable.
c. Tingkat Bunga ( Interest Rate )
Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi keinginan konsumsi.
Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka biaya ekonomi (opportunity
cost) dari kegiatan konsumsi akan semakin maha. Bagi mereka yang
ingin mengonsumsi dengan berutang dahulu, misalnya dengan
meminjam dari bankatau menggunakan kartu kredit, biaya bunga
semakin mahal, sehingga lebih baik menunda/mengurangi konsumsi.
d. Perkiraan Tentang Masa Depan (Household Expectation About The
Future)
Faktor-faktor internal yang dipergunakan untuk memperkirakan prospek
masa depan rumah tangga antara lain pekerjaan, karier dan gaji yang
menjanjikan, banyak anggota keluarga yang telah bekerja.
Sedangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi antara lain kondisi
perekonomian domestik dan internasional, jenis-jenis dan arah kebijakan ekonomi yang
dijalankan pemerintah.
2. Faktor Demografi
Faktor demografi atau faktor kependudukan yang mempengaruhi konsumsi
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi
secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata per orang atau per
keluarga relatif rendah. Pengeluaran konsumsi suatu negara akan sangat
besar, bila jumlah penduduk sangat banyak dan pendapatan per kapita
sangat tinggi.
b. Komposisi Penduduk
Pengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat konsumsi, antara lain :
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

5
Macro Economics Analysis

Makin banyak penduduk yang berusia kerja atau produktif (15-64 tahun),
makin besar tingkat konsumsi. Sebab makin banyak penduduk yang
bekerja, penghasilan juga makin besar.
Makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, tingkat konsumsinya juga
makin tinggi, sebab pada saat seseorang atau suatu keluarga makin
berpendidikan tinggi maka kebutuhan hidupnya makin banyak.
Makin banyak penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan (urban),
pengeluaran konsumsi juga semakin tinggi. Sebab umumnya pola hidup
masyarakat perkotaan lebih konsumtif disbanding masyarakat pedesaan.
3. Faktor-faktor Non Ekonomi
Faktor-faktor non-ekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya
konsumsi adalah faktor social budaya masyarakat. Misalnya saja, berubahnya
pola kebiasaan makan, perubahan etika dan tata nilai karena ingin meniru
kelompok masyarakat lain yang dianggap lebih hebat/ideal.
2.2 Makanan Cepat Saji (Fast food)
Makanan cepat saji (fast food) adalah makanan yang tersedia dalam waktu cepat dan
siap disantap, seperti fried chiken, hamburger atau pizza. Mudahnya memperoleh
makanan siap saji di pasaran memang memudahkan tersedianya variasi pangan sesuai
selera dan daya beli. Selain itu, pengolahan dan penyiapannya lebih mudah dan cepat,
cocok bagi mereka yang selalu sibuk (Sulistijani, 2002).
Kehadiran makanan cepat saji dalam industri makanan di Indonesia juga bisa
mempengaruhi pola makan dan konsumsi masyarakat di daerah perkotaan. Khususnya
bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, restoran makanan cepat saji
merupakan tempat yang tepat untuk bersantai. Makanan di restoran fast food ditawarkan
dengan harga terjangkau dengan kantong mereka, servisnya cepat dan jenis makanannya
memenuhi selera.
Keberadaan restoran-restoran fast food yang semakin menjamur di kota-kota besar
di Indonesia, yang menyajikan berbagai makanan siap saji yang dapat berupa makanan
tradisional Indonesia (seperti restoran padang) dan makanan barat (KFC, McDonalds)
yang terkenal dengan ayam gorengnya, disamping jenis makanan yang tidak kalah
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

6
Macro Economics Analysis

popular seperti Burger, Pizza, Sandwich, dan sebagainya. Dengan manajemen yang
handal dan juga dilakukannya terobosan misalnya pelayanan yang praktis, desain
interior restoran dibuat rapi, menarik dan bersih tanpa meninggalkan unsur
kenyamanan, serta rasanya yang lezat membuat mereka yang sibuk dalam pekerjaanya
memilih alternatif untuk mengkonsumsi jenis fast food, karena lebih cepat dan juga
mengandung gengsi bagi sebagian golongan masyarakat. Bahkan di hari libur pun
biasanya banyak keluarga yang memilih makanan diluar dengan jajanan fast food
(Khomsan, 2004).
Makanan cepat saji seperti fried chicken dan French fries, sudah menjadi jenis
makanan yang biasa dikonsumsi pada waktu makan siang atau makan malam
masyarakat di kota-kota besar di Indonesia seperti di Jakarta, Bandung, Semarang,
Yokyakarta, Surabaya dan Denpasar. Makanan cepat saji mempunyai kelebihan yaitu
penyajian cepat sehingga hemat waktu dan dapat dihidangkan kapan dan dimana saja,
tempat saji dan penyajian yang higienis, dianggap makanan bergengsi, makanan
modern, juga makanan gaul bagi beberapa kalangan terutama kalangan muda. Makanan
cepat saji yang dimaksud adalah jenis makanan yang dikemas, mudah disajikan, praktis,
atau diolah dengan cara sederhana.
2.3 Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen menurut AMA (American Marketing Association) ialah interaksi
dinamis dan kognitif, perilaku, dan lingkungan di mana manusia melakukan pertukaran
aspek-aspek kehidupan mereka. Perilaku konsumen mencakup segala kegiatan yang
dilakukan oleh konsumen pada saat penggunaan produk maupun sebelum
menggunakannya atau masih dalam konteks pengambilan keputusan (Engel et al.,
1994:4). Perilaku konsumen terpusat pada cara individu mengambil keputusan untuk
memanfaatkan sumber daya yang tersedia baik waktu, uang, maupun usaha guna
memenui kebutuhan yang berhubungan dengan konsumsi (Schiffman dan Kanuk,
2002). Hal ini mencakup apa yang mereka beli, mengapa mereka membelinya, kapan
mereka melakukan pembelian itu, di mana mereka membeli, dan seberapa sering
mereka membeli dan menggunakannya.
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

7
Macro Economics Analysis

Swastha dan Hani (2000) menyebutkan perilaku konsumen sebagai kegiatan-
kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan menggunakan
barang-barang atau jasa, termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan pada
persiapan dan penentuan kegiatan-kegiatan tersebut.
Bila dihubungkan dengan konsep ekonomi makro, perilaku permintaan konsumen
terhadap barang dan jasa akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
pendapatan, selera konsumen, dan harga barang, disaat kondisi yang lain tidak berubah
(ceteris paribus). Perilaku konsumen ini didasarkan pada Teori Perilaku Konsumen
yang menjelaskan bagaimana seseorang dengan pendapatan yang diperolehnya, dapat
membeli berbagai barang dan jasa sehingga tercapai kepuasan tertentu sesuai dengan
apa yang diharapkannya.
Dalam mempelajari teori perilaku konsumen, terdapat dua pendekatan untuk
mempelajari perilaku konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang yaitu pendekatan
kardinal dan pendekatan ordinal. Adapun asumsi dalam pendekatan tersebut yaitu
konsumen bersikap rasional dengan anggaran yang tersedia serta konsumen berusaha
memaksimalkan kepuasan totalnya dari barang yang dikonsumsinya.
1. Pendekatan Kardinal
a) Kepuasan konsumsi dapat diukur dengan satuan ukur.
b) Makin banyak barang dikonsumsi makin besar kepuasan.
c) Terjadi hukum The Law of Deminishing Marginal Utility pada tambahan
kepuasan setiap satu satuan.Setiap tambahan kepuasan yang diperoleh
dari setiap unit tambahan konsumsi semakin kecil.( Mula mula
kepuasan akan naik sampai dengan titik tertentu atau saturation point
tambahan kepuasan akan semakin turun ).Hukum ini menyebabkan
terjadinya Downward sloping MU curve. Tingkat kepuasan yang
semakin menurun ini dikenal dengan hukum Gossen.
d) Tambahan kepuasan untuk tambahan konsumsi 1 unit barang bisa
dihargai dengan uang, sehingga makin besar kepuasan makin mahal
harganya. Jika konsumen memperoleh tingkat kepuasan yang besar maka
dia akan mau membayar mahal, sebaliknya jika kepuasan yang dirasakan
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

8
Macro Economics Analysis

konsumen redah maka dia hanya akan mau membayar dengan harga
murah. Pendekatan kardinal biasa disebut sebagai daya guna marginal.

Keseimbangan Konsumen
Keseimbangan konsumen tercapai jika konsumen memperoleh kepuasan
maksimum dari mengkonsumsi suatu barang. Syarat Keseimbangan:
MUx/Px = MUy/Py = .= MUn/Pn
Px Qx + Py QY + + Pn Qn = M
Di mana :
MU = marginal utility
P = harga
M = pendapatan konsumen

Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

9
Macro Economics Analysis

2. Pendekatan Ordinal
Kelemahan pendekatan kardinal terletak pada anggapan yang digunakan bahwa
kepuasan konsumen dari mengkonsumsi barang dapat diukur dengan satuan
kepuasan. Pada kenyataannya pengukuran semacam ini sulit
dilakukan.Pendekatan ordinal mengukur kepuasan konsumen dengan angka
ordinal (relatif).Tingkat kepuasan konsumen dengan menggunakan kurva
indiferens (kurva yg menunjukkan tingkat kombinasi jumlah barang yang
dikonsumsi yang menghasilkan tingkat kepuasan yang sama).
Ciri-ciri kurva indiferens diantaranya :
a. Mempunyai kemiringan yang negatif (konsumen akan mengurangi
konsumsi
b. barang yg satu apabila ia menambah jumlah barang lain yang di
konsumsi)
c. Cembung ke arah titik origin, menunjukkan adanya perbedaan proporsi
jumlah yang harus ia korbankan untuk mengubah kombinasi jumlah
masing-masing barang yang dikonsumsi (marginal rate of substitution)
d. Tidak saling berpotongan, tidak mungkin diperoleh kepuasan yang sama
pada suatu kurva indiferens yang berbeda
Adapun perbedaan antara pendekatan kardinal dengan ordinal, yaitu :
1. Pandangan antara besarnya utility menganggap bahwa besarnya utiliti
dapat dinyatakan dalam bilangan/angka. Sedangkan analisis ordinal
besarnya utility dapat dinyatakan dalam bilangan/angka.
2. Analisis kardinal mengunakan alat analisis yang dinamakan marginal
utility (pendekatan marginal). Sedangkan analisis ordinal menggunakan
analisis indifferent curve atau kurva kepuasan sama .
2.4 Penelitian Sebelumnya
Dalam kaitannya mengenai konsumsi fast food, ada beberapa sumber yang
digunakan pada tulisan kali ini yang diambil dari penelitian yang telah ada. Diantaranya
adalah sebagai berikut :
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

10
Macro Economics Analysis

1. Hsien (2013) melakukan survey dan eksplorasi mengenai sector konsumsi
masyarakat Indonesia. Dalam penelitiannya tersebut, Hsien melihat bagaimana
kondisi ekonomi makro Indonesia yang dikatakan sedang bertumbuh,baik dari
segi pendapatan per kapita, jumlah penduduk kelas menengah yang meningkat,
hingga tingkat konsumsi masyarakat khususnya di bidang industry retail dan
makanan. Melihat dari kondisi makroekonomi yang cukup bagus, Hsien melihat
besarnya peluang untuk masuk ke bisnis retail dan makanan di Indonesia yang
diperkirakan bernilai $1.38 trilyun pada 2030 seiring dengan bertumbuhnya
kelas konsumen sebesar 3 kali lipat.
2. Lembaga survey ACNielsen pada tahun 2006 melakukan survey berskala global
mengenai konsumsi ready-to-eat meals. Dari hasil survey terlihat beberapa
faktor mengenai alasan konsumen mengkonsumsi produk tersebut yang secara
garis besar dikarenakan oleh kemudahan dalam penyajian dan kurangnya waktu
untuk menyiapkan makanan sendiri.
3. Damapolii et al (2013) melakukan penelitian mengenai kejadian obesitas pada
anak SD di kota Manado. Dalam penelitian tersebut, obesitas diakibatkan karena
tingginya konsumsi fast food yang dilakukan oleh anak-anak. Hasil penelitian
menunjukkan adanya hubungan konsumsi fast food dengan kejadian obesitas
pada anak SD di Kota Manado.

III. Pembahasan
Pada skala global, Indonesia merupakan negara keempat terpadat. Indonesia juga
negara kepulauan terbesar di dunia, yang mencakup sekitar 17.000 pulau (sekitar 6.000
di antaranya dihuni) dan lebih dari 5.000 km. padatnya jumlah penduduk Indonesia ini
dapat terlihat dari peningkatan pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun yang
diproyeksikan semakin meningkat ke depannya. Pada tabel berikut dapat dilihat
mengenai laju pertumbuhan penduduk di Indonesia.




Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

11
Macro Economics Analysis

Provinsi
Laju Pertumbuhan Penduduk per Tahun
1971-1980 1980-1990 1990-2000 2000-2010
Nanggroe Aceh Darussalam 2.93 2.72 1.46 2.36
Sumatera Utara 2.60 2.06 1.32 1.10
Sumatera Barat 2.21 1.62 0.63 1.34
Riau 3.11 4.30 4.35 3.58
Jambi 4.07 3.40 1.84 2.56
Sumatera Selatan 3.32 3.15 2.39 1.85
Bengkulu 4.39 4.38 2.97 1.67
Lampung 5.77 2.67 1.17 1.24
Bangka Belitung - - 0.97 3.14
Kepulauan Riau - - - 4.95
DKI Jakarta 3.93 2.42 0.17 1.41
Jawa Barat 2.66 2.57 2.03 1.90
Jawa Tengah 1.64 1.18 0.94 0.37
DI Yogyakarta 1.10 0.57 0.72 1.04
Jawa Timur 1.49 1.08 0.70 0.76
Banten - - 3.21 2.78
Bali 1.69 1.18 1.31 2.15
Nusa Tenggara Barat 2.36 2.15 1.82 1.17
Nusa Tenggara Timur 1.95 1.79 1.64 2.07
Kalimantan Barat 2.31 2.65 2.29 0.91
Kalimantan Tengah 3.43 3.88 2.99 1.79
Kalimantan Selatan 2.16 2.32 1.45 1.99
Kalimantan Timur 5.73 4.42 2.81 3.81
Sulawesi Utara 2.31 1.60 1.33 1.28
Sulawesi Tengah 3.86 2.87 2.57 1.95
Sulawesi Selatan 1.74 1.42 1.49 1.17
Sulawesi Tenggara 3.09 3.66 3.15 2.08
Gorontalo - - 1.59 2.26
Sulawesi Barat - - - 2.68
Maluku 2.88 2.79 0.08 2.80
Maluku Utara - - 0.48 2.47
Papua Barat - - - 3.71
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

12
Macro Economics Analysis

Papua 2.67 3.46 3.22 5.39
INDONESIA 2.31 1.98 1.49 1.49
Catatan : Tidak Termasuk Timor Timur
Sumber : Sensus Penduduk 1971, 1980 , 1990 , 2000 , 2010 dan Sensus Penduduk
Antar Sensus (SUPAS) 1995 (diperoleh dari Badan Pusat Statistik)
Dari keseluruhan total jumlah penduduk Indonesia, rata-rata populasi Indonesia
didominasi oleh kalangan muda. Setengah dari populasi berada pada usia di bawah 25
tahun dan 30% berada pada usia di bawah 14 tahun. Dari segi persebaran penduduk,
data mengungkapkan bahwa 59% dari populasi tinggal di Jawa, sekitar 21% hidup di
Sumatra, dan di Bali sebesar 1,5%. Data tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Sumber : Badan Pusat Statistik
Dari sisi ekonomi makro, Indonesia merupakan salah satu Negara yang
pertumbuhannya bisa dikatakan sedang berkembang. Dalam The Archipelago Economy
: Unleashing Indonesias Potential (McKinsey Global Institute, 2012) diperkirakan
bahwa kelas konsumen Indonesia tumbuh dari 45 juta orang di tahun 2010 menjadi 135
juta orang pada tahun 2030 dengan diperkirakan sebesar 90 juta penduduk Indonesia
bergabung menjadi kelas konsumen dengan pendapatan perkapita lebih besar atau sama
dengan US$3.600 per tahun. Dapat diperkirakan juga bahwa sektor konsumsi dalam
negeri akan semakin tinggi, terkait dengan meningkatnya jumlah penduduk kelas
menengah, dengan rentang pengeluaran perkapita sebesar $2-20 (Asian Development
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

13
Macro Economics Analysis

Bank). Dalam laporannya, Key Indicator for Asia and The Pasific 2010, ADB membagi
kelas menengah menjadi tiga kelompok berdasarkan pengeluaran per kapita per hari
yaitu : masyarakat kelas menengah bawah (lower middle class) dengan pengeluaran
perkapita perhari sebesar $2-4, kelas menengah tengah (middle-middle class) sebesar
$4-10, dan kelas menengah atas (upper-middle class) $10-20. Adanya pertumbuhan
kelas menengah ini didorong oleh adanya pencapaian pendidikan yang tinggi,
kesempatan kerja yang semakin banyak, dan peningkatan daya beli sehingga aktivitas
konsumsi juga ikut naik. Dari peningkatan aktivitas konsumsi inilah yang menjadi
faktor pendorong yang menentukan GDP di suatu Negara. Tabel di bawah ini
merangkum tren kunci yang melukiskan prospek ekonomi makro yang positif untuk
sektor konsumsi Indonesia.

Sumber : IE Insights, 2013
Dengan adanya pertumbuhan laju penduduk serta ekonomi yang semakin membaik
ini lah, tingkat konsumsi masyarakat semakin meningkat dari waktu ke waktu. Salah
satu aspek konsumsi yang ikut bergerak ke arah peningkatan yaitu konsumsi makanan
atau pangan. Adanya peningkatan pengeluaran terhadap makanan dapat dilihat pada
grafik berikut.
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

14
Macro Economics Analysis


Persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut kelompok barang di
Indonesia (Sumber : Badan Pusat Statistik)
Peningkatan jumlah ekonomi kelas menengah di Indonesia berdampak pada makin
beragamnya pola konsumsi sebagai akibat dari adanya perubahan gaya hidup, yang
dapat terlihat dari cukup tingginya tingkat konsumsi makanan cepat saji dalam
menopang tingginya aktivitas mereka. Kebiasaan-kebiasaan makan di luar rumah sambil
berlama-lama berdiskusi dengan teman merupakan aktivitas baru untuk membangun
komunikasi ditengah padatnya aktivitas pekerjaan menjadi pemandangan yang umum
dilihat setelah munculnya kelas ekonomi baru ini.
Makanan cepat saji merupakan salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan akan
makan di tengah padatnya aktivitas masyarakat saat ini. Hal tersebut terlihat dari hasil
survey yang dilakukan ACNielsen tentang makanan cepat saji. Dari survey yang
dilakukan berskala global tersebut didapat beberapa hal yang menjadi penyebab
mengapa banyak orang di dunia, termasuk di Indonesia, lebih memilih mengkonsumsi
makanan cepat saji. Mulai dari alasan kecepatan waktu, harga yang lebih terjangkau,
ataupun selera menjadi pendorong mengapa konsumen lebih condong untuk membeli
makanan cepat saji daripada memasak sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari grafik di
bawah ini.
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

15
Macro Economics Analysis


Sumber : ACNielsen Report, December 2006
Khusus di Indonesia sendiri, mengkonsumsi makanan cepat saji dewasa ini menjadi
lifestyle atau gaya hidup baru. Semakin menjamurnya bisnis fast food di bidang kuliner
ini membuat tingkat konsumsi serta permintaan masyarakat meningkat. Inilah yang
menjadi incaran para investor untuk ikut terjun menjaring profit dari bisnis ini. Sebagai
informasi, bisnis kuliner di Indonesia bisa dikatakan sangat kompetitif mengingat hal ini
juga ditopang dengan kondisi demografis Negara. Pada tahun 2011, konsumsi sektor
makanan di Indonesia bernilai sekitar Rp 366.4 trilyun (S$45.8 billion), dan
diproyeksikan meningkat menjadi Rp 420 trilyun (S$52.5 billion) pada 2016, dengan
CAGR sebesar 2.8%.
Agresi waralaba asing di bidang kuliner pun semakin gencar. Hal tersebut ditunjang
dengan kemudahan membuat waralaba. Dana yang dibutuhkan untuk membangun gerai
makanan siap saji hanya sekitar Rp 50 juta-Rp 100 juta per gerai. Maka tidak
mengherankan omset waralaba makanan minuman terus mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Pada 2010, omset waralaba makanan minuman mencapai Rp 42,6 triliun.
Angka itu diperkirakan dapat meningkat hingga Rp 49 triliun hingga akhir 2011. Ini
karena domestic consumption di Indonesia sendiri sangat tinggi. Ambil saja contoh
KFC, salah satu bisnis fast food yang menyajikan ayam goreng, kentang goreng, serta
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

16
Macro Economics Analysis

hamburger. Sejak kemunculan pertamanya di Indonesia hingga sekarang, bisnis ini telah
mampu menunjukkan eksistensinya di pasar Indonesia. Waralaba restoran siap saji di
bawah payung PT Fastfood Indonesia Tbk. (FI) itu menguasai pangsa pasar 51% serta
memiliki 250 gerai dan14 ribu karyawan di seluruh Indonesia (http://swa.co.id/sajian-
utama/kfc-melejit-lewat-life-style, Februari 2011). Namun kini posisinya semakin kuat,
terbukti dari semakin banyaknya jumlah gerai yang dimiliki yang tersebar di seluruh
Indonesia. Ini membuktikan pula bahwa demand masyarakat untuk mengkonsumsi
produk KFC sangat tinggi.

Keberadaan gerai KFC yang menjamur hingga ke berbagai pelosok di Indonesia pun
semakin merubah cara pandang dan kehidupan masyarakat, terutama di daerah urban
(perkotaan). Dari data survey ACNielsen online customer tahun 2007 mendapatkan
hasil bahwa 28% masyarakat Indonesia mengonsumsi Fast Food minimal satu minggu
sekali 33% diantaranya mengonsumsi saat makan siang. Tidak mengherankan jika
Indonesia menjadi Negara ke 10 yang paling banyak masyarakatnya mengonsumsi
makanan fast food. Penikmat fast food di Indonesia memang didominasi oleh kalangan
muda. Ini merujuk kepada komposisi usia muda yang memang lebih dominan di
kalangan masyarakat Indonesia.
Kemudahan dan tentunya kelezatan yang ditawarkan waralaba asing ini menjadi
salah satu alasan bagaimana konsumsi masyarakat semakin meningkat terhadap ayam
goreng berbalut tepung tersebut. Selain itu, gaya hidup masa kini yang sedang tren di
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

17
Macro Economics Analysis

kalangan masyarakat Indonesia yaitu berkumpul dan bersosialisasi di luar rumah (eating
out), selain pendapatan masyarakat yang membaik, juga menjadi pendorong yang
membuat konsumsi terhadap fast food ini meningkat. Ini memperlihatkan adanya
fenomena baru, konsumerisme, di kalangan masyarakat Indonesia khususnya di bidang
kuliner. Di samping factor di atas, aktivitas promosi atau pemasaran yang dilakukan
oleh bisnis waralaba ini juga cukup gencar. Selain melalui iklan baik di media cetak
maupun televisi, pemasaran melalui social media lewat internet pun dilakukan. Adanya
tawaran yang menarik, seperti diskon setiap hari Rabu untuk produk tertentu juga
mampu menjaring konsumen, khususnya konsumen berusia muda yang memang
mendominasi. Kebanyakan konsumen tersebut rela antri di hari Rabu untuk sekedar
menikmati sajian dan berkumpul di gerai KFC. Dengan adanya iklan secara massal itu
pula lah yang menyebabkan angka konsumsi fast food semakin meningkat pesat.
Sebagai gambaran, data Global Marketers Advertising Age ( 2007), belanja iklan
perusahaan pangan olahan, soft drink dan industri permen di tingkat global mencapai
angka US$ 13 milyar. Begitu kuatnya dampak iklan tersebut terhadap pola konsumsi
manusia, sehingga seorang filsuf Amerika, Herbert Mercuse dalam bukunya One
Dimensional Man menyebutkan bahwa iklan telah menciptakan manusia berwajah
tunggal. Manusia tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Manusia mengenal diri mereka
melalui barang-barang dagangan yang mereka pakai. Apalagi jika iklan tersebut
menyasar pada usia muda, yang perilaku dan pola konsumsinya sangat ditentukan oleh
pengaruh lingkungan, karena kalangan muda bagai lembar putih yang siap diisi, apakah
akan menjadi seorang smart consumer (konsumen yang kritis dan berdaya) atau menjadi
seorang yang menganut konsumtivisme, yaitu manusia yang memburu dan melepas
kepuasan diri dengan berbelanja. (http://www.ylki.or.id/cegah-generasi-junk-
food.html)

IV. Kesimpulan
Iklim ekonomi makro yang cukup positif serta faktor demografis yang meningkat
dari tahun ke tahun membuat investor di bisnis kuliner, khususnya fast food, melirik
Indonesia untuk menjalankan bisnisnya. Pendapatan per kapita masyarakat yang
membaik dan juga gaya hidup yang berubah, terutama di kalangan muda di daerah
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

18
Macro Economics Analysis

perkotaan, membuat konsumsi dan permintaan akan fast food juga bertambah. Adanya
hal tersebut membuat fenomena baru yaitu konsumerisme di kalangan masyarakat akan
konsumsi fast food.

Daftar Pustaka
Asian Development Bank. (2010). Key indicators for Asia and the Pacific 2010.
Washington, DC: Author. http://digitalcommons.ilr.cornell.edu/intl/91/
ACNielsen. 2006. Consumers and Ready-to-Eat Meals: A Global ACNielsen
Report/December 2006
Bedoya, U., E., W. 2003. The Socio-Cultural Impact of Fast food on Persian Dining
Habits and Pop Culture. Faculty of The University of Pennsylvania.
Bertram, B., C., R. 1975. Behavioural Ecology. Blackwell Scientific, Oxford, UK.
Damopolii, Winarsi et al. 2013. Hubungan Konsumsi FastFood dengan Kejadian
Obesitas Pada Anak SD di Kota Manado. ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 1.
Nomor 1. Agustus 2013.
Engel, J., F., Blackwell, R., D., Miniard, P., W. 1994. Perilaku Konsumen : Jilid 1 & 2.
Jakarta : Binarupa Aksara.
Hsien, Lee Wei. 2013. Indonesias Consumer Sector: Tapping the Consumer Dollar in
Food and Retail. IE Insights vol. 13/ Nov 2013.
Khomsan, A. 2004. Serat Ampuh Untuk Diet. Jurusan Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga. Faperta IPB.
Mankiw, N.G. 2003. Principles of Economics : Third Edition. South-Western College
Pub.
McKinsey Global Institute. 2012. The Archipelago Economy : Unleashing Indonesias
Potential. McKinsey & Company September 2012.
Nonto, A., W. 2006. You Are What You Ingest.
Merebaknya Gerai Fastfood dan Tingginya Konsumsi Masyarakat Terhadap Fastfood di Indonesia 2014

19
Macro Economics Analysis

Ritzer, G. 1996. McDonaldization of Society. Thousand Oaks. Pine Forge Press.
Schiffman, L., Kanuk, L. 2002. Consumer Behaviour 7
th
Edition. Pearson-Prentice Hall.
Sulistijani, D. A. 2002. Sehat Dengan Menu Berserat. Jakarta : Trubus Agriwidya dan
PT. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara
Swastha, Basu Dharmmesta & T. Hani Handoko, 2000, Manajemen Pemasaran
Analisa perilaku konsumen : Edisi pertama cetakan ketiga. Yogyakarta : BPFE-
Yogyakarta.
Majalah SWA 01/XXIII/Februari 2008.
American Marketing Association (https://www.marketingpower.com).
Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id).
KFC Indonesia (www.kfcku.com).
Syndicat National pour LAlimentation et la Restauration Rapide (.snarr-
site.com) .
SWA online (http://swa.co.id/sajian-utama/kfc-melejit-lewat-life-style)
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (http://www.ylki.or.id/cegah-generasi-junk-
food.html)

Anda mungkin juga menyukai