Anda di halaman 1dari 17

1

TAFSIR SIYASAH
QS. ALI-IMRAN : 28


Janganlah orang-orang mumin mengambil orang-orang kafir sebagai
wali dengan meninggalkan orang-orang mumin. Barang siapa berbuat demikian,
niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara
diri dari dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan
kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu) (Q.S Ali-
Imran:28).[1]

A. Asbabun nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakkan bahwa al-Hajjaj bin Amr yang
mewakili Kab bin al-Asyraf dan Ibnu Abil Haqiq serta Qais bin Zaid (tokoh-
tokoh yahudi) telah memikat segolongan kaum Anshar untuk memalingkan
mereka dari Agamannya. Rifaah bin al-Mundzir, Abdullah bin Jubair serta
Sad bin Hatsamah memperingatkan orang-orang Anshar tersebut dengan
berkata: Hati-hatilah kalian dari pikatan mereka, dan janganlah terpalingkan
dari Agama kalian. Mereka menolak peringatan itu. Maka Allah menurunkan
ayat tersebut di atas sebagai peringatan untuk tidak menjadikan orang-orang
kafir sebagai pelindung mumin. Di riwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Said atau
Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas.[2]

B. Tafsiran Al- Misbah
Kalau demikian keadaannya, sebagaimana diuraikan pada ayat-ayat
yang lalu atau kalau demikian sekelumit dari kekuasaan Allah dan
pengaturan-Nya terhadap alam raya dan manusia serta pengaturan-Nya
menyangkut rezeki makhluk, maka apakah wajar mengangkat musuh-musuh-
Nya sebagai wali yang diserahi wewenang mengurus urusan kaum muslim?
2

Tidak wajar! Tidak wajar mendekat kepada orang-orang yang menolak
menjadikan kitab suci sebagai rujukan hukum seperti orang-orang Yahudi
yang dikecam oleh ayat 23 dan setrusnnya.Karena itu, janganlah orang-
orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orag mukmin.
Wali mempunyai banyak arti antara lain yang berwewenang
menangani urusan, penolong, sahabat kental, dan lain-lain yang mengandung
makna kedekatan.
Ayat ini melarang orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir
sebagai penolong mereka, karena jika seorang mukmin menjadikan mereka
penolong, maka itu berarti seorang mukmin dalam keadaan lemah, padahal
Allah enggan melihat orang-orang beriman dalam keadaan lemah. Itu
konsekuensi paling sedikit.
Jangan jadikan mereka penolong, kecuali kalau ada kemaslahatan
kaum muslim dari pertolongan itu, atau paling sedikit tidak ada kerugian yang
dapat menimpa kaum muslim dari pertolongan itu.
Kata kafir biasa difahami dalam arti siapa yang tidak memeluk
agama Islam. Maka ini tidak keliru, tetapi perlu diingat bahwa al-Quran
menggunakan kata kafir dalam berbagai bentuknya untuk banyak arti yang
puncaknya adalah pengingkaran terhadap wujud atau keesaan Allah, disusul
dengan keengganan melaksanakan perintah atau menjauhi larangan-Nya
walau tidak mengingkari wujud dan keesaan-Nya, sampai kepada tidak
mensyukuri nikmat-Nya, yakni kikir. Bukankah Allah memperhadapkan
syukur dengan kufur untuk mengisyaratkan bahwa lawan syukur, yakni kikir,
adalah kufur.

Dan (ingatlah juga), tak kala Tuhanmu memaklumkan,
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti aku akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu kufur, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih
(Qs. Ibrahim(14): 7).
3

Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa kufur adalah segala aktivitas
yang bertentangan dengan tujan agama; dan demikian, walaupun ayat ini
turun dengan konteks melarang orang-orang beriman menjadikan orang
Yahudi atau Nasrani sebagai pemimpin yang diberi wewenang mengenai
urusan orang-orang beriman, tetapi larangan itu mencakup juga orang yang
dinamai muslim yang melakukan aktivitas bertentangan dengan tujuan ajaran
islam. Larangan ini adalah karena kegiatan mereka secara lahiriah bersahabat,
menolong, dan membela umatislam, tetapi pada hakikatnya dengan halus
mereka menggunting dalam lipatan. Adapun kerjasama dalam bidang yang
mnguntunkan kedua belah pihak, khususnya masalah keduniaan, maka hal
tersebut dapat dibenarkan. Tetapi kerjasama dalam bidang keduniaan yang
menguntungkan itu pun hendaknya memprioritaskan orang-orang beriman,
sebagaimana difahami dari lanjutan ayat yang mengaitkan larangan tersebut
dengan penjelasan tambahan, yakni dengan meninggalkan orang-orang
mukmin.
Jika demikian, barang siapa berbuat seperti itu, yakni menjadikan
orang kafir sebagai wali, niascaya dia tidak dengan Allah sedikit pun. Kata itu
yang merupakan kata yang menunjuk sesuatu yang jauh, memberi isyarat
jauhnya perbuatan tercela ini dari sikap keimanan, serta kesadaran akan
kekuatan, kesabaran, dan pertolongan Allah yang seharusnya melekat pada
diri seorang yang beriman. Nah jika itu dilakukan maka yang bersagkutan
tidak berada dalam posisi yang menjadiakan ia wajar dinamai berada dalam
kewalian, perlindunghan, dan pertolongan Allah, maka barang siapa yang
berteman dengan musuh Alllah atau dengan sengaja melakukuan tindakan
yang merugikan penganut agana Allah, maka dia adalah musuh Allah dan
dengan demikian dia tidak akan memperoleh pertolongan-Nya sedikit pun.
Ayat ini tidak menyatakan dengan tegas tidak berada dalam kewalian Allah
sedikit pun. Kata kewalian tidak disebut untuk mengisyaratkan bahwa yang
bersangkutan bukan hanya tidak memperoleh kewalian, tetapi tidak
memperoleh sedikit apa pun dari Allah, karena dia bagaikan telah
meninggalkan zat Allah dengan seluruh sifat-sifat-Nya, bukan hanya dalam
kedudukan-Nya sebagai wali terhadap orang-orang beriman.
4

Memang manusia bermacam-macam dan kondisi yang mereka hadapi
pun beraneka ragam. Karena itu Allah Saw. memberikan pengecualian. Yakni
bahwa larangan tersebut berlaku dalam seluruh situasi dan kondisi siasat
memelihara diri guna menghindari dari sesuatu yang kamu takuti dari
mereka.
Pengecualian ini diistilahkan oleh ulama-ulama dengan nama
taqiyah. Ayat ini membenarkan adanya taqiyah, demikian tulis Muhammad
Sayyid Tanthawi, Pemimpin Tertinggi Lembaga-Lembaga al-Azhar
Mesir.Taqiyah menurutnya, adalah upaya yang bertujuan memelihara jiwa
atau kehormatan. Selanjutnya, mantan mufti Mesir itu menjelaskan, bahwa
musuh yang dihadapi seorang muslim dua macam : Pertama, permusuahan
yang didasari oleh perbedaan agama; dan yang kedua, permusuhan yang
motivasinya adalah kepentingan duniawi, seperti harta dan kekuasaan. Atas
dasar itu, taqiyah pun terbagi dalam dua katagori. Seorang muslim bila tidak
bebas melaksanakan ajaran agamanya pada suatu wilayah, maka hendaknya
ia meninggalkan wilayah itu ke tempat yang memungkinkan ia
melaksanakannya dengan aman. Dia wajib berhijrah.Ini berdasr firman
Allah, Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendri, (kepada mereka)malaikat bertanya, Dalam keadaan
bagaimana kamu ini?Mereka menjawab, Kami (dahulu ketika hidup) adalah
orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). Para malaikat berakata,
Bukankah bumi itu Luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.
Orang-orang itu tempatnya adalah neraka jahanam, dan jahanam itu sburuk-
buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki, wanita
atau pun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui
jalan (untuk hijrah) (QS. An-Nisa(4):97-98)
Orang yang tidak dapat meninggalkan wilayah yang tidak
memberikannya kebebasan melaksanakan ajaran agamanya dikecualikan oleh
ayat ini. Ia diizinkan melakukan taqiyah kalau jiwa dan sesuatu yang amat
berharga baginya terancam. Ia dibenarkan untuk tetap berada dalam wilayah
itu dan berpura-pura mengikuti kehendak yang mengancamnya selama
darurat, sambil mencari jalan untuk menghindari dari pemaksaan. Ini pun
5

oleh sementara ulama dinilai hanya berupa rukhshah, yakni izin. Akan lebih
baik jika ia tegar dan menolak ancaman itu.
Adapun jika musuh yang dihadapi dan mengancam adalah yang
memotivasinya duniyawi, dalam hal ini ulama berbeda pendapat menyangkut
kewajiban berhijrah. Ada yang mewajibkan dan ada juga yang tidak
mewajibkan. Di sisi lain, sementara ulama memasukkan dalam izin
melakukan taqiyah untuk menghadapi orang-orang zalim atau fasiq dengan
ber basa-basi terhadap mereka baik dalam ucapan maupun senyum dalam
rangka menampik kejahatan mereka atau memelihara kehormatan sang
muslim. Untuk kasus semacam ini, basa basi itu dibenarkan dengan syarat
tidak mengakibatkan pelanggaran terhadar perinsip ajaran Islam.
Mengapa taqiyah dibenarkan Allah? Asy-Syarawi dalam tafsirnya
mengulas hal ini antara lain dengan mengemukakan bahwa anggaplah setiap
muslim diwajibkan mengorbankan jiwanya demi menolak ancaman terhadap
agama. Jika ini terjadi, maka kepada siapa lagi panji agama diserahkan?
Siapa lagi yang akan memperjuangkan ajaran agama jika semua telah gugur
akibat keengganan bersiasat? Kerena itu Allah membenarkan penolakan
ancaman itu, bahkan membenarkan pengorbanan jiwa. Tetapi pada saat yang
sama Allah juga membenarkan taqiyah demi masa depan aqidah. Dia
membenarkan taqiyah demi ajaran agama agar dapat disampaikan dan
diterima oleh generasi berikut atau masyarakat yang lain ketika yang
melakukan taqiyah itu memperoleh peluang untuk melakukannya.
Akhirnya, kepada setiap orang, baik yang beriman tetapi menjadikan
orang-orang kafir sebagai wali, maupun orang-orang kafir yang mengancam
orang-orang yang beriman, demikian juga yang bertaqiyah bukan pada
tempatnya, kepada mereka semua penutup ayat ini ditunjukkan, Allah
memperingatkan kamu dari diri-Nya, yakni dari siksa-Nya. Memang kata
siksanya tidak disebut disini, sebagaimana sebelum ini kata kewalian tidak
juga disebutkan dalam rangkaian kalimat niscaya ia tidak dengan Allah
sedikit pun.Ini untuk menekankan bahwa siksa tersebut sungguh berat dan
pedih. Seakan-akan ayat ini menyatakan bahwa yang menangani hal ini
adalah Allah sendri secara langsung, tidak mendelegasikannya kepada yang
6

lain. Ini tidak sulit karena hanya kepada Allah tempat kembali segala
sesuatu.[3]

C. Tafsir Quran Karim
Kamu orang-orang mukmin tidak boleh mengambil orang-orang kafir,
menjadi pemmpin, kecuali kamu takut kepada mereka sebenar-benarnya
takut. Maka ketika itu tidaklah kamu berdosa.
Dalam Surat Al-Mumtahanah, Allah berfirman sebagai menambah
keterangan ayat ini.


Allah tidak melarang kamu berbuat kebaikan dan berlaku adil kepada
orang-orang kafir yang tidak memerangi kamu tentang agamamu dan
mengusir kamu dari tanah airmu, karena Allah mengasihi orang yang adil.
Hanya Allah melarang kamu mengambil pemimpin dari orang-orang kafir
yang memerangi kamu tentang agamamu dan mengusir kamu dari tanah
airmu dan menolong mengusir kamu. Barang siapa yang berbuat demikian,
maka ia adalah orang aniaya (QS. Al-Mumtahanah (60) : 8 - 9)

Dengan keterangan ini, nyatalah salahnya tuduhan orang yang
menyatakan agama islam disiarkan dengan pedang dan menyuruh, supaya
memusuhi segala orang yang bukan beragama islam. Tidak sekali-kali
tidak.[4]

7

D. Tafsir Nurul Quran
Dalam ayat suci ini, bentuk kebijakan (dengan pihak) asing, berurusan
dengan orang-orang kafir dan menganggap mereka lebih berkuasa
(menjadikan mereka tuan) akan terjadi bersamaan dengan hilangnya
penghambaan kita kepada Allah. Tindakan menyembunyikan keimanan
(taqiyyah) dan larangan atas penyalahgunaannya telah disebutkan dalam ayat
ini

E. Penjelasan Politik
1. Orang- orang yang beriman diharamkan untuk menjadikan orang-oranng
kafir sebagai tuan. Jika dunia Islam bertindak sesuai dengan perinsip ini
saja, maka status dunia Islam tidak akan seperti sekarang ini.
Hendaklah orang-orang beriman tidak mengambil orang-orang kafir
sebagai teman mereka melebihi dari pada orang-orang yang beriman..
2. Bukan hanya tunduk kepada kekuasaan orang-orang kafir saja yang
diharamkan bagi orang-orang yang beriman, tetapi juga merasa tenang
dengan kekafiran dan menerimanya.
dan barang siapa melakukannya, maka tiada apa pun dari Allah yang
menjadi miliknya
3. Hubungan dengan orang-orang kafir untuk mencapai tujuan yang lebih
tinggi, dalam kondsi tertentu, diizinkan.
4. Hubungan politik hendaknya tidak menghasilkan penerimaan dominasi,
atau hubungan yang membabi buta dengan orang-orang kafir.
kecuali jika kalian melindungi diri sendiri ketika berhadapan dengan
mereka, menjaga diri dengan hati-hati
5. Menyembunyikan keimanan hanyalah demi kepentingan perlindungan
agama. Waspadalah untk tidak tertari degan orang-orang kafir dengan
dalih menyembunyikan keimanan, dan jangan menyalahgunakan konsep
ini!
dan Allah memperingatkanmu untuk berhati-hati dari (tidak taat
kepada)-Nya.
8

6. Dalam kondisi-kondisi yang pada dasarnya menyebabkan agama dalam
bahaya, segala sesuatu harus dipersembahkan, dan setiap orang harus
takut hanya kepada Allah.
dan hanya kepada Allah tempat menuju
7. Hubungan atau pemutusan hubungan harus dilakukan berdasarkan
perenungan dan keimanan, bukan berdasarkan ikatan rasial, golongan,
atau keluarga, atau kepentingan-kepentingan ekonomi, dan sebagainya.
8. Di daerah orang-orang kafir, umat Islam harus menjalin pertemanan
(persaudaraan) dan saling berkomunikasi antara mereka sendiri.[5]


[1] Fahd bin Abdul Aziz Al Suud, Al Quran dan terjemahnya, Kerajaan Saudi
Arabia: MujammaAl Malik Fahd Li Thibaat al Mush-haf Asy-Syarif
Medinah Munawwarah 1990, hal. 80
[2] K.H.Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan, dan Prof. Dr. H.M.D. Dahlan, CV.
Diponegoro, Bandung, 1985, hal. 94
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Penerbit Lentera Hati, Ciputat, 2000,
hal. 58-61
[4] Prof.Dr.H. Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, P.T. Hidakarya Agung
Jakarta, 2004, hal.72
[5] Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir nurul Quran, Al-Huda, 2003, hal.141-
142


1

TAFSIR SIYASAH
QS. AL-MAIDAH : 51


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-
orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian
mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara
kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termaksud golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim (QS. Al-Maidah (5) :51).[1]

A. Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abdillah bin Ubaybin Salul
(tokoh munafiq[2]) Madinah) dan Ubadah bin Shamit[3]terikat oleh suatu
perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa. Ketika Bani
Qainuqa memerang Rasulullah saw. Abdullah bin Ubai tidak melibatkan diri,
dan Ubadah bib Shamit berangkat menghadap Rasulullah saw. Untuk
membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatannya dari Bani
Qainuqa itu serta menggabungkan diri pada Rasulullah dan menyatakan
hanya takut kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah ayat ini yang
mengingatkan orang yang beriman untuk tetap taat kepada Allah dan Rasul-
Nya dan tidak mengangkat kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin
mereka. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatimdan
Baihaqi yang bersumber dari Ubadah bin Shamit.[4]

B. Tafsir As-Sadi
Allah membimbing hamba-hamba-Nya yang beriman manakala Dia
menjelaskan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani dan sifat-sifat buruk
2

mereka agar kaum muslimin tidak mengangkat mereka sebagai pemimpin-
pemimpin. Karena sebagian dari mereka adalahwali bagi sebahagian yang
lain. Mereka saling tolong-menolong dan bahu-membahu menghadapi selain
mereka. Maka janganlah kamu mengangkat mereka sebagai penolong-
penolong karena mereka adalah musuh yang sebenar-benarnya, mereka tidak
mempedulikan penderitaanmu bahkan mereka tidak menghemat energi sedikit
pun demi menyesatkanmu. Maka tidak ada yang mengangkat mereka menjadi
pemimpin-pemimpin kecuali orang yang sama dengan mereka.
Oleh karena itu, Dia berfirman Barang siapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka.Karena pengangkatan mereka menjadi pemimpin
secara total menuntut perpindahan kepada agama mereka, loyalitas yang
sedikit akan mendorong kepada yang banyak, lalu fase demi fase sehingga
seorang hamba menjadi satu dengan mereka.
(

)Sesungguhnya Allah tidak memberi


petunjuk kepada orang-orang yang zalim, yakni dengan kezaliman sebagai
sifat, mereka kembali kepadanya dan berpijak kepadanya. Jika kamu hadir
kepada mereka membawa semua bukti niacaya mereka tidak mengikuti dan
menaatimu.[5]

C. Tafsir Quran Karim
Dalam ayat ini Allah melarang orang-orang yang beriman
mengangkat Yahudi dan Nasrani menjadi wali, yaitu bertolong-tolongan dan
berkasih-sayang dengan mereka, bila mereka memusuhi dan hendak
memerangi Nabi dan kaum Muslimin. Pendeknya ayat ini umum dan di
takhsiskan (dikhususkan) dengan ayat 9 surat Al-Mumtahanah, yang artinya:
Hanya Allah melarang kamu mengangkat wali dan orang-orang yang
memerangimu, karena agama dan mengusir kamu dari kampungmu dan
menolong mengusirmu. Barang siapa mengangkat mereka, maka ia orang
aniaya.[6]



3

D. Yusuf :
Dan Raja berkata: Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia
sebagai orang yang rapat kepadaku. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap
dengan dia, dia berkata: Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi
seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami. Berkata
Yusuf: Jadikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir); sesengguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga , lagi berpengetahua. Dan demikianlah
kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa
penuh)pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami
melimpahkan rahmat kami kepada siapa yang kami kehendaki dan kami tidak
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik (QS. Yusuf (12): 54-
56).
Setelah terbukti secara gamblang bagi Raja kebenaran Yusuf as. dan
kezaliman yang menimpanya sehingga terpaksa menekam di penjara sekian
tahun lamanya, dan diketahuinya pula betapa baik dan luhur sikap dan
kelakuannya di dalam penjara, di tambah lagi dengan kepuasan Raja
mendengar penjelasan Yusuf as. tentang makna mimpinya, dan kini tanpa
ragu sang Raja bertitah kepada petugas yang ia tunjuk, Bawalah dia
kepadaku, agar aku memilihnya untukku saja sebagai orang dekat kepadaku
dan untuk kujadikan penasehat dan pembantu dalam mengatur roda
kepemmpinan. Petugas pun mengundangnya ke istana, setelah terlebih
dahulu menyampaikan pengakuan tulus wanita-wanita yang melukai tangan
mereka serta wanita yang merayunya. Yusuf pun segera berangkat karena
memenuhi undangan Raja, setelah berpamitan dengan para tahanan dan
mendoakan mereka. Maka tatkala dia, yakni Yusuf telah bercakap-cakap
dengannya, Raja sangat kagum mendengar uraian Yusuf serta kedalaman
pengetahuannya, sebagaimana dia terpesona pula melihat kejernihan air muka
dan penampilannya. Dia bertitah menyampaikan kepada Yusuf,
Sesungguhnya engkau mulai hari inidan saat ini di sisi kami adalah seorang
yang berkedudukan tinggi lagi terpercaya untuk mengelola semua yang
berkaitkan dengan urusan Negara. Dia menyambut tawaran Raja demi
mensukseskan tugasnya menyebarluaskan ajaran agama dan kesejahteraan
4

lahir dan batin bagi seluruh masyarakat, dan menjawab, Jadikanlah aku
bendaharawan negara di wilayah kekuasaan baginda, yakni di Mesir,
Sesungguhnya aku adalah orang yang amat pemelihara yang sangat pandai
menjaga amanah lagi amat berpengetahuan menyangkut tugas yang aku
sebutkan itu.
Sementara beberapa ulama, berdasarkan sebuah riwayat,
mengilustrasikan bahwa ketika terlaksana pertemuan antara Raja dan Yusuf
as., Raja meminta Yusuf as. untuk menguraikan kembali makna mimpinya.
Sambil menjelaskan, Yusuf as. mengusulkan agar Raja memerintahkan
mengumpulkan makanan dan meningkatkan upaya pertanian. Ketika itulah
Raja bertanya, Siapa yang dapat melaksanakan semua itu? Maka Yusuf
as.berkata, Jadikanlah aku bendaharawan Negara.
Ayat di atas mendahulukan kata ( ) hafizh/pemelihara dari pada
kata ( ) alim/amat berpengetahuan. Ini karena pemeliharaan amanah lebih
penting dari pada pengetahuan. Seorang yang memelihara amanah dan tidak
berpengetahuan akan mendorong untuk meraih pengetahuan yang belum
dimilikinya. Sebaliknya, seorang yang berpengetahuan tetapi tidak memiliki
amanah, bisa jadi ia menggunakan pengetahuannya untuk menghianati
amanah. Ini serupa dengan ayat Al-Baqarah (2): 282 yang
mendahulukan keadilan dari pada pengetahuan tulis menulis utang piutang.
Di sana penulis mengemukakan bahwa hal itu agaknya disebabkan karena
keadilan, di samping adanya menuntut adanya pengetahuan bagi akan yang
berlaku adil, karena juga seseorang yang adil tidak dapat mengetahui,
keadilannya akan mendorang ia untuk belajar. Berbeda dengan yang
mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu, pengetahuannya itu akan digunakan
untuk menutupi ketidak adilannya. Ia akan mencari celah hukum untuk
membenarkan penyelewengan dan menghindari sanksi.
Permintaan jabatan yang diajukan oleh Yusuf as. kepada Raja di atas
tidaklah bertentangan dengan moral agama yang melarang seseorang
meminta jabatan, permintaan tersebut lahir atas dasar pengetahuannya bahwa
tidak ada yang lebih tepat dari dirinya sendiri dalam tugas tersebut. Dan tentu
saja motivasinya adalah menyebarkan dakwah Illahiah. Demikian jawaban
5

mayoritas ulama. Dapat juga dikatakan bahwa sebenarnya Yusuf as. terlebih
dahulu ditawari atau ditugasi oleh Raja untuk membantunya dalam berbagai
bidang. Tawaran ini diterimannya, tetapi Yusuf as. memilih tugas tertentu-
bukan dalam segala bidang. Karena itu, dia bermohon kiranya penugasan
tersebut terbatas dalam bidang keahliannya saja, yakni perbendaharaan
Negara.
Apa pun jawaban yang anda pilih, yang jalas ayat ini dapat menjadi
dasar untuk membolehkan seseorang menyalonkan diri guna menempati suatu
jabatan tertentu atau berkampanye untuk dirinya, selama motivasinya adalah
untuk kepentingan masyarakat, dan selama dia merasa dirinya memiliki
kemampuan untuk jabatan itu.
Permintaan jabatan dalam kondisi dan sifat yang seperti dialami Yusuf
as. itu menunjukan kepercayaan diri yang bersangkutan (Yusuf as.) serta
kebranian moril yang disandangnya. Dengan pengusulan ini, yang
bersangkutan juga berusaha bersaing dengan pihak lain yang boleh jadi tidak
memiliki kemampuan yang sama sehingga jika dia berhasil menduduki
jabatan tersebut pastilah akan merugikan masyarakat.
Ayat ini tidak menjelaskan apa jawaban Raja terhadap usul Yusuf itu:
apakah diterima atau tidak. Al-Quran sejalan dengan gayanya
mempersingkat uraian, tidak menjelaskan semua indikator telah menunjukan
kekaguman Raja terhadap Yusuf as.
Permintaan Yusuf as. itu diterima baik oleh Raja. Tetapi ayat ini
mengingatkan bahwa jangan duga hal tersebut terlepas dari pengaturan Allah.
Karena itu, ayat ini menegaskan bahwa dan sebagai mana kami
menjadikan hati dan pikiran Raja tertarik kepada Yusuf sehingga dia
memberikan kedudukan yang terbaik di sisinya,demikian jugalah kami
memberikan kedudukan kepada Yusuf di bumi khususnya di wilayah
mesir; dia bebas menempati di sana serta bebas pula berkunjung ke daerah
mana saja yang dia kehendaki,dan dalam hal ini yang kami kehendaki adalah
Yusuf, dan juga hal tersebut demikian karena Yusuf adalah seorang hamba
Kami yangmuhsin/baik, sedang kami tidak menyia-nyiakan sedikit
pun ganjaran al-muhsinin/orang-orang yang berbuat baik. Apa yang
6

diperolehnya itu adalah anugrah yang sangat besar, tetapi itu tidak ada artinya
jika dibandingkan dengan anugrah dan ganjaran ukhrawi kelak. Dan
sesungguhnya pasti ganjaran di akhirat lebih baik bagi orang-orang yang telah
berimandan terus-menerus bertakwa.
Ayat-ayat di atas tidak menjelaskan bagaimana Yusuf
as.melaksanakan kebijaksanaannya dalam bidang pertanian, logistic dan
perbendaharaan Negara. Agaknya Al-Quran menilai bahwa uraian tentang
hal tersebut tidak terlalu dibutuhkan, karena ia berkaitan dengan daerah
khusus Mesir pada masa itu yang belum tentu dapat di terapkan di daerah-
daerah yang lain atau masa yang lain. Namun, ada hal yang pasti dan
merupakan syarat bagi setiap pejabat serta berlaku umum kapan dan dimana
saja, yaitu yang memegang satu jabatan haruslah yang benar-benar amat
tekun memelihara amanah dan amat berpengetahuan.
Mutawalli asy-Syarawi mendapat kesan dari pernyataan ayat ini
tentang nabi Yusuf bahwa dia menempati daerah mana saja di Mesir yang ia
kehendaki sebagai isyarat bahwa ketika itu pelayanan merata bagi seluruh
masyarakat. Jangan menganggap bahwa ketika itu dia memiliki rumah di
banyak tempat. Megapa kita tidak melihatnya dengan mata sementara orang
yang berkecimpung dalam bidang administrasi pembangunan di beberapa
Negara dewasa ini. Jika mereka mengetahuai pejabat tinggi akan berkunjung
ke wilayahnya, maka mereka melakukan perbaikan, paling tidak di sekitar
rumah pejabat. Kini kita melihat jalan-jalan di aspal, sarana masyarakat di
perbaiki dan di lengkapi, bahkan wilayah di perindah dengan penghijauan. Ini
lebih-lebih lagi jika penguasa setempat mengetahui bahwa di wilayah mereka
ada rumah pejabat tinggi dari pusat. Tentu segala rincian diperhatikan dan
diperbaiki.

E. Penjelasan Politik
Dalam ayat ini terdapat larangan bermuwalah dengan non-Muslim,
juga dapat sebagai dalil mengenai tidak bolehnya seorang Muslim
berpartisipasi dalam pemerintahan Negara-negara non-Muslim. Semisal
bekerja sebagai anggota dinas intelijen[7]Negara non-Muslim, dan lain-lain.
7

Pendapat yang senada antara lain didukung oleh al-Maududi.
Partisipasi dalam Negara sekuler, tegas al-Maududi, tidak jauh berbeda
dengan penentangan terhadap Allah dan Rasull-Nya. Sewaktu meninggalkan
Pakistan, sebagaimana dikutip Asghar Ali Enginer, dia menyapa kaum
Muslim yang tinggal di India dengan mengatakan :
Khusus bagi saudara saudaraku kaum Muslim, perlu saya sampaikan
bahwa kekufuran (sekularisme) masa kini dan konsep demokrasi nasional
sama sekali bertentangan dengan agama kita. Jika kalian tunduk
kepadanya,kalian sama halnya menentang ajaran Al-Quran. Jika kalian turut
serta mendirikan dan mendukungnya, kalian sama halnya memproklamirkan
pengingkaran terhadap tuhan.[8]
Dengan demikian, menurutnya, semua Muslim yang ada di India dan
di tempat lain yang berpartisipasi dalam pemerintahan sekuler adalah orang-
orang yang mendustakan Tuhan dan Rasul-Nya. Mereka menjalani hidup
dengan bergelimang dosa dan halal dibunuh, karena dalam Islam hukuman
yang setimpal bagi orang-orang yang ingkar terhadap agamanya adalah
hukuman mati. Maududi berpendapat, bahwa kaum Muslim di Negara non-
Islam harus menjauhkan diri dari proses pemerintahan. Alasnya, sebagai
Muslim yang baik mereka tidak boleh turut serta dalam segala kegiatan yang
berbau kufur, dan pemerintahan non-Islam pasti mempunyai karakter seperti
itu. Berarti, kaum Muslim lebih baik menjadi warga Negara kelas dua, tanpa
menikmati hak-hak politik, dari pada harus menjadi bagian dari pemerintahan
sekuler yang beresiko terkena murka Tuhan. Karena alasan inilah orang-
orang Islam di India tidak berperan serta dalam pemilihan umum dan tidak
pula menduduki jabatan politis. Maududi tentunya juga tidak menghendaki
mereka menjadi bagian dari mesin pemerintahan yang dikontrol oleh para
politisi sekuler. Kalau seruan Maududi diterima, maka kaum Muslim di India
tidak akan menempati posisi kemiliteran, kepolisian, atau jabatan
kepegawaian yang lain. Mereka hanya dapat menjalani propesi mandiri atau
berwirausaha. Tak pelak lagi, ajakan Maududi itu justru sangat menyusahkan
kaum Muslim di India.[9]
8

Karena itu, pendapat al-Zuhaili dan al-Maududi yang dikutip di atas
sebaiknya ditolak saja, karena bila diterima, tentu akan menyulitkan dan
merugikan umat Islam. Argumentasinya jelas karena, jangankan tidak
berpartisipasi, ikut serta ambil bagian dalam pemerintahan non-Muslim pun
umat Islam belum tentu bisa menyalurkan dengan mudah aspirasinya.
Apalagi bila tidak berpartisipasi, tentu akan lebih sulit lagi bagi umat islam
menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi politiknya di Negara-negara non-
Muslim. Bila harus memilih, umat Islam yang menjadi warga Negara non-
Muslim, sebaliknya turut berpartisipasi dan berusaha seoptimal mungkin
untuk merebut posisi-posisi strategis, utamanya posisi sebagai kepala Negara.
Sebagaimana kaum non-Muslim selalu berusaha menguasai posisi-posisi
strategis semacam itu di Negara-negara Muslim.
Pendapat di atas agaknya tidak menyimpang dari tuntuna Al-Quran.
Sebab di masa lalu Nabi Yusuf, sebagaimana dikisahkan dalam Kitab Suci
(Q.S. 12 : Yusuf : 55-56), pernah berpartisipasi menjadi bendaharawan
(mentri keuangan) Negara Mesir yang dulu kala di pimpin raja non-Muslim,
yakni Raja Heksus.[10]
Karir politik sebagai bendaharawan Negara Mesir yang pernah dicapai
Nabi Yusuf di masa lalu, dan di masa kini, berhasilnya seorang Muslim di
India, Abul pakir Jainul Adeen Abdul Kalam, menjadi presiden India yang
mayoritas penduduknya beragama Hindu, (dilantik pada 25 Juli 2002 sebagai
presiden Muslim ke tiga dari 12 presiden India yang pernah ada),[11]agaknya
perlu dicontoh politisi Muslim lain yang hidup sebagai minoritas di Negara-
negara non-Muslim, termaksud di Amerika Serikat. Adalah suatu prestasi
yang patut dibanggakan dan diteladani, bila minoritas muslim di Amerika
khususnya dan di Negara-negara non-Muslim yang lain pada umumnya, dapat
meniti karir politik hingga berhasil menjadi kepala Negara sebagaimana
dicapai minoritas Muslim di India.



9

[1] Fahd bin Abdul Aziz Al Suud, Al Quran dan terjemahnya, Kerajaan Saudi
Arabia: MujammaAl Malik Fahd Li Thibaat al Mush-haf Asy-Syarif
Medinah Munawwarah 1990, hal. 169
[2] Munafiq berarti mengakui islam dengan mulutnya, tapi hatinya mengingkari
[3] Salah seorang tokoh Islam dari bani Auf bin Khazraj
[4] K.H.Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan, dan Prof. Dr. H.M.D. Dahlan, CV.
Diponegoro, Bandung, 1985, hal. 186
[5] Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sadi, Tafsir As-Sadi jlid 2, Pustaka
Sahifah, 2007, hal. 361-362
[6] Prof.Dr.H. Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, P.T. Hidakarya Agung
Jakarta, 2004, hal. 158
[7] Ibid
[8] Asghar Ali Enginer, Devolusi Negara Islam, ter. Imam Muttaqin dari Islamic
State, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), cet. Ke-1,h. 214
[9] Ibid, h. 215-216
[10] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX,
terj. Samson Rahman dari al-Tarikh al-Islami, (Jakarta : Akbar Media Eka
Sarana, 2003), h. 52
[11] Majalah Islam Sabili, No 13 th. X 16 Januari 2003/13 Dzulqadah 1424 H., h.
48

Anda mungkin juga menyukai