Kelompok 6: Bixen Pakiding 46112120066 Nofrida Atika Sari 46112120087
Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana J akarta 2014 KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dangan apa yang kami harapkan. Adapun maksud dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi apa yang menjadi tugas kami sebagai mahasiswa psikologi dalam mata kuliah Psikologi Sosial yang membahas tentang Persepsi Sosial. Atas terselesainya makalah ini tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Laila MIW, Ph.D selaku dosen mata kuliah Psikologi Sosial yang telah membimbing kami. Dan semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami pribadi dan pembaca umumnya. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan pengetahuan kita tentang Persepsi Sosial. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Akhir kata kami mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan atau kata yang kurang berkenan.
Jakarta, 6 April 2014
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setiap individu memiliki karakter yang berbeda-beda antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Dari perbedaan karakter-karakter itu, manusia tidak dapat hidup sendiri melainkan membutuhkan orang lain untuk saling mendukung dan membantu, itulah mengapa manusia disebut sebagai makhluk social. Sebagai makhluk social kita harus beradaptasi, mampu mengerti, dan mampu memahami maksud dari perbuatan orang lain. Disinilah dibutuhkan sebuah persepsi social.
B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam makalah ini : 1. Apa pengertian Persepsi Sosial ? 2. Bagaimana proses pembentukan Persepsi? 3. Bagaimana proses Persepsi Sosial? 4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Sosial? 5. Apa saja macam- macam Persepsi Sosial ?
C. Tujuan Makalah Makalah ini kami buat untuk untuk memenuhi apa yang menjadi tugas kami sebagai mahasiswa psikologi dalam mata kuliah Psikologi Sosial yang membahas tentang Persepsi Sosial dimana kami mampu mengerti bagaimana proses persepsi social terjadi, faktor apa yang mempengaruhi persepsi social, serta macam-macam persepsi social itu sendiri.
BAB II PEMBAHASAN
I. Pengertian Persepsi Sosial Persepsi berlangsung saat seseorang menerima stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian masuk ke dalam otak. Di dalamnya terjadi proses berpikir yang pada akhirnya terwujud dalam sebuah pemahaman. Pemahaman ini yang kurang lebih disebut persepsi. Sebelum terjadi persepsi pada manusia, diperlukan sebuah stimuli yang harus ditangkap melalui organ tubuh yang bisa digunakan sebagai alat bantu untuk memahami lingkungannya. Alat bantu itu dinamakan alat indra. Indra yang saat ini diketahui secara universal adalah hidung, mata, telinga, lidah, dan kulit. Alat indra merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya. Sebagai contoh pada seorang bayi yang baru lahir, bayangan bayangan yang sampai ke otak masih tercampur aduk sehingga bayi belum dapat membeda-bedakan benda-benda dengan jelas. Semakin besar anak itu, semakin baik struktur susunan syaraf dan otaknya, serta bertambahnya pengalaman anak tersebut. Dia mulai dapat mengenal banyak objek satu-persatu, membedakan antara satu benda dengan benda yang lainnya dan mengelompokan benda-benda yang berdekatan atau serupa. Dia mulai dapat memfokuskan perhatiannya pada satu objek, sedangkan objek-objek yang lain si sekitarnya dianggap sebagai latar belakang. Kemampuan untuk membeda-bedakan, mengelompokan, memfokuskan dan sebagainya itu, yang selanjutnya diinterpretasikan disebut persepsi. Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami, jadi melalui persepsi sosial kita berusaha mencari tahu dan memahami orang lain. Lebih khususnya lagi, dengan persepsi sosial kita berusaha (1) Mengetahui apa yang dipikirkan, dipercaya, dirasakan, diniatkan, dikehendaki, dan didambakan orang lain; (2) Membaca apa yang ada di dalam diri orang lain berdasarkan ekpresi wajah, tekanan suaram gerak-gerik tubuh, kata-kata, dan tingkah laku mereka; (3) Menyesuaikan tindakan sendiri dengan keberadaan orang lain berdasarkan pengetahuan dan pembacaan terhadap orang tersebut (Sarlito dan Eko, 2009).
Robbins (Dr. Fattah Hanurawan, 2010), mengemukakan bahwa persepsi sosial adalah proses dalam diri seseorang yang menunjukan organisasi dan interpretasi terhadap kesan-kesan inderawi, dalam usaha untuk memberi makna terhadap orang lain sebagai objek persepsi. Menurut Moskowitz dan Ogel (dalam Walgito, 2003:54) persepsi merupakan proses yang integrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa persepsi itu merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. Menurut Leavit (dalam Sobur, 2003:445) persepsi dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas persepsi adalah pandangan atau pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Persepsi dalam pengertian psikologi menurut Sarwono (2002:94) adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Dalam hal persepsi mengenai orang itu atau orang-orang lain untuk memahami orang dan orang-orang lain, persepsi itu dinamakan persepsi social dan kognisinya pun dinamakan kognisi social. Dalam Persepsi sosial ada dua hal yang ingin diketahui yaitu keadaan dan perasaan orang lain saat ini, di tempat ini melalui komunikasi non-lisan (kontak mata, busana, gerak tubuh, dan sebagainya) atau lisan dan kondisi yang lebih permanen yang ada dibalik segala yang tampak saat ini (niat, sifat, motivasi, dan sebagainya) yang diperkirakan menjadi penyebab dari kondisi saat ini. Hal yang terakhir ini bersumber pada kecenderungan manusia untuk selalu berupaya guna mengetahui apa yang ada di balik gejala yang ditangkapnya dengan indra (Sarwono, 2002:95)
II. Proses Pembentukan Persepsi Proses terjadinya persepsi dapat dimulai dari objek yang menimbulkan stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera diteruskan oleh syarat sensoris ke otak. Proses ini yang disebut proses fisiologis. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu meyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar atau apa yang diraba. Proses yang terjadi dalam otak atau dalam pusat kesadaran inilah yang disebut sebagi pusat psikologis. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa taraf terakhir dari proses persepsi ialah individu meyadari tentang misalnya apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Proses ini merupakan proses terakhir dari persepi dan merupakan persepsi sebenarnya. Respon sebagai akibat dan persepsi dapat diambil oleh individu dalam berbagai macam bentuk ( Walgito, 2004 : 90 ). Dalam proses persepsi perlu adanya perhatian sebagai langkah persiapan dalam persepsi itu. Hal tersebut karena keadaan menunjukan bahwa individu tidak hanya dikenai oleh satu stimulus saja, tetapi individu dikenai berbagai macam stimulus yang ditimbulkan oleh keadaan sekitarnya. Tidak semua stimulus mendapatkan respon individu untuk dipersepsi. Stimulus mana yang akan dipersepsi atau mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Kemudian berkaitan dengan proses persepsi, seperti yang terungkap dari definisi persepsi yang dikemukakan Robbin (2001) bahawa persepsi merupakan suatu proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Proses ini terdiri dari proses seleksi, mengorganisasikan dan menginterpretasikan. Adapun ketiga proses ini berjalan secara terus menerus, saling berbaur dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. ( Robbin, 2001 : 88 ). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Davidoff (1981), stimulus yang diterima melalui alat inderanya kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, segingga individu meyadari dan mengerti tentang apa yang di indera itu. Inilah yang disebut persepsi. (Walgito, 1997 : 53). Individu mengadakan seleksi terhadap stimulus yang mengenainya, disini berperannya perhatian. Sebagai akibat dari stimulus yg dipilihnya dan diterima individu, individu meyadari dan memberi respon sebagai reaksi terhadap stimulus tersebut.
III. Proses Persepsi Sosial Persepsi orang sebagai semacam proses yang relative rasional dalam mengambil informasi tentang orang lain dan mengorganisasikannya berdasarkan prinsip tertentu. Tujuan dan perasaan kita terhadap orang lain juga memengaruhi pandangan kita tentang informasi yang kita kumpulkan mengenai orang lain. Salah satu factor yang memengaruhi cara kita mengumpulkan informasi tentang orang lain adalah tujuan kita dalam berinterkasi dengan mereka. Psikolog telah mempelajari tujuan dan dampak tujuan persepsi seseorang melalui sebuah eksperimen, seperti meminta partisipan untuk membentuk kesan yang koheren tentang orang lain ( tujuan membentuk kesan) atau untuk mengingat beberapa informasi terpisah (tujuan mengingat). Secara umum, dalam rangka membuat kesan, orang membentuk kesan tentang orang lain secara lebih tertata apabila tujuannya adalah untuk mengingat informasi saja (Matheson, Holmes, & Kristiansen, 1991). Dalam buku Sarwono, Sarlito W. 2002 diambil contoh (Diringkas dari cerpen karangan Putu Wijaya dalam Pelajaran Mengarang, Cerpen Pilihan, Kompas, 1993) Bule dan orang Bali ini adalah dua sahabat lama. Ketika si Bule tertirah di Bali, Wayan banyak memberikan petunjuk dan suka mengantarkan si Bule melihat objek-objek menarik yang bukan pasaran turi. Antara mereka sudah terjalin persahabatan. Mister John sudah seperti saudara meskipun warga kulit lain. Pak John sudah makan dan tidur di rumah saya yang sederhana. Saya merasa salah kalau tidak sempat melihat Mister John sebelum berangkat, tulis Wayan kepada John yang tinggal di Jakarta dan akan segera kembali ke negerinya. John jadi terenyuh. Ia membelikan tiket untuk Wayan. Tetapi ketika Wayan datang, ia tidak sendiri. Ia ditemani oleh keponakannya, seorang anak muda. Wayan mengaku tidak berani ke Jakarta sendiri, takut tersesat. Mister John kaget. Ia menganggap itu di luar perencanaannya, khususnya perencanaan budgetnya. Tetapi, karena Wayan mengeluh terus tentang pinjaman uang ke tetangga-tetangganya untuk ongkos tiket keponakannya ini, John akhirnya bersedia mengganti ongkos tiket itu. Ia tak mau kegembiraan Wayan terganggu.
Dalam kutipan cerita pendek di atas, misalnya, John mempersepsikan Wayan sebagai pribumi yang ramah, mengajaknya makan dan tidur di rumahnya, mengajaknya jalan-jalan ke tempat yang bukan pasaran turis dan ia menyimpulkan bahwa perilaku Wayan itu disebabkan oleh sifatnya yang baik hati. Oleh karena itu, John mengatribusikan Wayan sebagai orang yang baik hati. Akan tetapi, atribusi itu berubah setelah ada informasi tambahan sehingga akhirnya John menganggap Wayan sebagai orang yang menyusahkan saja. Demikian juga, Wayan mempersepsikan John sebagai bule yang tidak sombong, yang mau diajak makan dan tidur di rumahnya yang sederhana, karena itu atribusi yang diberikan Wayan kepada John adalah baik hati dan mungkin juga murah hati. Akan tetapi, setelah Wayan ke Jakarta, ternyata John tidak mau membelikan tiket untuk keponakannya dan menyuruhnya pulang cepat-cepat. Simpulan Wayan adalah perilaku John disebabkan oleh sifatnya yang menjajah orang dan itulah atribusi yang diberikan Wayan kepada John di akhir kisah. Persepsi dan atribusi ini sifatnya memang sangat subjektif, yaitu tergantung sekali pada subjek yang melaksanakan persepsi dan atribusi itu. Perilaku membunuh, misalnya, dapat dianggap kelakuan penjahat yang sadis, bela diri atau kepahlawanan. Sapaan seorang pria kepada rekan wanitanya dengan menyentuh punggungnya, misalnya, dapat dianggap pelecehan seksual oleh wanita, walapun pria yang bersangkutan hanya menganggapnya sebagai keramah-tamahan biasa. Persepsi sosial kadang-kadang serupa, sama atau seragam, sementara kadang- kadang juga berbeda. Dijelaskan oleh Kenny (1994) bahwa ada perbedaan antara persepsi tentang orang (person perception), yaitu 1) objeknya lebih abstrak, (lebih hipotetis) sehingga orang cenderung memberi persepsi yang sama; 2) objeknya lebih konkret atau merupakan pengalaman pribadi. Dalam hubungan antara pribadi yang lebih konkret itu lebih banyak faktor yang berpengaruh, seperti motif, perilaku kita sendiri terhadap orang lain yang kemudian mempengaruhi perilaku orang tersebut tentu saja proses kognitif itu sendiri yang menjadi lebih majemuk. Selain perbedaan persepsi menurut Kenny, faktor perbedaan kepribadian juga berpengaruh terhadap persepsi sosial, misalnya ekstroversi dan introversi (Ambudy dkk.,1995), kesadaran akan diri sendiri, rasa malu, dan cemas (Schroeder,1995), kemampuan social dan tingkat kecemasan (Tur & Bryan, 1993). Persepsi sosial berbeda dari persepsi pada umumnya, yaitu persepsi sosial sangat menggantungkan diri pada komunikasi. Persepsi seseorang tentang orang lain sangat bergantung pada komunikasi yang terjadi antara keduanya. Komunikasi yang dimaksud tidak berti hanya komunikasi lisan (percakapan), tetapi juga komunikasi nonlisan (gerak, tubuh, ekspresi, wajah, dan sebagainya). Komunikasi nonlisan jauh lebih bermakna daripada komunikasi lisan dalam persepsi sosial. Contohnya adalah dalam bertelpon. Kalau yang menerima telepon adalah mesin penjawab otomatis (answering machine) atau suara komputer, maka kita hanya bisa menerima informasi belaka (Halo, kami sedang tidak di rumah, titipkan pesan Anda setelah terdengar nada bip atau Terima kasih Anda telah menggunakan jasa PT TELKOM. Untuk mengetahui rekening Anda bulan lalu, silakan tekan satu...., dan seterusnya). Tidak ada atribusi yang dapat kita simpulkan dari komunikasi sejenis ini, yaitu apakah suara mesin atau komputer itu marah atau ramah tidak dapat ditetapkan sama sekali. Sebaliknya, jika dua orang bertatap muka, walapun tidak biacara sekalipun, dapat timbul atribusi-atribusi tertentu, yaitu apakah orang itu tersenyum atau mengedipkan mata, atau wajahnya cemberut, dan sebagainya semuanya itu mennyebabkan kita dapat memperkirakan atribusi di balik perilaku. Apalagi antara dua orang yang berpacaran. Biar diam seribu bahasa, dua pasang mata yang berpandangan dapat menjadi pengungkap rasa. Dengan demikian, kalaupun atribusi terjadi komunikasi lisan, penyimpulan atau perkiraan atribusi bukan didasarkan oleh isi ucapan-ucapan lisan semata, melainkan karena perilaku yang menyertai komunikasi lisan itu. Dalam kasus cerpen di atas, misalnya, John mengatribusikan Wayan sebagai pribumi yang wataknya jelek bukan karena kata-katanya semata, melainkan karena selama Wayan tinggal di rumah John ia tidak pernah menanyakan keadaan John dan tiba-tiba ia membawa keponakannya tanpa persetujuan John. Dalam percakapan telepon (tanpa tatap muka) jika percakapan itu terjadi secara langsung antarpribadi, terjadi proses saling memberi atribusi. Akan tetapi, bukan berdasarkan isi percakapan, melainkan berdasarkan nada suara, tekanan suara, tarikan napas, teriakan kecil, tangisan, keluhan, tawa, dan isyarat-isyarat nonlisan lainnya. Komuniaksi lisan sering kali kurang dapat dipercaya dibandingkan dengan komunikasi nonlisan. Oleh karena itu, di kalangan pemuda-pemudi yang sedang dirundung asmara ada istilah rayuan gombal atau janji palsu atau berani sumpah tapi takut mati. Namun demikian, jangan disangka bahwa komunikasi lisan sudah pasti mencerminkan keadaan diri seseorang secara benar seratus persen. Friesen (1972), misalnya, pernah membuat penelitian terhadap sekelompok mahasiswa Jepang dan Amerika. Mereka dipertunjukkan dua buah film, yaitu film tentang penyikasaan manusia dan film biasa. Kelompok pertama dari mahasiswa Jepang dan Amerika melihat film di antara mereka sendiri (tanpa kehadiran dosen), sedangkan kelompok kedua menontonya dengan dihadiri dosen. Selama mereka menonton, wajah mereka direkam dengan video. Hasilnya cukup menakjubkan. Pada kelompok yang tidak dihadiri dosen, mahasiwa Jepang dan Amerika sama-sama menunjukkan ekspresi wajah muak sewaktu menonton film penyiksaan. Sebaliknya, pada kelompok kedua yang menonton bersama dosennya, mahasiswa Amerika tetap memperlihatkan wajah muak, sementara siswa-siswa Jepang tenang-tenang saja malah tersenyum-senyum. Jelaslah bahwa walapun emosi mungkin sama pada semua orang tetapi cara mengekspresikan emosi berlainan antara satu kebudayaan dan kebudayaan lain. Jadi, kita pun harus berhati-hati dalam memberikan atribusi pada suatu perilaku. Seorang kasir tokoh swalayan yang tersenyum kepada setiap pelanggan, belum tentu benar-benar berhati-hati ramah karena mungkin senyum hanya karena tugas pekerjaannya saja. Sebaliknya, seorang satpam yang membentak anak-anak kampung agar keluar dari kawasan pertokoan yang dijaganya, belum tentu berhati bengis terhadap anak-anak. Penelitian lainnya adalah dampak proses persepsi sosial dalam perkawinan, misalnya, dampak kita lihat dalam penelitian terhadap 44 pasangan suami-istri di Norwegia. Hasil penelitian membuktikan bahwa pasangan yang dapat saling mengerti melalui komunikasi dan sama-sama merasa dapat saling mempengaruhi (meminta pasangannya untuk melakukan hal tertentu dan benar-benar dilakukan oleh pasangannya) akan mempunyai lebih sedikit masalah daripada pasangan-pasangan yang lebih egosentris (kurang mau mendengar pihak lain) (Wichstrom & Holte, 1993) Atribusi adalah memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain itu berperilaku tertentu. Menurut Myers (1996) kecenderungan member atribusi di sebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menjelaskan sesuatu (sifat ilmuwan pada manusia) termasuk apa yang ada di balik perilaku orang lain tersebut.
IV. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Sosial Menurut Stephen P. Robbin (1989) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor utama yang memberi pengaruh terhadap pembentukan persepsi sosial seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor penerima (the perceiver berupa attitude, motive, interest, experience, dan expectation), situasi (the situation berupa work setting dan social setting), dan objek sasaran (the target berupa novelty motion, sound, size, background dan proximity).
1. Faktor Penerima (the perceiver attitude, motive, interest, experience, dan expectation.) Pemahaman sebagai suatu proses kognitif akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian seorang pengamat. Diantara karakteristik kepribadian utama itu adalah konsep diri, nilai dan sikap, pengalaman di masa lampau, dan harapan-harapan yang terdapat dalam dirinya. Seseorang yang memiliki konsep diri (self concept) yang tinggi dan selalu merasa diri secara mental dalam keadaan sehat, cenderung melihat orang lain dari sudut tinjauan yang bersifat positif dan optimistic, dibandingkan seseorang yang memiliki konsep diri rendah. Orang yang memegang nilai dan sikap otoritarian tentu akan memiliki persepsi sosial yang berbeda dengan orang yang memegang nilai dan sikap liberal. Pengalaman di masa lalu sebagai bagian dasar informasi juga menentukan pembentukan persepsi seseorang. Harapan- harapan sering kali memberi semacam kerangka dalam diri seseorang untuk melakukan penilaian terhadap orang lain ke arah tertentu.
2. Faktor Situasi (the situation work setting dan social setting) Definisi situasi adalah makna yang diberikan individu terhadap suatu keadaan atau interpretasi individu terhadap faktor-faktor sosial yang ditemui pada ruang dan waktu tertentu. Pengaruh faktor situasi dalam proses persepsi sosial dapat dipilah menjadi tiga, yaitu: Seleksi Seseorang akan lebih memusatkan perhatiannya pada objek-objek yang dianggap lebih disukai, ketimbang objek-objek yang tidak disukainya. Proses kognitif ini disebut dengan seleksi informasi tentang keberadaan suatu objek, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Kesamaan Kesamaan adalah kecenderungan dalam proses presepsi sosial untuk mengklasifikasikan orang-orang ke dalam suatu katagori yang kurang lebih sama. Seperti berlatar belakang jenis kelamin, status sosial, dan etnik. Organisasi Dalam proses persepsi sosial, individu cenderung untuk memahami orang lain sebagai objek persepsi ke dalam sistem yang bersifat logis, teratur, dan runtun. Pemahaman sistematik semacam itu biasa disebut dengan organisasi perceptual. Para ahli psikologi sosial memandang situasi sebagai keseluruhan faktor yang dapat mempengaruhi perilaku individu pada ruang dan waktu tertentu. Definisi situasi adalah makna yang diberikan individu terhadap suatu keadaan atau interpretasi individu terhadap faktor-faktor sosial yang ditemui pada ruang dan waktu tertentu. Para ahli sosiologi menyimpulkan bahwa apabila manusia mendefinisikan situasi sebagai sesuatu yang bersifat nyata, maka itu akan menjadi nyata dalam konsekuensi perilakunya.
3. Faktor Objek (the target novelty motion, sound, size, background dan proximity) Dalam persepsi sosial secara khusus, objek yang diamati itu adalah orang lain. Ada empat ciri yang terdapat dalam diri objek yang dapat memberi pengaruh terhadap terbentuknya persepsi sosial, yaitu: Keunikan Ciri-ciri unik yang terdapat dalam diri seseorang adalah salah satu unsur penting yang menyebabkan orang lain merasa tertarik untuk memusatkan perhatiannya. Kekontrasan Seseorang akan lebih mudah dipersepsi orang lain terutama apabila ia memiliki karakteristik berbeda disbanding lingkungan fisik maupun sosialnya. Ukuran dan intensitas yang terdapat dalam diri objek Dalam konteks ini, seorang Miss world dengan ukuran fisik tertentu dan wajah cantik akan lebih mudah menmbulkan kesan pada orang lain ketimbang apabila seseorang melihat gadis-gadis pada umumna. Kedekatan (proximity) objek dengan latar belakang sosial orang lain. Orang-orang dalam suatu departemen tertentu akan cenderung untuk diklasifikasikan sebagai memiliki ciri-ciri yang sama karena hubungan yang dekat di antara mereka.
Gambar 1: Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Sumber: Stephen P. Robbin.(2001). Organizational Behavior, Theory, Concept, Design and Application (Hadyana Pujaatmaka & Benyamin Molan. 2006:73)
Faktor-faktor yang terdapat dalam diri pemersepsi (perceiver) yaitu sbb. : 1. Sikap (attitude), diartikan sebagai pernyataan evaluatif, yang dapat dipengaruhi oleh nilai yang dianut seseorang terhadap suatu objek yang dapat mempengaruhi persepsi. 2. Motif (motive), sebagai suatu keinginan atau kebutuhan seseorang. 3. Interest, sesuatu yang sangat diperhatikan seseorang. Dapat dipengaruhi oleh pengalaman atau latar belakang orang tersebut. 4. Experience, pengalaman dapat mempengaruhi salah satu dari objek atau peristiwa yang sangat diperhatikat oleh seseorang. 5. Expectation, harapan-harapan (pengharapan) seseorang terhadap sesuatu yang dapat sesuatu yang dapat mempengaruhi persepsi. (Hadyana Pujaatmaka & Benyamin Molan. 2006: 74-75)
SITUATION Time Work Setting Social Setting TARGET Novelty, Motion Sounds, Size, Background, Proximity PERCEPTION PERCEIVER Attitude, Motive, Interest Expectation, Experience V. Macam Macam Persepsi Sosial Secara garis besar persepsi manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu (Mulyana, 2005: 171-176): persepsi terhadap objek (lingkungan fisik) dan persepsi terhadap manusia (interpersonal). a) Persepsi Objek (lingkungan fisik) Persepsi terhadap objek (lingkungan fisik) merupakan sebuah proses persepsi yang menggunakan benda sebagai objek, bukan manusia. Stimulus yang ditangkap bukan dari komunikasi nonverbal, melankan dari gelombang cahaya, gelombang suara, temperatur, dll. sifat- sifat luar, sedangkan persepsi terhadap orang menanggapi sifat-sifat luar dan dalam (perasaan,motif, harapan, dan sebagainya). Orang akan mempersepsi anda pada saat anda mempersepsi mereka. Dengan kata lain, persepsi terhadap manusia bersifat interaktif. Objek yang kita persepsi tidak memberikan reaksi kepada kita dan kita juga tidak memberikan reaksi emosional kepada objek tersebut, dan objek yang kita jadikan sebagai bahan persepsi relatif tetap.
b) Persepsi terhadap manusia (interpersonal) Persepsi terhadap manusia merupakan proses presepsi dimana manusia merupakan objeknya. Stimulus disampaikan melalui lambang-lambang verbal maupun nonverbal. Reaksi dari yang dipersepsi ada kemungkinan bias, karena manusia selalu berubah-ubah.
PERILAKU MENYIMPANG DAN NORMA NORMA SOSIAL
Tidak mungkin untuk membahas perilaku menyimapang tanpa menyinggung mengenai norma norma sosial, karena dalam menetapkan atau mengukur perilaku menyimpang norma norma sosial di pergunakan sebagai standar atau unit terhadap mana kelakuan tertentu di tetapkan atau di ukur. Sumner, W.G (1966), tokoh sosiologi dari Amerika di anggap sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa the mores can make anything right. Pertanyaan sering kali di kutip oleh ahli ahli sosial yang membahas perilaku menyimpang. Dalam hubungan pernyataan tersebut di atas dapat pula di katakan bahwa mores atau norma dapat pula menentukan suatu tindakan tidak baik atau menyimpang. Defenisi normatif yang demikian di tambah pula adanya variasi dari norma norma sosial dari zaman ke zaman dan di dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan, menyebabkan bahwa tidaklah mungkin untuk membahas perilaku menyimpang dalam peristilahan yang absolut. Karena apa yang di anggap berdosa dan jahat dalam masyarakat tertentu lain dapat pula di nyatakan sebagai sesuatu yang lain pada zaman atau di dalam lingkungan sosial yang berbeda. Contoh: mereka yang dio dalam zaman kolonial Belanda dianggap sebagai pemberontak di angkat menjadi pahlawan nasional pada zaman merdeka. Norma-norma sosial adalah apa yang harus dan di larang di dalam suatu masyarakat dan kebudayaan tertentu. Norma norma tersebut di ciptakan dan terbentuk karena individu sebagai anggota masyarakat dan kebudayaan tersebut saling berhubungan atau berinteraksi, sebaliknya norma norma tersebut selanjutnya mengarahkan, menyalurkan dan mebatasi hubungan hubungan antara anggota masyarakat maupun dengan orang orang lain pada umumnya. Kebanyakan orang tidak senantiasa sadar akan fungsi dari norma norma sosial bagi kehidupannya. Salah satu sebabnya adalah karena norma norma menjadi bagian yang integral dari pri badi seseorang sehingga tidak lagi di persoalkan oleh orang yang bersaangkutan. Artinya individu jarang sering memikirkan norma norma yang di milikinya kecuali bila ia merasa bahwa dalam kontak dengan orang lain norma norma tersebut mendapat tantangan.atau pada saat ia berhadapan dan berinteraksi dengan orang yang memiliki norma norma yang berbeda mungkin orang asing, pemberontak, hippiedan lain sebagainya. Pemusatan dari norma norma sosial dengan cara yang sama dapat pula di ketahui dalam pranata sosial lainnya seperti: pendidikan, agama, polotik, hukum, dan yang mengatur kegiatan kegiatan ekonomis (Newman,1975). Apresiasi terhadap norma norma sosial dapat secara dogmatis (umpamanya: dalam masyarakat yang tradisionil di mana norma norma biasanya lebih sederhana sehingga kemungkinan kemungkinan yang tersedia bagi kelakuan individu lebih terbatas pula sifatnya) Orientasi individuil terutama dapat terjadi di dalam lingkungan masyarakat di mana sistem normatif yang berlaku telah menjadi lebih kompleks khususnya terdapat di dalam masyarakat di mana kehidupan keluarga, kehidupan ekonomis,dan pendidikan tidak lagi merupakan suatu keseluruhan yang saling berhubungan erat dan terintegrasi serta mungkin sekali tidak selalu konsisten dari satu pranata sosial yang lain. Kekaburan batas tersebut dapat di sebabkan antara lain karena : Pergeseran aturan normatif yang berhubungandengan kurang berfungsinya norma norma tradisionil dan terciptanya norma norma baru. Adanaya konflik normatif yang berhubungan dengan keadaan lingkungan yang mempunyai tuntutan dan pengharapan yang tidak saling menyambung bagi individu yang harus mengisi berbagai peranan. Adanya norma norma yang tidak mempunyai sanksi dan tidak dapat berfungsi. Adanya norma norma yang berfungsi sebagai: safety Valve Pengalaman dan tingkahlaku merupakan kesatuan ;apa yang di lakukan seseorang (sebagai ucapan,ekspresi atau kegiatan) tidak terlepas dari cara caranya mempersepsikan situasi,mengapresiasikan atau apa yang ia ingat mengenai hal hal yang ia hadapi. Persepsi seseorang merupakan suatu proses yang aktif di mana yang memegang peranan bukan hanya stimulus yang mengenainya tetapi juga sebagai keseluruhan dengan pengalaman pengalamannya ,motivasinya dan sikap sikap yang relevan terhadap stimulus tersebut. Oleh OSKAMP (1972) di kemukan 4 karakteristik penting dari faktor faktor pribadi dan sosial yang dapat mempengaruhi persepsi kita: 1. Faktor ciri-ciri khas dari obyek stimulus yang terdiri antara lain dari nilai, arti, familiaritas, dan intensitas. 2. Faktor faktor pribadi: termasuk di dalamnya ciri khas individu seperti tarap kecerdasannya, minatnya, emosionalisnya, dan lainsebagainya. 3. Faktor pengaruh kelompok artinya respon orang lain dapat memberi arah ke suatu tingkah laku konform. 4. Faktor perbedaan latar belakang kulturil.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN Persepsi terjadi dimulai dari adanya objek yang menimbulkan stimulus mengenai alat indera. Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera diteruskan oleh syarat sensoris ke otak. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu meyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar atau apa yang diraba. Dari individu meyadari tentang misalnya apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba itu merupakan dari proses persepsi. Persepsi social merupakan persepsi orang sebagai semacam proses yang relative rasional dalam mengambil informasi tentang orang lain dan mengorganisasikannya berdasarkan prinsip tertentu. Tujuan dan perasaan kita terhadap orang lain juga memengaruhi pandangan kita tentang informasi yang kita kumpulkan mengenai orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Sarwono, Sarlito W. 2002. Psikologi Sosial, Individu Dan Teori Teori Psikologi Sosial. Balai Pustaka: Jakarta
Taylor, Shelley E, dkk. 2009. Psikologi Sosial, Edisi Kedua Belas. Kencana: Jakarta
Sadli, Sarinah. 1927. Persepsi Sosial, Mengenai Perilaku Menyimpang. Lahir Tegal Sari,Jawa Tengah
Sarwono, Sarlito W. 2009. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Press
Robbin, Stephen P. 2001. Organization Theory : Structure, Design and Applications, (Terjemahan Hadyana Pujaatmaka, Benyamin Molan.2006) Jakarta : Prenhallindo.