Anda di halaman 1dari 20

Distribusi dan Bioekologi Vektor

Status taksonomi
Aedes aegypti memperlihatkan spectrum pola sisik yang bersambungan di sepanjang
penyebarannya mulai dari bentuk yang paling pucat sampai bentuk yang gelap, yang dikaitkan
dengan perbedaan perilakunya. Oleh karena itu penting kiranya memahami bionomika populasi
nyamuk di wilayah setempat sebagai dasar untuk mengendalikan nyamuk
Distribusi Geografis di Asia Tenggara
Distribusi
Ae. aegypti tersebar luas di wilayah tropis dan subtropis Asia Tenggara, dan terutama di
sebagian besar wilayah perkotaan. Penyebaran Ae. aegypti di pedesaan akhir-akhir ini relative
sering terjadi yang dikaitkan dengan pembangunan sistem penyediaan air pedesaan dan
perbaikan sistem transportasi (WHO, 2005:58).
Menurut WHO, bahwa: Di wilayah yang agak kering misalnya, India Ae. aegypti
merupakan vektor perkotaan dan populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan
kebiasaan penyimpanan air. Pada negara lain di Asia Tenggara yang curah hujannya melebihi
200 cm per tahun, populasi Ae. aegypti ternyata lebih stabil dan ditemukan di daerah perkotaan,
pinggiran kota, dan daerah pedesaan. Karena kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di
Indonesia, Myanmar, dan Thailand, kepadatan nyamuk mungkin lebih tinggi di daerah pinggiran
kota dari pada di daerah perkotaan (2005: 58)

Urbanisasi cenderung menambah jumlah habitat yang sesuai untuk Ae. aegypti. Di
beberapa kota yang banyak sekali tumbuhan, baik Ae. aegypti maupun Ae. albopictus dapat di
temukan, tetapi Ae. aegypti umumnya merupakan spesies yang dominan, bergantung pada
ketersediaan dan tipe habitat larva dan tingkat urbanisasi yang ada. Di Singapura, misalnya
indeks taksiran tertinggi untuk Ae. aegypti ternyata berada di rumah yang kumuh, rumah took
(ruko), dan di rumah susun dengan banyak kamar. Ae. albopictus, di sisi lain, tampaknya tidak
berkaitan dengan tipe lebih banyak di temukan di ruang terbuka dan bertumbuhan.
Ketinggian
Ketinggian merupakan faktor yang penting untuk membatasi penyebaran nyamuk Ae.
aegypti. Di India, Ae. aegypti dapat ditemukan pada ketinggian yang berkisar dari 0 1000 meter
di atas permukaan laut. Ketinggian yang rendah (kurang dari 500 meter) memiliki tingkat
kepadatan populasi nyamuk sedang sampai berat. Sementara daerah pegunungan (di atas 500
meter) memiliki populasi nyamuk yang rendah. Di negara-negara Asia Tenggara, ketinggian
1000-sampai 1500 meter di atas permukaan laut tampaknya merupakan batas bagi penyebaran
Ae. aegypti. Di bagian lain dunia, nyamuk spesies ini dapat ditemukan wilayah yang jauh lebih
tinggi, misalnya di Kolombia sampai 2200 meter. (WHO, 2005: 59)


4. Ekologi dan Bionomika
Telur
Telur di letakkan satu persatu pada permukaan yang basah tepat di atas batas permukaan
air. Sebagian besar nyamuk Ae. aegypti betina meletakkan telurnya di beberapa sarang selama
satu kali siklus gonotropik. Perkembangan embrio biasanya selesai dalam 48 jam di lingkungan
yang hangat dan lembab. Begitu proses embrionisasi selesai, telur akan menjalani masa
pengeringan yang lama (lebih dari satu tahun). Telur akan menetas pada saat penampung air
penuh, tetapi tidak semua telur akan menetas pada waktu yang sama. Kapasitas telur untuk
menjalani masa pengeringan akan membantu mempertahankan kelangsungan spesies ini selama
kondisi iklim buruk.
Larva dan Pupa
Larva akan menjalani empat tahapan perkembangan. Lamanya perkembangan larva akan
bergantung pada suhu, ketersediaan makanan, dan kepadatan larva pada sarang. Pada kondisi
optimum, waktu yang dibutuhkan mulai dari penetasan sampai kemunculan nyamuk dewasa
akan berlangsung sedikitnya selama 7 hari, termasuk dua hari untuk masa menjadi Pupa. Akan
tetapi, pada suhu rendah, mungkin akan di butuhkan beberapa minggu untuk kemunculan
nyamuk dewasa.
Hampir di seluruh negara Asia Tenggara, sarang telur Ae. aegypti paling banyak
ditemukan di wadah air rumah tangga buatan manusia (WHO,2005: 60). Wadah tersebut juga
mencakup beragam jenis sarang yang ditemukan di lingkungan maupun di sekitar daerah
perkotaan (rumah tangga, lokasi pembangunan, dan pabrik), misalnya pada kendi air, piring
tempat menadah pot bunga, vas bunga, baik bak mandi semen, wadah untuk merendam kaki, peti
kayu, wadah polistiren, cangkir plastik, aki bekas, wadah kaca yang berhubungan dengan rumah
ibadah (kuil), pipa pembuangan, dan perangkap semut yang biasanya di temukan, tetapi dapat
mencakup lubang pohon, pangkal daun, dan tempurung kelapa. Di daerah yang panas dan kering,
tanki air di atas, tanki penyimpanan air di tanah, dan septic tank bisa menjadi habitat utama
larva. Di wilayah yang persediaan airnya tidak teratur, penghuni menyimpan air untuk kegunaan
rumah tangga sehingga semakin memperbanyak jumlah habitat yang ada untuk larva.
Nyamuk dewasa
Segera setelah muncul, nyamuk dewasa akan kawin dan nyamuk betina yang sudah di
buahi akan menghisap darah dalam 24 - 36 jam. Darah merupakan sumber protein yang esensial
untuk mematangkan telur.
a. Perilaku Makan
Ae. aegypti antropofilik, walaupun ia juga bisa makan dari hewan berdarah panas lainnya.
Sebagai hewan diurnal, nyamuk betina memiliki dua periode aktivitas menggigit, pertama di pagi
hari selama beberapa jam setelah matahari terbit dan sore hari selama beberapa jam sebelum
gelap. Puncak aktifitas mengigit yang sebenarnya dapat beragam bergantung lokasi dan musim.
Jika masa makannya terganggu, Ae. aegypti dapat mengigit lebih dari satu orang. Perilaku ini
semakin memperbesar efisiensi penyebaran penyebaran epidemi. Dengan demikian, bukan hal
yang luar biasa jika beberapa anggota keluarga yang sama mengalami awitan penyakit yang
terjadi dalam 24 jam, memperlihatkan bahwa mereka terinfeksi nyamuk infektif yang sama. Ae.
aegypti biasanya tidak menggigit di malam hari, tetapi akan menggigit saat malam di kamar yang
terang.
b. Perilaku istirahat
Ae. aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembap, dan tersembunyi di dalam
rumah atau bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil, maupun di dapur.
Nyamuk ini jarang di temukan di luar rumah, di tumbuhan, atau di tempat terlindung lainnya. Di
dalam ruangan, permukaan istirahat yang mereka suka adalah di bawah furnitur, benda yang
tergantung seperti baju dan korden, serta dinding.
c. Jarak terbang
Menurut WHO, bahwa : Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa di pengaruhi
oleh beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah, tetapi tampaknya terbatas
sampai jarak 100 meter dari lokasi kemunculan(2005:61). Akan tetapi, penelitian terbaru di
Puerto Rico menunjukan bahwa nyamuk ini dapat menyebar sampai lebih dari 400 meter
terutama untuk mencari tempat bertelur. Transportasi pasif dapat berlangsung melalui telur dan
larva yang ada dalam penampung.
d. Lama Hidup
Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya delapan hari. Selama
musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang, risiko penyebaran virus semakin besar.
Dengan demikian, diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengkaji survival alami Ae. aegypti
dalam berbagai kondisi lingkungan.
Aedes Albopictus
Aedes albopictus termasuk dalam subgenus yang sama dengan Ae. aegypti (Stegomyia).
Spesies ini tersebar luas di Asia dari negara beriklim tropis sampai yang beriklim subtropis.
Selama dua dekade terakhir, spesies ini telah menyebar sampai ke Amerika Selatan dan Utara,
Karibia, Afrika, Eropa Utara, dan beberapa kepulauan Pasifik (WHO, 2005: 62)
Menurut WHO, bahwa : Ae. albopictus pada dasarnya adalah spesies hutan yang
beradaptasi dengan lingkungan manusia pedesaan, pinggiran kota, dan perkotaan. Nyamuk
bertelur dan berkembang di lubang pohon, ruas bamboo, dan pangkal daun sebagai habitat
hutannya; serta penampung buatan di daerah perkotaan. Nyamuk ini merupakan pengisap darah
yang acak dan lebih zoofagik (memilih hewan) dari pada Ae. aegypti. Jarak terbangnya bisa
mencapai 500 meter. Tidak seperti Ae. aegypti, beberapa strain dari spesies ini berhasil
beradaptasi dengan cuaca dingin di wilayah Asia Utara dan Amerika, saat telurnya
menghabiskan musim dingin dengan beristirahat (2005: 62).
Diwilayah Asia dan di Seychelle, Ae. albopictus terkadang di duga sebagai vektor
epidemic DF/DHF, walaupun tidak sepenting Ae. aegypti. Di laboratorium, kedua spesies
nyamuk tersebut dapat menularkan virus dengan secara vertikal melalui nyamuk betina ke telur
sampai keturunannya, walaupun Ae. albopictus lebih cepat melakukannya.

Patofisiologi Demam Berdarah
Demam berdarah (DB) atau demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut
yang ditemukan di daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria.
Penyakit ini disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dari genus Flavivirus, famili
Flaviviridae. Setiap serotipe cukup berbeda sehingga tidak ada proteksi-silang dan wabah yang
disebabkan beberapa serotipe (hiperendemisitas) dapat terjadi. Demam berdarah disebarkan
kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti.
Pada umumnya penderita DBD dikenal dengan gejala bintik-bintik atau ruam merah pada
kulit yang apabila diregangkan malah terlihat jelas bintik-bintiknya. Hal itu memang menjadi
salah satu tanda bahwa telah tergigit nyamuk Aedes agypti. Untuk lebih waspada dan
menindaklanjuti kasus DBD, berikut beberapa gejala DBD :
1. Demam
Penyakit ini didahului oleh demam tinggi yang mendadak, terus menerus berlangsung 2-7
hari. Panas dapat turun pada hari ke-3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7
mendadak turun. Jika digambarkan, maka grafiknya menyerupai pelana kuda.
Jangan tunggu hingga 7 hari, lepas hari ketiga panas tetap tinggi, dianjurkan untuk
memeriksakan diri dengan tes darah. Karena apabila dalam waktu kurang dari 7 hari penderita
tidak ditangani dengan cepat dan tepat, penderita dapat meninggal dunia.
2. Tanda-tanda pendarahan
Perdarahan ini terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya berupa uji
Torniquet (Rumple Leede) positif atau dalam bentuk satu atau lebih manifestasi perdarahan
sebagai berikut : Petekie, Purpura, Ekimosis, Perdarahan konjungtiva, Epistaksis, Perdarahan
gusi, Hematemesis, Melena, dan Hematuri.
2. Pembesaran hati (hepatomegali)
Sifat pembesaran hati :
a) Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyaki
b) Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit
c) Nyeri tekan sering ditemukan tanpa disertai ikterus
3. Syok
Tanda-tanda Syok:
a) Kulit terasa dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan dan kaki
b) Penderita menjadi gelisah
c) Sianosis di sekitar mulut
d) Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba
e) Tekanan nadi menurun, sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang

4. Trombositopeni
5. Hemokonsentrasi (Peningkatan Hematokrit)
a) Jumlah trombosit < 100.000/l biasanya ditemukan diantara hari ke 3-7 sakit
b) Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam
batas normal atau menurun.
c) Pemeriksaan dilakukan pada saat pasien diduga menderita DBD, bila normal maka
diulang tiap hari sampai suhu turun.
Meningkatnya nilai hematokrit (Ht) menggambarkan hemokonsentrasi selalu dijumpai
pada DBD, merupakan indikator yang peka terjadinya perembesan plasma, sehingga dilakukan
pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului
peningkatan hematokrit.
6. Gejala Klinik lain
Pada beberapa kasus terjadi hiperpireksia disertai kejang dan penurunan kesadaran
sehingga sering di diagnosis sebagai ensefalitis
a. Gejala klinik lain yang dapat menyertai penderita DBD ialah nyeri otot, anoreksia,
lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau konstipasi, dan kejang
b. Keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan
gastrointestinal dan renjatan.(Depkes RI: 2005).



1. Epidemiologi Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue.
Epidemi dengue selama tiga abad terakhir ini di ketahui terjadi di daerah beriklim tropis,
subtropis, dan sedang di seluruh dunia. Epidemi pertama dengue tercatat tahun 1635 di wilayah
India Barat Perancis, walaupun penyakit yang serupa dengan dengue telah dilaporkan terjadi di
Cina semenjak awal tahun 992 SM. Selama abad ke-18-19 dan awal abad ke-20, epidemi
penyakit yang menyerupai dengue tercatat menyerang seluruh dunia baik di wilayah tropis
maupun di beberapa wilayah beriklim sedang. Rush kemungkinan tengah menjelaskan penyakit
dengue ketika ia menulis tentang break-bone Fever yang terjadi di Philadelphia tahun 1780.
Kebanyakan dari epidemi tersebut adalah epidemi penyakit demam dengue klinis, walaupun
beberapa diantaranya di hubungkan dengan bentuk perdarahan berat penyakit. Upaya untuk
mengendalikan nyamuk aedes aegypti dan perkembangan ekonomi telah memberikan penurunan
yang sangat berarti terhadap ancaman yang di timbulkan oleh epidemi dengue di negara-negara
beriklim sedang selama 50 tahun terakhir (WHO, 2005 : 3)
Kejadian luar biasa (KLB) penyakit dengue serupa dengan DHF yang di catat pertama
kali di Australia tahun 1897. Penyakit perdarahan serupa juga berhasil dicatat pada tahun 1928
saat terjadi epidemi di Yunani dan kemudian di Taiwan tahun 1931. Epidemi DHF pertama yang
berhasil di pastikan, dicatat di Filipina antara tahun 1953-1954 . Selanjutnya, KLB besar DHF
yang mengakibatkan banyak kematian terjadi di sebagian besar negara Asia Tenggara, termasuk
India, Indonesia, Maldives, Myanmar, Sri Lanka, dan Thailand, juga di Singapura, Kamboja,
China, Laos, Malaysia, Kaledonia Baru, Palau, Filipina, Tahiti, dan Vietnam di wilayah Pasifik
Barat. Selama 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan yang tajam pada insidensi dan penyebaran
DHF secara geografis, dan di beberapa negara Asia Tenggara, sekarang epidemic terjadi setiap
tahun.
Penyakit DBD pertama Kali di Indonesia ditemukan di Surabaya tahun 1968, kasus
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan serius di negeri ini. Hampir
setiap tahun tercatat ada penderita DBD yang meninggal dunia. Tahun ini, jumlah penderita
meningkat tajam, dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Di beberapa daerah korban DBD yang
meninggal sudah menembus tingkat kematian (Case Fatality Rate/CFR) satu persen dari jumlah
kasus yang terjadi. Tidak heran jika Menteri Kesehatan menyatakan DBD tahun ini sebagai
Kejadian Luar Biasa Nasional (Kompas, 17 Februari, 2005 : 12).
Tahun 1973 DBD dinyatakan sebagai KLB dengan kasus 10.189 dan jumlah yang
meninggal dunia 470 orang. Tahun 1977 dan 1978, kasus DBD juga dinyatakan sebagai KLB.
Tahun 1977 tercatat 320 orang meninggal dari 7.826 kasus, tahun 1978 tercatat 6.963 kasus dan
384 meninggal. Tahun 1983 dan 1988, DBD juga dinyatakan sebagai KLB dengan korban
meninggal dunia masing-masing 491 (dari 13.875 kasus) dan 1.527 (dari 47.573 kasus DBD).
Jika melihat data dari Ditjen PMP dan PLP Depkes tersebut, terlihat ada ledakan kasus
DBD setiap 5 tahun sekali. Jika melihat fenomena tersebut maka ledakan kasus setiap 5 tahunan
tersebut mestinya terjadi pada tahun 2003 atau 2004. Dan sekarang sudah menjadi kenyataan.
Dalam tahun 2004 ini data di Depkes tercatat sudah 5 ribu kasus DBD (data tersebut belum dari
seluruh daerah). Dan harus dicatat data itu baru data 2 bulan, padahal puncak DBD bisa terjadi
sampai bulan Mei. Seharusnya hal tersebut sudah diantisipasi oleh pemerintah dan setiap tahun
sudah ada anggaran rutin untuk pemberantasan DBD.
Faktor-faktor penyebab kemunculan kembali epidemi dengue:
Pertumbuhan populasi manusia yang tidak pernah terjadi sebelumnya
Urbanisasi yang tidak terencana dan terkendali
Manajemen sampah dan penyediaan air yang tidak adekuat
Peningkatan penyebaran dan kepadatan vektor nyamuk
Kurang efektifnya pengendalian nyamuk
Peningkatan pergerakan dan penyebaran virus dengue
Pengembangan hiperendemi
Memburuknya infrastruktur dibidang kesehatan masyarakat
Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah
Kegiatan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD antara lain:
Surveilans Vektor
Surveilans untuk Ae. aegypti sangat penting untuk menentukan distribusi kepadatan
populasi, habitat utama larva, faktor risiko berdasarkan waktu dan tempat yang berkaitan dengan
penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan insketisida yang di pakai, guna
memprioritaskan wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor (WHO, 2005 : 50).
Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar peralatan
pengendalian vektor, dan dapat di pakai untuk memantau keefektifannya. Ada beberapa metode
yang tersedia untuk deteksi dan pemantauan populasi larva dan nyamuk dewasa. Pemilihan
metode pengambilan sampel yang tepat bergantung pada tujuan khusus surveilans, tingkat
gangguan, dan ketersediaan sarana prasarana.
Survey Larva
Menurut WHO, bahwa: Untuk kepraktisan, metodologi survey yang paling umum
menggunakan prosedur pengambilan sampel larva bukan pengumpulan telur atau nyamuk
dewasa (2005 : 50).
Unit pengambilan sampel dasar adalah rumah atau tempat yang secara sistematik akan di
telusuri untuk mencari penampung air. Penampung kemudian diperiksa untuk menemukan
keberadaan larva dan pupa nyamuk. Bergantung pada tujuan khusus survey, pencarian akan
segera dihentikan begitu larva aedes ditemukan, atau tetap di teruskan sampai semua penampung
di periksa. Pengumpulan specimen untuk pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk
memastikan keberadaan spesies Ae. aegypti atau Ae. Albopictus.
Menurut WHO, bahwa: Indeks rumah (house indeks) paling banyak dipakai untuk
memantau tingkat gangguan, tetapi indeks tersebut tidak memuat jumlah penampung yang postif
larva ataupun produktifitas penampung tersebut. Demikian pulang dengan indeks penampung
(container index) yang hanya memuat informasi tentang proporsi penampung air yang positif,
Breteau indeks memuat hubungan antara rumah dan penampung yang positif, dan dianggap
sebagai indeks yang paling informatif, tetapi sekali lagi, produktivitas penampung tidak termuat.
Walau demikian, di dalam proses pengumpulan informasi dasar untuk menghitung Bretau Index,
akan lebih baik dan memungkinkan untuk mendapatkan profil tentang karakteristik habitat larva
jika pencatatan jumlah berbagai tipe penampung yang sangat banyak itu, baik sebagai tempat
yang potensial atau yang sebenarnya untuk perkembangbiakan nyamuk dilakukan secara
bersamaan (misal, jumlah drum yang positif per-100 rumah, jumlah ban yang positif per-100
rumah, dsb). Indeks ini khususnya relevan untuk memfokuskan upaya pengendalian pada
manajemen atau pemusnahan habitat yang paling umum dan untuk orientasi pesan pendidikan
dalam kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. (2005 : 51)
Survei larva dengan Ovitrap dilakukan dengan cara memasang ovitrap yaitu berupa
bejana, misalnya potongan bambu, kaleng (seperti bekas kaleng susu atau gelas plastik yang
dinding sebelah dalamnya dicat hitam, kemudian diberi air secukupnya. Ke dalam bejana
tersebut dimasukkan padel berupa potongan bilah bambu atau kain yang tenunannya kasar dan
berwarna gelap sebagai tempat meletakkan telur bagi nyamuk.
Ovitrap diletakkan di dalam dan di luar rumah di tempat yang gelap dan lembab.
Setelah 1 minggu dilakukan pemeriksaan ada atau tidaknya telur nyamuk di padel.
Indeks yang di pakai untuk mengkaji tingkat gangguan Ae. aegypti :
House Index (HI) : Persentase rumah yang terjangkit larva dan / atau pupa.
HI =



Container Index (CI) : Persentase penampungan air yang terjangkit larva atau pupa
CI =



Bretau index (BI) : Jumlah penampung yang positif per-100 rumah yang diperiksa.

BI =



Ovitrap index : Jumlah padel dengan telur per-100% padel yang diperiksa
OI :




Survey Nyamuk Dewasa
Prosedur sampling vektor nyamuk dewasa dapat menghasilkan data yang sangat berguna
untuk studi tertentu, seperti data tentang kecendrungan populasi setiap musim, dinamika
penyebaran, risiko penyebaran, dan evaluasi terhadap program pemberantasan nyamuk dewasa.
Akan tetapi, hasilnya mungkin kurang produktif di bandingkan hasil yang didapat dari prosedur
sampling pada tahap belum dewasa. Metode ini juga sangat menghabiskan tenaga dan sangat
mengandalkan keahlian dan kompetentesi pengumpulnya. (WHO, 2005 : 52)
a. Pengumpulan tempat hinggap/gigitan
Pengumpulan tempat hinggap atau tempat gigitan nyamuk merupakan cara yang sensitif
untuk mendeteksi gangguan pada tingkat yang rendah, tetapi cara ini sangat menghabiskan
tenaga. Nyamuk Ae. aegypti, baik yang betina maupun jantan, sama-sama tertarik pada manusia.
Karena nyamuk dewasa jantan memiliki kecepatan menyebar yang rendah, maka keberadaan
mereka merupakan indikator yang dapat diandalkan mengenai keberadaan habitat larva
tersembunyi di tempat yang dekat. Jumlah yang tertangkap, umumnya dengan menggunakan
jaring tangan (hand nets atau aspirator) karena nyamuk tampaknya mendekati atau hinggap di
pengumpul, biasanya dinyatakan dalam istilah angka hinggap/gigitan per manusia per jam.
(WHO, 2005 : 52-53)
Karena tidak ada profilaksis untuk dengue atau virus lain yang disebarkan oleh nyamuk
Aedes, maka sangat di harapkan, demi alasan etis, bahwa penangkapan nyamuk dewasa vektor
aedes hanya didasarkan pada pengumpulan di tempat hinggap. Instruksi yang jelas harus
diberikan kepada semua staf lapangan yang terlibat dalam studi entomologi pada program
pengendalian DF/DHF yaitu bahwa mereka harus melakukan segala tindakan agar tidak sampai
tergigit nyamuk.
b. Pengumpulan di tempat istirahat
Selama masa tidak aktif, nyamuk dewasa biasanya beristirahat di dalam ruangan,
terutama di kamar tidur, dan khususnya di tempat yang gelap, seperti lemari pakaian dan tempat
bernaung lainnya. Pengumpulan di tempat istirahat memerlukan teknik pencarian yang
sistematik terhadap lokasi-lokasi istirahat nyamuk dewasa dengan bantuan senter. Metode yang
menguras tenaga seperti menangkap nyamuk dengan menggunakan penghisap bertenaga baterai
atau dengan isapan mulut dan jarring/jala tangan dengan bantuan sinar senter. Akhir-akhir ini,
metode yang lebih produktif, lebih standar dan tidak terlalu menguras tenaga yang menggunakan
penghisap yang dibawa di punggung (back-pack aspirator) bertenaga baterai yang sedang di
kembangkan. Dengan menjalankan pengumpulan standar secara rutin di setiap kamar tidur yang
di pilih pada masing-masing rumah, kepadatan nyamuk dapat dicatat sebagai jumlah nyamuk
dewasa per rumah (jantan, betina, atau keduanya) atau jumlah nyamuk dewasa perjam. Jika
kepadatan populasi nyamuk rendah, persentase rumah yang positif berisi nyamuk dewasa kadang
juga dapat dipakai.
Ovitrap (Perangkap Telur Nyamuk)
Menurut WHO, bahwa : Perangkap telur Nyamuk dalah Peralatan yang digunakan untuk
mendeteksi keberadaan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus jika kepadatan populasi nyamuk
rendah dan survey larva menunjuakan hasil yang tidak produktif (misalnya, Breteau index
kurang dari 5), seperti dalam kondisi yang normal (2005:3).
Perlengkapan ini sangat berguna untuk deteksi dini terhadap gangguan yang baru
berlangsung di wilayah yang nyamuk sebelumnya pernah dibasmi. Untuk alasan ini,
perlengkapan tersebut dipakai sebagai alat surveilans disetiap pintu masuk internasional,
terutama dibandara, yang harus memenuhi peraturan sanitasi nyamuk yang dilengkapi dengan
rendaman/infuse jerami telah terbukti sebagai metode surveilans Ae. aegypti yang sangat
reproduktif dan efisien di wilayah perkotaan dan juga telah terbukti berguna untuk mengevaluasi
program-program pengendalian, misalnya dampak lingkup penyemprotan insektisida terhadap
populasi nyamuk betina dewasa.
Perangkap telur nyamuk standar adalah tabung gelas kecil bermulut lebar yang di cat
hitam di bagian luarnya. Tabung gelas tersebut di lengkapi dengan tongkat kayu yang di jepit
vertikal di bagian dalam tabung dengan bagian kasarnya menghadap ke arah dalam. Tabung
separuhnya diisi air dan ditempatkan di lokasi yang diduga menjadi habitat nyamuk, biasanya di
dalam atau di lingkungan sekitar rumah. Perangkap telur nyamuk yang dikembangkan oleh
pusat pengendalian wabah menghasilkan telur Ae. aegypti delapan kali lebih banyak dari pada
perangkap telur nyamuk versi aslinya. Pada metode ini, dipakai perangkap telur nyamuk ganda.
Satu tabung berisi zat yang dapat menarik penciuman, di buat dari jerami yang standarnya di
rendam selama tujuh hari, sementara tabung yang lain mengandung 10% pengenceran dari infusi
yang sama. Perangkap telur nyamuk biasanya memberikan hasil setiap minggu, tetapi
perangkap telur nyamuk temuan baru dapat memberikan hasil setiap 24 jam. Potongan Kayu
diperiksa di bawah mikroskop untuk menemukan telur Ae. aegypti, yang kemudian di hitung dan
di simpan. Di wilayah yang terdapat Ae. aegypti maupun Ae. albopictus, telur harus di tetaskan
dan larva serta nyamuk dewasanya diidentifikasi karena telur kedua spesies tersebut sulit untuk
di bedakan. Persentase perangkap telur nyamuk yang positif memberikan data yang sederhana
untuk tingkat gangguan, atau jika telur dihitung, hasilnya dapat membantu memperkirakan
populasi nyamuk betina yang ada (WHO, 2005:54).
Fogingisasi
Metode ini melibatkan pengasapan droplet-droplet kecil insektisida ke dalam udara untuk
membunuh nyamuk dewasa. Teknik ini sudah dijadikan metode pokok pengendalian DF/DHF di
beberapa negara selama 25 tahun. Sayangnya, hasilnya tidak begitu memuaskan, ditunjukan
dengan adanya peningkatan dramatis insidensi DHF dalam waktu yang bersamaan. Studi terbaru
memperlihatkan bahwa metode ini hanya berdampak kecil pada populasi nyamuk, demikian pula
pada penularan penyakit dengue. Selain itu, saat pengasapan wilayah dilakukan di masyarakat,
kegiatan itu akan menimbulkan rasa aman palsu pada penghuni rumah, sehingga menimbulkan
efek yang merugikan bagi program yang memang dilaksanakan di masyarkat ini. Dari sudut
pandang politik, teknik ini merupakan teknik yang diinginkan karena sangat transparan dan
menyiratkan pesan bahwa pemerintah memang melakukan sesuatu terhadapa penyakit ini. Akan
tetapi, alasan ini merupakan pembenaran yang keliru dalam penggunaan metode pengasapan.
Anjuran terakhir yang disampaikan adalah bahwa pengasapan dengan insektisida jangan
sampaikan digunakan kecuali dalam kondisi yang paling ekstrem selama berlangsungnya
epidemi DHF. Namun, pelaksanaan kegiatan ini harus dilakukan pada waktu dan tempat yang
tepat, serta sesuai dengan instruksi yang ditetapkan untuk mendapatkan cakupan yang
maksimum sehingga efek penetrasi asap cukup maksimal untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan.





































2.3 Hipotesis
Hipotesis dalam penilitian ini adalah ada perbedaan kecendrungan tempat bertelur Aedes
sp antara ovitrap tempurung kelapa dengan Gelas Kaca.






Tabel 1
NO KEGIATAN
TAHUN 2011
Maret April Mei Juni
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
1 Tahap Pertama : Penyusunan Usulan Penilitian
Bahan Ovitrap (berdinding
kelapa dan berdinding kaca)

Tempat Pemasangan
Waktu pemasangan
Ukuran Ovitrap
Volume air dan Jenis Air yang
digunakan
Tindakan Pengendalian vector
lain
Ovitrap
Indeks (OI)
Perbedaan
Kecendrungan
Tempat Bertelur
Aedes sp
a. Sidang Usulan
Penilitian

b.Perbaikan
Usulan Penilitian

2 Tahap Kedua : Penulisan Skripsi
a. Pembuatan
Instrumen

b. Pelaksanaan
penilitian

c. Analisis dan
pengolahan data

d. Bimbingan
Skripsi





Masalah
Penyakit Demam Berdarah Dengue
pada Pelita VI

Suharyono Wuryadi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta 1995,
cermin dunia kedokteran

Depkes RI.2005.Pencegahan Dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengu Di
Indonesia.Jakarta:Dirjen PP&PL

Direktorat Jenderal Program Pemberantasan Penyakit Menular. 2005. Pencegahan Dan
Pemberantasan Demam Berdarah Dengu Di Indonesia Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.


PENGARUH MODIFIKASI OVITRAP
TERHADAP JUMLAH NYAMUK AEDES YANG TERPERANGKAP

SAYONO*, LUDFI SANTOSO**, M SAKUNDARNO ADI **
* Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang
** Program Magister Epidemiologi Universitas Diponegoro Semarang

Zeichner BC, Perich MJ. 1999. Laboratory
Testing of a Lethal Ovitrap fos Aedes aegypti.
Medical and Veterinary Entomol 13:234238

Sithiprasasna R, Mahapibul P, Noigamol C,
Perich MJ, Zeinchner BC, Burge B, Norris
SWL, Jones JW, Schleich SS, Colmen RE.
2003. Field Evaluation of a Lethal Ovitrap for
the Control of Aedes aegypti (Diptera:
Culicidae) in Thailand. J Med Entomol 40(4):
455 462.

Chan, KL., Ng SK dan Tan KK. (1977). An autocidal
ovitrap for the control and possible
eradication of Aedes aegypti South
Asian. J Trp.Med. Pub. Health 8: 56-62.

Efektifitas Fogging Malathion Masai
pada Pencegahan/ Pemberantasan
Demam Berdarah Dengue

Suharyono Wuryadi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta 1994

Anda mungkin juga menyukai