Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Syok hemoragik: disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Jumlah
darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada trauma tumpul sering
diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa:
Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan pleura.
Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2 (dua) liter.
Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter
Tindakan utama dari syok hemoragik adalah mengontrol sumber perdarahan secepat
mungkin dan penggantian cairan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui
transfuse massif. Terdapat banyak masalah terkait dengan transfuse masif, termasuk infeksi,
imunologi, dan komplikasi fisiologis yang berhubungan dengan pengumpulan, pengujian,
pemeliharaan, dan penyimpanan produk darah. Dokter harus menyadari komplikasi ini dan
strategi untuk mencegah dan mengobatinya.
1.2 Permasalahan
Banyaknya kasus kecalakaan lalu lintas dewasa ini menyebabkan banyak perdarahan.
Hal ini sering menyebabkan terjadinya syok hemoragik. Tidak hanya kecelakaan namun
perdarahan post partum, perdarahan pada saat operasi juga menyebabkan perdarahan yang
mudah mengarah ke syok hemoragik namun penanganan yang kurang baik dapat
menyebabkan akibat yang fatal seperti kematian. Salah satu cara penanganannya adalah
melalui transfusi massif, tetapi kita juga harus dapat memahami komplikasi yang mungkin
dapat timbul dari transfusi massif yang diberikan.
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk membahas syok hemoragik secara
umum, transfuse massif serta komplikasinya agar dapat tertangani dengan baik sehingga
kasus kematian akibat syok hemoragik dapat berkurang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kompartemen Cairan Tubuh
1,2

Tubuh orang dewasa terdiri dari: zat padat 40 % berat badan dan zat cair 60% berat
badan; zat cair terdiri dari: cairan intraselular 40 % berat badan dan cairan ekstraselular 20 %
berat badan; sedangkan cairan ekstraselular terdiri dari : cairan intravaskular 5 % berat badan
dan cairan interstisial 15 % berat badan.

Gambar 1. Distribusi Cairan Tubuh

Ada pula cairan limfe dan cairan transselular yang termasuk cairan ekstraselular.
Cairan transselular sekitar 1-3 % berat badan, meliputi sinovial, pleura, intraokuler dan lain-
lain. Cairan intraselular dan ekstraselular dipisahkan oleh membran semipermeabel.
2

Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang dewasa,
sekitar dua pertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-
rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi
hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular.
3

Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi baru lahir, sekitar
setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan
ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan
sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.
3
















Gambar 2. Susunan Kimia Cairan Ekstraselular dan Intraselular
4

Cairan ekstraselular dibagi menjadi:
3

Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12 liter
pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap ukuran
tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang
dewasa.
3


Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6 liter, dimana 3 liter merupakan
plasma, dan sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih, serta platelet.
3


Cairan Transselular
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan.
Pada keadaan sewaktu, volume cairan transelular adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam
jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transselular.
3

Gambar 3. Anatomi cairan tubuh
4


Volume kompartemen cairan sangat dipengaruhi oleh Natrium dan protein plasma.
Natrium paling banyak terdapat di cairan ekstraselular, di cairan intravaskular (plasma) dan
interstisial kadarnya sekitar 140 mEq/L.
5

Pergerakan cairan antar kompartemen terjadi secara osmosis melalui membran
semipermeabel, yang terjadi apabila kadar total cairan di kedua sisi membran berbeda. Air
akan berdifusi melalui membran untuk menyamakan osmolalitas. Pergerakan air ini dilawan
oleh tekanan osmotik koloid. Tekanan osmotik koloid atau tekanan onkotik sangat
dipengaruhi oleh albumin. Apabila kadar albumin rendah, maka tekanan onkotik rendah
sehingga tekanan hidrostatik dominan mengakibatkan ekstravasasi dan terjadi edema.
5

Cairan ekstraselular adalah tempat distribusi Na+, sedangkan cairan intravaskular
adalah tempat distribusi protein plasma dan koloid; juga tempat distribusi K
+
, PO4

.
Elektrolit terpenting di dalam cairan intraselular: K+ dan PO4- dan di cairan ekstraselular:
Na
+
dan Cl

.
5

Osmolaritas adalah konsentrasi osmolar suatu larutan bila dinyatakan sebagai osmol
per liter larutan (osm/L). Osmolalitas adalah konsentrasi osmolar suatu larutan bila
dinyatakan sebagai osmol per kilogram air (osm/kg). Tonisitas merupakan osmolalitas relatif
suatu larutan. Osmolaritas total setiap kompartemen adalah 280 300 mOsm/L. Larutan
dikatakan isotonik, jika tonisitasnya sama dengan tonisitas serum darah yaitu 275 295
mOsm/kg.
5

Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel
dari larutan dengan kadar rendah menuju larutan dengan kadar tinggi sampai kadarnya sama.
Seluruh membran sel dan kapiler permeabel terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan
tubuh di seluruh kompartemen sama. Membran semipermeabel dapat dilalui air (pelarut),
tetapi tidak dapat dilalui zat terlarut.
5

Difusi adalah peristiwa bergeraknya molekul melalui pori-pori. Larutan akan bergerak
dari yang berkonsentrasi tinggi menuju konsentrasi rendah.Tekanan hidrostatik di dalam
pembuluh darah akan mendorong air secara difusi masuk melalui pori-pori. Difusi tergantung
kepada tekanan hidrostatik dan perbedaan konsentrasi.
5

Perpindahan air dan zat terlarut di bagian tubuh menggunakan mekanisme transpor
pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan energi; mekanisme transpor
aktif membutuhkan energi berkaitan dengan Na-K Pump yang membutuhkan energi ATP.
5

Pompa Natrium-Kalium adalah pompa yang memompa ion natrium keluar melalui
membran sel dan pada saat yang bersamaan memompa ion kalium ke dalam sel. Bekerja
untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.

Gambar 4. Pompa Natrium-Kalium

Berikut ini merupakan kebutuhan air dan elektrolit perhari:
Dewasa:
Air 30 35 ml/kg
Setiap kenaikan suhu 1
0
C diberi tambahan 10-15 %
K
+
1 mEq/kg ( 60 mEq/hari atau 4,5 g )
Na+ 1-2 mEq/kg ( 100 mEq/hari atau 5,9 g )
Bayi dan Anak:
Air 0-10 kg: 4 ml/kg/jam ( 100 ml/g )
10-20 kg: 40 ml + 2 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg
(1000 ml + 50 ml/kg di atas 10 kg)
20 kg : 60 ml + 1 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg
(1500 ml + 20 ml/kg di atas 20 kg)
K+ 2 mEq/kg (2-3 mEq/kg)
Na+ 2 mEq/kg (3-4 mEq/kg)
2

Tabel 1. Perubahan cairan tubuh total sesuai usia
3








Tabel 2. Rata-rata harian asupan dan kehilangan cairan pada orang dewasa

2.2 Definisi Syok dan Syok Hemoragik
Syok adalah suatu cardiac output yang tidak adekuat yang mengakibatkan kegagalan
sistem kardiovaskuler untuk pengangkutan oksigen dan nutrisi yang cukup untuk kebutuhan
metabolisme sel-sel tubuh. Akibatnya, terjadi disfungsi membran sel, metabolisme seluler
abnormal, dan tanpa terapi adekuat, dapat terjadi kematian sel.
6

Syok hemoragik adalah kehilangan akut volume peredaran darah yang menyebabkan
suatu kondisi dimana perfusi jaringan menurun dan menyebabkan inadekuatnya hantaran
oksigen dan nutrisi yang diperlukan sel. Keadaan apapun yang menyebabkan kurangnya
oksigenasi sel, maka sel dan organ akan berada dalam keadaan syok.
7


2.3 Etiologi Syok
Penyebab syok bervariasi, tetapi semua ditandai dengan perfusi jaringan
inadekuat. Mekanisme patofisiologi dasar yang tejadi pada syok adalah:
1. Vasokonstriksi atau vasodilatasi luas memperburuk tonus & resistensi vaskuler perifer.
2. Penurunan volume intravaskuler (hipovolemia)
3. Cardiac output inadekuat
Apapun jenis penyebab utama syok, respon tubuh pada umumnya sama.
Syok dapat terjadi akibat berbagai keadaan yang dapat digolongkan sesuai empat mekanisme
etiologi dasarnya: (1) mekanisme kardiogenik, (2) mekanisme obstruktif, (3) perubahan
dalam volume sirkulasi, dan (4) perubahan dalam distribusi sirkulasi.
7


2.4 Tahapan Syok
6

Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih dapat
ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan ireversibel
(tidak dapat pulih).
Tahap kompensasi adalah tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjaga fungsi
normalnya. Tanda atau gejala yang dapat ditemukan pada tahap awal seperti kulit pucat,
peningkatan denyut nadi ringan, tekanan darah normal, gelisah, dan pengisian pembuluh
darah yang lama. Gejala-gejala pada tahap ini sulit untuk dikenali karena biasanya individu
yang mengalami syok terlihat normal.
Tahap dekompensasi dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi-
fungsinya. Yang terjadi adalah tubuh akan berupaya menjaga organ-organ vital yaitu dengan
mengurangi aliran darah ke lengan, tungkai, dan perut dan mengutamakan aliran ke otak,
jantung, dan paru. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan diantaranya adalah rasa haus yang
hebat, peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, kulit dingin, pucat, serta kesadaran
yang mulai terganggu.
Tahap ireversibel dimana kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat
diperbaiki. Tahap ini terjadi jika tidak dilakukan pertolongan sesegera mungkin, maka aliran
darah akan mengalir sangat lambat sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah dan
denyut jantung. Mekanisme pertahanan tubuh akan mengutamakan aliran darah ke otak dan
jantung sehingga aliran ke organ-organ seperti hati dan ginjal menurun. Hal ini yang menjadi
penyebab rusaknya hati maupun ginjal. Walaupun dengan pengobatan yang baik sekalipun,
kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat diperbaiki.

2.5 Stadium-Stadium Syok
6

Syok memiliki beberapa stadium sebelum kondisi menjadi dekompensasi atau
irreversible sebagaimana dilukiskan dalam gambar berikut:

Stadium 1 ANTICIPATION STAGE


Gangguan sudah ada tetapi bersifat lokal. Parameter-paramater masih dalam batas
normal. Biasanya masih cukup waktu untuk mendiagnosis dan mengatasi kondisi dasar.

Stadium 2. PRE-SHOCK SLIDE
Gangguan sudah bersifat sistemik. Parameter mulai bergerak dan mendekati batas atas
atau batas bawah kisaran normal.

Sadium 3 COMPENSATED SHOCK
Compensated shock bisa berangkat dengan tekanan darah yang normal rendah, suatu
kondisi yang disebut "normotensive, cryptic shock" Banyak klinisi gagal mengenali bagian
dini dari stadium syok ini. Compensated shock memiliki arti khusus pada pasien DBD dan
perlu dikenali dari tanda-tanda berikut: Capillary refill time > 2 detik; penyempitan tekanan
nadi, takikardia, takipnea, akral dingin.

Stadium 4 DECOMPENSATED SHOCK, REVERSIBLE
Di sini sudah terjadi hipotensi. Normotensi hanya bisa dipulihkan dengan cairan
intravena dan/atau vasopresor

Stadium 5 DECOMPENSATED IRREVERSIBLE SHOCK
Kerusakan mikrovaskular dan organ sekarang menjadi menetap dan tak bisa diatasi.

2.6 Patofisiologi Syok Hemoragik
Telah diketahui dengan baik respons tubuh saat kehilangan volum sirkulasi. Tubuh
secara logis akan segera memindahkan volum sirkulasinya dari organ non vital dan dengan
demikian fungsi organ vital terjaga karena cukup menerima aliran darah. Saat terjadi
perdarahan akut, curah jantung dan denyut nadi akan turun akibat rangsang baroreseptor di
aortik arch dan atrium. Volume sirkulasi turun, yang mengakibatkan teraktivasinya saraf
simpatis di jantung dan organ lain. Akibatnya, denyut jantung meningkat, terjadi
vasokonstriksi dan redistribusi darah dari organ-organ nonvital, seperti di kulit, saluran cerna,
dan ginjal. Secara bersamaan sistem hormonal juga teraktivasi akibat perdarahan akut ini,
dimana akan terjadi pelepasan hormon kortikotropin, yang akan merangsang pelepasan
glukokortikoid dan beta-endorphin. Kelenjar pituitary posterior akan melepas vasopressin,
yang akan meretensi air di tubulus distalis ginjal. Kompleks Jukstamedula akan melepas
renin, menurunkan MAP (Mean Arterial Pressure), dan meningkatkan pelepasan aldosteron
dimana air dan natrium akan direabsorpsi kembali. Hiperglikemia sering terjadi saat
perdarahan akut, karena proses glukoneogenesis dan glikogenolisis yang meningkat akibat
pelepasan aldosteron dan growth hormone. Katekolamin dilepas ke sirkulasi yang akan
menghambat aktifitas dan produksi insulin sehingga gula darah meningkat. Secara
keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik mengikuti
kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di otak dimana pasokan aliran
darah akan dipertahankan secara konstan melalui MAP (Mean Arterial Pressure). Ginjal juga
mentoleransi penurunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan pasokan aliran
darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari splanknik. Pada
kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa mencegah kerusakan
organ tubuh tertentu akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh.
6


Gambar 5. Patofisiologi syok

Gambar 6. Berbagai jenis umpan balik yang dapat menimbulkan perkembangan syok


2.7 Gejala Klinis Syok Hemoragik
1,6,7

Gejala klinis tunggal jarang saat diagnosa syok ditegakkan. Pasien bisa mengeluh
lelah, kelemahan umum, atau nyeri punggung belakang (gejala pecahnya aneurisma aorta
abdominal). Penting diperoleh data rinci tentang tipe, jumlah dan lama pendarahan, karena
pengambilan keputusan untuk tes diagnostik dan tatalaksana selanjutnya tergantung jumlah
darah yang hilang dan lamanya pendarahan. Bila pendarahan terjadi di rumah atau di
lapangan, maka harus ditaksir jumlah darah yang hilang.
Untuk pendarahan pada saluran cerna sangatlah penting dicari asal darah dari rektum
atau dari mulut. Karena cukup sulit menduga jumlah darah yang hilang dari saluran cerna
bagian bawah. Semua darah segar yang keluar dari rektum harus diduga adanya perdarahan
hebat, sampai dibuktikan sebaliknya.
Pendarahan saat trauma kadang sulit ditaksir jumlahnya. Karena rongga pleura, kavum
abdominalis, mediastinum dan retroperitoneum bisa menampung darah dalam jumlah yang
sangat besar dan bisa menjadi penyebab kematian. Perdarahan trauma eksternal bisa ditaksir
secara baik, tapi bisa juga kurang diawasi oleh petugas emergensi medis. Laserasi kulit kepala
bisa menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar. Fraktur multipel terbuka, juga bisa
mengakibatkan kehilangan darah yang cukup besar.
Tabel 3. Lokasi & Estimasi Perdarahan
Lokasi Estimasi Perdarahan
Fr. Femur tertutup 1.5-2 liter
Fr.Tibia tertutup 0.5 liter
Fr. Pelvis 3 liter
Hemothorax 2 liter
Fr. Iga (tiap satu) 150 ml
Luka sekepal tangan 500 ml
Bekuan darah sekepal 500 ml
Pemeriksaan klinis pasien syok hemoragik dapat segera langsung berhubungan dengan
penyebabnya. Asal sumber perdarahan dan perkiraan berat ringannya darah yang hilang bisa
terlihat langsung. Bisa dibedakan perdarahan pada pasien penyakit dalam dan pasien trauma.
Dimana kedua tipe perdarahan ini biasanya ditegakkan dan ditangani secara bersamaan.
Syok umumnya memberi gejala klinis kearah turunnya tanda vital tubuh, seperti:
hipotensi, takikardia, penurunan urin output dan penurunan kesadaran. Kumpulan gejala
tersebut bukanlah gejala primer tapi hanya gejala sekunder dari gagalnya sirkulasi tubuh.
Kumpulan gejala tersebut merupakan mekanisme kompensasi tubuh, berkorelasi dengan usia
dan penggunaan obat tertentu, kadang dijumpai pasien syok yang tekanan darah dan nadinya
dalam batas normal. Oleh karena itu pemeriksaan fisik menyeluruh pada pasien dengan
dilepas pakaiannya harus tetap dilakukan.
Gejala umum yang timbul saat syok bisa sangat dramatis. Kulit kering, pucat dan
dengan diaphoresis. Pasien menjadi bingung, agitasi dan tidak sadar. Pada fase awal nadi
cepat dan dalam dibandingkan denyutnya. Tekanan darah sistolik bisa saja masih dalam batas
normal karena kompensasi. Konjungtiva pucat, seperti yang terdapat pada anemia kronik.
Lakukan inspeksi pada hidung dan faring untuk melihat kemungkinan adanya darah.
Auskultasi dan perkusi dada juga dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat gejala
hematothoraks, dimana suara nafas akan turun, serta suara perkusi redup di area dekat
perdarahan.
Periksa pasien lebih lanjut dengan teliti dari ujung kepala sampai ujung kaki, yang dapat
mengarahkan kita terhadap kemungkinan adanya luka. Periksa adakah perdarahan di kulit
kepala, apabila dijumpai perdarahan aktif harus segera diatasi bahkan sebelum pemeriksaan
lainnya. Periksa juga apakah ada darah pada mulut dan faring.
Periksa abdomen dari tanda perdarahan intra-abdominal, misal: distensi, nyeri
palpitasi, dan perkusi redup. Periksa panggul apakah ada memar/ekimosis yang mengarah ke
perdarahan retroperitoneal. Adanya distensi, nyeri saat palpasi dan ekimosis mengindikasikan
adanya perdarahan intra-abdominal. Palpasi pula kestabilan tulang pelvis, bila ada krepitasi
atau instabilitas mengindikasikan terjadinya fraktus pelvis dan ini dapat mengancam jiwa
karena perdarahan terjadi pada rongga retroperitoneum. Kejadian yang sering dalam klinis
adalah pecahnya aneurisma aorta yang bisa menyebabkan syok tak terdeteksi. Tanda klinis
yang bisa mengarahkan kita adalah terabanya masa abdomen yang berdenyut, pembesaran
skrotum karena terperangkapnya darah retroperitoneal, kelumpuhan ekstremitas bawah dan
lemahnya nadi femoralis.
Fraktur pada tulang panjang ditandai nyeri dan krepitasi saat palpasi di dekat fraktur.
Semua fraktur tulang panjang harus segera direposisi dan digips untuk mencegah perdarahan
di sisi fraktur. Yang perlu diperhatikan terutama fraktur femur, karena dapat mengakibatkan
hilangnya darah dalam jumlah banyak, sehingga harus segera diimobilisasi dan ditraksi
secepatnya. Tes diagnostik lebih jauh perlu dilakukan untuk menyingkirkan perdarahan yang
mungkin terjadi di intratorakal, intra-abdominal,atau retroperitoneal.
6

Jangan lupa pula untuk melakukan pemeriksaan rektum / rectal toucher. Bila ada
darah segar curiga hemoroid interna atau externa. Pada kondisi yang sangat jarang curigai
perdarahan yang signifikan terutama pada pasien dengan hipertensi portal. Pasien dengan
riwayat perdarahan vagina lakukan pemeriksaan pelvis lengkap, dan lakukan tes kehamilan
untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik.
Lakukan pemeriksaan sistematik pada pasien trauma termasuk pemeriksaan
penunjang primer dan sekunder. Luka multipel bisa terjadi dan harus mendapat perhatian
khusus, hati-hati perdarahan bisa menjadi pencetus syok lainnya, seperti syok neurogenik.
Tabel 4. Perdarahan & tanda-tandanya
Perdarahan < 750 ml 750-1500 ml 1500-2000 ml >2000 ml
CRT Normal Memanjang memanjang Memanjang
Nadi < 100 > 100 > 120 > 140
Tek. sistolik Normal Normal Menurun Menurun
Nafas Normal 20-30 x/m > 30-40 x/m >35 x/m
Kesadaran Sedikit cemas Agak cemas Cemas, bingung Bingung, lesu
Penderita yang mengalami perdarahan, menghadapi dua masalah yaitu berapakah sisa
volume darah yang beredar dan berapakah sisa eritrosit yang tersedia untuk mengangkut
oksigen ke jaringan.
Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam waktu beberapa jam.
Penyebab kematian adalah syok progresif yang menyebabkan hipoksia jaringan. Hipovolemia
menyebabkan beberapa perubahan :
Vasokonstriksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan organ primer
(otak, jantung) dengan aliran darah yang tersisa.
Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme anaerob dengan produk
asam laktat yang menyebabkan asidosis asam laktat.
Asidosis asam laktat menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada organ-organ primer
dan organ-organ sekunder sehingga terjadi kerusakan merata,
Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskular sampai 10%
EBV tidak mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan yang lebih dari 25%
atau bila terjadi syok/hipotensi maka sekaligus kompartemen interstitial dan intrasel ikut
terganggu. Bila dalam terapi hanya diberikan sejumlah kehilangan plasma volume
(intravaskular), penderita masih mengalami defisit yang menyebabkan syoknya irreversibel
dan berakhir kematian.
7

Dalam keadaan normal, jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan adalah: (cardiac
output x saturasi O
2
x kadar Hb x 1,34) + (cardiac output x pO
2
x 0,003). Unsur cardiac
output x pO
2
x 0,003 karena hasilnya kecil dapat diabaikan, maka tampak bahwa persediaan
oksigen untuk jaringan tergantung pada curah jantung / cardiac output, saturasi O
2
dan kadar
Hb. Karena kebutuhan oksigen tubuh tidak dapat dikurangi kecuali dengan hipotermia atau
anestesi dalam, maka jika eritrosit hilang, total Hb berkurang, curah jantung harus naik agar
penyediaan oksigen jaringan tidak terganggu. Pada orang normal dapat menaikkan curah
jantung hingga 3 x normal dengan cepat, asalkan volume sirkulasi cukup (normovolemia).
Faktor Hb dan saturasi O
2
jelas tidak dapat naik. Hipovolemia yang terjadi akan mematahkan
kompensasi dari curah jantung. Dengan mengembalikan volume darah yang telah hilang
dengan apa saja asal segera normovolemia, maka curah jantung akan mampu berkompensasi.
Jika Hb turun sampai tinggal 1/3, tetapi curah jantung dapat naik sampai 3 x, maka
penyediaan oksigen ke jaringan masih tetap normal. Pengembalian volume mutlak
diprioritaskan daripada pengembalian eritrosit.

2.8 Transfusi Darah
Transfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari donor ke
sistem sirkulasi penerima melalui pembuluh darah vena.

Berdasarkan sumber darah atau
komponen darah, transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu:
8

1. Homologous atau allogenic transfusion, yaitu transfusi menggunakan darah dari orang lain.
2. Autologous transfusion, yaitu transfusi dengan menggunakan darah resipien itu sendiri yang
diambil sebelum transfusi dilakukan.
Transfusi darah umumnya >50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan untuk
menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau hanya
menaikkan volum intravaskular saja cukup dengan koloid atau kristaloid.
9

Indikasi transfusi darah ialah:
9

1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr% atau Ht < 30%.
2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volum darah.

2.9 Transfusi Masif
Perdarahan masif ialah perdarahan lebih dari sepertiga volum darah dalam waktu < 30
menit. Definisi tentang transfusi darah masif masih tak jelas dan banyak versi, misalnya:
9

1. Transfusi darah sebanyak lebih dari 1-2 kali volum darah dalam waktu lebih dari 24 jam.
2. Transfusi darah lebih besar dari 50% volum darah dalam waktu singkat (misalnya, 5 unit
dalam 1 jam untuk berat 70kg).
Beberapa peneliti meninjau kemungkinan komplikasi dan manajemennya, terutama
karena mereka berhubungan dengan transfuse masif pada pasien trauma.Terdapat banyak
masalah terkait dengan transfuse masif, termasuk infeksi, imunologi, dan komplikasi
fisiologis yang berhubungan dengan pengumpulan, pengujian, pemeliharaan, dan
penyimpanan produk darah. Dokter harus menyadari komplikasi ini dan strategi untuk
mencegah dan mengobatinya. Risiko kumulatif dari transfusi darah telah terkait dengan
jumlah unit packed red blood cells (PRBCs) yang ditransfusikan, meningkatkan waktu
penyimpanan darah ditransfusikan, dan mungkin leukosit donor. Sejumlah mekanisme
potensial yang mungkin mempunyai pengaruhi merugikan terkait dengan transfusi darah pada
trauma telah diusulkan. Beberapa data telah menyimpulkan bahwa transfusi darah harus
diminimalkan bila memungkinkan.
10


2.9.1 Komponen Darah
a) Whole blood
Darah lengkap adalah unit darah selengkapnya yang diperoleh dari donor tanpa ada
pemisahan komponennya baik sel maupun non sel. Darah lengkap (whole blood) biasanya
disediakan hanya untuk transfusi pada perdarahan masif. Satu unit darah lengkap (450-540
ml) mengandung pengawet 60 ml CPDA-1 atau CP2D dengan kadar hematokrit 30-40%
dapat menaikkan kadar Hb resipien 1 gr%. Ketentuan standar jumlah darah 450 kurang lebih
45 ml diberi anti-koagulan / pengawet eritrosit. Modifikasi whole blood yaitu dipisahkan
kriopresipitat dan atau trombositnya.
9,11

Antikoagulan yang dipakai adalah yang mengandung dekstrose. Dekstrose diperlukan
untuk nutrisi eritrosit. Contoh:
12

i. Citrate Phosphate Dextrose / CPD
ii. Acid Citrate Dextrose / ACD ( dengan CPD atau ACD ini darah dapat disimpan
sampai 21 hari)
iii. Citrate Phosphate Dextrose Adenine 1/CPDA-1 (dengan penambahan adenine
darah dapat disimpan sampai 35 hari). Dikenal antikoagulan CPDA-2, CPDA-3 yang
mengandung adenine dan dekstrose lebih tinggi daripada CPDA-1 sehingga eritrosit pekat
dapat diawetkan sampai 7 minggu.
iv. CPD + AS-1 / AS-2 (AS = additive solution yang terdiri dari salin, desktrose,
manitol, adenine)
v. Citrate Phosphate, Double Dextrose + AS (terdiri dari salin, dekstrose, adenine).
vi. Heparin : tidak ditambah destrose, sehingga usia simpan hanya sampai 48 jam.

Penyimpanan
i. Temperatur penyimpanan
Setelah darah diambil dari donor segera disimpan pada suhu antara 1-6
0
C. Pada suhu
sekitar ini glikolisis terjadi secara perlahan-lahan. Suhu penyimpanan terbaik ialah 4
0
C,
karena pada suhu ini asam laktat yang terbentuk akan sangat menurunkan pH dan fungsi
enzim heksokinase serta fosfofruktokinase sehingga glikolisis terhenti. Di bawah 1
0
C maka
karena efek dari dekstrose eritrosit akan membengkak, menjadi sangat fragil dan cenderung
hemolisis. Di atas suhu 6
0
C bakteri akan berkembang biak, sehingga umur hidup eritrosit
menjadi lebih pendek.
12


ii. Efek samping penyimpanan
Setelah disimpan maka store whole blood tidak lagi mengandung granulosit &
trombosit yang dapat berfungsi, demikian juga faktor pembekuan yang labil (faktor V, VII)
menjadi rusak. Darah yang diambil dari donor harus diperiksa lengkap selain golongan darah,
deteksi antibodi, juga tes untuk penyakit menular yang memerlukan waktu cukup lama untuk
melakukannya, sehingga darah harus disimpan. Di samping itu tidak ada indikasi kuat yang
menyokong keharusan menggunakan fresh whole blood / darah segar untuk ditransfusikan
kepada resipien. Darah ini mengandung leukosit yang masih mampu berfungsi
membunuh bakteri, oleh karenanya bila memang sangat diperlukan darah segar maka dapat
dibiarkan pada temperatur kamar dalam waktu singkat, namun hal ini tidak
direkomendasikan.
12

Tabel 1. Klasifikasi darah lengkap menurut lamanya penyimpanan
2

Darah lengkap Lama Penyimpanan
Segar < 48 jam
Baru <6 hari
Biasa 35 hari

Indikasi penggunaan whole blood:
9

i. Pada penderita dengan kehilangan darah sangat banyak/berat (mencapai 25-30 %),
sehingga menimbulkan gejala hipovilemi/syok. Pada keadaan ini whole blood diperlukan
untuk mengembalikan atau memelihara volume darah dan kapasitas mengangkut oksigen.
ii. Pada keadaan dimana diperlukan pengembalian volume darah yang seimbang/sama
pentingnya dengan komponen seluler.
iii. Untuk transfusi tukar (exchange transfusion) pada bayi baru lahir.
Kontra indikasi:
9

i. Penderita dengan anemia kronik yang berat dimana telah terjadi kompensasi
terhadap penurunan sel darah merah yaitu dengan terjadinya peningkatan volume plasma /
peningkatan cardiac output sehingga kebutuhan O
2
jaringan dapat dipenuhi (anemia
normovolemik). Penderita ini tidak memerlukan plasma yang ada dalam whole blood,
sehingga dapat terjadi kelebihan volume yang memungkinkan bahaya udem paru dan payah
jantung.
ii. Penderita yang hanya memerlukan pengembalian volume plasma, maka whole blood
merupakan kontraindikasi mengingat plasma mungkin mengandung mikroorganisme yang
menular
Fungsi fresh whole blood
Penggunaan fresh whole blood tanpa pendingin dibandingkan dengan sel darah merah
pada pasien trauma yang membutuhkan transfusi masif telah direncanakan dengan maksud
mengatasi koagulopati. Pendekatan ini memiliki masalah besar pada logistiknya.
Kebanyakan bank darah memproses hampir semua unit whole blood ke dalam komponen
darah, dan pada kasus darurat, fresh whole blood tidak tersedia, terutama dalam jumlah
banyak. Selain itu, di beberapa negara telah menginmplementasikan leukodeplesi universal,
contohnya semua unit darah mengalami leukodeplesi sebelum penyimpanan, whole blood
yang mengalami leukodeplesi tidak bisa lagi disebut whole blood karena hampir semua
platelet dan beberapa faktor pembekuan terbuang ketika proses filtrasi leukosit. Karena itu,
penggunaan fresh whole blood tidak dapat memperbaiki koagulopati karena perdarahan masif
dan merupakan tindakan yang jarang dilakukan. Selain itu, penggunaan fresh whole blood
akan menghalangi tes skrining yang adekuat, yang akan menurunkan keamanan transfusi
darah. Jelasnya, tindakan transfusi untuk pasien dengan perdarahan yang mengancam jiwa
masih belum ideal. Ada batas pada apa yang dapat dicapai dengan terapi penggantian
komponen darah pada pasien trauma dengan pendarahan tak terkendali.
13

b) Sel darah merah
Biasa juga disebut PRC (packed red blood cells), mengandung konsentrat eritrosit dari
whole blood yang disentrifugasi atau dengan metode apheresis.

Satu unit PRC berisi 240-
340 ml dengan hematokrit 75-80% dan Hb 24 gr/dl. Untuk menaikkan Hb 1 gr/dl
diperlukan PRC 4ml/kg atau 1 unit untuk menaikkan kadar Ht 3-5%.
9,10

Dosis pada dewasa tergantung kadar hemoglobin semasa dan yang akan dicapai. Satu
kantong akan menaikkan kadar hemoglobin resipien sekitar 1 g/dL. Pada neonatus, dosisnya
10-15 mL/kgBB akan meningkatkan kadar hemoglobin 3 g/dL. Kadar hemoglobin akhir
dapat diperkirakan dengan rumus berikut:
10

Kadar hemoglobin akhir = volume darah x hematokrit x 0,91

Sel darah merah diberikan apabila:
14

i. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar
Hemoglobin (Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien
asimptomatik dan/atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang
lebih rendah dapat diterima.
ii. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl
apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan
laboratorium.
iii. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb 10 g/dl, kecuali bila ada
indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor oksigen lebih
tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat).
iv. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb
11 g/dL; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dL (seperti pada anemia
bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang membutuhkan
suplementasi oksigen, batas untuk memberi transfusi adalah Hb 13 g/dL.
Rasional:
Transfusi satu unit darah lengkap (whole blood) atau sel darah merah pada pasien
dewasa berat badan 70 kg yang tidak mengalami perdarahan dapat meningkatkan hematokrit
kira-kira 3% atau kadar Hb sebanyak 1 g/dl. Tetapi, kadar Hb bukan satu-satunya faktor
penentu untuk transfusi sel darah merah. Faktor lain yang harus menjadi pertimbangan adalah
kondisi pasien, tanda dan gejala hipoksia, kehilangan darah, risiko anemia karena penyakit
yang diderita oleh pasien dan risiko transfusi.
14

Banyak transfusi sel darah merah dilakukan pada kehilangan darah ringan atau
sedang, padahal kehilangan darah itu sendiri tidak menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas perioperatif. Meniadakan transfusi tidak menyebabkan keluaran (outcome)
perioperatif yang lebih buruk.
9
Beberapa faktor spesifik yang perlu menjadi pertimbangan
transfusi adalah:
14

i. Pasien dengan riwayat menderita penyakit kardiopulmonal perlu
transfusi pada batas kadar Hb yang lebih tinggi.
ii. Volume darah yang hilang selama masa perioperatif baik pada operasi
darurat maupun elektif, dapat dinilai secara klinis dan dapat dikoreksi dengan penggantian
volume yang tepat.
iii. Konsumsi oksigen, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab
antara lain adalah demam, anestesia dan menggigil. Jika kebutuhan oksigen meningkat maka
kebutuhan untuk transfusi sel darah merah juga meningkat.
Pertimbangan untuk transfusi darah pada kadar Hb 7-10 g/dl adalah bila pasien akan
menjalani operasi yang menyebabkan banyak kehilangan darah serta adanya gejala dan
tanda klinis dari gangguan transportasi oksigen yang dapat diperberat oleh anemia.
14

Kehilangan darah akut sebanyak <25% volume darah total harus diatasi dengan
penggantian volume darah yang hilang. Hal ini lebih penting daripada menaikkan kadar
Hb. Pemberian cairan pengganti plasma (plasma subtitute) atau cairan pengembang plasma
(plasma expander) dapat mengembalikan volume sirkulasi sehingga mengurangi kebutuhan
transfusi, terutama bila perdarahan dapat diatasi.
14

Pada perdarahan akut dan syok hipovolemik, kadar Hb bukan satu-satunya
pertimbangan dalam menentukan kebutuhan transfusi sel darah merah. Setelah pasien
mendapat koloid atau cairan pengganti lainnya, kadar Hb atau hematokrit dapat digunakan
sebagai indikator apakah transfusi sel darah merah dibutuhkan atau tidak.
14

Sel darah merah diperlukan bila terjadi ketidakseimbangan transportasi
oksigen, terutama bila volume darah yang hilang >25% dan perdarahan belum dapat
diatasi. Kehilangan volume darah >40% dapat menyebabkan kematian. Sebaiknya hindari
transfusi darah menggunakan darah simpan lebih dari sepuluh hari karena tingginya potensi
efek samping akibat penyimpanan.

Darah yang disimpan lebih dari 7 hari memiliki kadar
kalium yang tinggi, pH rendah, debris sel tinggi, usia eritrosit pendek dan kadar 2,3-
diphosphoglycerate rendah.
14,15

Pertimbangan dalam memutuskan jumlah unit transfusi sel darah merah:
14

i. Menghitung berdasarkan rumus umum sampai target Hb yang disesuaikan
dengan penilaian kasus per kasus.
ii. Menilai hasil/efek transfusi yang sudah diberikan kemudian menentukan
kebutuhan selanjutnya.
Pasien yang menjalani operasi dapat mengalami berbagai masalah yang menyebabkan
peningkatan kebutuhan oksigen, seperti kenaikan katekolamin, kondisi yang tidak stabil atau
nyeri. Penurunan penyediaan oksigen juga dapat terjadi seperti hipovolemia dan hipoksia.
Tanda dan gejala klasik anemia berat (dispnea, nyeri dada, letargi, hipotensi, pucat,
takikardia, penurunan kesadaran) sering timbul ketika Hb sangat rendah. Tanda dan gejala
anemia serta pengukuran transportasi oksigen ke jaringan merupakan alasan transfusi yang
lebih rasional.
16

c) Platelet
Merupakan derivat dari whole blood dengan kandungan >5,5 x 10 platelet per
kantong, dan 50 mL plasma. Dosis pemberian platelet pada kasus trombositopenia cukup 1
kantong, atau sesuai target kadar platelet biasanya 40.000-50.000/mm. 1 kantong dapat
meningkatkan platelet sekitar 50-100.000/mm.
11

Indikasinya adalah untuk mengatasi perdarahan karena kurangnya jumlah platelet,
dan fungsi platelet resipien yang tidak normal dengan kadar platelet kurang dari 40.000 pada
dewasa, dan kurang dari 100.000/mm3 pada neonatus.

Kontraindikasi pemberian platelet
adalah terdapat autoimun trombositopenia atau trombotik trombositopeniapurpura.
10,11

Transfusi trombosit dapat digunakan untuk:
i. Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila hitung
trombosit <50.000/uL, bila terdapat perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi
<100.000/uL.
ii. Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/uL pada pasien yang
akan menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi masif.
iii. Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan.
Rasional:
Pada tahun 1987 Nasional Institute of Health Consensus Conference
merekomendasikan profilaksis transfusi trombosit untuk pasien dengan hitung trombosit
kurang dari 10.000-20.000/uL, sedangkan untuk pasien dengan hitung trombosit >50.000/uL
transfusi trombosit tidak memberikan keuntungan. Transfusi trombosit pada hitung trombosit
yang lebih tinggi diindikasikan untuk pasien dengan perdarahan sistemik atau yang memiliki
risiko tinggi mengalami perdarahan karena kelainan koagulasi, sepsis, atau disfungsi
trombosit.
16,17

Penggunaan trombosit diindikasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan
perdarahan pada pasien dengan trombositopenia atau kelainan fungsi trombosit. Hitung
trombosit adalah faktor pemicu utama penggunaan trombosit, dengan faktor risiko terjadi
perdarahan dan banyaknya perdarahan akan mempengaruhi keputusan perlu tidaknya
transfusi. Apabila terdapat berbagai faktor yang berhubungan dengan perdarahan pada pasien
trombositopenia seperti demam, kelainan koagulasi, kegagalan hemostatik sistemik atau
terdapat tempat potensial timbulnya perdarahan karena operasi, maka dipertimbangkan
penggunaan trombosit untuk mempertahankan hitung trombosit >20.000/uL. Umumnya,
sebagian besar pedoman merekomendasikan hitung trombosit untuk prosedur operasi adalah
>50.000/uL, walaupun tidak ada penelitian terkontrol yang menyatakan hal tersebut. Untuk
pasien yang menjalani operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan (operasi mata atau
saraf), hitung trombosit perlu dipertahankan pada batas 100.000/uL.
11,16

Untuk kasus kelainan fungsi trombosit bawaan, ada bukti ilmiah menyatakan bahwa
transfusi trombosit efektif sebagai profilaksis operasi dan untuk terapi perdarahan. Sedangkan
bukti ilmiah untuk kelainan fungsi trombosit yang didapat masih kurang jelas. Untuk kelainan
fungsi trombosit akibat gagal ginjal maka pengobatan utamanya adalah koreksi anemia,
penggunaan desmopresin dan kriopresipitat. Dalam hal ini tidak ada bukti ilmiah yang
mendukung penggunaan trombosit.
14

Penggunaan trombosit sebagai terapi pada pasien dengan trombositopenia dan/atau
kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan bermakna harus dikontrol. Transfusi
sel darah merah lebih dari 10 unit atau satu volume darah dalam 24 jam seringkali diikuti
dengan hitung trombosit <50.000/uL terutama bila 20 unit atau lebih telah ditransfusikan.
14


d) Frozen plasma
Biasa disebut fresh frozen plasma (FFP). 1 unit plasma biasa berisi 200 ml diperoleh
dari mengendapkan darah lengkap selama 72 jam. Semua faktor pembekuan ada kecuali
faktor V dan VIII. Pada plasma segar beku (FFP) faktor V dan faktor VIII tetap aktif. Plasma
segar diberikan biasanya setelah transfusi darah masif, setelah terapi warfarin dan koagulopati
pada penyakit hepar.
9,11

Indikasi pemberian adalah terdapat perdarahan masif, setelah terapi warfarin dan
kuagulopati pada penyakit hati, atau trombotik trombositopenia purpura. Dosis pemberian
frozen plasma adalah 10-20 mL/kg.
10

Transfusi FFP digunakan untuk:
i. Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibitor koagulasi baik
yang didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi.
ii. Neutralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang
mengancam nyawa.
iii. Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfusi
masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati.

Rasional:
Penggunaan FFP seringkali tidak tepat baik dari segi indikasi maupun jumlah FFP
yang diberikan. Penggunaan FFP dianjurkan pada beberapa kondisi klinis, tetapi belum
menunjukkan adanya keuntungan atau dianggap sebagai terapi alternative yang aman dan
memuaskan.
14


e) Cryoprecipitated AHF
Sering disebut sebagai cryoprecipitated antihemophilic faktor. Didapatkan dengan
mencairkan FFP pada suhu 1-6
0
C. Mengandung 150 mg fibrinogen, 80 IU faktor VIII:C,
faktor VIII:vWF (von Willebrand faktor), faktor XIII, fibronectin, dan 5-20mL plasma.Dosis:
kebutuhan fibrinogen : 250 fibrinogen/kantong. Biasanya sekitar 1kantong per 7-10 kgBB.
Indikasinya adalah perdarahan karena defisiensi fibrinogen dan faktor XIII serta pasien
dengan hemofili A atau von Willebrands disease.
10

Kriopresipitat digunakan untuk:
i. Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani prosedur
invasif dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan.
ii. Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami
perdarahan atau yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau akan
menjalani operasi.
Rasional:
Pada tahun 1994 CAP merekomendasikan transfusi kriopresipitat pada pasien dengan
hipofibrinogenemia, penyakit von Willebrand dan pasien hemofilia A (ketika konsentrat
faktor VIII tidak tersedia).

Rekomendasi yang sama juga dibuat oleh ACOG.

BCSH
merekomendasikan pemberian transfusi kriopresipitat pada pasien yang mendapat
transfusi masif dengan perdarahan mikrovasular bila kadar fibrinogen <80
mg/dl.
14,15,16,17

Kelompok kerja ASA pada tahun 1996 merekomendasikan pertimbangan memberikan
kriopresipitat sebagai profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen kongenital atau
penyakit von Willebrand yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat yang
akan menjalani operasi tetapi tidak mengalami perdarahan; pasien dengan penyakit von
Willebrand yang mengalami perdarahan; koreksi pada pasien dengan perdarahan
mikrovaskular karena transfusi masif dengan konsentrasi fibrinogen <80-100 mg/dl.
16

NHMRC-ASBT pada tahun 2001 menyatakan bahwa penggunaan kriopresipitat
mungkin tepat pada pasien dengan defisiensi fibrinogen bila terdapat manifestasi perdarahan,
prosedur invasif, trauma atau DIC. Penggunaan kriopresipitat umumnya tidak tepat pada
terapi hemofilia, penyakit von Willebrand, atau defisiensi faktor XIII atau fibrinektin, kecuali
tidak ada terapi alternative lainnya.
14


f) Granulosit
Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada pasien
neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik.Transfusi granulosit
mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek,sedemikian sehingga sehari-hari 10
transfusi granulosit pada umumnya diperlukan.

Iradiasi dari granulosit menurunkan insiden
timbulnya reaksi graft-versus-host, kerusakan endothelial berhubungan dengan paru-paru,
dan lain permasalahan berhubungan dengan transfusi leukosit (lihat di bawah), tetapi
mempengaruhi fungsigranulosit. Ketersediaan filgrastim (granulocyte colony-stimulating
faktor, atau G-CSF) dan sargramostim (granulocyte-macrophage colony-stimulating faktor,
atau GM-CSF) telah sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.
10,15

2.9.2 Efek transfusi sel darah merah masif pada koagulasi
Transfusi darah pada masa lampau sebagian besar bergantung pada penggunaan whole
blood, sedangkan pada praktek modern didasarkan pada konsep terapi komponen darah
spesifik. Di negara maju, unit darah yang paling utuh dipisahkan dalam 18-24 jam ke dalam
sel darah merah, trombosit dan plasma, dan di beberapa pusat penyimpanan darah,
kriopresipitat dipersiapkan setelah pencairan FFP di 2-4
o
C. Terapi komponen darah
mengoptimalkan penggunaan sumber daya dengan memungkinkan komponen yang akan
digunakan pada pasien. Hal ini untuk menghindari efek yang memiliki potensi berbahaya
yang disebabkan oleh kelebihan bahan-bahan transfusi. Misalnya, transfusi whole blood,
bukan sel darah merah dalam larutan aditif, untuk pasien anemia meningkatkan risiko terkait
plasma seperti reaksi transfusi TRALI (transfusion related acute lung injury), yang berkaitan
dengan adanya antibodi untuk HLA atau leukosit dalam plasma donor.
19

Meskipun terapi komponen spesifik menyediakan keuntungan logistik dan ekonomi,
pada transfusi koagulopati RBC masif, koagulopati karena rendahnya level platelet dan faktor
pembekuan terjadi pada fase yang lebih awal dibandingkan dengan penggunaan whole blood.
Satu unit whole blood berisi sekitar 200 ml plasma dengan jumlah yang cukup untuk faktor
koagulan yang stabil, terutama fibrinogen. Sebaliknya, hanya sejumlah plasma yang tak
berarti, begitu pula dengan faktor koagulasi dan platelet, terdapat di unit sel darah merah, dan
larutan plasma tanpa aditif ditambahkan ke unit tersebut untuk menyediakan nutrisi dan
energi untuk sel darah merah, serta penyangga pH selama penyimpanan. Selama perang
Vietnam, ketika whole blood yang disimpan digunakan, ditemukan bahwa jumlah trombosit
tidak turun di bawah 100.10
9
liter
-1
, bahkan setelah transfusi 6 liter. Sebaliknya pada saat ini,
85% dari pasien yang menerima setidaknya 10 unit sel darah merah dalam larutan aditif
mengalami trombositopenia.
19

Hubungan antara volume darah yang hilang, penggantian volume darah dan reduksi
pada faktor koagulan masih sulit ditemukan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor termasuk
dinamika kehilangan darah, kesulitan dalam memperkirakan jumlah darah yang hilang
sesungguhnya, variasi pada jumlah faktor pembekuan dan fungsi sistem organ yang terlibat
dalam hemostasis pada setiap individu seperti hepar, limpa, dan sumsum tulang. Martinowitz
menemukan pada 36 pasien dengan trauma berat, setelah menerima transfusi sel darah merah
dalam jumlah besar dengan rata-rata pemberian sebanyak 21 unit, jumlah rata-rata fibrinogen
sebanyak 1.5gr/liter (interkuartil range 1.1 2.6gr/liter). Temuan yang mirip juga diutarakan
oleh Hiippala yang menemukan jumlah fibrinogen <1.0gr/liter setelah penggantian sekitar 1.5
volume darah pada 60 pasien dengan operasi besar. Namun, McLoughlin menemukan bahwa
jumlah fibrinogen di bawah 1.0 gr/liter terjadi setelah penggantian 0.5 volume darah. Namun
demikian, penelitian tersebut dilakukan pada 8 pasien yang memiliki ambang jumlah
fibrinogen yang rendah (sekitar 1.6 gr/liter).
19

Pada prinsipnya, pengukuran kemampuan hemostatik berkala harus menyertakan
panduan untuk penanganan pasien. Celakanya, tes yang sering digunakan, PT dan aPTT, tes
umum yang sebenarnya dikembangkan untuk memonitor terapi antikoagulan dan nilai
prediksi pada seting trauma dan pembedahan, belum divalidasi. Pengukuran konsentrasi
fibrinogen yang diulang-ulang dapat membantu menentukan kapan terapi penggantian.
fibrinogen dibutuhkan pada pasien. Data Thromboelastograph menyediakan pemeriksaan
proses koagulasi dari pembentukan klot sampai lisisnya klot itu secara kualitatif dan dinamis,
serta penggunaan Thromboelastograph dapat berguna pada pasien trauma. Meningkatnya
kandungan asam dari unit sel darah merah juga menyebabkan koagulopati. pH unit sel darah
merah rendah, dan menurun secara progresif selama penyimpanan, karena produksi asam
laktat oleh sel darah merah, dimana pH awalnya 7.0 menjadi sekitar 6.3 pada akhir masa
hidupnya. Karena kemampuan penyangga plasma yang tinggi pada sirkulasi, transfusi sel
darah merah dengan pH yang rendah biasanya tidak menyebabkan gangguan keseimbangan
asam basa. Namun, pada kasus pasien trauma yang sudah asidosis, transfusi sel darah merah
masif menyebabkan peningkatan asam yang dapat memperparah koagulopati yang sudah
terjadi.
19

Transfusi sel darah merah pasti dapat menyelamatkan nyawa pasien trauma dengan
syok perdarahan. Namun, dengan komponen sel darah merah modern yang tidak mengandung
platelet dan faktor koagulasi, koagulopati terjadi pada fase awal transfusi sel darah merah
masif.

Jumlah yang berlebihan dari antikoagulan sitrat teradapat dalam FFP. Pasien trauma,
biasanya mengalami shock hipovolemi atau hipotermia, dan ketika menerima FFPdalam
jumlah besar dapat mengalami hipokalsemia akibat pengikatan sitrat pada ion kalsium yang
tersirkulasi. Karena ion kalsium adalah salah satu elemen esensial pada koagulasi,
hipokalemia dapat berperan dalam koagulopati.
19


2.10 Reaksi Transfusi Darah
20

1. Reaksi transfusi darah secara umum
Tidak semua reaksi transfusi dapat dicegah. Ada langkah-langkah tertentu yang perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi, walaupun demikian tetap
diperlukan kewaspadaan dan kesiapan untuk mengatasi setiap reaksi transfusi yang
mungkin terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi dan gejalanya bermacam-macam
serta dapat saling tumpang tindih. Oleh karena itu, apabila terjadi reaksi transfusi,
maka langkah umum yang pertama kali dilakukan adalah menghentikan transfusi,
tetap memasang infus untuk pemberian cairan NaCl 0,9% dan segera memberitahu dokter
jaga dan bank darah.

2. Reaksi Hemolisis
Reaksi Hemolisis pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah
yang ditransfusikan oleh antibodi resipien. Lebih sedikit biasanya
hemolisis sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibodi sel darah
merah. Trombosit konsentrat yang inkompatible, FFP, clotting factor,
atau cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-A atau anti-B (atau kedua-
duanya) alloantibodi. Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan hemolysis
intravascular.
Reaksi Hemolisis biasanya digolongkan akut (intravascular) atau delayed
(extravascular).
a. Reaksi hemolisis akut
Hemolisis Intravascular akut pada umumnya berhubungan dengan
Inkompatibilitas ABO dan frekwensi yang dilaporkan kira-kira 1:38,000
transfusi. Penyebab yang paling umum adalah mis-identifikasi suatu pasien,
spesimen darah, atau unit transfusi. Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi
hemolytic fatal terjadi 1 dalam 100,000 transfusi.
Gejala-gejala yang ditemui pada pasien yang sadar, meliputi rasa dingin, demam,
nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi
hemolytic akut adalah suhu meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan, hypotensi,
hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari lapangan operasi. Disseminated Intravascular
Coagulation, shock, dan penurunan fungsi ginjal dapat berkembang dengan cepat.
Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada berapa banyak darah yang inkompatibel
yang sudah diberikan. Gejala yang berat dapat terjadi setelah transfusi 10-15ml darah yang
ABO inkompatibel.
Manajemen reaksi hemolisis dapat simpulkan sebagai berikut;
Jika dicurigai suatu reaksi hemolisis, transfusi harus dihentikan dengan segera.
Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.
Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.
Osmotic diuresis harus diaktifkan dengan mannitol dan cairan kedalam pembuluh darah.
Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP
b. Reaksi hemolisis lambat
Suatu reaksi hemolisis lambat biasanya disebut hemolisis extravaskular biasanya
ringan dan disebabkan oleh antibodi non D antigen sistem Rh atau ke alel asing di sistem
lain seperti Kell, Duffy, atau Kidd antigen. Berikut suatu transfusi ABO dan Rh D-
kompatibel, pasien mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk antibodi
untuk melawan antigen asing. Pada saat itu sejumlah antibodi ini sudah terbentuk
(beberapa minggu sampai beberapa bulan), tranfusi sel darah telah dibersihkan dari
sirkulasi. Lebih dari itu, titer antibody menurun dan mungkin tidak terdeteksi. Terpapar
kembali dengan antigen asing yang sama selama transfusi sel darah, dapat
mencetuskan respon antibodi melawan antigen asing.
Peristiwa ini dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen. Reaksi hemolisis pada tipe
lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari
malaise, jaundice, dan demam. Hematokrit pasien tidak meningkat setelah transfusi dan
tidak adanya perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil
pemecahan hemoglobin.

Diagnosa antibodi-reaksi hemolisis lambat
mungkin difasilitasi oleh antiglobulin (Coombs)Test.
Coombs test mendeteksi adanya antibodi di membran sel darah. Test ini tidak bisa
membedakan antara membran antibodi resipien pada sel darah merah dengan membran
antibodi donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang
lebih terperinci pre-transfusi pada kedua spesimen : pasien dan donor.


Penanganan reaksi hemolisis lambat adalah suportif. Frekuensi reaksi transfusi
hemolisis lambat diperkirakan kira-kira 1:12.000 transfusi. Kehamilan (terpapar sel darah
merah janin) dapat juga menyebabkan pembentukan allo-tibodies pada sel darah merah.
Manajemen: perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin, blood film, LDH, direct
antiglobulin test, renal profile, serum bilirubin, haptoglobin, dan urinalisis. Fungsi ginjal
harus dimonitoring ketat. Terapi spesisfik sangat jarang dibutuhkan, hanya saja pada transfusi
selanjutnya perlu berhati-hati dengan melakukan screening golongan darah dan atibodi.
c. Reaksi imun nonhemolisis
Reaksi imun nonhemolisis adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari resipien ke
donor lekosit, platelet, atau protein plasma.
3. Reaksi Febris
Sensitisasi leukosit atau platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi
febris. Reaksi ini umumnya 1-3% tentang episode transfusi dan ditandai oleh suatu
peningkatan temperatur tanpa adanya hemolisis. Pasien dengan suatu riwayat febris
berulang harus menerima tranfusi lekosit saja. Transfusi darah
merah dapat dibuat leukositnya kurang dengan sentrifuge, filtrasi, atau teknik freeze-thaw.
4. Reaksi Urtikaria
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh eritema, penyakit gatal
bintik merah dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada
umumnya (1% tentang transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi pasien
terhadap transfusi protein plasma. Reaksi urtikaria dapat diatasi dengan obat antihistamin (H
dan mungkin H2 blockers) dan steroid.
5. Reaksi Anafilaksis
Reaksi Anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 1 dari 150,000 transfusi).
Reaksi ini berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara khas
pada IgA pasien dengan defisiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang berisi IgA.
Prevalensi defisiensi IgA diperkirakan 1:600-800 pada
populasi yang umum. Reaksi ini diatasi dengan pemberian epinefrin, cairan,
kortikosteroid, H1, dan H2 bloker. Pasien dengan defisiensi IgA perlu menerima Washed
Packed Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free blood Unit .
Tandanya meliputi hipotensi, bronkospasme, periorbital dan laryngeal edema,
mual & muntah, erythema, urtikaria, konjunctivitis, dyspnoea, nyeri dada, dan nyeri
abdomen. Manajemen: hentikan transfusi sampai gejala menghilang selama 30 menit.
Untuk menghilangkan gejala berikanantihistamin,misalnya chlorpheniramine 10mg. Berikan
chlorpheniramine sebelum transfusi berikutnya dilakukan.
6. Edema Pulmoner Nonkardiogenik
Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury
[TRALI]) merupakan komplikasi yang jarang terjadi(<1:10,000). Ini berkaitan dengan
transfusi antileukositik atau anti-HLA antibodi yang saling berhubungan
dan menyebabkan sel darah putih pasien teragregasi di sirkulasi pulmoner.
Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan leukoaglutinin. Perawatan
Awal TRALI adalah sama dengan Acute Respiratory distress syndrome (ARDS),
tetapi dapat sembuh dalam 12-48 jam dengan terapi suportif.
Manajemen: atasi distres pernapasan dengan ventilator, dan berikan steroid.
7. Graft versus Host Disease
Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk sel darah
berisi limfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit khusus
sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versus- host. Iradiasi (1500-
3000 cGy) sel darah merah, granulocyte, dan transfusi
platelet secara efektif menginaktifasi limfosit tanpa mengubah efikasi dari transfusi.

8. Purpura Post-transfusi
Thrombositopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan
dengan berkembangnya aloantibodi trombosit. Karena alasan yang tidak jelas,
antibodi menghancurkan trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1 minggu
setelah tranfusi. Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan.
9. Imunosupresi
Transfusi leukosit merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi. Ini
adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana
transfusi darah preoperatif nampak untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa
studi menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan malignan
mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi darah selama
pembedahan. Dari kejadian yang ada juga menyatakan bahwa tranfusi leukosit allogenik
dapat mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi
darah dapat meningkatkan timbulnya infeksi yang serius setelah pembedahan
atau trauma.

10. Komplikasi Infeksi
1) Infeksi Virus Hepatitis
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi
timbulnya hepatitis setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang
kasus ini adalah dalam kaitan dengan hepatitis C virus. Timbulnya hepatitis
posttransfusi antarab 1:63,000 dan 1:1,600,000, 75% tentang kasus ini adalah anikterik,
dan sedikitnya 50% berkembang menjadi penyakit hati kronis. Lebih
dari itu, tentang kelompok yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang menjadi
cirrhosis.
2) Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui
transfusi darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti HIV-1 dan HIV-2 antibodi.
Dengan adanya FDA yang menguji asam nukleat
memperkecil waktu kurang dari satu minggu dan menurunkan resiko dari penularan
HIV melalui tranfusi 1:1.900.000 tranfusi.
3) Infeksi Virus Lain
Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya menyebabkan penyakit
sistemik ringan atau asimptomatik. Yang kurang menguntungkan pada beberapa individu
menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari donor dapat
menularkan virus.
Pasien immunosupresif dan Immunocompromise (misalnya, bayi prematur dan
penerima transplantasi organ) peka terhadap infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya,
pasien - pasien menerima hanya CMV negatif.
Studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV dari transfusi
dari darah yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah
yang CMV negatif. Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang dikurangi
secara klinis cocok diberikan pada pasien seperti itu. Human T sel virus lymphotropic I
dan II (HTLV-1 dan HTLV-2) adalah leukemia dan lymphoma virus, kedua-duanya telah
dilaporkan ditularkan melalui transfusi darah; leukemia dihubungkan dengan
myelopathy. Penularan Parvovirus telah dilaporkan setelah transfusi faktor pembekua dan
dapat mengakibatkan krisis transient aplastic pada pasien immunocompromised. Penggunaan
filter leukosit khusus nampaknya mengurangi tetapi tidak mengeliminasi timbulnya
komplikasi di atas.
4) Infeksi Parasit
Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria,
toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.
5) Infeksi Bakteri
Kontaminasi bakteri adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi.
Prevalensi kultur positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit
sampai 1/7000 untuk RBC. Prevalensi sepsis oleh karena transfusi darah berkisar dari
1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000 untuk RBC. Angka-angka ini secara relatif besar
dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-
2 juta. Baik bakteri gram-positif (Staphylococus) dan bakteri gram-
negatif (Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan menularkan
penyakit. Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi dari bakteri,
darah harus berikan dalam waktu kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang
ditularkan melalui transfusi darah dari donor meliputi sifilis, brucellosis,
salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam rickettsia.
Manajemen: penanganan kasus ini adalah dengan memberikan antibiotik
sesuai bakteri penginfeksi. Bila jenis bakterinya tidak diketahui, kombinasi berikut dapat
dipertimbangkan:
Bakteri gram negatif: piperacillin 4,5 g tds iv; atau ceftriaxone 1 g 1x/hari; atau
meropenem 1 g tds iv.
Bakteri gram positif: teicoplain 400mg bd iv x2; atau vancomycin 1 g bd iv.
6) Overload Cairan
Overload cairan terjadi bila transfusi dilakukan terlalu cepat. Gagal
jantung ventrikel kiri akut sering terjadi disertai dyspnoe, tachypnoea, batuk kering,
peningkatan JVP, ronki basal paru, hipertensi, dan takikardi. Manajemen: hentikan transfusi,
dan berikan oksigen dan diuretik.
7) I ron Overload
Komplikasi ini sering terjadi pada resipien dengan kelainan yang
hidupnya bergantung pada transfusi darah seperti thalasemia dan sickle cell. Komplikasi ini
terjadi bila transfusi sudah mencapai 10-50 kantong.

Manajemen; iron chelation therapy
dengan desferoxamine 30-50 mg subkutan atau infus lambat saat malam, minimal 5x/minggu.

2.11 Transfusi Darah Masif
20

Transfusi massif adalah transfusi sejumlah darah yang telah disimpan,
dengan volume darah yang lebih besar daripada volume darah resipien dalam
waktu 24 jam. Pada keadaan ini dapat terjadi hipotermia bila darah yang digunakan
tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia dan kelainan koagulasi
karena terjadi pengenceran dari trombosit dan factor- factor pembekuan.
Penggunaan darah simpan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya
beberapa komplikasi diantaranya adalah kelainan jantung, asidosis, kegagalan
hemostatik, acute lung injury.
Transfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu sampai
dua kali volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan 10-20 unit.
Transfusi masif adalah penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih banyak dari
total volume darah pasien dalam waktu <24 jam (dewasa: 70 ml/kg, anak/bayi: 80-90 ml/kg).
Morbiditas dan mortalitas cenderung meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan oleh
banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi karena trauma awal, kerusakan jaringan
dan organ akibat perdarahan dan hipovolemia. Seringkali penyebab dasar dan risiko akibat
perdarahan mayor yang menyebabkan komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu sendiri.
Namun, transfusi masif juga dapat meningkatkan risiko komplikasi.
1) Koagulopati
Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional
thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari faktor koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien
normal.
Koagulopati di definisikan sebagai nilai PPT lebih besar dari 14,2 atau nilai
APTT lebih lama dari 38,4 detik.
Koagulopati ini
disebabkan oleh pelepasan faktor jaringan (salah satunya tromboplastin, yang banyak
terdapat di parenkim otak ) dan koagulan lain dari parenkim otak yang rusak, yang masuk ke
peredaran darah sistemik dan mempengaruhi proses pembekuan darah. Jika kerusakan
parenkim di otak cukup luas dan tromboplastin banyak masuk ke sirkulasi sistemik, akan
menyebabkan aktivasi faktor pembekuan darah yang tidak terkontrol dan selanjutnya
akan mengakibatkan koagulopati sistemik atau disebut disseminated intravaskular
coagulation (DIC).
2) DIC ( disseminated intravaskular coagulation)
DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun hal ini lebih disebabkan alasan
dasar dilakukannya transfusi (syok hipovolemik, trauma, komplikasi obstetrik).
Terapi ditujukan untuk penyebab dasarnya. DIC (disseminated intravaskular
coagulation) ditandai dengan proses aktivasi dari sistem koagulasi yang menyeluruh yang
menyebabkan pembentukan fibrin di dalam pembuluh darah
sehingga terjadi oklusi trombotik di dalam
pembuluh darah berukuran sedang dan kecil.
Proses tersebut menjadikan aliran darah terganggu sehingga terjadi kerusakan pada
banyak organ tubuh. Pada saat yang bersamaan,
terjadi pemakaian trombosit dan protein dari faktor-
faktor pembekuan sehingga terjadi perdarahan.
Sebelum dikenal istilah CID, dahulu dikenal istilah-istilah lain yang diberikan
sesuai dengan patofisiologinya:
Coagulation consumption
Hyperfibrinosis
Defibrinasi
Thrombohaemoraghic Syndrome
DIC ( disseminated intravaskular coagulation) merupakan keadaan yang termasuk
dalam kategori kedaruratan medik, sehingga
memerlukan tindakan medis dan penanganan
segera. Tindakan dan penanganan yang diberikan tergantung dari patofisiologi penyakit
yang mendasarinya, apakah terjadi secara akut atau memang sudah ada penyakit yang
sudah lama diderita. Namun yang utama dalam
memberikan penanganan tersebut adalah
mengetahui proses patologi DIC itu sendiri,sepeti telah disebutkan sebelumnya, ya
kni terjadinya proses trombosis mikrovaskular dan
kemungkinan terjadi perdarahan (diatesa hemoragik) secara bersamaan Tanda-
tanda yang dapat dilihat pada penderita DIC yang disertai dengan perdarahan
misalnya: petekie, ekimosis, hematuria, melena, epistaksis, hemoptisis, perdarahan gusi,
penurunan kesadaran hingga terjadi koma yang disebabkan oleh perdarahan otak. Sementara
tanda-tanda yang dapat dilihat pada trombosis mikrovaskular adalah gangguan aliran darah
yang mengakibatkan terjadi iskemia pada organ dan berakibat pada kegagalan fungsi
organ tersebut, seperti: gagal ginjal akut, gagal nafas akut, iskemia fokal, gangren pada
kulit.
Berikut ini adalah kondisi klinik yang dapat menyebabkan terjadinya DIC:
Sepsis
Trauma
o Cidera jaringan berat
o Cidera kepala
o Emboli lemak
Kanker
o Myeloproliferative disorder
o Tumor padat
Komplikasi Obstetrik
o Emboli cairan amnion
o Abruptio Placenta
Kelainan pembuluh darah
o Giant hemangioma
o Aneurysma Aorta
Reaksi terhadap toksin
Kelainan Imunologik
o Reaksi alergi yang berat.
o Reaksi hemolitik pada transfusi
o Rejeksi pada transplant

Pada pasien dengan DIC, terjadi pembentukan fibrin oleh trombin yang
diaktivasi oleh faktor jaringan. Faktor jaringan,
berupa sel mononuklir dan sel endotel yang
teraktivasi, mengaktivasi faktor VII. Kompleks
antara faktor jaringan dan faktor VII yang teraktivasi tersebut akan mengaktivasi
faktor X baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan cara mengaktivasi faktor IX dan VIII.
Faktor X yang teraktivasi bersama dengan faktor V akan mengubah protrombin
menjadi trombin. Di saat yang bersamaan terjadi
konsumsi faktor antikoagulan seperti antitrombin III, protein C dan jalur
penghambat-faktor jaringan, mengakibatkan kurangnya faktor-faktor tersebut.
Pembentukan fibrin yang terjadi tidak diimbangi dengan
penghancuran fibrin yang adekuat, karena
sistem fibrinolisis endogen (plasmin) tertekan oleh penghambat-
aktivasi plasminogen tipe 1 yang kadarnya tinggi di dalam plasma
menghambat pembentukan plasmin dari plasminogen. Kombinasi antara meningkatnya
pembentukan fibrin dan tidak adekuatnya
penghancuran fibrin menyebabkan terjadinya trombosis intravaskular yang menyeluruh.
Diagnosis DIC tidak dapat ditegakan hanya berdasarkan satu tes laboratorium,
karena itu biasanya digunakan beberapa hasil
pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berdasarkan kondisi klinik pasien.
Dalam praktik klinik diagnosis DIC dapat ditentukan atas dasar temuan sebagai
berikut:
1. adanya penyakit yang mendasari terjadinya DIC.
2. Pemeriksaan trombosit kurang dari 100.000/mm.
3. Pemanjangan waktu pembekuan (PT, aPTT).
4. Adanya hasil degradasi fibrin di dalam plasma (ditandai dengan peningkatan D-
dimer).
5. Rendahnya kadar penghambat koagulasi (Antitrombin III)
Rendahnya trombosit pada DIC menandakan adanya aktivasi trombin yang
terinduksi dan penggunaan trombosit. Memanjangnya waktu pembekuan menandakan
menurunnya jumlah faktor pembekuan yang tersedia seperti vitamin K.
Pemeriksaan kadar penghambat pembekuan (AT III atau protein C) berguna
untuk memberikan informasi prognostik.
Pemeriksaan hasil degradasi fibrin seperti D-
dimer, akan membantu untuk membedakan DIC dengan kondisi lain yang
memiliki gejala serupa, pemanjangan waktu pembekuan dan
turunnya trombosit, seperti pada penyakit hati kronik.
Rekomendasi KonNas Tatalaksana DIC pada Sepsis tahun
2001Kriteria minimal untuk diagnosis DIC
adalah didapatkan keadaan atau gambaran
klinik yang dapat menyebabkan DIC dengan
manifestasi perdarahan, tromboemboli atau keduanya, disertai dengan pemeriksaan
laboratorium trombositopenia dan gambaran eritrosit sel Burr atau D-dimer
positif.Bilamana fasilitas laboratorium memungkinkan dapat digunakan kriteria
menurut Bick atau berdasarkan skor DIC dari ISTH 2001.
Kriteria Laboratorium DIC menurut KonNas Tata laksana DIC pada sepsis
2001;
1. Hitung trombosit: trombositopeni pada 98% DIC
2. PT : memanjang pada 50-70% DIC
3. aPTT : memanjang pada 50-60% DIC
4. Masa Trombin : memanjang
5. Fibrinogen
6. sFM (soluble fibrin monomer)
7. D-dimer : meningkat
8. FDP : meningkat
9. Antitrombin : menurun
Kriteria Laboratorium DIC menurut Bick, yaitu ;
1. Aktivasi prokoagualan: PF1+2, TAT, D-dimer, fibrinopeptide
2. Aktivasi fibrinolitik: D-dimer, FDP, plasmin, PAP
3. Konsumsi inhibitor: AT III, TAT, PAP, Protein C & S
4. Kerusakan/kegagalan organ: LDH, kreatinin, pH, pO2
Sistem Skor DIC (ISTH 2001)
1. Penilaian risiko: apakah terdapat penyebab DIC?(jika tidak ada, penilaian tidak
dilanjutkan)
2. Uji Koagulasi (trombosit, PT, D-dimer, fibrinogen)
3. Skor:
a. Trombosit: > 100000 = 0 50000-100000 = 1 <50000 = 2
b. D-dimer: < 500 = 0 500-1000 = 1>10000=2
c. PT memanjang: <3 detik = 0 4-6 detik = 1 >6 detik = 2
d. Fibrinogen: <100mg/dl = 1 >100 mg/dl = 0
4. Jumlah skor:
a. 5 : sesuai DIC : skor diulang setiap hari
b. < 5 : sugestif DIC : skor diulang dalam 1-2 hari
Penatalakasanaan DIC yang utama
adalah mengobati penyakit yang mendasari
terjadinya DIC. Jika hal ini tidak dilakukan , pengobatan terhadap DIC tidak akan
berhasil. Kemudian pengobatan lainnya yang bersifat suportive dapat diberikan.
1. Antikogulan
Secara teoritis pemberian antikoagulan heparin akan menghentikan proses
pembekuan, baik yang disebabkan oleh infeksi maupun oleh
penyebab lain. Meski pemberian heparin juga
banyak diperdebatkan akan menimbulkan perdarahan, namun dalam penelitian klinik
pada pasien KID, heparin tidak menunjukkan komplikas perdarahan yang signifikan.
Dosis heparin yang diberikan adalah 300 500 u/jam dalam infus kontinu.

Indikasi:
Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat
Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi
Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati,
sindroma gagal nafas
Dosis: 100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam (750-
1250 iu/jam) kontinu, dosis selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali
kontrolLow molecular weight heparin dapat menggantikan unfractionated heparin.
2. Plasma dan trombosit
Pemberian baik plasma maupun trombosit
harus bersifat selektif. Trombosit diberikan
hanya kepada pasien DIC dengan perdarahan atau pada prosedur invasive dengan
kecenderungan perdarahan. Pemberian plasma
juga patut dipertimbangkan, karena di dalam palasma hanya berisi faktor-
faktor pembekuan tertentu saja, sementara pada pasien DIC terjadi gangguan seluruh faktor
pembekuan.
3. Penghambat pembekuan (AT III)
Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien DIC, meski biaya pengobatan ini
cukup mahal. Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila AT III<70%
Dosis:
Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infus kontinu
selama 3 5 hari.
Rumus:
1 iu x BB (kg) x AT III, dengan target AT III > 120%
AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III > 125%

4. Obat-obat antifibrinolitik
Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien
dengan perdarahan, tetapi pada pasien DIC
pemberian antifibrinolitik tidak dianjurkan.
Karena obat ini akan menghambat proses fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk
akan semakin bertambah, akibatnya DIC yang terjadi akan semakin berat.

3) Asidosis
Keadaan ini lebih disebabkan terapi hipovolemia yang tidak adekuat. Pada
keadaan normal, tubuh dengan mudah mampu menetralisir kelebihan asam dari transfusi.
Asidosis metabolik hampir selalu menyertai syok dengan adanya akumulasi asam laktat
akibat hipoksemia, hal ini dikarenakan pada saat mengalami syok, konsumsi oksigen dalam
oksigen menurun akibat berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau
berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen kejaringan. Kekurangan ini
menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolism anaerob dan menghasilkan asm laktat.
Metabolisme anaerobik mengalami komplikasi akibat penurunan fungsi hati dimana hati tidak
mampu memetabolisir laktat yang terbentuk. Sehingga keasaman jaringan bertambah dengan
adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak dan keton.
4) Hyperkalemia
Hal ini dikarenakan faktor penyimpanan darah menyebabkan konsentrasi kalium
ekstraselular meningkat, dan akan semakin meningkat bila semakin lama disimpan.
5) Keracunan sitrat dan hipokalsemia
Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi penting
setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hipokalsemia penting, karena
menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika transfusi
melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan
penyakit atau disfungsi hepar (dan kemungkinan pada pasien hipotermi) memerlukan infus
kalsium selama transfusi masif.
Keracunan sitrat jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada transfusi darah lengkap
masif. Pasien yang mengalami keracunan sitrat ata mengaami deficit kalsium yaitu mereka
yang mendapatkan transfusi lasma, whole blood dan trombosit dengan ecepatan melebihi
100ml/menit, atau lebih rendah pada pasien dengan penyakit hati, dimana hati tidak bias
mengikuti pemberian sitrat dengan cepat, tidak bias memetabolisme sitrat, mengrangi kalsium
terionisasi.
Hipokalsemia terutama bila disertai dengan hipotermia dan asidosis dapat
menyebabkan penurunan curah jantung (cardiac output), bradikardia dan disritmia lainnya.
Proses metabolisme sitrat menjadi bikarbonat biasanya berlangsung cepat, oleh karena itu
tidak perlu menetralisir kelebihan asam.
6) Kekurangan fibrinogen dan faktor koagulasi
Plasma dapat kehilangan faktor koagulasi secara progresif selama penyimpanan,
terutama faktor V dan VIII, kecuali bila disimpan pada suhu -25C atau lebih rendah.
Pengenceran (dilusi) faktor koagulasi dan trombosit terjadi pada transfusi massif.
7) Kekurangan trombosit
Fungsi trombosit cepat menurun selama penyimpanan darah lengkap dan trombosit
tidak berfungsi lagi setelah disimpan 24 jam.
8) Hipotermia
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua produk darah
cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Hipotermia adalah kondisi dimana tubuh
kita mengalami penurunanan suhu inti (suhu organ dalam). Hipotermia bias menyebabkan
terjadinya pembengkakan di seluruh tubuh
(Edema Generalisata), menghilangnya reflex tubuh (areflexia), koma, hingga
menghilangnya reaksi pupil mata. Disebut hipotermia berat bila suhu tubuh < 320C. Untuk
mengukur suhu tubuh pada hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low reading
termometer) sampai 25
0
C. Di samping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat merupakan
awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
Hipotermia terjadi ketika darah dingin dengan volume yang banyak diberikan dengan
cepat. Pemberiaan dengan cepat ini dapat menyebabkan pasien menggigil, hipotermi
vasokontriksi perifer dan aritmia ventrikuler yang dapat menjadi fibrilasi, sering terjadi pada
temperatur sekitar 30C dan mengahambat resusitasi jantung hingga henti jantung.
Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah
sungguh mengurangi timbulnya insiden hipotermia yang terkait dengan transfuse. Pemberian
cepat transfusi masif yang langsung berasal dari pendingin menyebabkan penurunan suhu
tubuh yang bermakna. Bila terjadi hipotermia, berikan perawatan selama berlangsungnya
transfusi.
9) Kelainan asam basa
Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan antikoagulan asam
sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merah (karbondioksida dan asam laktat),
berkenaan dengan metabolisme asidosis metabolik yang berkaitan dengan transfusi tidaklah
umum. Yang terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi darah masif adalah alkalosis
metabolik postoperatif. Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolik berakhir dan
alkalosis metabolik progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan
resusitasi diubah menjadi bikarbonat oleh hepar.
10) Perubahan konsentrasi kalium serum
Konsentrasi kalium ekstraselular dalam darah yang disimpan meningkat dengan waktu.
Jumlah kalium ekstraselular yang transfusi pada unit masing-msaing kurang dari 4 mEq
perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur darah ketika transfusi
melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah operasi, terutama sekali
dihubungkan dengan alkalosis metabolik
11) Mikroagregat
Sel darah putih dan trombosit dapat beragregasi dalam darah lengkap yang disimpan
membentuk mikroagregat. Selama transfusi, terutama transfusi masif, mikroagregat ini
menyebabkan embolus paru dan sindrom distress pernapasan. Penggunaan buffy coat-
depleted packed red cell akan menurunkan kejadian sindrom tersebut.























BAB III
KESIMPULAN

Syok hemoragik disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Cairan tubuh
manusia terdiri dari cairan intraselular dan cairan ekstraseluler terbagi dalam cairan intravascular,
cairan interstitial, dan cairan transelular. Syok hemoragik dapat terjadi pada keadaan trauma
ataupun selama pembedahan. Resusitasi pada syok hemoragik akan mengurangi angka kematian,
dengan tujuan untuk mengembalikan volume sirkulasi, perfusi jaringan dengan mengoreksi
hemodinamik, control perdarahan, optimalisasi transfer oksigen. Pemberian cairan merupakan hal
penting dalam pengelolaan syok hemoragik dimulai dengan pemberian kristaloid dan koloid
dilanjutkan dengan transfuse darah komponen. Transfusi darah dapat optimal jika pemilihan jenis
darah yang digantikan tepat dan sesuai kondisi pasien, dengan mempertimbangkan komplikasi
yang dapat terjadi dalam reaksi transfuse darah.
Transfusi masif adalah penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih banyak dari
total volume darah pasien dalam waktu <24 jam. Morbiditas dan mortalitas cenderung
meningkat pada beberapa pasien. bukan disebabkan oleh banyaknya volume darah yang
ditransfusikan, tetapi karena trauma awal, kerusakan jaringan dan organ akibat perdarahan
dan hipovolemia. Seringkali penyebab dasar dan risiko akibat perdarahan mayor yang
menyebabkan komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu sendiri. Namun, transfusi masif
juga dapat meningkatkan risiko komplikasi.

Anda mungkin juga menyukai