Anda di halaman 1dari 19

Dedi Vitriyanto/No.

2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 1



PEMOLISIAN KOMUNITI TETAP HARUS MEMPERHATIKAN HAM DAN
KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM USAHA MEMPEROLEH
KEPERCAYAAN MASYARAKAT INDONESIA YANG MULTIKULTURAL
Dedi Vitriyanto
Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Ilmu Kepolisian
Universitas Indonesia, Jakarta
Email : vitriyantodedi@yahoo.com
Abstrak
Dalam pemolisian komuniti (community policing) hubungan timbal balik secara
kemitraan sederajat antara polisi dan masyarakat harus dapat dibina. Konsep
pendekatan restorative justice dalam proses criminal justice system merupakan suatu
pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan
keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata
cara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses
dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian konflik
ataupun perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi
terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas dengan
memperhatikan hak asasi manusia (HAM). Restorasi meliputi pemulihan hubungan
antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas
kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan
mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk
menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun
kesepakatan-kesepakatan lainnya. Sehingga akan mencapai pada titik kulminasi apa
yang dimaksud dengan non-punitive strategies to prevent and control crime (strategi
non hukuman untuk mencegah dan mengendalikan kejahatan). Hal ini tidak terjadi
dalam proses pemidanaan konvensional karena tidak memberikan ruang kepada
pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam
penyelesaian masalah mereka. Penyelesaian perkara pidana melalui jalur
musyawarah antara pelaku dan korban serta masyarakat yang terlibat di dalamnya,
merupakan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Mekanisme
penyelesaian ini dalam prakteknya terselenggara dengan atau tanpa melibatkan
penegak hukum. Secara praktis, perdamaian sebagai hasil akhir dari musyawarah
menjadi kunci penutup permasalahan yang terjadi seolah mendapatkan pembenaran
berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Kata kunci : non-punitive strategies, pemidanaan tradisioanal, keadilan
restoratif, ham, penyelesaian perkara pidana.
Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Selama ini model pemolisian di dunia dikenal dengan dua bentuk,
pemolisian konvensional (kuno) dan pemolisian modern. Pemolisian
konvensional bersifat reaktif atau menunggu, selain itu lebih mengedepankan
penegakan hukum (crime fighter). Secara konseptual sistem pemolisian modern
yang diterapkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mulai mengubah sistem
kepolisian profesionalnya dengan pendekatan yang sangat memahami
keinginan masyarakat, yang pada gilirannya membuat masyarakat simpati,
membutuhkan, dan mempunyai ketergantungan yang kuat terhadap
keberadaan polisi yaitu polisi sipil yang berorientasi pada nilai-nilai
persahabatan. Pendekatan yang mengedepankan kekuasaan dan
kewenangan pun sudah mulai ditinggalkan, digantikan dengan
mengedepankan pendekatan perlindungan dan pelayanan serta pemecahan
masalah. Dengan demikian Polri perlu terus menerus melakukan upaya-upaya
yang komperhensif dalam melakukan kegiatan preemtif, preventif, dan
penegakan hukum.
Modernisasi yang ditanamkan ialah sebuah sistem kerja yang dilandasi
dengan semangat speed and professional. Diyakini, speed and professional
merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan. Sehingga setiap
melaksanakan tugas-tugasnya dalam menyelesaikan permasalahan
kamtibmas, Polri bertindak cepat, sigap, tanggap, dan professional sehingga
mampu mewujudkan harapan polisi sebagai problem solving. Sebenarnya,
kegiatan yang dilakukan dalam kemitraan dan pemberdayaan potensi
masyarakat ini ada dua, yaitu pemberdayaan community policing (polmas)
dan pemberdayaan pengamanan swakarsa.
1

1
http://www.metro.polri.go.id/kemitraan-polri/problem-solving. Diakses hari Minggu tanggal 1 Juni 2014, pukul
08.45 wib.
Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 3

Dalam pemolisian komuniti communiting policing hubungan timbal
balik secara kemitraan sederajat antara polisi dan masyarakat harus dapat
dibina. Kelling and Wilson (1982), dalam karangannya Broken Windows
menekankan perlunya diutamakan meningkatkan kerjasama polisi dan
masyarakat dalam daerah-daerah kumuh. Dalam penelitian yang terkenal ini,
broken windows diumpamakan dengan keadaan masyarakat tersebut yang
penuh permasalahan (masalah individu, antar-tentangga dan antar-kelompok)
yang memerlukan bantuan dari pihak luar (misalnya dari polisi dalam kegiatan
community policing).
Hanya melalui kerjasama, dukungan dan bantuan para warga setempat,
polisi dapat melawan kejahatan di daerah urban yang kumuh. Peranan polisi
untuk menjaga keteraturan dan ketertiban di daerah-daerah ini sangat utama.
Namun, mereka hanya akan berhasil, bila mana polisi dapat membuka jalur
komunikasi yang jujur dan efektif dengan penghuninya.
2
Perubahan sosial di
Indonesia sangat diwarnai oleh berbagai konflik baik dalam bentuk konflik
sosial, konflik etnis, maupun konflik komunal.
3
Bangsa Indonesia merupakan
bangsa multikultural, masyarakat yang majemuk, yaitu masyarakat yang rawan
konflik yang dapat menjurus pada disintegrasi masyarakatnya. Konflik-konflik
yang potensial menuju disintegrasi masyarakat adalah konflik antar-
sukubangsa, termasuk konflik antar-pemeluk agama karena melibatkan
sentiment-sentimen primordial yang mendalam dan mendasar.
4
Akan tetapi hal ini sesungguhnya memiliki implikasi secara teoritis maupun
yuridis. Di sejumlah negara hal ini di jembatani melalui kebijakan baik dalam
bentuk program pemerintah atau regulasinya. Filosofi pemidanaan tradisional

2
Reksodiputro, Mardjono, Ilmu Kepolisian Indonesia, bahan bacaan wajib perkuliahan, Program Magister Kajian
Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, 2013, hal. 69


3
Umar, Bambang Widodo, Perubahan Sosial dan Pembangunan, Program S2 Magister Kajian Ilmu Kepolisian,
Universitas Indonesia, Jakarta, hlm: 111.
4
Suparlan, Parsudi, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Bab 3: Ilmu Kepolisian dan Dinamika Masyarakat,
2004, Jakarta:YPKIK, hlm.27-29.
Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 4

yang membingkainya yang dikenal sebagai keadilan restoratif. Keadilan
restoratif merupakan suatu filosofi pemidanaan tradisional yang dapat dipakai
sebagai pendekatan dalam penanganan dan penyelesaian perkara pidana
yang terjadi dalam masyarakat. Berangkat dari kenyataan tersebut, maka
kemungkinan penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam praktek
penegakan hukum pidana di Indonesia.
Community Policing merupakan suatu pendekatan reformasi dalam
falsafah pemolisian yang memperluas misi kepolisian untuk tidak saja mengurus
soal kejahatan dan penegakan hukum, tetapi juga mengajak masyarakat
secara kreatif memecahkan permasalahan di sekitarnya yang berhubungan
dengan sekuriti. Sekuriti disini dipahami sebagai rasa aman dalam diri
masyarakat, sedangkan swakarsa dipahami sebagai usaha oleh swasta,
bagaimana dapat dikelola rasa aman melalui usaha sendiri oleh masyarakat.
Dua komponen utama dalam mewujudkan tujuan tersebut adalah Community
Partnership dan Problem Solving.
5

Inti dari berbagai cabang teori konflik adalah pandangan: bahwa konflik
sosial adalah penyebab kejahatan. Andaikata konflik sosial dapat diredusir,
angka kriminalitas dapat berkurang. Usaha untuk meredusir konflik sosial adalah
antara lain dengan pendekatan restorative justice (keadilan restoratif).
Dikatakan pendekatan ini menekankan pada non-punitive strategies to
prevent and control crime(strategi non hukuman untuk mencegah dan
mengendalikan kejahatan).
6
Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara dua pihak dan
masing-masing berusaha mempertahankan hidup, eksistensi, dan prisipnya.
Perubahan sosial di Indonesia sangat diwarnai oleh berbagai konflik baik dalam
bentuk konflik sosial, konflik etnis, maupun konflik komunal.
7
Bangsa Indonesia
5
Reksodiputro, Mardjono, Silabus Mata Kuliah Seminar Manajemen Sekuriti (Swakarsa), bahan bacaan wajib
perkuliahan, Program Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, 2014, hal. 1.
6
Reksodiputro, Mardjono, Mata Kuliah Seminar Manajemen Sekuriti (Swakarsa), bahan bacaan wajib perkuliahan,
Program S2 Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, 2013, hlm.54-55.
7
Umar, Bambang Widodo, Perubahan Sosial dan Pembangunan, Program S2 Magister Kajian Ilmu Kepolisian,
Universitas Indonesia, Jakarta, hlm: 111.
Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 5

merupakan bangsa multikultur, masyarakat yang majemuk, yaitu masyarakat
yang rawan konflik yang dapat menjurus pada disintegrasi masyarakatnya.
Konflik-konflik yang potensial menuju disintegrasi masyarakat adalah konflik
antar-sukubangsa, termasuk konflik antar-pemeluk agama karena melibatkan
sentiment-sentimen primordial yang mendalam dan mendasar.
8

Konflik juga bisa menyisakan rasa traumatis mendalam pada masyarakat
dan harus segera dicari formula penyelesaiannya, salah satunya adalah
pendekatan restorative justice. Tetapi sebelumnya harus dicari akar penyebab
dari konflik itu. Pada umumnya penyebab terjadinya konflik tersebut
disebabkan distribusi, baik ekonomi, sosial, dan politik yang dianggap tidak adil
bertepatan dengan perbedaan identitas. Sementara di sisi lain, sikap mereka
cenderung eklusif sehingga apabila terjadi gesekan-gesekan sosial, meskipun
kecil, tetapi mampu menyulut terjadinya konflik yang masif dan
berkepanjangan.
9

Keadilan restoratif adalah konsep yang memberikan perlindungan dan
penghargaan kepada kepentingan sang korban maupun pelaku. Namun
kondisi yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya yaitu sebuah mekanisme
konvensional yang disandarkan pada tegaknya proses formil pidana (criminal
justice system) tanpa melihat kenyataan di masyarakat, tanpa melihat
kepentingan masyarakat, dan tanpa melihat kemaslahatannya di masyarakat.

Konsep pendekatan restorative justice dalam proses criminal justice
system merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi
terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta
korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan pidana yang berfokus
pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk
menciptakan kesepakatan atas penyelesaian konflik ataupun perkara pidana
yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
8
Suparlan, Parsudi, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Bab 3: Ilmu Kepolisian dan Dinamika Masyarakat,
2004, Jakarta:YPKIK, hlm.27-29.

9
http://ratnandoet.wordpress.com/konflik-sosial/, diakses pada hari Senin tanggal 26 Mei 2014, jam 09.30 wib.

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 6



Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi
atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang
lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan
pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama
antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai
kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk
menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun
kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Sehingga akan mencapai pada titik kulminasi apa yang dimaksud
dengan non-punitive strategies to prevent and control crime (strategi non
hukuman untuk mencegah dan mengendalikan kejahatan). Hal ini tidak terjadi
dalam proses pemidanaan konvensional karena tidak memberikan ruang
kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk
berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka.
Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi
perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya
menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan
tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan
pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.
10







10
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-sistem-
pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-. Diakses pada hari Senin tanggal 26 Mei 2014, jam 21.35 wib.

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 7

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pendekatan Restorative Justice
Dalam buku berjudul Keadilan Restoratif, Eva Achjani Zulfa menyatakan
bahwa restorative justice atau yang sering diterjemahkan sebagai keadilan
restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul sejak era tahun
1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Pendekatan keadilan
restoratif menekankan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan
masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Ini merupakan hal
yang membedakannya dengan pendekatan yang dipakai dalam system
peradilan pidana konvensional, sehingga secara teoritis pendekatan ini masih
diperdebatkan. Namun pada kenyataannya pandangan ini berkembang dan
banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara.
11
Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling
mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem
peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB
melalui Basic principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan
keadilan restoratif adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem
peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G. P.
Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik kriminil harus rasional (a rational
total of the responses to crime). Pendekatan keadilan restoratif merupakan
suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi
penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas
bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini.
12

11
Zulfa, Eva Achjani, Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm. 2
12
http://evacentre.blogspot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html. di akses hari Minggu tanggal 1 Juni
2014, pukul 09.25 wib.

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 8

Upaya restoratif adalah upaya yang menggunakan konsep keadilan
restoratif dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut yaitu kesepakatan
antara para pihak yang terlibat. Kesepakatan ini merupakan kesepakatan para
pihak yang didasarkan pada upaya pemenuhan kebutuhan korban dan
masyarakat atas kerugian yang timbul dari tindak pidana yang terjadi.
Kesepakatan tersebut juga dapat diartikan sebagai suatu upaya memicu
proses reintegrasi antara korban dan pelaku, sehingga kesepakatan tersebut
dapat berbentuk sejumlah program seperti reparasi (perbaikan), restitusi
ataupun community service. Tidak mudah memberikan definisi bagi
pendekatan keadilan restoratif ini, mengingat banyaknya variasi model dan
bentuk yang berkembang dalam penerapannya. Karenanya banyak
terminologi yang digunakan untuk menggambarkan aliran keadilan restoratif ini
antara lain communitarian justice (keadilan komunitarian), positive justice
(keadilan positif), relational justice (keadilan relasional), reparative justice
(keadilan reparatif) dan community justice (keadilan masyarakat) serta
communitarian justice. Terminologi yang dipakai untuk menyebut
communitarian justice berasal dari teori komunitarian yang berkembang di
Eropa saat ini.
13

Paham individualis yang selama ini lekat dengan dunia barat, berangsur-
angsur ditinggalkan sejalan dengan kesadaran peran masyarakat terhadap
perkembangan kehidupan seseorang. Pandangan pandangan tersebut
menempatkan keadilan restoratif pada posisi yang mengusung lembaga
musyawarah sebagai upaya yang dapat dilakukan dalam mencari jalan
terbaik atas suatu pemecahan masalah yang timbul akibat dilakukannya suatu
tindak pidana.
Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada
kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan

13
Zulfa, Op.Cit. , hlm. 15
Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 9

mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat
ini. Dipihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang
baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi
penegak dan pekerja hukum.
14
2.2. Kriminologi Konflik dan Mashab Kritikal
Mashab kritikal dikenal pertama-tama karena pandangannya yang
berbeda tentang pengertian kejahatan (berbeda dengan yang dinamakan
the consensus view of crime seperti yang dianut mashab klasik/neo klasik).
Menurut mashab kritikal, dengan interactionis view-nya, maka
kejahatan didefinisikan oleh moral intrepeneurs, perbuatan jadi criminal
karena masyarakat mencapnya demikian, dan cap penjahat menentukan
kehidupan seterusnya seseorang. Sedangkan conflict view-nya mengkritik
hukum sebagai alat dari the rulling class, yang menjadikan kejahatan sebagai
konsep politis, dan dalam banyak hal the law is used to control the
underclass.
Menurut mashab kritikal, penanggulangan kejahatan (dalam arti luas)
seharusnya dapat dilakukan melalui masyarakat yang lebih demokratis (dalam
arti mengurangi proses konflik kuasa yang tidak wajar dan mengurangi proses
diskriminasi terhadap mereka yang kurang kuasa/the powerless), dan dengan
pendekatan yang lebih manusiawi pada pelanggar hukum/first evenders
(mengurangi labeling yang menimbulkan krisis jati diri dan secondary
deviance).
Menurut Prof. Marjono Reksodiputro bahwa mashab kritikal dasarnya
adalah teori-teori proses sosial (social prosess theories) yang mengajarkan
bahwa kriminalitas adalah fungsi dari interaksi manusia dengan berbagai
organisasi, lembaga dan proses-proses dalam masyarakat ( Edward Sutherland-
Donald Cressey; Walter Reckless, Howard Becker, Edwin Schur-tahun 1040-an

14
Idem. , hlm. 3
Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 10

sampai tahun 1070-an). Yang selanjutnya terus berkembang melalui teori-teori
konflik (social conflict theories).
15


2.2. Teori-teori Konflik Sosial
Teori-teori dalam kelompok ini melihat kejahatan sebagai fungsi dari
konfilk-konflik yang ada dalam masyarakat. Teori-teori ini lebih menekankan
pada proses sosial dalam konteks sosial ekonomi, dan melihat antara lain pada
peranan pemerintah menciptakan lingkungan yang mendukung
penyimpangan sosial (crimogenic environment), peranan kelompok dominan
membentuk hukum (pidana), dan bias dalam sistim peradilan pidana (SPP).
Penelitian-penelitian menunjukan bahwa kejahatan ternyata lebih
merata terdistribusi dalam berbagai strata masyarakat. Hal ini bertentangan
dengan statistic resmi ynag menggambarkan bahwa terdapat lebih banyak
kejahatan dan pelakunya di lingkungan kelas-bawah (lower-class)
dibandingkan dengan kejadian di lingkungan kelas-menengah (midlle-class).
Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa terjadi diskriminasi dalam
penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok kelas-bawah.
Timbul pandangan: the justice system as a mechanism to control the
lower class and maintain the status quo rather then as the means of dispensing
evenhanded justice. Prof. Satjipto Rahadjo salah seorang pakar sosiologi
hukum, dengan pemikirannya Teori Progresif dalam ilmu hukum, banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Chambliss dan Seidman dalam karangan mereka
yang terkenal Law, Order and Power. Menurut Chambliss dan Seidman
antara lain :
a) Penguasaan atas sistim politik dan ekonomi akan mempengaruhi
bagaimana peradilan pidana dilaksanakan.

15
Reksodiputro, Mardjono, Mata Kuliah Seminar Manajemen Sekuriti (Swakarsa), bahan bacaan wajib perkuliahan,
Program S2 Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, 2013, hlm.52-53.

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 11

b) Definisi tentang kejahatan akan dipengaruhi secara menguntungkan oleh
mereka yang menguasai sistim peradilan.
c) Peranan konflik dalam masyarakat kontemporer perlu dianalisa.

Pemikiran ini didukung pula oleh John Braithwaite, 1986, dalam
karangannya Retributivism, Punishment, and Privilege. Yang menggambarkan
bagaimana peradilan pidana sering tidak adil. Mereka yang seharusnya lebih
banyak /keras dihukum (penjahat kerah putih yang kaya raya yang merugikan
masyarakat berjuta-juta dolar), ternyata dihukum paling sedikit/ringan.
Sebaliknya mereka yang melakukan kejahatan relatif ringan (pencuri, karena
terdesak keperluan ekonomi) mendapat hukuman yang keras/berat.
16

2.3. Keadilan Restoratif
Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. memandang keadilan restorative
(restorative justice) sebagai suatu filosofi pemidanaan. Dan sebagai falsafah ini,
penerapan restorative justice dilakukan dengan membingkainya pada
berbagai kebijakan, gagasan program dan penanganan perkara pidana.
Semuanya ini diharapkan menimbulkan hasil proses yang menciptakan
keadilan bagi pelaku, korban maupun masyarakat dan menjawab berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh sistim peradilan pidana saat ini.
17
Restorative justice umumnya juga didekati dengan pandangan
viktimologi, dalam arti bahwaan dan orang dalam sistim peradilan pidana
(SPP), korban dan orang yang selamat (survivor) sering kali terlupakan atau
terabaikan. Karen aitu di Amerika Serikat dikembangkan pemikiran perlunya
dalam putusan hakim dipertimbangkan victim-impact statement yang
menggambarkan kerugian dan penderitaan yang dialami korban akibat
kejahatan tersebut. Dalam pandangan seperti ini, maka seringsering dikatakan
16
Idem., hlm. 54

17
Reksodiputro, Mardjono, Mata Kuliah Seminar Manajemen Sekuriti (Swakarsa), bahan bacaan wajib
perkuliahan, Program S2 Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, 2013, hlm.55.
Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 12


bahwa restorative justice bertujuan restore the health of the community, repair
the harm done, meet victims needs and require the offender to contribute to
those repairs.
18
(memulihkan kesehatan masyarakat, memperbaiki kerusakan
yang dilakukan, memenuhi kebutuhan korban dan membutuhkan pelaku untuk
berkontribusi kepada perbaikan mereka).
Namun dalam pemikiran John Braithwaite, 2003, Principles of Restorative
Justice, maka keadilan restoratif adalah: about struggling against injustice in
the most restorative way we can manage it targets injustice reduction.. Untuk
itu maka suatu program keadilan restoratif harus melalui a restorative process
test maupun melalui suatu restorative value test.

Restorative value test tersebut terbagi menjadi :
a) Constraining value.
b) Maximizing value.
c) Emergent value.

Siegel mencoba membawa restorative justice dalam konteks teori-teori
konflik sosial sebagai berikut:
1) Crime is fundamentally a violation of people and interpersonal
relationships.
2) Violations create obligations and liabilities.
3) Restorative justice seeks to heal and put right the wrongs.
4) Justice is mindful of the outcomes, intended and unintended,.. the least
restrictive intervention should be used, and overt social control should
be avoided.



18
Idem., hlm. 56
Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 13

Beberapa prinsip yang mendasari program keadilan restoratif yaitu:
1) That the response to crime should repair as much aspossible the harm
suffered by the victim;
Penanganan terhadap tindak pidana harus semaksimal mungkin
membawa pemulihan bagi korban. Prinsip ini merupakan salah satu
tujuan utama manakala pendekatan keadilan restoratif dipakai sebagai
pola pikir yang mendasari suatu upaya penanganan tindak pidana.

2) That offenders should be brought to understand thattheir behaviour is not
acceptable and that it had some real consequences for the victim and
community;
Pendekatan keadilan restoratif dapat dilakukan hanya jika pelaku
menyadari dan mengakui kesalahanya. Dalam proses restoratif,
diharapkan pelaku juga semakin memahami kesalahannya tersebut serta
akibatnya bagi korban dan masyarakat. Kesadaran ini dapat membawa
pelaku untuk bersedia bertanggungjawab secara sukarela.

3) That offenders can and should accept responsibility for their action;
Dalam hal pelaku menyadari kesalahannya, pelaku dituntut untuk rela
bertanggungjawab atas kerusakkan yang timbul akibat tindak pidana
yang dilakukannya tersebut. Ini merupakan tujuan lain yang ditetapkan
dalam pendekatan keadilan restoratif. Tanpa adanya kesadaran atas
kesalahan yang dibuat, maka mustahil dapat membawa pelaku secara
sukarela bertanggung jawab atas tindak pidana yang telah
dilakukannya.

4) That victims should have an opportunity to express their needs and to
participate in determining the best way for the offender to make
reparation.
Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 14

Prinsip ini terkait dengan prinsip pertama, dimana proses penanganan
perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif membuka akses
kepada korban untuk berpartisipasi secara langsung terhadap proses
penyelesaian tindak pidana yang terjadi. Partisipasi korban bukan hanya
dalam rangka menyampaikan tuntutan atas ganti kerugian, karena
sesungguhnya korban juga memiliki posisi penting untuk mempengaruhi
proses yang berjalan termasuk membangkitkan kesadaran pada pelaku
sebagaimana dikemukakan dalam prinsip kedua. Konsep dialog yang
diusung oleh pendekatan ini memberikan suatu tanda akan adanya
kaitan yang saling mempengaruhi antara korban dan pelaku dalam
memilih penyelesaian terbaik sebagai upaya pemulihan hubungan sosial
antara keduanya.

5) That the community has a responsibility to contribute to this process.
Suatu upaya restoratif bukan hanya melibatkan korban dan pelaku,
tetapi juga masyarakat. Masyarakat memiliki tanggung jawab baik
dalam penyelenggaraan proses ini maupun dalam pelaksanaan hasil
kesepakatan, Maka, dalam upaya restoratif, masyarakat dapat berperan
sebagai penyelenggara, pengamat maupun fasilitator. Secara langsung
maupun tidak langsung, masyarakat juga merupakan bagian dari korban
yang harus mendapatkan keuntungan atas hasil proses yang berjalan.


----------------------------------------------------------------------------------------------------




Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 15

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

1) Kehadiran restoratif justice dalam hukum pidana jangan dianggap
sebagai mengabolisi hukum pidana, tetapi sebaiknya harus dilihat
sebagai mengembalikan fungsi hukum pada jalurnya semula, yaitu pada
fungsi ultimum remidium. (konsepnya: kalau tidak ada lagi jalan, maka
tersangka boleh dihukum. Namun hukuman bukan solusi utama).
2) Pendekatan restorative justice dapat dipakai sebagai bingkai dalam
proses penanganan prerkara pidana disemua tahapan sistim peradilan
pidana (SPP) dan terhadap berbagai tindak pidana. Tetapi ditemukan
pula penerapan penyelesaian perkara pidana di luar SPP. Dalam hal ini
beberapa Negara (Papua Nugini, Samoa Barat, Bangladesh dan Peru)
memberikan peluang kepada pengadilan dapat menyelesaikan perkara
pidana, tanpa melibatkan komponen SPP.
3) Di Indonesia, realita di lapangan membuktikan bahwa penyelesaian di
luar SPP ( di luar pengadilan) memang dilakukan, antara lain untuk kasus-
kasus ( ada 21 kasus yang dibahas dalam disertasi Dr. Eva Achjani Zulfa,
S.H., M.H.) misalnya: kecelakaan lalu-lintas, pencurian, pemerkosaan,
penganiayaan, dan pencemaran nama baik. Dalam kasus-kasus temuan
ini penyelesaian konflik dilakukan oleh anggota masyarakat sendiri atau
ada pula dengan melibatkan petugas penegak hukum atau ada pula
oleh lembaga adat.
4) Pendekatan restorative justice sangat mungkin diterapkan di Indonesia,
dalam berbagai jenis tindak pidana yang sifatnya umum, tetapi bukan
merupakan tindak pidana yang sifatnya: pelaku dan korban tidak jelas;
delik politik; mengancam masyarakat secara luas.
Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 16

Daftar pustaka

Reksodiputro, Mardjono, (2013). Mata Kuliah Seminar Manajemen Sekuriti
(Swakarsa), bahan bacaan wajib perkuliahan, Program S2 Magister Kajian Ilmu
Kepolisian, Universitas Indonesia.


-----------------------------------, (2013). Ilmu Kepolisian Indonesia. Bahan bacaan
wajib perkuliahan, Program Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas
Indonesia.

Suparlan, Parsudi, (2004). Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Bab 3:
Ilmu Kepolisian dan Dinamika Masyarakat.


Umar, Bambang Widodo, Perubahan Sosial dan Pembangunan, Program
S2 Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, Jakarta.

Zulfa, Eva Achjani, (2009). Keadilan Restoratif, Jakarta: Badan Penerbit FH
Universitas Indonesia.



Webset-Internet:
http://www.metro.polri.go.id/kemitraan-polri/problem-solving.

http://evacentre.blogspot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html.


http://ratnandoet.wordpress.com/konflik-sosial/.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-
irestorative-justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-.













Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 17


Alhamdulillah.., Selesai.




Keagungan Illahi,,

Terima Kasih, Terima Kasih, Terima Kasih.














Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 18




Do'a Pengantar Tugas
DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

YA ALLAH,
ATAS RAHMAT DAN PETUNJUKMU,PAGI INI KAMI SIAP MELAKSANAKAN TUGAS,BERBAKTI
KEPADA BANGSA DAN NEGARA, SINARILAH HATI KAMI DENGAN NUR PETUNJUK-MU,
SEMOGA TUGAS DAN KEWAJIBAN YANG KAMI EMBAN UNTUK MEMELIHARA KAMTIBMAS,
MENEGAKKAN HUKUM, MEMBERIKAN PERLINDUNGAN, PENGAYOMAN DAN PELAYANAN
KEPADA MASYARAKAT DAPAT BERMANFAAT BAGI KEJAYAAN BANGSA DAN NEGARA.

YA ALLAH
JIWAILAH TEKAD PENGABDIAN KAMI DENGAN KEIMANAN, KESABARAN DAN KEIKHLASAN,
TUNTUNLAH KAMI KE JALAN YANG ENGKAU RIDHAI DAN BIMBINGLAH KAMI UNTUK
MEWUJUDKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT, SINERGITAS KEMITRAAN DAN PELAYANAN
PRIMA KEPOLISIAN.

YA ALLAH YANG MAHA BESAR
DEMI TERWUJUDNYA POSTUR POLRI YANG PROFESIONAL, TRANSAPARAN DAN AKUNTABEL
BERILAH KAMI PETUNJUK DAN HIDAYAHMU, AGAR MAMPU BERSIKAP JUJUR, TERPERCAYA
DAN BERTANGGUNG JAWAB, MENAMPILKAN KETELADANAN,MELAYANI DENGAN
KETULUSAN, MENJADI KONSULTAN DALAM PEMECAHAN MASALAH, MENJAMIN KUALITAS
KINERJA DAN MENJADI ABDI NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN
NEPOTISME.

YA ALLAH YANG MAHA PENGASIH
AMPUNILAH DOSA DAN KEKHILAFAN KAMI SERTA TERIMALAH BAKTI DAN DOA
KAMI,AAMIIN.





















Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 19

Anda mungkin juga menyukai