Anda di halaman 1dari 5

Menuju Kebudayaan Baru itu Meniru Barat

B U D A Y A


Halaman Utama
Tajuk Rencana
Nasional
Ekonomi
Uang & Efek
Jabotabek
Nusantara
Luar Negeri
Olah Raga
Iptek
Hiburan
Feature
Mandiri
Ritel
Hobi
Wisata
Eureka
Kesehatan
Cafe & Resto
Hotel & Resor
Asuransi
Otomotif
Properti
Budaya
CEO
Opini
Foto
Karikatur
Komentar Anda
Tentang SH

Menuju Kebudayaan Baru itu Meniru Barat
Meneropong Thaha Husein dan Sutan Takdir
Alisyahbana

Oleh Aguk Irawan Mn

Di saat gelombang perdebatan Manikebu Vs Lekra bertemu di puncak yang
sangat sengit (1950-1965), Mesir juga mengalami persengketaan yang
meluap dan tak kalah sengitnya. Permasalahannya juga tak jauh berbeda,
yaitu dalam hal dan cita-cita mewujudkan kebudayaan baru persoalan itu
digiring melalui konsepsi bahasa dan sastra Arab. Pelaku perdebatan
adalah para eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi.
Dalam perdebatan tersebut, ada satu nama yang sangat penting. Ia
bernama Thaha Husein (1889-1973), sastrawan tunanetra yang pernah
menjabat sebagai menteri pendidikan di Mesir (1950-1952). Husein lahir
pada tanggal 14 Nopember 1889 di kota kecil Maghargha dari keluarga
petani.
Pendidikannya diawali di Kuttab, lembaga pendidikan dasar tradisional, dan
kemudian melanjutkan di al-Azhar (1902). Setelah belajar kira-kira sepuluh
tahun, ia meninggalkan al-Azhar karena tidak menyukai dan tidak disukai.
Husein kecewa dengan sistem pengajaran al-Azhar yang dogmatis, serta
materi pelajarannya yang amat tradisional dan menjemukan. Husein muda
melanjutkan pendidikannya di Universitas Cairo, dan di Universitas
Sorbonne Prancis. Gelar Doktornya diperoleh di Universitas Cairo dengan
disertasi berjudul Dhikra Abu al-`Ala al-Maari sedang di Sarbonne
berjudul Etude Analitique Et Critique De La Philosophie Sociale Ibnu
Khaldun.
Di Sarbonne, Husein bertemu sederetan ilmuwan ternama, semisal
Profesor Emile Durkheim (1858-1917) dalam disiplin ilmu sosiologi.
Profesor Gustaf Block dalam disiplin ilmu sejarah (ahli sejarah Romawi),
Profesor Casanova dalam ilmu tafsir dan Profesor Pierre Jenet dalam Ilmu
Psikologi. Perkenalan itulah yang mewarnai intelektualitas Husein hingga
menghasilkan gagasan-gagasan yang sangat kontroversial pada
zamannya. Puluhan buku ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian
yang serius di masyarakatnya. Di antara yang populer adalah Fi al-Syiri al-
Jahili, ditulis pada tahun 1926, saat ia dipercaya menjadi dosen sejarah
sastra Arab pada Fakultas Sastra, al-Ayyam, dan Fi al-Adab al-Jahili (1927),
Mustaqbal al-Saqafah fi Misr, dan The Future of Culture in Egypt (1938).

Penyegaran Kembali
Perdebatan diawali saat Thaha Husein mengatakan bahasa dan sastra
Arab harus mengalami modernisasi dan penyegaran kembali. Seperti








file:///D|/Data%20Base/Sastra/Polemik%20Kebudayaan/Menuju%20Kebudayaan%20Baru%20itu%20Meniru%20Barat.htm (1 of 5)4/2/2006 10:47:57 PM
Menuju Kebudayaan Baru itu Meniru Barat
penyair Jerman Friedrich Ruckert, Husein juga mengatakan bahwa sastra
adalah lidah utama umat manusia. Sebab kehadirannya bisa menjadi
wahana bagi perubahan sosial di zaman modern, serta menghubungkan
manusia dengan peradaban di dunia. Ia juga menilai ada sesuatu yang
getir pada sastra Arab, yang tetap mempertahankan sastra Jahili (pra-
Islam) sejak 14 abad tahun silam.
Selain itu, menurutnya, sastra arab digunakan sebagai penyanggah
kekuatan dekadensi bahasa yang justru memperkuat tradisionalisme yang
lebih berbau dogma agama dan menentang pembaruan. Maka kebangkitan
kembali bahasa dan sastra Arab masa pra-Islam, yang bersifat bebas dan
membebaskan adalah sesuatu yang lazim. Bahkan lebih dari itu Husein
mengatakan bahwa al-Quran adalah karya sastra dan hasil produk
peradaban Arab.
Gagasan Husein saat itu dinilai terlalu berani oleh sejumlah ulama al-
Azhar, dan serta- merta ditolak oleh tokoh kebudayaan, semisal
Muhammad al-Khudar Husein, Musthafa Shidiq ar-Rafii, Muhammad Farid
Wajdy, Rasyid Rida, Anwar Jundy dan Maryam Jamelah. Kritik tersebut
setidaknya dapat ditelusuri dalam buku Anwar Jundy, Thaha Husayn,
Hayatuhu wa fikruhu fi Mizan al-Islam dan Maryam Jamelah, Islam and
Modernism atau pada as-Sira bayna al-Fikrah al-Islamiyah wa al-Fikrah al-
Gharbiyah Fial-Aqtar al-Islamiyah karya Abu al-Hasan Ali al-Husni an-
Nadawi.
Namun, Husein tidak sendiri. Penyair terkenal seperti Syauqi Dhaif dan
Suhair Al-Qalamawi muncul sebagai pembelanya dan turut menjadi bintang
gemerlap dalam perbincangan mengenai pembaruan bahasa dan sastra
Arab. Sejak masa itu, muncul mazhab baru bahasa Arab, yang dirasakan
sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial.
Menuju kebudayaan baru di Mesir, menurut Husein, harus memiliki
kemerdekaan intelektual. Untuk mendapatkannya, tidak ada jalan lain
kecuali mengerti cara memperolehnya. Maka umat Islam harus memandang
bagaimana bangsa-bangsa yang telah maju mencapai kemerdekaan
tersebut. Langkah terakhir adalah bagaimana ilmu pengetahuan yang
merdeka tersebut ditransfer ke negeri-negeri Islam. Husein memimpikan
bahwa otak Mesir harus berubah sembilan puluh derajat menjadi otak
Barat, dengan cara memboyong warna kebudayaan Barat ke segala lini
kehidupan masyarakat, sebab Mesir mempunyai pertalian erat dengan
otak Yunani.
Menurutnya, pikiran Mesir tidak mempunyai kaitan yang kuat dengan
Pikiran Timur, dan juga tidak serasi dengan pikiran Persia atau Iran. Mesir
mempunyai ikatan yang teratur, damai dan saling menguntungkan hanya
dengan Barat dan Yunani. Perkataan lain adalah bahwa tak ada satu
kebodohan yang lebih besar dari anggapan bahwa Mesir sebagai bagian
dari Timur dan memandang pemikiran Mesir sebagai pemikiran Timur,
semisal India atau Cina. Atas dasar itulah Thaha Husein mengajak orang-
orang Mesir memiliki peradaban Barat sebagai peradaban mereka, dan
bersekutu dengan Barat dalam semua norma, cara perasaan dan
perundangan.

Polemik Kebudayaan
Di tanah Air hal serupa juga terjadi. Peristiwa itu disebut Polemik
Kebudayaan (1935-1936). Dalam perdebatan itu, ada anak muda yang
resah terhadap negaranya. Ia adalah nama yang penting bagi sejarah
kebudayaan Indonesia, yaitu Sutan Takdir Alisyahbana (1908-1994). Ia lahir
di Minang 11 Februari 1908, dikenal sebagai penyair, novelis, filsuf, ahli
hukum, dan futurolog. Pola pikiran Thaha Husain dan Sutan Takdir memang
file:///D|/Data%20Base/Sastra/Polemik%20Kebudayaan/Menuju%20Kebudayaan%20Baru%20itu%20Meniru%20Barat.htm (2 of 5)4/2/2006 10:47:57 PM
Menuju Kebudayaan Baru itu Meniru Barat
sejalan. Tak ada yang simpang siur dalam hal dan cita-cita mewujudkan
kebudayaan baru.
Latar pendidikan Sutan Takdir adalah sekolah tinggi kehakiman
(Rechtshoge school). Jakarta (1941), gelar meester in de rechten (Mr)
melekat pada namanya, di samping gelar Profesor dan Doktor. Tahun 1948
ia pergi ke Amsterdam mengunjungi Kongres Filsafat. Sebelumnya, ia
sudah belajar filsafat ke Jerman, Belanda, Perancis, AS dan Jepang.
Pernah juga menjadi Felllow pada Center for Advanced Studies in the
behavioral science, Standart (1956-61) dan East-West Center, Hawaii
(1961-62). Tahun 1963-1668 ia menjadi dosen di Kuala Lumpur. Pada
tahun 1972 atas dorongannya Kongres Filsafat sedunia terselenggara.
Sebagai lanjutan dari Kongres tersebut, bersama budayawan se-Indonesia
dan bangsa lain ia mendirikan Association Fort Art Anda the Future, disusul
Kongres II (1990). Ia juga menjadi anggota organisasi internasional, antara
lain Societe de Linguistique de Paris dan UNESCO, International
Commision for the Scientific dan Cultural Development of Mankind and
Study of Mankind, USA. Di tahun 1970 ia menerima bintang Satyalencana
Kebudayaan oleh Pemerintah Jerman Pada 1976, kemudian ia diangkat
sebagai anggota kehormatan dari Koninklijk Instituut voor Tall, Landa en
Volkenkunde, Leiden, Belanda.
Puluhan buku juga berhasil ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian
yang serius di masyarakatnya. Yang paling populer adalah roman ide
berbentuk novel Layar Terkembang (1936) yang bercerita tentang
emasipasi wanita. Disusul Grotta Azzura (1979), Kalah dan Menang (1978)
yang berbicara masalah filsafat kebudayaan.

Penyegaran Bahasa dan Sastra
Sebagaimana polemik di Mesir, bagi Sutan Takdir, untuk menuju
masyarakat dan kebudayaan baru, harus dimulai dari penyegaran bahasa
dan sastra. Dalam pidatonya yang sangat berani Sutan telah mengecam
bahwa nyaris tak ada perkembangan bahasa Indonesiabahkan
perkembangannya malah menuju pengeromoan, yang dipegang kaum
tradisionalis dan antipembaruan. Ironisnya, keadaan itu justru didukung
Lembaga Bahasa Pemerintah saat itu.
Menurutnya bahasa dan sastra adalah jantung kebudayaan sebab terlibat
dan menyatu dalam dinamika masyarakat. Maka sebagai reaksi yang nyata,
Sutan menampik bentuk sastra lama, jenis pantun dan syair. Kita buang
dan lupakan saja sastra lama dan kita bangun sastra yang baru begitulah
jargon yang selalu melekat di bibirnya. Berani memang!
Sebagai wujud dari kata-kata itu, ia bergegas membentuk sastra baru, yaitu
sastra soneta (1933), dan menerbitkan sekaligus memimpin Pujangga Baru,
majalah Indonesia pertama untuk bidang sastra dan budaya. Ia pun
menerbitkan buku Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Pada waktu terjadi
polemik kebudayaan, Sutan baru berusia 27 tahun. Lewat tulisannya
Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, ia membagi sejarah kita
menjadi dua bagian yang sentral, pertama zaman pra-Indonesia sampai
akhir abad ke-19, kedua zaman Indonesia.
Menurutnya, zaman Indonesia tidak boleh dianggap sebagai sambungan
dari zaman pra-Indonesia yang dikecamnya sebagai zaman jahiliyah
Indonesia. Sebab, di sana ada perbedaan yang terlalu jauh. Pada zaman
Indonesia, terdapat semangat yang belum ada dalam zaman Jahiliyah
Indonesia, yaitu semangat bersatu untuk menuju kebudayaan baru dan
layak di sisi bangsa-bangsa lain. Sedang zaman pra-Indonesia adalah
zaman yang mirip suku baduwi di Arab yang tak mengenal peradaban dan
kebudayaan, ditandai dengan penolakan kebudayaan luar.
file:///D|/Data%20Base/Sastra/Polemik%20Kebudayaan/Menuju%20Kebudayaan%20Baru%20itu%20Meniru%20Barat.htm (3 of 5)4/2/2006 10:47:57 PM
Menuju Kebudayaan Baru itu Meniru Barat
Maka dari sinilah, Sutan menghendaki bangsa Indonesia harus lebih
dinamis dan maju setapak. Lalu ia memberikan solusi, menawarkan obat
yang mujarab bagi penyembuhan luka atas dekadensi zaman jahiliyah
Indonesia yang berlangsung lama. Obat pilihan itu adalah memperkenalkan
kebudayaan Barat melalui segala lini institusi masyarakat dan pendidikan.
Mirip yang terjadi pada Thaha Husein di Mesir, Sutan Takdir juga
berpolemik dipicu dari pembentukan kebudayaan baru, dengan mengusung
nilai-nilai Barat, sebagai lawan dari kebudayaan Timur yang dianggapnya
jumud.
Tapi gagasan ini memang tak diterima semua kalangan. Bahkan ada yang
sangat tersinggung. Mereka mengira bahwa Sutan telah mengejeknya
sedemikian rupa budaya Timur yang luhur dan santun. Memang Sutan telah
menuding bahwa kaum pesantren yang feodal dan Taman Siswa yang
egoistis dan materialistis tak mampu membawa napas budaya bangsa yang
terpuruk yang hampir ajal.
Maka polemik meledak di Pujangga Baru, surat kabar Suara Umum,
Pewarta Deli dan lain-lain. Sutan terjun dengan mata yang menyala dan
menyerang tokoh kebudayaan dan pendidikan saat itu. Seperti Sanusi
Pane, Poerba Tjaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir,
dan Ki Hajar Dewantara. Sejak saat itu polemik pun terus dimulai, hingga
menyeret dialog berbagai tema penting dalam rangka pembangunan
kebudayaan Indonesia baru masa depan ke kancah politik praktis. Saat
itu Sutan memang menyerukan untuk membangun integritas individu
pencipta budaya, dengan landasan kebebasan kreatif yang demokratis,
disertai wawasan internasional. Namun lagi-lagi gagasan itu diadang
kelompok yang dipimpin Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara. Sutan
dianggap telah bersekongkol dengan para kolonial Belanda. Sementara itu,
tokoh seperti Ki Hajar Dewantara justru ingin menguburkan sisa-sisa
kebudayaan kolonial. Selain itu yang ditakutkan oleh Ki Hajar adalah
rendahnya tingkat pendidikan rakyat Indonesia. Barangkali inilah yang tidak
diperhatikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dengan sikap ekstremnya untuk
menoleh ke Barat dalam polemik kebudayaan 1930-an.
Mereka yang menentang Sutan Takdir tidak mengingkari pencapaian-
pencapaian kebudayaan Barat. Mereka pun hasil dari pendidikan modern
Barat. Yang mereka permasalahkan adalah landasan kebudayaan
Indonesia sendiri yang harus kokoh, sehingga siap berdialog dengan
budaya Barat. Sebab kalau tidak, melihat ke Barat dari Sutan Takdir akan
menjadi sebuah pengabdian.
Tapi kini, kolonial sudah lama hengkang, dan di saat Mesir sudah mulai
merasakan sumbangan Thaha Husein. Jepun, India, Taiwan, Korea
Selatan, Eropa Timur dan Russia telah melalui proses pencerahan, berkat
kesadaran mereka terhadap kebudayaan Barat yang ditandai dengan
meningkatnya ilmu pengetahuan. Lantas kebudayan baru dan progresif
macam apa yang seharusnya lahir dan berkembang yang bisa
mendorong lahirnya sebuah masyarakat yang demokratis, egaliter, sebagai
prasyarat dasar dari seluruh proses penyelesaian setiap krisis, di Indonesia
yang terkapar? Barangkali Impian Sutan memang patut diperhitungkan
dalam kondisi dewasa ini.

Penulis adalah Peneliti Kebudayaan pada LkiS Yogyakarta, dikenal sebagai
sastrawan, penyair dan esais.


Copyright Sinar Harapan 2003

file:///D|/Data%20Base/Sastra/Polemik%20Kebudayaan/Menuju%20Kebudayaan%20Baru%20itu%20Meniru%20Barat.htm (4 of 5)4/2/2006 10:47:57 PM
Menuju Kebudayaan Baru itu Meniru Barat

file:///D|/Data%20Base/Sastra/Polemik%20Kebudayaan/Menuju%20Kebudayaan%20Baru%20itu%20Meniru%20Barat.htm (5 of 5)4/2/2006 10:47:57 PM

Anda mungkin juga menyukai