Anda di halaman 1dari 21

1

ANEMIA DEFESIENSI BESI



1. DEFINISI
Anemia defisiensi besi ialah anemia yang secara primer disebabkan oleh kekurangan zat
besi dengan gambaran darah yang beralih secara progresif dari normositer normokrom
menjadi mikrositik hipokrom dan memberi respon terhadap pengobatan dengan senyawa
besi (WHO).
1

Anemia adalah keadaan kadar hemoglobin atau hematokrit kurang dari batas normal sesuai
usia (bayi dan anak) atau jenis kelamin (dewasa). Akibatnya, berkurangnya kemampuan
menghantarkan oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh yang optimal.
2,3

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya
cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb)
berkurang.
4,5

2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia sekolah dan
anak pra remaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5
%, anak pra remaja 2,6 % dan remaja 26 %. Di Amerika Serikat sekitar 6 % anak berusia 1-2
tahun diketahui kekurangan besi, lebih kurang 9% remaja wanita kekurangan besi, sedangkan
pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat pubertas.

Prevalensi ADB
lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit putih. Keadaan ini mungkin berhubungan
dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam yang lebih rendah.
1,5

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia prevalensi ADB pada
anak balita sekitar 25-35 %. Dari hasil SKRT tahun 1992 prevalensi ADB pada anak balita
di indonesia adalah 55,5 %. Pada tahun 2002 prevalensi anemia pada usia 4-5 bulan di Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan bahwa 37% bayi memiliki kadar Hb di
bawah 10 gr/dl, sedangkan untuk kadar Hb di bawah 11 gr/dl mencapai angka 71 %. RSU.
Fatmawati Jakarta tercatat selama kurun waktu 2001-2003 sekitar 2 juta ibu hamil menderita
anemia gizi dan 8,1 juta anak menderita anemia. Selain itu data menunjukkan bahwa bayi
dari ibu anemia dengan berat bayi normal memiliki kecenderungan hampir dua kali lipat
2

menjadi anemia dibandingkan bayi dengan berat lahir normal dari ibu yang tidak menderita
anemia. Berdasarkan data prevalensi anemia defisiensi gizi pada ibu hamil di 27 provinsi di
Indonesia tahun 1992, Sumatera Barat memiliki prevalensi terbesar (82,6 %) dibandingkan
propinsi lain di Indonnesia.
2,3,5,6

3. ETIOLOGI
Pada bayi dan anak anemia defisiensi besi disebabkan oleh faktor nutrisi, dimana asupan
makanan yang mengandung besi heme kurang, seperti daging sapi, ayam, ikan, telur sebagai
protein hewani yang mudah diserap. Kurangnya asupan besi non heme seperti sereal,
gandum, jagung, kentang, ubi jalar, talas, beras merah, beras putih, kismis, tahu, sayuran,
kacang-kacangan, buah-buahan (kurma, apel, jambu, alpukat, nangka, salak). Selain itu anak
terkadang sering mengkonsumsi makanan yang menghambat absorpsi besi seperti polifenol,
kalsium dan protein kedelai.
7,16

Penyebab utama anemia defisiensi pada anak di negara berkembang merupakan
infeksi cacing. Setiap cacing dapat mengakibatkan perdarahan kronis dan dapat
menyebabkan anemia defisiensi besi. Infestasi cacing tambang dapat mengisap darah
sebanyak 0,03 ml/hari/ekor (Necator americanus) dan 0,15 ml/hari /ekor (Ancilostonum
duodenaltinale). Jumlah kehilangan darah pada gangguan ringan diperkirakan kurang lebih
2-3 ml/hari, sedangkan pada gangguan berat dapat sampai 100 ml/hari.
3,8

Pemakaian obat-obatan yang dapat mengganggu agregasi trombosit, misalnya aspirin
dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal yang akan berakhir menjadi anemia
defisiensi besi. Penyebab lain perdarahan gastrointestinal dan malaria terutama di daerah
endemik. Pada masa pubertas terutama perempuan perdarahan karena haid yang berlebihan
(>80 ml/hari) dapat juga menyebabkan anemia defisiensi besi.
3,6

Beberapa keadaan yang mengakibatkan gangguan fungsi maupun perubahan anatomi
saluran pencernaan menyebabkan malabsorbsi besi seperti malnutrisi energi protein, infeksi
usus, pasca bedah usus.
6,8

Pertumbuhan yang sangat cepat disertai dengan penambahan volume darah yang
banyak akan meningkatkan kebutuhan akan besi. Pada akhir tahun pertama berat badan anak
mencapai 3 kali berat badan lahir. Pertumbuhan yang pesat dijumpai juga pada bayi lahir
prematur dan pada masa pubertas.
9,10

3

Berdasarkan keterangan di atas, anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh
rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan
menahun.
1,3,7


4. PATOFISIOLOGI

a. Pembentukan Hemoglobin
Sel darah merah manusia dibuat dalam sumsum tulang. Dalam keadaan normal, sumsum
tulang memproduksi 500 x109 sel dalam 24 jam. Hb merupakan unsur terpenting dalam
plasma eritrosit. Molekul Hb terdiri dari globin, protoporfirin dan besi (Fe). Globin dibentuk
sekitar ribosom sedangkan protoporfirin dibentuk sekitar mitokondria. Besi didapat dari
transferin.
10,11

Dalam keadaan normal 20% dari sel sumsum tulang yang berinti adalah sel berinti
pembentuk eritrosit. Sel berinti pembentuk eritrosit ini biasanya tampak berkelompok-
kelompok dan biasanya tidak masuk ke dalam sinusoid.
10

Pada permulaan sel eritrosit berinti terdapat reseptor transferin. Gangguan dalam
pengikatan besi untuk membentuk Hb akan mengakibatkan terbentuknya eritrosit dengan
sitoplasma yang kecil (mikrositer) dan kurang mengandung Hb di dalamnya (hipokrom).
3,10

Tidak berhasilnya sitoplasma sel eritrosit berinti mengikat Fe untuk pembentukan Hb
dapat disebabkan oleh rendahnya kadar Fe dalam darah. Hal ini dapat disebabkan oleh :

kurang gizi,

gangguan absorbsi Fe (terutama dalam lambung),


kebutuhan besi yang meningkat akan besi (kehamilan, perdarahan dan dalam masa
pertumbuhan anak). Sehingga menyebabkan rendahnya kadar transferin dalam darah.

Hal ini dapat dimengerti karena sel eritrosit berinti maupun retikulosit hanya memiliki
reseptor transferin bukan reseptor Fe.
10,11

b. Metabolisme Besi
Pengangkutan besi dari rongga usus hingga menjadi transferin merupakan suatu ikatan besi
dan protein di dalam darah yang terjadi dalam beberapa tingkatan. Besi dalam makanan
4

terikat pada molekul lain yang lebih besar di dalam lambung besi akan dibebaskan menjadi
ion feri oleh pengaruh asam lambung (HCl). Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi
ion fero oleh pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh sel mukosa
usus, sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan sebagian lagi masuk ke
peredaran darah yang berikatan dengan protein, disebut transferin. Selanjutnya transferin ini
dipergunakan untuk sintesis hemoglobin.
11,12

Sebagian dari transferin yang tidak terpakai akan disimpan sebagai labile iron pool.
Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri, terutama bila makan mengandung
vitamin atau fruktosa yang akan membentuk suatu kompleks besi yang larut, sedangkan
fosfat, oksalat dan fitat menghambat absorpsi besi.
3,12

Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada pemecahan
hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron pool dan akan
dipergunakan lagi untuk sintesis hemoglobin. Jadi di dalam tubuh yang normal kebutuhan
akan besi sangat sedikit. Kehilangan besi melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang
terkelupas dan karena perdarahan sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian besi yang
berlebihan dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis.
10,11,12


Absorbsi Besi Untuk Pembentukan Hemoglobin
Proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi
heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi
non heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi
dalam makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain) karena
pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero
(Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.

Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal.
Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali. Besi
5

heme dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush
border dari sel absorptif (teletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi feri
direduksi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase (Gambar 2.2), mungkin dimediasi oleh
protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh
divalent metal transporter (DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian
disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam
kapiler usus. Pada proses ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase
(antara lain oleh hephaestin). Kemudian besi bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam
kapiler usus.
Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin
membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa
dibantu oleh DMT 1. Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke
dalam lumen usus.

Gambar 1. Absorbsi Besi di Usus Halus
6

Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral
diatur oleh set point yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar kripta (Gambar 1).
Kemudian pada saat pematangan, enterosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap menjadi
sel absorptif. Adapun mekanisme regulasi set-point dari absorbsi besi ada tiga yaitu,
regulator dietetik, regulator simpanan, dan regulator eritropoetik.

Gambar 2. Regulasi Absorbsi Besi

Fase Korporeal
Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus. Kemudian
dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul transferin dapat
mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-Tf) akan
berikatan dengan reseptor transferin (transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada
permukaan sel, terutama sel normoblas (Gambar 2).
7

Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh
klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk
endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom sehingga terjadi pelepasan
besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan
DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke
permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.

Gambar 3. Siklus Transferin
Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin dan
sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan protoporfirin untuk pembentukan
heme. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh 4
gugusan metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam posisi ordinal
fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase ferrocelatase.
Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu kompleks persenyawaan protoporfirin yang
mengandung satu atom besi fero ditengahnya.



8

Kebutuhan rata-rata zat besi per hari :
13

- 0-6 bulan 3 mg
- 7-12 bulan 5mg
- 1-3 tahun 8 mg
- 4-6 tahun 9 mg
- 7-9 tahun 10 mg
- 10-12 tahun: pria: 14 mg, wanita : 14 mg
- 13-15 tahun: pria: 17 mg, wanita: 19 mg
- 16-19 tahun: pria: 23 mg, wanita: 25 mg
- hamil : + 20 mg
- menyusui : 0-12 bulan + 2 mg
Jumlah zat besi pada bayi kira-kira 400mg yang terbagi sebagai berikut :
12

- massa eritrosit 60%
- feritin dan hemosiderin 30%
- mioglobin 5-10%
- hemenzim 1%
- besi plasma 0,1%
Pengeluaran besi dari tubuh yang normal adalah :
- bayi 0,3-0,4 mg/hari
- anak 4-12 tahun 0,4-1mg/ hari
- wanita hamil 2,7 mg/hari
9

Kebutuhan besi dari bayi dan anak jauh lebih besar dari pengeluarannya, karena besi
dipergunakan untuk pertumbuhan.
12

c. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi terus berkurang. tahap defisiensi besi, yaitu:
1,3,10

1) Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya
cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya
masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum
menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.
2) Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limitederythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan
saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat
dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.
3) Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang
menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari
gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini
telah terjadi perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi besi yang lebih lanjut.


10

Tabel 1. Tahapan kekurangan besi
1

Hemoglobin Tahap I
(Normal)
Tahap II
(sedikit menurun)
Tahap III
(menurun jelas)
Mikrositik
hipokrom
Cadangan besi (mg) <100 0 0
Fe serum (ug/dl) Normal <60 <40
TIBC (ug/dl) 360-390 >390 >410
Saturasi transferin
(%)
20-30 <15 <10
Feritin serum
(ug/dl)
<20 <12 <12
Sideroblas (%) 40-60 <10 <10
FEP (ug/dl
eritrosit)
>30 >100 >200
MCV Normal Normal Menurun

5. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh penderita dan
keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakkan hanya dari temuan laboratorium
saja. Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dl
terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar
Hb turun berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik. Namun kadang-
kadang pada kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi, sehingga beratnya gejala ADB
11

sering tidak sesuai dengan kadar Hb.
1,3,9
Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi
akibat kekurangan besi seperti:
3,8,14,15

a. Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan gejala koilonikia (bentuk kuku konkaf atau
spoon-shaped nail), atrofi papila lidah, postcricoid oesophageal webs dan perubahan mukosa
lambung dan usus halus.
b. Intoleransi terhadap latihan: penurunan aktivitas kerja dan daya tahan tubuh
c. Termogenesis yang tidak normal: terjadi ketidakmampuan untuk mempertahankan
suhu tubuh normal pada saat udara dingin
d. Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, hal ini terjadi karena fungsi leukosit
yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrofil mempunyai kemampuan untuk
fagositosis tetapi kemampuan untuk membunuh E.coli dan S aureus menurun.
e. Gejala iritabel berupa berkurangnya nafsu makan dan berkurangnya perhatian terhadap
sekitar tapi gejala ini dapat hilang setelah diberi pengobatan zat besi beberapa hari.
f. Pada beberapa pasien menunjukkan perilaku yang aneh berupa pika yaitu gemar makan
atau mengunyah benda tertentu karena rasa kurang nyaman di mulut yang disebabkan
enzim sitokrom oksidase yang mengandung besi berkurang.

6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium yang
meliputipemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, leukosit, trombosit ditambah pemeriksaan
indeks entrosit, retikulosit, morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC,
saturasi transferin, FEP, feritin), dan apus sumsum tulang.
1,8

Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb dan atau PCV merupakan hal
pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis
ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH dan MCHC menurun sejajar dengan penurunan
kadar Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya
meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokromik, mikrositik,
anisositosis dan poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit, mikrosit dan sel
fragmen).
1,3,4

12

Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung lama dapat terjadi
granulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan infestasi cacing sering ditemukan eosinofilia. Jumlah
trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal. Trombositosis hanya terjadi pada penderita
dengan perdarahan yang masif. Kejadian trombositopenia dihubungkan dengan anemia yang
sangat berat. Namun demikian kejadian trombositosis dan trombositopenia pada bayi dan
anak hampir sama, yaitu trombositosis sekitar 35% dan trombositopenia 28%.
4,8

Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun dan TIBC
meningkat. Pemeriksan Fe serum untuk menentukan jumlah besi yang terikat pada
transferin, sedangkan TIBC untuk mengetahui jumlah transferin yang berada dalam sirkulasi
darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC (saturasi transferin) yang dapat diperoleh dengan
cara menghitung Fe serum/TIBC x 100%, merupakan suatu nilai yang menggambarkan suplai
besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi
antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh. Bila saturasi transferin (ST) < 7% dapat dipakai
untuk mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan
lainnya.
1,4,8

Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang
dapatdiketahui dengan memeriksa kadar Free Erythrocyte Protoporphyrin (FEP). Pada
pembentukan eritrosit akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk heme.
Bila penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya penumpukan porfirin didalam
sel. Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit menunjukkan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi adanya ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST yang menurun merupakan
tanda ADB yang progresif. Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar
feritin serum. Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan gambaran yang khas
ADB yaitu hiperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya hemosiderin. Untuk mengetahui
ada atau tidaknya besi dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian blue.
1,8




13

7. DIAGNOSIS
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak
khas. Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB:
1,3,,8

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO :
a. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia.
b. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31%
c. Kadar Fe serum < 50
d. Saturasi transferin (ST) < 15%

Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:
a. Anemia hipokrom mikrositik
b. Saturasi transferin <16%
c. Nilai FEP >100 ug/dl
d. Kadar feritin serum < 12
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, Feritin serum, FEP) harus
dipenuhi.
Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui:
a. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar
MCV,MCH, dan MCHC yang menurun.
b. FEP meningkat
c. Feritin serum menurun
d. Fe serum menurun, TIBC meningkat,ST <16%
e. Respon terhadap pemberian preparat besi
Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian preparat besi. Kadar
Hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 gr/dl perhari atau PCV meningkat 1% perhari
f. Sum-sum tulang
14

Tertundanya maturasi sitoplasma. Pada pewarnaan sum-sum tulang tidak ditemukan besi atau
besi berkurang
Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat
besi.Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat
responshemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Prosedur ini sangat mudah, praktis,
sensitif dan ekonomis terutama pada anak yang berisiko tinggi menderita ADB. Bila
dengan pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan
kadar Hb 1-2 g/dl maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.
1,3,8


8. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran anemia hipokrom
makrositik lain (Tabel 2). Keadaan yang sering memberi gambaran klinis dan laboratorium hampir sama
dengan ADB adalah talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis. Sedangkan lainnya
adalah lead poisoning/ keracunan timbal dan anemia sideroblastik. Untuk membedakannya
diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium.
1,5

Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu cara
sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat jumlah sel darah
merah yang meningkat meski sudah anemia ringan dan mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah sel
darah merah menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat
memperoleh dengan cara membagi nilai MCV dengan jumlah eritrosit, bila nilainya
menunjukkan talasemia minor sedangkan bila > 13 merupakan ADB. Pada talasemia
minor didapatkan basophilic stippling, peningkatan kadar bilirubin plasma dan peningkatan
kadar HbA2.
1,3,9

Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis biasanya normokrom
mikrositik, tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mikrositik. Terjadinya anemia pada penyakit kronis
disebabkan terganggunya mobilisasi besi dan makrofag oleh transferin. Kadar Fe serum dan TIBC
menurun meskipun cadangan besi normal atau meningkat sehingga nilai saturasi transferin noral
atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat. Pemeriksaan kadar reseptor transferin receptor (TfR)
15

sangat berguna dalam membedakan ADB dengan anemia karena penyakit kronis. Pada anemia karena
penyakit kronis kadar TfR normal karena pada inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan
pada ADB kadarnya menurun. Peningkatan rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi ADB.
1,9


Table 2: Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan ADB
Pemeriksaan
Laboratorium
Anemia
defisiensiBesi
Thalasemia
Minor
Anemia
PenyakitKronis
MCV

N/
Fe serum

N

TIBC

N

Saturasi transferin

N

FEP

N

Feritin serum

N


Lead poisoning memberikan gambaran darah tepi yang serupa dengan ADB
tetapididapatkan basophilic stippling kasar yang sangat jelas. Pada keduanya kadar FEP
meningkat.Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa kadar lead dalam darah. Anemia
sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis heme, bisa didapat atau
herediter. Pada keadaan ini didapatkan gambaran hipokrom mikrositik dengan peningkatan
kadar RDW yang disebabkan populasi sel darah merah yang dimorfik. Kadar Fe serum dan ST
biasanya meningkat, pada pemeriksaan apus sumsum tulang didapatkan sel darah merah
berinti yang mengandung granula besi (agregat besi dalam mitokondria) yang disebut ringed
sideroblast. Anemia ini umumnya terjadi pada dewasa.
1,5,9


16

9. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta
memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab ADB
dapatdiketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat
Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan
sama efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan.
Pada penderita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak
dapat terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan.
1,3,8,9


a. Pemberian preparat besi
Pemberian preparat besi peroral
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat yang
tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang sering dipakai adalah ferous sulfat
karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat dan ferous suksinat diabsorpsi
sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop).
1,3

Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg besi/ kgBB/hari.
Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi yang ada dalam garam ferous. Garam ferous
sulfat mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek
samping pada saluran pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat.
Absorpsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan
tetapi dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut
pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun akan
mengurangi absorpsi obat sekitar 40-50%. Obat diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Tindakan
tersebut lebih penting karena dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan kepatuhan
penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita
teratasi. Respons terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan
dari pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada tabel di bawah ini.
1,8,9





17

Preparat terapi besi per oral :
3

- Fe sulfat (20 % Fe)
- Fe fumarat (33 % Fe)
- Fe succinate (12 % Fe)
- Fe gluconate (12 % Fe)

Respons terhadap pemberian besi pada ADB
Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada orang dewasa
dibandingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang bersifat sementara dapat dihindari
denganmeletakkan larutan tersebut ke bagian belakang lidah dengan cara tetesan.
1,8

Tabel 3: Respons pemberian besi
Waktu setelah Pemberian besi Respons
12-24 jam Penggantian enzim besi intraselular,
keluhan subjektif berkurang, nafsu
makan bertambah
36-48 jam Respons awal dari sumsum tulang
hiperplasia eritroid
48-72 jam Retikulosis, puncaknya pada hari ke 5-7


b. Pemberian preparat besi parenteral
Pemberian besi secara intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal.
Dapatmenyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan
kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat yang sering dipakai adalah dekstran
besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan:
1,8

Dosis besi (mg) BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5

Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan
anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respons terapi.
Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah akan membahayakan
18

karena dapat menyebabkan hipervolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan
secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman
sambil menunggu respon terapi besi. Jika terdapat gagal jantung yang nyata
dapat dipertimbangkan pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang segar.
1,8,9


10. PROGNOSIS
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan
diketahuipenyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia
danmanifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa
kemungkinan sebagai berikut:
1,3,8

a. Diagnosis salah
b. Dosis obat tidak adekuat
c. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
d. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung menetap
e. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti: infeksi,
keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena
defisiensi vitamin B12, asam folat)
f. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada
ulkuspeptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi)

11. PENCEGAHAN
Pencegahan merupakan tujuan utama dalam penanganan masalah anemia defisiensi besi,
untuk itu diperlukan pendidikan tentang pemberian makanan dan suplementasi besi.
3,8

a. Makanan
Pemberian ASI minimal 6 bulan.
Hindari minum susu sapi yang berlebih.
Tambahan makanan/bahan yang meningkatkan absorpsi besi (buah-buahan, daging,
unggas)
Hindari peningkatan berat badan yang berlebihan.
Pemberian Fe dalam makanan (iron Fortified Infant Cereal)
19

b. Suplementasi besi
Kebutuhan perhari untuk bayi hingga 1 tahun 2 mg Fe/kgBB.
Bayi prematur membutuhkan Fe dua kali lebih banyak (4mg Fe/kgBB)
Suplementasi besi juga dibutuhkan pada bayi yang minum ASI lebih dari 6 bulan.
Untuk menurunkan frekuensi ADB di Indonesia pemerintah memberikan
suplementasi zat besi sebanyak 60 mg besi elemental tiap minggu selama 16 minggu
dalam setahun kepada anak sekolah, buruh pabrik dan ibu-ibu hamil.
Penyuluhan mengenai perbaikan gizi terutama mengenai pentingnya makanan yang
banyak mengandung zat besi untuk pertumbuhan dan peningkatan prestasi belajar
pada anak remaja.
Iron fortified milk mengandung 11-12 mg Fe perliter dan yang diserap tubuh hanya
4% (0,48 mg Fe). ASI mengandung 0,3 mg Fe/liter dan yang dapat diserap tubuh sebanyak
50% (0,15mg Fe). Unfortified milk mengandung 0,8 mg Fe/liter dan yang diserap tubuh
sebanyak 10% (0,08 mgFe).
3


















20

KESIMPULAN

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi yang
diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita
anemia, dan lebih dari setengahnya merupakan anemia defisiensi besi.
Anemia defisiensi besi pada anak akan memberikan dampak yang negatif terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak, antara lain dapat menurunkan sistem kekebalan
tubuh sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Defisiensi besi juga dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan organ tubuh akibat oksigenasi ke jaringan
berkurang. Dan yang paling penting adalah bila defisiensi besi ini sudah berlangsung lama,
akan menurunkan daya konsentrasi dan prestasi belajar pada anak.
Penyebab utama anemia defisiensi besi adalah konsumsi zat besi yang tidak cukup
dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari nasi dan
menu yang kurang beraneka ragam. Selain itu infestasi cacing tambang memperberat
keadaan anemia yang diderita pada daerahdaerah tertentu terutama daerah pedesaan
menyatakan bahwa anemia defisiensi besi juga dipengaruhi oleh faktorfaktor lain seperti
sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan,
daya tahan tubuh dan infeksi. Faktor- faktor tersebut saling berkaitan
Anemia ini juga merupakan kelainan hematologi yang paling sering tcrjadi pada bayi
dan anak. Pencegahan dapat dilakukan melalui asupan makanan dan suplementasi zat
besi.Anemia defisiensi besi hampir selalu terjadi sekunder terhadap penyakit yang
mendasarinya, sehingga koreksi terhadap penyakit dasarnya menjadi bagian penting dari
pengobatan.








21

DAFTAR PUSTAKA

1. Raspati H, Reniarti L, dkk. 2006. Anemia defisiensi besi. Buku Ajar Hematologi
Onkologi Anak. Cetakan ke-2 IDAI pp 30-42. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
2. Syamsi, BR. 2007. Hubungan defisiensi besi dengan perkembangan fungsi kognitif.
Yogyakarta: MEDIKA Fakultas kedokteran UGM.
3. Soegijanto,S. 2006. Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Jakarta :IDI
4. Behrman Kliegman, Arvin. 2006. Anemia Defisiensi Besi. Nelsons Textbook of
Pediatrics. Edisi 18 pp 1691-1694. Jakarta. EGC.
5. Soemantri,AG. 2007. Epidemiology of iron deficiency anemia. Yogyakarta: Medika
Fakultas Kedokteran UGM
6. Dwiprahasto,I. 2008. Terapi anemia defisiensi besi berbasis bukti. Yogyakarta.
Medika Fakultas Kedokteran UGM
7. Abdussalam,M. 2006. Diagnosis, pengobatan pencegahan anemia defisiensi besi
pada bayi dan anak. Yogyakarta: MEDIKA Fakultas Kedokteran UGM
8. Wahyuni AS. 2007. Anemia Defisiensi Besi Pada Balita.
9. Reksodiputro, H. 2010. Mekanisme anemia defisiensi besi.
10. Negara, NS. 2007. Bioavailibilitas zat besi. Yogyakarta: MEDIKA Fakultas
Kedokteran UGM
11. Hasan, Alatas. 2009. Anemia defisiensi besi. Ilmu kesehatan anak jilid 1. Jakarta.
Penerbit: Bagian Ilmu kesehatan anak FKUI.
12. Almatsies, S. 2007. Penuntun diet. Jakarta.Penerbit: PT.Gramedia Pustaka Utama.
13. Ursula, PR. 2007. Neurodevelopment and cognitives in children with iron deficiency
anemia. Yogyakarta: MEDIKA Fakultas Kedokteran UGM
14. Riswan M. 2008. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil di Beberapa
Praktek Bidan Swasta Dalam Kotamadya Medan.
15. Ridwan,A. 2007. Anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil di Indonesia.
16. Andrews, N.C. 2008. Understanding Heme Transport. N Engl J Med; 23: 2508-9.

Anda mungkin juga menyukai