Mas Achmad Daniri* dan Angela Indirawati Simatupang**
Istilah laporan keuangan tentunya sudah tidak asing lagi. Lalu kenapa perlu dibahas? Bukankah angka-angka hanya merupakan urusan bagian akuntansi atau keuangan? Laporan keuangan merupakan keluaran dari proses pelaporan keuangan. Sehingga jika terjadi kesalahan pada input yang digunakan untuk proses, ataupun kegagalan pemrosesan, maka bisa terjadi salah saji dalam laporan keuangan. Laporan keuangan lebih dari sekedar angka, karena seharusnya mencakup informasi yang menyangkut posisi keuangan dan kinerja perusahaan, yang berguna untuk pengambilan keputusan ekonomi. Misalnya, investor menggunakannya sebagai basis untuk melakukan pembelian atau penjualan saham suatu perusahaan, serta untuk mengukur kinerja perusahaan, tingkat pengembalian investasi serta dividen yang akan diterima; pemerintah menggunakannya untuk penetapan pajak serta keperluan statistik; dan kreditur menggunakannya untuk menilai kelayakan pemberian pinjaman dan kesanggupan mengembalikan pinjaman. Ketika ada salah saji material dalam laporan keuangan, maka informasi tersebut menjadi tidak valid untuk dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan karena analisa yang dilakukan tidak berdasarkan informasi yang sebenarnya.
Salah saji dalam laporan keuangan bisa disebabkan oleh kesalahan yang tidak tidak tidak tidak disengaja (error), serta yang disengaja (fraud). Penyajian informasi yang tidak benar atau penghilangan informasi, baik saldo maupun catatan, yang dilakukan dengan sengaja, dan ditujukan untuk mengelabui pengguna laporan keuangan termasuk kategori fraud.
Fraud yang terkait dengan pelaporan keuangan bisa diklasifikasikan sebagai: (i) Kesengajaan salah saji asset perusahaan (missapropiation of asset), misalnya penggelapan uang yang diterima, pencurian asset perusahaan, atau pembayaran untuk pembelian fiktif; serta (ii) Kesengajaan salah saji dengan melakukan kecurangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting), yang umumnya melibatkan manipulasi, pemalsuan, atau perubahan pada catatan akuntansi maupun dokumen pendukung yang menjadi basis penyusunan laporan keuangan; penghilangan atau salah penyajian yang disengaja tentang kejadian, transaksi, maupun informasi penting lain yang disajikan pada laporan keuangan; serta salah penerapan prinsip akuntansi yang disengaja terkait dengan saldo, klasifikasi, bentuk penyajian, maupun pengungkapan. Memang tidak mudah untuk mendeteksi kecurangan, namun ada indikator yang dapat digunakan sebagai dasar perhatian untuk penelaahan lebih lanjut. 2/3 Potensi Kecurangan Pelaporan Keuangan Peningkatanlabayang luar biasa setiap tahunnyasecaraterus menerus. Jikaini merupakan sebuahkeharusan, makabisasaja manajemenmelakukan kecuranganpelaporankeuangan karenainginmempertahankan posisinya. Akusisi besar yang dibiayai melalui skema penukaran sahamperusahaan, karena manajemenmemiliki insentif untukmeningkatkanharga sahamnya, dancarayang cepat untukitu adalah melalui penggelembunganpendapatan. Direksi danDewanKomisarisyang tidakmemiliki kompetensi atau pengalamanmengelolabisnis perusahaan, atau yang terlalu aktif tampil di publik. Bisasajamerekasengaja ditempatkandi perusahaan agar mudahdiatur, sehingga memudahkandominasi kewenangan olehpihak tertentu. Remunerasi dan bonus eksekutif yang terlalutinggi; Peningkatan remunerasi danbonus walaupun kondisi keuangan perusahaan menurun. Ini bisamenjadi indikasi lemahnyaDireksi danDewan Komisaris. Adanyatransaksi yang sangat besar denganpihak terafiliasi yang mungkinsajatidak dilakukan denganwajar; Estimasi laba maupuncadangansumber daya alamyang signifikan yang sebenarnyasulit untukdiukur dan tidakmemiliki kepastian; Piutang yang sangat besar kepadapihak yang tidakmemiliki kredibilitas.
Secara umum fraud terjadi karena adanya tekanan atau insentif untuk melakukan kecurangan, ada kesempatan untuk melakukan kecurangan, serta penyimpangan perilaku individu. Celakanya, kecurangan dalam pelaporan keuangan umumnya dilakukan dan diamini oleh pimpinan perusahaan. Mengapa pelaporan keuangan menjadi sesuatu yang sangat penting? Karena kecurangan dalam pelaporan keuangan disebabkan tidak adanya GCG. Perlu bukti? Coba kita cermati beberapa contoh dibawah ini.
Pada tahun 2004, Nortel Networks sebuah perusahaan penyedia sistem komunikasi di Kanada memecat Chief Executive Officer (CEO), Chief Financial Officer (CFO) dan Controller-nya karena penggunaan akun cadangan yang mencurigakan, dimana saldo dalam akun tersebut dikeluarkan dan diakui sebagai laba. Spekulasi di pasar mengatakan bahwa kejadian ini disebabkan oleh adanya kesempatan yang dilihat oleh karyawan untuk dapat menerima bonus besar yang dikaitkan dengan keuntungan Nortel di tahun 2003. Nortel lalu membayar bonus sebesar US$300 juta, dimana US$80 juta diantaranya adalah bonus untuk eksekutif senior. Rupanya, manajemen sangat agresif dengan penggunaan accounting accruals supaya perusahaan terlihat untung sehingga terlihat dapat membagi bonus.
Contoh lain adalah TYCO, sebuah perusahaan manufakturing dan jasa yang cukup besar di Amerika. Sahamnya masuk dalam kategori blue chip, dan eksekutif yang bekerja di sana termasuk eksekutif dengan bayaran tertinggi di Amerika. Dibelakang semua itu, CFO, CEO dan Chief Corporate Counsel selama 5 tahun melakukan penggarapan luar biasa atas asset 3/3 perusahaan, hingga akhirnya terungkap pada tahun 2002. Para pemimpin TYCO menggunakan beberapa skema untuk melakukan missapropiation of asset, yaitu: Program Relokasi, TyCom Bonus, dan Program Pinjaman untuk Eksekutif. Pada program relokasi, 3 eksekutif meminjam US$ 109 juta untuk membeli perumahan dan property lainnya. Melalui program TyCom Bonus, bonus senilai US$56 juta diberikan kepada 51 orang yang memiliki pinjaman relokasi, serta TYCO membayar kewajiban pajak yang timbul atas pinjaman relokasi, dengan total pembayaran sebesar US$ 95 juta, disini CEO menerima US$ 32 juta, CFO menerima US$ 16 juta. Dan melalui program pinjaman kepada eksekutif, CEO meminjam US$ 250 juta dimana 90% diantaranya digunakan untuk keperluan pribadi.
Semua kecurangan diatas dilakukan oleh para pemimpin perusahaan yang diberikan amanah untuk melakukan pengelolaan. The Committee of Sponsoring Organization of the Treadway Commission (COSO) dalam salah satu studinya menemukan bahwa kecurangan pelaporan keuangan umumnya terkait dengan manajemen puncak, dan 72% dari kasus yang ada menunjukkan adanya keterlibatan CEO. Kondisi ini umumnya terjadi pada perusahaan yang tidak memiliki Dewan Komisaris dan Komite Audit yang independen. Kemungkinan ini sangat kecil tentunya pada perusahaan yang benar-benar telah memiliki struktur GCG dan menerapkannya dengan konsisten.
Lalu apa dampak dari kecurangan pelaporan keuangan? Ketika perusahaan berusaha menutupi adanya hutang, menyajikan ulang laba, menggelembungkan pendapatan maupun biaya, mengecilkan jumlah pengeluaran dengan mengkapitalisasi biaya dan mendepresiasi asset dalam jangka waktu yang sangat panjang, maka terjadi pemalsuan dasar penilaian sebuah perusahaan, dan hal ini berdampak besar pada valuasi nilai perusahaan, perpajakan, kredibilitas perusahaan, dan bahkan dapat menyebabkan kebangkrutan perusahaan. Inilah mengapa penting bagi perusahaan untuk menerapkan GCG, karena GCG memfasilitasi adanya sistem check and balance yang independen serta didukung transparansi yang memungkinkan dilakukannya pengawasan oleh berbagai pihak untuk memitigasi risiko penyalahgunaan kewenangan, dan melindungi pemangku kepentingan.
* Mas Achmad Daniri, Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance. **Angela Indirawati Simatupang, Anggota Tim Penyusun Pedoman Umum GCG.