Seorang anak laki-laki berumur 9 tahun , berat badan 21 kg
datang ke rumah sakit dengan keluhan kesukaran menelan . Hal ini udah di alami penderita sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit , orang tua penderita pernah dibawa ke puskesmas terdekat karena luka pada kaki kanan akibat terpijak paku. Saat itu luka di bersihkan namun tidak ada di berikan obat lain . Pada pemeriksaan fisik di temukan anak tampak sakit, masih sadar , suhu 37,5C, tidak sesak,tidak sianosis. Tampak daerah mulut terkunci,ketika di buka, membuka mulut denan menggunakan spatula lidah anak mengalami kejang. Bunyi jantung I-II normal , bising dan irama derap tidak di jumpai. Paru vesikuler, ronkhi dan mengi tidak di jumpai. Bising usus normal, refleks patologis tidak di jumpai, refleks fisiologi positif normal. Identifikasi masalah Kenapa OS mengalami sukar menelan ? Apa hubungan sukar menelan dengan os terpijak paku ? Kenapa OS mengalami kejang saat mulut nya di buka ? Analisa masalah Kenapa OS mengalami sukar menelan ? Karena ada nya infeksi clostrodium tetani yang di sebabkan ada nya riwayat luka dan ini mengakibatkan kejang lokal pada otot leher/wajah (otot masseter) sehingga mulut sulit kontraksi Apa hubungan sukar menelan dengan os terpijak paku ? Karena paku tempat di mana ada nya clostrodium tetani yang mungkin menjadi salah satu penyebab dari keluhan OS Kenapa OS mengalami kejang saat mulut nya di buka ? Karena terjadi nya disfungsi syaraf otonom yang di akibatkan toksin tetanus yang sudah menyebar ke sistem syaraf pusat sehingga stimulus seperti memaksa membuka mulut menyebabkan kejang general.
Pohon topik OS umur 9 tahun Riwayat luka terinjak paku Sukar menelan Kejang Infeksi clostrodium tetani Tetanus Learning objective Mahasiswa/i mengetahui tetanus ( definisi prognosis) DEFINISI Gangguan neurologis yang ditandai hipertonia, akut, nyeri pada kontraksi dan spasme otot luas, disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Ditandai peningkatan tonus dan spasme luas, khas rigiditas, spasem otot, disfungsi otonomik. Trismus tampak pada lebih 50% kasus.. Tetanus Generalisata Timbul nyeri, kekakuan dan spasme otot terus-menerus pada bagian proksimal luka. Gejala bertahan berminggu-minggu dan enghilang tanpa meninggalkan akibat sisa. Tentanus Terlokalisasi Ditemukan disfungsi saraf-saraf otak III, IV, VI, IX, X serta XI. Tetanus Sefalik disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses persalinan Neonatal Tetanus PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI Spora C. tetani luka masuk tubuh Masa inkubasi antara inokulasi spora dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari sampai 3 minggu.
Spora transformasi ke bentuk vegetatif melepaskan toksin solubel tetanospasmin timbul manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin dapat mencapai lima persen dari berat bakteri. Tetanospasmin awalnya terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul 150-kDa yang tidak aktif. Toksin tersebut kemudian terbagi menjadi dua subunit oleh enzim protease jaringan yaitu rantai berat dengan berat molekul 100-kDa dan rantai ringan dengan berat molekul 50-kDa yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari rantai berat berikatan dengan membran neural dan ujung amino menciptakan pori untuk masuknya rantai ringan ke dalam sitosol. Faktor genetik yang mengontrol produksi tetanospasmin terdapat pada plasmid bakteri (5, 6, 13) . PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI Rantai ringan memasuki motorneuron Senyawa tersebut ditranspor melalui akson secara intraaksonal dan retrograd dari tempat infeksi ke korda spinalis dalam 2-14 hari. Transpor awalnya terjadi pada neuron motorik kemudian pada neuron sensorik dan autonom. Ketika mencapai badan sel toksin dapat berdifusi keluar dan mempengaruhi neuron-neuron lain. Apabila terdapat toksin dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan berikatan dengan ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Ketika mencapai korda spinalis, rantai ringan memasuki neuron inhibitori sentral kemudian memecah sinaptobrevin, senyawa yang penting dalam pengikatan vesikel neurotransmiter ke membran sel. Tetanospasmin memiliki efek predominan terhadap neuron inhibitori dan yang pertama terkena adalah neuron yang menginhibisi alfa motor neuron. Setelahnya neuron simpatetik preganglionik di kornu lateralis dan pusat parasimpatetik juga terkena. Akibatnya vesikel yang mengandung gamma amino-butyric acid (GABA) dan glisin tidak dilepaskan dan terjadi hilangnya aksi inhibitori pada neuron motorik dan autonomik. Hilangnya inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot yang terus menerus (spasme) yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal seperti suara atau cahaya dan hiperaktivitas autonomik. Transpor intraneural retrograd yang lebih lanjut terjadi dan toksin mencapai batang otak dan diensefalon (6, 13) . Efek fisiologis tetanospasmin serupa dengan striknin (2, 5) .
PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan asetilkolin ke celah neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin botulinum yang menimbulkan gejala paralisis flasid. Meskipun demikian, pada tetanus efek disinhibitori motoneuron melampaui penurunan fungsi pada sambungan neuromuskular sehingga yang tampak adalah akibat dari gangguan inhibisi. Efek pre-junctional pada sambungan neuromuskular dapat menyebabkan terjadinya kelemahan diantara spasme dan dapat merupakan penyebab paralisis nervus kranialis yang ditemukan pada tetanus sefalik dan miopati yang ditemukan setelah penyembuhan (13) . PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari motoneuron pada medula spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang sehingga otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara bersamaan. Spasme otot sangat nyeri dan dapat menyebabkan fraktur serta ruptur tendon. Otot-otot rahang, wajah, dan kepala merupakan yang pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek kemudian diikuti otot-otot tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan kaki sering tidak terpengaruh. Pelepasan impuls autonom tanpa inhibisi menyebabkan gangguan kontrol autonomik dengan overaktivitas simpatetik dan kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat ireversibel dan proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru sehingga perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai (3, 11, 13) .
EPIDEMIOLOGI Bakteri Clostridium tetani ditemukan di semua tempat di dunia, satu juta kasus ditemukan di negara-negara yang kurang dan sedang berkembang, padat penduduk, iklim hangat dan lembab. Spora bakteri terdistribusi pada tanah dan saluran pencernaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam (hewan ternak). Transmisi spora C. tetani terjadi melalui luka yang kotor (terkontaminasi) atau cidera jaringan lain. Port of entry melalui: 1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar. 2. Luka operasi yang tidak dirawat dan di bersihkan dengan baik. 3. caries gigi. 4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril. 5. Penjahitan luka robek yang tidak steril. Faktor risiko utama : status imunisasi tetanus yang tidak lengkap, adanya cidera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat yang tidak aseptik. Faktor risiko lain : tindakan bedah abdomen, akupunktur, tindik telinga, tusuk gigi, dan infeksi telinga tengah Tetanus neonatorum berkontribusi terhadap 40-50% mortalitas akibat tetanus di negara berkembang
MANIFESTASI KLINIS Karakteristik dari tetanus 1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang. 2. Ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher. Timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ). 3. Kejang otot berlanjut ke kuduk kaku 4. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat . 5. Khas: badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik. 6. Dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).
DIAGNOSIS Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa : 1. Gejala klinik : kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ). 2. Adanya luka yang mendahuluinya. 3. Kultur: C. tetani (+). 4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.
DIAGNOSIS BANDING 1. Meningitis bacterial (tidak ada trismus, terjadi penurunan kesadaran) 2. Poliomyelitis (terdapat paralisis flaksid, tidak ada trismus) 3. Rabies (ada riwayat gigitan anjing/hewan lain, jarang ada trismus, kejang klonik) 4. Keracunan strychnine (jarang ada trismus, kejang tonik umum) 5. Tetani (bentuk spasme otot ialah karpopedal spasme dan biasanya diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus) 6. Retropharyngeal abses (trismus, tidak terdapat kejang umum) 7. Tonsillitis berat (demam, trismus, tidak terdapat kejang) 8. Efek samping fenotiasin (riwayat minum obat fenotiasin, terdapat reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot) 9. Kaku kuduk juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis leher dan spondilitis leher.
PENATALAKSANAAN Kebutuhan cairan dan nutrisi dicukupi Saluran nafas dijaga agar tetap bebas. Tracheostomy dilakukan pada kasus yang berat. Tambahan O2 nasal / sungkup bila perlu. Inj valium/diazepam bolus intravena 5 mg untuk neonatus, bolus intravena atau perectal 10 mg untuk anak-anak (maksimum 0.7 mg/kg BB) bila kejang. Antibiotika PP (Penisilin) 50.000-100.000 IU/kg BB; Sera anti dapat diberikan ATS 5000 IU intramuskuler atau TIGH (Tetanus Immune Globulin Human) 500-3.000 IU. Pemberian sera anti harus disertai dengan imunisasi aktif dengan toksoid (DPT/DT/TT). Perawatan luka pada pasien Tetanus sangat penting dan harus secara steril dan perawatan terbuka (debridement). Plan : konsultasi dokter gigi / dokter bedah / dokter THT.
PROGNOSIS Faktor yang mempengaruhi mortalitas: 1. masa inkubasi 2. periode awal pengobatan 3. status imunisasi 4. lokasi fokus infeksi 5. penyakit lain yang menyertai 6. penyulit yang timbul. Tingkat mortalitas mencapai lebih dari 50% di negara-negara berkembang dengan penyebab utama gagal nafas. Mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 60 tahun Sistem skoring : skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett.
KOMPLIKASI Sistem organ Komplikasi Jalan napas Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif. Respirasi Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi akibat ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya pneumonia), komplikasi trakeostomi. Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, NBNbradikardia, aritmia, asistol, gagal jantung. Renal Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin. Gastrointestinal Stasis, ileus, perdarahan. Muskuloskeletal Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat spasme. Lain-lain Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom disfungsi multiorgan. PENCEGAHAN 1. perawatan luka yang adekuat 2. Imunisasi aktif - Memberikan tetanus toksoid yang bertujuan merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. - Imunisasi aktif dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. - Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT).