Anda di halaman 1dari 114

Chapter 1

SI PENARI



"AKU kedinginan dan lapar," kata Pierre Gringoire, "dan aku
tak punya uang untuk membeli makanan malam ini. Tak seorang pun
mau membeli sajak-sajak dan naskah-naskah sandiwara yang kutulis,
dan tak seorang pun menghendaki aku."
Kota Paris, dua belas hari setelah Natal dalam tahun 1482,
adalah sebuah kota yang dingin; dan banyak penduduknya yang
miskin, kurus dan kedinginan seperti Pierre Gringoire penyair itu.
"Aku harus berhenti menjadi seorang pengarang," katanya,
"kalau tidak, aku akan mati kelaparan." Dimasukkannya kedua
tangannya ke dalam sakunya yang kosong lalu dia berjalan ke alun-
alun yang bernama Place de Grve. "Tuh ada orang banyak! Mereka
kelihatannya hangat; aku akan menggabungkan diri dengan mereka
dekat api itu."
Banyak laki-laki dan perempuan berdiri di tengah alun-alun.
Mereka tampak hitam kena sinar api kayu besar yang merah yang
menyala di atas batu. Gringoire bergegas ke arah mereka. Di antara
orang-orang itu dan api ada suatu ruang kosong yang cukup lapang.
"Saya kedinginan!" kata Gringoire, sambil menelusup ke
tengah-tengah orang banyak itu. "Mengapa kita tidak lebih mendekati
api itu saja?"
"Karena kita tentu harus menyediakan ruang untuk Esmeralda!"
sahut seorang laki-laki gendut di sebelahnya.
"Siapa? Saya tak pernah mendengar..."
"Gunakanlah matamu. Tuh lihat dia. Cantik sekali bukan?"
Gringoire menjulurkan lehernya untuk dapat melihat melampaui
topi wanita yang ada di depannya, kemudian barulah dia mengerti.
Itulah dia Esmeralda! Dia menari di antara orang banyak yang
menontonnya dan api yang menyala besar.
Mula-mula Gringoire penyair itu tak yakin benar apakah penari
yang lentur itu seorang gadis ataukah peri! Dia bertubuh kecil,
berkulit gelap dan rambutnya hitam. Matanya pun hitam pula dan
mata itu bersinar waktu dia menari. Kakinya yang kecil bergerak di
atas permadani Persia yang dihamparkannya di atas batu-batu alun-
alun itu. Bajunya beraneka warna, cemerlang oleh warna keemasan.
Kaki dan pundaknya indah. Di tangan kanannya dia memegang
sebuah rebana, dan dia memainkannya sambil menari berputar-putar.
"Bukan," kata Gringoire nyaring, "dia bukan seorang peri; aku
sudah biasa melihat gipsy dengan mata dan rambut seperti itu tapi
tak ada yang secantik dia!"
"Memang dia seorang gipsy," kata laki-laki gendut itu. "Dia
salah seorang dari pengelana-pengelana yang tinggal dalam tenda-
tenda dan berpindah-pindah tempat, dan dia tahu semua gerak-tipu
kaum gipsy.... Lihat saja!"
Esmeralda mengambil dua buah pedang dari tanah dan
memasangnya berdiri tegak di atas kepalanya. Lalu dia menari-nari.
Warna api yang merah menambah pesona geraknya, sedang orang
banyak mengawasi tanpa suara dan keheranan.
"Aku bisa menggubah suatu syair tentang ini," pikir Gringoire.
Dia menoleh ke sebelah lain dari api ke sudut alun-alun tempat tiang
gantungan yang mengerikan itu berdiri. Banyak laki-laki dan
perempuan telah digantung di situ. Gringoire tiba-tiba merasa takut.
"Tapi mengapa aku harus takut?" pikirnya. "Aku belum pernah
melanggar hukum."
Lalu dia menoleh ke sudut lain dari alun-alun, ke bangunan
kecil yang disebut Lubang Tikus. Suster Gudule tinggal di Lubang
Tikus itu, dalam sebuah kamar yang hanya berjendela satu dan jendela
itu berjeruji besi. Dia tak pernah bisa keluar: Lubang Tikus itu tak ada
pintunya. Semua orang tahu bahwa dia membenci gipsy. Dia tentu tak
dapat melihat Esmeralda, kalau bisa dia tentu telah meneriakkan
sumpah serapahnya, sebagaimana yang selalu dilakukannya setiap kali
kaum gipsy datang ke Place de Greve.
*
Tarian Esmeralda makin lama makin cepat, sedang sepasang
mata di antara orang banyak di sekeliling Gringoire, tertancap ke
arahnya dengan pandangan aneh. Wajah itu tenang dan kaku, namun
matanya berapi-api. Laki-laki itu berumur tidak lebih dari tiga puluh
lima tahun, tetapi rambut di kepalanya tinggal beberapa lembar dan
beruban pula. Gringoire hanya bisa melihat kepalanya: pakaian laki-
laki itu tersembunyi di antara orang banyak.
Gadis yang sudah kehabisan nafas itu berhenti menari, dan
orang banyak berteriak menyuruhnya menari lagi.
"Djali!" seru Esmeralda.
Gringoire melihat seekor kambing putih kecil mendekatinya.
Kakinya berwarna keemasan, dan di lehernya tergantung seuntai
kalung perak. Gringoire semula tidak melihat kambing itu, karena
binatang itu tadi berbaring memperhatikan Esmeralda menari.
"Djali," kata gadis itu, "sekarang giliranmu." Dia duduk lalu
mengulurkan rebananya pada kambing itu.
"Djali, tanggal berapa hari ini?" tanyanya.
Kambing itu mengangkat kakinya lalu memukul rebana itu
enam kali. Alangkah senangnya penonton.
"Bagus Djali!" teriak anak-anak di barisan terdepan.
"Sungguh binatang yang hebat!" seru si gendut.
"Djali," kata gadis gipsy itu sambil memindahkan rebana itu
sedikit, "jam berapa sekarang?"
Djali mengangkat kakinya yang keemasan lalu memukul rebana
tujuh kali. Pada saat itu jam di menara di dekat alun-alun berbunyi
tujuh kali.
"Itu semua karya sihir," kata suatu suara jahat di tengah-tengah
penonton. Suara itu adalah suara orang yang selalu menatap gadis
gipsy itu.
Esmeralda menoleh cepat, tapi penonton yang lain bersorak dan
sorak-sorai itu menghilangkan kata-kata laki-laki itu.
Untuk menyenangkan penonton, gadis itu berkata lagi, "Djali,
bagaimana para imam berbicara pada orang banyak dalam gereja?"
Kambing itu duduk lalu mengeluarkan suara lucu sambil mengacung-
acungkan kedua kaki depannya dengan cara yang menggelikan.
Penonton tertawa dan bersorak nyaring.
"Itu tak benar! Itu jahat!" seru suara laki-laki yang hanya
berambut uban beberapa lembar.
Gipsy itu menoleh lagi.
"Oh!" katanya, "orang jelek itu rupanya!" lalu dijulurkannya
lidahnya ke arah laki-laki itu. Tapi setelah dia berpaling lagi, matanya
membayangkan ketakutan, kemudian dia berkeliling di tengah-tengah
penonton mengumpulkan uang dalam rebananya.
Para penonton itu pemurah, dan waktu gadis itu tiba dekat
Gringoire rebananya sudah berisi banyak mata uang emas dan perak,
besar dan kecil. Tanpa sadar, Gringoire merogoh sakunya. Dia tentu
tidak mendapat apa-apa karena sakunya kosong. "Setan!" gerutu
Gringoire. Dirasakannya tubuhnya panas dingin dan dungu melihat
gadis cantik itu berdiri saja di hadapannya dengan menadahkan
rebananya. Gadis itu memperhatikannya dengan matanya yang indah,
sedang laki-laki itu makin merasa dirinya dungu. Kalau saja dia kaya,
akan diberikannya seluruh kekayaannya pada gadis itu!
Suatu suara menyelamatkan laki-laki itu, suara wanita dari
sudut yang jauh dari alun-alun itu.
"Pergi gadis jahat! Gipsy!" teriak suara wanita alim dari Lubang
Tikus itu.
Suara yang menjadikan Esmeralda ketakutan itu,
menyenangkan anak-anak dan mereka tertawa.
"Itu Suster Gudule!" teriak mereka. "Belum makankah dia? Dia
tentu lapar! Mari kita carikan dia makan!" Dan mereka pun lari.
Gringoire jadi ingat betapa laparnya dia dan dia jadi berpikir di
mana dia akan bisa memperoleh makanan.
"Suster Gudule yang malang!" kata laki-laki gendut di
sebelahnya. "Tak banyak kesenangan dalam hidupnya. Kesedihan apa
gerangan yang menyebabkan dia meninggalkan dunia ramai ini dan
hidup menyendiri di Lubang Tikus itu."
"Tak tahukah Anda tentang kisahnya?" tanya Gringoire. "Saya
sangka semua orang di Paris ini tahu."
"Tentu saya tahu kisah tentang bayi perempuannya yang dicuri
kaum gipsy, tapi saya sama sekali tak percaya. Suster Gudule tua yang
malang itu terlalu jelek untuk punya anak yang pantas dicuri."
"Kesedihanlah yang telah membuatnya jelek," kata Gringoire.
"Saya percaya bahwa dia cantik enam belas tahun yang lalu, ketika
kaum gipsy menukar bayi perempuannya dengan seorang anak laki-
laki yang berumur empat tahun."
"Seorang anak laki-laki yang hanya bermata satu, sedang kaki
dan tangannya tak tentu bentuknya. Saya tahu kisah itu, tapi saya tetap
tak percaya bahwa Suster Gudule...."
"Tidak pernahkah Anda melihat sepatu bayi kecil di Lubang
Tikus-nya itu? Dan tak pernahkah Anda melihatnya menangisi sepatu
itu? Hatinya hancur. Jika Anda punya jiwa penyair barang sedikit saja,
Anda akan mengerti bahwa kisah itu sesuai dengan kenyataannya."
"Penyair!" ejeknya. "Nanti Anda bahkan berkata bahwa Anda
sendiri seorang penyair!"
Gringoire tak berkata apa-apa, karena dia mendengar suatu
nyanyian asing tapi sangat manis. Esmeralda sedang menyanyikannya.
Kata-katanya yang dalam bahasa gipsy, penuh keriangan, dan
suaranya semerdu dan sebersih suara burung.
Anak-anak yang tadi pergi mencarikan makanan untuk Suster
Gudule, telah kembali dari jalan gelap yang sempit. Anak perempuan
yang terbesar membawa sebuah kue. Mereka berdiri lagi di bagian
depan dari penonton, mendengarkan lagu yang indah itu. Anak-anak
itu lapar juga. Mereka mendengarkan nyanyian Esmeralda sambil
mencubiti kue itu dan memakannya.
Nyanyian itu tidak berlangsung lama. Dari Lubang Tikus
terdengar lagi suara teriakan Suster Gudule yang kasar. "Diam. Diam.
Hentikan keributan itu dan berikan kami ketenangan."
Nyanyian berhenti tiba-tiba. "Anda mengganggu nyanyian
terindah yang pernah saya dengar!" seru Gringoire.
Orang-orang lain juga marah dan berteriak. Beberapa di
antaranya berseru, "Semoga Suster Gudule diambil setan!" dan sambil
menyumpah-nyumpah suster itu, mereka mulai bergerak ke arah
Lubang Tikus dengan marah.
Tepat pada saat itu ada sesuatu yang menyebabkan mereka
semua berbalik dan bergerak ke sebelah lain dari alun-alun. Dari
kegelapan malam di musim dingin itu, suatu gerombolan lain berjalan
menuju mereka dengan membawa obor dan pekik-sorak serta musik
aneh yang jelek.
Anak-anak cepat-cepat menghabiskan sisa kue sambil berlari ke
arah gerombolan yang mendekat itu. Mereka lupa Suster Gudule.
Demikian pula semua orang di alun-alun itu, karena laki-laki dan
perempuan yang mendekati mereka mengusung di pundak mereka
seseorang yang ingin sekali mereka lihat; mereka sedang mengarak
Imam Tertinggi Orang-orang Dungu.
Ebukulawas.blogspot.com


Chapter 2
QUASIMODO



SETIAP tahun penduduk Paris memilih seorang Imam
Tertinggi Orang-orang Dungu yang baru, dan pagi itu mereka telah
memilihnya dengan cara baru.
Di salah sebuah gereja ada sebuah jendela berlubang sebesar
kepala manusia. Semua orang yang terjelek di Paris pergi ke gereja
itu, dan mereka bergantian menjulurkan kepala mereka di lubang
bekas tempat kaca itu, supaya orang banyak di luar dapat menentukan
muka mana yang paling jelek. Orang yang mukanya paling jelek akan
menjadi Imam Tertinggi Orang-orang Dungu tahun 1482 itu.
Orang-orang bersorak-sorai kesenangan memilihnya.
"Demi setan, aku belum pernah melihat hidung sebesar itu!"
teriak seorang serdadu tua.
"Lihatlah mulut itu!" pekik seorang petani sambil tetap
memegang tali pengikat leher sapinya.
"Coba kita lihat yang lain lagi. Ayo keluar!"
Muncullah sebuah wajah lagi. "Lihat!" teriak seorang laki-laki
jangkung. "Sama benar mukanya dengan sapi itu!"
"Besar benar telinganya! Sampai sulit dia mengeluarkannya dari
jendela itu."
Makin lama makin nyaring sorak-sorai orang-orang itu melihat
muka-muka jelek yang bermunculan, hingga akhirnya suatu wajah
membuat mereka bersorak serempak, "Itu dia! Begitu seharusnya
wajah Imam Tertinggi kita! Itu yang kita mau! Itu wajah yang paling
jelek dari semua!"
Wajah itu dikelilingi oleh rambut merah yang kotor. Matanya
hanya satu, kuning dan redup. Di atas mata itu terdapat alis yang tebal
sedang di sebelahnya di tempat yang seharusnya ada mata terdapat
segumpal rambut yang lebih besar. Beberapa buah gigi besar
menonjol keluar dari mulut sebesar gua yang sedang tersenyum,
sedang kulitnya penuh bintik-bintik hitam.
"Bawa dia keluar dari gereja!" teriak orang banyak itu. "Harus
kita arak Imam Tertinggi Orang-orang Dungu itu!"
*
Quasimodo, si bongkok, tertawa senang waktu dia keluar di
tangga gereja itu. Inilah saat yang indah baginya: dia belum pernah
merasa terkenal seperti sekarang. Biasanya orang-orang benci dan
takut padanya karena dia begitu jelek. Kepalanya terbenam di antara
kedua bahunya dan kaki tangannya yang besar-besar tak tentu
bentuknya. Tapi kini orang banyak menghendakinya. Dia tak mengerti
karena dia tak bisa mendengar apa-apa. Selaput gendang telinganya
yang besar itu telah pecah gara-gara bunyi lonceng yang
dibunyikannya setiap hari di gereja Notre-Dame. Dia mencintai
lonceng-lonceng itu, meskipun dia tak bisa mendengarnya, kecuali
kalau lonceng itu berbunyi nyaring sekali. Dia hanya dapat merasakan
bunyi lonceng itu, dan lonceng-lonceng itu membahagiakannya lebih
dari apa pun juga dalam hidupnya yang menyedihkan itu.
Gilles Clopin, seorang anak muda buruk, menaiki anak tangga
gereja sambil menari-nari lalu berdiri menirukan Quasimodo, dengan
kepalanya terbenam di antara kedua bahunya. Dia mengejek-ejek
Quasimodo. Meskipun si bongkok tak dapat mendengar, dia bisa
melihat dengan matanya yang satu itu. Clopin sedang memperolok-
olokkannya, dan si bongkok marah. Orang banyak tertawa, tapi si
bongkok tidak. Dengan cepat dia mendekati Clopin, diangkatnya anak
muda itu dengan tangannya yang jelek tapi kuat itu, diangkatnya
tinggi-tinggi seolah-olah Clopin itu seringan seorang bayi, lalu
dilemparkannya ke bawah tangga.
Orang banyak terdiam, lalu mereka berteriak lebih nyaring lagi.
Tapi kebanyakan wanita merasa takut akan Quasimodo.
"Dia seburuk monyet!" kata seorang wanita. "Dan jahatnya
sepadan dengan jeleknya!" kata yang lain.
"Saya tinggal dekat Notre-Dame, dan saya mendengarnya
berlari-lari di atas atap sepanjang malam."
"Seperti kucing."
"Kalau kau sedang mengandung, Louise, jauhilah si bongkok
itu," kata seorang nenek.
"Dia mengerikan sekali."
Tapi kaum laki-laki suka sekali pada si bongkok, mereka
tertawa dan bersorak waktu melihat kekuatannya. Para pengemis yang
ada di antara orang banyak itu membawa sebuah mahkota dari kertas
dan sehelai kain panjang yang digambari dengan warna-warna
manyala. Mereka pasang mahkota itu di kepala Quasimodo, sedang
kain panjang disampirkan ke tubuhnya yang buruk itu. Kemudian
mereka suruh dia membawa sebuah salib besar dari kayu kasar.
Mereka dudukkan dia di atas sebuah bekas pintu yang sudah tua dan
mereka usung dia berkeliling kota dengan musik yang jelek, nyanyian-
nyanyian dan sorak sorai. "Quasimodo!' teriak mereka. "Imam
Tertinggi Quasimodo! Beri jalan bagi Imam Tertinggi Orang-orang
Dungu!"
***
Enam belas tahun sebelum kisah ini berawal, pada suatu hari
yang cerah dalam musim semi, ditemukan seorang anak sesudah misa
pagi di gereja Notre-Dame. Dia terbaring di tangga. Tubuhnya hanya
dibungkus dengan sepotong kain kotor, dan dia menangis dengan cara
yang aneh.
Bayi-bayi kecil yang tak diingini ibu mereka sering
ditinggalkan di tempat itu di gereja: lalu wanita-wanita yang baik hati
memungutnya dan membesarkannya seolah-olah anaknya sendiri.
Tapi anak laki-laki yang ini sudah berumur empat tahun. Rambutnya
merah, matanya hanya satu dan bentuk tubuhnya tak keruan. Tak
seorang pun menginginkan anak ini.
Beberapa orang wanita berdiri memandanginya.
"Makhluk apa itu?" tanya seseorang.
"Ampun Tuhan, kalau bayi-bayi lahir begitu sekarang!" kata
yang lain.
"Saya ingin melihatnya! Saya tak bisa melihatnya!" seru
seorang gadis cilik cantik yang berpakaian bagus.
"Jangan Fleur sayang, dia tak bagus, sama sekali tak bagus,
mari kita pergi dari sini sekarang juga!" dan ibu si Fleur yang kaya itu
menarik lengannya.
Bayi laki-laki itu menangis nyaring. Tangisnya tidak seperti
anak-anak lain.
"Kurasa itu adalah seekor binatang siluman, sama sekali bukan
anak laki-laki," kata seorang wanita tua ketakutan.
"Dia buatan seorang penyihir."
"Anda benar," kata yang lain. "Itu binatang aneh yang jahat."
Seorang laki-laki berdiri di belakang perempuan-perempuan itu
dan mendengarkan pembicaraan mereka. Laki-laki muda itu adalah
Claude Frollo, seorang imam terkemuka di gereja Notre-Dame, dan
salah seorang di antara sarjana-sarjana terkemuka di Paris. Orang-
orang takut melihat wajahnya yang selalu serius, ada pula yang
sampai membisikkan bahwa dia demikian pandainya hingga dia
pandai ilmu gaib. Waktu perempuan-perempuan itu melihat Frollo
mereka cepat-cepat menyingkir.
Frollo memandangi anak laki-laki kecil itu, dan dia merasa
kasihan sekali. "Tak seorang wanita pun menghendaki kau, Nak,
karena kau lain dari anak-anak yang lain," pikirnya. "Tapi Tuhan telah
menciptakanmu dan Tuhan menghendaki semua orang yang telah
diciptakannya. Kita harus mencintai semua manusia, baik yang cantik
maupun yang jelek, seperti juga Dia. Mari ikut aku, anak malang!"
Frollo mengangkat anak itu dan menggendongnya, dan anak itu
berhenti menangis. Tiba-tiba imam itu merasa damai. Dia yakin
bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan yang dikehendaki Tuhan.
"Aku akan merawat dan membesarkanmu, anakku," kata Frollo.
"Sekarang kau jadi anakku. Mari." Dia berjalan melalui gereja sambil
menggendong anak itu.
Frollo menamakan anak laki-laki kecil itu Quasimodo.
Quasimodo hanya punya satu mata, tapi telinganya semula tidak
cacad. Dia pun bisa berbicara, tapi tidak sejelas pendengarannya,
Suaranya kasar dan aneh. Frollo mencoba mengajarnya berbicara
lebih baik, dan anak itu berusaha keras untuk berkembang. Tapi tubuh
Quasimodo begitu jelek dan dia tak mau orang lain melihatnya. Dia
menyingkirkan diri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak lain, dan
menyembunyikan diri di menara gereja. Dia hanya mau tinggal
dengan Frollo, tak mau dengan siapa pun juga yang lain, Frollo
memeliharanya dan mengajarnya membunyikan lonceng-lonceng
gereja Notre-Dame.
Lonceng-lonceng itulah yang merusak telinganya, dan
menjadikannya tuli, hingga dia sama sekali tak bisa mendengar apa-
apa: lalu Quasimodo tak mau lagi berbicara. Dia terlalu takut orang
lain mendengar suaranya yang aneh. Kalau dia berbicara orang-orang
lain mungkin menertawakannya. Frollo telah mencoba menyuruh
Quasimodo berbicara, tapi Quasimodo tetap membisu.
Meskipun Quasimodo tak dapat berbicara dengan lidahnya
sendiri, si bongkok bisa berbicara dengan seluruh kota Paris melalui
lonceng Notre-Dame. Dia mencintai segala sesuatu di gereja yang
indah itu, tapi dia paling mencintai lonceng-loncengnya, terutama
lonceng besar yang bernama Marie. Marie tergantung di menara
selatan, dengan sebuah lonceng kecil bernama Jacqueline. Di menara
yang kedua ada enam buah menara lainnya, sedang enam lonceng
yang terkecil ada di menara tengah, dengan lonceng kayu yang hanya
dibunyikan kalau ada orang meninggal. Jadi ada lima belas buah
lonceng yang dicintai Quasimodo. Tapi Marie adalah yang paling
dicintainya.
Kesenangan Quasimod meluap-luap bila dia bisa membunyikan
semua lonceng pada hari-hari istimewa. Dia dan Frollo berbicara
dengan isyarat-isyarat aneh. Baru saja Frollo mengatakan pada si
bongkok bahwa dia sudah bisa mulai membunyikan lonceng-lonceng,
Quasimodo berlari menaiki tangga lebih cepat daripada siapa pun juga
kalau menuruni tangga yang sama. Bergegas dia memasuki ruangan
tempat lonceng besar itu, dan mengelus Marie seolah-olah lonceng itu
adalah seekor kuda yang baik yang akan memulai perjalanan jauh. Dia
merasa kasihan pada lonceng itu karena harus melakukan pekerjaan
itu.
Kemudian diberikannya isyarat pada orang-orang di bawah
yang harus menarik talinya. Bunyi pertama dari anak lonceng tembaga
itu menggetarkan lantai tempat Quasimodo berdiri seperti sehelai daun
dalam badai. Quasimodo ikut bergetar dengan lonceng itu. Nafasnya
menjadi lebih nyaring dan cepat, dengan makin cepatnya bunyi
lonceng. Matanya yang hanya satu itu, terbelalak, dan seolah-olah
bersinar oleh cahaya tersendiri dalam menara gelap itu.
Lalu semua lonceng mulai berbunyi dan bergetarlah seluruh
menara, batunya, kayunya dan logam semua bergetar bersama-sama,
dari atas sampai ke bawah. Quasimodo seperti menjadi gila. Dia
berlari-lari dari lonceng yang satu ke lonceng yang lain, dan tertawa
oleh kegaduhan lonceng-lonceng itu, satu-satunya bunyi yang bisa
ditangkap oleh telinganya. Kemudian dia berdiri ke dekat sebuah
lonceng kecil dan melompat-lompat sementara lonceng itu berayun-
ayun. Akhirnya ditinggalkannya lonceng itu: dia berlari mendapatkan
Marie, dia melompat lalu bergantung pada lonceng itu dengan kaki
tangannya. Dia merasa seolah-olah dia sedang menunggang awan-
awan dalam badai, seperti dalam mimpinya.
Penduduk Paris sering berhenti di jalan dan mendengarkan
bunyi lonceng yang seperti suara musik yang indah itu. Setelah itu
semua berakhir, Quasimodo turun ke bawah ke tempat Frollo dan
mereka berbicara dengan isyarat-isyarat yang artinya hanya diketahui
mereka berdua.
***
Kini Quasimodo, Imam Tertinggi Orang-orang Dungu, sedang
diusung ke Place de Greve. Dia merasa senang sekali seolah-olah dia
berada di atas, di menara dan Marie sedang berbunyi. Dia terayun-
ayun di pundak orang-orang banyak itu dengan mahkota kertas di
kepalanya dan kain beraneka warna menutupi punggungnya, serta
sebuah salib di tangannya. Dia tertawa waktu melihat makin banyak
orang berjalan ke alun-alun mendatanginya.
Seorang pria berlari di depan semua orang itu, pria yang
berambut uban tipis dan berjubah hitam itu seorang imam. Dialah
yang telah menatap Esmeralda dengan cara yang aneh dan berteriak
padanya. Kini dia mendekat terus sampai Quasimodo bisa melihat
dengan matanya yang hanya satu bahwa dia adalah Frollo, dan
dilihatnya bahwa Frollo marah.
Quasimodo melompat dari pundak orang yang mengusungnya.
Dia bergegas mendatangi majikannya, Frollo, lalu berlutut di
hadapannya. Frollo merenggutkan mahkota dari kepala Quasimodo,
merenggutkan kain dari punggungnya dan m-matahkan salib kayu itu.
Quasimodo tetap berlutut. Kemudian orang banyak melihat keduanya
membuat isyarat-isyarat aneh. Imam itu marah dan memerintah,
sedang si bongkok sedih dan minta dikasihani. Padahal jika dia mau,
si bongkok itu bisa saja melemparkan imam itu ke seberang alun-alun
dengan tangan sebelah!
Akhirnya Frollo menggoncang pundak Quasimodo yang kuat
itu, lalu memberi tanda supaya dia bangkit dan menyusulnya. Mereka
berbalik dan pergi.
Orang banyak marah karena kehilangan imam Tertinggi Orang-
orang Dungu itu, lalu mengelilingi Frollo dan berteriak-teriak
padanya. Tapi Quasimodo lebih cepat dari mereka. Dia berlari ke
depan Frollo dan berdiri dengan merentangkan tangannya, siap untuk
memukul siapa saja yang berani mendekat. Lalu imam itu berjalan
perlahan-lahan meninggalkan lapangan itu. Sambil berteriak-teriak
seperti seekor binatang yang mengamuk, Quasimodo menyusul
menyelinap di antara orang-orang banyak, dan orang-orang semua
ketakutan dan tak berani menyentuh mereka.



















Chapter 3
JALAN-JALAN YANG BERBAHAYA



"ANEH benar semuanya ini," gumam Gringoire sendiri, "tapi
demi setan, di mana aku bisa mendapatkan makan malamku?"
Orang banyak pun meninggalkan alun-alun, mereka masih
merasa heran mengingat cara Imam Tertinggi Orang-orang Dungu itu
meninggalkan mereka. Orang berbicara dengan nada marah sambil
berjalan melewati Gringoire, akan pulang atau ke rumah-rumah
minum.
"Orang-orang itu beruntung!" pikir Gringoire. "Mereka tahu di
mana mereka bisa mendapatkan makanan, minuman dan tempat tidur
yang hangat. Sedang bagiku malam ini akan menyiksa sekali, karena
aku sama sekali tak punya uang. Tak seorang pun tahu ke mana aku
harus pergi, supaya aku tak mati kelaparan dan kedinginan."
Tak seorang pun di antara orang banyak itu yang
memperdulikannya, mereka berjalan terus. Api sudah padam. Waktu
Gringoire bersiap-siap meninggalkan alun-alun yang sudah gelap dan
kosong itu, dia melihat Esmeralda dan kambing kecilnya berjalan di
jalan yang sempit di depannya.
"Dia tentu punya rumah tempatnya pulang," pikir Gringoire
sambil mulai mengikuti Esmeralda.
"Hati wanita gipsy biasanya baik. Mungkin dia mau
membawaku ke tempat yang hangat." Dia berjalan lebih cepat
menyusul Esmeralda yang hampir menghilang di tikungan. "Akan
kulihat akan ke mana dia!"
Seorang laki-laki tua melangkah ke pintu masuk rumah minum
yang diterangi lampu terang, tapi Gringoire bergegas saja
melewatinya. Gringoire mendengar orang-orang tertawa dan
bernyanyi-nyanyi senang di dalam. Kemudian pintu ditutup. Dan jalan
menjadi gelap dan sepi, hanya diwarnai oleh derap kaki saja. Dia
berlari ke tikungan dan dilihatnya gadis itu berjalan di depannya lagi
dengan kambingnya. Mereka tidak menoleh. Gringoire berjalan
lambat supaya gadis itu tidak tahu bahwa dia sedang mengikuti
mereka.
Mereka berjalan terus. Malam makin lama makin gelap. Di
jalan-jalan yang dingin dan gelap itu mereka hanya berpapasan
dengan dua orang miskin. Esmeralda dan Djali berjalan melalui jalan-
jalan sempit yang berliku-liku. Kemudian Gringoire tak tahu lagi di
mana dia berada.
Kemudian Esmeralda membelok ke suatu tikungan lalu
memasuki sebuah jalan yang tidak segelap yang lain-lain. Ketika
Gringoire memasuki jalan itu dilihatnya bahwa Esmeralda sedang
menunggu di samping sebuah etalase toko yang terang, di mana roti
dibuat untuk esok paginya. Mungkin dia mendengar suara jejak
kakinya. Dia lalu menoleh akan melihat siapa orangnya. Esmeralda
memandangnya tanpa berkata apa-apa. Dia tersenyum sedikit dengan
senyum yang mengandung iba di wajahnya yang cantik: dia tahu
bahwa Gringoire lemah dan tak mungkin menyakitinya. Kemudian dia
berjalan terus dengan cepat di jalan yang sempit itu. Kambingnya
yang kecil berlari-lari kecil dengan senangnya di sampingnya dan
kakinya yang keemasan berkilau di atas batu.
Gringoire merasa dirinya dungu, mukanya terasa merah waktu
dia berdiri dekat etalase yang terang itu. Dia berdiri terus sampai
Esmeralda membelok ke kanan di ujung jalan, lalu disusulnya lambat-
lambat.
Waktu dia tiba di tikungan di dengarnya suatu pekik ketakutan.
Suara itu suara Esmeralda. Gringoire bergegas mendekatinya.
Jalan itu gelap oleh bermacam-macam bayangan, tapi di ujung
jalan ada lampu kecil menyala. Lampu itu lampu minyak yang
terdapat dalam kotak besi kecil, dinyalakan sebagai penghormatan
terhadap Bunda Maria, ibu Kristus yang patung batunya berdiri di
atasnya. Dalam cahaya lampu itu, Gringoire bisa melihat Esmeralda.
Dia sedang berjuang dalam cengkraman dua orang laki-laki. Salah
seorang laki-laki itu berpakaian hitam. Mereka mencoba
menghentikan pekik Esmeralda, sedang kambing kecilnya yang
malang ketakutan dan menundukkan kepalanya sambil mengembik-
embik.
"Tolong! Tolong!" teriak Gringoire. "Tolong pasukan ronda,
tolong di sini!"
Salah seorang dari yang mencengkram Esmeralda itu menoleh
padanya. Laki-laki itu hanya bermata satu dan mukanya jelek sekali.
Dia adalah Quasimodo!
Gringoire tidak melarikan diri, tapi dia tidak pula mendekat
barang selangkah pun.
Quasimodo berlari mendatanginya dan menghantamnya dengan
punggung sebelah tangannya saja sampai Gringoire jatuh ke batu.
Kemudian Quasimodo mengangkat gadis itu, lalu menggendongnya
seolah-olah dia seringan bulu. Mereka menghilang dalam gelap. Laki-
laki yang seorang lagi menyusul mereka.
"Pembunuh! Pembunuh!" teriak gadis itu. Dan kambing kecil
itu pun lari.
Tiba-tiba saja terdengar suatu suara yang dalam dan besar
seperti suara dentuman meriam. Suara itu suara seorang laki-laki
penunggang kuda.
"Berhenti-berhenti! Lepaskan wanita itu!"
Dia adalah kapten pasukan raja. Dia tiba-tiba muncul dari jalan
lain. Dia bersenjata lengkap dan di tangannya ada pedang.
Diambilnya gadis gipsy itu dari tangan si bongkokyang amat
terkejut, lalu didudukkannya di atas kuda di depannya. Quasimodo
mengejarnya akan mengambil kembali Esmeralda, tapi lima belas atau
enam belas orang prajurit yang masing-masing memegang pedang
terhunus muncul di belakang pemimpin mereka. Prajurit-prajurit itu
mengepung Quasimodo, mereka menangkapnya lalu menahannya. Dia
berteriak-teriak, melawan dan menggigit, tapi mereka tak mau
melepaskannya. Laki-laki yang berpakaian hitam tadi melarikan diri
lalu menghilang dari jalan itu.
Esmeralda kini duduk di depan kapten di atas kudanya yang
besar. Diletakkannya tangannya ke pundak anak muda itu dan
dipandangnya wajahnya yang tampan. Kemudian dia bertanya sambil
tersenyum, "Kapten, siapakah nama Anda?"
"Kapten Phoebus, siap melayani Anda, Gadis cantik," sahut
perwira itu sambil menegakkan duduknya.
"Terima kasih," kata Esmeralda. "Terima kasih, kapten yang
baik."
Sedang kapten Phoebus memegang janggut kecilnya dengan
bangga, Esmeralda menjatuhkan dirinya dari kuda dan melarikan diri
dalam gelap.
"Setan sialan!" umpat kapten itu sambil mengeratkan ikatan tali
di tubuh Quasimodo dan melihat mukanya yang jelek, ''Aku lebih
senang menahan gadis itu!"
***
Gringoire terbaring di jalan di bawah lampu kecil itu. Dia tak
ingat bagaimana dia sampai berada di situ, dan waktu dia memandang
ke atas, terlihat kaki Bunda Maria dari batu itu, tapi kemudian dia
merasa seolah-olah tubuh Bunda Maria itu berputar-putar sangat
cepat.
"Apa yang telah terjadi?" pikirnya. "Dan apa ini, yang dingin
membeku di punggungku?"
Dipegangnya pakaiannya. Semuanya basah oleh air jalanan
yang kotor dan dingin.
"Benar-benar tempat yang buruk untuk tidur di malam sedingin
ini!" Dia berusaha untuk berdiri.... tapi geraknya lambat sekali, karena
kepalanya masih terasa aneh. Rasanya berputar ke arah terbalik
sekarang. Dia berbaring lagi.
Kemudian didengarnya suara anak-anak laki-laki berteriak-
teriak nyaring sekali, "Michel sudah mati! Michel sudah mati!
Pengemis tua sudah mati! Mari kita bakar kasur tuanya yang kotor itu
di hadapan Bunda Maria!"
Gringoire merasa ada sesuatu yang lembut jatuh di atasnya.
"Berat sekali benda ini," pikir Gringoire, "lagi pula busuk
baunya." Anak-anak itu tidak melihatnya terbaring di jalan. Salah
seorang di antaranya menyalakan sepotong kain pada lampu di bawah
kaki Bunda Maria, untuk membakar kasur yang telah mereka
lemparkan.
"Aku mencium sesuatu yang terbakar!... ya, ini asap!....matang
aku kalau aku tetap di sini!" pikir Gringoire.
"Tolong!" teriaknya. Dia berusaha keluar dari bawah kasur itu.
Kemudian kasur itu diambilnya, dilemparkannya ke arah anak-anak
itu lalu lari secepat mungkin.
"Hei, itu arwah pengemis itu!" teriak anak-anak itu. "Ayo lari!"
Mereka lari ke arah lain.
Gringoire berjalan dari satu jalan ke jalan lain tanpa tahu ke
mana dia pergi. Akhirnya dia berhenti, menyandarkan punggungnya
pada dinding sebuah rumah. Dibukanya mulutnya lebar-lebar untuk
menghirup udara malam yang dingin.
"Bodoh benar aku!" pikirnya. "Seharusnya aku tidak melarikan
diri dari anak-anak itu. Mereka pun ketakutan melihat aku! Aku
seharusnya diam-diam di sana dan menghangatkan diriku dekat api
yang mereka nyalakan, atau bahkan kalau anak-anak itu sudah
pergi dan aku bisa memadamkan apinya kasur tua itu akan bisa
menjadi milikku dan aku bisa menidurinya enak-enak! Sebaiknya aku
cepat-cepat kembali ke sana!"
Dia berbalik, lalu berjalan memasuki jalan gelap tadi. Dia
bergegas terus, dan sering membelok ke kanan dan ke kiri ke arah
yang salah sampai akhirnya dia tiba ke suatu jalan di mana ada
sesuatu yang menyala.
"Itulah dia!" serunya, "itu kasurku!" dan dia mulai berlari.
"Berilah uang sedikit untuk pengemis miskin dan tua!"
terdengar suara jelek di sampingnya, dan Gringoire melihat suatu
makhluk tanpa kaki mendatanginya dari kegelapan.
"Maaf," kata Gringoire, "Saya sendiri sama sekali tak punya
uang."
"Berilah uang sedikit saja!" Pengemis tanpa kaki itu berjalan
dengan bantuan dua buah tongkat di belakang Gringoire.
"Berilah saya sesuatu, Tuan!" seru suatu suara kasar lagi, dan
muncullah pengemis kedua, yang berjalan dengan bantuan sebuah
tongkat.
"Sudah kukatakan, aku sendiri tak punya apa-apa, sahabatku,"
kata Gringoire.
Kemudian muncul lagi seorang pengemis di hadapannya. Dia
seorang laki-laki kecil yang buta, berjanggut hitam yang panjang,
dengan sebuah tongkat putih dan seekor anjing besar yang kasar untuk
menuntunnya.
"Demi Tuhan yang Maha Pengasih, beri saya uang!" bisik
pengemis buta dengan suara lemah.
"Aku tak punya apa-apa, tak ada apa-apa!" seru Gringoire.
Ketiga pengemis itu mengikutinya. Dia mulai merasa takut. Mereka
mengikutinya terus.
"Saya tak bisa memberi kalian apa-apa, Sahabat-sahabatku.
Jangan ikuti saya terus!" Dia mulai berlari.
Pengemis-pengemis itu mengikutinya dan Gringoire keheranan
karena mereka pun berlari cepat. Dua laki-laki tak berkaki tadi
melemparkan tongkatnya dan kelihatanlah bahwa mereka sebenarnya
punya dua kaki yang kuat! Orang yang buta sebenarnya bisa melihat
dengan jelas, dan larinya lebih cepat daripada anjingnya yang besar!
Mereka semua mengejar Gringoire. Mereka makin lama makin dekat.
Gringoire gemetar ketakutan hingga kakinya hampir-hampir tak
terangkat lagi.
Tiba-tiba dilihatnya bahwa dia berada di sebuah alun-alun yang
besar. Banyak api menyala di batu-batu. Ada pula kelompok orang-
orang, laki-laki, perempuan dan anak-anak. Ada yang masak, yang
lain berteriak, menyanyi dan menari. Mereka adalah orang-orang yang
paling kotor di kota Paris. Mereka kelihatan miskin-miskin, dan
rumah-rumah di alun-alun itu tua, reot dan jelek-jelek tapi orang-
orangnya sebenarnya kaya. Mereka berpura-pura miskin dan sakit
seperti pengemis-pengemis yang mengejar Gringoire. Mereka
berpura-pura miskin, sakit atau buta supaya bisa meminta uang lebih
banyak dari pria dan wanita pemurah yang mempercayai mereka. Tapi
kini mereka berada di alun-alun mereka sendiri. Alun-alun para
pengemis, dan pencuri-pencuri, pembohong-pembohong dan
pembunuh-pembunuh itu tidak lagi berpura-pura tak bertangan,
berkaki atau bermata. Banyak orang yang tak berkaki sedang menari,
dan orang-orang buta sedang main kartu.
"Aku rasanya tak bisa percaya," pikir Gringoire. "Ini tak
mungkin suatu kenyataan! Mungkin aku sedang tidur enak-enak di
kasurku, dan ini semua hanya suatu mimpi buruk. Aku rasanya tak
bisa mempercayai penglihatanku!"
Tapi itu bukan suatu mimpi. Tiga orang pengemis tadi sedang
berteriak-teriak mengelilinginya, "Bawa dia menghadap Raja! Bawa
dia menghadap Raja!"
Pengemis-pengemis lain datang pula dan mengelilinginya, dan
mereka semua ikut berteriak, "Menghadap Raja! Menghadap Raja!"
"Raja mereka tentu setan!" pikir Gringoire waktu para pengemis
itu berebut-rebut untuk mendekatinya. Tapi ketiga pengemis tadi
berteriak pada yang lain,
"Dia kepunyaan kami! Biar kami yang menanganinya! Dia
kepunyaan kami!"
Mereka menangkapnya, mencakarnya dengan kuku mereka
yang panjang dan patah-patah, dan berteriak, "Menghadap Raja! Dia
kepunyaan kami!" Sementara itu mereka menyeretnya terus.
"Aduh Bunda Maria, Bunda Jesus, tolonglah aku!" dia mencoba
berdoa. "Kasihanilah aku dan selamatkanlah aku dari setan-setan ini!"



















Chapter 4
CANGKIR PECAH



GRINGOIRE melihat bahwa dia berada di sebuah dapur.
Sebuah dapur yang kelihatannya seperti tempat setan. Laki-laki dan
perempuan sedang duduk-duduk di sana dengan muka kotor dan
berkeringat sambil minum minuman keras. Dari lampu-lampu yang
tergantung, minyak menetes-netes ke meja-meja yang sudah rusak.
Beberapa di antara laki-laki itu sedang menanggalkan pembalut dari
kaki dan tangan mereka dan mereka membuang "luka-luka" bukan
luka-luka sungguhan, melainkan luka-luka yang dicorengkan di kulit
mereka. Yang lain sedang membersihkan cat hitam dari mata mereka
hingga hilanglah kesan butanya. Ruangan itu dipenuhi oleh suara tawa
dan nyanyian-nyanyian kotor. Seorang anak yang dicuri dari ibunya
yang kaya, sedang duduk di meja dan memukul-mukul sebuah kaleng
dengan sendok.
"Ayo ikut!" teriak pengemis yang pertama, dan Gringoire
didorongnya ke arah api. Di dekat api itu duduklah seorang laki-laki
gemuk dengan sebuah mahkota emas di kepalanya. Rupanya seperti
seorang gipsy. Seekor anjing hitam yang besar terbaring dekat
kakinya.
"Buka topimu di hadapan Raja kami!" teriak pengemis yang
kedua. Gringoire merasa topinya direnggutkan dari kepalanya. Dia
menoleh, tapi topinya sudah hilang. Hampir saja dia tersandung
seorang anak kecil yang tergolek di lantai yang kotor.
"Berdiri, Tolol!" teriak suatu suara marah.
"Siapa orang ini?" tanya Raja. Dia mengacungkan sebuah
tongkat tajam ke arah Gringoire, "Siapa dia?"
"Tuan... tuanku... Raja..bagaimana saya harus menyebut
Anda?" tanya Gringoire.
"Sebut saja aku sesuka hatimu. Asal kau cepat dan bela dirimu."
"Membela diriku?" bisik Gringoire. "Membela diriku terhadap
apa?"
"Jangan membuang-buang waktuku," teriak Raja. "Aku
hakimmu. Kau telah datang ke dalam kerajaanku yaitu kerajaan para
pengemis. Tak seorang pun mengundangmu ke sini. Kau harus
diganjar karena kau datang. Nah, siapa kau?"
"Tuan.... saya seorang pengarang...."
"Cukup!" teriak raja itu. "Pengarang-pengarang selalu
menceritakan yang jahat-jahat tentang rakyatku, para pengemis."
"Tapi saya ini Gringoire si penyair, dan naskah-naskah
sandiwara saya...."
"Aku sudah melihat salah satu sandiwaramu. Buruk, buruk
sekali. Orang yang menulisnya tentu sepantasnya digantung."
"Tapi, Anda tentu tidak akan membunuh saya tanpa
mendengarkan apa yang saya katakan?" seru Gringoire.
Seorang anak menyiramkan sebotol kecil minyak ke api, dan
nyala apinya menjadi besar sekali. Terdengarlah pekik-sorak dan
suara tawa. Daging yang sedang dimasak, hangus mengeluarkan bau
sangit dan asap tebal.
"Jaga masakan itu, Goblok!" seru suatu suara berat.
"Diam!" teriak Raja para pengemis. Dia memberikan isyarat
kasar pada beberapa orang di ujung dapur, lalu berpaling lagi pada
Gringoire, "Aku tidak bisa mendapatkan alasan mengapa kau tak perlu
digantung.
Gringoire menjadi pucat ketakutan.
"Tapi," Raja melanjutkan, "kalian orang-orang baik-baik
agaknya tak suka digantung, kan? Dan, lebih-lebih kami tak mau
menyakitimu. Coba kupikirkan dulu...." lalu Raja itu menggosok-
gosokkan tangannya di mukanya yang hitam itu. "Aku tahu," katanya
akhirnya. "Ada suatu jalan keluar, kau bisa menjadi salah seorang
anggota kami, seorang pencuri seperti kami semua. Bagaimana?"
Gringoire bisa bernafas lagi mendapatkan kesempatan hidup ini.
"Oh ya, saya mau!" serunya, "tentu saya mau!"
"Maukah kau menjadi anggota barisan kami?"
"Ya, ya saya mau, dan saya mau disuruh pergi ke mana pun
juga!"
"Menjadi seorang pencuri seperti kami?"
"Menjadi seorang pencuri seperti kalian!"
"Demi jiwamu?"
"Demi jiwa saya."
"Tentu harus kuberi tahu kau bahwa akibatnya kau akan
digantung."
"Benarkah?" bisik Gringoire, yang lalu merasa panas dingin
ketakutan.
"Tapi kau akan digantung oleh orang-orang Paris yang jujur di
tiang gantungan yang bagus dengan cara yang lebih baik. Itu suatu
hiburan juga, bukan?"
"Ya memang, benar!" sahut Gringoire.
"Dan kau tidak usah membayar apa-apa pada pemerintah. Kau
boleh berbuat apa saja di kota Paris ini!"
"Ya, ya benar!"
"Dan kau mau menjadi salah seorang anak buahku?"
"Tentu."
"Tidak cukup hanya mau saja. Keinginan baik saja tak ada
gunanya, kecuali hanya untuk masuk surga. Jika kau mau menjadi
salah seorang anggotaku, kau harus membuktikan bahwa engkau
pandai mengerjakan pekerjaan kami. Nah, kau harus mencuri dari si
George, orang kecil kami."
"Saya akan mencuri dari siapa pun yang Anda kehendaki," kata
Gringoire.
Raja memberi isyarat, dan beberapa orang meninggalkan
lingkaran untuk mengambil sesuatu. Sebentar kemudian mereka
kembali dengan dua buah tiang kayu dan mendirikannya di lantai.
Melintang di atas kedua tiang itu mereka memasang sepotong kayu
lagi, dan dari kayu itu mereka menggantungkan sepotong tali.
Keseluruhannya merupakan sebuah tiang gantungan yang sempurna.
Gringoire merasa ngeri sekali. "Bagaimana kesudahan
semuanya ini?" tanyanya sendiri.
Bunyi lonceng-lonceng kecil menyebabkan dia berhenti
berpikir. Bunyi itu berasal dari seorang manusia tiruan yang dibuat
dari kain, yang digantung pencuri-pencuri itu dari tali pada tiang
gantungan itu. Orang-orangan itu diberi pakaian merah, dilengkapi
dengan lonceng-lonceng kecil dari tembaga. Lonceng-Ionceng kecil
itu berbunyi bagus sebentar, waktu tali itu berayun, tapi suaranya
makin lama makin halus dan menghilang sama sekali ketika orang-
orangan itu menjadi diam tak bergerak.
Raja mengacungkan tongkatnya ke arah sebuah kursi tua yang
ada di bawah orang-orangan merah itu, lalu berkata pada Gringoire,
"Berdirilah di atas kursi itu."
"Setan!" kata Gringoire. "Bisa patah leher saya! Kakinya yang
satu lebih pendek daripada yang tiga."
"Naik," ulang Raja itu dengan tenang.
Gringoire naik dan berdiri di atas kursi itu, terhuyung-huyung
ke belakang dan ke depan beberapa kali, tapi dia tidak jatuh.
"Nah," kata Raja, "ulurkanlah badanmu sampai setinggi
mungkin."
"Apakah Anda ingin tulang-tulang saya patah?" tanya
Gringoire.
Sang Raja menggeleng. "Dengarkan, Sahabat," katanya, "kau
terlalu banyak bicara. Dengar, ini yang harus kaulakukan: ulurkan
badanmu sampai setinggi mungkin, sampai kau bisa menjangkau saku
merah si George kecil kami. Masukkan tanganmu ke dalamnya dan
keluarkan uang yang tersembunyi di dalamnya. Jika semuanya itu bisa
kaulakukan tanpa lonceng itu berbunyi sedikit pun, baguslah maka
kau akan menjadi salah seorang anak buahku."
"Saya akan berhati-hati sekali," kata Gringoire. "Tapi kalau
lonceng-lonceng di tubuh George berbunyi ....... ?"
"Jika lonceng-loncengnya berbunyi, kau akan digantung
menggantikan dia, sahabatku. Nah sekarang kerjakan, jangan bicara
lagi. Dan ingat, kalau ada satu lonceng yang berbunyi sedikit saja,
lehermu akan digantung di situ!"
Semua pencuri melingkari tiang gantungan itu, mereka berteriak
dan tertawa-tawa tanpa rasa kasihan barang sedikit juga pun.
Gringoire sadar bahwa dia sama sekali tak punya harapan kecuali
kalau dilakukannya sebagaimana yang diperintahkan. Dia
menengadah memandang pada George, dan berdoa sepenuh hati
terhadap orang-orangan merah itu, hatinya tentu lebih lembut daripada
hati pencuri-pencuri yang berdiri menontonnya. Lonceng-lonceng
logam itu kelihatan seperti lebah yang sedang marah dan bersiap-siap
akan menyerangnya.
Gringoire masih mendapat suatu harapan terakhir, dia berpaling
pada Raja dan bertanya, "Bagaimana kalau angin bertiup dan meniup
lonceng-lonceng itu sampai berbunyi?"
"Maka kau akan digantung," sahut Raja segera.
Menyadari bahwa tak ada jalan keluar, Gringoire mulai
menjalankan tugasnya. Dia meninggikan dirinya sedapat-dapatnya,
dan perlahan-lahan menjangkaukan tangannya. Tapi pada saat
tangannya menyentuh kain merah itu, dirasakannya dirinya jatuh ke
kursi, dan untuk bertahan dia berpegang pada George. Pada saat itu
pula semua lonceng mulai berbunyi dan jatuhlah Gringoire ke lantai
dengan suara lonceng itu memenuhi telinganya. George terayun-ayun
ke belakang dan ke depan di atasnya, di antara kedua buah tiang.
"Tolong!" teriak Gringoire, waktu dia jatuh dan dia tersungkur
di lantai seolah-olah mati.
Lonceng-lonceng itu berbunyi terus, dan pencuri-pencuri itu
tertawa.
"Angkat orang itu, dan gantung dia segera," kata sang Raja.
Gringoire bangun sendiri. Pencuri-pencuri itu telah menurunkan
George untuk digantikan tempatnya oleh Gringoire nanti. Mereka
mengangkat penyair itu ke atas sebuah kursi, dan sang Raja
memasang tali ke lehernya.
"Selamat jalan, Sahabat," kata sang Raja. "Kau tak bisa lolos
lagi sekarang, tak ada kesempatan lagi!"
Kata 'kasihanilah' tak jadi diucapkan oleh Gringoire. Dia
melihat ke sekelilingnya, namun tidak melihat bayangan harapan
barang sedikit jua pun. Semua muka itu tertawa seperti setan.
"Nah sekarang kalian bertiga sini," kata Raja, "seorang
menangani kayu melintang itu, seorang siap untuk menyepak kursi
tempatnya berdiri, dan seorang lagi menarik kakinya."
Ketiga pengemis yang membawa Gringoire tadi, maju. Yang
kecil dan berjanggut hitam, dengan cepat memanjat kayu melintang
dan melongok ke bawah, tertawa pada Gringoire. Kedua orang yang
lain berdiri di bawah dan menunggu saatnya melakukan apa yang
diperintahkan.
"Bila tongkatku memukul meja...." kata sang Raja. Dia
memasukkan beberapa potong kayu kecil-kecil ke dalam perapian.
Keadaan sepi dan tegang.
"Sudah siapkah kalian?"' tanyanya.
"Siap!" jawab mereka bertiga dengan suara datar.
"Sudah siap?" tanyanya lagi, sambil mengangkat tongkatnya.
Tangannya tak bergerak menunggu: sedetik lagi, maka....
Tetapi dia terhenti. Dia tiba-tiba teringat akan sesuatu.
"Tunggu dulu," katanya. "Aku lupa kebiasaan kita untuk tidak
menggantung seseorang, sebelum bertanya apakah tak ada wanita kita
yang mau menjadikannya suaminya. Inilah kesempatanmu yang
terakhir sahabat: pilih salah satu, kawin dengan salah seorang wanita
kami atau kawin dengan tali gantungan kami."
Gringoire bernafas lega.
"Nah," kata sang Raja, "mari sini, kalian kaum wanita dan
gadis-gadis! Ini ada seorang laki-laki yang bisa kalian kawini dengan
cuma-cuma! Siapa yang mau?"
Perempuan-perempuan itu tak suka melihat rupanya.
"Gantung saja dia! Kami akan senang!" teriak salah seorang di
antaranya. Banyak yang tertawa.
Tapi tiga orang di antaranya, keluar dari kumpulannya lalu
memandangnya. Yang pertama, seorang wanita muda berwajah segi
empat, mengamat-amati pakaiannya yang buruk.
"Perlihatkan jasmu," perintahnya pada Gringoire.
"Sudah hilang," sahut Gringoire.
"Topimu?"
"Sudah mereka rampas daripadaku."
"Sepatumu?"
"Tinggal sedikit sekali bagian yang tersisa." "Apa isi sakumu?"
"Kosong. Menyesal saya harus mengatakan saya tak punya
uang sesen pun."
"Kalau begitu biar saja orang menggantungmu, aku tak peduli,"
katanya, lalu berbalik.
Wanita kedua, sudah tua dan berkulit gelap, berjalan
mengelilinginya.
"Dia terlalu kurus," katanya, lalu meninggalkannya.
Yang ketiga masih muda, berwajah cukup cantik.
"Selamatkanlah saya!" bisik laki-laki malang itu. Wanita itu
memandangnya dengan iba, lalu menekur. Dia tak bisa mengambil
keputusan. Gringoire memperhatikan setiap gerak wanita itu. Itulah
harapannya yang terakhir. Kemudian wanita itu mengambil
keputusan.
"Tidak," katanya; "Henri nanti memukulku." Dia kembali ke
kumpulannya.
"Jadi tak adakah yang mengingini si penyair?" kata sang Raja.
"Bagaimana.... bagaimana...." lalu dia berpaling ke tiang gantungan itu
seolah-olah akan memberikan kata terakhir.
Pada saat itu terdengar suatu teriakan dari ujung lain ruangan
itu,
"Esmeralda! Esmeralda!"
Gringoire terkejut, dan menoleh. Orang-orang menyisih dan
memberi jalan pada seorang gadis yang bersih dan cemerlang. Dia
adalah gadis gipsy tadi.
"Esmeralda!" bisik Gringoire dengan suara penuh rasa kagum.
Kecantikan dan keanggunan sikapnya memberikan semarak
pada ruangan itu, dan wajah pencuri-pencuri yang keras dan kejam
menjadi lembut waktu dia melewati mereka. Djali, kambing kecilnya,
mengikutinya.
Esmeralda mendekati Gringoire yang merasa dirinya lebih
mendekati kematian daripada hidup. Dipandanginya Gringoire
beberapa lamanya tanpa berkata apa-apa.
"Apakah Anda akan menggantung orang ini?" tanyanya dengan
tenang pada Raja.
"Benar, Saudara," jawabnya; "kecuali kalau kau mau
mengambilnya sebagai suamimu."
"Aku mau mengambilnya," katanya.
Gringoire yakin bahwa dia bermimpi sejak pagi-pagi tadi.
Mereka melepaskan tali dan membantunya turun dari kursi. Tanpa
berkata apa-apa, sang Raja mengambil sebuah cangkir dari meja lalu
memberikannya pada Esmeralda. Esmeralda memberikannya pula
pada Gringoire.
"Lemparkan ke lantai," katanya.
Cangkir itu pecah menjadi empat.
"Sahabat," kata sang Raja, sambil meletakkan tangannya ke
kepala Gringoire dan Esmeralda, "dia menjadi istrimu, Saudara, dia
suamimu selama empat tahun. Pergilah."
Ebukulawas.blogspot.com




















Chapter 5
MALAM PENGANTIN



KAMAR kecil itu hangat dan nyaman. Gringoire langsung
duduk, dan Esmeralda membawa barang-barang dari rak, supaya
Gringoire bisa makan malam.
Dia sama sekali tidak mengacuhkan Gringoire waktu dia
melewatinya membawa sebuah piring, pisau dan cangkir. Gringoire
memperhatikan Esmeralda, dan merasa seolah-olah dirinya berada
dalam sebuah dongeng. Sambil hilir-mudik itu, Esmeralda berbicara
dengan kambing kecilnya. Suaranya terlalu halus hingga tak dapat
Gringoire mendengarnya. Akhirnya Esmeralda mendatanginya dan
duduk dekat meja, dan Gringoire dapat melihatnya dengan jelas.
"Sungguh cantik dia!" pikirnya. "Dan gadis cantik yang biasa
menari di jalan ini, telah menyelamatkan nyawaku. Dia tentu tergila-
gila padaku, maka dia mau mengambilku. Dan kini aku suaminya!"
Gringoire bangkit, mendekatinya, lalu tersenyum. Tapi
Esmeralda menjauh.
"Mau apa kau?" serunya.
"Mengapa masih kautanyakan, Esmeralda-ku yang cantik?"
sahutnya.
"Aku tak tahu apa maksudmu," kata Esmeralda.
"Bagaimana mungkin! Bukankah aku milikmu, Manis? Dan kau
kepunyaanku?" Gringoire merangkul Esmeralda.
Seperti seekor ular Esmeralda melepaskan dirinya dari
rangkulan itu. Dia berlari ke ujung kamar dan berbalik ke arah
Gringoire dengan sebuah pisau kecil di tangannya. Matanya berapi-api
karena marah. Pada saat yang sama kambing kecil putih berdiri di
depannya, dan menggoyang-goyangkan kepalanya yang bertanduk
keemasan yang tajam, seolah-olah akan mengatakan pada Gringoire
supaya menjauh.
Gringoire melihat pada kambing dan gipsy itu.
"Demi Bunda Maria," kata Gringoire, "tipu muslihat apa yang
sedang kaulakukan atas diriku sekarang ini?"
Esmeralda terdiam.
"Kau tentunya laki-laki pemberani," kata Esmeralda akhirnya,
"karena kau begitu berani mendekati Esmeralda!"
"Maafkan aku, perempuan yang baik," kata Gringoire dengan
tersenyum, "tapi mengapa kaukawini aku?"
"Apakah harus kubiarkan mereka menggantungmu?"
"Jadi," kata Gringoire dengan sedih karena harapan-harapan
cintanya lenyap, "kau tak punya tujuan lain waktu mengawiniku,
selain akan menyelamatkan aku dari tiang gantungan?"
"Lalu kausangka tujuan lain apa yang ada padaku?"
Gringoire menggigit bibirnya. "Yah," katanya, "aku rupanya tak
berhasil dalam bercinta, sebagaimana yang kuharapkan! Tapi, lalu apa
gunanya pemecahan cangkir segala tadi, kalau kau tak menghendaki
diriku sebagai seorang suami?"
Pisau Esmeralda dan tanduk Djali masih teracung padanya.
"Aku menyadari," kata Gringoire, "bahwa aku tidak akan
mendapatkan cinta. Tapi setelah segala macam kejadian atas diriku
hari ini, aku benar-benar butuh makanan."
Esmeralda tidak berkata apa-apa. Dia mendongakkan
kepalanya, lalu tertawa. Pisau kecil tadi menghilang secepat dia
mengeluarkannya tadi. Gringoire tak sempat melihat di mana dia
menyembunyikannya.
Sesaat kemudian sebatang roti, sepotong daging, beberapa buah
apel yang keriput serta sekendi anggur sudah tersedia di meja.
Gringoire mulai makan dengan lahap. Bunyi pisau yang nyaring di
piring membuktikan bahwa rasa cinta telah berubah menjadi rasa
lapar.
Esmeralda duduk di dekatnya, memperhatikannya tanpa
berbicara. Dia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Sekali-sekali
dia tersenyum, sementara tangannya membelai kepala kambingnya
lalu menekannya dengan lembut ke lututnya. Lampu memantulkan
cahaya kuning kepada mereka.
Setelah Gringoire merasa kenyang dia merasa malu karena yang
tersisa hanyalah sebuah apel dan roti sedikit sekali.
"Esmeralda," katanya, "kau sendiri tak makan."
Esmeralda menggeleng, tapi tidak berkata apa-apa. Dia masih
tenggelam dalam angan-angannya. Gringoire ingin tahu apa yang
diangankannya. Gringoire memanggilnya, tapi Esmeralda tetap diam.
Sekali lagi dia memanggil, tapi Esmeralda tetap tak
memperdulikannya. Tapi tak demikian dengan kambingnya, binatang
itu menarik baju gadis itu perlahan-lahan.
"Mau apa kau Djali?" tanya gipsy itu.
"Djali lapar," kata Gringoire, dia senang karena bisa berbicara
lagi dengan gadis itu. Esmeralda mengambil roti lalu memotongnya
sedikit dengan tangannya. Djali memakannya.
Sebelum Esmeralda sempat berpikir lagi, Gringoire bertanya
dengan suara sedih, "Jadi tetap tak maukah kau mengambilku sebagai
suamimu?"
Esmeralda memandang tenang padanya, dan menjawab,
"Tidak."
"Sebagai pacarmu?"
"Tidak."
"Sebagai sahabatmu?"
Esmeralda berpikir, lalu menyahut, "Mungkin."
"Tahukah kau apa arti persahabatan?" tanya Gringoire.
"Ya," sahutnya, "yaitu kita harus seperti saudara saja dua
jiwa yang bertemu tapi tidak bersatu seperti dua jari pada satu tangan."
"Sedang cinta?"
"Oh, cinta!" katanya dengan mata berbinar-binar, "itu berarti
dua namun tetap satu. Cinta itu surga!"
Ketika dia berbicara itu wajahnya kelihatan lebih cantik lagi.
"Laki-laki macam mana yang akan membahagiakanmu?" tanya
Gringoire.
"Seorang prajurit dengan pedang di tangannya. Dia bersenjata
lengkap, dan dia menunggang kuda yang bagus."
"Dan cintakah kau pada laki-laki seperti itu?"
"Hal itu akan segera kuketahui," sahutnya.
"Tapi tak bisakah kau mencintai seorang penyair?" tanya
Gringoire perlahan, "tak bisakah kau mencintaiku?"
Esmeralda memandangnya dengan serius, lalu berkata, "Aku
tak bisa mencintai laki-laki yang tak bisa melindungiku."
Gringoire merasa malu karena dia ingat bahwa dia tak bisa
membantu Esmeralda di jalan dua jam yang lalu. Dia teringat lagi
akan pergumulan tadi, dan dia bertanya, "Bagaimana kau bisa lolos
dari cengkraman Quasimodo?"
"Oh, si bongkok jahat itu!" seru Esmeralda. Ditutupnya
mukanya dengan kedua belah tangannya, dan dia gemetar seolah-olah
kedinginan.
"Memang jahat," kata Gringoire. "Tapi bagaimana kau bisa
lepas dari dia?"
Esmeralda tersenyum, dan diam-diam dia kembali pada
kenangannya. Lalu dia mulai bersenandung halus. Gringoire
memotong nyanyian itu lalu bertanya,
"Mengapa orang menamakanmu Esmeralda?"
"Entahlah," sahutnya. "Mungkin karena ini." Dari dalam
bajunya dikeluarkannya sebuah kantong kecil yang tergantung pada
seutas rantai perak di lehernya. Kantong itu terbuat dari sutera hijau,
di mana dilekatkan sepotong kaca hijau cerah.
"Kata orang memang ada batu mulia yang berwarna hijau cerah
seperti ini, dan kami kaum gipsy menyebutnya 'La Esmeralda'."
"Bagus sekali," kata Gringoire, sambil mengulurkan tangannya
ke kantong itu.
"Jangan!" seru Esmeralda, "jangan sentuh, ini ada tenaga
gaibnya." Dimasukkannya lagi kantong itu ke dalam bajunya.
"Siapa yang memberimu barang itu?" tanya Gringoire, tapi
Esmeralda meletakkan jarinya ke bibirnya dan tak mau menjawab.
"Masih hidupkah ibu-bapakmu?" tanyanya. Esmeralda lalu
menyanyikan lagu tua,

Ibuku adalah burung,
ayahku juga burung,
di udara, melalui air 'ku terbang,
selalu bebas aku terbang,
ibuku adalah burung,
demikian pula ayahku."

"Tahun lalu aku datang ke Paris ini," kisahnya. "Waktu Djali
dan aku berjalan melalui gerbang kota, seekor burung kecil terbang ke
luar, dan aku berkata, 'Musim salju ini akan dingin sekali.' "
"Dan ternyata memang demikian!" seru Gringoire. "Sepanjang
waktu tiada lain kerjaku, harus meniup-niup tanganku terus untuk
menghangatkannya. Kau seorang peramal yang baik!"
"Bukan," katanya.
Lalu Gringoire menceritakan tentang dirinya.
"Aku tak punya ayah dan ibu," kisahnya. "Keduanya meninggal
waktu aku masih bayi. Aku dibesarkan dan diajar oleh para imam,
supaya kalau aku sudah besar aku akan bisa menjadi seorang imam
dan guru pula. Imam-imam itu pandai sekali. Claude Frollo, yang
paling terpelajar di Paris ini pun pernah memberi aku pelajaran! Tapi
aku ingin menjadi seorang pengarang, dan kini aku memang seorang
penulis. Bukan," katanya lagi dengan sedih, "semula aku memang
seorang penulis. Tapi aku tak bisa mendapatkan uang yang cukup
untuk membeli rotiku saja. Bagaimana kita berdua bisa hidup, setelah
kita jadi suami istri ini?"
Gringoire menunggu supaya Esmeralda berbicara, tapi dia
menekur saja. Lalu dia berkata perlahan sekali, "Phoebus... Phoebus."
Lalu dia mengangkat kepalanya memandang Gringoire.
"Apa arti kata itu?" tanyanya.
Gringoire tak mengerti mengapa Esmeralda ingin tahu arti kata
itu, tapi dia senang bisa menunjukkan kepandaiannya.
"Itu suatu perkataan dari bahasa lain," katanya, "dan berarti
'matahari'!"
"Matahari!" ulang Esmeralda, dengan senyum yang manis
sekali, "matahari!"
"Phoebus adalah dewa yang mulia dan cemerlang."
"Seorang dewa!" ulang Esmeralda, dengan suara merenung dan
rasa kagum.
Kemudian, sebelum Gringoire mengerti apa yang akan terjadi,
Esmeralda sudah lari ke luar. Kambingnya cepat melompat
menyusulnya. Pintu ditutupnya. Gringoire bangkit dan cepat
menyusulnya. Tapi lalu didengarnya kunci diputar. Dia menggedor
pintu sampai tangannya sakit.
"Jadi aku harus menghabiskan malam pengantinku ini seorang
diri," katanya dengan sedih. "Kuharap saja dia sekurang-kurangnya
menyediakan tempat bagiku di sini!"
Tapi yang didapatinya di kamar itu hanyalah sebuah peti kayu
panjang, dan dia meletakkan tubuhnya di situ. Dia begitu letihnya
hingga dia langsung tertidur.
Chapter 6
RUANG SIKSAAN



PRAJURIT-PRAJURIT berhasil menangkap Quasimodo di
jalan waktu dia mencoba melarikan Esmeralda, lalu mereka
membawanya ke penjara. Di sana, sepanjang malam dia ketakutan.
Esok paginya dia dihadapkan pada hakim di pengadilan.
Quasimodo tak dapat mendengar sepatah pun dari apa-apa yang
dikatakan di sana. Waktu pertanyaan-pertanyaan diajukan, dia bisa
melihat bahwa orang berbicara dengan dia, dan diperhatikannya gerak
bibir orang-orang itu. Lalu dia mencoba menjawab sedapat-dapatnya.
Tapi jawaban-jawabannya tak ada hubungannya dengan pertanyaan-
pertanyaannya, dan ruang pengadilan itu pun langsung riuh oleh suara
tawa orang. Hakim menjadi marah sekali. Pak hakim semalam
menghadiri suatu jamuan makan besar dan penting. Kini perutnya
terasa tak enak karena kebanyakan makan, dan kepalanya sakit sekali
gara-gara kebanyakan minum minuman keras. Pada sangkanya si
bongkok bermata satu ini sedang mempermainkan dia, terutama
karena telinga pak hakim sendiri pun tidak begitu baik juga meskipun
dia pura-pura bisa mendengar segala-galanya dengan baik sekali,
sedang orang-orang takut menunjukkan kesalahan-kesalahannya.
Pak hakim tadi mulai terlambat, padahal hari itu dia harus
mengadili banyak perkara, oleh karenanya dia ingin cepat
menyelesaikan perkara Quasimodo. Diperintahkannya saja supaya si
bongkok dipasung di roda dan dipukuli selama satu jam.
Quasimodo tak mendengar sepatah pun apa yang dikatakan pak
hakim, jadi dia berbicara lagi,
"Mungkin Anda ingin tahu nama saya? Nama saya
Quasimodo...."
"Diam!" teriak seorang perwira. Tapi Quasimodo tak
mendengar.
"Pekerjaan saya membunyikan lonceng di gereja Notre-
Dame...."
"Diam! Diam!"
"Dan umur saya...."
Pak hakim makin marah dan mukanya yang kuning jadi merah
padam.
"Bawa orang itu ke luar!" teriaknya, "dan biarkan dia di ruang
siksa itu satu jam lagi. Biar dia jera! Tak ada gunanya
mempermainkan hukum, Saudara!"
Maka dibawalah Quasimodo pergi, sedang pak hakim
melanjutkan dengan perkara selanjutnya.
***
Roda itu berada di puncak suatu menara batu di sebelah tiang
gantungan, di Place de Grve. Di dalamnya tak ada apa-apa kecuali
beberapa anak tangga yang kasar dan curam yang menuju ke
puncaknya. Di puncak itu, ada sebuah roda besar. Orang-orang yang
bersalah diikat pada roda itu dengan cara yang menyakitkan,
punggungnya menghadap alun-alun dan lengannya diikat pada
lututnya. Lalu mereka dipukuli, dan sementara itu roda itu diputar
perlahan-lahan terus supaya semua orang di alun-alun bisa melihat
mereka menderita. Quasimodo dibawa ke ruang siksa itu.
Semalam Quasimodo dibawa ke alun-alun, diusung dengan
sorak-sorai, nyanyi dan tawa, sebagai Imam Tertinggi Orang-orang
Dungu. Waktu itu orang-orang banyak menghendakinya. Kini mereka
tak tahu kesalahan apa yang telah dilakukannya, tapi hati mereka telah
menjadi batu, sekeras dan sedingin batu ruang siksa itu dan mereka
datang untuk menambah siksaannya.
Suster Gudule menjenguk melalui jeruji besi jendela Lubang
Tikus waktu didengarnya orang-orang lewat menuju ke Roda di Place
de Grve. Dia mencoba menjulurkan kepalanya, dan matanya bersinar
dengan sinar kegila-gilaan lalu berteriak pada prajurit-prajurit yang
lewat:
"Demi Tuhan yang Pengasih, mudah-mudahan itu seorang
gipsy! Mudah-mudahan yang akan dipukul hari ini adalah seorang
gipsy!"
"Kali ini doa Anda tak makbul, Suster," katanya sambil tertawa
dan berjalan terus cepat-cepat.
"Kukutuk mereka itu!" teriaknya, "kukutuk semua gipsy!"
Suster Gudule masuk kembali ke Lubang Tikusnya, berbaring di lantai
yang dingin dan kotor dan membaca doa-doanya.
Para prajurit menggabungkan diri dengan orang banyak di
sekeliling ruang siksa, dan melihat apa yang terjadi atas diri
Quasimodo. Lengan si bongkok diikat demikian kuat hingga kulitnya
luka.
Tapi kelihatannya dia tidak merasa sakit sama sekali, atau
bahkan tak mengerti apa yang sedang dilakukan orang-orang atas
dirinya. Dia acuh tak acuh saja, seolah-olah dia buta.
Orang-orang mendorongnya supaya berlutut di Roda. Dia sama
sekali tidak mencoba membela dirinya. Mereka membuka jas dan
kemejanya, lalu mengikatnya dengan rantai, tapi dia tetap tak
bergerak. Dia hanya sekali-kali menarik nafas dengan suara nyaring,
seperti seekor binatang sebelum disembelih.
Orang banyak tertawa waktu melihat punggung Quasimodo
tanpa pakaian, dan mereka merasa lucu sekali waktu melihat
pundaknya yang jelek penuh dengan rambut. Bagi orang-orang yang
tak kenal rasa kasihan itu, dia seperti suatu makhluk aneh dalam suatu
pertunjukan.
Algojo menaiki tangga di menara dan berdiri dekat roda. Algojo
adalah seseorang yang menyiksa dan amat menyakiti orang lain.
Algojo ditugaskan untuk menyiksa orang-orang yang telah berbuat
salah, atau menyakiti seorang terhukum untuk memaksanya mengakui
kesalahannya. Orang-orang banyak berteriak kesenangan waktu
mereka melihat algojo itu muncul.
Ditaruhnya sebuah 'botol-jam' yang tinggi di samping roda itu.
Benda itu merupakan dua buah cangkir besar dari kaca yang disusun
ke atas. Cangkir yang di atas penuh pasir merah, yang jatuh sedikit -
sedikit melalui suatu celah ke dalam cangkir yang di bawah. Setelah
satu jam, pasir itu baru habis. Selama waktu itu, Quasimodo harus
dipukuli.
Kemudian algojo itu bersiap-siap untuk memukul Quasimodo
dengan tali-tali yang diikatkan pada sepotong kayu. Tali-tali itu
banyak simpul-simpulnya, dan di ujung tali-tali itu terdapat logam
yang tajam-tajam.
Setelah semuanya siap, sang algojo memberikan isyarat, roda
mulai berputar, dan terdengar suara mendengung dari kumpulan
orang-orang banyak. Wajah Quasimodo membayangkan keheranan
amat sangat waktu merasa dirinya bergerak. Algojo mengangkat
tangannya, dan jatuhlah pukulan yang pertama di pundak si bongkok
yang malang itu.
Tubuh Quasimodo bergerak seperti orang yang baru bangun
tidur. Tubuhnya gemetar kesakitan, tapi dia tidak mengeluarkan suara.
Hanya kepalanya yang digoyang-goyangkannya ke kiri dan ke kanan
seperti seekor binatang yang mencoba untuk mengusir lalat yang ada
di punggungnya. Orang-orang bersorak.
Tali-tali pemukul jatuh lagi ke pundaknya pukulan kedua
ketiga sekali lagi dan lagi. Roda berputar terus-menerus, dan
tali-tali memukulnya terus. Darah pun mengalir dari punggung dan
pundak Quasimodo, sampai tali yang putih tadi menjadi merah. Lalu
si bongkok berjuang untuk melepaskan diri. Matanya bersinar penuh
ketakutan, dan dia mengumpulkan seluruh tenaganya untuk
melepaskan rantai yang mencengkeram dirinya.
Tapi sia-sia. Dia tak dapat melepaskan diri. Jadi dia menyerah
dan tak peduli lagi. Dia sama sekali tak bergerak lagi, sedang sang
algojo makin lama makin geram dan memukul makin kuat untuk
melukai si bongkok. Quasimodo menutup matanya.
Akhirnya habislah pasir merah itu jatuh ke cangkir yang di
bawah. Satu jam pertama yang mengerikan sudah berlalu. Seorang
pegawai pengadilan yang duduk di atas seekor kuda besar yang hitam
dan mengawasi, mengangkat tombaknya lalu menunjuk ke arah pasir
merah. Sang algojo berhenti. Roda juga berhenti. Si bongkok
perlahan-lahan membuka matanya yang hanya satu itu. Dua orang
prajurit mengoleskan minyak obat ke luka Quasimodo di
punggungnya, hingga darah tidak mengalir lagi. Lalu punggung itu
mereka tutup dengan sehelai kain kuning. Sang algojo mencuci darah
dari tali-tali pemukul dalam air seember.
Tapi siksaan bagi si bongkok belumlah berakhir. Dia masih
harus tinggal di ruang siksaan itu satu jam lagi. Maka botol yang
berisi pasir merah itu dibalikkan lagi, dan dia dibiarkan terikat pada
roda.
Orang banyak tak suka pada si bongkok karena dia jelek.
Mereka meneriakinya, tapi dia tak bisa mendengar. Mereka bahkan
melemparinya dengan batu, dan itu menyakitinya. Ditahannya rasa
sakit itu beberapa lamanya tanpa bergerak. Tapi kemudian waktu dia
melihat ke bawah ke wajah-wajah kaku yang menertawakannya, dia
merasa benci sekali, dan dia mulai memberontak. Hal itu
menyebabkan roda itu bergerak berputar-putar dan orang banyak
makin nyaring tertawa. Quasimodo menyerah, seperti seekor binatang
yang tak dapat memutuskan rantai yang mengikat lehernya. Perasaan
yang menyebabkan darahnya mendidih, menjadikan warna mukanya
makin lama makin merah.
Seorang imam yang menunggang seekor keledai melalui
kumpulan orang banyak itu. Quasimodo melihatnya, dan kemarahan
yang membayang di muka si bongkok menghilang. Dia merasa senang
melihat Claude Frollo, dan dia tersenyum. Tapi waktu Frollo cukup
dekat untuk melihat siapa orang yang di ruang siksaan itu, dia cepat-
cepat menunduk dan sebelum Quasimodo sempat berbicara
padanya atau menunjukkan bahwa mereka saling mengenal dia
membelokkan keledainya dan memberi isyarat pada keledainya
supaya cepat-cepat lari meninggalkan orang banyak itu.
Muka si bongkok menjadi lebih merah, senyumnya menjadi
sedih dan kemudian hilang sama sekali.
Waktu berlalu. Sudah hampir satu setengah jam dia berada di
situ, dan dia tidak berucap barang sepatah kata pun. Kini dia
memberontak lagi dalam rantainya, hingga roda itu bergoyang-
goyang, dan dia berteriak senyaring-nyaringnya dengan suara yang
menyerupai suara anjing yang melolong, mengatakan, "Air!"
Orang banyak menertawakan jeritnya itu dan mengolok-
olokkan rasa hausnya itu. Mereka tak mau menolongnya. Lidahnya
terjulur, dan matanya berputar-putar.
Pasir merah terus jatuh sedikit demi sedikit, kemudian dengan
suara yang lebih mengerikan, terdengarlah lagi jeritan, "Air!"
Semua orang tertawa.
"Minumlah ini!" teriak seorang laki-laki. Dipungutnya selembar
kain basah dari jalan yang kotor.
"Pakailah ini untuk menghilangkan hausmu!" seru seseorang
yang lain, lalu dilemparkannya sebuah cangkir pecah ke kepala si
bongkok.
"Air!" teriak Quasimodo untuk ketiga kalinya.
Kemudian, tampillah dari kumpulan orang banyak itu seorang
gadis, yang diikuti oleh seekor kambing kecil gadis itu adalah gadis
yang akan dibawanya lari semalam. Esmeralda berlari menaiki tangga
ruang siksa itu dengan membawa sebuah botol. Tanpa mengatakan
apa-apa dibukanya botol itu lalu ditaruhnya ke bibir laki-laki malang
itu. Meleleh air mata Quasimodo. Esmeralda terus menuangkan isi
botol itu ke mulutnya.
Quasimodo meminumnya dengan lahapnya. Dia haus sekali.
Setelah puas dia minum, Quasimodo memoncongkan bibirnya
yang hitam untuk mencium tangan orang yang telah menolongnya.
Tapi Esmeralda yang ingat akan serangan Quasimodo dan usahanya
untuk membawanya lari, menarik tangannya, seperti anak kecil yang
takut kalau-kalau dia digigit binatang.
Orang banyak pun terkesan melihat gadis cantik yang berdiri
dekat laki-laki cacad di ruang siksaan itu. Sesaat sebelum itu ejekan-
ejekan mereka menyiksa laki-laki itu. Kini mereka merasa iba dan
bersorak memuji kebaikan budi gadis itu.
Pada saat itu Suster Gudule dari Lubang Tikus melihat
Esmeralda.
"Kutukanku atas dirimu, gipsy yang jahat!" teriaknya.
"Kutukanku atas dirimu selalu!"















Chapter 7
Mengeja Rahasia



LEBIH dari dua bulan telah berlalu. Malam pada awal musim
semi itu terasa hangat dan nyaman, dan Notre-Dame tampak cantik.
Di seberang jalan, sebuah rumah yang bagus di tikungan sedang
bermandikan cahaya merah dari matahari yang mulai terbenam. Di
loteng dekat jendela, duduklah beberapa orang gadis cantik
berpakaian bagus-bagus. Semua gadis itu berasal dari keluarga-
keluarga kaya, dan mereka datang mengunjungi sahabat mereka Fleur,
yang tinggal di rumah itu bersama ibunya seorang wanita gemuk
yang agak dungu. Ayah Fleur sudah meninggal.
Fleur duduk agak terpisah dari gadis-gadis lain. Dia sedang
bercakap-cakap dengan pemuda yang diharapkan ibunya akan
mengawininya Kapten Phoebus de Chtheaupers. Ibu Fleur
tersenyum memandangi mereka.
"Pasangan yang serasi sekali mereka, bukan?" katanya pada
Alice, seorang gadis berambut hitam yang merupakan sahabat karib
Fleur. Tapi Kapten Phoebus sudah bosan pada Fleur yang cantik itu.
Dia tak bisa memikirkan apa lagi yang akan dikatakannya pada gadis
itu. Dia berdiri diam saja sambil menggosok-gosok gagang pedangnya
atau mempermainkan kancing bajunya.
Fleur menengadah melihat padanya. "Kau kan pernah bercerita
bahwa kau telah menyelamatkan seorang gadis gipsy beberapa bulan
yang lalu?" katanya.
"Memang benar," sahut kapten itu.
"Nah," kata gadis itu lagi, "mungkin itu dia gadis yang sedang
menari di bawah sana, di alun-alun di depan Notre-Dame. Coba
lihatlah."
Diajaknya Phoebus ke jendela besar yang menjorok ke jalan,
lalu digandengnya Phoebus. "Lihat itu di bawah itu," katanya. "Gadis
gipsy-mukah yang sedang menari itu?"
Phoebus melihat, lalu tersenyum,
"Benar saya mengenalinya karena kambingnya."
"Cantik benar kambingnya!" seru Fleur. Gadis-gadis yang lain
datang pula ke jendela itu.
"Bisakah kau melihat, Monique?" tanya Alice pada adiknya,
sambil mengangkatnya supaya bisa melihat lebih baik.
"Kambing cantik! Kambing cantik!" teriak si Monique kecil.
"Bertanduk emas di kepalanya yang indah! Sungguh cantik!"
seru Fleur, dan dia tersenyum memandang Kapten Phoebus.
Ibu Fleur tak bergerak dari kursinya, "Apakah itu salah seorang
gipsy itu, Sayang?" tanyanya, "kurasa mereka seharusnya tak diijinkan
masuk ke Paris. Mereka itu orang kotor yang berbahaya. Jangan
percayai mereka."
"Lihat orang laki-laki di sana itu!" seru Monique kecil, "laki-
laki yang berpakaian hitam itu."
"Yang mana, Sayang?" tanya Fleur. Monique menunjuk ke
suatu sosok di menara sebelah utara Notre-Dame. Laki-laki itu
berpakaian hitam. Dia sedang menopang kepalanya dan dia sedang
melihat ke bawah ke tarian gipsy itu. Dia berdiri diam tak bergerak
hingga tampaknya seolah-olah dia merupakan bagian dari menara itu.
"Dia seorang imam," kata Fleur.
"Asyik benar dia memandangi penari kecil itu!" seru Alice.
"Seperti seekor burung hitam yang jahat saja dia, yang sedang
menunggu kesempatannya untuk terbang ke bawah, mengangkatnya
dan membawanya lari!"
"Tariannya memang bagus sekali," kata seorang gadis berbaju
sutera biru.
"Phoebus," teriak Fleur tiba-tiba, "karena kau kenal gadis gipsy
itu, coba lambai dia supaya dia mau naik ke mari! Suruh dia
menghibur kita. Biarkan dia datang ya Bu. Kami tidak akan
membiarkan dia membuat kami kotor, dan kalau dia mencoba
menyusahkan kita... yah, kapten kita akan melindungi kita, ya kan
Phoebus?"
"Baiklah, Sayang," sahut ibunya, "selama Kapten Phoebus yang
pemberani ada di sini!"
"Ah," kata Phoebus, "dia pasti sudah lupa padaku, dan aku
bahkan tak tahu namanya.... Tapi karena kalian mengingininya akan
kucoba." Diulurkannya kepalanya dari jendela itu, lalu berseru, "Si
Kecil yang di bawah itu! Lihat ke mari, Gadis kecil!"
Pada saat itu Esmeralda sedang tidak memainkan rebananya.
Dia mendongak, tampak olehnya Phoebus, dan dia tiba-tiba berhenti
menari.
"Gadis kecil!" ulangnya, lalu dilambaikannya tangannya
mengisyaratkan supaya dia naik.
Esmeralda melihat padanya lagi, wajahnya bersemu dadu, dan
dia lalu berjalan menerobos orang banyak ke arah rumah.
Dalam waktu singkat saja Esmeralda sudah berada di kamar itu,
tapi dia tak berani mendekat barang selangkah pun lagi.
Sebelum Esmeralda masuk, semua gadis dalam kamar berusaha
untuk menyenangkan hati Kapten Phoebus yang tampan itu.
Semua gadis itu kira-kira sama cantiknya. Tapi segera setelah
gadis gipsy itu muncul dengan wajahnya yang elok, kecantikan semua
gadis yang lain itu menjadi pudar. Gadis-gadis itu menyadari hal itu
dan mereka memandang Esmeralda dengan pandangan sedingin es.
Phoebus-lah yang pertama-tama memecah kesunyian itu.
"Dia benar-benar makhluk yang cantik!" katanya.
"Boleh juga," sahut Fleur dengan suara dingin. ''Dia membawa
kecantikannya sendiri." Gadis-gadis yang lain berbisik-bisik.
"Gadis yang baik," kata Phoebus, sambil maju mendekati
Esmeralda, "masih ingatkah kau padaku?"
"Oh ya," sahutnya. "Saya masih ingat."
"Ingatannya baik," kata Fleur.
"Tapi kau cepat sekali melarikan diri malam itu," sambung
Phoebus. "Apakah kau takut padaku?"
"Ah tidak," kata Esmeralda.
"Alangkah merdu suaranya," pikir Phoebus.
Fleur juga berpikiran demikian, dan dia mulai merasa tak
senang. Perlukah Phoebus berbicara begitu banyak pada gadis itu dan
dengan cara seramah itu pula?
"Kau meninggalkan seorang laki-laki yang jelek sekali waktu
itu," kata Phoebus. "Apa yang diinginkannya darimu?"
"Saya tak tahu," jawab Esmeralda.
"Yah, perlu kukatakan bahwa dia menebus perbuatannya itu!
Dia telah dipasung di roda dan dipukuli."
"Ya, kasihan dia," kata Esmeralda. Dia teringat akan
Quasimodo di roda itu. "Malang benar dia. Saya kasihan benar
padanya!"
Gadis-gadis yang lain terus berbisik-bisik. "Aneh benar
pakaiannya!" kata Alice. "Jelek ya?"
"Memang," kata gadis yang lain. "Lihat lengannya! Terbakar
matahari!"
"Kakinya juga," kata gadis lain. "Jelek sekali bajunya! Aku tak
pernah melihat baju sejelek itu!"
"Aduhai!" kata gadis yang berbaju sutera biru. "Kelihatannya
kapten kita mudah terbakar oleh mata gipsy yang cemerlang!"
"Mengapa tidak?" kata Phoebus.
Tiba-tiba ibu Fleur berteriak, "Apa itu? Binatang? Pergi kau,
binatang kotor!"
Rupanya kambing putih itu. Dia telah masuk untuk mencari
majikannya. Waktu dia bergegas masuk mendekati Esmeralda,
tanduknya tersangkut pada baju wanita yang sedang duduk itu. Tanpa
berkata apa-apa, Esmeralda melepaskan tanduk Djali. Lalu dia
berlutut dan meletakkan kepalanya ke sisi badan kambing itu, seolah-
olah akan mengatakan penyesalannya bahwa dia telah meninggalkan
Djali.
Alice mendekati Fleur dan berbisik, "Bagaimana aku bisa lupa
tadi! Kami sudah pernah mendengar tentang dia. Inilah dia gipsy
dengan kambing, yang dikatakan orang bisa melakukan banyak hal
dengan ilmu gaib. Dia itu tukang sihir."
Fleur berpaling pada Esmeralda lalu berkata, "Coba suruh
kambingmu memperlihatkan kepandaian-kepandaiannya untuk
menghibur kami. Kepandaian-kepandaian yang dilakukannya dengan
ilmu gaib itu!"
"Saya tak mengerti maksud Anda," sahut Esmeralda, sambil
meletakkan tangannya di kepala kambing itu.
Pada saat itu, Fleur menampak sebuah kantong coklat
tergantung di leher kambing itu.
"Apa itu?" tanyanya.
Esmeralda memandang Fleur, "Itu rahasia saya," jawabnya
dengan tenang.
Fleur menjauh. Dia ingin sekali tahu apa rahasia itu!
"Hei gipsy," kata ibu Fleur, "kalau kau maupun kambingmu
tidak juga akan menghibur kami, untuk apa kalian di sini?"
Esmeralda berjalan ke pintu tanpa menjawab, dan gadis-gadis
itu mengawasinya. Tak seorang pun melihat si Monique kecil, yang
memegang sepotong kue, yang membujuk Djali ke sudut dan cepat-
cepat menanggalkan kantong coklat itu dari leher kambing itu akan
melihat isinya. Isinya adalah beberapa potongan kayu kecil, yang
masing-masing bertuliskan suatu huruf berwarna merah. Djali
menghabiskan kue tadi, sedang Monique menuangkan isi kantong itu
ke lantai.
Sesampai di pintu, gipsy itu menoleh. Dia berhenti sambil
memandang Phoebus dengan mata yang mengandung air mata.
"Astaga!" seru Phoebus, "kau tak boleh pergi dalam keadaan
begini. Mari masuk lagi dan menarilah untuk kami! Ngomong-
ngomong, siapa namamu?"
"Esmeralda," sahutnya.
"Es-mer-al-da! Hebat sekali!" Gadis-gadis yang lain tertawa
karena gipsy itu punya nama sehebat itu.
"Lihat Alice, pandai sekali kambing ini!" teriak Monique kecil.
"Dia bisa menyusun suatu perkataan! Suatu perkataankah ini? Apa
bacaannya ini?"
Dengan kakinya yang keemasan, Djali telah menyusun huruf-
huruf itu sebagaimana yang telah diajarkan Esmeralda padanya.
Gadis-gadis itu berlari ingin melihat perkataan itu.
"Hei, tulisannya P-H-O-E-B-U-S, Phoebus!" teriak Alice.
"Phoebus!"
Memang benar, perkataan itulah yang telah dibentuk oleh
kambing itu.
"Padahal 'Phoebus' kan nama kapten!" Alice melanjutkan.
"Jadi, itulah rupanya rahasia gadis itu," pikir Fleur.
Dia menangis lalu menutup mukanya dengan kedua belah
tangannya.
"Dia seorang tukang sihir!" Lalu dia jatuh pingsan ke lantai.
"Anakku! Anakku" seru ibunya. Lalu dia berpaling dan
berteriak, "Pergi kau gipsy jahat, pergi sekarang juga!"
Esmeralda mengumpulkan huruf-huruf itu ke dalam
kantongnya, memberi isyarat pada Djali lalu lari dari kamar itu. Pada
saat yang bersamaan Fleur diangkat melalui pintu yang lain.
Sesaat lamanya Phoebus berdiri saja di antara Kedua buah pintu
itu. Dia belum bisa memutuskan akan pergi ke pintu yang manakah
dia. Kemudian sambil tersenyum, dia menyusul gipsy itu.




























Chapter 8
Frollo Bertanya-tanya



LAKI-LAKI berpakaian hitam yang dilihat Monique di menara
adalah Claude Frollo. Dia ada di kamar kecil di menara Notre-Dame.
Setiap malam dia ke kamar itu untuk belajar. Tapi tarian Esmeralda
lebih menyenangkan hatinya daripada buku-bukunya, meskipun dia
amat menyukai buku-buku itu. Sementara matahari terbenam, dia
berdiri dan memuaskan matanya dengan kecantikan Esmeralda yang
berada di jalan di bawahnya. Kemudian dilihatnya seseorang lain.
Seorang laki-laki yang berjas merah-kuning sekali-sekali
berjalan mengelilingi orang banyak yang menonton penari itu. Lalu
laki-laki itu duduk di kursi, dekat Esmeralda dengan kambing di
sebelahnya.
"Siapakah laki-laki itu?" tanya imam itu sendiri dengan marah.
"Dia bisa begitu dekat dengan gadis itu, terlalu dekat! Sebelum ini aku
selalu melihat dia seorang diri dengan kambingnya." Frollo berlari
menuruni tangga dengan nafas tersengal-sengal.
Dalam perjalanannya turun itu dia melalui sebuah jendela kecil.
Quasimodo berdiri di jendela itu, memandangi jalan di bawahnya.
Setelah kembali dari ruang siksa, Quasimodo tidak sesering dulu lagi
membunyikan lonceng-loncengnya. Tapi yang menyebabkan dia
meninggalkan tugasnya itu bukanlah karena dia lemah, melainkan
kesenangan. Bunyi lonceng-lonceng itu mengingatkannya pada gipsy
yang cantik itu, yang begitu baik hati padanya. Dia berdiri di antara
lonceng-loncengnya dengan hati penuh bahagia, memikirkannya, dan
lupalah dia untuk membunyikan loncengnya.
Frollo tidak melihat Quasimodo berdiri di situ. Dia bergegas
terus turun. Sesampai di jalan, dia menggabungkan diri dengan orang
banyak. Tapi gipsy itu telah tiada!
"Mana dia?" tanyanya.
"Dia baru saja pergi ke rumah yang di sana itu," kata laki-laki di
sebelahnya, "saya rasa untuk mempertunjukkan beberapa tari-tarian
istimewa. Rumah besar yang di sudut itu."
Di atas permadani Persia, di mana Esmeralda biasanya menari,
laki-laki yang berpakaian merah-kuning kini sedang mencoba
menghibur orang-orang. Dia berjalan berkeliling sambil
mendongakkan kepalanya hingga mukanya kelihatan merah
berkeringat. Dia menggigit sebuah kursi dan seekor kucing terikat
pada kursi itu. Laki-laki itu melewati Frollo dekat sekali.
"Aku kenal orang itu!" kata Frollo sendiri. "Aku pernah
mengajarnya waktu dia sedang belajar untuk menjadi seorang imam.
Lihat apa jadinya dia sekarang, menjadi orang yang mencoba mencari
nafkah dengan mengumpulkan uang dari orang banyak dengan
pertunjukan-pertunjukan dungu itu!"
Waktu laki-laki itu mendekat lagi dalam putaran berikutnya,
Frollo memanggilnya,
"Pierre Gringoire, beginikah caramu menggunakan pelajaran
yang telah kuberikan padamu? Sungguh memalukan."
Gringoire demikian terkejut hingga kursi dan kucingnya jatuh
ke tengah-tengah orang banyak. Kucing itu membebaskan diri dari
kursi itu, dan mencakar muka seorang laki-laki tua dan dua orang
wanita! Untuk meloloskan diri dari kemarahan orang itu, Gringoire
lari masuk ke dalam Notre-Dame. Imam menyusulnya.
"Mari naik ke kamarku," kata Frollo. Mereka menaiki tangga.
"Nah, Pierre," kata Frollo setelah mereka duduk di tengah-
tengah buku-buku imam yang terpelajar itu, "ceritakan bagaimana kau
sampai melakukan perbuatan dungu seperti itu."
"Saya tahu itu pekerjaan rendah," kata Gringoire, "tidak semulia
pekerjaan seorang pengarang. Tapi dengan cara itu saya mendapatkan
penghasilan, lebih-lebih karena saya sudah kawin."
"Kawin!" teriak Frollo. "Kawin? Siapa yang begitu beruntung
menjadi istrimu?'"
"Anda tak mungkin mengenalnya," kata Gringoire, "dia hanya
seorang gipsy...."
"Seorang gipsy!" teriak imam itu, dengan pandangan yang
mengerikan, "sudah begitu jauhnya kau dari Tuhan sampai-sampai
kau mau main cinta dengan seorang gipsy?"
"Tapi saya tak pernah main cinta dengan dia," kata Gringoire.
"Sungguh mati, tak pernah, meskipun dia istriku."
"Aneh sekali," kata imam itu. "Kalau orang sudah kawin...."
"Memang kami sudah kawin, sebaiknya saya ceritakan
bagaimana kami menjadi suami-istri." Maka berceritalah penyair itu
tentang pertemuannya dengan raja para pengemis itu. Dikisahkannya
tentang George, orang-orangan berpakaian merah dengan lonceng-
lonceng kecil, dan tentang cangkir yang dipecahkan.
"Dan dengan demikian, kawinlah saya dengan dia," katanya
mengakhiri ceritanya. "Tapi kami tak boleh main cinta, katanya tak
boleh."
"Baguslah kalau begitu!" kata imam.
"Alasannya adalah ilmu gaib."
"Gaib?"
"Ya, begitulah kata Raja Gipsy pada saya," kata Gringoire.
"Diceritakannya bahwa Esmeralda waktu masih bayi ditemukan oleh
kaum gipsy, jadi dia tak tahu siapa ibu-bapaknya. Tapi Esmeralda
yakin bahwa dia akan menemukannya pada suatu hari, dengan
bantuan sebuah kantong yang selalu tergantung di lehernya. Kantong
itu mempunyai kekuatan gaib, tapi kekuatan gaib itu akan segera
hilang kalau dia main cinta dengan seorang laki-laki, laki-laki mana
pun juga, bahkan suaminya."
"Oh begitu," kata Frollo, yang kini kelihatan lebih senang. "Jadi
tak adakah laki-laki yang rnencoba main cinta dengan dia?"
"Kalau laki-laki itu mau selamat tentu tidak!"
"Mengapa? Siapa yang akan membunuhnya?"
"Dia sendiri yang akan membunuh laki-laki itu dengan sebuah
pisau kecil yang selalu dibawanya dalam bajunya. Dia tak kenal
takut," kisah Gringoire.
"Tak kenal takut?"
"Tidak," kata Gringoire. Kemudian dia berpikir sejenak dan
menambahkan, "Ya ada, dia takut pada dua orang pada Suster
Gudule, yang selalu meneriakkan kata-kata yang mengerikan dari
Lubang Tikus itu, dan pada seorang laki-laki yang mengenakan jubah
hitam seorang imam, dan yang matanya bersinar seperti api. Mata itu
membakar ingatannya pada malam si bongkok mencoba membawanya
lari, dan dia merasa bahwa mata itu mengikutinya terus ke mana pun
dia pergi."
"Oh, suatu angan-angan yang dungu!" seru Frollo, dan dia tiba-
tiba bangkit dan berdiri di jendela. "Dia tentu gadis yang dungu
sekali!"
"Sudah saya katakan padanya bahwa itu semua hanya mimpi
buruk, dan sudah saya minta supaya dia melupakannya," kata
Gringoire.
"Kau benar!" seru imam itu. "Ya, kau memang benar, Pierre.
Tak ada yang perlu ditakutkannya."
"Saya mencoba untuk membujuknya. Dia gadis yang manis."
"Begitukah?"
"Saya cinta sekali padanya. Dia baik hati sekali, bukan hanya
terhadap saya saja, tapi terhadap semua makhluk. Caranya merawat
Djali luar biasa sekali."
"Siapa Djali itu?" tanya Frollo.
"Kambingnya yang berkaki dan bertanduk emas itu. Akan saya
ceritakan bagaimana Esmeralda mengajar Djali." Kemudian Gringoire
menerangkan bagaimana gipsy itu melatih kambingnya hingga pandai
memukul rebana untuk menunjukkan jam berapa atau tanggal berapa.
Djali tahu benar berapa kali dia harus memukul rebana itu dengan
melihat bagaimana Esmeralda memegang rebana itu.
"Dan," Gringoire menambahkan dengan bangga, "Esmeralda
hanya memerlukan dua bulan untuk mengajar Djali bagaimana
menyusun huruf-huruf menjadi 'Phoebus'!"
" 'Phoebus'!" kata Frollo. "Mengapa 'Phoebus'?"
"Entahlah," sahut Gringoire. "Mungkin disangkanya perkataan
itu mengandung kekuatan gaib. Dia sering-sering mengulang-
ulangnya sendiri perlahan-lahan bila disangkanya tak ada orang lain di
dekatnya."
"Yakinkah kau bahwa itu bukan suatu nama?" tanya Frollo
tajam.
"Nama siapa?" tanya penyair itu.
"Mana aku tahu?" kata imam.
"Agaknya kaum gipsy itu menyangka bahwa matahari adalah
dewa mereka," kata Gringoire, "tapi Esmeralda tidak tahu akan hal itu,
sebelum saya memberitahukan padanya, bahwa orang lain menyebut
dewa itu 'Phoebus'. Kelihatannya dia suka akan nama itu. Djali bisa
menyusun nama itu setiap kali!"
Imam tampak merenung. Lalu tiba-tiba dia berpaling pada
Gringoire dan berkata padanya dengan suara rendah,
"Maukah kau bersumpah bahwa kau benar-benar tak pernah
main cinta dengan gipsy itu, dan bersumpah bahwa kau tidak akan
pernah berbuat demikian?"

"Saya bisa saja bersumpah kalau saya mau," kata Gringoire
dengan marah. "Tapi sekarang giliran saya bertanya pada Anda."
"Berbicaralah, Pierre. Akan kucoba menjawabnya."
"Apakah soal itu tadi urusan Anda?"
Wajah imam yang pucat itu menjadi merah karena marah. Dia
diam sebentar, Kemudian dia berkata, "Dengar, Pierre. Kuberi tahu
kau, kalau kau main cinta dengan seorang gipsy, rohmu akan dibakar
dalam api neraka selama-lamanya. Hal itu tertulis dalam banyak buku
yang terdapat di rak-rak buku dalam kamar ini juga! Maka itu jangan
sentuh dia."
"Dia cantik sekali," kata Gringoire sedih, "saya bangga menjadi
suaminya."
"Kalau begitu pergilah!" seru imam itu dengan pandangannya
yang menakutkan, "pergilah ke neraka!" lalu ditangkapnya pundak
Gringoire yang keheranan dan didorongnya ke luar kamar.
















Chapter 9
Kapten dan gadis-gadis



FROLLO kini tinggal seorang diri di kamarnya, berlutut lalu
menadahkan tangannya berdoa. Matanya dipejamkannya rapat-rapat
dan dia mencoba memikirkan tentang Tuhan. Bibirnya mengucapkan
doa-doa, tapi pikirannya tidak tertuju pada Tuhan, melainkan tertuju
pada gipsy yang cantik itu. Sejak dia melihatnya pertama kali,
Esmeralda selalu memenuhi pikirannya sepanjang hari, dan tariannya
membungai impiannya sepanjang malam.
Frollo mengucapkan doa-doanya nyaring-nyaring. Kemudian
lonceng-lonceng berbunyi, dan dia menyaringkan suaranya, seolah-
olah Tuhan tak bisa mendengar kata-katanya gara-gara suara lonceng-
lonceng itu. Suaranya makin lama makin nyaring, hingga akhirnya
imam itu berteriak. Tapi tak ada satu perkataan pun yang masuk ke
pikirannya, dan dia tidak memikirkan Tuhan barang sesaat pun.
"Ah, gipsy itu!" teriak Frollo. Dia berdiri. "Aku serasa selalu
melihatnya berada dalam pelukan laki-laki lain, dan aku tak tahan
membayangkan orang lain memilikinya, sedang aku sendiri tak bisa!"
Dia berjalan hilir-mudik dalam kamar itu di tengah buku-bukunya,
seperti seekor binatang liar dalam kandang.
"Aku tak tahan lagi!" serunya. "Aku tak bisa tinggal di sini.
Kalau aku tinggal di sini, aku bisa menjadi gila. Aku harus
menemukannya, di mana pun dia berada. Di mana aku akan mulai
mencarinya malam ini?"
Dia berhenti dan berpikir sejenak.
"Aku tahu!" katanya, "aku akan mulai di rumah besar di
tikungan itu. Ke sanalah dia pergi untuk menari sebelum aku bertemu
dengan suaminya terkutuk laki-laki itu!" Diambilnya sebuah pisau
kecil, disembunyikannya dalam jubahnya, lalu dia keluar dari kamar
itu.
Nyaring benar bunyi lonceng itu, seolah-olah
menertawakannya, sementara Frollo bergegas melalui gereja dan
keluar ke malam gelap. Bintang-bintang gemerlapan terang, seperti
permata dan bulan bersinar di langit.
***
Pintu rumah di tikungan itu terbuka. Dia bersembunyi dalam
gelap waktu beberapa orang gadis berpakaian bagus-bagus keluar. Dia
memasang telinga, mendengarkan mereka:
"Aku yakin dia akan merasa lebih baik besok," kata seseorang.
"Memang! Kasihan si Fleur, aku benar-benar kasihan padanya,"
kata yang lain.
"Benar kata ibunya tentang kaum gipsy, bukan? Phoebus
seharusnya jangan memintanya untuk naik tadi!" seru yang ketiga.
"Tapi dia lalu menyusul gadis itu! Itulah yang paling memalukan!"
"'Phoebus'?" kata Frollo. "Phoebus! Kalau begitu Phoebus itu
nama seorang laki-laki, sebagaimana yang kukuatirkan, dan dia
sekarang berada bersama si gipsy!"
Gadis-gadis itu terus berjalan, dan Frollo tak dapat lagi
mendengar apa yang mereka katakan. Dia berlari ke rumah itu.
Pembantu rumah itu seorang perempuan gemuk yang sederhana
baru saja akan menutup pintu. Waktu dilihatnya imam itu, dia tak jadi
menutup pintu itu.
"Anda tentu akan menemui putri majikan saya yang malang,"
katanya. "Imam-imam baik hati seperti Anda, segera datang begitu
mendengar ada orang dalam kesusahan! Silakan masuk saja, meskipun
malam ini gadis manis itu sebenarnya tak bisa menerima tamu karena
sakitnya meski seorang imam sekali pun."
"Saya akan masuk sebentar saja," sahut Frollo, "untuk
mendengar dari Anda sendiri apa sebenarnya yang telah terjadi, dan
bagaimana keadaan Fleur, sesudah itu saya akan pergi dan besok saya
akan kembali lagi."
Mereka masuk ke lorong rumah, dan pembantu itu bercerita
pada Frollo. Air matanya berlinang waktu dia mengisahkan keadaan
Fleur, tapi bila dia menceritakan tentang Kapten Phoebus, dia jadi
marah sekali.
"Saya sudah sering mengatakan bahwa dia laki-laki jahat,"
katanya, "tak pantas dia berada dalam jarak satu mil dari Fleur kami
yang cantik itu!"
"Memang," kata Frollo, "dan apa yang Anda ketahui tentang
dirinya?"
"Banyak sekali!" katanya. "Dengarkan!" lalu diajaknya imam
itu ke sudut. "Setiap minggu dia mengejar perempuan lain! Wajahnya
yang tampan itu dengan mudah menarik mereka, perempuan-
perempuan dungu itu! Mereka tergila-gila akan pundaknya yang
kekar, janggutnya, serta langkahnya yang tegap. Dia bisa berbuat
sesuka hatinya terhadap gadis-gadis itu. Dan dia memang berbuat
sesukanya! Saya bahkan tahu di mana dia berbuat!"
"Di mana?" tanya imam. Dia mencoba menahan diri supaya
tidak kelihatan dia terlalu ingin tahu.
"Di rumah perempuan tua di jembatan Saint Michel. Perempuan
yang benama Falourdel. Bayangkan bahwa Fleur kami yang cantik
dan masih murni itu...."
Tiba-tiba terdengar bunyi bel dari kamar di loteng.
"Saya harus pergi segera!" seru pembantu itu. "Gadis kecilku
tersayang membutuhkan saya!" lalu berlarilah dia menaiki tangga
tanpa berkata sepatah pun lagi.
Frollo membuka pintu lalu keluar ke jalan. Pikirannya terbakar
oleh api setan dan tangannya terasa panas di gagang pisau yang
tersembunyi waktu dia berjalan melalui jalan-jalan sempit menuju
jembatan Saint Michel.
Chapter 10
Rumah di tepi sungai



SEBUAH rumah di jembatan Saint Michel kelihatan lebih tua,
lebih kecil dan lebih kotor daripada yang lain-lain. Dindingnya di
sebelah luar kasar, dan kalau seseorang mau memanjatnya bisa saja.
Tapi satu-satunya alasan untuk mau memanjat rumah seburuk itu
tentulah alasan yang buruk pula.
Perempuan tua yang bernama Falourdel, sama buruknya dengan
rumahnya. Dia bungkuk sekali hingga tubuhnya seperti terlipat dua,
dan dia gemetar waktu berjalan lambat-lambat untuk melihat siapa
yang mengetuk pintunya. Dengan tangan yang gemetar dia memegang
sebuah lampu. Lampu itu tergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan dan
membuat bayangan yang bergerak seperti raksasa pada dinding kelabu
yang gelap.
"Siapa itu?" serunya, dengan suaranya yang melengking.
"Kapten Phoebus," kata suara laki-laki di luar, dan perempuan
itu membuka pintu.
"Oh, Anda lagi," katanya sambil mengangkat mukanya yang
berkerut yang berambut putih di dagunya, "masuklah."
Kapten Phoebus masuk diiringi oleh Esmeralda dan
kambingnya.
"Kamar yang terbaik," kata Phoebus dengan tajam.
Esmeralda kelihatan takut, tapi Phoebus menuntunnya dan dia
kelihatan lebih senang. Phoebus memberikan sebuah mata uang perak
pada perempuan tua itu, yang dimasukkannya ke dalam sebuah kotak
di atas meja yang berdebu.
Mereka meninggalkan ruangan itu. Seorang anak laki-laki
keluar dari tempat tersembunyi, perlahan-lahan mengeluarkan mata
uang itu lalu memasukkannya ke dalam sakunya. Sepotong kayu yang
masih ada daun keringnya, terletak di dekat tempat berdiang yang
dingin. Anak laki-laki itu mematahkan kayu itu sedikit demi sedikit di
bagian yang masih ada daun keringnya, lalu dimasukkannya ke dalam
kotak di mana mata uang tadi dimasukkan. Dia mendengar orang-
orang naik ke loteng. Dia tahu bahwa tak seorang pun melihatnya dan
kalau digoncang kotak itu tidak akan terdengar kosong.
"Aku seorang pencuri yang pandai sekali!" pikirnya.
Kamar ke mana Phoebus mengajak Esmeralda, kecil dan kotor,
dan di dalamnya tak banyak perabot. Jendelanya yang menghadap ke
sungai, kacanya pecah. Bulan bersinar terang menerangi sungai, tapi
kemudian ditutupi awan.
Esmeralda dan Phoebus duduk berdampingan. "Oh, Phoebus,"
katanya, "kurasa aku berbuat dosa!"
"Dalam hal apa, Sayang?" tanya Phoebus.
"Karena aku ikut kau ke mari," kata Esmeralda.
"Aku harus bekerja keras dan berbicara berjam-jam dalam
usahaku membawamu ke mari," kata Phoebus.
"Aku tak ingin melanggar janjiku bahwa aku tidak akan main
cinta," kata Esmeralda lagi. "Sebab jika kulanggar kekuatan gaibnya
akan hilang dan aku tak akan bisa menemukan ibu-bapakku. Tapi aku
kan tidak membutuhkan mereka lagi ya?" tanyanya penuh bahagia,
sambil memandangi Phoebus dengan air mata berlinang.
"Aku sungguh tak mengerti kau!" seru Phoebus.
Esmeralda diam sejenak, air matanya menitik, lalu dia berkata
lagi, "Aduh, aku cinta padamu, sungguh cinta!"
"Kau cinta padaku!" desah Phoebus, lalu merangkulnya.
Sinar bulan di jendela ditutupi oleh sesuatu yang lebih gelap
daripada awan, yaitu seorang laki-laki tapi baik Esmeralda maupun
Phoebus tidak melihatnya karena mereka membelakangi jendela itu.
Apa lagi, mata maupun pikiran mereka hanya terpaku untuk mereka
berdua saja. Imam di jendela itu memperhatikan mereka. Matanya
berapi-api dan bibirnya terasa kering waktu dia menggertakkan
giginya.
"Phoebus," kata Esmeralda, sambil melepaskan rangkulan
Phoebus dengan halus, kau baikkau pemurah kau telah
menyelamatkan diriku, seorang gadis gipsy yang miskin tanpa ibu dan
bapak. Sudah lama aku memimpikan seorang prajurit yang akan
menyelamatkan hidupku. Aku memimpikan dirimu, Phoebus sayang,
sejak sebelum aku pernah bertemu denganmu."
Kapten tampak puas akan dirinya, waktu Esmeralda berkata
lagi, "Pahlawan dalam mimpiku berpakaian bagus seperti kau, bergaya
anggun dan mempunyai pedang. Namamu Phoebus: suatu nama yang
bagus. Aku cinta pada nama itu, aku cinta pada pedangmu. Coba cabut
pedangmu Phoebus, supaya aku bisa melihatnya."
"Ah, Anak bodoh!" kata Kapten. Dia tersenyum lalu mencabut
pedangnya.
Gadis itu melihatnya, diciumnya pedang itu lalu dia berbisik,
"Kau pedang seorang pria pemberani. Aku cinta pada
kaptenku!"
Imam yang mengintai di jendela, marah dan panas benar
hatinya, dipegangnya mata pisau yang tersembunyi dalam jubahnya.
Mata pisau itu tajam dan imam itu tersenyum puas.
"Dengarkan sayangku...." kata Phoebus sambil menggeser
mendekati Esmeralda.
Esmeralda menjauh, "Tidak, aku tak mau mendengarkan.
Cintakah kau padaku? Aku ingin kau mengucapkan bahwa kau cinta
padaku."
"Ragukah kau akan cintaku, jantung hatiku?" seru kapten. Dia
berlutut dekat Esmeralda. "Tubuhku, darahku, jiwaku semuanya
milikmu. Aku cinta padamu, dan aku tak pernah mencintai orang lain
kecuali kau!"
Telah sering sekali dia mengucapkan kata-kata itu pada gadis-
gadis lain, pada berpuluh-puluh kesempatan seperti sekarang, hingga
kata-kata itu diucapkannya selancar seorang dramawan jempolan.
Gipsy itu memandangnya penuh bahagia.
"Aduhai," seru Esmeralda, "saat seperti inilah saat yang baik
untuk mati bersama!"
"Mati? Tidak. Tidak, jangan manisku." Kemudian dia
menambahkan sambil tertawa, "Aku tahu seorang gadis berpakaian
bagus-bagus yang pada saat ini sedang terbakar oleh kemarahannya!"
"Siapa?" tanya Esmeralda tiba-tiba penuh perhatian.
"Ah, tak usahlah kita peduli padanya," kata Phoebus.
"Cintakah kau padaku?"
"Aduh, mengapa kau masih harus bertanya?" seru Esmeralda.
"Aku tahu kau cinta padaku," katanya, "dan kita akan benar-
benar berbahagia. Kita akan mendapatkan sebuah kamar kecil di jalan
yang bagus, dan akan kusuruh prajurit-prajuritku berbaris hilir-mudik
di bawah jendelamu. Lalu akan kubawa kau melihat singa di kebun
raja, singa-singa itu binatang yang cantik, dan semua wanita suka
sekali melihatnya."
Beberapa saat lamanya Esmeralda terbuai oleh suaranya, dia
tidak mendengarkan kata-katanya.
Ya, kau akan berbahagia sekali! kapten melanjutkan, dan
matanya bersinar-sinar.
Esmeralda berpaling padanya: "Phoebus Phoebus," katanya
dengan suara penuh kecintaan, "ajari aku tentang Tuhanmu dan
gerejamu."
"Tuhanku dan Gerejaku!" serunya lalu tertawa nyaring.
"Apa saja yang kauharapkan dari hal-hal itu?"
"Supaya kita bisa kawin," sahut Esmeralda.
Wajah Phoebus berubah, "Mengapa orang harus kawin?"
tanyanya parau.
Esmeralda berpaling, "Aduhai...." bisiknya.
"Kekasihku sayang," katanya lembut, "apakah artinya semua
gagasan dungu itu? Perkawinan memang bagus, tapi orang-orang yang
betul-betul saling mencintai seperti kita, tidak membutuhkan
perkawinan."
Imam mendengar setiap perkataan itu dan melihat semua gerak
dalam kamar itu.
Tiba-tiba baru terpandang oleh Phoebus kantong hijau yang
tergantung di leher Esmeralda. "Apa itu?" tanyanya, lalu dia
mendekati Esmeralda, dia berpura-pura melihat kantong itu, tapi dia
lebih tertarik pada orangnya daripada kantong itu.
"Jangan sentuh!" kata Esmeralda cepat. "Ini pelindungku. Inilah
yang akan membantuku menemukan ibu dan bapakku. Aduh, lepaskan
aku Kapten Phoebus! Ibuku! Ibuku yang malang! Di mana kau?
Datanglah dan selamatkan aku! Kapten, kasihanilah aku!"
Phoebus menjauh lalu berkata dingin, "Sudah jelas bagiku
bahwa kau tidak cinta padaku."
"Bagaimana mungkin!" seru gadis itu pilu, dan dia pun
merangkul Phoebus lalu ditariknya supaya laki-laki itu duduk di
sisinya. "Tidak cinta padamu, Phoebus? Mengapa kau berbicara
seolah-olah kau musuhku saja? Apakah kau ingin menghancurkan
hatiku? Aduhai, kemarilah! aku milikmu."
Sambil menangis dia berkata lagi, "Tenaga gaib kantong
hijauku ini kini tak berarti lagi bagiku. Aku sudah memiliki kau, jadi
aku tidak membutuhkan seorang ayah atau seorang ibu lagi. Tak
usahlah kita kawin, sebab kau tidak menghendakinya. Aku akan
menjadi pembantumu, asal kaucintai aku, Phoebus! Gadis-gadis gipsy
tidak membutuhkan apa-apa kecuali cinta. Beri aku cintamu!"
Esmeralda tersenyum dengan air mata bercucuran. Wajahnya
berseri-seri oleh kebahagiaan, seolah-olah dia berada dalam surga, lalu
dia memandang ke bulan melalui jendela.
Tiba-tiba, di atas kepala Phoebus dilihatnya suatu wajah kelabu
yang tersiksa suatu wajah manusia yang kehilangan jiwa. Kecuali
wajah yang mengerikan itu tampak pula tangan yang memegang
sebilah pisau kecil. Yang dilihatnya itu adalah wajah dan tangan
imam. Dia telah memanjat jendela dan kini dia sudah masuk ke dalam
kamar itu. Phoebus tidak bisa melihatnya. Gadis itu bagai membeku
ketakutan.
Dia tak dapat bergerak atau berteriak. Dilihatnya pisau itu
ditikamkan pada Phoebus dan dicabut kembali dalam keadaan merah
oleh darah.
Dia pingsan.
Waktu matanya terpejam, dia merasa seolah-olah bibirnya
disentuh, suatu ciuman sepanas api. Sesudah itu segala sesuatu
menjadi gelap.
Waktu dibukanya lagi matanya, dilihatnya prajurit-prajurit
mengelilinginya. Dilihatnya pula orang-orang menggotong kapten.
Dia bermandikan darah. Imam itu sudah menghilang, dan jendela
yang kacanya pecah yang menghadap ke sungai sudah terbuka lebar.
Seolah dalam mimpi dia mendengar orang berkata,
"Gadis ini telah mencoba membunuh kapten!" Dan suatu suara
lain berkata,
"Ya.dengan ilmu sihirnya!"









Chapter 11
Sidang Pengadilan



ESMERALDA telah menghilang. Gringoire tidak melihatnya
sepanjang hari. Didatanginya Raja kaum pengemis.
"Esmeralda telah menghilang. Sudah sepanjang hari ini dia tak
kembali."
"Kamulah suaminya," kata Raja kaum pengemis itu, "kaulah
yang harus mencoba mencarinya."
"Tapi bagaimana saya bisa, seorang diri?" tanya Gringoire.
"Aku akan membantumu," kata seorang pengemis tua, "besok
kau kubantu."
"Aku juga!" kata yang lain.
"Dan aku juga," seru seorang anak muda yang berhidung besar
dan jelek, "aku akan mulai malam ini juga. Kita butuh Esmeralda di
sini, dialah yang membuat tempat ini semarak dan menyenangkan."
"Ya, kita harus menemukannya!" teriak salah seorang
sahabatnya. "Ayo, Sahabat-sahabat!" Dan keluarlah dia dari rumah itu,
disusul oleh serombongan besar pengemis.
Tapi malam itu mereka tidak menemukannya, esok harinya pun
tidak, lusanya pun belum pula ditemukan. Sebulan lamanya mereka
tak tahu dimana Esmeralda. Dia dan Djali telah menghilang tanpa
bekas.
***
Pada suatu hari, ketika Gringoire berjalan ke arah Kantor
Pengadilan, dilihatnya banyak orang berdiri di salah satu pintunya.
Seorang laki-laki muda keluar, Gringoire mencegatnya.
"Ada apa di situ?" tanyanya.
"Ada sidang pengadilan seorang gadis atas percobaan
membunuh seorang kapten," katanya. "Kata orang, mungkin dia
menggunakan ilmu sihir. Jadi ada imam-imam di pengadilan, banyak
mereka. Perkaranya kotor," katanya, lalu dia melanjutkan
perjalanannya.
Gringoire masuk ke ruang sidang. Dia mengikuti seorang imam
menaiki tangga ke dalam bangsal yang besar.
"Mana tertuduhnya?" tanya Gringoire pada seorang laki-laki
jangkung yang berdiri di sampingnya.
"Tuh," sahutnya, "Yang duduk di belakang orang banyak itu.
Saya sendiri pun hampir tak bisa melihatnya, jadi Anda tentu sama
sekali tak bisa melihatnya. Punggungnya menghadap kita. Tapi saya
rasa Anda bisa melihat perempuan tua yang sedang berbicara
sekarang, bisa? Namanya Falourdell."
"Terima kasih," kata Gringoire, dan dia lalu mendengarkan
suara perempuan tua yang jelek itu.
"Lalu," kata perempuan tua itu, "masuklah seekor kambing
sungguhan, bertanduk keemasan benar-benar jenis kambing yang
selalu dimiliki seorang tukang sihir. Saya sama sekali tak senang,
benar-benar tak senang! Kambing itu mengikuti gadis itu ke loteng,
dan rumah sunyi-sepi sebentar. Saya mendengar suara mereka dari
kamar saya yang terbaik. Suara kapten dan suara gadis itu, sama sekali
tak ada suara lain, hingga tiba-tiba kapten berteriak mengerikan dan
terdengar sesuatu yang berat, jatuh. Saya bergegas naik secepat
mungkin. Dan saya jumpai kapten itu terkapar di lantai, dengan
sebuah pisau tertancap di tengkuknya!"
Dia berhenti berbicara dan semua yang mendengarkan menahan
nafasnya. Sebentar kemudian dia melanjutkan; "lantai kamar saya
yang terbaik penuh darah dan di mana-mana darah. Saya belum
sempat rnembersihkannya sama sekali, ketika para prajurit datang.
Mereka menggotong kapten yang malang itu, dan membawa pergi
gadis dan kambing itu."
"Dan apakah itu akhir cerita Anda?" tanya seorang imam yang
berleher kurus panjang dan berambut hitam. Kelihatannya dia orang
penting.
"Belum, Pak," kata perempuan tua itu, "masih ada yang lebih
aneh lagi yang harus saya ceritakan. Keesokan paginya saya
memerlukan uang untuk membeli telur, maka saya pergi akan
mengambilnya dari kotak di mana malam sebelumnya saya menaruh
uang perak. Uang perak itu hilang, yang saya temukan di situ
hanyalah sepotong kayu kecil yang ada daun keringnya!"
Perempuan tua itu berhenti dan terdengarlah bisik-bisik
ketakutan di antara orang banyak.
"Seekor kambing memang sering kali merupakan teman
seorang tukang sihir," kata seorang laki-laki di sebelah Gringoire.
"Dan daun kering itu!" sambung seorang wanita gemuk di
sebelahnya lagi, "hanya ilmu sihir yang bisa mengubah mata uang
perak menjadi sepotong kayu dengan daun kering!"
Kini hakim berbicara,
"Saudara- saudara, pada Anda ada kesaksian tertulis yang telah
diucapkan oleh Kapten Phoebus."
Mendengar nama itu, gadis yang sedang diadili berdiri
melompat, kini kelihatan kepalanya. Dia Esmeralda tapi Esmeralda
yang sudah sangat berubah!
Mukanya pucat sekali, rambutnya yang selama ini terpelihara
rapi, kini menutupi sebagian mukanya dan acak-acakan, bibirnya biru,
matanya mengerikan.
"Phoebus!" teriaknya, "di mana dia? Bapak-bapak! Sebelum
kalian membunuh saya, kasihanilah saya dan katakanlah apakah dia
masih hidup!"
"Diam," jawab hakim, "itu bukan urusanmu."
"Aduh kasihanilah! Kasihanilah saya! Katakanlah apakah dia
masih hidup," ulangnya, sambil mengangkat tangannya yang indah -
kecil. Rantai pengikat tangannya mengeluarkan bunyi yang kejam
waktu bersentuhan dengan pakaiannya.
"Yah," kata hakim dengan kasar, "dia hampir meninggal.
Cukup?"
Gadis malang yang tak dapat lagi berbicara atau menangis itu,
terduduk lagi dan berubah seolah-olah dia sudah menjadi batu.
"Bawa masuk terhukum yang kedua!" teriak seorang laki-laki
yang memegang sebuah tongkat perak.
Semua mata kini tertuju pada sebuah pintu kecil yang kini
terbuka. Melalui pintu itu masuklah seekor kambing bagus yang
bertanduk dan berkaki keemasan. Sejenak lamanya kambing itu
berdiri saja dan memandang sekelilingnya. Lalu dilihatnya gipsy itu,
dia berlari ke arahnya, melompati meja, lalu bergolek di kakinya
seolah-olah mengharapkan sentuhan tangannya. Tapi gadis yang
malang itu tidak bergerak, dia bahkan tidak melihat pada Djali!
"Itulah binatang jahatnya!" seru perempuan tua Falourdel, "saya
tahu benar pasangan itu."
Imam yang berleher panjang berdiri, dan berkata dengan suara
nyaring, "Jika roh jahat kambing ini menakuti pengadilan dengan
perbuatan-perbuatannya yang jahat, binatang ini harus kita bawa ke
tiang gantungan."
"Ke tiang gantungan!" bisik Gringoire. "Akan mereka apakan
makhluk malang itu di sana?" Dilihatnya imam itu mengambil rebana
Esmeralda dari meja, lalu memegangnya dengan cara yang khusus.
"Jam berapa sekarang?" tanya imam pada kambing itu.
Kambing itu memandangnnya dengan mata yang cerdas,
diangkatnya kakinya lalu dipukulnya rebana itu tujuh kali. Waktu itu
memang jam tujuh. Orang-orang di ruangan itu ketakutan semua.
Dalam ketakutannya Gringoire tak dapat menahan dirinya dan
berteriak,
"Binatang malang itu akan membunuh dirinya, dia tak tahu apa
yang diperbuatnya!"
"Diam di belakang sana!"
Imam itu memutar rebana, dan menyuruh kambing
memperlihatkan tanggal hari itu. Diputarnya lagi, dan disuruhnya
kambing menghitung bulan keberapa waktu itu.
Beberapa minggu sebelumnya, di alun-alun kota, kepandaian-
kepandaian Djali itu menjadikan orang banyak senang, kini
kepandaian-kepandaian yang sama hanya menimbulkan ketakutan.
Orang-orang yakin bahwa kambing itu adalah setan-setan dalam
bentuk kambing. Imam itu mengambil sebuah kantong coklat dari
leher kambing itu, lalu menuangkan potongan-potongan kayu dari
kantong itu ke lantai. Pada potongan-potongan kayu itu tertulis huruf-
huruf merah, dan dengan kakinya yang keemasan kambing itu
menyusun nama yang berbahaya 'Phoebus'. Orang banyak berteriak.
Esmeralda mematung saja, dia seolah-olah tak bernyawa. Dia
seolah-olah tak mendengar atau melihat apa-apa. Seorang prajurit
bertubuh besar menggoncang lengannya waktu imam itu berseru
padanya,
"Apakah kau masih tetap berkata bahwa kau tidak mencoba
membunuh Kapten Phoebus, dengan ilmu sihir dan dengan bantuan
tenaga setan kambing ini?"
"Aduhai Phoebus!" tangis Esmeralda, lalu dia menutup
mukanya dengan tangannya. "Phoebus-ku! Ini lebih buruk daripada
kematian!"
"Masihkah kau berkata bahwa kau tidak mencoba
membunuhnya?" tanya imam dingin.

"Membunuhnya!" seru Esmeralda dengan suara ngeri, "saya
tidak akan pernah punya niat untuk membunuhnya tak pernah!"
"Lalu bagaimana penjelasanmu mengenai hal-hal yang sudah
kami dengar dan lihat?"
Esmeralda menjawab dengan terbata-bata, "Sudah saya katakan
siapa yang mencoba membunuhnya. Dia adalah seorang imam
seorang imam yang tidak saya kenal seorang imam yang rupanya
seperti setan dan yang mengikuti saya!"
"Seorang imam seperti setan!" ulang imam itu dengan tawa
yang kejam.
"Bapak-bapak, kasihanilah saya! Saya ini hanyalah seorang
gadis malang...."
"Seorang gipsy!" kata hakim.
Imam mengangkat tangannya lalu berteriak, "Karena dia tak
mau mengakui kesalahannya, saya tuntut supaya dia disiksa!"
"Dia akan disiksa," kata hakim.
Gadis malang itu gemetar ketakutan, namun dia bangkit, waktu
diperintahkan seorang prajurit, dan berjalan di sepanjang bangsal itu
dengan langkah-langkah pasti. Sebuah pintu di ujung bangsal terbuka,
lalu tertutup lagi setelah Esmeralda memasukinya. Bagi Gringoire,
pintu itu seolah-olah sebuah mulut yang mengerikan yang baru saja
memakan Esmeralda.
Setelah dia menghilang, terdengarlah suatu jeritan. Jeritan itu
adalah jeritan kambing kecil itu.







Chapter 12
Siksaan



ESMERALDA dituntun menuruni tangga dan melalui banyak
lorong gelap hingga dia sampai di kamar di mana para terhukum
disiksa. Dia terhenti di pintu.
"Jalan terus!" kata suatu suara kasar di belakangnya. "Kita tak
bisa membuang-buang waktu. Makin cepat kau mengaku, makin cepat
semuanya ini berlalu. Jadi jalan terus, cepat!"
Seorang prajurit memegang lengannya lalu mendorongnya
masuk ke kamar itu. Kamar itu gelap, di sana ada cahaya merah dari
perapian yang besar, tak ada jendela. Banyak batangan besi yang
berbentuk macam-macam, tergantung di atas arang yang terbakar itu
supaya menjadi panas sekali. Besi-besi itu adalah beberapa dari alat
siksaan. Yang lain terletak di lantai dan banyak lagi yang tergantung
dari atap berbentuk aneh dan jelek.
Esmeralda memandang barang-barang yang mengerikan itu.
"Tidak, tidak!" teriaknya, "saya tak tahan!"
"Kau tak perlu merasakan satu pun dari barang-barang yang
menyakiti ini," kata seorang imam yang ikut serta ke ruang itu. "Kau
hanya harus berkata bahwa kau telah mencoba membunuh Kapten
Phoebus dengan ilmu sihir, maka kau akan segera boleh berbalik dari
alat-alat ini dan langsung ke luar lihat, pintu ini tetap kita buka
bagimu!"
Esmeralda mengangkat matanya lalu memandang ke sana
kemari, seperti binatang yang diburu. Orang-orang yang kelihatan
hitam saja dengan pakaian kasar siap berdiri di sudut-sudut ruangan,
sedang algojonya sendiri duduk bersila di tempat tidur hitam dari
kayu. Dia memandang Esmeralda, dan bangkit. Mukanya kejam.
Esmeralda mundur ketakutan sambil berteriak.
Imam berbicara lagi.
"Tak maukah kau mengaku pada kami?" tanyanya.
"Saya sudah mengaku," bisik Esmeralda dan dia menutup
matanya.
"Baiklah," katanya dengan suara yang lebih keras, "akan kita
lihat apa yang kaukatakan setelah algojo membantumu berbicara.
Mari kita mulai."
Seorang prajurit berpakaian merah mengeluarkan pedangnya
dan dengan ujungnya dia menunjuk sebuah sepatu besar yang terbuat
dari kayu, yang terletak di bawah tempat tidur.
"Mulai dengan ini," katanya. Dengan tersenyum
ditambahkannya, "Kelihatannya terlalu besar untuk kaki penari kita
yang kecil, tapi kau bisa mengecilkan sepatu ini bukan, algojo?"
"Kita bisa menjadikannya sedang untuk semua ukuran kaki,
baik besar maupun kecil," sahutnya.
"Ya, ini sepatu tua yang bagus, benar-benar cantik!"
Dipegangnya dan diangkatnya sepatu itu dengan kedua belah
tangannya lalu dia tertawa.
Dua orang prajurit memegang kedua lengan Esmeralda lalu
mendorongnya ke tempat tidur, algojo mengenakan sepatu kayu itu ke
kaki kanan Esmeralda, kemudian dia bersiap-siap akan memutar
sepotong logam yang bisa mendekatkan bagian atas dan telapak
sepatu perlahan-lahan hingga kaki Esmeralda akan terjepit sampai
remuk tulang-tulangnya. Maka gadis itu terbelalak ketakutan.
"Kau datang tepat pada waktunya," kata perwira berpakaian
merah kepada seseorang yang kini masuk dari arah belakang
Esmeralda. Dia adalah imam yang berleher panjang, "Tepat pada
waktunya membawa berita yang akan menjadikannya benar-benar
senang!" katanya, lalu dia berjalan mendekati Esmeralda dan berdiri di
hadapannya. Sang algojo tinggal diam. Sebentar kemudian imam itu
berkata,
"Nah, kau telah berhasil!" katanya, sambil menatapnya, "kau
telah berhasil dalam percobaanmu membunuh Kapten Phoebus. Dia
meninggal lima menit yang lalu!"
"Meninggal?" bisik Esmeralda, "Aduhai! Kalau dia meninggal,
aku tak bisa hidup!"
"Dia sudah meninggal, dan engkaulah yang membunuhnya,"
kata imam itu. "Kau dan kambingmu yang telah membunuhnya
dengan ilmu sihir, bukan?"
Lama keadaan sepi. Tak seorang pun bergerak.
Tiba-tiba gadis itu mendongakkan kepalanya. "Ya!" serunya,
"ya!" Matanya berapi-api waktu dia menoleh pada perwira, "ya, saya
telah membunuhnya! Saya telah membunuhnya dengan ilmu sihir.
Anda menginginkan supaya saya mengakui hal itu, bukan?"
Imam itu cepat memandang perwira, sang algojo mengumpat
sendiri.
"Kami menginginkan pengakuan," kata imam itu, "dan aku
yakin, Nak, bahwa akhirnya kini telah kauberikan pengakuan yang
sebenarnya. Puji syukur bagi Tuhan!"
Seluruh tubuh Esmeralda gemetar, dan dia menutup matanya.
"Tanggalkan sepatu itu," kata perwira pada algojo yang dengan
sedih mematuhi perintah itu.
"Anakku," kata imam sambil menggenggam tangan Esmeralda
yang dingin, "setelah kauakui kebenarannya, kini kau tinggal harus
membayar kematian Phoebus dengan kematianmu sendiri. Kau akan
digantung secepatnya."
"Saya harap demikian," kata Esmeralda dengan suara hampa.
Orang-orang membantunya berdiri karena dia hampir tak bisa
berdiri lagi. Perwira terpaksa menggendongnya keluar, di sepanjang
lorong sampai ke kamar di mana dia harus tinggal sampai hari
kematiannya di tiang gantungan.





























Chapter 13
Jalan Untuk Lolos



JAUH di bawah tanah ada ruangan-ruangan tempat menahan
para terhukum secara terpisah, selama menunggu kematiannya.
Kamar-kamar itu kecil dan saling berjauhan. Tak ada bunyi yang
dapat didengar, dan para terhukum itu tak dapat membedakan siang
dari malam karena kamar-kamar itu tak berjendela. Dinding-dinding
dan lantai-lantainya basah, dan dingin seperti es.
Waktu Esmeralda mendengar tentang kematian Phoebus,
hidupnya seolah-olah kehilangan matahari. Dia tak punya keinginan
untuk hidup lagi.
Masa telah berhenti baginya. Kamar yang ditempatinya dingin
gelap seperti kuburan. Waktu pintu yang tebal itu terbuka, dia semula
tidak tahu. Kemudian matanya terasa silau, kemudian baru dilihatnya
bahwa di kamar itu ada lampu, seorang laki-laki memegang lampu itu.
Perlahan-lahan dia mulai berpikir dan akhirnya dia berbicara.
"Siapakah Anda?" tanyanya.
"Seorang imam."
Dia merasa takut, karena suara itu bergema dalam ingatannya,
tapi dia tak bisa ingat suara siapa itu. Suara itu berkata lagi,
"Sudah siapkah kau?"
"Siap untukuntuk apa?"
"Siap untuk mati," katanya.
"Akan segerakah?" tanya Esmeralda.
"Besok."
"Mengapa tidak hari ini saja?" bisiknya. "Apakah arti perbedaan
sehari bagi mereka?"
"Sedih sekalikah kau?"
"Saya dingin sekali," sahutnya.
Imam itu memandang Esmeralda yang duduk di lantai yang
basah. Tangannya kurus dan kotor, dan perlahan-lahan digosok-
gosoknya kakinya dengan tangannya yang kurus itu.
"Tanpa penerangan!" katanya. "Tanpa perapian! Dan seluruh
kamar basah, mengerikan sekali!"
"Ya," bisik Esmeralda. "Semua orang menikmati siang hari.
Mengapa saya hanya diberi malam?"
"Tahukah kau mengapa kau berada di sini?"
"Saya rasa saya pernah tahu," jawab Esmeralda, lalu
dipejamkannya matanya dan berpikir, "tapi sekarang saya tak tahu.
Saya tak ingat."
Lalu dia menangis seperti anak kecil.
"Saya ingin pergi dari sini," kata Esmeralda. "Saya kedinginan
dan takut."
"Kalau begitu, ikut aku."
Imam itu memegang lengannya, dan meskipun dia merasa
dingin, dirasanya tangan imam itu dingin seperti es.
"Tangan kematian!" bisiknya, "siapakah Anda?"
Claude Frollo mendekatkan lampu itu ke mukanya lalu berlutut
dekat Esmeralda. Esmeralda memandangnya, lalu matanya ditutupnya
rapat-rapat dengan tangannya, dan dia gemetar ketakutan.
"Imam!" serunya, "andalah imam itu!" dan dia mencoba
menjauh darinya.
"Mengapa kau memandangiku begitu?" tanya Frollo. "Mengapa
kau begitu takut?"
Esmeralda tak menjawab.
"Mengapa?" tanyanya lagi.
"Andalah imam itu," bisik Esmeralda, "imam yang
membunuhnya membunuh Phoebus-ku!" lalu dia menangis.
Kemudian dia berkata dengan air mata bercucuran, "Apa yang
telah kuperbuat terhadap Anda? Mengapa Anda membenciku?
Pernahkah saya menyakiti Anda?"
"Aku cinta padamu!" seru imam itu.
Dia tiba-tiba berhenti menangis, dipandanginya imam itu
dengan mata hampa, seakan-akan dia gila.
"Adakah kau dengar? Aku cinta padamu!" seru imam itu lagi.
"Cinta yang bagaimanakah cinta Anda pada saya itu?" bisiknya.
"Cinta seseorang yang telah kehilangan pegangan!"
Mereka diam beberapa lamanya, lalu akhirnya berkatalah imam
itu dengan suara yang tenang tapi aneh, "Dengarkan akan kuceritakan
segalanya, juga semua rahasia yang selama ini kusembunyikan bahkan
terhadap diriku sendiri.kecuali pada jam-jam sunyi-sepi malam hari
bila keadaan begitu gelap hingga Tuhan hampir tak dapat melihat kita.
Dengarkan. Sebelum aku bertemu denganmu aku bahagia...."
"Saya pun berbahagia waktu itu!" sahut Esmeralda.
"Aku harus berbicara denganmu," kata Frollo, "aku harus
menceritakan segalanya padamu. Aku semula bahagia, jiwaku penuh
cahaya...."
Imam itu berbicara terus, tapi Esmeralda tak mendengarnya.
Dia terlalu lemah untuk mendengarkan cerita yang mengerikan
tentang nafsu imam itu terhadapnya. Imam itu bercerita terus, sambil
berlutut di dekatnya di lantai yang dingin dan basah. Esmeralda tak
merasa apa-apa, tak melihat apa-apa, kecuali suatu dinding awan
kelabu yang rasanya ditutupkan ke matanya. Kemudian akhirnya
semua kata-kata imam itu masuk ke pikirannya.
"Aku membunuhnya demi kau!" serunya, "demi kau! Aku bisa
menyelamatkanmu. Ikutlah dengan aku sekarang aku cinta padamu!
Kita bisa hidup berdua di suatu kota kecil jauh dari sini. Kita berdua
bisa berbahagia!"
"Aku benci padamu," bisik Esmeralda. "Tenagaku tinggal
sedikit, tapi aku membencimu dengan seluruh tenaga yang tersisa itu!
Aku membencimu sekarang. Besok pun aku membencimu, padahal
besok aku akan mati. Jadi akan kubawa rasa benciku padamu untuk
selamanya." Dipejamkannya matanya, lalu dia bersandar ke dinding.
Imam itu melompat berdiri sambil memekik seperti binatang
luka. Esmeralda seperti tidak mendengar waktu imam itu
mengumpatnya.
Ditinggalkannya Esmeralda dengan membanting pintu kamar
itu, tapi Esmeralda tetap tak bergerak. Waktu berlalu. Kemudian,
perlahan-lahan digerakkannya tangannya dan dia mulai menggosok-
gosok kakinya.
"Dingin benar aku dingin benar!" katanya berulang-ulang,
dan air matanya meleleh di pipinya.

















Chapter 14
Tali



MENYINGKIRLAH! teriak Suster Gudule dari jeruji besi
Lubang Tikusnya. "Kepalamu yang bebal itu menghalangi
pemandanganku, Anak muda!"
"Ya, ya baiklah perempuan tua, masih belum ada yang akan
dilihat." Namun prajurit itu menyingkir juga. "Gerobak itu belum lagi
membelok di tikungan."
"Kalau dia membelok, tolong beritahu aku. Tak banyak yang
dapat dilihat dari jendela ini, aku tak mau kehilangan kesempatan
melihat gipsy itu pergi ke tiang gantungan."
"Keras benar hati Anda, Suster Gudule, sekeras batu!" kata
prajurit itu.
"Kau tak tahu apa-apa tentang hatiku atau apa yang telah
ditanggungnya, jadi urus saja urusanmu sendiri!"
"Jaga sopan santunmu, perempuan tua!" kata prajurit itu, dan
dia lalu berdiri di depan jendela hingga suster itu tak bisa melihat.
"Jaga sopan santunmu, kalau tidak, aku akan tetap berdiri di sini
sepanjang siang ini!"
Orang-orang yang berada di dekat situ tertawa. "Betul itu!"
teriak seorang laki-laki gemuk. "Ajar dia supaya tahu sopan santun,
Prajurit!"
"Dia sudah terlalu tua untuk belajar," kata temannya.
"Tuh dia!" teriak seorang wanita jangkung yang berdiri di dekat
mereka, dan semua orang menoleh ke arah tikungan, "gerobak yang
membawa tukang sihir itu datang!"
Orang-orang terdiam waktu gerobak itu mendekat. Gerobak itu
ditarik oleh seekor kuda besar berwarna kelabu, dan serdadu-serdadu
berpakaian merah dan kuning menunggang kuda di kiri kanannya.
Mereka membawa salib putih.
"Aku tak bisa melihat," teriak Suster Gudule, "menyingkirlah!"
"Tutup mulutmu," kata prajurit tadi, tapi dia menyingkir juga.
Kalau Anda bicara sepatah kata saja lagi, saya akan kembali, lihat
saja!"
Suster Gudule memegang jeruji dan berdiri berjingkat supaya
bisa melihat, tapi dia tak cukup tinggi dan dia tak bisa melihat
Esmeralda.
Gadis malang itu duduk dengan sedapat mungkin merendahkan
dirinya dalam gerobak, untuk menyembunyikan dirinya dari orang
banyak. Tangan dan kakinya diikat dan kepalanya ditundukkannya
saja karena malu. Dia mengenakan baju putih, dan rambutnya yang
hitam terurai di bahunya. Orang di tiang gantungan akan segera
memotong rambut itu, tapi kini rambut itu ditiup angin. Ketika rambut
itu tertiup-tiup angin, sekali-sekali terlihat rantai perak dan kantong
sutera hijau yang masih tergantung di lehernya. Matahari musim salju
yang pucat muncul sebentar dan kaca hijau di kantong bersinar
cemerlang.
Derap kaki kuda mengeluarkan bunyi Plok! Plok! Plok!
sementara mereka melewati alun-alun, dan roda-roda gerobak
gemeratak di atas batu, tapi orang-orang tidak bersuara. Mereka
merasa kasihan sekali pada gadis yang seperti anak kecil yang letih
dan sesat yang duduk di lantai gerobak itu. Wajahnya seputih bajunya,
dan dia kelihatan seperti setengah tidur.
"Kelihatannya dia membunuh seekor tikus pun tak sanggup!"
kata seorang prajurit. "Aku tak yakin dia telah membunuh Kapten
Phoebus."
"Pasti dia yang membunuhnya," kata wanita jangkung tadi,
"dengan ilmu sihir."
"Seorang tukang sihir perlu tubuh yang kuat," kata laki-laki
gendut.
"Sumber kekuatannya adalah roh jahatnya," sahut wanita tadi,
"tapi dia memang kelihatan lemah sekali."
"Mana dia?" teriak Suster Gudule
"Adakah dia dalam gerobak itu? Adakah dia di situ, kasihan
benar gadis kecil yang malang itu," jawab prajurit.
"Hei gipsy, dengarkan," teriak perempuan tua itu dari Lubang
Tikusnya, "dengarkan kutukan seorang ibu yang bayinya telah dicuri
rumpun bangsamu yang jahat itu!"
Prajurit itu berpaling dengan marah pada Suster Gudule.
Dimasukkannya pedangnya ke celah jeruji jendela hingga ujungnya
hampir mengenai dadanya yang pipih.
"Tutup mulutmu, kalau kau masih mau hidup!" bentaknya.
Suster Gudule melepaskan jeruji itu lalu berlutut di lantai
Lubang Tikus, supaya pedang panjang itu tak bisa mencapainya lagi.
"Bawa serta kutukan ke tiang gantungan! teriaknya, "bawa
serta kutukanku sampai matimu!" Suaranya terdengar lantang, kejam
dan keras, tapi Esmeralda seolah-olah tak mendengarnya.
"Diam!" teriak orang-orang dekat Lubang Tikus itu,"sudah
cukup penderitaan gadis itu."
Dari gerobak terdengar jeritan binatang yang kesakitan.
"Itu kambingnya," kata wanita jangkung itu. 'Dia tahu bahwa
dia akan dibunuh bersama majikannya."
Djali terbaring di kaki Esmeralda. Kakinya terikat menjadi satu,
dan dia hanya dapat menggoyang-goyangkan kepalanya. Kini pun dia
sedang berbuat demikian, digoyang-goyangnya dari kiri ke kanan, dan
dia mengembik karena tali itu melukai kakinya.
"Djali yang malang! bisik Esmeralda, "tapi hidup kita berdua
akan segera berakhir, dan kita akan mendapat kedamaian."
Pintu-pintu Notre-Dame yang besar terbuka. Di alun-alun di
mana banyak orang berkumpul dan menunggu di samping tiang
gantungan terdengar suara nyanyian sedih dan lambat dari gereja.
Sebarisan imam keluar melalui pintu-pintu itu. Mereka semua
berpakaian hitam. Mereka berjalan lambat dan bergerak menuruni
tangga seperti seekor ular gemuk, ke antara barisan orang-orang
banyak.
Mata semua orang tertuju ke arah gerobak itu, tak seorang pun
yang mengangkat muka, melihat ke bagian atas pintu-pintu Notre-
Dame. Di sana, di antara patung-patung batu berdirilah seorang aneh.
Dia memegang seutas tali, dan ujungnya diikatkannya pada sebuah
pilar batu. Ujung yang satu lagi dijuntaikannya ke alun-alun, di
sepanjang dinding batu yang kelabu.
Setelah tali itu terpasang seperti yang diingininya, laki-laki itu
berdiri diam. Dia adalah Quasimodo, dan mukanya sama jeleknya
dengan gargoyle yaitu makhluk-makhluk aneh yang terpahat pada
batu dan yang mulutnya menjadi saluran air hujan dari atap Notre-
Dame. Beberapa ekor burung terbang melalui si bongkok, dan dia
tersenyum sambil memandangi alun-alun di bawahnya.
Gerobak berhenti di depan tangga, dan empat orang melepaskan
tali-tali yang mengikat Esmeralda dan Djali. Kambing itu mengembik
kegirangan ketika dia dapat menggerakkan kakinya lagi, tapi
Esmeralda memandang imam-imam di hadapannya dengan mata
ngeri. Frollo ada di antara mereka. Mukanya putih sepucat orang mati
dan matanya merah seperti api.
Esmeralda melihatnya, dan dia hampir pingsan. Dia hampir
jatuh, tapi dua orang memegangnya dan mengangkatnya dari gerobak.
Orang-orang lain mengangkat kambingnya, dan menaruhnya di
sampingnya. Nyanyian dari Notre-Dame berakhir, dan Esmeralda
serta Djali berdiri dan melihat ke dalam gereja yang besar dan gelap
melalui pintu-pintunya yang terbuka. Para imam mulai berdoa, suara
bersama mereka terdengar seperti badai di laut.
Tiba-tiba si bongkok memegang tali dengan kedua belah
tangannya, dijepitkannya di antara lutut dan kakinya dan dia meluncur
ke bawah secepat monyet. Dia menjatuhkan diri di tangga, berlari di
antara para imam dan berdiri di hadapan Esmeralda. Dengan
tangannya yang besar dan kuat, sebentar saja dia menjatuhkan kedua
orang yang memegang Esmeralda, lalu dengan tangan sebelah dia
mengangkat Esmeralda dan dengan tangan sebelah lagi mengangkat
Djali, kemudian berlari menaiki tangga-tangga Notre-Dame selincah
kucing.
Dalam gereja, semua orang bebas dari undang-undang. Tak
seorang pun berhak mengganggu gugat gipsy dan kambing itu di
dalam Notre-Dame. Mereka selamat selama mereka berada di
dalamnya.
"Dia selamat di sini!" kata Quasimodo setelah dia memasuki
pintu. Diangkatnya Esmeralda ke atas kepalanya lalu dia berteriak,
"Dia selamat!"
"Dia selamat! Dia selamat!" ulang orang banyak hiruk-pikuk.
Keributan itu menyebabkan Esmeralda membuka matanya. Dia
memandang Quasimodo, lalu cepat-cepat memejamkan matanya lagi,
karena si bongkok yang telah menyelamatkan jiwanya itu terlalu
mengerikan untuk dilihat. Kepalanya yang besar dan berambut lebat
itu seperti kepala singa. Quasimodo menggendong Esmeralda dengan
sangat hati-hati seolah dia takut Esmeralda akan pecah. Dia seakan-
akan menyadari bahwa sesuatu yang seindah itu tak sesuai dengan
tangannya yang kasar.
Kemudian tiba-tiba didekapnya Esmeralda erat-erat ke dadanya
yang buruk, seolah-olah gadis itu adalah harta miliknya sendiri,
seorang anak yang berharga. Quasimodo mendekapnya seperti
seorang ibu mendekap anaknya. Ditatapnya wajah gadis itu, dengan
sedih dan iba.
Sedang di luar, di alun-alun, orang banyak melihat seolah-olah
tubuh Quasimodo yang mengerikan itu memancarkan keindahan
tersendiri. Para wanita tertawa dan menangis, sedang yang laki-laki
bersorak-sorai. Dia baik sekali. Dia anak bongkok yang tak berayah-
ibu, yang telah dibuang orang banyak, kini merasa bahwa dia kuat dan
hebat. Dia memandang ke bawah ke wajah orang-orang yang telah
melarangnya untuk hidup bersama mereka. Dia telah mengalahkan
kekuatan undang-undang mereka dengan tenaga gaib Tuhannya.
Quasimodo berlari masuk lebih jauh ke dalam gereja dengan
Esmeralda dalam gendongannya. Kambing mengikuti mereka. Tanduk
dan kakinya bersinar keemasan dalam gelapnya Notre-Dame.
Orang-orang banyak berdiri diam dan ingin tahu apa yang akan
terjadi lagi. Lalu si bongkok muncul lagi. Dia berada di ujung lorong
jauh di atas pintu-pintu. Diacungkannya gadis itu tinggi-tinggi, lalu
berteriak, "Dia selamat!" Orang-orang banyak mengulangi teriakannya
itu.
Dia menghilang, dan sejenak kemudian dia menampakkan
dirinya di tempat yang lebih tinggi, sambil menggendong Esmeralda
seolah-olah dia seringan sekuntum bunga. Orang banyak berteriak
kegirangan lagi, dan Quasimodo menghilang lagi.
Mereka melihatnya untuk ketiga kalinya ketika dia berada di
puncak menara lonceng besar. Dari sana seolah-olah akan
memperlihatkan gadis itu pada seluruh kota. Terdengar lantang
suaranya meneriakkan pekik kemenangan,
"Aman! Aman! Aman!"
Orang banyak membalas pekik itu dengan kegirangan yang
meluap-luap sampai-sampai menggetarkan jeruji Lubang Tikus di
mana Suster Gudule terus meneriakkan kutukannya.

Chapter 15
Di Atas Kota



QUASIMODO membawa Esmeralda ke sebuah kamar kecil di
bawah atap menara. Selama berada dalam gendongan Quasimodo,
Esmeralda merasa seolah-olah dia terbang dalam tidurnya. Sekali-
sekali didengarnya suara si bongkok tertawa nyaring dan suaranya
yang kasar. Rasanya suara itu adalah suara dalam mimpinya.
Esmeralda membuka matanya sedikit dan dilihatnya atap-atap rumah
di kota Paris, jauh di bawahnya. Waktu dia kemudian memandang ke
atas dilihatnya muka si bongkok yang jelek berseri-seri karena
kegirangan. Esmeralda memejamkan matanya lagi dan berpikir,
"Mungkin aku sudah mati di tiang gantungan dan rohku sedang
dibawa oleh suatu makhluk aneh suatu roh dari dunia lain."
Quasimodo membaringkannya di kamar kecil itu. Esmeralda
terbangun. Kini mata dan pikirannya bisa bekerja lagi. Dilihatnya
bahwa dia berada di menara. Dia ingat bahwa dia tadi telah
dibebaskan dari orang-orang yang akan membunuhnya. Dia berpaling
pada Quasimodo.
"Mengapa kau selamatkan aku?" tanyanya. Quasimodo tampak
heran, seolah-olah dia mencoba memahami apa yang dikatakan
Esmeralda.
"Mengapa kau menyelamatkan aku?" tanya Esmeralda lagi.
Quasimodo memandangnya dengan sedih sekali, lalu pergi.
Esmeralda keheranan, dia tak tahu bahwa Quasimodo tuli.
Beberapa saat kemudian dia kembali dengan membawa pakaian
yang diletakkannya dekat kaki Esmeralda. Seorang wanita yang baik
hati telah meletakkan pakaian itu di tangga Notre-Dame. Esmeralda
melihat ke dirinya sendiri dan dilihatnya bahwa dia hanya memakai
baju putih yang tipis. Dia membelakangi Quasimodo.
Rupanya Quasimodo mengerti. Tangannya yang besar
ditutupkannya ke matanya lalu dia keluar dari kamar itu. Esmeralda
mengenakan pakaian itu sederhana namun hangat.
Baru saja dia selesai, Quasimodo sudah kembali. Tangan
sebelahnya menjinjing sebuah keranjang sedang di tangan yang
sebelah lagi dia mengepit alat-alat tidur. Dalam keranjang itu terdapat
sebuah botol, roti dan makanan lainnya. Diletakkannya keranjang itu
ke lantai dan dia berkata, "Makan." Alat-alat tidurnya
dibentangkannya lalu berkata, "Tidur."
Yang dibawa si bongkok itu adalah makanan dan alat tidurnya
sendiri. Esmeralda mengangkat matanya memandang Quasimodo
akan mengucapkan terima kasih, namun kata-kata itu tak terucapkan.
Laki-laki itu jeleknya bukan kepalang!
"Kau takut padaku," kata si bongkok. "Aku jelek sekali ya?
Jangan lihat aku, dengarkan saja aku. Siang hari kau harus tetap
tinggal di sini, malam hari kau bebas berjalan ke mana saja dalam
gereja ini. Tapi jangan keluar gereja barang selangkah jua pun, baik
siang maupun malam. Kau akan tersesat. Mereka akan membunuhmu,
dan aku akan mati."
Perlahan-lahan Esmeralda mengangkat kepalanya akan
menjawab, tapi dia sudah tiada. Setelah tinggal seorang diri,
Esmeralda mengingat lagi kata-kata aneh yang diucapkan makhluk
jelek itu, dan tentang suaranya, begitu kasar namun begitu lembut.
Kemudian Esmeralda melihat-lihat kamarnya. Kamar itu hanya
cukup untuk sebuah tempat tidur, tak ada apa-apa di dalamnya. Pada
sebuah jendelanya terulur kepala tiga ekor binatang dari batu yang
menyalurkan air ke luar melalui lehernya yang panjang. Binatang-
binatang gargoyle itu jelek, namun jauh kurang jeleknya daripada si
bongkok.
Jauh dari atap gereja, Esmeralda melihat banyak cerobong asap,
yang mengepulkan asap api dari kota Paris. Dibayangkannya
keluarga-keluarga yang duduk mengelilingi perapian di rumah
mereka, dan dia merasa sedih seorang diri, tak bisa meninggalkan
kamar itu siang hari dan tak boleh meninggalkan gereja siang maupun
malam. Dia duduk di atas tempat tidur dan berpikir-pikir apa yang
akan terjadi atas dirinya.
Tiba-tiba dirasanya suatu kepala berbulu digesek-gesekkan di
tangannya. Esmeralda memandang kepala itu. Rupanya Djali.
Diciumnya kepala kambing itu, "Djali sayang," katanya, "aku sampai
lupa padamu, namun kau tetap ingat padaku!"
Pada saat itu juga, seolah-olah ada tangan yang tak kelihatan
mengangkat pintu bendungan yang selama ini menahan air matanya,
dia pun menangis dan dengan mengalirnya air matanya, dirasanya
kesedihannya yang paling menusuk ikut mengalir meninggalkan
dirinya.
Ketika malam tiba, malam baginya begitu indah, cahaya bulan
begitu lembut. Dia berjalan-jalan di menara dan melihat ke bawah ke
kota yang sedang tidur. Bumi kelihatan begitu tenang bila ditinjau dari
tempat yang tinggi. Dia merasa agak bahagia lagi, berada di bawah
langit yang berbintang, sedang kota berada begitu jauh di bawah
kakinya.
Keesokan paginya sinar cerah matahari yang baru terbit
memancar melalui jendela menyinari muka Esmeralda. Bersamaan
dengan matahari, Esmeralda melihat sesuatu yang lain di jendela,
sesuatu yang menjadikannya takut. Wajah Quasimodo yang jelek.
Esmeralda memejamkan matanya lagi ketakutan, tapi dia mendengar
suatu suara kasar berkata sangat lembut,
"Jangan takut. Aku sahabatmu. Aku datang untuk melihat kau
tidur. Kau tidak keberatan, bukan, kalau aku datang dan melihatmu
tidur? Bukankah tidak apa-apa kalau aku di sini, sedang kau
memejamkan matamu? Aku akan pergi sekarang. Nah! Aku
bersembunyi di balik dinding, sekarang kau boleh melihat matahari
lagi."
Esmeralda merasa terharu oleh suara Quasimodo yang sedih.
Dibukanya matanya dan memang Quasimodo tak ada lagi di jendela
itu. Esmeralda pergi ke jendela dan dilihatnya si bongkok
menyelipkan dirinya di dinding. Dikuatkannya dirinya untuk
mengatasi rasa mual yang timbul begitu melihatnya.
"Kemarilah," kata Esmeralda padanya lembut. Dari gerak
bibirnya, Quasimodo menyangka bahwa Esmeralda menyuruhnya
pergi. Ditutupnya matanya dengan tangannya, dan dia menjauh.
"Kataku, kemarilah!" ulang Esmeralda, tapi si bongkok menjauh terus.
Lalu Esmeralda berlari keluar dari kamar, bergegas
mendatanginya dan memegang lengannya. Merasakan sentuhan
tangan Esmeralda, seluruh tubuh Quasimodo gemetar. Dipandanginya
Esmeralda dengan matanya yang satu itu dengan penuh kesedihan.
Tapi ketika dilihatnya bahwa Esmeralda mencoba menariknya untuk
mendekatinya, mukanya bersinar kesenangan. Esmeralda
mengajaknya masuk ke kamarnya, tapi dia tak mau.
Djali berdiri saja di pintu, sedang Esmeralda duduk di tempat
tidur sambil memandanginya. Setiap saat dilihatnya suatu segi
keindahan pada tubuhnya yang buruk itu.
Quasimodo-lah yang mula-mula memecah kesepian."Jadi
benar-benarkah kau menyuruhku kembali?"
"Ya," kata Esmeralda.
Quasimodo mengerti apa maksudnya dari anggukan kepalanya
saja. Kemudian dia berkata lagi sedih dan perlahan,
"Aku aku tuli."
"Kasihan benar kau!" kata gipsy itu dengan suara penuh iba.
"Ya, aku tuli. Begitulah aku diciptakan. Aku jelek sekali.
Sedang kau kau begitu cantik."
Suaranya kedengaran begitu sedih hingga Esmeralda tak
sampai hati untuk mengucapkan sepatah kata pun. Si bongkok berkata
lagi, "Aku tak pernah menyadari diriku sebelum ini. Bagimu aku tentu
seperti binatang saja. Sedang kau kau seperti seberkas sinar
matahari, sekuntum bunga, seekor burung. Aku ini aku bukan
manusia, tapi bukan pula binatang."
Lalu dia tertawa, dan suara tawanya ituiah yang paling
menyedihkan. Dia berkata lagi, "Ya, aku tuli, tapi kau bisa berbicara
memakai isyarat denganku. Aku punya majikan yang berbicara
dengan cara demikian denganku. Maka dalam waktu singkat aku akan
tahu apa yang kauingini dari gerak bibirmu, dan dari caramu
memandangku."
"Kalau begitu coba ceritakan, mengapa kau menyelamatkanku,"
kata Esmeralda sambil tersenyum.
Si bongkok memperhatikannya dengan teliti sementara dia
berbicara.
"Aku mengerti," sahutnya. "Kau bertanya mengapa aku
menyelamatkan kau. Kau telah melupakan seorang malang yang jahat,
yang pada suatu malam mencoba melarikanmu pada makhluk
malang yang sama itu pula kauberikan bantuan pada esok harinya,
waktu dia berada di ruang siksaan yang mengerikan itu, berupa air dan
rasa belas kasihan. Untuk itu tak cukup kalau kubalas dengan hidupku
saja. Kau telah melupakan makhluk malang itu, tapi dia ingat."
Laki-laki aneh ini menimbulkan rasa sedih Esmeralda.
Quasimodo mulai menjauh. Esmeralda memberikan isyarat supaya dia
jangan pergi.
"Tidak, tidak, aku tak boleh tinggal terlalu lama. Hanya karena
kau kasihan padaku sajalah maka kau tidak membuang muka. Aku
akan pergi ke suatu tempat dari mana aku bisa melihatmu tanpa kau
bisa melihatku, cara itu lebih baik "
Dari sakunya dikeluarkannya sebuah peluit kecil dari logam.
"Ini," katanya, "kalau kau membutuhkan aku atau kalau kau
ingin aku datang, tiuplah peluit ini. Aku bisa mendengar bunyinya."
Diletakkannya peluit itu di lantai lalu dia pergi.




























Chapter 16
Rencana Serangan



WAKTU berlalu, dan jiwa Esmeralda perlahan-lahan menjadi
tenang kembali. Kesedihan yang terlalu besar, tak bisa bertahan lama,
sebagaimana halnya kegembiraan yang terlalu besar. Hati kita tak kuat
menanggungnya.
Keindahan Notre-Dame membantu penyembuhan luka hatinya.
Dia mendengarkan nyanyian-nyanyian khidmat, dan mulai melupakan
rasa sakitnya. Musik yang agung menjadikannya ingin hidup lagi, dan
bila orang-orang di gereja menyanyi, dia ingin menyanyi pula. Tapi
yang paling disukainya adalah suara lonceng-lonceng. Bunyinya
mengaliri pikirannya dan dia merasa terhibur.
Tak pernah dia meniup peluit yang diberikan Quasimodo
padanya, tapi dia sering datang selama hari-hari pertama, meskipun
tak dipanggil. Dia membawakan keranjang makanan dan botol air
minum. Tapi gerakan terkecil yang dibuat Esmeralda untuk berpaling
dari dirinya dapat dirasakannya dengan segera, dan dalam keadaan
demikian dia pergi dengan sedih.
Pada suatu hari dia datang pada saat Esmeralda sedang
bermain-main dengan Djali. Beberapa saat lamanya dia berdiri,
memandangi keserasian gadis dan binatang itu. Akhirnya dia berkata
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar dan jelek itu,
"Buruk benar nasibku, aku lebih menyerupai manusia. Betapa
senangnya kalau aku benar-benar merupakan seekor binatang, seperti
kambing umpamanya."
Esmeralda memandangnya dengan heran.
Melihat keheranan Esmeralda itu, dia berkata lagi, "Mungkin
kau tak bisa mengerti, tapi aku aku tahu betul!" lalu dia pergi.
Pada kesempatan lain dia tiba di pintu kamar waktu Esmeralda
sedang menyanyikan sebuah lagu Spanyol tua. Dia tak tahu apa arti
kata-katanya, tapi dia masih ingat karena waktu dia masih kecil,
perempuan gipsy selalu menyanyikan lagu itu untuk menidurkannya.
Melihat wajah jelek Quasimodo, yang datang tiba-tiba di tengah-
tengah nyanyiannya itu, Esmeralda menghentikan nyanyiannya
dengan sikap ketakutan.
Quasimodo mengatupkan kedua tangannya yang jelek, lalu
berseru,
"Teruskan, kumohon! Jangan suruh aku pergi." Esmeralda tak
mau menyakiti hatinya, dia meneruskan nyanyiannya. Rasa takutnya
perlahan-lahan hilang, dan dalam meresapi keindahan lagu itu dia
melupakan Quasimodo. Selama itu Quasimodo diam dengan sikap
seperti semula yaitu seperti orang berdoa. Dia seolah-olah takut
bernafas dan menatap mata Esmeralda seolah-olah dia dapat membaca
lagu itu di sana. Pada peristiwa lain dia mendatangi Esmeralda seperti
orang ketakutan.
"Dengarkan," katanya, seolah-olah dia harus berjuang untuk
mengucapkan kata-katanya. "Ada sesuatu yang harus kukatakan
padamu."
Esmeralda memberi isyarat bahwa dia mendengarkan.
Quasimodo membuka mulutnya sedikit akan berbicara, kelihatan
berpikir sebentar, lalu menggeleng dan kemudian pergi perlahan-
lahan, sambil menutup matanya dengan tangannya.
Esmeralda merasa heran.
Di antara makhluk-makhluk gargoyle di luar jendela Esmeralda,
Quasimodo paling menyukai semacam binatang yang aneh. Dia
seringkali memandanginya seakan-akan binatang itu dapat mengerti
apa yang dikatakannya. Pada suatu kali Esmeralda mendengar dia
berkata pada binatang itu,
"Mengapa aku tidak terbuat dari batu seperti kau?"
Belas kasihan yang dirasakan Esmeralda terhadap Quasimodo,
mengusir rasa takutnya terhadap laki-laki lain. Dia mulai melupakan
algojo penyiksa dan imam yang matanya mengerikan.
Tapi imam dengan mata yang mengerikan itu tidak
melupakannya. Berjam-jam setiap hari dia mengurung dirinya dalam
kamarnya di antara buku-bukunya dan berjuang melawan
keinginannya untuk mendatanginya. Padahal, dia ada di menara di
sebelahnya dalam gedung yang sama!
Meskipun dia sering pergi mematai-matainya, dia tak pernah
berani menampakkan dirinya. Dia bersembunyi di tempat-tempat
gelap dan memperhatikannya bila dia berjalan-jalan dalam gereja
malam hari. Disembunyikannya dirinya di tangga dan diperhatikannya
Quasimodo yang mengunjunginya siang hari. Siang malam pikirannya
dipenuhi oleh bayangan Esmeralda.
"Lihat bagaimana si bongkok itu memandangnya!" gumamnya
sendiri pada suatu petang waktu dilihatnya mereka sedang berdua.
"Pandangan seperti itu kulihat juga ketika dia mencoba
melarikannya dan Kapten Phoebus menghalang-halanginya. Dan lihat
pula bagaimana gadis itu memandang Quasimodo!"
Air muka Esmeralda yang manis mengandung iba menjadikan
Frollo marah sekali. Ingin dia berlari mendatangi mereka,
menghantam si bongkok dan memeluk gadis itu. Tapi dia tahu itu tak
mungkin, dan dengan berlari dia menuruni tangga masuk ke gereja.
Nyanyian yang indah itu terdengar bagaikan bunyi yang jahat baginya,
dan dia berlari menjauhkan dirinya naik ke kamarnya sendiri seperti
orang gila.
Malam itu mimpinya lebih mengerikan daripada biasanya.
Ada seorang laki-laki lain yang bermimpi buruk pula tentang
Esmeralda, dia adalah Gringoire si penyair. Dia ada di antara orang-
orang banyak waktu Quasimodo melarikan Esmeralda dan Djali
masuk ke Notre-Dame.
"Syukurlah!" seru Gringoire waktu dilihatnya bahwa Esmeralda
selamat, dan dia berteriak kegirangan sampai suaranya habis.
Kemudian dia mulai berpikir-pikir bagaimana dia bisa menemukannya
kembali.
"Aku suaminya," katanya sendiri, "dan aku harus mencoba
untuk memperolehnya kembali. Dia tak bisa menghabiskan sisa
hidupnya di Notre-Dame! Aku harus mencoba menemukannya
kembali."
Setiap hari dia pergi ke gereja untuk mencarinya, tapi ia tak
pernah melihatnya. Dicobanya pula menemukan Quasimodo, tapi si
bongkok itu tak pernah turun dari menara bila Gringoire ada di sana.
Juga Claude Frollo agaknya sudah menghilang.
Dalam mimpinya, Gringoire sering melihat Esmeralda dalam
pelukan si bongkok, maka dia berteriak dan bangun. Ditinggalkannya
tempat tidurnya dan dia bergumam,
"Sesudah mimpi seburuk itu, aku tak akan bisa tidur lagi malam
ini. Sebaiknya aku pergi berjalan-jalan saja sampai pagi." Berjalanlah
dia dalam gelap, di kota yang sepi itu. Tanpa disadarinya dia berjalan
ke arah Notre-Dame.
"Tentunya nasib yang membawaku ke mari!" bisiknya, waktu
didapatinya dia telah berada di luar gereja itu, " aku yakin aku akan
menemukan Esmeralda sekarang!" Bergegas dia menaiki tangga ke
pintu-pintu yang besar, tapi pintu-pintu itu tertutup rapat dan dia tak
bisa menggerakkannya. Tiba-tiba terdengar suatu suara berkata di
telinganya,
"Jangan sentuh pintu-pintu itu malam ini, Sahabatku!"
Sebuah tangan yang kuat menggenggam lengan Gringoire.
Gringoire gemetar ketakutan memandang dalam gelap akan melihat
tangan siapa gerangan itu.

"Kau tidak akan pernah menjadi seorang pencuri yang baik
kalau kau tak bisa melihat dalam gelap gulita!" kata laki-laki itu
sambil tertawa kecil.
"Siapa kau?" seru Gringoire.
"Rajamu!" kata laki-laki itu, dan mukanya didekatkannya ke
arah Gringoire, "bisakah kau melihatku sekarang, Penyair?"
"Yaya bisa," kata Gringoire. Orang itu adalah Raja kaum
pengemis. Gigi gipsy laki-laki itu putih bersinar waktu dia
menertawakan penyair yang ketakutan itu.
"Sedang mencari istrimu yang cantik itukah kau?" tanya sang
Raja.
"Benar," sahut Gringoire berbisik. "Tahukah kau' di mana dia?"
"Kau tidak akan menemukannya malam ini," kata Raja,
"meskipun aku tahu di mana dia... Mari ikut aku sekarang, akan
kuceritakan tentang rencanaku." Dia bergegas menuruni tangga,
dengan terus mencengkam lengan Gringoire.
Mereka berjalan tanpa berkata-kata melalui jalan-jalan sampai
mereka tiba di jembatan Saint Michel. Raja kaum Pengemis itu
menuntun Gringoire ke tepi air.
"Ini tempat tenang yang baik untuk berbicara," katanya.
"Aku tak suka membicarakan tentang rencanaku itu di mana
orang lain bisa mendengarkan. Terutama karena rencanaku adalah
untuk mencuri barang-barang dari gereja Notre-Dame yang masyhur
itu."
"Mencuri dari Notre-Dame!" bisik Gringoire terkejut.
"Di gereja itu banyak emas, permata-permata dan uang, kata
Raja kaum pengemis, "semua barang yang disukai rakyatku dan aku,"
lanjutnya, "Esmeralda ada di sana, dan kita menginginkannya kembali
ke tengah-tengah kita, bukan?"
"Ya, ya!" seru Gringoire.
"Akan kita bawa dia keluar dari Notre-Dame besok malam,"
kata Raja, "dan kita akan membawa cukup banyak emas juga, untuk
menjamin kita sepanjang sisa hidup kita!"




























Chapter 17
Keributan Malam Hari



MALAM berikutnya tak ada awan di langit, dan bulan bersinar.
Sinar bulan menerangi lantai Notre-Dame yang gelap menjadi
berwarna biru seperti laut.
Esmeralda sedang berjalan-jalan di sana dan Djali berada di
sampingnya. Gerak-gerik Esmeralda tenang sekali, tapi jejak kaki
Djali yang keemasan bergema tajam di lantai batu itu. Kadang-kadang
dia berhenti, diangkatnya kambingnya lalu diciumnya.
"Gereja ini cantik di malam hari, bukan Djali?" bisiknya.
"Begitu sepi, begitu tenang, hingga kadang-kadang kurasa aku akan
senang tinggal di sini selama-lamanya." Diturunkannya kambing itu
lalu dia mulai berjalan lagi.
"Tapi kadang-kadang kuingin bisa keluar ke kota, dan bebas
hidup dengan caraku sendiri," katanya.
Dia berhenti lagi, berdiri sambil merenung.
"Rasanya sudah bertahun-tahun aku tak menyanyi di jalan-jalan
lagi ya Djali? Aku ingin tahu apakah aku masih bisa menari! Apakah
menurut kau aku masih bisa, sahabat kecilku? Kucoba ya?"
Dia mulai menyanyi dan menggerakkan kakinya dengan halus
di atas lantai batu yang dingin dalam gereja itu.
Suaranya terdengar kecil dan halus dalam gedung yang besar
itu, dan dia kelihatan begitu kecil waktu dia menari sendiri itu. Dia
tersenyum girang ketika menarikan tarian yang selalu diingatnya itu.
Si bongkok memperhatikannya dari tempat yang gelap itu,
mulutnya ternganga lebar. Dia lupa segala-galanya karena senangnya
melihat gerak-gerik yang begitu lentur, dan dia mulai melompat-
lompat kesenangan. Gadis itu berputar-putar makin lama makin cepat,
dan kambing itu mulai menggerakkan kakinya yang keemasan pula.
Quasimodo merasa begitu senang hingga dia tertawa nyaring. Dia
tidak mendengar suaranya sendiri, tapi suara tawanya yang aneh, yang
serupa dengan bunyi binatang kasar, bergema nyaring dalam gereja
yang kosong.
Gadis itu berhenti, tapi dia tidak merasa takut. Dia sudah kenal
benar suara Quasimodo sekarang, hingga tidak lagi ngeri. Dia
menoleh sambil tersenyum, dan melihat di mana Quasimodo berdiri.
Lalu dia berlari mendatanginya, diulurkannya tangannya akan
menunjukkan bahwa dia senang melihatnya, dan kemudian memegang
tangannya. Djali mengejarnya dan berbaring dekat kakinya.
"Mari!" kata Esmeralda, dan ditariknya Quasimodo ke tengah-
tengah gereja.
"Akan kutarikan suatu tarian khusus untuk penjaga loncengku
yang baik!"
Wajah Quasimodo penuh kebahagiaan waktu Esmeralda mulai
menari dan menyanyi lagi.
Tiba-tiba terdengar bunyi yang kuat dan nyaring di luar pintu-
pintu gereja yang besar. Mula-mula Esmeralda tidak mendengar bunyi
itu karena asyiknya menyanyi dan menari, tapi sebentar kemudian dia
mendengarnya. Dia berhenti tiba-tiba lalu memandang Quasimodo
dengan ketakutan. Quasimodo tak mengerti mengapa dia berhenti,
karena dia tidak mendengar keributan di luar meskipun bunyi itu
makin lama makin nyaring. Kedengarannya seperti orang banyak
sedang mencoba merusak pintu-pintu.
"Mengapa tak kauteruskan tarianmu yang indah itu?" tanyanya.
"Apakah aku menyebabkan kau takut lagi? Ada apa?"
Esmeralda menunjuk ke pintu-pintu, dan membuat isyarat-
isyarat yang mengatakan apa yang didengarnya.
"Mari ikut aku!" teriaknya, segera setelah dia mengerti.
"Aku tak tahu siapa itu, tapi aku akan menyelamatkanmu.
Jangan takut!". Dipegangnya tangan Esmeralda lalu dibawanya lari ke
arah menara dan menaiki tangga ke kamarnya. Kambingnya menyusul
tak jauh dari mereka. "Tetaplah tinggal di situ sampai aku kembali
padamu," teriaknya, lalu dia berlari ke atap dan melihat ke alun-alun
di bawahnya.
Alun-alun itu penuh manusia membawa obor, dan ada pula
yang berada di tangga Notre-Dame. Mereka sedang mencoba
memecahkan pintu dengan sebatang kayu besar dan panjang, suatu
pohon yang besar. Mereka berlari ke pintu-pintu itu berulang kali.
Pintu-pintu itu kuat sekali, dan dilapisi logam, tapi tentu tidak akan
kuat menahan orang-orang dengan pohon-pohon itu. Orang-orang itu
berulang-kali berlari menaiki tangga dan menghantam pintu-pintu itu
dengan pohon.
"Mereka itu bukan prajurit-prajurit," kata Quasimodo sendiri,
waktu diperhatikannya orang-orang itu.
"Siapakah mereka itu? Kelihatannya mereka sangat miskin dan
kasar-kasar. Aku harus menyembunyikan kekasihku terhadap
mereka!"
Dia berlari kembali pada Esmeralda.
"Aku tak tahu siapa mereka atau apa yang mereka ingini,
katanya pada Esmeralda. Esmeralda sedang duduk di tempat tidur
sambil mendekap kambingnya yang ketakutan.
"Tapi aku akan menjaga keselamatanmu, biar pun aku harus
mati!"
Dari sakunya dikeluarkannya sebuah kunci.
"Hanya ada sebuah kunci lain untuk pintu kamarmu," katanya,
"dan itu disimpan majikanku. Aku harus mengurungmu di sini dan
membawa kunci ini. Segera setelah aku yakin bahwa tak ada seorang
pun dalam gereja ini yang akan mengancam keselamatanmu, aku akan
kembali dan membuka pintu ini. Kau akan aman sampai aku kembali."
Wajahnya penuh rasa kuatir waktu dia berkata-kata itu, namun dia
mencoba tersenyum pada Esmeralda sebelum dia meninggalkannya.
Esmeralda mendengar kunci diputar di pintu, dan dia mendekap Djali
makin erat.
"Apa yang akan terjadi atas diri kita sekarang? Apa yang akan
terjadi?" bisiknya, dan dia memejamkan matanya.
***
Siang hari, orang bekerja memperbaiki atap Notre-Dame.
Mereka pulang senja hari, tapi alat-alat kerja mereka ditinggalkan di
menara. Quasimodo berlari di sepanjang atap ke tempat alat-alat
disimpan. Ditemukannya setumpuk batu-batu besar, banyak kepingan
logam panjang logam itu adalah timah hitam yang berat. Ada pula
sebuah tungku besi tempat pekerja-pekerja itu membuat api. Mereka
memanaskan timah-timah hitam di api itu lalu menuangkan logam cair
itu ke lubang-lubang di atap.
"Inilah yang kuperlukan!" teriak Quasimodo, dan dia tertawa
sambil mengangkat batu yang ada di dekatnya. Batu itu berat sekali,
hingga dengan susah-payah sekali dia bisa mengangkatnya tinggi,
padahal kekuatannya sama dengan kekuatan tiga orang.
Diangkatnya batu itu di atas kepalanya, dia pergi ke tepi atap
lalu dijatuhkannya batu itu ke orang-orang banyak di bawah. Dia tidak
menunggu lagi untuk melihat apa yang terjadi di bawah sebagai akibat
perbuatannya itu, melainkan ia lari kembali untuk mengambil sebuah
batu besar lagi dan melemparkannya lagi. Sesudah itu barulah dia
berhenti untuk melihat apakah dia berhasil.
Orang-orang banyak kini berada agak jauh, tangga gereja
kosong; yang tinggal hanya beberapa tubuh manusia yang terbaring
seperti orang mati. Pohon pendorong tadi terletak di tanah, tapi dua
puluh orang keluar lagi dari kumpulan orang banyak, mengangkat
pohon itu dan membawanya lari kembali ke tangga.
"Sekarang akan kupanasi mereka!" teriak Quasimodo. Dia pergi
ke tungku lalu menghidupkan api para pekerja.
Beberapa saat kemudian, asap naik ke udara. Api di tungku
mulai menyala besar dan si bongkok membesarkannya dengan
potongan-potongan kayu besar. Kemudian digantungkannya sebuah
periuk besar penuh timah hitam di atas api itu.
Di alun-alun di bawah, seseorang yang sedang memegang
sebuah pedang panjang menunjuk ke atap dan berteriak,
"Lihat! Kebakaran! Atap itu terbakar!"
"Ayo, orang-orang!" teriak Raja kaum pengemis.
"Api telah datang dari langit untuk membantu kita! Dewa ingin
menghancurkan gereja! Ayo!"
Orang-orang yang memegang pohon, berlari maju ke tangga,
terus ke pintu. Kayu-kayu mulai berderak, tapi besinya hanya cacad
sedikit.
"Lagi!" teriak orang-orang itu, "kita hantam lagi!" dan mereka
pun berlari-lari lagi ke tangga, bersiap-siap akan membentur pintu
lagi.
Tiba-tiba sebuah batu besar jatuh di tengah-tengah pohon itu,
hingga pohon itu terlepas dari tangan mereka, sedang seorang kena
dan dia tewas seketika. Tiga orang lainnya tertindih pohon itu, dan
kakinya patah. Terdengar pekik yang dahsyat.
Satu lagi batu besar jatuh ke tengah-tengah orang banyak, dan
orang-orang yang sempat menyingkir, lari.
"Jangan takut, sahabat-sahabatku!" teriak sang Raja.
"Jangan mau dikalahkan oleh beberapa batu saja! Ayo, maju
lagi!" Anak buahnya mengikutinya menaiki tangga sambil berteriak,
lalu menghantamkan pohon itu berulang-ulang lagi ke pintu.
"Retak pintunya makin besar!" seru orang-orang yang
memegang bagian depan pohon itu.
"Lagi! Lagi!" dan mereka maju terus di antara batu-batu yang
jatuh bergantian dari atas.
Kalau seseorang kena, yang lain menggantikannya memegang
pohon itu, sedang orang yang lain menyingkirkan orang yang kena
tadi.
Alun-alun penuh dengan pengemis dan pencuri.
"Sudah mulai terbuka! Sudah mulai terbuka!" teriak seorang
laki-laki kecil yang berdiri dekat pintu.
"Tiga kali lagi, dan kita sudah bisa masuk!"
"Satu!"
Lubang pada kayu pintu sebelah kiri sudah hampir cukup besar
untuk dimasuki seorang anak kecil.
"Dua!" Besi yang melintang pada lubang itu patah dengan
bunyi yang nyaring, dan orang banyak bersorak.
Tak ada lagi batu yang jatuh, dan orang-orang yang membawa
pohon berlari dan menghantam pintu dengan sekuat tenaga mereka.
"Ingat emas, sahabat-sahabatku!" teriak sang Raja.
"Emas itu akan menjadi milik kita!"
"Tiga!"
Orang-orang itu berlari menaiki tangga dengan pohon itu dan
menghantam pintu dengan dorongan hebat yang terakhir. Lubangnya
sudah cukup besar untuk dimasuki seorang dewasa. Tapi sebelum ada
orang yang sempat masuk, terdengar pekik mengerikan dari orang-
orang yang berada terdekat dengan pintu.
Timah panas tercurah ke kepala mereka. Timah cair itu keluar
melalui gargoyle batu yang dibuat untuk menyalurkan air hujan dari
atap. Orang-orang itu jatuh, sambil berteriak kesakitan, dan yang tak
sempat lolos, mati dalam arus logam yang mendidih. Orang-orang lari
menuruni tangga, sedang timah cair makin lama makin banyak
tercurah dari gargoyle itu.
Orang banyak dapat melihat si bongkok. Suatu sosok hitam
yang bergerak di depan api di atas menara. Mereka mengutuknya, tapi
dia tak bisa mendengarnya.
"Masih ada cukup timah cair untuk mencegah mereka masuk
selama beberapa menit," katanya.
"Sekarang aku akan lari memanggil prajurit-prajurit!"
Dia menuruni atap dan berlari terus di sepanjang lorong ke
tempat tali lonceng yang besar. Dengan suatu lompatan dia
menjangkau tali itu lalu menariknya sekuat-kuatnya. Lonceng itu
berdentang, dan bunyinya memecahkan kesunyian malam. Quasimodo
tertawa nyaring.
"Bunyi itu akan memanggil prajurit-prajurit dan mereka akan
datang!" serunya. Lalu dilepaskannya tali itu.
"Sekarang aku akan menyiapkan timah panas lagi!" teriaknya
seperti orang gila sambil lari kembali ke tungku di atas atap.
Dalam perjalanannya ke atas atap itu, dia tiba-tiba berhenti.
"Apa itu?" serunya ketakutan. Digelengkannya kepalanya, seolah-olah
tak mempercayai telinganya. Yang didengar adalah bunyi peluit yang
tajam, dan bunyi itu melengking seperti pedang yang ditusukkan ke
kepalanya.
Sambil berteriak ketakutan dia bergegas lari ke kamar di mana
Esmeralda ditinggalkannya. Esmeralda memerlukan bantuannya!
Bunyi peluit itu terdengar lagi dari pintu kamar itu.
Quasimodo tidak membuang-buang waktu. Didorongkannya
tubuhnya ke pintu itu, dan pintu itu rusak seketika.
Dia berlari masuk. Imam Frollo sedang berdiri dekat tempat
tidur. Dia menoleh ketika si bongkok masuk. Esmeralda yang
mukanya seputih salju, terbaring sambil mendekap Djali.
Peluit terjatuh dari bibir Esmeralda waktu Quasimodo masuk.
Matanya membelalak ketakutan, sedang mata imam itu tampak liar
terbakar nafsu.
Quasimodo tidak mengacuhkan Frollo. Imam itu didorongnya
ke samping, dia berlutut di tempat tidur, lalu menggendong gadis yang
ketakutan itu.
"Kau selamat sekarang!" katanya, "kau selamat bersamaku!"
Esmeralda memejamkan matanya dan berteriak kecil
kegirangan.
"Apakah dia mengganggumu?" tanya Quasimodo.
"Disentuhnyakah kau?"
"Tidak, tidak!" bisik Esmeralda. "Aku segera memanggilmu
begitu dia masuk. Aku tak apa-apa."
Quasimodo tak bisa mendengar apa yang dikatakannya, tapi dia
bisa membaca air muka yang pucat itu, seperti membaca buku saja.
Kini Quasimodo baru mengangkat mukanya memandang imam, yang
berdiri saja di situ seperti patung.
Tiba-tiba Frollo berlari cepat melewati si bongkok dengan
berteriak aneh, lalu berlari terus di sepanjang lorong ke atap.
Perlahan-lahan Quasimodo berdiri.
"Aku akan kembali," katanya. "Percayalah." Dia pergi
menyusul Frollo. Gerak-geriknya penuh keyakinan dan kekuatan yang
dahsyat.











Chapter 18
Yang Hilang dan Yang Ditemukan



SETELAH timah panas itu berhenti mengalir dari mulut
gargoyle ke tangga Notre-Dame, pencuri-pencuri yang ketakutan tadi
mendapatkan keberaniannya kembali.
"Nah, saudara-saudara, sekarang tak ada lagi penghalang antara
kita dan emas kita!" teriak Raja gipsY
"Ikut aku!"
Diayunkannya pedangnya di atas kepalanya dan dia memimpin
anak buahnya menuju tangga, melalui lorong kecil yang tak dialiri
logam cair itu.
"Maju terus, ke tempat emas!" teriak orang banyak, dan mereka
menyusul pemimpin mereka ke dalam Notre-Dame.
Di antara orang-orang yang terdepan terdapat Gringoire.
Pada saat itu terdengar teriakan dari belakang orang banyak itu.
"Serdadu datang! Serdadu!"
Sebagaimana yang diharapkan oleh Quasimodo, lonceng telah
memanggil mereka dan kini para prajurit pengawal memasuki alun-
alun.
Prajurit-prajurit itu mengayunkan pedang mereka ke kiri dan ke
kanan, dan banyak pencuri yang terinjak-injak kuda. Darah mulai
mengalir. Pekik ketakutan dan kemarahan memenuhi alun-alun.
Di dalam gereja, Raja berteriak,
"Mari kita ambil apa yang bisa diambil!" dan dia berlari ke
tempat piring-piring dan cangkir dari emas yang bersinar kena cahaya
obor para pencuri itu. Emas itu menyebabkannya melupakan niatnya
untuk membawa lari penari gipsy dari gereja itu.
"Semuanya kepunyaan kita, semua emas ini emas kita!" seru
orang-orang itu, dan mereka mengambil semuanya yang bisa mereka
bawa.
"Cepat ambil semua!"
"Aku tak suka begini," gumam Gringoire sendiri.
"Kalau aku tetap di sini, aku akan dianggap pencuri pula.
Saatnya belum tepat untuk mencari istriku. Aku akan keluar lewat
jalan lain saja!" Dia berlari ke ujung gereja, di sebelah lain dari alun-
alun.
"Seingatku, di sebelah ini ada sebuah pintu kecil," katanya dan
dia bergegas ke tempat itu. "Benar ini dia!"
Pintu itu tertutup rapat dengan palang besi. Gringoire menarik
palang besi itu dengan sekuat tenaganya. Dia berhasil.
Di langit sudah kelihatan tanda-tanda fajar, waktu dia berlari
keluar dari Notre-Dame dan langsung ke jalan.
***
Setelah Quasimodo meninggalkan Esmeralda di tempat tidur,
dia tetap berbaring di situ beberapa lamanya sambil tetap mendekap
Djali untuk menenangkan hatinya. Didengarkannya keributan-
keributan aneh yang memenuhi gereja, dan dia bertanya-tanya
keributan apakah itu gerangan. Akhirnya dia bangkit, pergi ke pintu
kamarnya dan melihat ke bawah tangga. Dilihatnya banyak bayangan
bergerak bayangan itu disebabkan oleh obor yang dibawa pencuri-
pencuri.
"Sebaiknya kita kembali ke kamar kita, Djali," katanya. Tapi
pada saat itu, terdengar suatu pekik yang mengerikan dari sebuah
jendela yang menjorok ke atap, dekat kepalanya.
"Apa itu?" serunya, "siapa itu?"
Pekik itu terdengar terus beberapa lamanya, kemudian hilang.
Tapi kambing itu tidak menunggu sampai suara itu hilang. Binatang
yang ketakutan itu lari dari Esmeralda, dan lari terus menuruni tangga.
"Djali!" teriak gadis gipsy itu. "Djali, kemari, kemari!" Gadis
itu tidak mengingat bahaya yang mengancam dirinya sendiri, barang
sesaat pun, disusulnya kambingnya menuruni tangga.
Tangga itu berakhir di dekat pintu kecil yang dilalui Gringoire
waktu keluar tadi. Pintu itu dibiarkannya terbuka tadi. Esmeralda tiba
di kaki tangga, dan sempat melihat Djali keluar dari pintu itu. Dia
menyusulnya.
"Djali!" panggilnya, "Djali!"
Pencuri-pencuri di dalam gereja itu semuanya terlalu sibuk,
hingga mereka tak melihat gadis itu melewati gereja tadi dan terus
keluar. Tak seorang pun melihatnya.
Ketika dia berlari di jalan itu, didengarnya lagi suara teriakan
yang mengerikan tadi dari atas, tapi dia tidak berhenti untuk
melihatnya.
Teriakan itu keluar dari bibir Frollo, bibir yang putih ketakutan.
Waktu dia meninggalkan kamar gadis gipsy itu, dia merasa seolah-
olah dia terbakar. Dia ingin mencari udara, udara sejuk di malam buta
itu. Dilihatnya sebuah pintu yang terbuka dan langit di luarnya dan dia
berlari ke atap. Di sana dia berbaring dengan nafas yang tersengal-
sengal.
Kemudian didengarnya si bongkok menyusulnya. Dia bangkit,
lalu berlari terus di sepanjang atap. Kakinya tersandung, lalu dia jatuh
ke arah luar atap. Dia sempat berpegang pada leher salah satu
gargoyle, dan bergantung saja di situ. Jalan berada jauh di bawahnya,
dan waktu dia melihat ke bawah, dia berteriak sehabis suaranya,
karena ngeri.
Kemudian dia menengadah. Di atasnya, berdirilah si bongkok.
Air mukanya polos sekali, tiada membayangkan perasaan apa-apa, dia
hanya menatap imam itu.
"Tolong aku!" teriak Frollo.
Quasimodo tidak bergerak.
"Demi Tuhan, tolonglah aku!" pekik Frollo lagi.
Dengan hanya mengulurkan tangannya dan menariknya saja, si
bongkok sebenarnya sudah bisa menyelamatkan imam itu. Namun
Quasimodo berdiri saja dengan kedua belah tangannya tergantung di
sisinya. Dia tidak berkata apa-apa, tidak pula berbuat apa-apa. Dia
hanya menunggu akan menyaksikan imam itu jatuh sampai mati.
Imam itu melihat ke jalan.yang berada jauh di bawahnya dan
dia mulai berteriak lagi. Kemudian diangkatnya lagi kepalanya, dan
digigitnya bibirnya yang gemetar sampai berdarah. Kekuatannya
makin berkurang. Dia tak bisa bertahan lama lagi.
Namun si bongkok tetap berdiri mengawasinya menderita.
Jari-jari yang mencengkam leher gargoyle itu mulai melemas.
***
Setelah Gringoire meninggalkan Notre-Dame dia berjalan cepat
sepanjang jalan yang sempit, tapi kemudian dia berhenti dan berpikir.
"Aku harus tetap menjauh dari para prajurit," katanya, "dan aku
harus tetap menjauh dari pencuri-pencuri yang membawa emas itu.
Kalau aku berjalan tenang-tenang seorang diri saja, aku akan selamat."
Dia baru saja akan mulai berjalan lagi, waktu dilihatnya seekor
binatang putih berlari di jalan itu ke arahnya.
"Itu si Djali!" serunya waktu dilihatnya tanduk keemasan
kambing itu.
"Djali, mari, kemari!" Tapi kambing yang ketakutan itu berlari
terus melewatinya.
Gringoire berbalik akan mengejar kambing itu, tapi kemudian
dilihatnya Esmeralda berlari melewatinya pula dengan rambutnya
yang hitam terurai-urai.
"Berhenti!" teriaknya, "berhenti! berhenti!" dan dia berlari
bersisian dengan Esmeralda.
Esmeralda tak menoleh untuk melihat siapa dia. Seluruh
pikirannya tertuju pada Djali. Dia tak tahu lagi ke mana dia berlari dan
demikian pula Gringoire. Mereka berdua hanya mengikuti kambing
itu saja, di sepanjang jalan kecil itu. "Esmeralda!" panggilnya,
"istriku!" Esmeralda tetap seperti tak mendengarnya. "Esmeralda!
Esmeralda!"
Mereka membelok dan di sana ada sekumpulan orang banyak.
Dua di antara orang-orang itu sedang memegang Djali. Yang lain
sedang menyerang sebuah bangunan kecil dengan segala macam alat
yang berat dan tajam. Sebagian dari bangunan itu sudah runtuh.
"Itu Esmeralda!" teriak laki-laki yang telah menangkap Djali,
"itu penari cantik kita!"
Mereka itu rupanya pencuri-pencuri, demikian pula yang lain
yang sedang merusak. Esmeralda pernah tinggal dengan mereka.
"Esmeralda!" teriak mereka.
Barulah gadis gipsy itu melihat di mana dia berada. Dia sedang
berdiri di samping Lubang Tikus, dan pencuri-pencuri itu sedang
menghancurkannya. Yang tinggal dari bangunan itu hanyalah
setengah dari dindingnya saja lagi, dari dalamnya Suster Gudule
berteriak,
"Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku!"
"Apa salahnya?" tanya Esmeralda. "Mengapa kalian
menghancurkan rumahnya?"
"Dia suka mengutuk kita. Kami ingin memberi pelajaran
padanya."
"Benar!" teriak seorang laki-laki kecil yang membawa obor,
"kita akan segera memberi pelajaran padanya!" Suaranya, suara orang
yang telah minum anggur terlalu banyak.
"Kasihan wanita tua itu, biar aku masuk menemuinya!" kata
gadis si gipsy lalu menyelinap di tengah-tengah orang-orang itu.
Suster Gudule terbaring di lantai, seperti binatang yang sudah
kalah. Dia menggenggam sesuatu erat-erat dan dia berteriak berulang
kali, "Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku!"
Esmeralda berlutut di sampingnya.
"Mereka tidak akan mengganggu Anda," katanya. "Saya tidak
akan membiarkan mereka mengganggu Anda. Jangan takut!"
Dirangkulnya pundak wanita tua itu. Barulah Suster Gudule
menyadari kehadiran gadis itu di sampingnya. Dia mendongak
memandang Esmeralda dalam keremangan fajar dan obor pencuri-
pencuri yang mulai memudar itu.
"Siapa kau?" tanyanya. "Aku kenal kau! Rupamu seperti gipsy!
Kau...."
Tiba-tiba dia terhenti. Sesuatu terjatuh dari tangannya, dan dia
menjatuhkan dirinya ke lantai untuk mencarinya.
"Nah ini dia! Untung tak hilang!" serunya, lalu dipungutnya
sebelah sepatu bayi.
"Coba saya lihat sepatu itu!" seru Esmeralda. "Saya harus
melihatnya."
Setelah dilihatnya, gadis itu lalu membuka kantong hijau yang
berkaca hijau, yang selalu digantungkannya di lehernya. Dari kantong
itu dikeluarkannya sebelah sepatu bayi pula, yang sama benar dengan
kepunyaan Suster Gudule. Pada sepatu itu tertulis dengan tinta yang
sudah mengabur, kata-kata berikut,

"Bila kaujumpai pasangan sepatu ini, akan kaujumpai pula
ibumu."

Wanita tua itu dengan cepat menyamakan kedua sepatu tersebut
dan mengamat-amatinya, kemudian dibacanya tulisan pada kertas itu,
dan dipandangnya Esmeralda.
"Anakku!" teriaknya, "anakku!"
Esmeralda merangkul ibunya, dan menciumnya berulang kali,
sedang wanita tua itu berbisik, "Anakku! Aku telah menemukan
anakku!"
"Cepat lari!" teriak pencuri yang tadi menangkap Djali.
"Cepat lari, sebelum serdadu-sedadu itu datang." Dibantunya
Esmeralda berdiri.
"Kami akan melindungimu lagi," katanya. "Ya, kami akan
menjagamu," kata yang lain.
"Aku tak bisa meninggalkan ibuku," kata Esmeralda.
"Kami akan melindungi dia juga," katanya. "Kalian berdua akan
aman dengan kami, tapi cepatlah ikut kami!"
***
Setelah Frollo jatuh sampai mati di jalan di bawah menara itu,
Quasimodo perlahan-lahan kembali ke kamar Esmeralda. Waktu
dilihatnya bahwa kamar itu kosong, dia berbaring di tempat tidur lalu
menangis seperti anak kecil. Akhirnya dia bangkit lalu pergi ke
jendela.
Matahari telah terbit dan kota telah bangun. Dia melihat terus
ke bawah, seolah-olah mencari gipsy cantik itu, yang tersembunyi di
kota di bawahnya. Kemudian matanya tertuju ke arah Lubang Tikus
yang sudah rusak dan kosong. Tapi reruntuhan yang sudah
ditinggalkan itu terlalu jauh, hingga dia tak dapat melihatnya. Berjam-
jam dia berdiri di situ, seperti salah satu gargoyle yang selalu melihat
ke bawah, siang malam, dari menara-menara Notre-Dame.
Setelah matahari di musim salju itu mulai memudar, barulah dia
masuk perlahan-lahan. Sebentar kemudian salah sebuah lonceng
Notre-Dame mulai berbunyi dengan nada-nada sedih yang aneh, yang
terus berlangsung sampai jauh malam.
END
Ebukulawas.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai