Anda di halaman 1dari 22

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dispepsia
2.1.1 Definisi Dispepsia
Dispepsia merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani,
duis- (buruk atau sukar) dan -pepse (pencernaan), yang sering diartikan
oleh pasien sebagai pencernaan yang buruk (Ranjan, 2012). Ada beberapa
definisi dispepsia yang sering digunakan. Menurut Djojoningrat (2009),
dispepsia merupakan istilah yang umum dipakai untuk suatu sindroma
atau kumpulan gejala atau keluhan berupa nyeri atau rasa tidak nyaman
pada ulu hati, mual, kembung, dan perut merasa penuh atau begah.
Keluhan tersebut dapat secara bergantian dirasakan pasien atau bervariasi
baik dari segi jenis keluhan atau pun kualitasnya.
Dispepsia merupakan gejala yang terjadi di perut bagian atas yang
muncul setelah makan, yang terjadi karena peningkatan abnormalitas
traktus gastrointestinal bagian atas dan merupakan suatu gejala dan bukan
diagnosis (Desai, 2012).
Definisi terbaru yang diungkapkan pada konsensus komite Roma
III yaitu dispepsia sebagai hadirnya gejala-gejala yang berasal dari daerah
gastroduodenal. Empat gejala yang spesifik yaitu rasa penuh di perut,
cepat kenyang, nyeri epigastrium, dan rasa terbakar di daerah epigastrium.
Komite Roma juga menetapkan gejala dengan rasa terbakar di dada
sebagai gejala yang predominan merupakan penyakit refluks
gastroesofageal dan bukanlah dispepsia (Fong dan Dunn, 2013).

7


Gambar 1. Sistem Pencernaan Manusia (Sullivan, 2004)

2.1.2 Epidemiologi Dispepsia
Dalam praktek sehari-hari, keluhan dispepsia sering dijumpai
(Tack, Bisschops, dan Sarnelli, 2004).

Sekitar 25% dari populasi
mengalami dispepsia 6 kali dalam setahun, namun hanya 10-20% yang
memeriksakan dirinya ke dokter (Longo et al., 2012). Sebuah studi
berdasarkan populasi di seluruh dunia menyebutkan bahwa prevalensi
dispepsia berkisar 7% hingga 60% (Ranjan, 2012).
Jumlah penderita dispepsia menurut Santonicolla (2012) adalah
sekitar 20-25% di negara-negara barat dengan onset lebih banyak diderita
oleh wanita. Penelitian di Afrika menyebutkan 62,2% dispepsia diderita
oleh wanita dan 37,8% diderita oleh pria (Nwokediuko, Ijoma, dan
Obienu, 2012). Di negara barat, dispepsia organik sering ditemukan pada
usia yang tidak muda. Risiko mengalami penyakit struktural yang terkait
dengan gejala dispepsia meningkat seiring pertambahan usia. Prevalensi
penyakit keganasan seperti adenokarsinoma di lambung dan esofagus
distal pada saluran cerna sering ditemukan pada usia di atas 55 tahun yaitu
8

1%-2%, tapi pada orang dengan usia di bawah 55 tahun jarang ditemukan
(Talley dan Holtmann, 2008). Dalam sebuah penelitian di Asia, dispepsia
fungsional sering ditemukan pada grup usia yang muda. Sebuah studi di
Jepang melaporkan prevalensi dispepsia fungsional sebanyak 13% di
bawah usia 50 tahun dan 8% di atas 50 tahun. Sedangkan penelitian di
Mumbai, India, didapatkan prevalensi lebih banyak pada dewasa > 40
tahun (Kumar, Patel, dan Sawant, 2012).

2.1.3 Etiologi Dispepsia
Penyebab dispepsia bervariasi, menurut Tepes (2011), penyebab
dispepsia dapat berupa penyebab struktural atau biokimia yaitu sebagai
berikut.
1. Penyakit refluks gastroesofageal (GERD)
2. Penyakit ulkus peptikum
3. Kanker lambung atau esofagus
4. Penyakit kandung empedu
5. Obat-obatan (termasuk suplemen potassium, digitalis, besi, teofilin,
antibiotik oral terutama amfisilin dan eritromisin, OAINS,
kortikosteroid, niasin, gemfibrozil, narkotika, kolkisin, quinidin,
estrogen, dan levodopa)
6. Gastroparesis
7. Pankreatitis
8. Malabsorbsi karbohidrat
9. Penyakit infiltratif pada lambung (seperti penyakit Crohn, sarkoidosis)
10. Gangguan metabolik (hiperkalsemia, hiperkalemia)
11. Hepatoma
12. Penyakit usus iskemik
13. Penyakit sistemik (diabetes melitus, penyakit tiroid dan paratiroid)
14. Parasit usus (Giardia, Strongyloides)
15. Kanker abdomen, terutama kanker pankreas.

9

2.1.4 Klasifikasi Dispepsia
Menurut Desai (2012) dispepsia dapat diklasifikasikan menjadi
dispepsia organik, dispepsia fungsional, dispepsia karena obat-obatan, dan
dispepsia yang berhubungan dengan penyakit sistemik ekstraintestinal.
Menurut Kriteria Roma III, dispepsia dapat diklasifikasikan menjadi
dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia karena obat-obatan
dan karena penyakit sistemik termasuk ke dalam dispepsia organik (Tepes,
2011).

Gambar 2. Subgrup dispepsia berdasarkan kriteria Roma (Tepes, 2011)

2.1.4.1 Dispepsia Organik
Dispepsia organik merupakan tipe dispepsia yang penyebab atau
kelainan anatomi dan patofisiologinya dapat diketahui jelas setelah
dilakukan pemeriksaan (Ranjan, 2012). Walaupun etiologi dispepsia
bervariasi, penyebab organik dispepsia hanya ditemukan 40% dari pasien
dispepsia. Penyebab organik dispepsia terdiri dari penyakit ulkus peptikum
(15-25%), refluks esofagitis (5-12%), dan kanker lambung atau esofagus
(<2%). Sisanya disebabkan oleh gangguan pada traktus biliari,
gastroparesis, pankreatitis, malabsorpsi karbohidrat (laktosa, sorbitol,
fruktosa, dan manitol), obat-obatan, penyakit infiltratif pada lambung
Dispepsia belum
terinvestigasi
Dispepsia
Organik
Dispepsia
Fungsional
Epigastric pain
syndrome (EPS)
Postprandial
distress
syndrome
(PDS)
GERD
Ulkus
Peptikum
Obat-obatan
Keganasan
Lainnya
10

(penyakit Crohn, sarkoidosis), gangguan metabolik (hiperkalsemia,
hiperkalemia), hepatoma, penyakit sistemik (diabetes melitus, tiroid dan
paratiroid), parasit usus (Giardia), dan kanker abdomen. Pasien dispepsia
fungsional dapat menjadi dispepsia organik jika terjadi dalam waktu yang
lama. Sekitar 20% pasien dispepsia fungsional mempunyai penyebab
organik dispepsia (Demir, 2012).
Menurut Fong dan Dunn (2013), penyebab dispepsia organik dapat
dikategorikan berdasarkan penyebabnya yaitu berasal dari saluran cerna,
karena obat-obatan, penyakit pankreas-kandung empedu, dan dispepsia
karena perubahan atau kondisi sistemik.
1. Dispepsia Organik karena Penyakit pada Saluran Cerna
Beberapa penyebab dispepsia dari saluran cerna ini seperti
volvulus lambung kronik, iskemia gaster atau usus kronik, intoleransi
makanan, neoplasma gaster atau esofagus, infeksi pada lambung,
gastroparesis, penyakit infiltratif atau inflamasi seperti penyakit Crohn
dan sarkoidosis, sindrom iritasi usus besar (irritable bowel syndrome
atau IBS), penyakit ulkus peptikum, dan parasit seperti Giardia dan
Strongyloides.
a. Gastritis
Gastritis dapat didefinisikan sebagai kondisi terjadinya
inflamasi yang terjadi pada lapisan mukosa dan submukosa
lambung. Ketika lapisan lambung mengalami inflamasi, maka
produksi asam, enzim, dan mukus akan menurun (Lee et al., 2008).
Gastritis merupakan gangguan kesehatan yang paling sering
dijumpai di klinik, karena diagnosisnya sering hanya berdasarkan
gejala klinis bukan pemeriksaan histopatologi (Hirlan, 2009).
Beberapa penyebab gastritis diantaranya adalah infeksi
kuman Helicobacter pylori dan infeksi virus. Virus yang dapat
menginfeksi mukosa lambung misalnya Enteric rotavirus dan
Calicivirus. Keluhan yang sering dihubungkan dengan gastritis
11

yaitu nyeri panas dan pedih di ulu hati disertai mual kadang-
kadang sampai muntah.
b. Ulkus peptikum
Secara anatomis ulkus peptikum dapat didefinisikan
sebagai suatu defek pada mukosa atau submukosa yang berbatas
tegas dapat menembus muskularis mukosa sampai lapisan serosa
sehingga dapat terjadi perforasi. Sedangkan secara klinis ulkus
peptikum adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan lebih
dalam dengan diameter >5 mm yang dapat diamati secara
endoskopis atau radiologis (Akil, 2009).
Ulkus peptikum ditemukan sekitar 5% pada pelayanan
primer untuk kasus dispepsia. Ulkus duodenum kronik biasanya
disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori, ulkus peptikum
kronik juga dapat merupakan akibat infeksi Helicobacter pylori.
Sisanya biasanya disebabkan oleh obat anti inflamasi non steroid
atau biasa dikenal OAINS (Sander, 2011).
Secara umum, pasien tukak gaster biasanya mengeluh
dispepsia. Pasien dengan tukak peptik biasanya mempunyai ciri-
ciri keluhan berupa nyeri ulu hati, rasa tidak nyaman disertai
muntah. Rasa sakit pada tukak peptik timbul setelah makan dan
biasanya rasa sakit dirasakan di sebelah kiri garis tengah perut.
Muntah kadang timbul pada tukak peptik disebabkan edema dan
spasme seperti pada tukak kanal pilorik (obstruksi gastric outlet)
(Tarigan, 2009).
c. Ulkus Duodenum
Dalam beberapa penelitian yang disebutkan Akil (2009)
bahwa tukak duodenum mempunyai beberapa penyebab
diantaranya adalah infeksi Helicobacter pylori, obat anti-inflamasi
non-steroid (OAINS), beberapa faktor lingkungan dan penyakit
lain seperti merokok, faktor stress, malnutrisi, makanan tinggi
garam, dan beberapa penyakit tertentu di mana prevalensi tukak
12

duodenum meningkat seperti pada sindrom Zollinger Elison,
mastositosis sistemik, penyakit Crohn, dan hiperparatiroidisme.
Faktor genetik juga diduga berperan menyebabkan penyakit ini.
Nyeri epigastrium merupakan gejala yang paling dominan
ditemukan pada penyakit ini. Namun sensitivitas dan spesifitasnya
sebagai marker adanya ulserasi mukosa masih rendah. Nyeri
seperti rasa terbakar, nyeri rasa lapar, rasa sakit atau tidak nyaman
yang menganggu dan tidak terlokalisasi yang timbul setelah
makan, serta nyeri yang dapat berkurang sementara sesudah
makan, minum susu atau minum antasida juga didapatkan saat
anamnesis penderita tukak duodenum.

2. Dispepsia Organik karena Obat-obatan
Beberapa obat dapat juga menyebabkan keluhan dispepsia
dapat dilihat pada tabel 1. Pada umumnya obat yang paling banyak
menyebabkan dispepsia adalah OAINS (Obat Anti Inflamasi Non
Steroid) yang dapat merusak mukosa sehingga menyebabkan gastritis.

Tabel 1. Obat-obatan yang dapat menyebabkan dispepsia
Obat-obatan penyebab dispepsia
Obat anti inflamasi non steroid
(OAINS)
Inhibitor Cox-2
Bifosfonat
Antibiotik (Eritromisin, Tetrasiklin,
metronidazol )
Aspirin
Besi
Suplemen potassium
Digitalis
Teofilin
Orlistat
Kortikosteroid
Potasium klorida
Obat herbal (bawang putih dan
ginkgo biloba)
Alkohol
Acarbose
(Sumber: Harmon dan Peura, 2010; Goh, 2007; Demir, 2012)

13

Dalam sebuah penelitian di Inggris, penggunaan OAINS
merupakan faktor risiko independen terhadap ulkus duodenum dan
merupakan penyebab 4% dispepsia dalam masyarakat. Pada penelitian
yang dilakukan pada orang Amerika juga didapatkan bahwa
penggunaan OAINS dan Aspirin secara reguler berhubungan dengan
ulkus duodenum (Kumar, Patel, dan Sawant, 2012).

3. Dispepsia Organik karena Gangguan pada Hati, Pankreas, dan
Kandung Empedu (hepatopancreaticobiliary)
Gangguan pada pankreas dan kandung empedu merupakan
faktor-faktor yang juga dapat menyebabkan dispepsia.
a. Ganguan pada hati
Menurut Grassi et al. (2001), dispepsia merupakan keluhan
yang paling banyak muncul pada gangguan hati yaitu sirosis
hepatis. Hal ini dikarenakan penyebab organik.
b. Gangguan pada kandung empedu
Gangguan yang berasal dari kandung empedu bermacam-
macam, diantaranya kolelitiasis, koledokolitiasis, disfungsi sfingter
Oddi, pankreatitis kronik, neoplasma pankreas.
Pada pasien dengan dispepsia karena gangguan biliari
ditemukan nyeri pada hipokondrium kanan, menjalar hingga ke
bahu dan punggung, dicetuskan oleh makanan, beberapa terkait
dengan konstipasi, atau rasa tidak nyaman di daerah epigastrium
setelah makan. Gejala pada dispepsia karena gangguan biliari
menunjukkan sebagiannya dimiliki oleh gejala dispepsia (Koch
dan Capurso, 1996). Pada beberapa studi juga didapatkan bahwa
nyeri setelah kolesistotomi berhubungan dengan timbulnya gejala
dispepsia (Madacsy et al., 2006).
c. Gangguan pada pankreas
Enzim pankreas merupakan salah satu faktor gangguan
pankreas yang menyebabkan terjadinya dispepsia. Lipase pankreas
14

merupakan enzim pankreas yang paling sensitif dan berfungsi
untuk menghidrolisis molekul-molekul lemak. Enzim ini
merupakan enzim yang paling sering digunakan dalam
mengevaluasi gangguan pankreas. Apabila kekurangan enzim ini
maka pencernaan lemak akan terganggu. Lemak yang meningkat
pada tubuh akan menyebabkan meningkatnya pengosongan
lambung dan waktu transit dalam usus. Kurangnya aktifitas lipase
pankreas akan menyebabkan terganggunya absorpsi lemak dan
meningkatkan motilitas usus. Terganggunya fungsi pankreas akan
menyebabkan terganggunya pencernaan dan timbulnya dispepsia
(Demir, 2012).

4. Dispepsia Organik Karena Gangguan Sistemik
Dispepsia organik juga dapat terjadi karena adanya gangguan
sistemik seperti insufisiensi adrenal, gagal jantung kongestif, diabetes
melitus, hiperparatirodisme, keganasan intra-abdominal non-
gastrointestinal, infark miokard, kehamilan, insufisiensi renal, dan
penyakit tiroid.
a. Diabetes melitus
Penelitian menyebutkan bahwa penderita diabetes melitus
dapat mengalami gangguan pada gastrointestinal. Gejala
gastrointestinal atas umumnya terjadi pada pasien yang sudah lama
menderita diabetes melitus tipe 1. Gejala gastrointestinal secara
signifikan terkait dengan adanya komplikasi diabetes lainnya,
terutama neuropati otonom dan perifer. Pasien dengan setidaknya
satu komplikasi diabetes secara bermakna mengalami konstipasi
(29%), gastroesofageal refluks (19%), dispepsia (14%), sakit perut
yang sering (11%), dan inkontinensia fekal (9%). Kontrol glikemik
yang buruk merupakan faktor risiko independen untuk gejala
gastrointestinal atas (Frieling, 2012).

15

b. Kehamilan
Dispepsia pada kehamilan sangat umum terjadi. Kadar
hormon yang tinggi selama kehamilan dapat memperlambat
motilitas gastrointestinal. Pasien hamil biasanya enggan untuk
melakukan tes invasif, studi radiografi, dan prosedur endoskopi.
Tujuan dari diagnosis dini yang akurat dan pengobatan gastritis
dan penyakit ulkus pada kehamilan adalah untuk meringankan rasa
sakit dan mencegah morbiditas penyakit ulkus, dan mencegah
intervensi bedah selama kehamilan dan periode perinatal
(Winberry dan Blaho, 2001).

2.1.4.2 Dispepsia Fungsional atau Dispepsia Non Ulkus
Dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus merupakan tipe
dispepsia yang penyebabnya tidak dapat diketahui dengan jelas walaupun
telah dilakukan pemeriksaan (Ranjan, 2012). Dispepsia fungsional
merupakan 60% penyebab yang dialami oleh pasien dispepsia (Longo,
2012).
Dispepsia fungsional dibagi menjadi dua kelompok yaitu
postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome.
Postprandial distress syndrome mewakili kelompok dengan perasaan
begah setelah makan dan perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric
pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan
tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress
syndrome (Tack et al., 2006). Daerah epigastrium merupakan daerah yang
berada di antara umbilikus dan bagian bawah sternum, di antara linea
midiklavikula (Geeraerts dan Tack, 2008).
Dispepsia fungsional terjadi sedikitnya dalam 3 bulan dengan
gejala rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, atau nyeri atau rasa
terbakar di daerah epigastrium dengan onset gejala setidaknya 6 bulan
sebelum diagnosis tidak adanya penyebab organik.
16


Gambar 3. Subgrup dispepsia fungsional berdasarkan kriteria Roma III
(Geeraerts dan Tack, 2008)

Dispepsia fungsional mempunyai beberapa kriteria diagnostik.
Berikut ini adalah kriteria diagnostik Roma III untuk dispepsia fungsional
(Tack et al., 2006). Kriteria diagnostik dispepsia fungsional terpenuhi bila
dua poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
b. Perasaan cepat kenyang
c. Nyeri ulu hati
d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium
2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan
timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran
cerna bagian atas [SCBA]).
Kriteria tersebut terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi
sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul
sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.






Dispepsia Fungsional
Postprandial distress
syndrome (PDS) :
Cepat kenyang
Penuh setelah
makan
Epigastric pain
syndrome (EPS) :
Nyeri epigastrium
Rasa terbakar di
daerah epigastrium
17

a. Postprandial distress syndrome
Kriteria diagnostik postprandial distress syndrome terpenuhi
bila dua poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah
makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali
seminggu.
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu
menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali
seminggu.
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya
dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6
bulan sebelum diagnosis.
Adapun kriteria penunjang dari postprandial distress syndrome
adalah sebagai berikut.
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual
setelah makan atau bersendawa yang berlebihan.
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.

b. Epigastric pain syndrome
Kriteria diagnostik epigastric pain syndrome terpenuhi bila
lima poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium
dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi
sekali dalam seminggu
2. Nyeri timbul berulang
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain
daerah perut bagian atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan
kandung empedu dan sfi ngter Oddi
18

Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya
dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6
bulan sebelum diagnosis.
Adapun kriteria penunjang dari epigastric pain syndrome
adalah sebagai berikut.
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa
menjalar ke daerah retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan,
namun mungkin timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan

Menurut Djojoningrat (2009), berbagai hipotesis mekanisme telah
diajukan untuk menerangkan patogenesis terjadinya dispepsia fungsional.
Mekanisme patofisiologis yang dapat menyebabkan dispepsia diantaranya
adalah sebagai berikut (Matsuda et al., 2009; Djojoningrat, 2009; Tack,
Bisschops, dan Sarnelli, 2004).
1. Sekresi asam lambung
Pada penderita dispepsia fungsional, umumnya terjadi
peningkatan sekresi asam lambung baik sekresi basal atau karena
stimulasi pentagastrin yang rata-rata normal. Dispepsia yang berupa
rasa tidak enak diperut diduga akibat terjadinya peningkatan
sensitivitas mukosa lambung terhadap asam (Djojoningrat, 2009).
Bratten dan Jones (2009), menyebutkan beberapa bukti terbaru
pada suatu penelitian tentang adanya klirens asam dan penurunan
respon motorik yang abnormal di daerah duodenum penderita
dispepsia (Voiosu et al., 2013).

2. Keterlambatan pengosongan lambung
Menurut Tack, Bisschops, dan Sarnelli (2004), terlambatnya
pengosongan lambung merupakan penyebab utama pada gejala yang
timbul pada dispepsia fungsional dan gastroparesis idiopatik. Pada
19

sebuah studi didapatkan persentase pasien dispepsia dengan
keterlambatan pengosongan lambung dari 20% hingga 50%.

3. Infeksi Helicobacter pylori
Infeksi Helicobacter pylori merupakan penyebab gastritis
paling banyak dan ditemukan sekitar 30%-40% pasien dengan
dispepsia fungsional. Tetapi, dapat juga ditemukan pada subjek sehat
atau asimptomatik (Talley dan Holtmann, 2008). Peran infeksi
Helicobacter pylori belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Hal
ini disebabkan karena kekerapan terjadinya infeksi Helicobacter pylori
pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda dengan angka
kekerapan infeksi Helicobacter pylori pada kelompok orang sehat.
Tetapi memang ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi
Helicobacter pylori (Hp) pada dispepsia fungsional dengan Hp positif
yang gagal dengan pengobatan konservatif baku (Djojoningrat, 2009)

4. Dismotilitas gastrointestinal
Dismotilitias gastrointestinal dan beragam abnormalitas
motorik dan pengaruhnya terhadap dispepsia fungsional telah banyak
dilaporkan. Di antaranya adalah keterlambatan pengosongan lambung,
akomodasi fundus terganggu, distensi antrum, kontraktilitas fundus
setelah makan, dan dismotilitas duodenal (Djojoningrat, 2009).
Gangguan pada sistem saraf pusat atau otonom juga dapat
menyebabkan gangguan akomodasi gaster dan hipomotilitas antral
(Voiosu, 2013).

5. Ambang rangsang persepsi
Dalam sebuah studi yang disebutkan Tack, Bisschops, dan
Sarnelli (2004), pasien dengan dispepsia fungsional mempunyai
tingkat sensitivitas yang signifikan terhadap distensi lambung
(peningkatan tekanan intra-balon) yang dapat menyebabkan rasa
20

tidak nyaman dan nyeri. Berdasarkan studi tersebut, hipersenstivitas
lambung berhubungan dengan gejala nyeri yang timbul setelah makan,
sendawa, dan kehilangan berat badan. Nyeri epigastrium merupakan
gejala dengan prevalensi yang cukup banyak pada pasien dengan
hipersensitivitas terhadap distensi lambung.

6. Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam
hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional.
Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan
relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan,
sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat
kenyang (Djojoningrat, 2009).

7. Aktivitas mioelektrik lambung
Abnormalitas aktifitas mioelektrikal lambung pada
pemeriksaan elektrogastrografi ditemukan pada 2/3 pasien dengan
dispepsia fungsional. Namun tidak ditemukan hubungan antara pola
gejala dispepsia dengan temuan pada elektrogastrografi (Tack,
Bisschops, dan Sarnelli, 2004).

8. Peranan hormonal
Penurunan kadar hormon motilin dilaporkan dapat
menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Progesteron,
estradiol, dan prolaktin juga dapat memengaruhi kontraktilitas otot
polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal yang
didapatkan pada beberapa percobaan. Namun, peranan hormon masih
belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia fungsional
(Djojoningrat, 2009).


21

9. Psikologis
Menurut Djojoningrat (2009), adanya stres akut dapat
memengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada
orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung
yang mendahului keluhan mual setelah pemberian stimulus berupa
stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada upaya
menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom,
dan motilitas. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk
kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studi
dipaparkan adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia,
pelecehan seksual, atau gangguan jiwa pada kasus dispepsia
fungsional.

10. Faktor Genetik
Beberapa penelitian menemukan adanya interaksi polimorfisme
gen-gen terkait respon imun dengan infeksi Helicobacter pylori pada
pasien dengan dispepsia fungsional (Abdullah dan Gunawan, 2010).
Beberapa yang telah diteliti adalah G-protein, protein serotonin
transporter, interleukin 17 (IL-17) dan faktor penghambat migrasi
(MIF). Diduga kuat yang paling berhubungan dengan dispepsia
fungsional adalah GNb3. Namun, penelitian lebih lanjut masih
diperlukan dalam mencari hubungan faktor genetik dengan dispepsia
fungsional (Choudhuri, Verma, dan Sengar, 2012).

2.1.5 Gejala Klinis
Gejala klinis dispepsia tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Beberapa gejala yang sering muncul pada penderita
dispepsia adalah sebagai berikut (Desai, 2012).
1. Nyeri pada bagian abdomen di atas umbilikus
2. Rasa terbakar di daerah retrosternal
3. Regurgitasi
22

4. Sendawa
5. Distensi abdominal (rasa penuh)
6. Mual
7. Muntah
8. Cepat kenyang setelah makan

Komite Roma III mengklasifikasikan gejala klinis dispepsia
fungsional sebagai berikut.
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan
dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan
porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.
3. Nyeri dan rasa terbakar di ulu hati, nyeri atau rasa terbakar yang
terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan sedang,
paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu.

2.1.6 Diagnosis Dispepsia
1. Anamnesis
Pada anamnesis dispepsia dapat ditemukan gejala yang
biasanya telah berlangsung selama bertahun-tahun. Insidensi kanker
meningkat seiring dengan bertambahnya usia penderita. Pada saat
menanyakan pasien, sifat nyeri (rasa terbakar, nyeri, atau menusuk),
waktu timbul gejala (setelah makan, setelah makan makanan atau
minuman tertentu, timbul malam hari), penurunan berat badan,
anoreksia, ikterus, gejala anemia, hematemesis, riwayat penyakit
terdahulu, dan riwayat pengobatan perlu ditanyakan.
Mempertimbangkan jantung sebagai salah satu sumber semua gejala
juga diperlukan dalam menegakkan diagnosis. Apabila pada pasien
ditemukan disfagia serta penurunan berat badan, pemeriksaan
penunjang diperlukan segera (Gleadle, 2007).

23

2. Pemeriksaan Fisik
Pada saat melakukan pemeriksaan fisik dapat dilihat apakah
pasien mengalami kesakitan, anemia, ikterus, limfadenopati, jari tabuh,
dan bising usus. Dapat dilihat juga status gizi pasien atau adanya
tanda-tanda penurunan berat badan. Penurunan berat badan,
pembesaran kelenjar getah bening, dan adanya massa di abdomen
merupakan tanda-tanda neoplasia (Gleadle, 2007).

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya penyakit serius seperti kanker lambung sekaligus
untuk menegakkan diagnosis bila mungkin. Sebagian pasien memiliki
risiko kanker yang rendah dan dianjurkan untuk terapi empiris tanpa
endoskopi (Gleadle, 2007; Davey, 2006; Djojoningrat, 2009).
Tes darah. Hitung darah lengkap dan LED normal membantu
menyingkirkan kelainan serius. Hasil tes serologi yang positif
untuk Helicobacter pylori menunjukkan ulkus peptikum namun
belum menyingkirkan keganasan saluran pencernaan.
Endoskopi merupakan tes definitif untuk esofagitis, penyakit
epithelium Barret, dan ulkus peptikum.
Pemeriksaan Radiologi seperti barium meal
Pemeriksaan USG.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang Dispepsia
Pemeriksaan penunjang diagnostik merupakan langkah penting
untuk mendiagnosis penyebab dispepsia (Djojoningrat, 2009).
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya adalah
pemeriksaan darah, fungsi tiroid, dan fungsi pankreas. Tes darah dapat
dilakukan untuk melihat adanya anemia dan fungsi organ-organ
internal.
24

2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan diantaranya
dengan menggunakan barium meal.

3. Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi sangat berguna dalam memeriksa
saluran pencernaan manusia. Pemeriksaan endoskopi merupakan
pemeriksaan yang penting yang dapat dilakukan sebagai diagnosis
awal pada penyakit struktural. Endoskopi sangat berguna untuk
mendiagnosis tukak, radang lambung, kehadiran infeksi Helicobacter
pylori, dan untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit yang lebih
serius.

4. Ultrasonografi
Penggunaan USG pada pasien dispepsia terutama bila
ditemukan dugaan kelainan yang berasal dari traktus biliaris, pankreas,
kelainan di tiroid, dan tumor di esofagus dan lambung (Harahap,
2007).













25

2.1.8 Tatalaksana Dispepsia
Dispepsia tidak hanya merupakan gejala penanda adanya gangguan
pada traktus gastrointestinal bagian atas namun juga merupakan penanda
dari risiko penyakit struktural. Pemeriksaan endoskopi merupakan
pemeriksaan yang penting yang dapat dilakukan sebagai diagnosis awal
pada penyakit struktural. Pasien dengan gejala klinik seperti tabel 2 yang
merupakan pasien dengan risiko penyakit struktural harus menjalani
pemeriksaan endoskopi. Namun endoskopi juga dapat dilakukan untuk
pasien yang dicurigai mengalami penyakit keganasan gastrointestinal
walaupun tidak mempunyai gejala seperti pada tabel 2 (ASGE, 2007).

Tabel 2. Gejala klinik pasien dispepsia yang perlu pemeriksaan endoskopi
Gejala klinik pasien dispepsia yang perlu pemeriksaan endoskopi
Umur > 50 tahun, dengan onset gejala baru
Riwayat keluarga ada keganasan pada gastrointestinal atas
Kehilangan berat badan yang tidak diharapkan
Perdarahan gastrointestinal
Anemia
Disfagia progresif
Muntah persisten
Teraba massa atau limfadenopati
Penyakit kuning
Sumber : American Society for Gastrointestinal Endoscopy, 2007

Pasien dengan dispepsia yang berumur kurang dari 50 tahun dan
tanpa gejala klinik seperti pada tabel 2 biasanya dievaluasi dengan 3
metode yaitu tes noninfasif terhadap infeksi Helicobacter pylori (metode
test-and-treat), percobaan dari supresi asam, atau pemeriksaan
endoskopi awal.
26



Gambar 4: Algoritma tatalaksana dispepsia fungsional berdasarkan klasifikasi
Rome III. HP +: Helicobacter pylori positif; PDS: Postprandial Distress
Syndrome; EPS: Epigastric Pain Syndrome (Geeraerts dan Tack, 2008).












Gejala dispepsia
Tidak terkait
makanan (EPS)
Dispepsia fungsional
(eradikasi jika HP+)
Terkait makanan
(PDS)
Dispepsia organik
Supresi asam Prokinetik
Beri atau ganti
dengan prokinetik

Beri atau ganti
dengan supresi
asam
Agen trisiklik bila
belum teratasi
Endoskopi

27

2.2 Kerangka Teori





















= Variabel yang diteliti
Dispepsia
Fungsional
Tidak diketahui
dibuktikan setelah
dilakukan pemeriksaan
Organik
Epidemiologi/
karakteristik
Tatalaksana
Diagnosis
Klasifikasi
Gejala Klinis
Etiologi
Epigastric pain syndrome
Postprandial distress
syndrome
Pekerjaan
Karena gangguan
sistemik
Jenis
Kelamin
Umur
Organik
Fungsional
Karena gangguan pada hepar-
pankreas-kandung empedu
Karena Obat-obatan
Karena penyakit pada
saluran cerna
Diketahui setelah
pemetiksaan
Anamnesis
Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan USG
Pemeriksaan
Laboratorium

Anda mungkin juga menyukai