Anda di halaman 1dari 4

Jawa Barat

Menyikapi Kasus HIV/AIDS di Kalangan Ibu-ibu Rumah Tangga

Oleh Syaiful W. Harahap*

Sampai September 2009 di Jawa Barat (Jabar) dilaporkan 4.929 kasus HIV/AIDS
yang terdiri atas 1.930 kasus HIV dan 2.999 kasus AIDS. Kasus-kasus HIV/AIDS di
Jabar al. dipicu oleh penyebaran melalui pengguna narkoba dengan suntikan. Hari
AIDS Sedunia yang diperingati secara internasional hari ini mengajak kita
merenungkan perilaku kita agar menjadi bagian dari pemutusan mata rantai
penyebaran HIV.

Dari data yang dikeluarkan Dinas Kesehatan Prov. Jabar ternyata kasus HIV/AIDS di
kalangan ibu-ibu rumah tangga sebanyak 357 lebih besar daripada kasus di kalangan
pekerja seks komersial (PSK) yang tercatat sebanyak 264. Fakta ini menunjukkan
perilaku suami-suami mereka yang melakukan hubungan seks berisiko yaitu tidak
memakai kondom dengan PSK.

Kasus HIV/AIDS di kalangan PSK bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, ada
kemungkinan yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki penduduk lokal.
Kalau ini yang terjadi maka kasus HIV sudah ada di masyarkat luas tapi sebagian
besar belum terdeteksi. Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK itu pun menjadi
mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa mereka sadari.
Antara lain mereka menularkan HIV kepada istrinya. Kedua, ada kemungkinan PSK
yang ’beroperasi’ di Jabar sudah tertular HIV sebelum praktek di Jabar. Kalau ini
yang terjadi maka laki-laki lokal yang melakukan hubungan seks tanpa kondom
dengan PSK akan berisiko tinggi tertular HIV. Laki-laki yang menularkan HIV dan
yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

1
Lokalisasi

Di sisi lain dari 4.929 kasus HIV/AIDS terdeteksi di kalangan pengguna


narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) sebanyak 3.249 (65,92 persen),
sedangkan yang tertular melalui hubungan seks sebanyak 1.072 ( 21,75 persen). Tapi,
tunggu dulu jangan terjebak pada angka itu. Soalnya, perbedaan angka yang tajam itu
tidak berarti kasus infeksi HIV melalui hubungan seks secara ril di masyarakat.
Soalnya, kasus infeksi HIV di kalangan pengguna narkoba banyak terdeteksi karena
mereka diwajibkan tes HIV jika hendak masuk ke pusat rehabilitasi. Sebaliknya, laki-
laki dewasa yang tertular melalui hubungan seks banyak yang tidak terdeteksi karena
tidak ada mekanisme yang bisa menjaring mereka.

Penutupan lokalisasi pelacuran di Jabar mengesankan tidak ada lagi pelacuran


di Jabar. Ini menyesatkan karena praktek-praktek pelacuran terjadi setiap saat di mana
saja (di rumah, losmen, hotel, alam terbuka, dll.). Praktek pelacuran menjadi ’lahan’
subur penularan HIV melalui hubungan seks berisiko tinggi tertular HIV karena
dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti dan laki-laki tidak memakai kondom.

Penyebaran HIV secara horizontal kemudian terjadi tanpa disadari karena laki-
laki dewasa yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi menjadi mata rantai
penyebarn HIV antar penduduk. Ini terbukti dari penemuan kasus di kalangan ibu-ibu
rumah tangga. Mereka tertular dari suaminya. Mata rantai penyebaran kian luas
karena suami-suami tadi juga melakukan hubungan seks dengan perempuan lain,
seperti pacar atau PSK.

Istri-istri yang tertular HIV kemudian menularkan HIV kepada bayi yang
dikandungnya. Catatan di Jabar menunjukkan ada 126 kasus penularan HIV/AIDS
dari ibu ke bayi yang dikandungnya (vertikal). Dengan angka kasus 357 di kalangan
ibu rumah tangga maka bayi yang dilahrkan dengan infeksi HIV pun akan terus
bertambah. Pada akhirnya akan banyak anak-anak HIV-positif yang menjadi yatim-
piatu karena orang tua mereka meninggal dunia dengan penyakit yang terkait
HIV/AIDS.

Anak-anak yatim piatu dengan HIV/AIDS itu kelak akan menjadi persoalan
besar apalagi keluarganya menolak mengasuh mereka. Pemerintah pun kesulitan

2
menangani anak-anak itu karena mereka bukan penyandang masalah sosial sehingga
tidak bisa ditangani Departemen Sosial. Anak-anak itu pun tidak bisa ditangani
Departemen Kesehatan karena mereka belum sakit. Lalu, apakah panti asuhan atau
pesantren kelak mau menampung anak-anak yatim piatu dengan HIV/AIDS itu? Jika
jawabannya tidak mau, maka persoalan kian rumit karena tidak ada yang mengaush
anak-anak itu.

Tes Rekomendasi

“6.300 Wanita Indramayu Jadi PSK di Pulau Batam.” Itulah judul berita
Harian ”Pikiran Rakyat” (11/11-2005). Sedangkan di sebuah koran yang terbit di
Bangkok (2001) disebutkan bahwa ada lonjakan tes HIV di Singapura bagi penduduk
yang pernah ’piknik’ ke Prov Riau dan Prov Kepulauan Riau serta istri-istri mereka.
PSK yang ada di Batam atau kota lain di Indonesia datang dari berbagai tempat di
Nusantara. Jika ada di antara PSK yang kerja di Batam tertular HIV tentulah mereka
akan menjadi mata rantai penyebaran HIV ke seluruh pelosok Nusantara, paling tidak
di daerah asalnya.

Bagi yang bersuami maka ketika mereka pulang kampung ada risiko penularan
terhadap suaminya. Ketika mereka kembali ke Batam maka suami mereka pun
menularkan HIV pula kepada perempuan lain yang menjadi pasangan seks mereka
atau kepada PSK.

Ada kebijakan di beberapa daerah tujuan PSK yaitu memulangkan PSK yang
terdeteksi HIV ke daerah asalnya. Pekerja seks yang dipulangkan itu akhirnya akan
menjadi bagian dari mata rantai penyebaran HIV. Yang bersuami akan menulari
suaminya. Jika mereka tetap sebagai pekerja seks di kampungnya atau di tempat lain
maka mereka pun bisa menulari “pelanggannya”. Kalau suami mereka mempunyai
pasangan seks yang lain, maka akan terjadi pula penularan. Istri mereka yang tertular
pun kelak akan menularkannya kepada bayi yang dikandungnya. Begitu seterusnya
sehingga terjadi penularan secara horizontal antar penduduk dan vertikal dari-ibu-ke-
bayi.

Dalam kaitan inilah diperlukan penanggulangan yang akurat yaitu memutus


mata rantai penyebaran HIV. Ini dapat dilakukan jika penduduk yang sudah tertular

3
HIV bisa dideteksi. Selama ini deteksi kasus HIV/AIDS bersifat pasif yaitu menunggu
orang datang untuk tes HIV di rumah sakit atau klinik VCT. Belakangan
dikembangkan cara baru yaitu tes HIV atas rekomendasi atau inisiatif petugas
kesehatan yang dikenal sebagai Provider Initiated Testing and Counseling (PITC).
Dokter yang melihat gejala AIDS pada pasien dengan riwayat perilaku yang berisiko
dianjurkan tes HIV. Ini langkah baru mendeteksi kasus HIV di masyarakat. ***

* Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media


watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai