Anda di halaman 1dari 63

1

PROPOSAL TUGAS PENGENALAN PROFESI


BLOK XVIII
MENGIDENTIFIKASI MASALAH GERIATRI DI POSYANDU LANSIA
(INKONTINENSIA)








Tutorial 2
Tutor : dr. RA Tanzilla

Anin Kalma Perdani 702010009
Ajeng Dwinta Lestari 702010014
Meitriana Putri M.J 702010017
Ririn Amelia Oktariani 702010029
Rizki Amalia 702010036
Octia Yudiantin 702010048
Sigit Rahmad 702010054
Ricky Dwi Putra 702010056
Shafa Husnul Khatimah 702010060
Agis Mira Dewi 702009057


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
Jalan Jenderal Ahmad Yani Talang Banten Kampus-B
13 Ulu Telp. 0711-7780788
PALEMBANG
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal tugas pengenalan profesi yang berjudul
Mengidentifikasi Masalah Geriatri di Posyandu Lansia (Inkontinensia) sebagai tugas
kompetensi kelompok. Shalawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi
besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya sampai
akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan early exposure ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa
mendatang.
Dalam penyelesaian laporan early exposure ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih kepada :
1. Allah SWT, yang telah memberi kehidupan dengan sejuknya keimanan.
2. dr.RA Tanzilla selaku pembimbing Early Exposure kelompok 2
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan kepada
semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga laporan turotial ini bermanfaat bagi
kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT.
Amin.


Palembang, Juni 2013




Mahasiswa kelompok Tutorial II



3

DAFTAR ISI

Halaman Judul ....................................................................................................................... 1
Kata Pengantar ...................................................................................................................... 2
Daftar Isi ............................................................................................................................... 3
BAB I : Pendahuluan ...................................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 5
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 9
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................
...............................................................................................................10
BAB II : Tinjauan Pustaka ...............................................................................................
11
2.1 Puskesmas ...................................................................................................
................... 11
2.2 Manajemen Puskesmas .. ............
................... 11
2.2.1 Definisi Manajemen Puskesmas ..............................................................
................... 11
2.2.2 Kemampuan Manajerial Puskesmas ........................................................
................... 44
2.2.3 Peran Manajerial Puskesmas ....................................................................
................... 46
2.2.4 Manajemen dan Administrasi Puskesmas ................................................
................... 50
2.2.5 Model-model Manajemen Puskesmas .....................................................
................... 52
2.2.6 Perencanaan Tingkat Puskesmas ..... ...........
................... 62
2.2.7 Kebijakan Pergerakan dan Pelaksanaan Tingkat Puskesmas. ................. `
................... 74
2.2.8 Penilaian Kinerja Puskesmas ...................................................................
................... 79
4

2.3 Posyandu ....................................................................................................
................... 86
2.3.1 Definisi Posyandu ....................................................................................
................... 86
2.3.2 Tingkatan Posyandu .................................................................................
................... 88
2.3.3 Tujuan Penyelenggaraan Posyandu .........................................................
................... 90
2.3.4 Manfaat Poyandu .....................................................................................
................... 91
2.3.5 Pengorganisasian......................................................................................
................... 92
2.3.6 Program Posyandu ...................................................................................
................... 96
2.3.7 Pengelenggaraan Posyandu ......................................................................
.................. 100
BAB III : Metode Pelaksanaan .........................................................................................
102
3.1 Lokasi Pelaksanaan .....................................................................................
102
3.2 Waktu Pelaksanaan .....................................................................................
102
3.3 Subjek Tugas Mandiri ................................................................................
102
3.4 Langkah Kerja ............................................................................................
102
BAB IV : Hasil dan Pembahasan ........................................................................................
104
BAB V : Penutup ..............................................................................................................
114
BAB VI : Lampiran ...........................................................................................................
124
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................
125 ..................................................................................................................................
5

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Secara alami fungsi fisiologis dalam tubuh lansia menurun seiring
pertambahan usianya. Perubahan fungsi fisiologis yang terjadi pada lansia pada
dasarnya meliputi penurunan kemampuan sistem syaraf, yaitu pada indera
penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman. Selanjutnya perubahan ini
juga mengakibatkan penurunan sistem pencernaan, sistem syaraf, sistem pernapasan,
sistem endokrin, sistem kardiovaskular hingga penurunan kemampuan
muskuloskeletal (Fatmah 2010).
Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 3%
perdekade. Sarkopenia, kehilangan massa otot yang berkaitan dengan usia,
berkontribusi terhadap penurunan kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan dan
keseimbangan, kehilangan fungsi fisik, dan meningkatnya resiko penyakit kronis.
1

Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari, dalam
jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan
kesehatan atau sosial (Kane dkk., 1989 dalam Pranarka, 2000).
2

Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai
pada orang berusia lanjut, khususnya perempuan. Inkontinensia urin seringkali tidak
dilaporkan oleh pasien atau keluarganya, antara lain karena menganggap bahwa
masalah tersebut merupakan masalah yang memalukan atau tabu untuk diceritakan,
ketidaktahuan mengenai masalah inkontinensia urin, dan menganggap bahwa kondisi
tersebut merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada orang usia lanjut serta tidak perlu
diobati. Pihak kesehatan, baik dokter maupun tenaga medis yang lain juga tidak
jarang tidak memahami tatalaksana inkontinensia urin dengan baik atau bahkan tidak
mengetahui bahwa inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang dapat
diselesaikan. Sekitar 50% usia lanjut di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di
masyarakat mengalami inkontinensia urin. Prevalensinya meningkat seiring dengan
meningkatnya umur. Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin daripada
laki-laki dengan perbandingan 1,5:1.
3
Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan
daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh
perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah
6

menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-
kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan
kontinensia urine yang baik (Andrianto. 1991).
4

Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati.
Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami
gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan berat
gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun
atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%.
Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara
didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat
sampai 20% pada wanita dengan 5 anak (Prawirohardjo. 1991).
4

Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya
keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang
ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi
mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar
kecil penderita telah membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena
gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan
anatomik yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan
inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan desakan secara
bersamaan (Andrianto. 1991).
4

Inkontinensia alvi sering digambarkan sebagai peristiwa yang tidak
menyenangkan tetapi tidak terelakkan, berkaitan dengan usia lanjut. Sebenarnya,
seperti halnya dengan ulkus dekubitus, inkontinensia alvi sering terjadi akibat sikap
dokter dan tindakan keperawatan yang kurang tepat. Dengan diagnosis dan
pengobatan yang sesuai, inkontinensia alvi pada usia lanjut hampir seluruhnya dapat
dicegah. Inkontinensia alvi lebih jarang ditemukan dibandingkan inkontinensai urin.
30-50% pasien dengan inkontinensia urin, juga menderita inkontinensia alvi. Keadaan
ini menunjukkan mekanisme patofisiologi yang sama antara inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi. Kebanyakan pasien tidak pernah melaporkan masalah ini pada
dokternya. Pria usia lanjut lebih sering mengalami inkontinensia alvi dibandingkan
perempuan usia lanjut, dan bentuk inkontinensianya lebih sering cair daripada bentuk
padat.
3



7

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa jenis Inkontinensia yang paling banyak terjadi pada geriatric di Posyandu
Lansia?
2. Siapa yang paling banyak menderita inkontinensia baik urin maupun alvi?
3. Apa saja penyebab inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
4. Bagaimana penatalaksaan pasien tersebut?


1.3 Tujuan Tugas Pengenalan Profesi
1.3.1 Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan Tugas Pengenalan Profesi ini, diharapkan
mahasiswa mengetahui masalah geriatri di posyandu lansia (inkontinensia).


1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui Perencanaan Tahunan Puskesmas Merdeka.
2. Untuk mengetahui Penilaian Kinerja Puskesmas Merdeka.
3. Untuk mengetahui masalah yang dihadapi Puskesmas Merdeka
4. Untuk mengetahui penyelenggaraan posyandu di Posyandu Seruni.
5. Untuk mengetahui stratifikasi Posyandu Seruni.


1.4 Manfaat Tugas Pengenalan Profesi
1. Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi penulis untuk menambah
wawasan ilmu pengetahuan dan juga sebagai bahan pembanding antara teori
selama kuliah dan praktek di lapangan.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pembaca agar dapat
mengetahui manajemen puskesmas dan pelayanan kesehatan di posyandu.
3. Bagi masyarakat, diharapkan dapat berguna sebagai sumber bacaan untuk
meningkatkan wawasan pengetahuan dalam bidang sumber daya manusia
terutama dalam kesehatan.


BAB II
8

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Penuaan
Penuaan merupakan proses yang terjadi dari awal kelahiran hingga kematian.
Penuaan, periode hidup setelah usia 30 tahun, adalah proses yang melibatkan seluruh
tubuh. Selama periode pertumbuhan, proses anabolik melebihi perubahan katabolik.
Ketika tubuh mencapai kedewasaan fisiologis, laju katabolik atau perubahan degeneratif
mungkin lebih tinggi dibanding laju anabolik. Hasil akhir berkurangnya sel dapat
membawa pada penurunan efisiensi dan gangguan fungsional pada berbagai tingkat.
(Harris 2004).
Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh gerontologist ketika membicarakan
proses menua :
1. Aging (bertambahnya umur) : menunjukkan efek waktu; suatu proses
perubahan, biasanya bertahap dan spontan.
2. Senescence (menjadi tua) : hilangnya kemampuan sel untuk membelah dan
berkembang (dan seiring waktu akan mennyebabkan kematian)
3. Homeostenosis : penyempitan/berkurangnya cadangan homeostatis yang
terjadi selama penuaan pada setiap sistem organ.
Secara alami fungsi fisiologis dalam tubuh lansia menurun seiring pertambahan
usianya. Perubahan fungsi fisiologis yang terjadi pada lansia pada dasarnya meliputi
penurunan kemampuan sistem syaraf, yaitu pada indera penglihatan, pendengaran,
peraba, perasa, dan penciuman. Selanjutnya perubahan ini juga mengakibatkan penurunan
sistem pencernaan, sistem syaraf, sistem pernapasan, sistem endokrin, sistem
kardiovaskular hingga penurunan kemampuan muskuloskeletal (Fatmah 2010).
Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 3%
perdekade. Sarkopenia, kehilangan massa otot yang berkaitan dengan usia, berkontribusi
terhadap penurunan kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan dan keseimbangan,
kehilangan fungsi fisik, dan meningkatnya resiko penyakit kronis. Fungsi imunitas juga
mengalami penurunan pada lansia, sehingga kemampuan melawan infeksi berkurang dan
meningkatnya kejadian penyakit infeksi pada lansia. (Harris 2004).
Susunan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan gizi tubuh, dapat menciptakan
dua kemungkinan, yaitu keadaan gizi kurang dan keadaan gizi lebih (kegemukan/
obesitas). Keadaan obesitas ini banyak dipengaruhi oleh kegiatan yang berlebihan dari
kelenjar hipotalamus, banyaknya sel-sel lemak tubuh, umur para lanjut usia, aktivitas
9

jasmani yang kurang, faktor psikologis, faktor keturunan, dan faktor endokrin. Keadaan
ini sering pula menimbulkan gangguan dalam tubuh secara mekanis, secara metabolik,
traumata/ kecelakaan, maupun gangguan kardiovaskuler (Astawan & Wahyuni 1988).
Menurut Arisman (2004) terjadi beberapa kemunduran dan kelemahan yang bisa
diderita oleh lansia yaitu:
1. Pergerakan dan kelemahan lansia
2. Intelektual terganggu (demensia)
3. Isolasi diri (depresi)
4. Inkontinensia dan impotensia
5. Defisiensi imunologis
6. Infeksi, konstipasi, dan malnutrisi
7. latrogenesis dan insomnia
8. Kemunduran penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan, komunikasi, dan
integritas kulit
9. Kemunduran proses penyembuhan.


Sistem/Organ Tubuh Perubahan pada Proses Menua
Sistem Endokrin 1. Toleransi glukosa terganggu (gula darah puasa
meningkat 1mg/dl/dekade; gula darah
postprandial meningkat 10mg/dl/dekade;
insulin serum meningkat, HbA1C meningkat,
IGF-1 berkurang)
2. Penurunan yang bermakna pada
dehidropiandrosteron (DHEA)
3. Penurunan testosterone bebas maupun yang
bioavailable
4. Penurunan hormone T3
5. Peningkatan hormone paratiroid (PTH)
6. Penurunan produksi vitamin D oleh kulit
7. Ovarian failure disertai menurunnya hormone
10

ovarium
8. Peningkatan kadar homosistein serum

Kardiovaskular 1. tidak ada perubahan frekuensi jantung saat
istirahat, penurunan frekuensi jantung
maksimum.
2. Berkurangnya pengisian ventrikel kiri
3. Berkurangnya sel pacu jantung (pacemaker) di
nodus SA
4. Hipertrofi artrium kiri
5. Kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri
bertambah lama
6. Menurunnya respon inotropik, kronotropik,
lusitropik, terhadap stimulasi beta adrenergic
7. Menurunnya curah jantung maksimal
8. Menurunnya hipertrofi sebagai respon terhadap
peningkatan volume dan tekanan
9. Peningkatan atrial natriuretic peptide (ANP)
serum
10. Lapisan subendotel menebal dengan jaringan
ikat
11. Ukuran dan bentuk yang irregular pada sel-sel
endotel
12. Fragmentasi elastin pada lapisan media
dinding arteri
13. Peningkatan resistensi vaskuler perifer
Tekanan Darah 1. Peningkatan tekanan darah sistolik, tekanan
darah diastolic tidak berubah
2. Berkurangnya vasodilatasi yang dimediasi beta-
adrenergik
3. Vasokontriksi yang dimediasi alfa-adrenergik
tidak berubah
4. Terganggunya perfusi autoregulasi otak
11

Paru-paru 1. Penurunan FEV1 dan FVC
2. Meningkatnya volume residual
3. Berkurangnya efektivitas batuk
4. Berkurangnya efektivitas fungsi silia
5. Ventilation-perfusion mismatching yang
menyebabkan PaO
2
menurun seiring
bertambahnya usia
6. Peningkatan diameter trakea dan saluran napas
utama
7. Membesarnya duktus alveolaris akibat
berkurangnya elastisitas struktur penyangga
parenkim paru, menyebabkan berkurangnya
area permukaan
8. Penurunan massa jaringan paru
9. Ekspansi toraks
10. Penurunan tekanan maksimum inspirasi dan
ekspirasi
11. Berkurangnya kekuatan otot-otot pernapasan
12. Kekakuan dinding dada
13. Berkurangnya difusi CO
14. Berkurangnya respons ventilasi akibat
hiperkapnia
Hematologi 1. Berkurangnya cadangan sumsum tulang akibat
kebutuhan yang meningkat
2. Attenuated retikulosis terhadap pemberian
eritropoetin
Ginjal 1. Menurunnya bersihan kreatinin dan laju filtrasi
glomerulus 10ml/decade
2. Penurunan massa ginjal sebanyak 25%,
terutama dari korteks dengan peningkatan
relative perfusi nefron yukstamedular
3. Menurunnya eksresi dan konservasi natrium
4. Menurunnya eksresi dan konservasi kalium
12

5. Menurunnya kapasitas konsentrasi dan dilusi
6. Berkurangnya sekresi akibat pembebanan asam
7. Aksentuasi pelepasan ADH sebagai respons
terhadap dehidrasi
8. Berkurangnya produksi nitrit oksida
9. Meningkatnya ketergantungan prostaglandin
ginjal untuk mempertahankan perfusi
10. Menurunnya aktivasi vitamin D
Regulasi suhu tubuh 1. Berkurangnya vasokontriksi dan vasodilatasi
pembuluh darah kutaneus
2. Berkurangnya produksi keringat
3. Meningkatnya temperature inti untuk mulai
berkeringat
Otot 1. Massa otot berkurang secara bermakna
(sarkopenia) karena berkurangnya serat otot
2. Efek penuaan paling kecil pada otot diafragma,
lebih pada otot tungkai dibandingkan lengan
3. Berkurangnya sintesis rantai berat miosin
4. Berkurangnya inervasi, meningkatnya jumlah
myofibril per unit otot
5. Peningkatan fatigabilitas
6. Berkurangnya laju metabolism basal
(berkurang 4%/decade setelah usia 50)
Tulang 1. Melambatnya penyembuhan fraktur
2. Berkurangnya massa tulang pada pria dan
perempuan, baik pada tulang trabekular
maupun kortikal
3. Berkurangnya formasi osteoblas tulang
System Saraf Perifer 1. Hilangnya neuron motor spinal
2. Berkurangnya sensasi getar terutama di kaki



13









2.2 Inkontinensia Urin
2.2.1 Pendahuluan
Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang cukup sering
dijumpai pada orang berusia lanjut, khususnya perempuan. Inkontinensia urin
seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya, antara lain karena
menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah yang memalukan atau
tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan mengenai masalah inkontinensia urin, dan
menganggap bahwa kondisi tersebut merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada
orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Pihak kesehatan, baik dokter maupun
tenaga medis yang lain juga tidak jarang tidak memahami tatalaksana inkontinensia
urin dengan baik atau bahkan tidak mengetahui bahwa inkontinensia urin
merupakan masalah kesehatan yang dapat diselesaikan.
Berbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi
saluran kemih, kelainan kulit gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi,
mudah marah, dan rasa terisolasi. Secara tidak langsung masalah-masalah tersebut
juga dapat menyebabkan dehidrasi karena umumnya pasien akan mengurangi
minum karena khawatir mengompol. Dekubitus, infeksi saluran kemih berulang,
jatuh, dan tidak kalah pentingnya adalah biaya perawatan yang tinggi untuk
pembelian popok. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
inkontinensia urin, baik bersifat nonfarmakologis maupun terapi obat dan
pembedahan jika diketahui dengan tepat jenis atau tipe inkontinensianya. Ipdl

2.2.2 Definisi
Dari aspek klinis praktis, inkontinensia urin didefinisikan sebagai
keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
14

memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah social
dan higienis penderitanya. Untuk kepentinganpenelitian epidemiologi, definisi
diatas yang dipergunakan. Dalam menentukan prevalensi inkontinensia urin di
klinik, tempat perawatan kronik, klinik rawat siang, dan masyarakat masih
digunakan definisi yang beragam dalam hal frekuensi, derajat keparahan,
volume urin yang keluar, dan determinasi keluarnya urin.

Definisi Inkontinensia Urin
1. Definisi keluarnya urin
Kesulitan menahan berkemih sampai mencapai toilet
Keluarnya air kencing yang tidak diharapkan
Hilangnya pengendalian berkemih
Underpants basah
2. Definisi keparahan
Sekali atau lebih
Dua kali atau lebih
Tiga kali atau lebih
Menyebabkan problem social atau kebersihan
3. Definisi frekuensi
Selalu terjadi
Terjadi 1 tahun yang lalu
Terjadi 1 bulan yang lalu
Terjadi 1 minggu yang lalu
Terjadi setiap hari
Overactive bladder atau kandung kemih hiperaktif (KKH) adalah
kelainan pada kandung kemih yang mengakibatkan penderitanya mengalami
keinginan berkemih tidak tertahankan (urgensi), miksi yang sering, dengan
atau tanpa inkontinensia urin. ipdl

2.2.3. Prevalensi
Sekitar 50% usia lanjut di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di
masyarakat mengalami inkontinensia urin. Prevalensinya meningkat seiring
15

dengan meningkatnya umur. Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia
urin daripada laki-laki dengan perbandingan 1,5:1.
3
Diperkirakan sekitar 13 % penduduk pria dan wanita berusia 75 tahun
atau lebih menderita inkontinensia urine. Hampir 34 % terjadi pada laki-laki
dan 60 % terjadi pada wanita yang berusia 75 tahun pada institusi perawat
akut mengalami inkontinensia urine. lnkontinenia urine sangat menghabiskan
biaya, baik konsekwensi secara pskososial bagi pasien maupun dampak
ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat. Biaya perawatan pasien
inkontinensia urine diperkirakan lebih dari 10,3 milyar US$ pertahunnya
(AHCpR, 1992).

Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan
daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh
perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita
inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-
uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total
uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik (Andrianto. 1991).
4

Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan
diobati. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa
mengalami gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia.
Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan
paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada
usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada
wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada
wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada
wanita dengan 5 anak (Prawirohardjo. 1991).
4

2.2.4 Anatomi dan Fisiologi
Vesika dan uretra dapat dipandang sebagai suatu kesatuan dengan
pertumbuhannya yang berasal dari jaringan sekitar sinus urogenitalis
(Prawirohardjo. 1991). Oleh karena itu lapisan otot polos keduanya sama,
lapisan dalam merupakan lapisan longitudinal dan lapisan luar membentuk
anyaman sirkuler yang mengelilingi lubang urehra. Anyaman sirkuler ini yang
berperan pada keadaan tekanan istirahat atau tekanan penutupan dalam uretra
(Richardson. 1981).
16

Anyaman otot vesika ini menjadi satu lapisan dengan kelanjutan
serabut-serabutnya ditemukan pula di dinding uretra sebagai otot-otot uretra,
dikenal sebagai muskulus sfingter vesicae internus atau muskulus lisosfingter.
Otot-otot tersebut terletak di bawah lapisan jaringan yang elastis dan tebal dan
disebelah luar dilapisi jaringan ikat. Di dalam lapisan elastis yang tebal
ditemukan lapisan mukosa dengan jaringan submukosa yang spongius
(Prawirohardjo. 1991).
Disamping muskulus sfingter vesikae internus dan lebih ke distal
sepanjang 2 cm, uretra dilingkari oleh suatu lapisan otot tidak polos dikenal
sebagai muskulus sfingter uretra ekstranus atau muskulus rabdosfingter
eksternus. Otot ini dapat meningkatkan fungsi sfingter vesika dengan menarik
uretra ke arah proksimal sehingga urethra lebih menyempit. Otot-otot polos
vesika dan uretra berada dibawah pengaruh saraf para simpatis dan dengan
demikian berfungsi serba otonom. Muskulus rabdosfingter merupakan
sebagian dari otot-otot dasar panggul sehingga kekuatannya dapat ditingkatkan
dengan latihan-latihan dasar panggul tertentu. Muskulus bulbokaver-norsus
dan ishiokavernosus juga dapat aktif ditutup bila vesika penuh dan ada
perasaan ingin berkemih, sehingga tidak terjadi inkontinensia (Prawirohardjo.
1991).


Gambar : A. uretra tertutup B. uretra terbuka
1. Jar. Spongius 2. M. lisosfingter 3. M. Rabdosfingter
(Prawirohardjo. 1991).

Terdapat 3 komponen anatomis dari mekanisme kontinensia, yaitu penyangga
uretra, sfingter internus dan eksternus. Sfingter internus yang terletak setinggi leher
vesika, bila terganggu menimbulkan inkontinensia stres walaupun penyangga normal,
17

sedang sfingter eksternus mempunyai kemampuan untuk kontraksi volunter
(Purnomo. 2003).
Bila vesika berisi urine maka otot dinding vesika mulai direnggangkan dan
perasaan ini disalurkan melalui saraf sensorik ke bagian sakral sumsum tulang
belakang. Disini rangsangan disalurkan ke bagian motorik yang kemudian dapat
menimbulkan kontraksi ringan pada otot dinding vesika atau muskulus detrusor
(Purnomo. 2003).
Bila isi vesika hanya sedikit maka kontraksi ringan itu tidak menimbulkan
pengeluaran kemih, akan tetapi bila vesika terus direnggangkan maka muskulus
detrusor berkontraksi lebih kuat dan urine dikeluarkan dengan deras adalah antara 25-
30 cmH
2
O. Pada keadaan patologik tekanan intravesika itu dapat naik sampai 150-250
cmH
2
O untuk mengatasi rintangan di sfingter vesikae dan sfingter urethra. Muskulus
lisosfingter melingkari bagian atas urethra dan menentukan sudut antara urethra dan
dasar vesika. Otot-otot dasar panggul seperti muskulus levator ani ikut menentukan
posisi leher vesika. Bila dasar panggul mengendor maka uretra dan leher vesika akan
bergeser ke belakang dan vesika dapat dikosongkan. Bila uretra ditarik ke depan maka
mulut vesika ditutup (Purnomo. 2003).
Pada wanita dalam posisi berdiri, leher vesika terletak di atas lig. pubouretra.
Ligamen ini merupakan jaringan fibrous diantara tulang pubis dan jaringan parauretra.
Posisi uretra proksimal dan leher vesika adalah mobil dan dipengaruhi oleh muskulus
dan relaksasinya pada waktu miksi menghilangkan sudut vesikouretra bagian
posterior. Secara klinis hubungan uretra proksimal yang mobil dan dipengaruhi oleh
levator ani dengan uretra distal yang terfiksasi terdapat pada separoh panjang uretra
dan disebut lutut uretra. Daerah ini tempat masuk uretra ke dalam membran perinei
dan terfiksasi pada struktur tersebut (Sand dkk. 1988).
Mekanisme yang berperan dalam penyanggaan leher vesika dan uretra
proksimal meliputi 3 struktur yaitu arkus tendineus fasia pelvis, otot levator ani dan
fasia endopelvik yang mengelilingi uretra dan vagina (Purnomo. 2003).
Tekanan dalam uretra meningkat bila tekanan abdomen meningkat, misalnya
pada waktu batuk. Fenomena ini disebut transmisi tekanan. Ini berarti uretra
proksimal terletak di atas dasar pelvis. Disini peningkatan tekanan intraabdominal
akan menyebabkan peingkatan secara simultan tekanan uretra, sedang di bawah dasar
panggul peningkatan tekanan tidak berpengaruh pada uretra. Dengan demikian,
18

inkotinensia stres akan terjadi bila leher vesika turun di bawah dasar pelvis. Pada
pelvis bagian depan di dekat uretra, lapisan yang membatasi dinding vagina anterior
membentuk fasia endopelvik. Stabilisasi lapisan ini yang menunjukkan dimana uretra
dipengaruhi oleh tekanan intraabdominal. Uretra abdominal cenderung bergerak ke
dorsal dan kaudal. Gerakan ini dibatasi oleh tahanan pada dinding vagina anterior dan
fasia endopelvik (Fantl JA. 1986).
Inkontinensia stres tidak hanya tergantung pada penyangga elemen fibrous
saja, akan tetapi diduga otot lurik, yaitu bagian pubovaginal otot levator ani juga
berperanan. Memang otot lurik tidak dapat secara refleks berkontraksi cukup cepat
pada keadaan batuk, akan tetapi karena tekanan batuk diteruskan oleh kontraksi otot
lurik thorakoabdominopelvik, kontraksi diagfragma pernafasan, interkostal dan otot
dinding perut adalah mungkin (Andrianto. 1991).
Peningkatan tekanan intraabdominal bisa meningkatkan atau menurunkan
aliran urine. Hal ini tergantung pada berkontraksi tidaknya otot levator ani. Posisi
leher vesika akan berubah dengan kontraksi dan relaksasi levator ani. Terjadi
penebalan jaringan ikat endopelvis yang terletak disekitar leher vesika, disebut
ligamen pubovesikal, yang menunjukkan kombinasi muskulus pubovesikal dengan
jaringan fibrous yang menyertainya (Andrianto. 1991).
Leher vesika dan uretra proksimal turun pada saat mulai miksi. Perubahan
posisi ini menyebabkan lig. Pubovesikal menarik leher vesika ke arah lebih anterior,
sehingga mempermudah pembukaan. Penutupan leher vesika dapat terjadi dengan
kompresi leher vesika melawan lig. pubovesikal ketika posisi retropubik normal
(Andrianto. 1991).
Pada sfingter interna terdapat beberapa struktur yang dapat mempengaruhi
penutupannya. Cekungan bentuk U dari muskulus detrusor (the detrussor loop)
mengelilingi bagian anterior leher vesika dan membantu terjadinya penutupan
(Purnomo. 2003).
Di antara lapisan ini dan lumen uretra terdapat cincin otot polos dan elastis
yang dikenal sebagai trigonal ring, yang berfungsi membantu mekanisme penutupan
leher vesika (Purnomo. 2003).
Aktifitas sfingter eksterna berasal dari 3 elemen yang berbeda. Otot polos, otot
lurik dan elemen vaskuler menyokong tekanan penutupan uretra pada keadaan
istirahat. Lapisan luar urethra distal dibentuk oleh otot lurik sfingter urethrovaginal
19

atau ke dalam daerah di atas membran perineal sebagai kompresor uretra. Otot ini
memelihara tonus kontinensia (Fantl JA. 1986).
Otot polos uretra terdiri dari lapisan longitudinal dan sirkuler dan terletak di
dalam otot lurik sfingter urogenital, terdapat pada 4/5 bagian uretra proksimal.
Konfigurasi otot ini berperan dalam konstriksi lumen. Di dalam uretra juga terdapat
pleksus vaskuler, yang mempunyai beberapa AV anastomose. Hal ini membantu
penutupan urethra.

Gambar : 1. Uretra terbuka, 2. Uretra ditutup dalam posisi berdiri, 3. Uretra ditutup
dalam posisi berbaring (Prawirohardjo. 1991)

2.2.5 Fungsi Normal Kandung Kemih dan Uretra
Pada orang dewasa sehat, kerja kandung kemih dapat dibagi dalam dua
fase; fase pengisian, dengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoar urine
yang masuk secara berangsur-angsur dari ureter, dan fase miksi dengan
kandung kemih befungsi sebagai pompa serta menuangkan urine melalui
uretra dalam waktu relatif singkat (Marchant. 1989).


Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran
urine, walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intraabdomen meningkat
seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan isi
kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal
demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran (Marchant. 1989).
Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama
sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat miksi menurut
kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing
(Marchant. 1989).
Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung
kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat,
20

tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang
merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan
demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam
kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara
terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan
urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung
kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase
pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam
ureter (refluks) (Andrianto. 1991).


2.2.6 Proses Menua dan Inkontinensia Urin
Telah disebutkan sebelumnya bahwa kejadian inkontinensia urin
meningkat seiring dengan lanjutnya usia. Usia lanjut bukan penyebab
terjadinya inkontinensia urin, artinya sindrom ini bukan merupakan kondisi
normal pada usia lanjut melainkan merupakan factor predisposisi (contributor)
terjadinya inkontinensia urin.
Proses menua baik pada laki-laki maupun perempuan telah diketahui
mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada system
urogenital bagian bawah. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan
menurunkan kadar esterogen pada perempuan dan hormone androgen pada
laki-laki. Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan
kandungan kolagen sehingga mengakibatkan fungsi kontraktil tidak efektif
lagi, dan mudah terbentuk trebekulasi sampai divertikel.
Artrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya
lapisan otot uretra mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan uretra dan
tekanan out-flow. Pada laki-laki terjadi pengecilan testis dan pembesaran
kelenjar prostat sedangkan pada perempuan terjadi penipisan dinding vagina
dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan ruang
vagina serta berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya pH
lingkungan vagina.
Telah diketahui dengan baik bahwa dasar panggul (pelvic floor)
mempunyai peran penting dalam dinamika miksi dan mempertahankan kondisi
kontinen. Melemahnya fungsi dasar panggul disebabkan oleh banyak factor
baik fisiologis maupun patologis (trauma, operasi, denervasi neurologic).
21

Secara keseluruhan perubahan akibat proses menua pada system
urogenital bawah mengakibatkan posisi kandung kemih prolaps sehingga
melemahkan tekanan atau tekanan akhiran kemih keluar.
Pada semua usia, kontinensi tergantung mobilitas yang adekuat, status
mental, motivasi, dan fungsi saluran kemih bagian bawah yang intak.
Walaupun inkontinensia urin pada pasien usia muda jarang berkaitan dengan
defisit di luar saluran kemih, defisit seperti ini biasa dijumpai pada pasien usia
lanjut. Defisit ini sangat penting dideteksi karena dapat menyebabkan
inkontinensia dan intervensi mungkin tidak akan efektif sampai masalah di
luar saluran kemih tersebut diselesaikan.
Dari pembahasan dampak proses menua terhadap struktur anatomi dan
fisiologis system urogenital bawah dapat dipahami bahwa usia lanjut
merupakan factor contributor terjadinya inkontinensia tipe stress, urgensi, dan
luapan (overflow).
2.2.7 Faktor Risiko
Prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring meningkatnya usia.
Inkontinensia urin lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-
laki. Usia lanjut seringkali memiliki kondisi medic yang dapat mengganggu
proses berkemih, perubahan status volume dan kesresi urin, atau gangguan
kemampuan untuk ke jamban. Pada orang usia lanjut di masyarakat,
inkontinensia urin dikaitkan dengan depresi, transient ischaemic attacks dan
strok, gagal jantung kongestif, konstipasi dan inkontinensia feses, obesitas,
penyakit paru obstruktif kronik, batuk kronik, dan gangguan mobilitas. Pada
orang usia lanjut di panti, inkontinensia urin dikaitkan dengan terdapatnya
gangguan mobilitas, demensia, depresi, strok, diabetes, dan Parkinson.
Risiko inkontinensia urin meningkat pada perempuan dengan nilai
indeks massa tubuh yang lebih besar, dengan riwayat histerektomi, infeksi
urin, dan trauma perineal. Melahirkan per vaginam akan meningkatkan risiko
inkontinensia urin tipe stress dan tipe campuran.
Penelitian terhadap 5418 usia lanjut di luar negeri mendapatkan tiga
factor risiko yang dapat dimodifikasi dan berhubungan secara bermakna
dengan inkontinensia urin, yaitu infeksi saluran kemih, keterbatasan aktivitas,
dan factor gangguan lingkungan.

22

2.2.8 Penyebab dan Tipe Inkontinensia
Perlu ditekankan sekali lagi bahwa usia lanjut bukan sebagai penyebab
inkontinensia urin. Mengetahui penyebab inkontinensia urin penting dalam
penatalaksanaannya yang tepat. Perlu dibedakan 4 penyebab pokok yaitu
gangguan urologic, neurologis, fungsional/psikologis, dan
iatrogenic/lingkungan. Perlu dibedakan pula antara inkontinensia urin akut dan
kronik (persisten).

2.2.8.1 Inkontinensia Urin Akut
Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan
dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenic yang menghilang jika
kondisi akut teratasi atau problem medikasi dihentikan.
Delirium merupakan gangguan kognitif akut dengan latar
belakang yang beragam seperti dehidrasi, infeksi paru, gangguan
metabolisme dan elektrolit. Delirium menyebabkan proses hambatan
refleks miksi berkurang sehingga menimbulkan inkontinensia yang
bersifat sementara. Usia lanjut dengan kecenderungan mengalami
frekuensi, urgensi, dan nokturia akibat proses menua akan mengalami
inkontinensia kalau terjadi gangguan mobilitas oleh karena berbagai
sebab seperti gangguan musculoskeletal, tirah baring dan perawatan di
rumah sakit. Inflamasi dan infeksi pada saluran kemih bawah akan
meningkatkan kejadian frekuensi, urgensi, dan dapat mengakibatkan
inkontinensia. Kondisi-kondisi yang mengakibatkan poliuria seperti
hiperglikemia, hiperkalsemia, pemakaian diuretika dan minum banyak
dapat mencetuskan inkontinensia akut. Kondisi kelebihan cairan seperti
gagal jantung kongestif, insufisiensi vena tungkai bawah akan
mengakibatkan nokturia dan inkontinensia akut malam hari.
Jangan dilupakan inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki
sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala
dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal kandung
kemih baik pada laki-laki maupun perempuan yang selanjutnya
menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter. Evaluasi terhadap
pemakaian obat penting dalam menentukan kemungkinan penyebab
inkontinensia urin baik akut maupun kronik. Beberapa golongan obat
23

telah diketahui seperti diuretic, anti kolinergik, psikotropik, analgesic-
narkotik, penghambat adrenergic alfa, penghambat calcium channel,
dan lain-lain.

Akronim Untuk Penyebab Reversibel Inkontinensia Urin Akut
D Delirium
R Restricted Mobility, retention
I Infection, Inflamation, Impaction
P Polyuria, pharmaceuficals




Penyebab Inkontinensia Akut
D Delirium or acute confusional state
I Infection, urinary
A Atrophic, Vaginitis or urethritis
P Pharmaceutical
Sedative hypnotic
Loop diuretics
Anti-cholinergic agents
Alpha-adrenergic agonist and antagonist
Calcium channel blochers
P Psychologic disorders : depression
E Endocrine disorders
R Restricted mobility
S Stoolilmpaction


2.2.8.2 Inkontinensia Urin Kronik-Persisten
Secara klini dibagi 4 tipe, namun dalam kenyataannya sering
bertumpang tindih satu dengan yang lainnya. Ada 2 kelainan mendasar
24

pada fungsi saluran kemih bawah yang melatarbelakangi inontinensia
persisten yaitu:
1) Kegagalan menyimpan urin pada kandung kemih akibat
hiperaktif atau menurunnya kapasitas kandung kemih atau
lemahnya tahanan saluran keluar.
2) Kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya
kontraksi otot detrusor atau meningkatnya tahanan aliran
keluar.

2.2.8.2.1 Inkontinensia Stres
Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya
mekanisme penutup. Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine
sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga atau melakukan gerakan
mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk (Andrianto.
1991).
Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam
abdomen dan karena itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra
tidak dapat melawan tekanan ini dan keluarlah urine. Kebanyakan
keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi sesudah
melahirkan. Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian
dalam dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi berganti
pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita yang diperlukan setiap
hari, merupakan ukuran kegawatan keluhan inkontinensia ini
(Andrianto. 1991).
Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai
kelainan pada ginjal dan kandung kemih. Pada pemeriksaan vulva
ternyata bahwa sewaktu mengejan dapat dilihat dinding depan
vagina. Informasi yang penting bisa diperoleh dengan percobaan
Marshall-Marchetti. Penderita diminta untuk berkemih di WC
sampai habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke
dalam kandung kemih. Ditentukan jumlah urine yang tersisa.
Kemudian diikuti oleh pengisian kandung kemih dengan air
sampai penderita merasa ingin berkemih. Dengan demikian
ditentukan kapasitas kandung kemih. Normalnya seharusnya 400-
25

450 ml. Kemudian dicoba menirukan stres yang mengakibatkan
pengeluaran urine dengan meminta penderita batuk. Jika pada
posisi berbaring tidak terjadi pengeluaran urine, maka percobaan
diulang pada posisi berdiri dengan tungkai dijauhkan satu sama
lain (Andrianto. 1991).
Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran
urine pada saat ini. Kemudian dicoba dengan korentang atau
dengan dua jari menekan dinding depan vagina kanan dan kiri
sedemikian rupa ke arah kranial sehingga sisto-uretrokel hilang.
Penderita diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran urine
terhenti maka ini menunjukkan penderita akan dapat disembuhkan
dengan operasi kelainan yang dideritanya. Pemeriksaan ini dapat
ditambah dengan sistometri, sistoskopi serta kalibrasi pada uretra
untuk menyingkirkan kemungkinan stenosis (Andrianto. 1991).
Pada foto rontgen lateral atas sistogram miksi bisa tampak
sudut terbelakang vesikouretra membesar sampai 180
0
atau lebih.
Normalnya sudut ini sekitar 120
0
. Gambaran ini menegaskan
adanya sistokel pada pemeriksaan badan (Andrianto. 1991).



Gambar : Anatomi Sudut Vesikouretra
a. Normal : Sudut vesikouretra 120
0

1. simfisi, 2. Uretra, 3. Vesika, 4. Sudut 120
0

26

b. Patologik : Sudut vesikouretra 180
0

1. simfisi, 2. Uretra, 3. Vesika, 4. Sudut 180
0


Diagnosis dengan pengobatan inkontinensia pada wanita
merupakan masalah interdisipliner antara urologi dan ginekologi.
Di sini pengambilan keputusan yang tepat setidak-tidaknya sama
penting seperti mutu pengobatan. Sering terdapat kelainan
ginekologis yang juga harus diobati. Kebanyakan diagnostik yang
tepat ditegakkan dari kerjasama yang baik antara urolog dan
ginekolog (Andrianto. 1991).
Pada inkontinensia stres yang ringan, misalnya yang
menghabiskan 3-4 pembalut sehari, penderita bisa memperoleh
perbaikan dengan fisioterapi dan senam untuk otot-otot dasar
panggul. Pada prinsipnya pengobatan inkontinensia stres bersifat
operatif. Dikenal berbagai teknik bedah yang semuanya dapat
memberikan perbaikan 80-90 kasus. Semua bentuk operasi ini
berlandaskan pada prinsip yang sama yaitu menarik dinding
vagina ke arah ventral untuk menghilangkan sistokel dan
mengembalikan sudut vesiko-uretral menjadi 120
0
seperti semula.
Ini dapat terlaksana dengan menjahitkan dinding vagina pada
periosteum tulang pubis (teknik Marshall-Marchetti); dengan
mengikatkan dinding vagina lebih lateral pada lig. Pouparti
(teknik Burch); atau dengan bedah sling, menarik uretra ke atas
memakai selembar fasia atau bahan yang tidak dapat diresorpsi
serta diikatkan pada fasia abdominalis (Richardson. 1981).
Biasanya keluhan stres dan desakan bercampur aduk.
Dalam keadaan seperti ini, sangat penting diagnostik yang cermat
yang juga meliputi sistometri dan pengukuran aliran. Apabila
inkontinensia desakan dengan atau tanpa pembentukan sisa urine
diobati dengan salah satu bedah plastik suspensi di atas, maka
pola keluhan semula dapat lebih mengikat (Andrianto. 1991).
Komplikasi terapi bedah inkontinensia stres terutama
terdiri dari pembentukan sisa urine segera dalam fase pascabedah.
27

Biasanya masalah ini bersifat sementara dan dapat diatasi dengan
kateterisasi intermiten, dengan karakter yang ditinggalkan atau
lebih baik dengan drainase kandung kemih suprapubik. Hal ini
memungkinkan pencarian pembentukan sisa urine tanpa
kateterisasi. Komplikasi lain biasanya berasal dari indikasi yang
salah. Perforasi kandung kemih dengan kebocoran urine, infeksi
saluran kemih yang berkepanjangan dan osteitis pubis pada
operasi Marshall-Marchetti-Krantz merupakan komplikasi yang
jarang terjadi (Andrianto. 1991).





2.2.8.2.2 Inkontinensia Desakan
Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara
involunter dihubungkan dengan keinginan yang kuat untuk
mengosongkannya (urgensi) (Purnomo. 2003).

Biasanya terjadi
akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian, otot detusor
berkontraksi tanpa sadar secara spontan maupun karena
dirangsang (misalnya batuk). Kandung kemih dengan keadaan
semacam ini disebut kandung kemih tak stabil. Biasanya
kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini
yaitu urgensi, frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis (Burnnet
LS. 1988).


Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik,
diperkirakan didapatkan pada sekitar 10% wanita, akan tetapi
hanya sebagian kecil yang menimbulkan inkontinensia karena
mekanisme distal masih dapat memelihara inkontinensia pada
keadaan kontraksi yang tidak stabil (Low JA. 1985).
Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya karena
detrusor (urgensi motorik), akan tetapi juga akibat fenomena
sensorik (urgensi sensorik). Urgensi sensorik terjadi karena
adanya faktor iritasi lokal, yang sering dihubungkan dengan
gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis, uretritis dan
infeksi pada vagina dan serviks (Marchant. 1989). Burnett, 1988
28

menyebutkan penyebabnya adalah tumor pada susunan saraf
pusat, sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada
sumsum tulang, tumor/batu pada kandung kemih, sistitis radiasi,
sistitis interstisial. Pengobatan ditujukan pada penyebabnya.
Sedang urgensi motorik lebih sering dihubungkan dengan terapi
suportif, termasuk pemberian sedativa dan antikolinegrik
(Marchant. 1989). Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu
sistometrik.

2.2.8.2.3 Inkontinensia Luapan
Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara
involunter ketika tekanan intravesikal melebihi tekanan maksimal
maksimal uretra akibat dari distensi kandung kemih tanpa adanya
aktifitas detrusor (Shawn.A.S. 2002). Terjadi pada keadaan
kandung kemih yang lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu
penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat naik tinggi sekali
tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya urine menetes lewat
uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes.
Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen,
seperti akibat cedera vertebra, sklerosis multipel, penyakit
serebrovaskular, meningomyelokel, trauma kapitis, serta tumor
otak dan medula spinalis(Shawn.A.S. 2002).
Corak atau sifat gangguan fungsi kandung kemih
neurogen dapat berbeda, tergantung pada tempat dan luasnya luka,
koordinasi normal antara kandung kemih dan uretra berdasarkan
refleks miksi, yang berjalan melalui pusat miksi pada segmen
sakral medula spinalis. Baik otot kandung kemih maupun otot
polos dan otot lurik pada uretra dihubungkan dengan pusat miksi
(Shawn.A.S. 2002).
Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi
bagian penting mekanisme penutupan uretra juga dihubungkan
dengan pusat miksi sakral. Dari pusat yang lebih atas di dalam
otak diberikan koordinasi ke pusat miksi sakral. Di dalam pusat
yang lebih atas ini, sekaligus masuk isyarat mengenai keadaan
29

kandung kemih dan uretra, sehingga rasa ingin miksi disadari
(Purnomo. 2003).
Refleks miksi juga dipengaruhi melalui pleksus
pelvikus oleh persarafan simpatis dari ganglion yang termasuk L
1
,
L
2
, L
3
. Pada lesi, dapat terjadi dua jenis gangguan pada fungsi
kandung kemih yaitu (Andrianto. 1991)

a. Lesi Nuklear (tipe LMN)
Pada lesi di pusat sakral yang menyebabkan rusaknya
lengkung refleks terjadi kelumpuhan flasid pada kandung
kemih dan dasar panggul. Sehingga miksi sebenarnya lenyap.
b. Lesi Supranuklear (Tipe UMN)
Lesi terjadi di atas pusat sakral, dengan pusat miksi
sakral dan lengkung refleks yang tetap utuh, maka hilangnya
pengaruh pusat yang lebih atas terhadap pusat miksi. Miksi
sakral menghilangkan kesadaran atas keadaan kandung kemih.
Terjadi refleks kontraksi kandung kemih yang terarah kepada
miksi yang otomatis tetapi tidak efisien karena tidak ada
koordinasi dari pusat yang lebih atas. Sering kontraksi otot
dasar panggul bersamaan waktunya dengan otot kandung
kemih sehingga miksi yang baik terhalang. Juga kontraksi otot
kandung kemih tidak lengkap sehingga kandung kemih benar-
benar dapat dikosongkan.

30



Gambar 5 : Persarafan kd. Kemih, uretra dan otot-otot periuretral.
Otot polos uretra digambar bertitik ; Otot lurik dasar panggul dan
uretra digambar lurik (Prawirohardjo. 1991)
Terdapat beberapa macam tes untuk memeriksa aktifitas
refleks pada segmen sakral medula spinalis. Bila ada aktifitas
sakral, mungkin lesi jenis supranuklear (Andrianto. 1991) :


a. Refleks anus : kulit di dekat anus dirangsang dengan sebuah
jarum. Kontraksi pada sfingter anus bagian luar membuktikan
bahwa refleks ini ada. Jari yang dimasukan di dalam rektum
merasakan bahwa sfinger anus menegang.
b. Refleks bulbokavernosus : sewaktu klitoris dipijit pada
pemeriksaan rektal terjadi kontraksi otot bulbo dan
iskiokavernosus.
c. Refleks ketok abdomen : ketokan pada dinding perut diatas
simfisis menyebabkan tegangnya sfingter ani. Ini dapat diraba
dengan jari didalam rektrum.
d. Tes air es : kandung kemih dikosongkan dengan kateter, lalu
diisi 60-90 ml air es. Jika dalam waktu satu menit kateter
31

beserta air es tertekan keluar lagi, terbukti adanya gangguan
fungi kandung kemih jenis supranuklear.

2.2.8.2.4 Inkontinensia Fungsional
Inkontinensia urin tipe fungsional terjadi akibat
penurunan berat fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak
dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi
biasanya pada demensia berat, gangguan mobilitas (arthritis
genu, kontraktur), gangguan neurologic dan psikologik.

2.2.8.2.5 Fistula urine
Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat
terjadi langsung pada waktu tindakan operatif seperti seksio sesar,
perforasi dan kranioklasi, dekapitasi, atau ekstraksi dengan
cunam. Dapat juga timbul beberapa hari sesudah partus lama,
yang disebabkan karena tekanan kepala janin terlalu lama pada
jaringan jalan lahir di tulang pubis dan simfisis, sehingga
menimbulkan iskemia dan kematian jaringan di jalan lahir
(Prawirohardjo. 1991)
Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan
vaginal, operasi plastik pervaginam, operasi radikal untuk
karsinoma serviks uteri, semuanya dapat menimbulkan fistula
traumatik. Tes sederhana untuk membantu diagnosis ialah dengan
memasukan metilen biru 30 ml kedalam rongga vesika. Akan
tampak metilen biru keluar dari fistula ke dalam vagina
(Prawirohardjo. 1991).
Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis umumnya
dilakukan operasi melalui vagina (transvaginal), karena lebih
mudah dan komplikasi kecil. Bila ditemukan fistula yang terjadi
pasca persalinan atau beberapa hari pascah bedah, maka
penanganannya harus ditunda tiga bulan. Bila jaringan sekitar
fistula sudah tenang dan normal kembali operasi baru dapat
dilakukan (Prawirohardjo. 1991).

32

2.2.9 Diagnosis
Diagnosis inkontinensia urin bertujuan untuk :
1) Menentukan kemungkinan inkontinensia urin tersebut reversible.
2) Menentukan kondisi yang memerlukan uji diagnostic khusus.
3) Menentukan jenis penanganan operatif, obat, dan perilaku.

Langkah pertama proses diagnosis adalah identifikasi inkontinensia urin
melalui observasi langsung atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan penapis.
Untuk mencapai tujuan diagnosis dilakukan pendekatan yang komprehensif
beberapa aspek: riwayat penyakit, pemeriksaan fisik terarah, urinalisis,
volume residu urin pasca berkemih, dan pemeriksaan penunjang khusus.
Melalui anamnesis kita harus dapat memperkirakan karakteristik
inkontinensia, problem medic dan medikasi yang sedang dijalani, gejala-gejala
lain yang sangat mengganggu, dan dampak inkontinensia urin terhadap
kualitas hidup pasien dan orang yang merawatnya. Pemeriksaan fisik lebih
ditekankan pada pemeriksaan abdomen, rectum, genital dan evaluasi
persyarafan lumbosakral. Pemeriksaan pelvis perempuan penting untuk
menemukan beberapa kelainan seperti prolaps, inflamasi, keganasan. Penilaian
khusus terhadap kobilitas pasien, status mental, kemampuan mengakses toilet
akan membantu penanganan pasien yang holistic. Pencatatan aktivitas
berkemih (bladder record atau voiding diary), baik untuk pasien rawat jalan
maupun rawat inap dapat membantu menentukan jenis dan beratnya
inkontinensia urin serta evaluasi respon terapi. Pengambilan sampel urin untuk
dianalisis dengancara yang benar dapat memberikan informasi tentang adanya
infeksi, sumbatan akibat batu saluran kemih atau tumor. Pemeriksaan residu
urin pasca miksi baik dengan kateter maupun ultrasonografi dapat membantu
menetukan ada tidaknya obstruksi saluran kemih. Bila volume residu urin
sekitar 50ml menunjukkan gambaran inkontinensia tipe stress, sedangkan
volume residu urin lebih dari 200cc menunjukkan kelemahan detrusor atau
obstruksi.

Komponen-komponen Pokok Evaluasi Diagnosis Inkontinesia Urin
1. Semua Pasien
33

Riwayat penyakit termasuk kartu catatan berkemih
Pemeriksaan fisik
Urinalisis
Pengukuran volume residu urin post-miksi
2. Pasien dengan kondisi tertentu
Laboratorium
Kultur urin
Sitologi urin
Gula darah, kalsium darah
Uji fungsi ginjal
USG ginjal
Pemeriksaan ginekologi
Pemeriksaan urologic
Cystouretroskopi
Uji urodinamik
Simple :
- Observasi proses pengosongan kandung kemih
- Uji batuk
- Cystometri simple
Kompleks :
Urin flowmetry
Multichannel cystometogram
Pressure-flow studi
Leak-point pressure
Urethral pressure profilometry
Sphincter electromyography
Video urodynamica



2.2.10 Tatalaksana
34

Telah dikenal beberapa modalitas terapi dalam penatalaksanaan pasien
inkontinensia urin. Umumnya berupa tatalaksana non farmakologis,
farmakologis, maupun pembedahan.
Tidak ada satu modalitas terapi yang dapat mengatasi semua jenis
inkontinesia urin, sebaliknya satu tipe inkontinensia urin diatasi dengan
beberapa modalitas terapi bersama-sama. Spectrum modalitas terapi meliputi :
terapi non farmakologis meliputi terapi suportif non spesifik (edukasi,
manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu); intervensi tingkah laku
(latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih,
latihan kebiasaan); terapi medikamentosa; operasi; dan pemakaian kateter.
Intervensi perilaku meliputi bladder training, prompted voiding, dan latihan
otot dasar panggul. Teknik-teknik canggih yang dapat melengkapi teknik
behavioral ini antara lain stimulasi elektrik, biofeedback, dan neuromodulasi.

Pilihan Terapi untuk Inkontinensia Urin Pasien Geriatri
Modalitas suportif non-spesifik
Edukasi
Memakai subtitusi toilet
Manipulasi lingkungan
Pakaian tertentu dan pads
Modifikasi intaks cairan dan obat
Intervensi behavioral
Bergantung pasien
- Latihan otot pelvis
- Bladder training
- Bladder retraining
Bergantung caregiver
- Penjadwalan miksi
- Latihan kebiasaan
- Prompted voiding
- Obat
Relaksan kandung kemih
Agonis
35

Antagonis
Esterogen
Periuretral infeksi
Operasi
Peralatan mekanik
Urethral plugs, champs
Artificial sphincters
Kateter
Eksternal
Interniten
Menetap


Terapi Primer Untuk berbagai Tipe Inkontinensia Urin
Tipe Inkontinensia Terapi Primer
Stres Latihan Kegel
Agonis adrenergic
Esterogen
Injeksi periuretral
Operasi bagian leher
kandung kemih
Urgensi Relaksan kandung kemih
Esterogen
Bladder training
Luber (overflow) Operasi untuk
menghilangkan sumbatan
Bladder retraining
Kateterisasi intermiten
Kateterisasi menetap
Fungsional Intevensi behavioral
Manipulasi lingkungan
Pads

36

Obat-obat yang Dipakai Untuk Inkontinensia Urin
Obat Dosis Tipe
Inkontinesia
Efek samping
Hyoscamin 3 x 0,125 mg Urgensi atau
Campuran
Mulut kering,
mata kabur,
glaukoma,
delirium,
konstipasi
Tolterodin 2 x 4 mg Urgensi dan OAB Mulut kering,
konstipasi
Imipramin 3 x 25-50 mg Urgensi Delirium,
hipotensi
ortostatik
Pseudoephedrin 3 x 30-60 mg Stres Sakit kepala,
takikardi, tekanan
darah tinggi
Topikal esterogen Urgensi dan stres Iritasi lokal
Doxazosin 4 x 1-4 mg BPH dan urgensi Hipotensi
postural
Tamsulosin 1 x 0,4-0,8 mg
Terazosin 4 x 1-5 mg



2.3 Inkontinensia Alvi
2.3.1 Pendahuluan
Inkontinensia alvi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup
serius pada pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia alvi ini lebih sedikit
dibandingkan pada kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar
negeri menyebutkan bahwa 30-50% pasien geriatri yang mengalami inkontinensia
urin juga mengalami inkontinensia alvi. Inkontinensia alvi merupakan hal yang
sangat mengganggu bagi penderitannya, sehingga harus diupayakan mencari
penyebabnya dan penatalaksanaannya dengan baik. Seiring dengan meningkatnya
angka kejadian inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi
pula peningkatan angka kejadian inkontinensia alvi. Untuk itu diperlukan
penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia alvi,
37

agar tidak menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.

2.3.2 Pengaturan Defekasi Normal
Defekasi merupakan proses fisiologis yang melibatkan (Pranarka, 2000):
- Koordinasi SSP dan perifer serta sistem refleks
- Kontraksi yang baik dari otot-otot polos dan seran lintang yang terlibat
- Kesadaran dan kemampuan untuk mencapai tempat buang air besar
Hal penting untuk mekanisme pengaturan buang air besar, yang bertugas
mempertahankan penutupan yang baik dari saluran anus, yaitu (Brocklehurst, 1987
dalam Pranarka, 2000):
a. Sudut ano-rektal, yang dipertahankan pada posisi paling ideal, dibawah 100
oleh posisi otot-otot pubo-rektal.
b. Sfingter anus eksterna yang melindungi terutama terhadap kenaikan mendadak
dari tekanan intra-abdominal, misalnya batuk, bersin, olahraga, dan sebagainya.
c. Bentuk anus sendiri yang seakan menguncup berbentuk katup, dengan otot-otot
serta lipatam-lipatan mukosa yang saling mendukung.

2.3.3 Gambaran klinis
Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000):
1. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes.
2. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari, dipakaian
atau ditempat tidur.
Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini
dapat mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk
diagnosis.
Faktor yang Memengaruhi Proses Defekasi
a. Usia
Setiap tahun perkembangan/usia memiliki kemampuan mengontrol
defekasi yang berbeda. Bayi belum memiliki kemampuan mengontrol secara
penuh dalam buang air besar, sedangkan orang dewasa sudah memiliki
kemampuan mengontrol secara penuh, dan pada usia lanjut proses
pengontrolan tersebut mengalami penurunan.


38

b. Diet
Diet atau pola jenis makanan yang dikonsumsi dapat memengaruhi
proses defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serat tinggi dapat
membantu proses percepatan dan jumlah yang dikonsumsi pun dapat
memengaruhinya.

c. Asupan Cairan
Pemasukan cairan yang kurangdalam tubuh membuat defekasi menjadi
keras oleh karena proses absorpsi kurang sehingga dapat memengaruhi
kesulitan proses defekasi.

d. Aktivitas
Aktivitas dapat memengaruhi karena melalui aktivitas tonus otot
abdomen, pelvis, dan diafragma dapat membantu kelancaran proses defekasi.

e. Pengobatan
Pengobatan dapat memengaruhi proses defekasi, seperti penggunaan
laksansia atau antasida yang terlalu sering.

f. Gaya Hidup
Hal ini dapat terlihat pada seseorang yang memiliki gaya hidup
sehat/kebiasaan melakukan buang air besar di tempat yang bersih atau toilet.

g. Penyakit
Biasanya penyakit-penyakit yang berhubungan langsung sistem
pencernaan, seperti gastrointeritis atau penyakit infeksi lainnya.

h. Nyeri
Adanya nyeri dapat memengaruhi kemampuan/keinginan untuk
berdefekasi, seperti nyeri pada beberapa kasus hemoroid dan episiotomi.

i. Kerusakan Sensoris dan Motoris
Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat memengaruhi proses
defekasi karena dapat menimbulkan proses penurunan stimulasi sensoris dalam
berdefekasi. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh kerusakan pada tulang
belakang atauu kerusakan saraf lainnya.


2.3.4 Jenis-Jenis Inkontinensia Alvi dan Pengelolaannya
Berdasarkan etiologinya, inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4
kelompok (Pranarka, 2000):
1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
Konstipasi bila berlangsung lama menyebabkan sumbatan/impaksi dari
massa feses yang keras (skibala). Skibala akan menyumbat lubang bawah anus
dan menyebabkan perubahan besar sudut ano-rektal. Kemampuan sensor
menumpul, tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya
39

feses yang cair akan merembes keluar. Skibala juga mengiritasi mukosa rectum,
kemudian terjadi produksi cairan dan mukus, yang keluar melalui sela-sela dari
feses yang impaksi, yang menyebabkan inkontinensia alvi.
Langkah pertama penatalaksanaan adalah pemberian diit tinggi serat
dengan cairan yang cukup dan meningkatkan aktivitas/mobilitas. Saat yang
teratur untuk buang air besar dengan menyesuaikan dengan refleks gaster-kolon
yang timbul beberapa menit setelah selesai makan harus dimanfaatkan, dengan
mengatur posisi buang air besar pada waktu tersebut. Tempat buang air besar
yang tenang dan pribadi juga akan mendukung.

2. Inkontinensia alvi simtomatik
Dapat merupakan penampilan klinis dari berbagai kelainan patologik
yang dapat menyebabkan diare. Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan
inkontinensia alvi simtomatik ini antara lain gastroenteritis, diverticulitis,
proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulseratif, karsinoma kolon/rectum. Penyebab
lain misalnya kelainan metabolik, contohnya diabetes mellitus, kelainan
endokrin, seperti tirotoksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi
operasi haemorrhoid yang kurang berhasil, dan prolapsis rekti.
Pengobatan inkontinensia alvi simtomatik adalah terhadap kelainan
penyebabnya, dan bila tidak dapat diobati dengan cara tersebut, maka
diusahakan terkontrol dengan obat-obatan yang menyebabkan konstipasi.

3. Inkontinensia alvi neurogenik
Terjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari korteks serebri saat
terjadi regangan/distensi rectum. Distensi rectum, akan diikuti relaksasi sfingter
interna. Pada orang dewasa normal, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rectum
karena ada hambatan/inhibisi dari pusat di korteks serebri. Bila buang air besar
tidak memungkinkan, hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari
terhadap kontraksi rectum dan sfingter eksternanya. Pada lanjut usia,
kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan
hilang.
Karakteristik tipe ini tampak pada penderita dengan infark serebri
multiple, atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua
40

potong feses yang sudah terbentuk di tempat tidur, dan biasanya setelah minum
panas atau makan.
Pengelolaan inkontinensia alvi neurogenik, dengan menyiapkan
penderita pada suatu komodo (commode), duduk santai dengan ditutup kain
sebatas lutut, kemudian diberi minuman hangat, relaks, dan dijaga
ketenangannya sampai feses keluar.

4. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal
Terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot
seran lintang. Pada tipe ini, terjadi pengurangan unit-unit yang berfungsi
motorik pada otot-otot daerahh sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini
menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai
menurunnya tonus anus. Hal ini berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan
tekanan intra-abdomen dan prolaps dari rectum. Pengelolaan tipe ini sebaiknya
diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya.

















41

BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Tempat Pelaksanaan
Posyandu Lansia di Kota Palembang

3.2 Waktu Pelaksanaan
Hari dan Tanggal :
Jam :

3.3 Subjek Tugas Mandiri
Mengindentifikasi masalah geriatri (inkontinensia) di Posyandu Lansia

3.4 Langkah Kerja
1. Membuat proposal
2. Melakukan konsultasi kepada pembimbing Tugas Pengenalan Profesi
3. Meminta izin kepada petugas Posyandu secara administratif
4. Melakukan Identifikasi Masalah Geriatri (inkontinensia) di Posyandu Lansia di
Kota Palembang.
5. Mengumpulkan hasil kerja lapangan untuk mendapatkan suatu kesimpulan
6. Membuat laporan hasil Tugas Pengenalan Profesi dari data yang sudah didapatkan

3.5 Pengumpulan data
Melakukan Identifikasi Masalah Geriatrti (inkontinensia) di Posyandu Lansia
di Kota Palembang.



42

3.6 Pengolahan data
Analisis deskriptif yaitu pengolahan data yang dilakukan dengan cara
membandingkan teori dan data di lapangan.


Palembang, Juni 2013


Mahasiswa Blok XIX Kelompok 2




Diketahui dan Disetujui
Pembimbing



dr. RA. Tanzila














43

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
A. Perencanaan Tahunan di Puskesmas
Upaya kesehatan Wajib:
1. Promosi kesehatan
a. Penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat pada rumah tangga, institusi
pendidikan (sekolah), institusi sarana kesehatan, institusi TTU dan institusi
tempat kerja.
b.Bayi mendapat ASI ekslusif
c. Mendorong terbentuknya Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM) ,
seperti: Posyandu madya dan posyandu purnama
d.Penyuluhan napza

2. Kesehatan Lingkungan
a. Penyehatan Lingkungan
Inspeksi sanitasi sarana air bersih
Pembinaan kelompok masyarakat / kelompok pemakai air

b. Hyegene dan Sanitasi Makanan dan Minuman
Inspeksi sanitasi tempat pengelolaan makanan
Pembinaan tempat pengelolaan makanan

c. Penyehatan tempat pembuangan sampah dan limbah
Inspeksi sanitasi sarana pembuangan sampah dan limbah

d. Penyehatan lingkungan pemukiman dan jamban keluarga
Pemeriksaan panyehatan lingkungan pada perumahan

e. Pengawasan sanitasi tempat-tempat umum
Inspeksi sanitasi di tempat-tempat umum
Sanitasi tempat-tempat umum memenuhi syarat

44

f. Pengamanan tempat pengelolaan pestisida
Inspeksi sanitasi sarana pengelolaan pastisida
Pembinaan tempat pengelolaan pestisida

g. Pengendalian vektor
Pengeawasan tempat-tempat potensial perindukan vektor di pemukiman
penduduk dan sekitarnya.
Pemberdayaan sasaran / kelompok/ pokja potensial dalam upaya
pemberantasan tempat perindukan vektor penyakit di pemukiman penduduk
dan sekitarnya
Desa/lokasi potensial yang mendapat intervensi pemberantasan vektor
penyakit menular.

3. Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana
a. Kesehatan Ibu
Pelayanan kesehatan bagi ibu hamil sesuai standar, untuk kunjungan
lengkap
Drop out K4-K1
Pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan termasuk pendampingan
persalinan dukun oleh tenaga kesehatan sesuai standar
Pelayanan nifas lengkap (ibu dan neonatus) sesuai standar (KN3)
Pelayanan dan atau rujukan ibu hamil resiko tinggi / komplikasi

b. Kesehatan bayi
Penanganan dan atau rujukan neonatus resiko tinggi
Cakupan BLBR ditangani

c. Upaya kesehatan balita dan anak pra sekolah
Pelayanan deteksi dan stimulasi dini tumbuh kembang balita (kontak
pertama)
Pelayanan deteksi dan stimulasi dini tumbuh kembang anak pra sekolah

d. Upaya kesehatan anak usia sekolah dan remaja
45

Pelayanan kesehatan anak sekolah dasar oleh tenaga kesehatan dan tenaga
terlatih / guru UKS / dokter lesil
Cakupan pelayanan kesehatan remaja

e. Pelayanan keluarga berencana
Akseptor KB aktif di puskesmas
Akseptor aktif MKET di Puskesmas
Akseptor MKET dengan komplikasi
Akseptor MKET dengan kegagalan

4. Upaya perbaikan gizi masyarakat
Pemberian kapsul vitamin A (dosis 200.000 SI) pada balita 2 kali / tahun
Pemberian tablet besi (90 tablet) pada ibu hamil
Pemberian PMT pemulihan balita gizi buruk dan gakin
Balita naik berat badannya
Balita bawah garis merah

5. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
a. TB Paru
Pengobatan penderita TB paru (DOTS) BTA positif
Pengobatan penderita TB paru (DOTS) BTA negatig, rontgen positif

b. Malaria
Pemeriksaan sediaan darah (SD) pada penderita malaria klinis
Penderita malaria klinis yang diobati
Penderita (-) positif malaria yang diobati sesuai standar
Penderita yang terdeteksi malaria berat di Puskesmas yang dirujuk ke RS

c. Kusta
Penemuan tersangka penderita kusta
Pengobatan penderita kusta
Pemeriksaan kontak penderita

46

d. Pelayanan imunisasi
Imunisasi DPT1 pada bayi
Drop out PDT 3- campak
Imunisasi HB1 < 7 hari
Imunisasi campak pada bayi
Imunisasi DT pada anak kelas 1 SD
Imunisasi TT pada anak SD kelas 2 dan 3

e. Diare
Penemuan kasus diare di puskesmas dan kader
Kasus diare ditangani oleh puskesmas dan kader dengan oral redidrasi
Kasus diare ditangani dengan rehidrasi intravena


f. ISPA
Penemuan kasus pneumonia dan pneumonia berat oleh puskesmas dan
kader
Jumlah kasus pneumonia dan pneumonia berat yang ditangani
Jumlah kasus pneumonia berat / dengan tanda bahaya yang ditangani /
dirujuk

g. Demam berdarah Dengeu (DBD)
Angka bebas jentik (ABJ)
Cakupan penyelidikan epidemiolog (PE)

h. Pencegahan dan penanggulangan PMS dan HIV/AIDS
Kasus PMS yang diobati
Klien yang mendapatkan penanganan HIV/AIDS

i. Pencegahan dan penanggulangan rabies
Cuci luka terhadap kasus gigitan HPR
Vaksinasi terhadap kasus gigitan HPR yang berindikasi

47

j. Pencegahan dan penanggulangan filariasis dan schistozomiasis
Kasus filariasis yang ditangani
Persentase pengobatan selektif schistozomiasis
Persentase pengobatan selekstif F. Buski

6. Upaya pengobatan
a. Pengobatan
Kunjungan rawat jalan umum
Kunjungan rawat jalan gigi


b. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan hemoglobin pada ibu hamil
Pemeriksaan darah trombosit pada tersangka DBD
Pemeriksaan darah malaria
Pemeriksaan test kehamilan
Pemeriksaan sputum TB
Pemeriksaan urine protein pada ibu hamil

Upaya Kesehatan Pengembangan:
1. Puskesmas dengan rawat inap
a. BOR puskesmas tempat tidur
b. Hari rawat rata-rata (ALOS) di puskesmas tempat tidur
c. Asuhan keperawatan individu pada pasien rawat inap

2. Upaya kesehatan usia lanjut
a. Pembinaan kelompok usia lanjut sesuai standar
b. Pemantauan kesehatan pada anggota kelompok usia lanjut yang dibina sesuai
standar

3. Upaya kesehatan mata / pencegahan kebutaan
a. Penemuan kasus di masyarakat dan puskesmas melalui pemeriksaan visus /
refraksi
48

b. Penemuan kasus penyakit mata di puskesmas
c. Penemuan kasus buta katarak pada usis > 45 tahun
d. Pelayanan operasi katarak di puskesmas

4. Upaya kesehatan Telingan / pencegahan gangguan pendengaran
a. Penemuan kasus dengan rujukan spesialis di puskesmas melalui pemeriksaan
fungsi pendengaran
b. Pelayanan tindakan / operatif oleh spesialis di Puskesmas
c. Kejadian komplikasi operasi
5. Kesehatan Jiwa
a. Pemberdayaan kelompok masyarakat khusus dalam upaya penemuan dini dan
rujukan kasus gangguan jiwa
b. Penemuan dan penanganan perilaku, gangguan jiwa, masalah napza dll, dari
rujukan kader dan masyarakat
c. Penanganan kasus kesehatan jiwa melalui rujukan ke RS / spesialis
d. Deteksi dan penanganan kasus jiwa (gangguan perilaku, gangguan jiwa,
gangguan psikosomatik, masalah napza dll, yang datang berobat ke puskesmas

6. Kesehatan olahraga
a. Pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan kader
b. Pembinaan kelompok potensial / klub dalan kesehatan olahraga
c. Pemeriksaan kesegaran jasmani anak sekolah
d. Pemeriksaan kesegaran jasmani pada atlet

7. Pencegahan dan penanggulangan penyakit gigi
a. Pembinaan kesehatan gigi di posyandu
b. Pembinaan kesehatan gigi pada TK
c. Pembinaan dan bimbingan sikat gigi massal pada SD/MI
d. Perawatan kesehatan gigi pada SD/MI
e. Murid SD/MI mendapat perawat kesehatan gigi
f. Gigi tetap yang dicabut
g. Gigi tetap yang ditambal permanen

8. Perawatan kesehatan masyarakat
49

a. Kegiatan asuhan keperawatan pada keluarga
b. Kegiatan asuhan keperawatan pada kelompok masyarakat
c. Pemberdayaan dalam upaya kemandirian pada keluarga lepas asuh
d. Pemberdayaan dalam upaya kemandirian pada kelompok lepas asuh

9. Kesehatan tradisional
a. Pembinaan TOGA dan pemanfaatannya pada sasaran masyarakat
b. Pembinaan pengobatan tradisional yang menggunakan tanaman obat
c. Pembinaan pengobatan tradisional dalam keterampilan
d. Pembinaan pengobatan tradisional lainnya.

10. Bina kesehatan kerja
a. Pos UKK berfungsi baik
b. Pos UKK menuju SIMASKES
c. Pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan kepada pekerja di Pos UKK


2. Rekapitulasi Perhitungan Cakupan Komponen Kegiatan Kinerja Puskesmas
Merdeka Palembang Tahun 2012

No. Komponen kegiatan Hasil cakupan
(%)
1. Upaya Promosi Kesehatan 79,27
2. Upaya kesehatan Lingkungan 62,4
3. Upaya kesehatan Ibu dan anak termasuk keluarga
berencana
79,8
4. Upaya perbaikan gizi masyarakat 87,8
5. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit
menular
68,51
6. Upaya pengobatan 87
7. Upaya kesehatan pengembangan 68,3



50


3. Permasalahan yang terjadi di Puskesmas Merdeka Tahun 2012
1. Banyaknya beban kerja bagi satu petugas
2. Anggaran kadang kurang mencukupi
3. Alat yang sudah dibeli kadang dapat dari dinas juga
4. Penggunaan obat kadang kurang rasional
5. Sarana yang ada kurang perawatan
6. Bila ada petugas yang cuti atau sakit
7. Biaya pemasukan kurang
8. Alat canggih, SDM tidak tersedia
9. Kerusakan sarana yang ada
10. Pendistribusian obat terlambat


4. Posyandu Seruni
Dari peninjauan yang dilakukan di Posyandu Seruni, 5 langkah kegiatan yang
tercantum diteori dilakukan hanya pada 2 meja sekaligus. Jumlah kadernya dulu
sebanyak 70-80 orang, namun sekarang hanya 6 karena posyandu di Kota Palembang
sudah banyak. Posyandu ini sudah berdiri selama 20 tahun, mencakup lebih dari 5 RT
dan melakukan kegiatan setiap bulan pada minggu ke-3 namun dapat berubah
jadwalnya sesuai kesepakatan. Dana yang diperoleh berasal dari donator masyarakat
sedangkan obat-obatan berasal dari puskesmas. Kader-kader yang bertugas diposyandu
ini mendapatkan pelatihan dari dinkes.


4.2 Pembahasan
4.2.1 Manajemen Puskesmas
Dari peninjauan yang dilakukan di Puskesmas merdeka, didapatkan bahwa
puskesmas merdeka telah melakukan upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan
pengembangan. Sesuai yang terdapat di teori. Masing-masing komponen, baik
upaya kesehatan wajib maupun upaya kesehatan pengembangan, terdiri dari
berbagai kegiatan. Yang tercantum pada hasil. Upaya kesehatan tersebut
merupakan rencana puskesmas merdeka pada tahun 2012.
Untuk penilaian kinerja puskesmas, puskesmas merdeka telah membuat
rekapitulasi dari cakupan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan manajemen
51

puskesmas yang merupakan komponen penilaian kinerja puskesmas. Namun kami
tidak mendapatkan data mutu pelayanan puskesmas. Berdasarkan teori yang
didapat, belum semua kegiatan pelayanan dipuskesmas dapat dinilai, karena
indikator serta mekanisme penilaiannya belum ditentukan.
Masalah yang dihadapi oleh puskesmas ini adalah kurangnya dana serta
tenaga kerja yang kompeten, keterlambatan pendistribusian obat, kerusakan
sarana, dll.



















BAB V
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
A. Perencanaan Tahunan di Puskesmas
Upaya kesehatan Wajib:
1. Promosi kesehatan
52

e. Penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat pada rumah tangga, institusi
pendidikan (sekolah), institusi sarana kesehatan, institusi TTU dan institusi
tempat kerja.
f. Bayi mendapat ASI ekslusif
g.Mendorong terbentuknya Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM) ,
seperti: Posyandu madya dan posyandu purnama
h.Penyuluhan napza

2. Kesehatan Lingkungan
a. Penyehatan Lingkungan
Inspeksi sanitasi sarana air bersih
Pembinaan kelompok masyarakat / kelompok pemakai air

b. Hyegene dan Sanitasi Makanan dan Minuman
Inspeksi sanitasi tempat pengelolaan makanan
Pembinaan tempat pengelolaan makanan

c. Penyehatan tempat pembuangan sampah dan limbah
Inspeksi sanitasi sarana pembuangan sampah dan limbah

d. Penyehatan lingkungan pemukiman dan jamban keluarga
Pemeriksaan panyehatan lingkungan pada perumahan


e. Pengawasan sanitasi tempat-tempat umum
Inspeksi sanitasi di tempat-tempat umum
Sanitasi tempat-tempat umum memenuhi syarat

f. Pengamanan tempat pengelolaan pestisida
Inspeksi sanitasi sarana pengelolaan pastisida
Pembinaan tempat pengelolaan pestisida

g. Pengendalian vektor
53

Pengeawasan tempat-tempat potensial perindukan vektor di pemukiman
penduduk dan sekitarnya.
Pemberdayaan sasaran / kelompok/ pokja potensial dalam upaya
pemberantasan tempat perindukan vektor penyakit di pemukiman penduduk
dan sekitarnya
Desa/lokasi potensial yang mendapat intervensi pemberantasan vektor
penyakit menular.

3. Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana
a. Kesehatan Ibu
Pelayanan kesehatan bagi ibu hamil sesuai standar, untuk kunjungan
lengkap
Drop out K4-K1
Pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan termasuk pendampingan
persalinan dukun oleh tenaga kesehatan sesuai standar
Pelayanan nifas lengkap (ibu dan neonatus) sesuai standar (KN3)
Pelayanan dan atau rujukan ibu hamil resiko tinggi / komplikasi

b. Kesehatan bayi
Penanganan dan atau rujukan neonatus resiko tinggi
Cakupan BLBR ditangani

c. Upaya kesehatan balita dan anak pra sekolah
Pelayanan deteksi dan stimulasi dini tumbuh kembang balita (kontak
pertama)
Pelayanan deteksi dan stimulasi dini tumbuh kembang anak pra sekolah

d. Upaya kesehatan anak usia sekolah dan remaja
Pelayanan kesehatan anak sekolah dasar oleh tenaga kesehatan dan tenaga
terlatih / guru UKS / dokter lesil
Cakupan pelayanan kesehatan remaja

e. Pelayanan keluarga berencana
54

Akseptor KB aktif di puskesmas
Akseptor aktif MKET di Puskesmas
Akseptor MKET dengan komplikasi
Akseptor MKET dengan kegagalan

4. Upaya perbaikan gizi masyarakat
Pemberian kapsul vitamin A (dosis 200.000 SI) pada balita 2 kali / tahun
Pemberian tablet besi (90 tablet) pada ibu hamil
Pemberian PMT pemulihan balita gizi buruk dan gakin
Balita naik berat badannya
Balita bawah garis merah


5. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
a. TB Paru
Pengobatan penderita TB paru (DOTS) BTA positif
Pengobatan penderita TB paru (DOTS) BTA negatig, rontgen positif

b. Malaria
Pemeriksaan sediaan darah (SD) pada penderita malaria klinis
Penderita malaria klinis yang diobati
Penderita (-) positif malaria yang diobati sesuai standar
Penderita yang terdeteksi malaria berat di Puskesmas yang dirujuk ke RS

c. Kusta
Penemuan tersangka penderita kusta
Pengobatan penderita kusta
Pemeriksaan kontak penderita

d. Pelayanan imunisasi
Imunisasi DPT1 pada bayi
Drop out PDT 3- campak
Imunisasi HB1 < 7 hari
55

Imunisasi campak pada bayi
Imunisasi DT pada anak kelas 1 SD
Imunisasi TT pada anak SD kelas 2 dan 3

e. Diare
Penemuan kasus diare di puskesmas dan kader
Kasus diare ditangani oleh puskesmas dan kader dengan oral redidrasi
Kasus diare ditangani dengan rehidrasi intravena

f. ISPA
Penemuan kasus pneumonia dan pneumonia berat oleh puskesmas dan
kader
Jumlah kasus pneumonia dan pneumonia berat yang ditangani
Jumlah kasus pneumonia berat / dengan tanda bahaya yang ditangani /
dirujuk

g. Demam berdarah Dengeu (DBD)
Angka bebas jentik (ABJ)
Cakupan penyelidikan epidemiolog (PE)

h. Pencegahan dan penanggulangan PMS dan HIV/AIDS
Kasus PMS yang diobati
Klien yang mendapatkan penanganan HIV/AIDS

i. Pencegahan dan penanggulangan rabies
Cuci luka terhadap kasus gigitan HPR
Vaksinasi terhadap kasus gigitan HPR yang berindikasi

j. Pencegahan dan penanggulangan filariasis dan schistozomiasis
Kasus filariasis yang ditangani
Persentase pengobatan selektif schistozomiasis
Persentase pengobatan selekstif F. Buski

56

6. Upaya pengobatan
a. Pengobatan
Kunjungan rawat jalan umum
Kunjungan rawat jalan gigi
b. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan hemoglobin pada ibu hamil
Pemeriksaan darah trombosit pada tersangka DBD
Pemeriksaan darah malaria
Pemeriksaan test kehamilan
Pemeriksaan sputum TB
Pemeriksaan urine protein pada ibu hamil

Upaya Kesehatan Pengembangan:
1. Puskesmas dengan rawat inap
a. BOR puskesmas tempat tidur
b. Hari rawat rata-rata (ALOS) di puskesmas tempat tidur
c. Asuhan keperawatan individu pada pasien rawat inap

2. Upaya kesehatan usia lanjut
a. Pembinaan kelompok usia lanjut sesuai standar
b. Pemantauan kesehatan pada anggota kelompok usia lanjut yang dibina sesuai
standar

3. Upaya kesehatan mata / pencegahan kebutaan
a. Penemuan kasus di masyarakat dan puskesmas melalui pemeriksaan visus /
refraksi
b. Penemuan kasus penyakit mata di puskesmas
c. Penemuan kasus buta katarak pada usis > 45 tahun
d. Pelayanan operasi katarak di puskesmas

4. Upaya kesehatan Telingan / pencegahan gangguan pendengaran
a. Penemuan kasus dengan rujukan spesialis di puskesmas melalui pemeriksaan
fungsi pendengaran
57

b. Pelayanan tindakan / operatif oleh spesialis di Puskesmas
c. Kejadian komplikasi operasi
5. Kesehatan Jiwa
a. Pemberdayaan kelompok masyarakat khusus dalam upaya penemuan dini dan
rujukan kasus gangguan jiwa
b. Penemuan dan penanganan perilaku, gangguan jiwa, masalah napza dll, dari
rujukan kader dan masyarakat
c. Penanganan kasus kesehatan jiwa melalui rujukan ke RS / spesialis
d. Deteksi dan penanganan kasus jiwa (gangguan perilaku, gangguan jiwa,
gangguan psikosomatik, masalah napza dll, yang datang berobat ke puskesmas

6. Kesehatan olahraga
a. Pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan kader
b. Pembinaan kelompok potensial / klub dalan kesehatan olahraga
c. Pemeriksaan kesegaran jasmani anak sekolah
d. Pemeriksaan kesegaran jasmani pada atlet

7. Pencegahan dan penanggulangan penyakit gigi
a. Pembinaan kesehatan gigi di posyandu
b. Pembinaan kesehatan gigi pada TK
c. Pembinaan dan bimbingan sikat gigi massal pada SD/MI
d. Perawatan kesehatan gigi pada SD/MI
e. Murid SD/MI mendapat perawat kesehatan gigi
f. Gigi tetap yang dicabut
g. Gigi tetap yang ditambal permanen

8. Perawatan kesehatan masyarakat
a. Kegiatan asuhan keperawatan pada keluarga
b. Kegiatan asuhan keperawatan pada kelompok masyarakat
c. Pemberdayaan dalam upaya kemandirian pada keluarga lepas asuh
d. Pemberdayaan dalam upaya kemandirian pada kelompok lepas asuh

9. Kesehatan tradisional
a. Pembinaan TOGA dan pemanfaatannya pada sasaran masyarakat
58

b. Pembinaan pengobatan tradisional yang menggunakan tanaman obat
c. Pembinaan pengobatan tradisional dalam keterampilan
d. Pembinaan pengobatan tradisional lainnya.

10. Bina kesehatan kerja
a. Pos UKK berfungsi baik
b. Pos UKK menuju SIMASKES
c. Pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan kepada pekerja di Pos UKK

Perencanaan Puskesmas di Puskesmas Merdeka sesuai dengan teori. Namun kegiatan dari upaya
kesehatan wajib dan kesehatan pengembangannya beragam.

B. Penilaian Kinerja Puskesmas
Rekapitulasi Perhitungan Cakupan Komponen Kegiatan Kinerja Puskesmas
Merdeka Palembang Tahun 2012

No. Komponen kegiatan Hasil cakupan
(%)
1. Upaya Promosi Kesehatan 79,27
2. Upaya kesehatan Lingkungan 62,4
3. Upaya kesehatan Ibu dan anak termasuk keluarga
berencana
79,8
4. Upaya perbaikan gizi masyarakat 87,8
5. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit
menular
68,51
6. Upaya pengobatan 87
7. Upaya kesehatan pengembangan 68,3

Puskesmas Merdeka telah melakukan penilaian kerja puskesmas ditandai dengan adanya tabel
rekapitulasi cakupan hasil kegiatan serta pelaksanaan manajemen puskesmas. Yang sesuai dengan teori
bahwa ruang lingkup penilaian kerja pukesmas itu adalah cakupan hasil pelayanan kesehatan, pelaksaan
manajemen puskesmas dan mutu pelayanan puskesmas. Namun poin yang terakhir tidak kami temukan,
59

karena sesuai dengan teori bahwa belum semua pelayanan kesehatan dapat dinilai, sebab indikator serta
mekanisme penilaiannya belum ditetapkan.

C. Permasalahan yang terjadi di Puskesmas Merdeka Tahun 2012
1. Banyaknya beban kerja bagi satu petugas
2. Anggaran kadang kurang mencukupi
3. Alat yang sudah dibeli kadang dapat dari dinas juga
4. Penggunaan obat kadang kurang rasional
5. Sarana yang ada kurang perawatan
6. Bila ada petugas yang cuti atau sakit
7. Biaya pemasukan kurang
8. Alat canggih, SDM tidak tersedia
9. Kerusakan sarana yang ada
10. Pendistribusian obat terlambat

D. Pelayanan Kesehatan di Posyandu
Dari hasil peninjauan yang dilakukan di Posyandu Seruni penyelenggaraan
kegiatan 5 langkah yaitu pendaftaran, penimbangan, pengisian KMS, penyuluhan,
serta pelayanan kesehatan dilaksanakan sekaligus dalam 2 meja. Yang pada teori
seharusnya dilakukan pada 5 meja dan oleh 5 kader sesuai tugasnya.
Posyandu Seruni memiliki 6 kader, yang dulunya 70-80 kader. Hal ini terjadi
karena posyandu di kota palembang sudah banyak. Posyandu seruni melakukan
kegiatan rutin setiap bulan pada minggu ke-3, namun bisa berubah sewaktu-waktu
sesuai kesepatan. Hal ini berarti posyandu seruni termasuk Posyandu Madya karena
kadernya lebih dari 5 orang dan telah melakukan lebih dari 8 kali kegiatan dalam 1
tahun sesuai dengan stratifikasi posyandu yang ada di teori.


1.2 Saran
1. Untuk Puskesmas Merdeka disarankan agar mempertahankan serta meningkatkan kinerja yang sudah ada,
terus mencari solusi agar permasalahan yang masih ada dapat terselesaikan.
2. Bagi dinas kesehatan hendaknya melakukan koordinasi dengan pihak puskesmas dalam pengadaan alat-
alat agar dana puskesmas tidak mubazir untuk membeli peralatan yang sudah disediakan.
60

3. Untuk Tenaga Kesehatan, hendaknya disiplin dan professional dalam menjalankan
tugas.
4. Kepada kader posyandu disarankan untuk melakukan kegiatan 5 langkah dalam 5
meja agar kegiatan tersebut efektif dan efisien.

























BAB VI
LAMPIRAN
















61




























DAFTAR PUSTAKA

1. Soegianto Benny. 2007. Kebijakan Dasar Puskesmas.
http://arali2008.foles.wordpress.com/2008/08/program-puskesmas.pdf Diakses 24 April
2013
2. Azwar, Azrul. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Tangerang: Binarupa Aksara
Publisher.
3. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30695/4/chapter%20II.pdf Diakses 24
April 2013
4. Sutisna Endang. 2009 . Manajemen Kesehatan.
http://galeri.blog.fisip.uns.ac.id/files/2011/12/microsoft-word-buku-manajemen-
kesehatan-revisi-_dr.-endang-sutisna_.pdf Diakses 24 April 2013
62

5. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19563/4/chapter%20II.pdf Diakses 23
April 2013
6. Zulkifli. 2003. Posyandu dan Kader Kesehatan.
http://repository.ac.id/bitstream/123456789/3753/1/fkm-zulkifli1.pdf Diakses 23 April
2013
7. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta :
Kementrian Kesehatan RI
http://www.promkes.depkes.go.id/index.php/mediaroom/pedoman-dan-
buku?download=2:pedoman-umum-posyandu. Diakses 23 April 2013
8. http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FIKESSMAS/107313007/BAB%20II.pdf Diakses 23
April 2013
9. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/42531/bab%20II%20A90DTA.pdf
?sequence=4. Diakses 24 April 2013
10. http://alfredsaleh.files.wordpress.com/2007/06/kebj-dasar-pusk-280507.pdf Diakses 24
April 2013
11. http://ners.unair.ac.id/materikuliah/puskesmas.pdf Diakses 24 april 2013
12. Indonesia Depkes.1987. Posyandu Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta
13. Sembiring, Nasap. Posyandu Sebagai Peran Serta Masyarakat. Universitas Sumatera
Utara.
http://library.usu.ac.id/download/fkm/biostatistik-nasap.pdf Diakses 23 April 2013
14. Notoadmodjo, Soekidjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta : PT.
Rineka Cipta
15. Farich, Achmad.2012. Manajemen Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta
16. Indonesia Depkes. 1986. Pedoman Microplanning. Dit. Jen. Binkesmas. Jakarta
17. Sulaeman, Endang Sutisna. 2009. Manajemen kesehatan : teori dan praktik di puskesmas.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
63

Anda mungkin juga menyukai