Program Studi Sosiologi Fakultas lmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
ABSTRAK Makalah ini membahas kecerdasan pengelolaan dan penyelesaian konflik komunal. Konflik komunal yang diangkat adalah konflik antar etnis, yakni etnis Tionghoa dengan etnis tempatan melalui proses penelitian yang dilakukan sejak tahun 2011 hingga 2013 dengan memanfaatkan Perayaan Cap Go Meh di Kota Bandung. Paradigma yang dilakukan adalah kualitatif dengan sifat longitudinal mengadopsi pada metode action research. Hasil penelitian dituangkan dalam makalah yang mengetengahkan mengenai kuasa kapital etnis Tionghoa dalam meredam konflik melalui upaya-upaya teknis dan penciptaan ruang publik guna terwujudnya tindakan komunikatif antar warga. Melalui penciptaan ruang publik tersebut, konflik antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan dapat direduksi dan dibangun kesadaran atas sekat-sekat komunikasi yang terjadi selama ini. Bagian penutup dijelaskan bahwa kuasa kapital diperlukan sebagai stimulus penciptaan ruang publik guna terwujud tindakan komunikatif.
kata kunci: kuasa kapital, konflik komunal, etnis Tionghoa, etnis tempatan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 Disampaikan dalam Konferensi Nasional I Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia Program Studi Magister Sosiologi FISIP-Unsri, bertema Kecerdasan Sosial Dalam Mengelola Konflik, Palembang 23- 25 April 2013 2 Staf pengajar di Program Studi Sosiologi FISIP-Unpad 2
Makalah ini diangkat dari penelusuran empiris mengenai perayaan ritual keagamaan Cap Go Meh atau hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek. Ritual ini dilaksanakan oleh kaum minoritas yakni etnis Tionghoa yang hidup pada suasana sosial yang mayoritas muslim. Dalam konteks konflik komunal, masyarakat multikultur seperti di Indonesia memiliki potensi konflik yang bersifat laten berlandaskan pada cara hidup dan identitas kelompok-kelompok kultur yang hidup berdampingan. Hal ini merupakan konsekuensi yang harus ditanggung oleh Indonesia negara yang berdimensi jamak. Kajian sosiologi mengenai konflik dapat ditelusuri pada tokoh-tokoh sosiologi abad 19 dan awal abad 20. Filsuf dan sosiolog terkemuka, yaitu Georg Simmel menyatakan bahwa konflik merupakan dasar dari interaksi sosial (1955 [1908]). Simmel berpendapat bahwa konflik tidak dapat terelakkan dan selalu ada dalam setiap masyarakat, terlepas dari besaran anggota kelompok masyarakat ataupun bentuk masyarakat, baik yang sederhana maupun kompleks (sic.). Mengacu pada pemikiran Simmel (1955 [1908]), konflik komunal pada masyarakat merupakan keniscayaan, tidak terkecuali pada masyakat berdimensi jamak seperti Indonesia. Konflik komunal yang terjadi di Indonesia telah sering terjadi dan berlatar belakang SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Konflik berlatar SARA di Indonesia pada tiga tahun terakhir tahun 2010 mencapai 93 kasus, tahun 2011 mencapai 77 kasus, dan 2012 mencapai 89 kasus. Jika diurai lebih lanjut, konflik komunal yang yang terjadi lebih diakibatkan oleh kesadaran identitas, yakni agama/kepercayaan dan etnisitas. Kasus konflik bernuansa agama terjadi di Ambon (1999-2002), Poso (1998-2001), Bekasi (2011), Tasikmalaya (2011) dan di Sampang Madura (2012). Konflik komunal bernuansa agama dengan jumlah korban yang besar adalah kasus Ambon dan Poso. Konflik komunal berdasarkan etnis telah terjadi sebelum republik in berdiri, di antaranya, Kudus (1918), Bandung (1963), Pontianak (1967), Sampit (1996-1997), Makasar (1997), Jakarta dan Surakarta (1998), serta Lampung Selatan (2012). Merujuk pada topik makalah ini, dari konflik bernuansa etnis di atas, 3
terdapat lima kasus konflik komunal antara etnis tempatan dengan etnis Tionghoa, yakni 1) Kudus (1918); 2) Bandung (1963); 3) Pontianak (1967); 4) Makasar (1997); 5) Jakarta dan Surakarta (1998). Dalam konflik tersebut, etnis Tionghoa menjadi sasaran kekerasan etnis tempatan. Sifat kekerasannya berupa perusakan dan/atau pembakaran aset, pemerkosaan, pengusiran, hingga penghilangan nyawa secara masif. Mengacu pada pendapat Wang (1981), Indonesia merupakan contoh sebuah negara yang mempunyai masalah Cina yang teramat kompleks. Masalah tersebut erat kaitannya dengan identitas kultural, ras-ketubuhan, dan strata ekonomi. Identitas kultural etnis Tionghoa berbeda dengan etnis-etnis tempatan di Indonesia. Dalam sistem kepercayaan, ajaran Tao atau Konfusius yang disandang etnis Tionghoa sangat kontras dengan sistem kepercayaan etnis-etnis tempatan yang umumnya Islam, termasuk dalam ritual-ritual yang mengiringinya. Demikian pula dengan etnis Tionghoa yang telah memeluk ajaran kristiani. Perbedaan identitas kultural juga ditunjukkan dalam produksi, distribusi, dan konsumsi. Etnis Tionghoa memiliki identitas kultural dalam kegiatan-kegiatan distribusi, sementara etnis-etnis tempatan memiliki identitas kultural dalam kegiatan-kegiatan produksi. Dari sisi ras-ketubuhan etnis Tionghoa, hal ini menunjukkan perbedaan yang nyata dari umumnya penduduk Indonesia. Umumnya penduduk yang bermukim di Indonesia atau yang mengklaim diri sebagai pribumi memiliki warna kulit yang kecoklatan atau diistilahkan dengan warna sawo matang. Berbeda dengan etnis Tionghoa yang memiliki warna kulit yang kekuning-kuningan. Perbedaan tersebut bersifat kasat mata dan menjadi penyebab renggangnya jarak sosial antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan. Selain perbedaan identitas kultural dan fisik ketubuhan, strata ekonomi etnis Tionghoa berada di atas etnis-etnis lainnya di Indonesia. Umumnya etnis Tionghoa bergerak di sektor perniagaan dan memiliki tempat yang strategis, yaitu berada di pusat-pusat kota. Dengan letak demikian, etnis Tionghoa dapat dipandang sebagai penggerak ekonomi kota sekaligus merupakan kekuatan kapitalisme lokal yang 4
memiliki otonomi dan menguasai sumber-sumber daya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. .Perbedaan-perbedaan yang disebutkan di atas, yaitu identitas kultural, ras ketubuhan, dan strata ekonomi pada gilirannya menghasilkan prasangka dan diskriminasi baik dari etnis Tionghoa terhadap etnis tempatan serta sebaliknya. Prasangka dan diskriminasi tersebut menjadi pemicu terjadinya konflik antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan di berbagai wilayah di Indonesia. Konflik tersebut dapat meledak jika sekat-sekat antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan tidak dibuka. Upaya nyata untuk membuka sekat-sekat antara etnis Tionghoa dengan etnis- etnis tempatan salah satunya adalah perayaan ritual cap go meh 3 . Cap go meh adalah penanda hari ke-lima belas dari Tahun Baru Imlek. Umumnya di beberapa tempat di Indonesia, ritual ini dilakukan secara kolosal dan melibatkan banyak orang, baik dari etnis Tionghoa maupun etnis-etnis tempatan. Dalam tradisi ritual cap go meh tersebut, dilakukan arak-arakan ta pe kong dengan menggunakan tandu khusus (joli) berkeliling di jalan-jalan utama. Hal ini menjadi suguhan hiburan bagi penduduk di sekitar pelaksanaan ritual cap go meh dan di sisi lain, dapat berpotensi mengeratkan kohesi antar etnis pada masyarakat di lokasi perayaan cap go meh. Di dalam perayaan ritual cap go meh, mengacu pada Habermas (1984) secara implisit terjadi bangunan ruang publik yang mencakup kontradiksi antar kepentingan etnis Tionghoa dan kepentingan etnis-etnis tempatan di lain pihak. Ruang publik ini memiliki tujuan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan dalam berbagai kepentingan dan pendapat pribadi antar etnis guna menemukan kepentingan umum serta mencapai konsensus bersama (Hardiman, 2008). Etnis Tionghoa dapat dianggap sebagai pelopor penciptaan ruang publik. Kelenteng sebagai ruang publik fisik merupakan tempat terjadinya kebebasan
3 Khusus di Kota Bandung, pasca tumbangnya orde baru, perayaan cap go meh telah dilaksanakan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, yakni tahun 2011, 2012, dan 2013. Penyelenggaraannya, dilakukan secara tetap oleh Kelenteng Dharma Ramsi yang beralamat di Gang Ibu Aisah No. 18/9A Kelurahan Cibadak, kecamatan Astana Anyar, Kota Bandung. 5
berbicara dan berkumpul guna menemukan konsensus antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan. Konsensus tersebut meliputi juga pada pengaturan-pengaturan yang bersifat teknis toleransi, sebagai contoh, menghentikan kegiataan ritual untuk sesaat demi mendengarkan kumandang azan dari mesjid-mesjid terdekat. Hal ini memiliki makna, telah tercipta asas kepublikan yang terjadi pada ruang publik yang diciptakan. Asas kepublikan tersebut secara otomatis memancing daya kritis terhadap proses-proses pengambilan putusan yang tidak bersifat publik. Sungguhpun demikian, berkaitan dengan rendahnya modal sosial yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, diperlukan suatu cara konservatif untuk menembusnya. Dengan tingginya strata ekonomi etnis Tionghoa, teknis-teknis kapitalisme menjadi terminologi yang penting untuk mengatasi konflik komunal antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan. Kapital dalam arti uang, pada tataran tertentu dapat menjadi stimulus bagi upaya merduksi konflik komunal.
1.2. Rumusan Masalah Upaya membuka sekat-sekat antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan dapat dilakukan dengan memanfaatkan modal sosial yang ada dalam masyarakat. Di sisi lain, masyarakat Indonesia saat ditengarai memiliki modal sosial yang relatif rendah, ikatan antar unsur masyarakatnya longgar, dan cenderung tidak empatif. Untuk mengatasi hal tersebut, mengacu pada pendapat Habermas (1984) ruang-ruang publik menjadi sangat penting untuk dijadikan arena peningkatan modal sosial. Lantas pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana membentuk ruang publik jika modal sosial dan ikatan antar unsur masyarakat rendah? Celah yang dapat digunakan adalah kuasa kapital yang dimiliki oleh etnis Tionghoa untuk dapat meredam konflik. Kuasa kapital tersebut didistribusikan sebagai stimulus terciptanya ruang publik sebagai fasilitas tindakan komunikatif antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan.
1.3. Metode Penelitian 6
Penelitian ini berparadigma kualitatif dengan sifat longitudinal yang mengadopsi metode action research. Mengacu pada Lippit (1945; dalam Tripp, 2005) action research bukanlah menindaklanjuti hasil penelitian dalam bentuk aksi untuk mengatasi masalah melainkan menindaklanjuti hasil penelitian dengan penelitian baru untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam. Hal tersebut sejalan dengan tanggapan Habermas (1971: 167; dalam Whyte, 1989) terhadap Skjervheim, yakni menerjemahkan pratice sebagai interpretasi hermeneutik dan juga membatasi peneliti pada tataran diskursus, tidak terlibat lebih jauh hingga mengintervensi masyarakat yang diteliti. Metode tersebut dipandang relevan dengan topik yang diangkat, yakni kuasa kapital etnis Tionghoa dalam perayaan ritual cap go meh. Prosedur penelitian ini bermula dari refleksi atas fenomena yang terjadi di sekitar peneliti yakni perayaan cap go meh tahun 2011, untuk kemudian penulis merencanakan aksi berupa penelitian yakni mengobservasi perayaan cap go meh dalam kajian sosiologi agama, dan mendapatkan hasil penelitian bahwa perayaan cap go meh tidak semata ritual semata, tetapi merupakan upaya mereduksi konflik antar etnis kendati prasangka etnis masih cukup kental, terutama dari etnis-etnis tempatan. Hasil penelitian tersebut direfleksikan pada kenyataan mengenai potensi konflik antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan. Pada perayaan cap go meh tahun 2012, berbekal refleksi mengenai potensi konflik, dilakukan penelitian dengan mengobservasi upaya peredaman konflik antar etnis melalui perayaan cap go meh. Hasilnya menunjukkan bahwa peredaman konflik antar etnis dipicu oleh kuasa kapital etnis Tionghoa yang didistribusikan kepada masyarakat. Pada tahun 2012 tersebut terindikasi perilaku membangun ruang publik yang dialogis antar etnis Tionghoa dengan etnis tempatan. Hasil penelitian di tahun 2012 direfleksikan untuk dijadikan penelitian berikutnya mengenai kuasa kapitalisme sebagai pendorong terciptanya ruang publik dan tindakan komunikatif sebagai upaya peredaman konflik komunal antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan. Tahun 2013, penelitian diadakan dengan landasan hasil penelitian tahun 2012. Dengan mengobservasi kuasa kapital, ruang publik yang tercipta, serta tindakan- 7
tindakan komunikatif yang dilakukan oleh anggota kelompok baik dari etnis Tionghoa maupun etnis-etnis tempatan, diperoleh temuan bahwa terbangun kesadaran atas terjadinya sekat-sekat komunikasi antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan, prasangka etnis tereduksi secara signifikan meski demikian kesadaran tersebut belum mengarah pada dekatnya jaraknya sosial antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan. Dari penelitian ini terbangun pegentahuan mengenai peredaman konflik komunal yang berlipat (multiple) yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dengan kekuatan kapitalnya. Untuk memperjelas prosesnya, dapat dilihat pada gambar 1.1. mengenai proses penelitian mengenai perayaan Cap Go Meh Tahun 2011 hingga 2013 yang dilakukan oleh peneliti. Gambar 1.1. Proses Penelitian Perayaan Cap Go Meh Tahun 2011 hingga 2013
2011 2012 2013 REFLEKSI: Fenomena Cap Go Meh HASIL: 1. Ritual 2. Gerakan sosial oleh kelompok kapitalis 3. Reduksi potensi konflik 4. Prasangka etnik tinggi
PENELITIAN: Perayaan Cap Go Meh
HASIL: 1. Kuasa Kapital 2. Ruang Publik 3. Tindakan komunikatif 4. Prasangka etnik menurun 5. Jarak sosial longgar HASIL: 1. Kesadaran adanya sekat komunikasi 2. Prasangka etnik menurun 3. Jarak sosial tetap
PENELITIAN: 1. Peredaman Konflik melalui Kuasa kapital 2. Prasangka etnik
REFLEKSI: 1. Reduksi potensi konflik 2. Prasangka etnik 3. Kuasa Kapital
PENELITIAN: 1. Kuasa kapital dalam penciptaan ruang publik dan tindakan komunikatif. 2. Tingkat prasangka etnik
REFLEKSI: 1. Kuasa Kapital 2. Ruang Publik 3. Tindakan komunikatif 4. Jarak sosial
8
Sumber: proses penelitian 2011-2013.
II. KUASA KAPITAL DALAM MEREDAM KONFLIK KOMUNAL MELALUI PERAYAAN CAP GO MEH DI KOTA BANDUNG
2.1. Kondisi Obyektif Etnis Cina Dalam Skala Nasional dan Lokal Tingginya strata ekonomi tersebut dipandang sebagai respon terhadap berbagai diskriminasi politik yang dilakuan oleh negara. Mengacu Suryadinata (2002) menyatakan bahwa dalam perjalanan Republik Indonesia, pada tataran tertentu, etnis Tionghoa mengalami diskriminasi, utamanya dalam hal politik. Pada masa orde lama, Soekarno saat itu mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 yang melarang etnis Tionghoa melakukan perniagaan di pedesaan alih-alih melindungi pedagang dan petani bumiputera. Pada masa Soeharto, diskriminasi meluas hingga ranah budaya. Rezim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Tionghoa termasuk kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat melalui Instruksi Presiden No.14 tahun 1967. Di samping itu, etnis Tionghoa diharuskan mengubah namanya menjadi bernuansa Indonesia melalui Surat Edaran No.06/Preskab/6/67. Pelarangan bahasa Tionghoa di atur oleh Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tata peribadatan Tionghoa diatur dan ditata dalam kategori budhisme melalui Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2- 360/1968 tentang penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia. Dan pada tahun 1988 terbit Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 yang melarang penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa Tionghoa. Pada masa reformasi, melalui Keppres No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres 14/1967 dan menerbitkan Keppres No. 19/2001 yang mengakui Kong Hu Chu sebagai agama ke enam, selain Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dna Budha, serta menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Katup budaya Tionghoa kembali terbuka setelah sekian lama tersumbat secara politik. 9
Di sisi lain, perlakuan diskriminatif tersebut pada gilirannya membawa kemajuan dalam hal taraf hidup atau derajat ekonomi etnis Tionghoa. PP No. 10 Tahun 1959 yang melarang etnis Tionghoa melakukan perdagangan di pedesaan menyebabkan terjadinya aglomerasi bisnis Tionghoa di perkotaan. Hal ini sangat menguntungkan bagi etnis Tionghoa, sejalan dengan perkembangan kota-kota di Indonesia yang menjelma menjadi pusat aktivitas bisnis. Proses kapitalisasi berjalan dan semakin menguat karena sikap adaptif etnis Tionghoa terhadap putusan-putusan politis orde baru. Sikap adaptif tersebut, yakni ditunjukkan untuk mengikuti arah haluan rezim yang berkuasa. Disebabkan hak berpolitik etnis Tionghoa menyempit, maka satu-satunya katup adalah bergerak di sektor perniagaan dan jasa yang pada gilirannya menjadikan etnis Tionghoa sebagai penguasa ekonomi di Indonesia Etnis Tionghoa yang bermukim di Kota Bandung terdiri dari berbagai sub-sub etnis, yakni Hakka (Khek), Hokkian, dan Kongfu. Dari aspek kesejarahannya, kedatangan etnis Tionghoa di Kota Bandung terdorong karena kemajuan Batavia dan dibukanya Priangan bagi etnis tersebut. Umumnya etnis Tionghoa yang datang ke Bandung berasal dari subetnis Hakka. Mereka menjadi kuli untuk pemasangan rel kereta api dari Bogor menuju Bandung (Skober, 2004:4). Mengacu pada Lubis dkk (2000:126) jalur kereta api telah beroperasi di Bandung sejak tahun 1884. Umumnya tempat asal etnis Tionghoa di Kota Bandung berasal dari daratan China sebelah selatan, yaitu di sekitar daerah Guang Zhouw, Hunan, dan Fujian 4 . Dari sekian banyak etnis Tionghoa, afiliasi agama yang dianut terbagi atas 2 bagian besar, yakni pemeluk protestan dan katholik. Pemeluk Taoisme dan/atau Kong Hu Chu hanyalah sebagian kecil dari etnis Tionghoa yang berada di Kota Bandung dan sebagian kecil lainnya memeluk agama Islam. Etnis Tionghoa memiliki daya adaptasi yang sangat tinggi namun mempertahankan nilai-nilai kulturalnya. Sebagai contoh, setelah penjajah Belanda meninggalkan Kota Bandung tahun 1950, etnis Tionghoa dengan cepat mengambil
4 Keterangan dari suhu Vihara Dharma Ramsi 10
alih perniagaan yang berada di pusat Kota Bandung dan menjalankan bisnisnya dengan etos kerja ala konfusian (Skober 2004). Dipicu oleh Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959, aturan tersebut pada gilirannya semakin mengukuhkan keberadaan etnis Tionghoa di pusat perkotaan Kota Bandung dan sekaligus menjadi aktor utama kapitalisme perniagaan kota. Dalam menjalankan perniagaannya, etnis Tionghoa melakukan hubungan yang intensif dengan konsumen pribumi dan membuatnya menjadi lebih paham kebutuhan dan selera konsumen pribumi (Tan, 1979: 39; dalam Skober, 2004: 8). Dari aspek kesejarahan juga, pada masa lalu, banyak etnis Tionghoa yang melakukan perdagangan keliling disertai dengan peminjaman kredit dan dikenal sebagai Cina Mindring. Sebagai akibat dari hubungan kredit ini, etnis Tionghoa mulai mendapatkan prasangka etnis karena bunga kredit yang tinggi. Namun bagi etnis Tionghoa, peminjaman uang berbunga adalah hal yang wajar. Cina Mindring ini mendapatkan modal dari hasil meminjam kepada etnis Tionghoa lain yang lebih kaya. (Tan, 1979: 50; dalam Skober, 2004: 8). Seiring perjalanan waktu, kemajuan ekonomi etnis Tionghoa menjadikan mereka sebagai sasaran pencurian. Untuk mengatasinya, mereka membangun pagar yang tinggi dengan alasan keamanan dari pencurian. Di sini muncul prasangka etnis dari etnis Tionghoa kepada etnis tempatan, karena pelaku pencurian umumnya adalah anggota etnis tempatan. Sikap etnis Tionghoa yang membangun pagar tinggi pun tidak luput menimbulkan prasangka etnis dari etnis tempatan. Prasangka tersebut memiliki makna bahwa etnis Tionghoa memiliki sifat sombong dan tidak mau bergaul/terlibat dalam urusan umum. 5 Prasangka etnis tersebut tidak berlaku bagi seluruh etnis Tionghoa namun kemudian menjadi totem pro parte, berlaku umum bagi seluruh etnis Tionghoa. Prasangka etnis antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan meluas pada ranah perbedaan yang terdapat di antara mereka. Seperti yang telah diulas pada bab
5 Keterangan dari suhu Vihara Dharma Ramsi 11
sebelumnya, perbedaan tersebut meliputi identitas kultural, ras-ketubuhan, dan strata ekonomi. Hal ini menjadi pemicu konflik komunal yang melibatkan kedua belah pihak. Meskipun antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan hidup berdampingan, pada tataran tertentu kehidupannya bagaikan air dengan minyak, tidak bercampur antara satu dengan yang lain.
2.2. Etnik Tionghoa Di Lokasi Penelitian Berbicara etnik Tionghoa di lokasi penelitian tidak dapat dilepaskan dari kelenteng Dharma Ramsi, salah satu dari sekian banyak kelenteng yang berada di Kota Bandung, terletak di Gang ibu Aisah Kelurahan Cibadak. Kelenteng ini didirikan tahun 1953, dan berada di lingkungan permukiman yang saat itu didominasi oleh etnis Sunda yang beragama islam. Selain kelenteng Dharma Ramsi, di lokasi tersebut, terdapat 6 kelenteng lain. Pada masa tersebut, hubungan antar etnis, yakni etnis Tionghoa dengan etnis tempatan relatif erat dengan jarak sosial yang dekat. 6 Di antara mereka saling mengenal terutama di karenakan para etnis Tionghoa menumpang hidup di tanah-tanah yang dimiliki oleh etnis tempatan, sebelum mereka mampu membeli dan mendirikan rumah sendiri. Hingga tahun 1980an, hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan sangat baik. Hal ini dapat digambarkan melalui refleksi masa kecil peneliti yang memiliki banyak teman sepermainan yang berasal dari etnis Tionghoa dan mengenal dengan baik anggota keluarganya. Kehidupan pertetanggaan antara etnis Tionghoa dengan etnis Sunda dan Jawa menunjukkan kohesi yang kuat, yakni kesamaan sebagai penduduk Gang Ibu Aisah. Kohesi ini juga ditunjukkan dalam perilaku negatif penduduk setempat, seperti berjudi atau minum minuman keras. Dapat dikatakan, etnis Tionghoa dan etnis tempatan tidak memiliki sekat-sekat sosial dan terhubung dengan baik dalam aktivitas kesehariannya.
6 Keterangan dari sesepuh di lokasi penelitian 12
Seiring perkembangan waktu, di lokasi penelitian terjadi pertumbuhan populasi etnis Tionghoa dan kedatangan warga baru beretnis Tionghoa, Batak, dan Minang, wilayah Gang Ibu Aisah (dan Gang Luna yang terletak bersebelahan dengannya) menjadi daerah yang heterogen karena banyaknya penduduk baru. Populasi etnis Tionghoa diperkirakan sebanding dengan populasi etnis pribumi, yang terdiri dari Sunda dan Jawa. Artinya, jika dilakukan perbandingan antara etnis Tionghoa dengan etnis Sunda, maka jumlah etnis Tionghoa melebihi jumlah etnis Sunda yang bermukim di daerah tersebut. Jarak sosial di dalam lingkungan etnis Tionghoa tidak terlalu erat. Hal ini dimungkinkan karena etnis Tionghoa di wilayah permukiman Gang Ibu Aisah terbagi atas berbagai pemeluk agama, mayoritas menganut ajaran Kristiani dan Katholik. Sementara itu, etnis Tionghoa yang memeluk agama Kong Hu Chu hanya 3 umpi dan seluruhnya bermarga Yong. Jarak sosial antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan relatif longgar, terkecuali pada etnis Tionghoa yang sudah lama bermukim dan berstrata rendah dengan etnis-etnis tempatan, jarak sosialnya relatif tinggi. Rendahnya jarak sosial, diduga karena banyaknya pendatang etnis Tionghoa yang bermukim di lokasi penelitian dengan aktivitas kesehariannya yang tidak bersentuhan dengan etnis tempatan. Di lain sisi, jarak sosial etnis tempatan relatif erat. Umumnya etnis-etnis pribumi mengenal dengan baik satu sama lain dan sering terhimpun dalam aktivitas kemasyarakatan, seperti pengajian, program kebersihan lingkungan, atau program- program yang dilakukan pemerintah. Kedekatan ini, menyebabkan informasi yang masuk dapat dengan cepat menyebar di antara etnis-etnis pribumi. Demikian pula dengan prasangka etnis, jarak sosial yang relatif erat membuat prasangka etnis menyebar dengan cepat dan diserap oleh etnis-etnis pribumi. Prasangka etnis di lokasi penelitian relatif kental. Meski tidak ditunjukkan secara langsung, dalam berbagai aktivitas waktu senggang atau pun dalam obrolan, prasangka etnis dapat muncul dalam suatu kelompok. Umumnya, etnis-etnis 13
pribumi memandang etnis Tionghoa sebagai kelompok yang sombong, arogan, tidak mau mengenal warga, dan terutama merebut lahan hidup mereka karena jumlahnya yang semakin bertambah. Prasangka tersebut hampir selalu dapat didengar ataupun dilihat, termasuk di dalam pengajian warga masyarakat setempat. Prasangka etnis tidak hanya berupa ucapan verbal, seperti istilah cina, chun kuo, babah, ataupun akew. Gestur pun menunjukkan prasangka etnis, seperti gerakan tangan untuk menyipitkan mata (etnis Tionghoa memiliki ciri mata yang sipit). Prasangka- prasangka tersebut memiliki makna kebencian terhadap etnis Tionghoa. Di sisi lain, anggota dari etnis Tionghoa pun memiliki prasangka etnis terhadap etnis-etnis pribumi. Prasangka tersebut, meliputi sikap malas, tidak bisa dipercaya, anak- anaknya nakal, dan jorok. Prasangka etnis tersebut membuat hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan bagaikan minyak dalam air.
2.3. Perayaan Cap Go Meh Tahun 2011-2013 Pada bagian ini diketengahkan hasil penelitian mengenai perayaan Cap Go Meh yang telah dilakukan dari tahun 2011 hingga 2013. Penelitian ini bersifat longitudinal karena perayaan tersebut dilaksanakan setiap satu tahun sekali, beriringan dengan perayaan Tahun Baru Imlek.
2.3.1. Perayaan Cap Go Meh Tahun 2011 Tahun 2011 merupakan pertama kali arak-arakan ta pe kong dalam perayaan Cap Go Meh dilaksanakan di Bandung setelah masa orde baru. Tahun-tahun sebelumnya, perayaan Cap Go Meh hanya sebatas festival lampion dan barongsai yang diadakan oleh mall-mall yang berada di Kota Bandung dan cenderung merupakan bagian dari hiburan yang bersifat profan semata, nilai-nilai sakralnya terkandung relatif rendah. Diakuinya ajaran Kong Hu Chu sebagai agama resmi di Indonesia menyebabkan penganut agama Kong Hu Chu jemaat kelenteng Dharma Ramsi melakukan gerakan sosial merevitalisasi perayaan Cap Go Meh. Pemeluk agama 14
Kong Hu Chu mengedepankan nilai-nilai sakral ajaran Kon Hu Chu dalam perayaan Cap Go Meh yang selama ini tersumbat karena aturan negara. Berkaca dari penelitian Van Bruinessen (1978) mengenai gerakan sosial keagamaan etnis Kurdi di Turki yang menemukan bahwa gerakan sosial dipicu karena himpitan dan kesulitan ekonomi dan digerakkan oleh kelompok berstrata ekonomi rendah, gerakan sosial gerakan sosial pemeluk agama Kong Hu Chu di Bandung dipelopori oleh kaum kapitalis etnis Tionghoa dengan strata ekonomi tinggi. Tahun 2011 saat gerakan sosial etnis Tionghoa tersebut dimulai, muncul reaksi warga yang merasa terusik karena ritual keagamaan Kong Hu Chu. Keterusikan warga disebabkan karena suara-suara dari instrumen (tambur dan tamborin) dalam ritual agama Kong Hu Chu dianggap bising dan menjadi polusi suara. Reaksi tersebut tidak hanya muncul dari etnis-etnis tempatan, sebagian besar etnis Tionghoa yang tidak memeluk agama Kong Hu Chu pun turut bereaksi menentang kebisingan yang diakibatkan oleh pihak kelenteng. Keterusikan warga tersebut dikarenakan mereka adalah penduduk baru yang bermukim di lokasi penelitian. Pada masa sebelumnya, tidak pernah ada keterusikan warga akibat lantunan suara dan musik yang mengiringi ritual etnis Tionghoa. Untuk mengatasi keterusikan warga tersebut, jemaah kelenteng berkoordinasi dengan pihak Dewan Kemakmuran Mesjid (DKM), tokoh gereja, dan tokoh masyarakat untuk memberi pemahaman mengenai kekhasan ritual agama Kong Hu Chu. Warga diberikan kesempatan untuk masuk dan melihat isi dan suasana kelenteng Dharma Ramsi. Menjelang Tahun Baru Imlek tahun 2011, kuasa kapitalis mulai bergerak. Untuk memperlancar perayaan Cap Go Meh, jemaah kelenteng berswadana melebarkan Gang Ibu Aisah dan melakukan pelapisan beton pada permukaan jalan. Upaya pelebaran jalan tersebut adalah dengan menutup sungai/kali yang terletak di depan kelenteng. Kualitas beton dikontrol dengan sangat ketat dengan maksud agar beton tahan lama dan tidak mudah rusak. Lalu lintas di depan kelenteng menjadi lebih leluasa, demikian pula bau polutan dari sungai/kali dapat diminimalisir karena tertutup oleh beton. Anak-anak warga setempat menjadi dapat bermain di jalan 15
tersebut tanpa mengganggu lalu-lintas. Warga yang memiliki kendaraan roda empat dapat memarkir kendaraannya di tempat tersebut dan keamanannya diawasi oleh pihak kelenteng serta petugas keamanan RW setempat. Pada perayaan Cap Go Meh tahun 2011, terdapat untuk mereduksi konflik. Perayaan Cap Go Meh dibuka oleh Gubernur Jawa Barat yang notabene berasal dari partai berplatform Islam. Pembukaan perayaan oleh gubernur dipandang sebagai langkah strategis, yakni untuk meredam penentangan dari golongan Islam. Bagi warga di sekitar lokasi penyelenggaraan, kehadiran gubernur merupakan sebuah kebanggaan. Pihak penyelenggara, pada H-2 membentangkan spanduk yang di dalamnya terdapat nama Gubernur Jawa Barat lengkap dengan gelar keagamaan dan gelar akademik sebagai bentuk informasi kepada warga dan juga upaya meredam konflik. Nama depan dari Gubernur Jawa Barat mencerminkan nuansa islami, sehingga konflik agama berhasil diminimalisir. Pihak penyelenggara menyusun penyelenggaraan Cap Go Meh yang memfasilitasi kebutuhan dan selera warga. Salah satu kebutuhan warga yang mendesak saat itu adalah WC umum. Dengan kuasa kapital, jemaah kelenteng membangunkan WC umum bagi warga dengan ketersediaan air yang memadai. Warga dapat memanfaatkan air tersebut jika mereka mengalami kekurangan air, terutama saat musim kemarau. Penyelenggara juga melihat warga menyuaki hiburan bernuansa budaya lokal. Karenanya dibuatkan panggung khusus bagi warga yang ingin menikmati hiburan musik dan lawak bernuansa Sunda, juga menampilkan kesenian wayang golek. Tempat penyelenggaran hiburan tersebut terpisah hanya sekitar 30 meter dari kelenteng dan bertempat di sebuah lahan kosong di Gang Luna. Warga sangat dibolehkan untuk berada dekat kelenteng guna menyaksikan kedatangan peserta arak-arakan yang berasal dari berbagai daerah, baik dari dalam Kota Bandung maupun dari luar Bandung. Selain dari WC umum dan panggung hiburan, pihak penyelenggara juga membuka aktivitas ekonomi warga setempat melalui bazaar. Bazaar dilaksanakan di Jalan Cibadak sepanjang lebih kurang 500 meter. Warga menyewa stand bazaar 16
dengan harga yang relatif murah dan mereka dapat berjualan berbagai barang konsumsi, terutama makanan. Bagi warga, hal tersebut merupakan usaha untuk menambah penghasilan walaupun hanya untuk 2 hari penyelenggaraan saja. Sambuan warga terhadap bazaar ini sangat tinggi. Karena minat yang besar, terdapat warga yang tidak tertampung dalam stand dan ikut berjualan di dalam stand yang telah disewa oleh warga lainnya. Kedatangan peserta arak-arakan disambut oleh musik tradisional Tionghoa khas Semarang atau musik Noa Tek Hui. Pengiring musik ini didatangkan langsung dari sebuah kelenteng di Semarang. Iringan musik yang asing bagi warga ini ternyata menjadi salah satu favorit etnis-etnis tempatan. Banyak warga etnis tempatan menyempatkan diri untuk melihat dan mendengar musik tersebut seraya melihat kedatangan peserta arak-arakat yang membawa ta pe kong kelentengnya masing- masing. Kemeriahan Cap Go Meh tahun 2011 ternyata dianggap mengabaikan keberadaan pemeluk agama lain dan bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang berbagai berhala dalam bentuk apapun, termasuk dalam bentuk patung. Kasus ini terjadi saat atraksi barongsai bertepatan dengan suara azan dari mesjid-mesjid yang berada di sekitar lokasi penelitian dan penyelenggaraannya dilakukan di hari Minggu, saat umat kristiani beribadah. Prasangka etnis-keagamaan muncul dari etnis tempatan yang beragama Islam karena arak-arakan tersebut merupakan bentuk penyembahan terhadap berhala dan dianggap musyrik. Demikian pula dengan umat Kristiani, meskipun kebanyakan umat kristiani berasal dari etnis Tionghoa, umumnya mereka menentang ajaran Kong Hu Chu. Kedua prasangka etnis-keagamaan tersebut bersifat laten, tidak ditujukan langsung baik secara verbal maupun gestur kepada pemeluk agama Kong Hu Chu. Secara ringkas simpulan dari perayaan Cap Go Meh tahun 2011 adalah terjadinya peralihan dari perayaan yang bersifat profan menjadi sakral. Peralihan ini dikarenakan adanya gerakan sosial kaum kapitalis etnis Tionghoa yang hendak mengembalikan ajaran Kong Hu Chu. Dengan kuasa kapitalnya, potensi konflik 17
komunal dapat diredam dengan memfasilitasi kebutuhan dan selera etnis-etnis tempatan. Meski demikian, prasangka etnik terhadap etnis Tionghoa masih sangat tinggi, karena perayaan tersebut bersifat tahunan, dan sikap abai terhadap pemeluk agama lain.
2.3.2. Perayaan Cap Go Meh Tahun 2012 Perayaan Cap Go Meh tahun 2012 memiliki format yang sama dengan perayaan Cap Go Meh Tahun 2011. Terdiri dari 3 (tiga) tempat yakni kelenteng, panggung hiburan, dan bazaar. Pada tahun 2012 perayaan dibuka oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pembukaan perayaan Cap Go Meh tersebut secara nyata dilakukan denghan memanfaatkan hubungan kerabat (marga) dari jemaah kelenteng Dharma Ramsi. Seperti tahun sebelumnya, pihak penyelenggara juga membentangkan spanduk selamat datang kepada menteri tersebut. Bagi warga, kedatangan seorang anggota kabinet ke tempat mereka merupakan sebuah kebanggaan yang luar biasa dan menjadi pembicaraan positif, berkaitan dengan kehebatan daerah yang mampu mendatangkan seorang menteri. Penelitian dilakukan berdasarkan refleksi hasil penelitian tahun 2011. Fokus penelitian pada tahun 2012 adalah pada upaya peredaman konflik melalui kuasa kapital dan prasangka etnik. Adapun temuan mengenai gerakan sosial diabaikan karena peneliti menangkap bahwa gerakan sosial tersebut dimungkinkan oleh kuasa kapital dari etnik Tionghoa. Peredaman konflik melalui kuasa kapital etnis Tionghoa semakin mengkristal. Meski dapat dikatakan sebagai hal yang konservatif, kuasa kapitalisme etnis Tionghoa secara teknis mampu membuka sekat-sekat pada warga setempat. Jemaah kelenteng mengeluarkan dana bagi penyediaaan alat musik bonang dan tambur. Penyediaan alat-alat musik ini dikarenakan banyak anak-anak dari etnis tempatan yang tertarik menyalurkan kesenangannya untuk memainkan musik tradisional Tionghoa ala Tegal. Selain dihimpun dalam kegiatan musik tradisional, anak-anak etnis tempatan diberikan kesempatan untuk memainkan barongsai di dalam 18
kelenteng. Di antara mereka yang telihat berbakat kemudian dilatih dan dijadikan penggiat barongsai. Ada penghargaan berupa uang saku dan uang yang didapat hasil pentas seni barongsai. Penghargaan tersebut menjadi motivasi bagi anak-anak untuk mengikuti seni barongsai sebagai ekstrakurikuler di luar sekolah. Terjadi kompetisi antar anak untuk dapat menjadi pemain barongsai dan hal tersebut didukung juga oleh orang tuanya. Dukungan orang tua didorong oleh adanya kesempatan mendapatkan uang tambahan. Jika anaknya menjadi pemain barongsai, dia telah membantu meringkankan beban ekonomi keluarga, khususnya untuk uang jajan/uang saku. 7
Keterlibatan anak-anak etnis tempatan dalam memainkan musik tradisional Tionghoa dan barongsai ini mampu mencairkan suasana dan menjadi kebanggaan orang tuanya. Peredaman konflik dilakukan melalui media kesenian tradisional, selain diberi imbangan penghargaan jika mereka mampu berprestasi. Upaya peredaman konflik dilakukan juga oleh jemaah kelenteng Dharma Ramsi dengan menyediakan ruang-ruang publik untuk berbicara. Pada tahun 2012, pihak penyelenggara, yakni jemaah kelenteng melakukan evaluasi atas kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan Cap Go Meh tahun 2011 dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat. Ruang publik disediakan di depan kelenteng dan bernuansa informal. Di tempat ini setiap orang dapat saling berdialog dan memberi masukan kepada pihak penyelenggara mengenai hal-hal yang perlu diperbaiki. Dialog pada ruang publik tersebut dilakukan sebelum Tahun Baru Imlek. Pihak kelenteng menyediakan bangku dan meja sederhana di lengkapi dengan hidangan lokal, seperti kopi, bajigur, cakue, dan kacang yang mereka beli dari warga sekitar. Pihak penyelenggara, yakni jemaah kelenteng duduk bersama warga untuk berdialog atas kondisi yang dihadapi. Siapapun disilahkan duduk dan berbicara di tempat tersebut. Dari pihak DKM dan gereja pun turut serta berdialog, tidak sekedar membicarakan teknis penyelenggaraan perayaan Cap Go Meh tetapi meluas pada permasalahan warga masyarakat sekitar.
7 Keterangan dari warga masyarakat beretnis Sunda di Gang Ibu Aisah 19
Seperti keamanan lingkungan, memudarnya rasa memiliki daerah, dan juga solidaritas antar etnik. Ruang publik ini diselenggarakan pada waktu tertentu saja, yakni disaat cuaca tidak hujan dan berlangsung antara pukul 20 hingga 22.30. Dalam ruangan publik yang tersedia ini terjadi tindakan-tindakan komunikatif. Mengacu pada Habermas (1984:360) ruang publik yang disedikan oleh jemaah kelenteng membentuk suatu jaringan yang mengkomunikasikan informasi dan berbagai cara pandang dari warga masyarakat. Arus-arus informasi yang mucul dalam komunikasi warga yang tertampil kemudian disaring dan dipadatkan. Informasi- informasi tersebut menjadi simpul-simpul opini publik yang spesifik bergantung pada konteks yang sedang dibicarakan. Ruang publik yang tersedia, berdasarkan pemikiran Habermas, memiliki tujuan untuk membentuk opini dan kehendak yang mewakili kepentingan umum. Individu-individu yang terlibat dalam ruang publik ini didominasi oleh laki- laki dewasa atau kepala keluarga. Warga yang relatif baru bermukim di sekitar Gang Ibu Aisah atau Gang Luna memanfaatkan ruang tersebut untuk mengenalkan diri mereka kepada warga yang telah lama bermukim. Keseganan untuk memasuki ruangan kelenteng terkikis karena warga dibolehkan untuk masuk dan melihat suasana kelenteng. Ruang publik yang tersedia ini dimanfaatkan juga oleh warga dari daerah lain untuk melepas rasa ingin tahu mereka atas situasi ruangan kelenteng. Berkaitan dengan prasangkan etnik, terjadi penurunan prasangka etnik, khususnya dari etnis tempatan kepada etnis Tionghoa. Dalam pertemuan-pertemuan internal warga muslim misalnya, sikap kebencian terhadap etnis Tionghoa menurun, tidak sesering pada masa sebelumnya. Meski prasangka telah menurun, hal tersebut tidak mengubah jarak sosial antara Secara ringkas simpulan yang didapat dari hasil penelitian mengenai perayaan Cap Go Meh di tahun 2012 adalah kuasa kapital yang dimiliki oleh etnis Tionghoa mampu menciptakan ruang-ruang publik yang mengarahkan warganya melakukan tindakan komunikatif. Prasangka etnik menurun karena adanya ruang publik yang terbangun secara informal, namun jarak sosial antara etnis Tionghoa dengan etnis- 20
etnis tempatan masih renggang. Hasil penelitian tahun 2012 direfleksikan untuk menjadi aksi penelitian di tahun 2013.
2.3.3. Perayaan Cap Go Meh Tahun 2013 Beranjak dari refleksi hasil penelitian di tahun 2012, pada tahun 2013, penelitian dikerucutkan pada kuasa kapital dalam penciptaan ruang publik dan tindakan komunikatif antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan. Secara teknis perayaan Cap Go Meh memiliki format yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya, dengan penambahan waktu ruang publik bagi setiap warga yang ingin memanfaatkan ruang tersebut. Pada tahun 2013, perayaan Cap Go Meh, dibuka oleh Ibu Siti Nuriyah Wahid sebagai bentuk penghormatan kepada almarhum Abdurrahman Wahid yang telah mengembalikan hak-hak etnis Tionghoa, khususnya yang beragama Kong Hu Chu. Tahun 2013 perayaan Cap Go Meh berjalan dengan penerimaan penuh dari etnis-etnis tempatan. Penerimaan ini tidak lain dikarenakan tersedianya ruang publik yang memungkinkan warga melakukan tindakan-tindakan komunikatif dan dapat menyalurkan gagasan-gagasan mereka untuk dijadikan konsensus. Seperti halnya yang terjadi pada tahun 2012, ruang publik yang tercipta merupakan hasil dari kuasa kapitalis etnis Tionghoa. Etnis tempatan menggunakan ruang publik yang disediakan untuk memberikan gagasan mengenai apa yang harus dilakukan oleh pihak jemaah kelenteng yang tidak bertentangan dengan kepentingan mereka. Di sisi lain, etnis tempatan juga menjadi terbuka pengetahuan mereka tentang etnisitas dan budaya Tionghoa (terutama etnis tempatan yang merupakan warga baru). Kuasa kapital berhasil meredam konflik dan membangun ruang-ruang publik sehingga terbentuk tindakan komunikatif dari etnis Tionghoa maupun etnis-etnis tempatan. Hal ini dapat dinyatakan sebagai hasil maupun proses. Dinyatakan hasil, karena dianggap dapat meredam konflik komunal sekaligus dapat membuka ruang- ruang publik guna terbentuknya tindakan komunikatif warga. Dinyatakan sebagai proses, karena kuasa kapitalisme tidak berhenti sampai di situ, lebih jauh kuasa 21
kapitalisme berhasil menciptakan pola-pola hubungan yang baru dalam masyarakat, yakni membuka sumbat saluran komunikasi warga dan menurunnya prasangka etnis, terutama dari etnis-etnis tempatan, masih membuka kemungkinan-kemungkinan lain yang menuju kearah integrasi atau sebaliknya. Kuasa kapital etnis Tionghoa pada tataran tertentu merupakan tindakan yang terbilang konservatif, yakni menggelontorkan dana untuk menyenangkan masyarakat. Berkaitan dengan kondisi modal sosial warga setempat yang secara umum relatif rendah, tindakan tersebut dipandang perlu sebagai alternatif yang dapat ditempuh sesuai dengan karakteristik masyarakat terkait. Kuasa kapital menjadi stimulus menciptakan ruang publik. Dalam masyarakat yang berdimensi multi dan kenyataan bahwa masyarakat Gang Ibu Aisah memiliki modal sosial yang rendah, kapitalisme diperlukan sebagai katalis untuk memperbaiki hubungan interaksi antar etnis sebagai dasar terbentuknya modal sosial dalam masyarakat. Aliran kapital yang terjadi dalam pembentukan ruang publik mengacu pada Habermas (1984) secara historis dimulai dari ruang publik yang disediakan oleh kaum borjuis (kapitalis etnis Tionghoa). Kuasa kapital etnis Tionghoa merespon perubahan struktural dalam masyarakat hasil kapitalisme lainnya yakni industri yang terinternalisasi dalam budaya warga. Semakin menguatnya posisi organisasi ekonomi dan kelompok bisnis etnis Tionghoa memungkinkan mereka untuk mempengaruhi kehidupan publik termasuk menciptakan saluran-saluran opini dan gagasan publik guna tercapainya konsensus. Masyarakat setempat mendapatkan kebermanfaatan dari kuasa kapitalisme yang dioperasionalkan oleh etnis Tionghoa melalui ruang publik. Kebermanfaatan ini bersifat immaterial yakni munculnya kesadaran atas sekat-sekat yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan. Dari kesadaran atas sekat-sekat tersebut, telah terjadi penurunan prasangka etnis pasca perayaan Cap Go Meh 2013. Penurunan ini dikonfirmasi oleh peneliti yang semakin jarang mendengar atau melihat berbagai bentuk prasangka etnis yang pernah terjadi di masa-masa sebelumnya. 22
Menurunnya prasangka etnis ini diiringi juga dengan menurunnya prasangka berdasar agama, khususnya dari pemeluk Islam terhadap pemeluk Kong Hu Chu. Para pemeluk Islam mendapatkan pendewasaan melalui ruang publik dan dialog- dialog komunikatif. Dalam satu dialog di ruang publik, seorang etnik Tionghoa muslim memberikan pencerahan kepada etnis tempatan beragama islam mengenai riwayat Wali Sembilan (wali songo). Dari dialog tersebut, dikemukakan bahwa sebagian dari para wali tersebut adalah etnis Tionghoa. Selain wali sembilan, dikemukakan pula sejarah penyebaran agama Islam di Nusantara yang dilakukan oleh para etnis Tionghoa. Kuasa kapitalisme etnis Tionghoa, untuk sementara, dipandang positif dalam upaya integrasi antar etnik. Peneliti berasumsi bahwa kuasa kapitalisme ini dapat dijadikan model kecerdasan dalam pengelolaan dan penyelesaian konflik terutama pada masyarakat yang memiliki modal sosial yang rendah seperti pada masyarakat di Gang Ibu Aisah ataupun di tempat-tempat lainnya. Kebermanfaatan kuasa kapital etnis Tionghoa, pada tataran tertentu belum mengubah jarak sosial antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan. Meski kesadaran atas sekat-sekat telah tercipta dan prasangka etnis telah menurun, hubungan sosial antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Jarak sosial yang erat hanya terjadi pada lingkungan internal etnis tempatan, seperti yang telah terjadi sejak masa sebelumnya. Jarak sosial di lingkungan etnis Tionghoa, yakni antara pemeluk agama Kong Hu Chu dengan pemeluk Kristiani menunjukkan kerenggangan, meskipun menyandang identitas sebagai etnis Tionghoa, perbedaan agama diasumsikan sebagai penyebab renggangnya jarak sosial di antara mereka. Ringkasnya, hasil penelitian pada tahun 2013 memberikan 3 (tiga) buah gambaran. Ketiga gambaran tersebut adalah, 1) terciptanya kesadaran sekat komunikasi antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan; 2) terjadinya penurunan prasangka etnis yang signifikan disertai penurunan prasangka berdasar agama; 3) belum berubahnya jarak sosial yang renggang antara etnis Tionghoa dengan etnis 23
tempatan. Dari penelusuran selama tahun 2011 hingga 2013, hal yang dapat ditarik adalah kuasa kapitalisme dalam meredam konflik komunal melalui penciptaan ruang- ruang publik sebagai fasilitas terbentuknya tindakan-tindakan komunikatif.
III. PENUTUP Pemikiran Habermas (1984) mengenai ruang publik dan tindakan komunikatif dapat dikonstruksikan untuk mengelola dan menyelesaikan konflik komunal. Dalam konteks pengelolaan dan penyelesaian konflik komunal yang diangkat dalam makalah ini kuasa kapital dipandang perlu sebagai stimulus menciptakan ruang publik. Pada masyarakat yang berdimensi multi dan kenyataan bahwa masyarakat Indonesia ditenggarai memiliki modal sosial yang rendah, kapitalisme diperlukan sebagai katalis untuk memperbaiki hubungan interaksi antar etnis sebagai dasar terbentuknya modal sosial dalam masyarakat. Sungguhpun demikian, makalah ini bukanlah makalah yang berakhir. Karenanya kesimpulan di atas merupakan hipotesis yang harus dipertajam untuk mendapatkan pemahaman yang lebih utuh dan luas. Dalam mengkaji kecerdasan pengelolaan dan penyelesaian konflik, masih dibutuhkan penelitian lanjutan yang mengacu pada metode yang telah dijalankan, merefleksikan temuan-temuan untuk dijadikan penelitian berikutnya.
IV. REFERENSI Habermas, J., 1984. Theory of Communicattive Action. Beacon, Boston.
Hardiman, F.B. 2008. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Juergen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Lubis, Nina H. Dkk. 2000. Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint.
Simmel,G. 1950. The Sociology of Georg Simmel. Transl., editor. and introduction oleh K. H.Wolff. New York: Free Press.
24
Suryadinata, L. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia. Jakarta: LP3ES
Makalah: Skober, T.R. 2004. Orang Cina Di Bandung, 1930-1960: Merajut Geliat Siasat Minoritas Cina. Disampaikan dalam Konferensi Nasional Sejarah VIII, Jakarta: 14-17 November 2006
Tripp, D. 2005. Action Research: a methodological introduction. Melbourne: University of Murdoch.
Jurnal: Whyte, W.F. 1989. Advancing Scientific Knowledge Through Participatory Action Research Sociological Forum, Vol. 4, No. 3. (Sep., 1989), pp. 367-385.