Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rinosinusitis merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan yang paling banyak
dialami sbagian besar populasi. Rinosinusitis virus akut biasanya akan sembuh dalam 7-10
hari tanpa terapi spesifik sedangkan rinosinusitis bakteri akut diindikasikan dengan gejala
lebih dari 10 hari dengan perburukan kondisi dan perkembangan sekret yang makin purulen.
Rinosinusitis bakterialis merupakan proses peradangan pada mukosa hidung atau sinus
paranasal yang disebabkan oleh kuman tertentu, ditandai dengan dua atau lebih gejala yag
salah satunya harus berupa gejala sumbatan hidung/ kongesti atau sekret yang keluar dari
hidung baik dari anterior ataupun posterior (koana), dengan gejala lain adalah nyeri wajah
dan gangguan penghidu. Gejala tersebut lebih dari 10 hari sampai 28 hari dengan sekret
hidung atau postnasal drip yang purulen selama 3 atau 4 hari yang disertai demam tinggi dan
gejala memburuk dalam 10 hari pertama.
Rinosinusitis bisa menyebabkan komplikasi lokal dan sistemik. Komplikasi lokal
terbanyak secara anatomi berkaitan dengan sinus paranasal dan struktur lain seperti kepala,
leher dan dada. Infeksi sinus dapat menyebar melalui anastomose pembuluh darah atau
langsung ke struktur yang berdekatan. Penyebaran ke area orbita dapat menyebabkan
Komplikasi orbita karena rinosinusitis dibagi menjadi lima kategori oleh Chandler
bergantung pada tingkat keparahan yaitu selulitis periorbita, selulitis orbita, abses
subperiosteal, abses orbita dan trombosis sinus kavernosus.
Penyebab komplikasi dapat terjadi pada rinosinusitis akut dan kronik brgantung pada
lama dan etiologi rinosinusitis primer. Termasuk Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Staphylococcos aureus, bakteri anaerobik (Prevotella,Porphyromonas,
Fusobacterium and Peptostreptococcus spp.) dan Microaerophilic streptococci.
2

1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai anatomi sinusparanasal, rinosinusitis dan komplikasi,
abses orbita, dan tatalaksana abses orbita akibat komplikasi rinosinusitis.
1.3 Tujuan Penulisan
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang
komplikasi rinosinusitis terhadap orbita.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang dipakai dalam penulisan referat ini berupa tinjauan kepustakaan dengan
merujuk kepada berbagai literatur dan makalah ilmiah.











3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi sinus paranasal
Sinus paranasal adalah hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang (Darmayanti). Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh
manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuk, jumlah, ukuran dan simetrisasi sangat
bervariasi pada tiap individu( Darmayanti, Boies).Sinus paranasal membentuk sebuah unit
yang kompleks dari empat pasang rongga berisi udara pada pintu masuk saluran nafas
atas(zoukaa). Sinus paranasal terdiri dari kelompok drainase anterior : sinus maksila, sinus
etmoid anterior, dan sinus frontal; dan kelompok drainase posterior : sinus etmoid posterior,
dan sinus sfenoid(kanowitz).
Secara embriologis, sinus paranasal mulai berkembang dari penonjolan dan kerutan-
kerutan dalam dinding lateral hidung sejak 8 minggu proses embriogenesis dan terus
mengalami pneumotisasi sampai masa dewasa muda(zoukaa). Selama perkembangan sinus,
proses pneumotisasi melibatkan tulang yang berdekatan seperti sinus etmoid yang
berkembang ke os maksila dan os sfenoid, dan sinus maksila yang meluas ke os
zigomatikus(zoukaa). Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat lahir, sedangkan sinus
frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak berusia 8 tahun(darmayanti).
Pneumotisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung(darmayanti). Sinus paranasal mencapai besar maksimal pada usia
antara 15-18 tahun (darmayanti).
Seluruh sinus paranasal dilapisi oleh epitel pernafasan berlapis semu yang terdiri dari
empat tipe mayor sel yaitu sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sel Goblet, dan
4

sel basal(zoukaa). Mukosa sinus paranasal langsung menempel pada tulang sehingga disebut
mukoperiosteum(zoukaa).Permukaan mukosa predominan pada jalur sinonasal adalah
epitelium respirasi yang berjalan sepanjang dinding hidung dan rongga sinus, nasofaring, dan
lantai hidung (Kanowitz). Permukaan mukosa ini juga bersilia, bertingkat semu, epitel
kolumnar dengan sejumlah kelenjar berkonsentrasi tinggi, dan persarafan besar oleh nervus
trigeminal (lewat nervus V2 dan beberapa nervus V1)(Kanowitz). Semua sinus paranasal
mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung dan pada orang sehat sinus terutama
berisi udara(darmayanti, boies). Ostium sinus membuka secara alami ketika proses drainase
rongga sinus ke saluran nafas, baik secara langsung ke rongga hidung atau secara tidak
langsung melalui struktur anatomi yang lebih kompleks(zoukaa).
2.1.1 Sinus maksila
Sinus maksila adalah sinus paranasal terbesardan paling konstan(Darmayanti,
Kanowitz). Sinu maksila adalah sinus pertama yang berkembang saat lahir dan saat lahir
berukuran 6-8 mL dan berukuran 15 mL saat dewasa(Zoukaa, darmayanti).Sinus maksila
mengalami dua periode perkembangan yang cepat, yaitu pada saat lahir sampai usia 3 tahun
dan usia 7-18 tahun(Zoukaa). Sinus maksila berbentuk piramid dengan dinding anterior
bersesuaian dengan permukaan fasial os maksila (Zoukaa). Batas-batas sinus maksila adalah
(Darmayanti, Zoukaa) :
- Dinding anterior : permukaan fasial os maksila (fosa kanina)
- Dinding posterior : permukaan infratemporal maksila; memisahkan sinus maksila dengan
fossa pterigomaksilaris di bagian medial dan dengan fossa infratemporal di bagian
lateral.
- Dinding medial : dinding lateral rongga hidung; tidak terdiri dari bagain tulang, dibentuk
oleh mukosa meatus media, selapis jaringan ikat dan mukosa sinus.
5

- Dinding superior : dasar orbita; sering menunjukkan kanal tulang posteroanterior untuk
bagian distal cabang kedua nervus trigeminal (V2)
- Dinding inferior : prosesus alveolaris dan palatum durum; terletak pada tingkat yang
sama dengan lantai hidung pada anak-anak dan 5-10 cm dibawah lantai hidung pada
dewasa.
Variasi anatomi yang paling umum pada sinus maksila adalah sel etmoid infraorbita
atau sel Haller (zoukaa). Sel Haller adalah sel-sel etmoid yang mengalami pneumonisasi,
terproyeksi sepanjang lantai orbita, timbul paling sering dari sinus etmoid anterior(zoukaa).
Sel-sel Haller pada beberapa kasus dapat menimbulkan kompromi patensi infudibulum sinus
maksilaris dan pada kasus lainnya dapat mengakibatkan penyakit polipoid kronis(zoukaa).
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara
ke hiatus semilunaris melalui infudibulum etmoid. Perlu diperhatikan (Darmayanti) :
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi atas, yaitu premolar (P1 dan P2)
dan molar (M1 dan M2), kadang juga mengenai gigi taring (C) dan gigi molar 3. Akar-
akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi mudah naik ke
atas menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia dan drainase sinus maksila harus melalui infudibulum yang
sempit. Infudibulum adalah bagian sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi dapat menghalangi drainase sinus maksila sehingga dapat
menyebabkan sinusitis.

6

2.1.2 Sinus frontal
Sinus frontal terletk pada os frontal dan mulai terbentuk sejak bulan ke-empat fetus.
Sinus maksila berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infudibulum etmoid.
Setelah lahir sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontal biasanya tidak simetris antara kiri dan kanan, salah satu bagian biasanya
lebih besar dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Sekitar 15% dewasa
hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang.
Sinus frontal berukuran tinggi 2,8cm, lebar 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal
biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Hilangnya sekat-sekat dan lekuk-
lekuk pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi pada sinus. Sinus frontal dipisahkan
oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini. Drainase sinus frontal melalui ostium yang terletak di
resesus frontal yang berhubungan dengan infudibulum etmoid.
2.1.3 Sinus etmoid
Sinus etmoid adalah sinus yang paling bervariasi dan dianggap paling penting
dibandingkan sinus paranasal lainnya karena merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya. Pada orang dewasa sinus etmoid berbentuk seperti piramid dengan dasar di bagian
posterior. Panjang anterior-posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebar 0,5 cm di anterior dan
1,5 cm di bagian posterior (Darmayanti.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid terletak diantara konka media dan dinding
7

medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior.
Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya berukuran kecil dan berjumlah banyak, letaknya di
depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral
(lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posteriorbiasanya berukuran besar dan
berjumlah lebih sedikit, terletak di posterior lamina basalis.
Pada bagain terdepan sinus etmoid anterior terdapat bagian sempit yang disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal(darmayanti). Sel etmoid terbesar
disebut bula etmoid (Darmayanti). Pada sinus etmoid anterior terdapat suatu penyempitan
yang disebut infudibulum, muara ostium sinus maksila(Darmayanti). Pembengkakan atau
peradangan pada resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan
pada infudibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila(Darmayanti).
Atap sinus etmoid (fovea etmoidalis) berbatasan dengan lamina kribosa. Bagian
belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid(Darmayanti). Dinding
lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dengan
rongga orbita (Darmayanti). Infeksi akut pada sinus etmoid dapat dengan mudah melintasi
pembatas tulang yang tipis, mengakibatkan selulitis orbital atau periorbital atau membentuk
abses (Krousse).
2.1.4 Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di bagian belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfeniod dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Sinus sfemoid
berukuran tinggi 2 cm, dalam 2,3 cm, dan lebar 1,7 cm. Volume sinus sfenoid bervariasi dari
5 mL- 7,5mL. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan persarafan bagian lateral os
8

sfenoid menmjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada
dinding sinus sfenoid.
Batas-batas sinus sfenoid adalah :
- Superior : fosa serebri media dan kelenjar hipofisis
- Inferior : atap nasofaring
- Lateral : sinus kavernosus dan arteri karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
- Posterior : fosa serebri posterior di daerah pons
2.1.5 Kompleks osteomeatal
Kompleks osteomeatal adalah suatu daerah sempit dan rumit yang terletak pada
sepertiga tengah dinding lateral hidung, tepatnya pada meatus medius(Darmayanti).
Kompleks ini terdiri dari infudibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya, dan ostium
sinus maksila(Darmayanti). Pada kompleks osteomeatal terdapat jalur drainase untuk sinus
etmoid anterior, sinus maksila, dan sinus frontal(Zoukaa).
2.1.6 Sistem mukosiliar
Sinus terdiri dari mukosa bersilia dan parut lendirdi bagian atasnya (Darmayanti).
Dalam keadaan sehat, mukosa saluran sinonasal memproduksi lebih dari 600 cc mukus
setiap hari (Kanowitz). Mukus didorong sepanjang permukaan epitel respirasi dengan aksi
pemukulan terkoordinasi silia(Kanowitz). Pembersihan mukosiliar (atau aliran mukus)
terjadi dalam pola karakteristik baik di dalam sinus dan diseluruh rongga hidung(Kanowitz).
Di dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium
alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya(Darmayanti).
9

Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir
yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infudibulum etmoid dialirkan
ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
posterior bergabung di resesus sfenoetmooidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior
muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati post nasal drip, tetapi belum tentu ada
sekret di rongga hidung.
2.2 Rhinosinusitis
Rinosinusitis akut adalah salah satu diagnosis yang paling umum dibuat dalam
perawatan primer, dan manajemen pada penyakit ini memiliki implikasi yang signifikan bagi
kesehatan masyarakat dan dan juga dari segi biaya. Untuk menangani pasien dengan
rinosinusitis, dokter umum di Belanda umumnya menggunakan pedoman dari the Dutch
College of General Practitioners. Pengobatan didasarkan pada keparahan gejala dan risiko
terjadinya komplikasi. Pedoman ini menyarankan untuk memulai dengan pengobatan
simtomatik dan menyatakan bahwa antibiotik tidak diindikasikan untuk rinosinusitis normal.
1
Rinosinusitis bakterialis merupakan proses peradangan pada mukosa hidung atau
sinus paranasal yang disebabkan oleh kuman tertentu, ditandai dengan adanya dua atau lebih
gejala dimana salah satunya harus berupa gejala sumbatan hidung/kongesti atau sekret yang
keluar dari hidung baik dari anterior ataupun posterior (koana), dengan gejala lain adalah
nyeri wajah dan gangguan penghidu. Berdasarkan periodenya dibedakan menjadi akut bila
berlangsung selama < 12 minggu dan kronik bila berlangsung selama > 12 minggu.
Pemeriksaan penunjang tomografi komputer dapat memperlihatkan perubahan pada mukosa
kompleks osteomeatal dan/atau sinus paranasal, sedangkan kultur sekret dan tes sensitivitas
dapat digunakan untuk menentukan kuman penyebab rinosinusitis dan untuk menentukan
jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab.
2
10

2.3 Komplikasi Rinosinusitis
2.3.1 Patogenesis
Anatomi mata sangatlah penting untuk memahami kerentanan terhadap penyebaran
infeksi dari struktur yang berdekatan. Vena yang mengalir dari orbita, sinus etmoid dan
maksila, dan kulit mata serta jaringan periorbital (Gambar 1) merupakan suatu jaringan
anastomosis dan kurang-katup (valveless). Sistem vena ini memberikan peluang bagi
penyebaran infeksi dari satu situs ke situs anatomi yang lain dan merupakan predisposisi
keterlibatan sinus kavernosus.
3

Gambar 1. Sistem Vena yang Kurang-katup (valveless) pada Orbita dan Anastomisisnya
(Harris 1994)
3
11


Gambar 2. Skema Ilustrasi Hubungan antara Mata dan Sinus Paranasal. Atap orbita, dinding
medial, dan lantai dibagi oleh masing-masing sinus frontalis, etmoidalis, dan maksilaris.
(Shapiro et al 1982).
3
Gambar 2 menunjukkan hubungan antara mata dan sinus paranasal. Atap orbita
adalah dasar sinus frontal, dan lantai orbita adalah atap sinus maksilaris. Dinding medial
orbita dibentuk oleh prosesus frontomaksilaris, tulang lakrimal, yang lamina papirasea tulang
ethmoid, dan sebagian kecil dari tulang sfenoid. Infeksi yang berasal dari mukosa sinus
paranasal dapat menyebar untuk melibatkan tulang (osteitis dengan atau tanpa abses
subperiosteal) dan isi intraorbital. Hal tersebut dapat terjadi melalui tulang alami yang ber-
dehiscence di lamina paprasea dari tulang etmoidalis atau frontalis atau melalui foramen yang
dilalui arteri etmoidalis.
3
12


Gambar 3. Septum Orbital merupakan jaringan ikat yang meluas ke kelopak mata atas dan
bawah (Shapiro et al 1982).
3
Gambar 3 menunjukkan posisi septum orbital dengan perluasan jaringan ikat
periosteum (atau periorbita) yang tercermin ke dalam kelopak mata atas dan bawah. Infeksi
jaringan anterior septum orbital digambarkan sebagai periorbital atau preseptal. Septum ini
sebagai penghalang tahan terhadap penyebaran infeksi ke orbita. Penyebab infeksi selulitis
preseptal terjadi pada tiga cara : 1) sekunder terhadap infeksi lokal atau peradangan dari
konjungtiva, kelopak mata, atau struktur yang berdekatan (misalnya, konjungtivitis,
hordeolum, Chalazion akut, dakriosistitis, dakrioadenitis, impetigo, atau selulitis akibat
trauma bakterialis); 2) sekunder terhadap penyebaran hematogen dari patogen nasofaring ke
jaringan periorbital; dan 3) sebagai manifestasi edema inflamasi pada pasien yang memiliki
sinusitis akut (Tabel). Meskipun selulitis preseptal atau selulitis periorbital (istilah mungkin
digunakan secara bergantian) sering dianggap sebagai "diagnosis," istilah merupakan label
diagnostik yang tidak memadai jika tidak disertai oleh modifikator yang menunjukkan
kemungkinan patogenesis (misalnya, selulitis periorbital bakterial atau selulitis periorbital
karena dakriosistitis). Infeksi belakang septum yang menyebabkan pembengkakan mata
termasuk abses subperiosteal, abses orbital, selulitis orbita, trombosis sinus kavernosus,
panophthalmitis, dan endophthalmitis. Semua ini entitas dapat diberi label "selulitis orbital",
13

tapi pendekatan sistematis memungkinkan diagnosis yang lebih spesifik sehingga dapat
mengarahkan penatalaksanaan.
3
Tabel 1. Penyebab Infeksi Selulitis Preseptal dan Orbital
3

Komplikasi yang disebabkan oleh rinosinusitis akut ataupun kronik dapat berupa
komplikasi lokal (mukokel, osteomielitis), komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial.
Komplikasi orbita umumnya terjadi akibat perluasan infeksi rinosinusitis akut pada anak
sedangkan pada anak yang lebih besar dan orang dewasa dapat disebabkan oleh rinosinusitis
akut ataupun kronik.
2
Berdasarkan penelitian retrospektif oleh Sultz dkk dari 339 pasien, 182 pasien
dirawat dengan rinosinusitis bakteri akut persisten dan tidak menunjukkan respon terhadap
terapi konservatif dan 157 anak didiagnosis dengan komplikasi sekunder dari sinusitis akut.
14

Pria mendominasi dari keseluruhan pasien (54,8%). Rentang usia yang paling berisiko
terkena adalah antara 3 dan 6 tahun. Jumlah pasien rawatan tertinggi terjadi pada bulan
Maret. Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling sering terlibat. Komplikasi orbital yang
diamati pada 150 pasien adalah 126 kasus selulitis preseptal, 9 dari selulitis orbita, abses
subperiosteal 4, dan 11 dari abses orbital. Selanjutnya dua anak didiagnosis dengan
komplikasi intrakranial, empat pasien menderita komplikasi osteomielitis dan sisanya satu
pasien dengan mukokel. Streptokokus pneumoniae adalah patogen yang paling sering didapat
dari pemeriksaan kultur. Tidak ada kematian, dan morbiditas terjadi hanya dalam dua kasus.
4
Selulitis atau abses orbita dapat terjadi sebagai komplikasi dari sinusitis akut pada
anak-anak. Proses infeksi ini melibatkan anatomi struktur posterior yang dibentuk oleh
septum orbital. Selulitis preseptal juga umum terjadi pada anak-anak, dan dapat diakibatkan
sinusitis, penjalaran infeksi bakteri per kutaneus, atau bakteremia. Penting untuk
membedakan antara selulitis preseptal, selulitis orbita, dan abses orbital. Abses orbital dan
sub periosteal menempatkan pasien pada risiko kebutaan, infeksi intrakranial, atau kematian.
Sumber eksternal infeksi yang dapat menyebabkan pembengkakan peri orbital kecil
kemungkinannya untuk menyeberangi batas anatomi septum orbital dan menyebabkan
komplikasi-komplikasi tersebut.
5
Penyebaran infeksi rinosinusitis ke orbita dapat melalui penyebaran langsung melalui
defek kelainan bawaan, foramen atau garis sutura yang terbuka, erosi tulang terutama pada
lamina papirasea dan tromboflebitis retrograd langsung melalui pembuluh darah vena yang
tidak berkatup yang menghubungkan orbita dengan wajah, kavum nasi, dan sinus paranasal.
2


15

Tabel 2 Klasifikasi Komplikasi Orbital akibat Sinusitis menurut Chandler, Gambaran
Klinis
5


Klasifikasi komplikasi orbita menurut Chandler terdiri dari (gambar 4) :
2
1. Selulitis periorbita : peradangan pada kelopak mata yang ditandai dengan edema pada
kelopak mata.
2. Selulitis orbita : peradangan dan edema sudah meluas ke orbita, ditandai dengan
adanya proptosis, kemosis, dan gangguan pergerakan bola mata. Biasanya bisa meluas
menjadi abses orbita dan kebutaan.
3. Abses periorbita (abses subperiosteal) : pembentukan dan pengumpulan pus antara
periorbita dan dinding tulang orbita, yang ditandai dengan proptosis dengan
perubahan letak bola mata, gangguan pergerakan bola mata dan penurunan visus.
4. Abses orbita : terdapat pembentukan dan pengumpulan pus di orbita ditandai dengan
optalmoplegi, proptosis, dan kehilangan penglihatan.
16

5. Thrombosis sinus kavernosus : sudah terjadi perluasan infeksi ke sinus kavernosus
yang ditandai dengan proptosis, optalmoplegi, kehilangan penglihatan disertai
perluasan tanda infeksi ke mata yang sehat dan tanda-tanda meningitis.

Gambar 4. Klasifikasi Sinusitis dengan Komplikasi Orbita : 1.selulitis periorbita,
2.selulitis orbita, 3.abses periorbita, 4.abses orbita, 5.trombosis sinus kavernosus
2
Evaluasi anak dengan pembengkakan periorbital akut sebenarnya sulit. Temuan klinis saja
mungkin tidak cukup spesifik untuk membedakan infeksi preseptal atau orbital atau
merupakan komplikasi. Sampai saat ini, penelitian telah mengidentifikasi proptosis dan
oftalmoplegia (keterbatasan pergerakan ekstraokuler) sebagai indikator peradangan
intraorbital tetapi belum bisa membedakan antara selulitis atau abses orbital. Temuan
laboratorium terbukti tidak membantu dalam penentuan hal ini.
5
Kekhawatiran terhadap keterlibatan orbital mungkin mendorong penggunaan computed
tomography (CT) untuk men-scanning daerah orbita. CT-scan dapat mendeteksi perluasan
17

infeksi ke orbita, mengidentifikasi abses orbital, atau mengetahui penyakit sinus. Meskipun
CT-scan merupakan alat yang sangat berguna, tindakan ini menghadapkan pasien pediatrik
pada risiko paparan radiasi pengion dan dalam beberapa kasus, diperlukan tindakan sedasi.
Protokol dalam literatur saat ini menyediakan berbagai macam indikasi untuk CT-scan yang
mencakup oftalmoplegia atau proptosis namun lebih lanjut untuk menunjukkan pencitraan
bagi mereka dengan ketajaman visual yang tidak dapat dinilai, pasien dengan demam yang
persisten selama 36 jam dan juga pasien yang tidak menunjukkan perbaikan klinis dalam
waktu 24 jam pertama setelah pemberian antibiotik. Ada juga yang menyarankan pencitraan
hanya untuk pasien dengan oftalmoplegia, nyeri, atau proptosis setelah kondisi tidak
menunjukkan perbaikan setelah pemberian antibiotik awal, namun kita dapat
mempertimbangkan pemeriksaan CT-scan untuk kasus-kasus di mana intervensi bedah
dibutuhkan.
5
2.3 Abses orbita
Abses orbita adalah kumpulan pus diantara jaringan lunak pada orbita (khurana).
Secara klinis abses orbita dapat dicurigai dengan tanda-tanda proptosis berat, oftalmoplegia
total, penanda kemosis, dan titik-titik pus dibawah konjungtiva, tetapi semua tanda-tanda ini
harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT Scan(kurana, Erica thaler).
Abses sering diperoleh dari penyakit etmoid, tetapi dapat juga terjadi sepanjang atap
orbita akibat rinosinusitis frontal(Erica). Infeksi pada orbita disebabkan oleh bakteri
Streptokokus pneumoniae, Stafilokokus aureus, Streptokokus piogens, dan Haemofilus
influenzae (Kurana, vaughan). Orbita dapat terinfeksi melalui cara, seperti (kurana):
- Exogenous infection
18

Cedera akibat penetrasi terutama berhubungan dengan retensi benda asing intraorbita
dan operasi seperti pengeluaran isi bola mata, enukleasi, dakriosistektomi, dan
orbitotomi
- Extension of infection from neighbouring
Temasuk melalui sinus paranasal, gigi, wajah, kelopak mata, rongga intrakranial, dan
struktuk intraorbita. Ini adalah cara paling umum untuk terjadinya infeksi pada orbita.
- Endogenous infection
Cara ini jarang ditemukan, biasanya disebabkan infeksi metastasis abses payudara,
sepsis, septikemia, dan tromboflebitis tungkai.
Gejala-gejala infeksi orbita adalah bengkak pada mata dan nyeri hebat yang semakin
menigkat dengan pergerakan mata atau penekanan pada mata. Gejala lain yang menyertai
seperti demam, mual, muntah, penonjolan bola mata, dan terkadang kehilangan pengelihatan.
Tanda-tanda selulitis orbita diantaranya :
- Pembekakan kelopak mata yang ditandai dengan perabaan keras dan kemerahan
- Kemosis konjungtiva, dapat menonjol dan menjadi kering atau nekrosis.
- Bola mata menonjol ke arah aksial.
- Terbatasnya pergerakan bola mata ringan sampai berat.
- Pemeriksaan fundus didapatkan kongesti vena-vena retina dan tanda-tanda papilitis
atau papil edema.
Komplikasi abses orbita terjadi bila abses tersebut tidak ditangani dengan tepat,
diantaranya adalah komplikasi ke bola mata seperti kebutaan, neuritis optik, dan oklusi arteri
retina sentral. Komplikasi lainnya berupa abses temporal atau parotis, trombosis sinus
kavernosus, meningitis, abses otak, dan septikemia.
19

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
diantaranya :
- Kultur bakteri yang diambil melalui swab pada hidung dan konjungtiva dan sampel
darah.
- Darah rutin dapat ditemukan leukositosis
- X-ray sinus paranasal untuk mengetahui hubungan abses orbita dengan sinusitis
- USG orbita untuk mendeteksi abses intraorbita
- CT scan dan MRI untuk mendeteksi abses orbita, abses periorbita, perluasan
intrakranial, dan menentukan arah drainase abses orbita.
2.4 Penatalaksanaan
Ada beberapa faktor predisposisi penting untuk terjadinya selulitis orbital, termasuk
inokulasi langsung sebagai akibat dari trauma atau operasi, penyebaran hematogen dalam
proses bakteremia, atau perluasan infeksi atau peradangan dari sinus paranasal yang
berdekatan, mata dan struktur adneksa. Penyebab yang paling sering selulitis orbital adalah
perluasan sekunder infeksi dari sinus paranasal, terutama dari sinus etmoid yang memiliki
dinding orbital medial tipis. Edema mukosa sinus yang terjadi akibat penyempitan dari ostia
dan gangguan drainase sinus dapat menyebabkan proliferasi mikroflora normal dari sinus dan
saluran pernapasan bagian atas. Pada akhirnya akan terjadi supurasi dan perluasan infeksi
langsung melalui tulang dinding orbital yang tipis, saluran vena, dan foramen sebagai hasil
dari perkembangan selulitis orbita. Dari penelitian-penelitian yang ada dilaporkan bahwa
sinusitis biasanya memiliki hubungan terkait dengan terjadinya selulitis orbital secara umum,
dengan angka yang dilaporkan mencapai hampir 100%. Penyebab penting lainnya dari
selulitis orbital termasuk trauma dengan fraktur orbital terkait atau benda asing, dakriosistitis
20

(obstruksi duktus nasolakrimal), infeksi gigi, endoftalmitis, dan selulitis preseptal yang tidak
diobati.
6
Penatalaksanaan rinosinusitis kronis dengan komplikasi orbita dapat berupa
pemberian medikamentosa baik antibiotik intravena dengan spektrum luas dan atau
kombinasi, dekongestan, kortikosteroid sistemik maupun disertai dengan tindakan operatif.
Selulitis periorbita dan selulitis orbita biasanya dapat sembuh hanya dengan terapi
medikamentosa. Pada abses periorbita, selain terapi medikamentosa dilakukan juga drainase
abses dan eradikasi sumber infeksi pada sinus yang terlibat. Pada abses orbita diberikan terapi
medikamentosa dan operatif berupa drainase abses dan orbitotomi untuk dekompresi saraf
optik. Umumnya tindakan operatif dilakukan bila terdapat kegagalan terapi medikamentosa
yang optimal atau sudah terdapat komplikasi orbita yang berat dan atau komplikasi
intrakranial.
2

Di Amerika Serikat, organisme bakteri yang paling umum diidentifikasi dalam
selulitis preseptal pada populasi pediatrik adalah S. pneumoniae, diikuti oleh S. aureus dan S.
pyogenes. Pembentukan abses dalam kasus-kasus pasca-trauma biasanya disebabkan oleh S.
aureus dan S. pyogenes. Dalam kultur positif pada selulitis orbital anak, S. aureus dan
Streptococcus spesies adalah organisme yang paling sering diidentifikasi. Dalam sebuah
penelitian lebih baru yang memeriksa organisme yang diisolasi dari kultur abses orbital dan
aspirasi sinus, Staphylococcus adalah spesies yang paling umum (22 positif, 36% dari yang
methicillin resistant S. aureus), diikuti oleh spesies Stretpococcus (13 hasil kultur positif).
bakteri anaerobik yang tidak membentuk spora, termasuk Peptococcus, Peptostreptococcus,
dan Bacteroides, adalah penyebab kurang umum dan berkaitan dengan infeksi gigitan
manusia atau hewan.
6
21

Pada pasien dengan immunocompromised, etiologi jamur dari orbital selulitis harus
dipertimbangkan. Mucormikosis dan Aspergilosis merupakan spesies organisme jamur
penyebab khas. Keduanya dapat menyebabkan nekrosis palatal dan hidung, tapi
Mucormikosis biasanya memiliki onset yang lebih cepat (1-7 hari) dibandingkan
Aspergilosis, dengan kemajuan yang cenderung jauh lebih lambat (bulan).
6
Evaluasi harus dilakukan secara sistemik saat diagnosis selulitis orbital sedang
dipertimbangkan. Evaluasi dasar tanda-tanda vital dan penilaian yang seksama terhadap
gejala konstitusional, termasuk malaise umum dan kehilangan nafsu makan, merupakan
parameter yang penting yang dapat memandu respon pengobatan dan bisa mendahului
perubahan fisik dan radiografi. Kultur mungkin bermanfaat dalam mengidentifikasi agen
penyebab dan memungkinkan untuk terapi antibiotik yang ditargetkan.
6
Evaluasi harus mencakup pemeriksaan mata secara komprehensif. Penilaian fungsi
visual harus dilakukan. Sementara pengukuran yang akurat dari ketajaman mungkin sulit
untuk dinilai apabila terdapat edema kelopak mata/discharge/ chemosis (the swelling or
edema of the conjunctiva), terutama pada pasien anak-anak, penilaian seperti ini sangat
penting dalam menilai respon pengobatan. Pemeriksaan untuk defek aferen pupil dan
penglihatan warna serta oftalmoskopi dilakukan untuk menilai edema saraf optik dan
tortuositas vena dan juga dapat dimanfaatkan untuk memandu pengambilan keputusan klinis
dan tindakan bedah. Proptosis dan derajat keterbatasan motilitas ekstraokular harus diukur
dan didokumentasikan. Seperti dijelaskan sebelumnya, pemeriksaan teliti terhadap bola mata
dan adneksa okular adalah penting, terutama apabila terdapat trauma.
6
Dalam kasus pasien dengan imunosupresi, kemungkinan penyakit jamur, seperti
mukormikosis atau aspergilosis, harus dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial. Hal ini
terutama terkait pada pasien dengan diabetes yang kurang terkontrol dan dengan disfungsi
22

saraf kranial multipel (yaitu, sindrom apeks orbital), dan harus lebih dicurigai mucormikosis.
Evaluasi untuk jaringan nekrotik secara hati-hati harus dilakukan, dan biopsi untuk
histopatologi harus diperoleh untuk lesi yang mencurigakan. Status metabolisme, termasuk
kontrol gula darah, harus dioptimalkan.
6
Computed tomography scan (CT-scan) memberikan pencitraan dari konten orbital dan
sinus paranasal, dan memungkinkan untuk konfirmasi perluasan penyakit ke dalam orbit,
identifikasi penyakit sinus yang bersamaan, dan deteksi kehadiran abses orbital dan
subperiosteal. Kontras intravena dapat berguna dalam membedakan antara abses dan
keterlibatan inflamasi flegmatous pada jaringan orbital. Lokasi yang biasanya terjadi
pembentukan abses berdekatan dengan opasitas sinus paranasal. Secara khusus, lokasi yang
sering untuk pengembangan abses subperiosteal termasuk dinding orbital medial dan lantai
orbital, mengingat dinding medial yang tipis pada sinus etmoid dan lantai orbital tipis pada
bagian atas sinus maksilaris.
6
Ada beberapa kontroversi mengenai apakah semua pasien yang diduga selulitis orbita
memerlukan CT-scan atau tidak, khususnya untuk pasien anak, di mana paparan radiasi dan
potensi risiko kanker dapat menimbulkan keengganan untuk dokter. Banyak dokter percaya
bahwa jika tanda-tanda klinis menunjukkan keterlibatan orbital, pencitraan radiografi harus
segera dilakukan untuk mengkonfirmasi keterlibatan orbit, menilai keberadaan abses atau
benda asing, menentukan tingkat keterlibatan orbital, dan mengevaluasi potensi sumber
infeksi. Hal ini benar sekali terutama dalam kasus di mana pemeriksaan terbatas (anak-anak,
edema periorbital yang signifikan), ada kekhawatiran keterlibatan SSP, keberadaan proptosis
dan oftalmoplegia yang mencolok, tidak adanya perbaikan atau perburukan yang
mengkhawatirkan meskipun pengobatan sudah sesuai, dan apabila intervensi bedah
dipertimbangkan.
6
23

Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada orbita adalah opsi lain untuk membatasi
paparan radiasi namun dapat memberikan resolusi superior jaringan lunak orbital dibanding
CT dan USG. MRI dapat memberikan keuntungan lebih lanjut dalam evaluasi benda asing
bukan logam dan apabila diduga terdapat keterlibatan intrakranial. Kerugian utama dari MRI
adalah membutuhkan waktu scanning yang lebih lama dibandingkan dengan CT, yang
mungkin memerlukan sedasi dan konsultasi anestesi pediatrik. Selain itu, layanan MRI
mungkin juga tidak tersedia di setiap waktu, sehingga menghalangi kemampuan untuk
mendapatkan dan membuat gambar dengan cepat dan terapi yang tepat.
6
4.1 Medikamentosa
Mengingat potensi komplikasi yang signifikan, intravena antibiotik harus segera
dimulai untuk semua kasus selulitis orbita. Pengobatan rejimen didasarkan pada cakupan
empiris organisme penyebab yang paling umum, organisme biasanya gram-positif seperti
Stafilokokus dan Streptokokus. Pilihan antibiotik dapat kemudian dimodifikasi setelah hasil
kultur dan sensitivitas tersedia. Tren lokal dalam kerentanan antimikroba sangatlah penting
untuk sebagai pertimbangan, masyarakat yang berbeda mungkin memiliki flora yang khas
dengan profil resistensi bervariasi.
6
Selain itu, dalam rangka untuk menyediakan cakupan yang lebih luas terhadap gram
negatif dan mikro organisme anaerobik, Cefotaksim dan Metronidazol atau Klindamisin
biasanya diberikan bersamaan. Pilihan antibiotik lain yang mungkin termasuk Piperasilin-
Tazobaktam, Tikarsilin-Klavulanat, dan Ceftriakson. Untuk pasien dengan alergi penisilin,
Vankomisin dalam kombinasi dengan Fluorokuinolon dapat dipertimbangkan. Pengobatan
harus diubah berdasarkan hasil kultur atau sensitivitas dan profil resistensi lokal, dan
konsultasi dengan layanan penyakit menular mungkin sangat berguna.
6
24

Bagi pasien dengan sinusitis bersamaan, menjaga kebersihan hidung dengan baik
merupakan elemen penting dari pengobatan. Pemberian nasal dekongestan dan irigasi nasal
dengan saline dapat memperbaiki drainase sinus dan mungkin memiliki dampak positif
terhadap abses subperiosteal. Kortikosteroid intranasal juga dapat dipertimbangkan dan
mungkin berguna dalam memfasilitasi drainase sinus dan mengurangi edema mukos. Pasien
dengan sinusitis kronis berulang dapat dievaluasi oleh spesialis THT.
6
Karena MRSA
merupakan penyebab yang jarang, terapi empiris vankomisin dan terapi kombinasi mungkin
tidak secara rutin diindikasikan pada semua anak. Sebuah rejimen antibiotik yang
disederhanakan (Ampisilin-Sulbaktam) dapat membantu memfasilitasi transisi pemberian
obat melalui oral dan mencegah perkembangan organisme resisten, reaksi obat yang
merugikan. Karena spesimen bedah memberikan kesempatan terbesar bagi patogen untuk
dapat diidentifikasi, banyak pasien yang dapat mengambil manfaat dari prosedur drainase
sehingga hasil kultur dapat membantu pemilihan terapi antimikroba.
7
Penggunaan kortikosteroid intravena pada selulitis orbital agak kontroversial, dan hal
ini disebabkan karena supresi sistem imun dan mungkin memperburuk proses penyakit.
Namun, mengurangi respon inflamasi mungkin bermanfaat bila digunakan bersama dengan
antibiotik yang tepat, terutama pada perbaikan klinis. Pengobatan dengan kortikosteroid
intravena telah terbukti mengurangi edema mukosa dan kadar sitokin inflamasi pada mukosa
sinus pasien dengan sinusitis akut dan kronis. Selain itu, pada abses subperiosteal, meskipun
disebabkan infeksi, mengurangi komponen inflamasi dapat memfasilitasi drainase dan
resolusi sinusitis. Sementara peran kortikosteroid dalam manajemen akut selulitis orbital
belum diteliti prospektifnya secara acak, penggunaannya tidak mempengaruhi hasil
pengobatan.
6
Pemberian kortikosteroid dianjurkan bila terdapat udem yang luas pada orbita
ataupun intrakranial, sehingga diharapkan dengan pemberian kortikosteroid, udem tersebut
dapat berkurang. Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai terapi tambahan pada
25

rinosinusitis akut dan kronis bersamaan antibiotik, dekongestan dan irigasi hidung dapat
menurunkan jumlah mediator inflamasi seperti sitokin yang ditemukan pada mukosa
sinonasal pasien sinusitis dalam jumlah banyak. Lama pemberian dan dosis steroid sistemik
tidak ditetapkan secara pasti, umumnya diberikan deksametason intravena 0,3-1
mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis selama 7 hari.
2
4.2 Pembedahan
Setelah terapi medis yang tepat telah dimulai, pemantauan secara hati-hati fungsi
visual dan tanda-tanda konstitusional yang penting untuk menilai respon pengobatan.
Intervensi bedah harus dipertimbangkan pada pasien yang gagal merespon atau memburuk
pada terapi medis, menunjukkan perburukan fungsi visual/perubahan pupil, atau apabila
menjadi abses orbital, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan bagian apeks orbital atau
perluasan ke intrakranial.
Pasien dengan abses orbital biasanya diidentifikasi pada pencitraan radiografi.
Temuan terkait termasuk proptosis, oftalmoplegia, perpindahan posisi bola mata, dan edema
kelopak mata yang berat. Kehadiran dan lokasi abses orbital tidak selalu berkorelasi dengan
tingkat keparahan penyakit atau prognosis. Abses orbital biasanya membutuhkan drainase
bedah, khususnya dalam kasus di mana ada kurangnya perbaikan/perkembangan penyakit
meskipun antibiotik, adanya benda asing, dan bersamaan dengan sinus kavernosus atau
apabila terdapat keterlibatan intrakranial.
6

Anda mungkin juga menyukai