MAKALAH Basis Sosial Kekerasan-Radikalisme Perkotaan 1 OLEH: TAMRIN AMAL TOMAGOLA 2 Sejarah dari semua peradaban di dunia adalah sejarah bagaimana mereka mengelola konik, dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan (Alm. Munir dalam satu diskusi Kontras di Jakarta, 2001) Basis Sosial Kekerasan-Radikalisme Perkotaan 1 Tamrin Amal Tomagola 2 Pengantar Pada kesempatan diskusi Komunitas Salihara 12 Mei 2011 lalu, telah diungkap nyaris tuntas akar terorisme, sejarah, ideologi serta jaringan organisasi kekerasan-radikalisme di Indonesia. Berbeda dengan fokus pengungkapan jaringan terorisme dan radikalisme pada diskusi lalu yang lebih ditekankan pada jaringan ideologi, organisasi dan para tokoh kuncinya, maka pada kesempatan kali ini, pengantar diskusi ini memilih untuk melakukan ekplorasi untuk menemukan dan mengungkap basis kelas sosial dari kekerasan-radikalisme saja. Upaya penjelajahan awal dari basis kelas sosial dan komunal dari kekerasan-radikalisme inipun hanya difokuskan pada daerah perkotaan Indonesia saja dengan ilustrasi gejolak kekerasan-radikalisme di Jakarta. Gulungan argumen (the thread of arguments) makalah pengantar diskusi ini digulirkan dalam bingkai paradigma British Critical Realisme seperti yang digagas dan dicontohkan oleh Bhaskar 3 dan kawan-kawannya 4 yang terkenal dengan diktum mereka: everything is relational. Bila diterapkan dalam konteks pengungkapan basis sosial kekerasan-radikalisme, maka itu berarti bahwa rangkaian faktor yang pada akhirnya mencuatkan kekerasan-radikalisme. Selain punya hubungan suksesif secara horizontal (aspek dinamisnya), mereka 1 Makalah Pengantar Diskusi bertema: Kekerasan Radikalisme, Perspektif Sosio-Legal; di Komunitas Salihara, Rabu, 8 Juni 2011. Makalah ini hanya untuk bahan diskusi, tidak untuk dimuat dimanapun 2 Sosiolog, tinggal di Cimanggis, Depok dengan minat khusus pada Identitas Sosial dan Hubungan Antar-Golongan 3 Bhaskar, Roy, The Possibility of Naturalism, A Philosophical Critque of the Contemporary Human Sciences, Herdfordshire: Harvester Press Ltd., 1989 4 Archer, Margaret, et.al., Critical Realism: Essential Readings, London: Routledge, 1998 2 Makalah Diskusi | Juni 2011 juga punya struktur hirarkhis-relasional secara vertikal (aspek statisnya); yang berkorespondensi langsung dengan dimensi horizontal dan vertikal dari piramida struktur relasi sosial (Lihat Lampiran: Figure 01: The Pyramid of Social Structure) yang menjadi basis sekaligus sumber kekerasan-radikalisme. Karena itu, basis social yang dibahas disini adalah basis kelas social yang berhimpit dengan basis sosial komunal. Basis sosial yang pertama berdasarkan seleksi ekonomi sedangkan basis sosial yang kedua berbalut rekatan komunal. Setelah Bagian Pengantar ini, pertama-tama akan dikemukakan makna beberapa konsep-kunci yang digunakan; diikuti dengan penggambaran proses urbanisasi dan menumpuknya Miskot, miskin-kota di wilayah Kumis, kumuh- miskin; kemudian berlanjut ke pemaparan proses berpagutnya kegalauan kelas sosial dengan kebringasan komunal berbasis agama di perkotaan, khususnya di Jakarta. Ideolog muslim kelas menengah berperan strategis dan krusial dalam menjelaskan kepincangan ekonomi dengan penjelasan-penjelasan dogmatic ayat-ayat kitab suci. I. Beberapa Konsep Kunci a. Kelas Sosial Pengantar diskusi ini lebih memaknai kelas sosial lebih sebagai suatu kategori ekonomi penduduk berikut seluruh implikasi politik, sosial dan budaya. Cenderung lebih mengikuti kategorisasi Weberian yang komperhensif dalam momen dan proses produksi, distribusi dan konsumsi ketimbang yang Marxist yang bertumpu hanya pada momen dan proses produksi. Sepakat dengan pernyataan Arief Budiman tiga decade lalu bahwa di Indonesia baru ada class-in-itself, dan karena belum mewujud menjadi class-for-itself. b. Kelompok Komunal Menunjuk pada pengelompokan sosial berbasis teritori dengan batas geogras dan sosio-budaya yang tegas jelas berupa bahasa dan tradisi yang mendokumentasikan nilai-nilai bersama mereka (shared values). Warganya relatif saling-mengenal dan frekwensi interaksi tatap-muka juga relatif tinggi. Komunitas dengan sikap dan cara hidup yang sangat komunal ini dapat berupa komunitas suku/adat, agama maupun ras. c. Kekerasan Kekerasan, penyelesaian konik secara non-dialogis tanpa memanfaatkan civic competence, dibedakan dalam dua jenis: kekerasan strukural (structural violence) dan kekerasan sik (physical violence) yang saling terkait erat dan dapat muncul saat terjadi perebutan sumberdaya strategis (strategic resource) baik yang ekonomi maupun yang non- ekonomi (Lihat Lampiran. Figure 02: Conict Conceptual Framework). d. Radikalisme Menunjuk pada faham yang meyakini dan menganjurkan (1) tata-cara perubahan secara total (2) bersumber pada doktrin-doktrin fundamental yang (3) dipaksakan secara menyeluruh, mencakup semua sendi-sendi kehidupan dan (4) membawa konsekwensi sangat jauh baik dalam dimensi waktu maupun dalam dimensi tatanan kemasyarakatan,(5) dengan menggunakan kekerasan sik, yang (6) didahului dengan 3 Makalah Diskusi | Juni 2011 intimidasi kekerasan simbolik ataupun kekerasan wacana (hate speech) 5 . Metaforanya adalah: merobohkan rumah-lama dengan kekerasan sik yang didahului dengan intimidasi, penyerangan dan pemukulan penghuni rumah, untuk kemudian membangun rumah yang samasekali baru baik ditilik dari bahan-bahan yang digunakan maupun oloso arsitektur serta disain ruangan di luar kelumrahan. e. Perkotaan Wilayah yang lebih dari tiga-perempat dari jumlah penduduknya bermata-pencaharian di luar pertanian, berpenduduk palingkurang 50,000 orang dengan kepadatan penduduk diatas 100 orang per Km2 serta palingkurang mempunyai 4 dari 7 fasilitas dasar khas perkotaan (pasar permanen, kantorpos, rumahsakit, jaringan telpon, jaringan listrik, sistim air-bersih PAM dan fasilitas perbankan). II. Penumpukan Penduduk Miskot di Kumis Penduduk daerah perkotaan Indonesia melesat lebih dari 100% antara dalam 20 tahun dari jumlah 32,8 juta di tahun 1980 menjadi 85,2 juta di tahun 2000 6 . Lebih dari dua-per-tiga dari jumlah itu bermukim di pulau Jawa. Sebagai akibat dari kebijakan deregulasi pemerintahan Orde Baru antara pertengahan tahun 1980an sampai dengan tahun 1990an, terjadi arus urbanisasi pesat ke pusat-pusat metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang. Penduduk yang menumpuk di kota- kota metropolitan Jawa ini kemudian yang parah menanggung dampak dari Krisis Ekonomi pada penghujung tahun 1990an. Seperti halnya dengan kota-kota metropolitan Asia Tenggara lainnya, terjadi kontraksi pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan melonjaknya angka pengangguran di perkotaan Jawa. Sebagian dari para urbanis kalangan menengah memilih pindah ke kota-kota menengah di sekitar kota-kota metropolitan, sedangkan kalangan bawah bawah pulang kembali di desa-desa mereka di pulau Jawa. Walaupun demikian sebagian besar kalangan bawah memilih bertahan di perkotaan dengan berpindah ke bagian-bagian kota yang relatif murah biaya hidupnya. Dalam periode ini Jakarta mencatat pertumbuhan daerah Kumis, kumuh- miskin yang melonjak di sepanjang bantaran sungai dan bantaran rel keretaapi. 7 Paska Krisis Moneter Asia pada tahun 1997, jumlah penduduk miskin perkotaan bertambah duakali lipat lebih cepat daripada pertambahan penduduk miskin pedesaan. Saat ini, 32 % dari penduduk miskin Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Ini adalah persentase tertinggi penduduk miskin perkotaan bila dibanding dengan persentasi kelompok yang sama di kota-kota lain di Asia Tenggara. Beribu-ribu keluarga miskin itu hanya bernapas tepat di batas-ambang garis kemiskinan. Mereka ini sangat rentan sekali bila sewaktu-waktu terjadi krisis harga barang- barang kebutuhan pokok sehari-hari. 5 SETARA Institute for Democracy and Peace, Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat, Jakarta: Publikasi SETARA Institute, Desember 2010, h. 19 6 Firman, Tommy, Demographic and Spatial Patterns of Indonesias Recent Urbanization dalam Population, Space and Place, No.10, 421-434, 204 published online at (www. intersciencewiley.com). DOI:10.1002/psp.339; pp. 422-423, Table 1 7 Wiradi, 1988 and Sandee, 1999 quoted in Firman (ibid) 4 Makalah Diskusi | Juni 2011 Selain berjuang dari hari ke hari menyambung hidup, para 15,7 juta 8
Miskot, miskin-kota, juga menghadapi masalah perumahan yang akut dan serius. Umumnya mereka menempati tanah-tanah secara illegal sehingga mereka sewaktu-waktu terancam penggusuran. Menghadapi kemungkinan penggususuran, walaupun sebagian dari mereka punya cukup uang untuk membangun rumah permanen, mereka memilih membuat rumah seadanya dan siap berpindah-pindah dari tempat ke tempat untuk lebih dekat ke tempat pekerjaan atau ke sumber-nafkah sehari-hari. Kediaman (istilah lumrah di kalangan aparat Sipil dan Milter/ Kepolisian, miskot kadang hanya cukup untuk satu tempat-tidur, dua kursi, satu meja, dengan tungku masak di sampingnya serta satu motor yang disandarkan ke dinding bambo reyot. Rumah sedernana miskot punya 7 huruf S, sangat, sangat sederhana sehingga sanggama saja susah. Selain masalah perumahan, kaum miskot juga harus terus bergulat untuk mendapatkan air-bersih. Menurut data Bank Dunia, air-bersih hanya dinikmati 32, % dari penduduk perkotaan 9 . Umumnya dari kalangan kelas atas dan menengah. Kelas bawah yang sebetulnya tidak banyak punya uang kontan harus membeli air kalengan dari hari ke hari. Bila jatuh sakit, tidak ada pelayanan kesehatan yang dapat terjangkau oleh 15,7 juta miskot ini kecuali membeli obat-obat analgesik di warung- warung. Karena itu, anak-anak keluarga miskot kemungkinan mereka meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun adalah empatkali lebih besar dari teman-teman seusia mereka dari keluarga kelas menengah. 10 Pola Permukiman Miskot Berbasis Komunal. Di periode tahun limapuluhan, para pendatang kelas menengah gelombang pertama dari berbagai suku masih cenderung bermukim berkelompok di suatu wilayah tertentu. Karena itu, sejak itu Jakarta mempunyai wilayah- wilayah permukiman menurut suku seperti: Kampung Melayu, Kampung Ambon, dan Kampung Bali serta Kampung Makassar. Pada periode ini, pengelompokan menurut suku lebih dominan ketimbang pengelompokan menurut kelas sosial. Eksklusivitas kesukuan jauh lebih kuat daripada eksklusivitas kelas menurut kemampuan ekonomi. Kecuali suku Jawa dan sampai batas tertentu, suku Batak, mayoritas warga suku-suku di Indonesia homogen beragama yang sama pula. Suku Sunda dari Jawa Barat yang merupakan migrant jarak-dekat terbesar pada umumnya beragama Islam. Pola eksklusivitas permukiman menurut garis suku ini kemudian secara perlahan-lahan tapi pasti menjadi mencair seiring dengan gencarnya pembangunan kompleks perumahan kelas menengah dan atas selama masa Orde Baru. Dalam masa ini eksklusitas kelas sosial jauh lebih dominan daripada eksklusivitas kesukuan. Etnis Tionghoa merupakan suatu pengecualian karena dalam kelompok ini garis-batas etnis jatuh sama dengan demarkasi kelas ekonomi. Berdasarkan daya- beli maka kelas atas cenderung bermukim lintas-etnis di permukiman seperti Pondok Indah; kelas menengah banyak berbaur antar-suku dalam permukiman seperti Podok Gede. Dinamika ekonomi Orde Baru 8 The World Bank, Issues and Dynamics: Urban Systems in Developing East Asia East Asia Infrastructure Department, 2002 9 Ibid 10 Ibid 5 Makalah Diskusi | Juni 2011 berhasil mencairkan kekentalan kesukuan di wilayah permukiman lama dan sekaligus membangun pembauran lintas-etnis di wilayah-wilayah permukinan baru. Dalam waktu bersamaan, dinamika ekonomi yang sama justeru semakin mengentalkan rasa solidaritas dan kohesi kolektivitas kesukuan di kalangan kelas bawah Jakarta. Warga kelas bawah ini semakin banyak yang tergusur dari tempat-tinggal mereka. Mereka yang tergusur ini dihadapkan pada tiga pilihan. Pertama, pindah ke wilayah yang lebih kumuh yang pada akhirnya mengakibatkan semakin banyak jumlah penduduk yang menyesaki wilayah sepanjang rel kereta-api dan sepanjang bantaran sungai dan kali yang biasanya ditempai secara gelap. Kedua, pindah ke wilayah Bekasi dan Tangerang dimana selain ada jalur kereta-api juga biaya hidup relatif murah dibanding Jakarta. Dan akhirnya ketiga, pindah ke Rumah Susun murah di pusat kota Jakarta. Pilihan pertama cenderung memperkuat pengelompokan etnis di kelas bawah sedangkan pilihan kedua dan ketiga ternyata semakin mencairkan kekentalan kesukuan. Karena baik tinggal di Bekasi dan Tangerang maupun tinggal di rumah susun murah mereka hidup berbaur dengan suku-suku lain. Para pendatang gelombang kedua yang lebih didominir oleh kelas bawah yang justeru datang pada saat kota Jakarta telah penuh-sesak Karena itu hanya ada dua pilihan yang tersedia. Pertama, ikut berdesakan di wilayah sepanjang kereta-api dan sepanjang bantaran sungai/ kali di ringga-dalam kota (inner cities area) seperti wilayah Kali Jodo misalnya; atau kedua, merintis permukiman baru yang sama kumuhnya di lingkaran luar kota seperti: Cijantung dan Pasar Rebo, Pasar Jumat, Ciputat, Cipulir, Kebayoran Lama serta wilayah Cakung. Karena minimnya bekal pendidikan, keterampilan dan nansial yang mereka bawa dari tempat asal maka mereka sangat mengandalkan jaringan kekerabatan yang memang sangat solid di daerah asal mereka. Migran kelas bawah yang datang belakangan dalam gelombang kedua ini cenderung hidup mengelompok di suatu lokasi baru di lingkaran luar kota Jakarta dan permukiman kumuh di dalam kota. Bermukim mengelompok menurut asal daerah dan suku ini tidak hanya memberikan tempat berteduh sementara tetapi juga membuka pintu-magang ke lahan-lahan pekerjaan di sektor informal. Pada umumnya mereka terdiri dari remaja dan pemuda putus-sekolah yang berusaha mencari pekerjaan seadanya. Kita dengan mudah menemukan kumpulan orang Solo kelas bawah terkonsentrasi di Cijantung dengan pekerjaan utama sebagai Tukang Baso. Warga Banten, Makasar, Ternate dan Tidore, Madura dan mereka yang berasal dari wilayah Pantura Jawa bermukim di sekitar wilayah Tanjung Priok dan bekerja sebagai pelaut, nelayan, buruh pelabuhan atau pekerjaan kasar dan keras lainnya di wilayah pelabuhan itu. Warga Madura juga punya spesialisasi pekerjaan dalam jual-beli besi-tua dan penjaja sate yang handal. Warga Ambon, Flores, Tim-Tim dan Papua yang banyak berkiprah dalam jasa parkir dan jasa keamanan di sekitar tempat hiburan dan seterusnya. Hal yang perlu dicatat secara khusus adalah maraknya kegiatan premanisme dan kegiatan lain yang biasa dikenal sebagai kegiatan dunia 6 Makalah Diskusi | Juni 2011 hitam dalam sektor informal yang dilakukan oleh suku-suku tertentu dari luar Jawa. Suku-suku ini telah mempunyai reputasi sebagai suku- suku yang keras dan panas. Kegiatan premanisme dunia hitam ini marak ditemui dalam jenis-jenis lahan pekerjaan baru yang khas perkotaan seperti: pengaturan lalu-lintas, pengaturan parkir, penjagaan keamanan di lingkungan pabrik, toko, atau tempat usaha ekonomi lainnya, rumah kediaman serta tempat-tempat hiburan. Kesumpekan dan Kegalauan Anak-Muda Miskot. Buat anak-anak remaja/pemuda/i, di rumah bahkan tidak ada tempat selonjor untuk ngobrol sesama usia. Yang masih belum remaja, mereka bermain di sungai di pelatran rumah yang becek dan busuk-kotor, atau ke sungai yang penuh deterjen, atau main layang-layang di bantaran keretaapi. Yang sudah remaja keatas, menggerombol di mulut gang sambil belajar merokok atau menyedot narkoba. Kadang iseng-usil mengganggu perempuan dan tukang gerobak yang lewat. Di tempat pelarian di mulut gang/jalan, di pertengahan kedua malam, mengenalkan mereka dengan narkoba, minuman keras dan petualangan seks beresiko. Salah-paham kecil saja dapat memicu perkelahian antar geng, antar- kampung. Anak-anak STM yang sering berkelahi dengan rekan seusia dari sekolah menengah umum tetangganya, adalah anak-muda yang berasal dari lingkungan kumis ini. Dalam penelitian si burung elang yang selalu terbang sendiri, almarhum sarjana politik dari UGM di tahun 1980an, mengaskan temuan ini. Para anak-muda miskot di kumis yang mengalami kesesakan berlapir sejak dari rumah, lingkungan komunitas, sekolah dan ketidak-pastian pekerjaan ini, benar-benar dalam benaman kegalauan yang sangat dalam. Mereka dapat dan siap menjadi reserved army bagi pihak manapun yang punya sumberdaya nansial, jaringan organisasi dan daya-pukau ideologi, untuk digerakkan sebagai kerumunan/gerombolan kekerasan antar-golongan yang saling menghancurkan. Menurut Simone 11 Jakarta Utara dan Jakarta Barat dan Jakarta Pusat adalah wilayah konsentrasi miskot utama di DKI Jakarta. Kamal Muara, Muara Baru, Pluit, Grogol, Penjaringan, Kota, Ancol, Pademangan, Warakas, Sunter, Tanjung-Priok penuh dengan pemukiman-pemukiman kumis ini 12 . Premanisme anak-muda marak di wilayah-wilayah ini. Simone 13 juga mencatat bahwa para preman ini selalu siap untuk berkelahi: the willingness to ght is an important feature of the premanI III. Membengkaknya Kelas Menengah Muslim Perkotaan Konsep kelas menengah yang Weberian ini lebih menggunakan variable tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan 11 Simone, AbdulMaliq, Towards An Anticipatory Urban Politics, Preliminary Notes From North of Jakart , Makalah yang disampaikan dalam pertemuan Jejaring Miskin-Kota yang diornanisir oleh Urban-Poor Consortium, Ubud, 2002 12 Bila dicermati, Jakarta Utara dan Jakarta Barat memasok jamaah pengajian dan salawat setiap minggu yang banyak diadakan justeru di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Setiap minggu dapat diamati microbus merah dan hijau yang mengangkut jamaah pengajian/salawat bersama ini. Di kedua wilayah yang disebut terakhir ini bertebaran banyak pesantren. Semakin dekat suatu wilayah di Jakarta kea rah Jawa Barat, baik ke Bekasi,, Depok-Bogor maupun kearah Ciputat Banten, semakin banyak pesantren dan majelis taklim di wilayah itu (isi Bagian ini dengan data kuantitatif)) 13 Ibid, tanpa halaman 7 Makalah Diskusi | Juni 2011 sekelompok penduduk tertentu. Pada jaman kolonial kelas menegah mulai bertunas di kalangan Muslim pedagang, priyayi menengah dan kecil, minoritas Tionghoa, Arab dan India yang terdidik berkat politik balas-budi kolonial Belanda. Aura gaya hidup dan sikap feudal sangat kental di kalangan generasi terdidik awal ini. Mereka banyak berprofesi sebagai guru, wartawan, seniman dan membentuk inti dari para the founding fathers and mothers Indonesia merdeka. Mereka dikenal dengan julukan penuh apresiasi: Kaum Pergerakan. 14 Di jaman kemerdekaan, khususnya selama periode Orde Baru, yang muncul dan berkiprah adalah kelas menengah parasit yang netek kepada birokrasi pemerintahan tumbuh pesat sebagai kelas menengah yang konsumtif-hedonis. Dengan difasilitasi oleh goncangan krisis nancial Asia, berpadu dengan keresahan faksi militer Merah-Putih, kelas menengah produk Orba inilah yang kemudian justeru jadi motor utama dari penumbangan rejim Soeharto Orde Baru. Saat ini, proporsi kelas menengah perkotaan yang terdidik adalah setengah dari proporsi kelas bawah dan satu-setengah kali proporsi kelas atas (Lihat Lampiran, Figure 01: The Pyramid of (urban Indonesia) Social Structure) Yang menarik adalah bila kita cermati lebih dalam ke setiap kelas, ternyata sub-kelas bawah-menengah juga bertambah duakali proporsi sub-kelas menengah-menengah sedangkan mobilitas vertikal dari mereka di sub-kelas menengah-menengah ke sub-kelas di atasnya, atas-menengah relatif tidak signikan. Gejala ini dapat dikonrmasi dengan data laju pertambahan rumah untuk kelas bawah-menengah yang duakali lebih banyak dari laju pertambahan perumahan untuk sub-kelas atas-menengah; dan satu-setengah kali laju pertambahn perumahan untuk sub-kelas menengah-menengah. Pertambahan signikan dari sub-kelas bawah-menengah disumbangkan oleh mereka dari sub-kelas atas-bawah yang tersejahterakan dalam tiga decade terakhir ini. Pemilik motor terbanyak juga ada pada dua sub-kelas ini: sub-kelas atas-bawah dan sub-kelas bawah-menengah. Sedangkan mereka yang berada di landasan piramida struktur social perkotaan Indonesia, sub-kelas bawah-bawah nyaris tertindih tidak bisa bergerak ke sub-kelas diatas mereka samasekali. Tapi pada saat yang sama jumlah sub-kelas bawah-bawah ini semakin berlipat-ganda. Pembengkakan signikan ini disumbangkan baik oleh pertambahan alamiah penduduk lewat kelahiran baru, maupun oleh migrasi masuk dari wilayah Jawa Barat yang langsung berbatasan dengan Jakarta. Pendatang baru sub-kelas bawah-bawah dari pedesaan Jawa Barat ini didominir oleh kaum perempuan miskin. Gebrakan Reformasi membuka peluang besar bagi siapa saja untuk berserikat, menyatakan pendapat di ruang publik dan menyuarakan aspirasi serta kepentingan masing-masing. Kelas menengah perkotaan, baik yang abangan-sekuler maupun yang kental religiusitasnya mulai berkiprah menggalang basis-basis kekuatan masing-masing. Kalangan sekuler kelas menengah banyak berkiprah di lembaga swadaya masyarakat. Sebagian kecil dari mereka benar-benar melakukan advokasi memperbaiki lingkungan sebagian berupaya mengberdayakan 14 Tomagola, Tamrin Amal, Kelas Menengah: Motor Demokratisasi? dalam Republik Kapling, Yogyakarta, Insist, 2006, hh, 189-202 8 Makalah Diskusi | Juni 2011 kelompok marginal tertentu. Tapi mayoritas dari kalangan LSM hanya giat membuat proposal, membuat laporan kegiatan dan keuangan kepada para donor serta menyelenggarakan seminar/lokakarya di hotel- hotel berbintang. Sangat sedikit dari kalangan LSM sekuler yang dating menyapa dan menyentuh kehidupan sub-kelas menengah-bawah dan bawah-bawah. Manipulasi Kelas Bawah oleh Ideolog Kelas Menengah. Kalangan sub-kelas menengah-menengah dan bawah-menengah yang kental aroma keagamaanlah, yang banyak berprofesi sebagai pengusaha kecil dan menengah dalam usaha dagang bahan bangunan sampai mebel, yang justeru peduli, datang, menyapa dan memberi perhatian dan berbagai bantuan kepada sub-kelas atas-menengah dan menengah-bawah. 15 Advokasi dan bantuan yang diberikan bervariasi mulai dari bantuan nansial kontan, pembukaan akses ke sekolah atau pekerjaan ataupun ke jajaran aparat hukum bila ada warga sub-kelas atas-bawah dan menengah bawah yang bermasalah hukum. Pintu rumah para tokoh/ ideolog agama kedua sub-kelas menengah ini juga memberi pelayanan nasehat dan petuah sosial serta, tak kalah penting, nasehat-nasehat spiritual keagamaan. Banyak dari mereka berperan sebagai Kiai Kampung ataupun Dai Kampung yang lincah bergaul dengan kalangan bawah dan hidup, bersikap dan bertutur seperti layaknya kelas bawah. Kalangan bawah yang serba berkekurangan, baik material maupun intelektual dan spiritual ini, dengan mudah dapat dimanipulir dan dimobilisir untuk berbagai tujuan: ekonomi,dan politik maupun social- budaya. Meneruskan tradisi yang sudah dibangun bersama aparat keamanan Orde Baru, jumlah yang massif dari kelas bawah sewaktu- waktu dapat digerakkan untuk menakut-nakuti para pengusaha, khususnya pengusaha pusat-pusat hiburan, untuk memaksakan layanan keamanan ataupun menuntut kenaikan upeti pelayanan keamanan. Tidak jarang, pimpinan aparat keamanan setempat turut menikmati upeti yang berhasil digalang para preman kelas bawah pimpinan tokoh lokal dari kalangan kelas menengah. Jasa sebagai local power broker yang diperankan oleh para warga kelas menengah lokal itu juga sering dimanfaatkan warga kelas bawah yang bermasalah ataupun membuka akses ke pekerjaan dan pendidikan anak-anak kelas bawah. Hubungan ketergantungan dan keuntungan timbal-balik antara warga kelas bawah dengan para ideolog/tokoh lokal kelas menengah, lebih banyak menguntungkan tokoh kelas menengah dalam net-surplus baik secara nancial maupun dalam rangka akumulasi dan pengokohan wibawa kekuasan para tokoh lokal ini. IV. Hot-Spots Kekerasan-Radikalisme Tempat-tempat yang membara dengan potensi kekerasan- radikalisme dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: (1) di kota- 15 Perlu dikemukakan bahwa dua Ormas besar Islam, NU dan Muhammadiyah, malah semakin jarang datang dan menyapa serta merawat ummatnya di kelas terbawah ini. Para tokohnya lebih sibuk dengn high politics di tingkat nasional ataupun melanglang buana dalam rangka inter-faith dialogue di tingkat regional dan internasional. Salahsatu tokoh kontroversial kelompok ekstrim sepulangnya dari Madinah justeru menulis suatu manual praktis bagaimana memanfaatkan Kiai Kampung dalam mendorong penegakan Syariat Islam dari bawah. 9 Makalah Diskusi | Juni 2011 kota menengah secara nasional; dan (2) di wilayah Jakarta Raya dan Jawa Barat. Ada perbedaan mendasar antara kedua kelompok wilayah ini, yaitu di kota-kota menengah sudah mulai ada ledakan kekerasan- radikalisme secara sporadic dengan interval waktu yang tidak menentu, sedangkan di wilayah Jakarta dan Jawa Barat selain memegang rekor sebagai wilayah yang paling-sering diguncang kekerasan-radikalisme juga skala potensi magma intoleransi, baik yang pasif maupun yang aktif, pada tingkat yang sangat massif tersimpan di bawah permukaan. Berbeda dengan pola arus urbanisasi di era Orde Baru yang secara substantif mengarah ke magnit kota-kota metropolitan seperti: Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Makasar, arus urbanisasi sesudah dicanangkannya proses desentralisasi dalam satu dekade terakhir ini, lebih mengarah ke kota-kota menengah di daerah (provincial towns) yang biasanya merupakan ibukota kabupaten/kotamadya ataupun sebagai ibukota propinsi seperti: Mataram, Ambon, Poso, Kendari, Pekalongan, Anyer, Ternate dan sejenisnya. Kota-kota menengah ini berpenduduk antara 250.000 s/d 1 juta jiwa. Di kota-kota menengah ini berdatangan berbagai suku yang seperti Jakarta di tahun 50an, mereka cenderung hidup berkelompok. Mengelompok menurut asal daerah/suku ini selain karena memang urbanisasi di Dunia Ketiga selalu terjadi dalam bentuk chain-migration, pola mengelompok ini juga merupakan strategi survival yang murah, praktis, dan memungkinkan adaptasi secara bertahap sebelum mendapat hunian, pekerjaan maupun sekolah yang pasti dan tetap. Pola pengkaplingan permukiman dan pekerjaan berdasar daerah/ suku, dan kadang agama ini, tentu saja dalam jangka waktu menengah akan mulai menimbulkan ketegangan antar-kelompok, dan bila matang, percikan konik sik mulai terjadi secara sporadis. Bila dibiarkan tak terbenahi, letupan konik dengan kekerasan yang dahsyat menjadi hanya menunggu waktu, tak terelakkan. Berbagai upaya dasar yang komperhensif dan berkelanjutan di 150an kota menengah di seluruh Indonesia ini diperlukan untuk meredam dan mencegah eskalasi kekerasan radikalisme di masa depan. Hotspots bom waktu berantai antar kota menengah ini meletup, seperti di Tasikmalaya, Temanggung, Bogor dan Garut. Akhirnya, hotspots, yang sudah pada taraf mendidih dan sewaktu- waktu bisa meluap, adalah tentu saja Jawa Barat dan Jakarta 16 . Kedua wilayah ini akan menjadi barometer dan teladan kekerasan-radikalisme yang dapat menjalar sambung-menyambung ke 150an kota-kota menengah tersebut diatas. Be Prepared for the worse!!!
16 Lihat Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia, Yogyakarta, CRCS, 2010, Tabel 2.4 10 Makalah Diskusi | Juni 2011
Figure 02 Conceptual Framework
Structural VIOLENCE
PHYSICAL VIOLENCE SYSTEMATIC DISEMPOWERMENT I. The closing of access to
The preventing of control over
Strategic Resource
Economic Resource
Non-economic Resources Violent Conflict
NO ENTRY
NO ENTRY
Sumber: Tamrin Amal Tomagola
Disampaikan dalam Diskusi Akar Kekerasan: Perspektif Sosio-Legal di Komunitas Salihara, Rabu 08 Juni 2011. Makalah ini tidak disunting. Makalah ini milik Kalam dan tidak untuk dimuat di mana pun. Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Indonesia t: +62 21 7891202 f:+62 21 7818849 www.salihara.org