Anda di halaman 1dari 10

1

Makalah Diskusi | Juni 2011


MAKALAH
Basis Sosial Kekerasan-Radikalisme Perkotaan
1
OLEH: TAMRIN AMAL TOMAGOLA
2
Sejarah dari semua peradaban di dunia adalah
sejarah bagaimana mereka mengelola konik, dengan
kekerasan maupun tanpa kekerasan (Alm. Munir
dalam satu diskusi Kontras di Jakarta, 2001)
Basis Sosial Kekerasan-Radikalisme Perkotaan
1
Tamrin Amal Tomagola
2
Pengantar
Pada kesempatan diskusi Komunitas Salihara 12 Mei 2011 lalu, telah
diungkap nyaris tuntas akar terorisme, sejarah, ideologi serta jaringan
organisasi kekerasan-radikalisme di Indonesia. Berbeda dengan fokus
pengungkapan jaringan terorisme dan radikalisme pada diskusi lalu yang lebih
ditekankan pada jaringan ideologi, organisasi dan para tokoh kuncinya, maka
pada kesempatan kali ini, pengantar diskusi ini memilih untuk melakukan
ekplorasi untuk menemukan dan mengungkap basis kelas sosial dari
kekerasan-radikalisme saja. Upaya penjelajahan awal dari basis kelas sosial
dan komunal dari kekerasan-radikalisme inipun hanya difokuskan pada daerah
perkotaan Indonesia saja dengan ilustrasi gejolak kekerasan-radikalisme di
Jakarta.
Gulungan argumen (the thread of arguments) makalah pengantar diskusi
ini digulirkan dalam bingkai paradigma British Critical Realisme seperti yang
digagas dan dicontohkan oleh Bhaskar
3
dan kawan-kawannya
4
yang terkenal
dengan diktum mereka: everything is relational. Bila diterapkan dalam konteks
pengungkapan basis sosial kekerasan-radikalisme, maka itu berarti bahwa
rangkaian faktor yang pada akhirnya mencuatkan kekerasan-radikalisme.
Selain punya hubungan suksesif secara horizontal (aspek dinamisnya), mereka
1
Makalah Pengantar Diskusi bertema: Kekerasan Radikalisme, Perspektif Sosio-Legal; di
Komunitas Salihara, Rabu, 8 Juni 2011. Makalah ini hanya untuk bahan diskusi, tidak untuk
dimuat dimanapun
2
Sosiolog, tinggal di Cimanggis, Depok dengan minat khusus pada Identitas Sosial dan
Hubungan Antar-Golongan
3
Bhaskar, Roy, The Possibility of Naturalism, A Philosophical Critque of the Contemporary Human
Sciences, Herdfordshire: Harvester Press Ltd., 1989
4
Archer, Margaret, et.al., Critical Realism: Essential Readings, London: Routledge, 1998
2
Makalah Diskusi | Juni 2011
juga punya struktur hirarkhis-relasional secara vertikal (aspek statisnya);
yang berkorespondensi langsung dengan dimensi horizontal dan vertikal dari
piramida struktur relasi sosial (Lihat Lampiran: Figure 01: The Pyramid of
Social Structure) yang menjadi basis sekaligus sumber kekerasan-radikalisme.
Karena itu, basis social yang dibahas disini adalah basis kelas social yang
berhimpit dengan basis sosial komunal. Basis sosial yang pertama berdasarkan
seleksi ekonomi sedangkan basis sosial yang kedua berbalut rekatan komunal.
Setelah Bagian Pengantar ini, pertama-tama akan dikemukakan makna
beberapa konsep-kunci yang digunakan; diikuti dengan penggambaran proses
urbanisasi dan menumpuknya Miskot, miskin-kota di wilayah Kumis, kumuh-
miskin; kemudian berlanjut ke pemaparan proses berpagutnya kegalauan kelas
sosial dengan kebringasan komunal berbasis agama di perkotaan, khususnya di
Jakarta. Ideolog muslim kelas menengah berperan strategis dan krusial dalam
menjelaskan kepincangan ekonomi dengan penjelasan-penjelasan dogmatic
ayat-ayat kitab suci.
I. Beberapa Konsep Kunci
a. Kelas Sosial
Pengantar diskusi ini lebih memaknai kelas sosial lebih sebagai
suatu kategori ekonomi penduduk berikut seluruh implikasi politik,
sosial dan budaya. Cenderung lebih mengikuti kategorisasi Weberian
yang komperhensif dalam momen dan proses produksi, distribusi dan
konsumsi ketimbang yang Marxist yang bertumpu hanya pada momen dan
proses produksi. Sepakat dengan pernyataan Arief Budiman tiga decade
lalu bahwa di Indonesia baru ada class-in-itself, dan karena belum
mewujud menjadi class-for-itself.
b. Kelompok Komunal
Menunjuk pada pengelompokan sosial berbasis teritori dengan batas
geogras dan sosio-budaya yang tegas jelas berupa bahasa dan tradisi
yang mendokumentasikan nilai-nilai bersama mereka (shared values).
Warganya relatif saling-mengenal dan frekwensi interaksi tatap-muka
juga relatif tinggi. Komunitas dengan sikap dan cara hidup yang sangat
komunal ini dapat berupa komunitas suku/adat, agama maupun ras.
c. Kekerasan
Kekerasan, penyelesaian konik secara non-dialogis tanpa
memanfaatkan civic competence, dibedakan dalam dua jenis: kekerasan
strukural (structural violence) dan kekerasan sik (physical violence) yang
saling terkait erat dan dapat muncul saat terjadi perebutan sumberdaya
strategis (strategic resource) baik yang ekonomi maupun yang non-
ekonomi (Lihat Lampiran. Figure 02: Conict Conceptual Framework).
d. Radikalisme
Menunjuk pada faham yang meyakini dan menganjurkan (1) tata-cara
perubahan secara total (2) bersumber pada doktrin-doktrin fundamental
yang (3) dipaksakan secara menyeluruh, mencakup semua sendi-sendi
kehidupan dan (4) membawa konsekwensi sangat jauh baik dalam
dimensi waktu maupun dalam dimensi tatanan kemasyarakatan,(5)
dengan menggunakan kekerasan sik, yang (6) didahului dengan
3
Makalah Diskusi | Juni 2011
intimidasi kekerasan simbolik ataupun kekerasan wacana (hate speech)
5
.
Metaforanya adalah: merobohkan rumah-lama dengan kekerasan sik
yang didahului dengan intimidasi, penyerangan dan pemukulan penghuni
rumah, untuk kemudian membangun rumah yang samasekali baru baik
ditilik dari bahan-bahan yang digunakan maupun oloso arsitektur serta
disain ruangan di luar kelumrahan.
e. Perkotaan
Wilayah yang lebih dari tiga-perempat dari jumlah penduduknya
bermata-pencaharian di luar pertanian, berpenduduk palingkurang
50,000 orang dengan kepadatan penduduk diatas 100 orang per Km2
serta palingkurang mempunyai 4 dari 7 fasilitas dasar khas perkotaan
(pasar permanen, kantorpos, rumahsakit, jaringan telpon, jaringan listrik,
sistim air-bersih PAM dan fasilitas perbankan).
II. Penumpukan Penduduk Miskot di Kumis
Penduduk daerah perkotaan Indonesia melesat lebih dari 100% antara
dalam 20 tahun dari jumlah 32,8 juta di tahun 1980 menjadi 85,2 juta di
tahun 2000
6
. Lebih dari dua-per-tiga dari jumlah itu bermukim di pulau
Jawa. Sebagai akibat dari kebijakan deregulasi pemerintahan Orde Baru
antara pertengahan tahun 1980an sampai dengan tahun 1990an, terjadi
arus urbanisasi pesat ke pusat-pusat metropolitan seperti Jakarta,
Surabaya, Bandung dan Semarang. Penduduk yang menumpuk di kota-
kota metropolitan Jawa ini kemudian yang parah menanggung dampak
dari Krisis Ekonomi pada penghujung tahun 1990an.
Seperti halnya dengan kota-kota metropolitan Asia Tenggara
lainnya, terjadi kontraksi pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan
melonjaknya angka pengangguran di perkotaan Jawa. Sebagian dari para
urbanis kalangan menengah memilih pindah ke kota-kota menengah
di sekitar kota-kota metropolitan, sedangkan kalangan bawah bawah
pulang kembali di desa-desa mereka di pulau Jawa. Walaupun demikian
sebagian besar kalangan bawah memilih bertahan di perkotaan dengan
berpindah ke bagian-bagian kota yang relatif murah biaya hidupnya.
Dalam periode ini Jakarta mencatat pertumbuhan daerah Kumis, kumuh-
miskin yang melonjak di sepanjang bantaran sungai dan bantaran rel
keretaapi.
7
Paska Krisis Moneter Asia pada tahun 1997, jumlah penduduk miskin
perkotaan bertambah duakali lipat lebih cepat daripada pertambahan
penduduk miskin pedesaan. Saat ini, 32 % dari penduduk miskin
Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Ini adalah persentase tertinggi
penduduk miskin perkotaan bila dibanding dengan persentasi kelompok
yang sama di kota-kota lain di Asia Tenggara. Beribu-ribu keluarga miskin
itu hanya bernapas tepat di batas-ambang garis kemiskinan. Mereka
ini sangat rentan sekali bila sewaktu-waktu terjadi krisis harga barang-
barang kebutuhan pokok sehari-hari.
5
SETARA Institute for Democracy and Peace, Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat,
Jakarta: Publikasi SETARA Institute, Desember 2010, h. 19
6
Firman, Tommy, Demographic and Spatial Patterns of Indonesias Recent Urbanization
dalam Population, Space and Place, No.10, 421-434, 204 published online at (www.
intersciencewiley.com). DOI:10.1002/psp.339; pp. 422-423, Table 1
7
Wiradi, 1988 and Sandee, 1999 quoted in Firman (ibid)
4
Makalah Diskusi | Juni 2011
Selain berjuang dari hari ke hari menyambung hidup, para 15,7 juta
8

Miskot, miskin-kota, juga menghadapi masalah perumahan yang akut
dan serius. Umumnya mereka menempati tanah-tanah secara illegal
sehingga mereka sewaktu-waktu terancam penggusuran. Menghadapi
kemungkinan penggususuran, walaupun sebagian dari mereka punya
cukup uang untuk membangun rumah permanen, mereka memilih
membuat rumah seadanya dan siap berpindah-pindah dari tempat ke
tempat untuk lebih dekat ke tempat pekerjaan atau ke sumber-nafkah
sehari-hari. Kediaman (istilah lumrah di kalangan aparat Sipil dan Milter/
Kepolisian, miskot kadang hanya cukup untuk satu tempat-tidur, dua
kursi, satu meja, dengan tungku masak di sampingnya serta satu motor
yang disandarkan ke dinding bambo reyot. Rumah sedernana miskot
punya 7 huruf S, sangat, sangat sederhana sehingga sanggama saja
susah.
Selain masalah perumahan, kaum miskot juga harus terus bergulat
untuk mendapatkan air-bersih. Menurut data Bank Dunia, air-bersih
hanya dinikmati 32, % dari penduduk perkotaan
9
. Umumnya dari kalangan
kelas atas dan menengah. Kelas bawah yang sebetulnya tidak banyak
punya uang kontan harus membeli air kalengan dari hari ke hari. Bila
jatuh sakit, tidak ada pelayanan kesehatan yang dapat terjangkau oleh
15,7 juta miskot ini kecuali membeli obat-obat analgesik di warung-
warung. Karena itu, anak-anak keluarga miskot kemungkinan mereka
meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun adalah empatkali lebih besar
dari teman-teman seusia mereka dari keluarga kelas menengah.
10
Pola Permukiman Miskot Berbasis Komunal. Di periode tahun
limapuluhan, para pendatang kelas menengah gelombang pertama
dari berbagai suku masih cenderung bermukim berkelompok di suatu
wilayah tertentu. Karena itu, sejak itu Jakarta mempunyai wilayah-
wilayah permukiman menurut suku seperti: Kampung Melayu, Kampung
Ambon, dan Kampung Bali serta Kampung Makassar. Pada periode ini,
pengelompokan menurut suku lebih dominan ketimbang pengelompokan
menurut kelas sosial. Eksklusivitas kesukuan jauh lebih kuat daripada
eksklusivitas kelas menurut kemampuan ekonomi. Kecuali suku Jawa
dan sampai batas tertentu, suku Batak, mayoritas warga suku-suku di
Indonesia homogen beragama yang sama pula. Suku Sunda dari Jawa
Barat yang merupakan migrant jarak-dekat terbesar pada umumnya
beragama Islam.
Pola eksklusivitas permukiman menurut garis suku ini kemudian
secara perlahan-lahan tapi pasti menjadi mencair seiring dengan
gencarnya pembangunan kompleks perumahan kelas menengah dan
atas selama masa Orde Baru. Dalam masa ini eksklusitas kelas sosial
jauh lebih dominan daripada eksklusivitas kesukuan. Etnis Tionghoa
merupakan suatu pengecualian karena dalam kelompok ini garis-batas
etnis jatuh sama dengan demarkasi kelas ekonomi. Berdasarkan daya-
beli maka kelas atas cenderung bermukim lintas-etnis di permukiman
seperti Pondok Indah; kelas menengah banyak berbaur antar-suku
dalam permukiman seperti Podok Gede. Dinamika ekonomi Orde Baru
8
The World Bank, Issues and Dynamics: Urban Systems in Developing East Asia East Asia
Infrastructure Department, 2002
9
Ibid
10
Ibid
5
Makalah Diskusi | Juni 2011
berhasil mencairkan kekentalan kesukuan di wilayah permukiman lama
dan sekaligus membangun pembauran lintas-etnis di wilayah-wilayah
permukinan baru.
Dalam waktu bersamaan, dinamika ekonomi yang sama justeru
semakin mengentalkan rasa solidaritas dan kohesi kolektivitas kesukuan
di kalangan kelas bawah Jakarta. Warga kelas bawah ini semakin banyak
yang tergusur dari tempat-tinggal mereka. Mereka yang tergusur ini
dihadapkan pada tiga pilihan. Pertama, pindah ke wilayah yang lebih
kumuh yang pada akhirnya mengakibatkan semakin banyak jumlah
penduduk yang menyesaki wilayah sepanjang rel kereta-api dan
sepanjang bantaran sungai dan kali yang biasanya ditempai secara gelap.
Kedua, pindah ke wilayah Bekasi dan Tangerang dimana selain ada
jalur kereta-api juga biaya hidup relatif murah dibanding Jakarta. Dan
akhirnya ketiga, pindah ke Rumah Susun murah di pusat kota Jakarta.
Pilihan pertama cenderung memperkuat pengelompokan etnis di kelas
bawah sedangkan pilihan kedua dan ketiga ternyata semakin mencairkan
kekentalan kesukuan. Karena baik tinggal di Bekasi dan Tangerang
maupun tinggal di rumah susun murah mereka hidup berbaur dengan
suku-suku lain.
Para pendatang gelombang kedua yang lebih didominir oleh kelas
bawah yang justeru datang pada saat kota Jakarta telah penuh-sesak
Karena itu hanya ada dua pilihan yang tersedia. Pertama, ikut berdesakan
di wilayah sepanjang kereta-api dan sepanjang bantaran sungai/
kali di ringga-dalam kota (inner cities area) seperti wilayah Kali Jodo
misalnya; atau kedua, merintis permukiman baru yang sama kumuhnya
di lingkaran luar kota seperti: Cijantung dan Pasar Rebo, Pasar Jumat,
Ciputat, Cipulir, Kebayoran Lama serta wilayah Cakung. Karena minimnya
bekal pendidikan, keterampilan dan nansial yang mereka bawa dari
tempat asal maka mereka sangat mengandalkan jaringan kekerabatan
yang memang sangat solid di daerah asal mereka. Migran kelas bawah
yang datang belakangan dalam gelombang kedua ini cenderung hidup
mengelompok di suatu lokasi baru di lingkaran luar kota Jakarta dan
permukiman kumuh di dalam kota. Bermukim mengelompok menurut
asal daerah dan suku ini tidak hanya memberikan tempat berteduh
sementara tetapi juga membuka pintu-magang ke lahan-lahan pekerjaan
di sektor informal. Pada umumnya mereka terdiri dari remaja dan
pemuda putus-sekolah yang berusaha mencari pekerjaan seadanya.
Kita dengan mudah menemukan kumpulan orang Solo kelas bawah
terkonsentrasi di Cijantung dengan pekerjaan utama sebagai Tukang
Baso. Warga Banten, Makasar, Ternate dan Tidore, Madura dan mereka
yang berasal dari wilayah Pantura Jawa bermukim di sekitar wilayah
Tanjung Priok dan bekerja sebagai pelaut, nelayan, buruh pelabuhan
atau pekerjaan kasar dan keras lainnya di wilayah pelabuhan itu. Warga
Madura juga punya spesialisasi pekerjaan dalam jual-beli besi-tua dan
penjaja sate yang handal. Warga Ambon, Flores, Tim-Tim dan Papua yang
banyak berkiprah dalam jasa parkir dan jasa keamanan di sekitar tempat
hiburan dan seterusnya.
Hal yang perlu dicatat secara khusus adalah maraknya kegiatan
premanisme dan kegiatan lain yang biasa dikenal sebagai kegiatan dunia
6
Makalah Diskusi | Juni 2011
hitam dalam sektor informal yang dilakukan oleh suku-suku tertentu
dari luar Jawa. Suku-suku ini telah mempunyai reputasi sebagai suku-
suku yang keras dan panas. Kegiatan premanisme dunia hitam ini marak
ditemui dalam jenis-jenis lahan pekerjaan baru yang khas perkotaan
seperti: pengaturan lalu-lintas, pengaturan parkir, penjagaan keamanan
di lingkungan pabrik, toko, atau tempat usaha ekonomi lainnya, rumah
kediaman serta tempat-tempat hiburan.
Kesumpekan dan Kegalauan Anak-Muda Miskot. Buat anak-anak
remaja/pemuda/i, di rumah bahkan tidak ada tempat selonjor untuk
ngobrol sesama usia. Yang masih belum remaja, mereka bermain di
sungai di pelatran rumah yang becek dan busuk-kotor, atau ke sungai
yang penuh deterjen, atau main layang-layang di bantaran keretaapi.
Yang sudah remaja keatas, menggerombol di mulut gang sambil belajar
merokok atau menyedot narkoba. Kadang iseng-usil mengganggu
perempuan dan tukang gerobak yang lewat. Di tempat pelarian di
mulut gang/jalan, di pertengahan kedua malam, mengenalkan mereka
dengan narkoba, minuman keras dan petualangan seks beresiko.
Salah-paham kecil saja dapat memicu perkelahian antar geng, antar-
kampung. Anak-anak STM yang sering berkelahi dengan rekan seusia
dari sekolah menengah umum tetangganya, adalah anak-muda yang
berasal dari lingkungan kumis ini. Dalam penelitian si burung elang
yang selalu terbang sendiri, almarhum sarjana politik dari UGM di
tahun 1980an, mengaskan temuan ini. Para anak-muda miskot di kumis
yang mengalami kesesakan berlapir sejak dari rumah, lingkungan
komunitas, sekolah dan ketidak-pastian pekerjaan ini, benar-benar
dalam benaman kegalauan yang sangat dalam. Mereka dapat dan siap
menjadi reserved army bagi pihak manapun yang punya sumberdaya
nansial, jaringan organisasi dan daya-pukau ideologi, untuk digerakkan
sebagai kerumunan/gerombolan kekerasan antar-golongan yang saling
menghancurkan.
Menurut Simone
11
Jakarta Utara dan Jakarta Barat dan Jakarta Pusat
adalah wilayah konsentrasi miskot utama di DKI Jakarta. Kamal Muara,
Muara Baru, Pluit, Grogol, Penjaringan, Kota, Ancol, Pademangan,
Warakas, Sunter, Tanjung-Priok penuh dengan pemukiman-pemukiman
kumis ini
12
. Premanisme anak-muda marak di wilayah-wilayah ini.
Simone
13
juga mencatat bahwa para preman ini selalu siap untuk
berkelahi: the willingness to ght is an important feature of the premanI
III. Membengkaknya Kelas Menengah Muslim Perkotaan
Konsep kelas menengah yang Weberian ini lebih menggunakan
variable tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan
11
Simone, AbdulMaliq, Towards An Anticipatory Urban Politics, Preliminary Notes From North of
Jakart , Makalah yang disampaikan dalam pertemuan Jejaring Miskin-Kota yang diornanisir
oleh Urban-Poor Consortium, Ubud, 2002
12
Bila dicermati, Jakarta Utara dan Jakarta Barat memasok jamaah pengajian dan salawat setiap
minggu yang banyak diadakan justeru di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Setiap
minggu dapat diamati microbus merah dan hijau yang mengangkut jamaah pengajian/salawat
bersama ini. Di kedua wilayah yang disebut terakhir ini bertebaran banyak pesantren. Semakin
dekat suatu wilayah di Jakarta kea rah Jawa Barat, baik ke Bekasi,, Depok-Bogor maupun
kearah Ciputat Banten, semakin banyak pesantren dan majelis taklim di wilayah itu (isi Bagian
ini dengan data kuantitatif))
13
Ibid, tanpa halaman
7
Makalah Diskusi | Juni 2011
sekelompok penduduk tertentu. Pada jaman kolonial kelas menegah
mulai bertunas di kalangan Muslim pedagang, priyayi menengah dan
kecil, minoritas Tionghoa, Arab dan India yang terdidik berkat politik
balas-budi kolonial Belanda. Aura gaya hidup dan sikap feudal sangat
kental di kalangan generasi terdidik awal ini. Mereka banyak berprofesi
sebagai guru, wartawan, seniman dan membentuk inti dari para the
founding fathers and mothers Indonesia merdeka. Mereka dikenal dengan
julukan penuh apresiasi: Kaum Pergerakan.
14
Di jaman kemerdekaan, khususnya selama periode Orde Baru, yang
muncul dan berkiprah adalah kelas menengah parasit yang netek kepada
birokrasi pemerintahan tumbuh pesat sebagai kelas menengah yang
konsumtif-hedonis. Dengan difasilitasi oleh goncangan krisis nancial
Asia, berpadu dengan keresahan faksi militer Merah-Putih, kelas
menengah produk Orba inilah yang kemudian justeru jadi motor utama
dari penumbangan rejim Soeharto Orde Baru.
Saat ini, proporsi kelas menengah perkotaan yang terdidik adalah
setengah dari proporsi kelas bawah dan satu-setengah kali proporsi kelas
atas (Lihat Lampiran, Figure 01: The Pyramid of (urban Indonesia) Social
Structure) Yang menarik adalah bila kita cermati lebih dalam ke setiap
kelas, ternyata sub-kelas bawah-menengah juga bertambah duakali
proporsi sub-kelas menengah-menengah sedangkan mobilitas vertikal
dari mereka di sub-kelas menengah-menengah ke sub-kelas di atasnya,
atas-menengah relatif tidak signikan. Gejala ini dapat dikonrmasi
dengan data laju pertambahan rumah untuk kelas bawah-menengah yang
duakali lebih banyak dari laju pertambahan perumahan untuk sub-kelas
atas-menengah; dan satu-setengah kali laju pertambahn perumahan
untuk sub-kelas menengah-menengah.
Pertambahan signikan dari sub-kelas bawah-menengah
disumbangkan oleh mereka dari sub-kelas atas-bawah yang
tersejahterakan dalam tiga decade terakhir ini. Pemilik motor terbanyak
juga ada pada dua sub-kelas ini: sub-kelas atas-bawah dan sub-kelas
bawah-menengah. Sedangkan mereka yang berada di landasan piramida
struktur social perkotaan Indonesia, sub-kelas bawah-bawah nyaris
tertindih tidak bisa bergerak ke sub-kelas diatas mereka samasekali.
Tapi pada saat yang sama jumlah sub-kelas bawah-bawah ini semakin
berlipat-ganda. Pembengkakan signikan ini disumbangkan baik oleh
pertambahan alamiah penduduk lewat kelahiran baru, maupun oleh
migrasi masuk dari wilayah Jawa Barat yang langsung berbatasan
dengan Jakarta. Pendatang baru sub-kelas bawah-bawah dari pedesaan
Jawa Barat ini didominir oleh kaum perempuan miskin.
Gebrakan Reformasi membuka peluang besar bagi siapa saja untuk
berserikat, menyatakan pendapat di ruang publik dan menyuarakan
aspirasi serta kepentingan masing-masing. Kelas menengah perkotaan,
baik yang abangan-sekuler maupun yang kental religiusitasnya mulai
berkiprah menggalang basis-basis kekuatan masing-masing. Kalangan
sekuler kelas menengah banyak berkiprah di lembaga swadaya
masyarakat. Sebagian kecil dari mereka benar-benar melakukan
advokasi memperbaiki lingkungan sebagian berupaya mengberdayakan
14
Tomagola, Tamrin Amal, Kelas Menengah: Motor Demokratisasi? dalam Republik Kapling,
Yogyakarta, Insist, 2006, hh, 189-202
8
Makalah Diskusi | Juni 2011
kelompok marginal tertentu. Tapi mayoritas dari kalangan LSM hanya
giat membuat proposal, membuat laporan kegiatan dan keuangan
kepada para donor serta menyelenggarakan seminar/lokakarya di hotel-
hotel berbintang. Sangat sedikit dari kalangan LSM sekuler yang dating
menyapa dan menyentuh kehidupan sub-kelas menengah-bawah dan
bawah-bawah.
Manipulasi Kelas Bawah oleh Ideolog Kelas Menengah. Kalangan
sub-kelas menengah-menengah dan bawah-menengah yang kental
aroma keagamaanlah, yang banyak berprofesi sebagai pengusaha kecil
dan menengah dalam usaha dagang bahan bangunan sampai mebel, yang
justeru peduli, datang, menyapa dan memberi perhatian dan berbagai
bantuan kepada sub-kelas atas-menengah dan menengah-bawah.
15
Advokasi dan bantuan yang diberikan bervariasi mulai dari bantuan
nansial kontan, pembukaan akses ke sekolah atau pekerjaan ataupun
ke jajaran aparat hukum bila ada warga sub-kelas atas-bawah dan
menengah bawah yang bermasalah hukum. Pintu rumah para tokoh/
ideolog agama kedua sub-kelas menengah ini juga memberi pelayanan
nasehat dan petuah sosial serta, tak kalah penting, nasehat-nasehat
spiritual keagamaan. Banyak dari mereka berperan sebagai Kiai
Kampung ataupun Dai Kampung yang lincah bergaul dengan kalangan
bawah dan hidup, bersikap dan bertutur seperti layaknya kelas bawah.
Kalangan bawah yang serba berkekurangan, baik material maupun
intelektual dan spiritual ini, dengan mudah dapat dimanipulir dan
dimobilisir untuk berbagai tujuan: ekonomi,dan politik maupun social-
budaya. Meneruskan tradisi yang sudah dibangun bersama aparat
keamanan Orde Baru, jumlah yang massif dari kelas bawah sewaktu-
waktu dapat digerakkan untuk menakut-nakuti para pengusaha,
khususnya pengusaha pusat-pusat hiburan, untuk memaksakan layanan
keamanan ataupun menuntut kenaikan upeti pelayanan keamanan. Tidak
jarang, pimpinan aparat keamanan setempat turut menikmati upeti yang
berhasil digalang para preman kelas bawah pimpinan tokoh lokal dari
kalangan kelas menengah.
Jasa sebagai local power broker yang diperankan oleh para warga
kelas menengah lokal itu juga sering dimanfaatkan warga kelas bawah
yang bermasalah ataupun membuka akses ke pekerjaan dan pendidikan
anak-anak kelas bawah. Hubungan ketergantungan dan keuntungan
timbal-balik antara warga kelas bawah dengan para ideolog/tokoh lokal
kelas menengah, lebih banyak menguntungkan tokoh kelas menengah
dalam net-surplus baik secara nancial maupun dalam rangka
akumulasi dan pengokohan wibawa kekuasan para tokoh lokal ini.
IV. Hot-Spots Kekerasan-Radikalisme
Tempat-tempat yang membara dengan potensi kekerasan-
radikalisme dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: (1) di kota-
15
Perlu dikemukakan bahwa dua Ormas besar Islam, NU dan Muhammadiyah, malah semakin
jarang datang dan menyapa serta merawat ummatnya di kelas terbawah ini. Para tokohnya
lebih sibuk dengn high politics di tingkat nasional ataupun melanglang buana dalam rangka
inter-faith dialogue di tingkat regional dan internasional. Salahsatu tokoh kontroversial
kelompok ekstrim sepulangnya dari Madinah justeru menulis suatu manual praktis bagaimana
memanfaatkan Kiai Kampung dalam mendorong penegakan Syariat Islam dari bawah.
9
Makalah Diskusi | Juni 2011
kota menengah secara nasional; dan (2) di wilayah Jakarta Raya dan
Jawa Barat. Ada perbedaan mendasar antara kedua kelompok wilayah
ini, yaitu di kota-kota menengah sudah mulai ada ledakan kekerasan-
radikalisme secara sporadic dengan interval waktu yang tidak menentu,
sedangkan di wilayah Jakarta dan Jawa Barat selain memegang rekor
sebagai wilayah yang paling-sering diguncang kekerasan-radikalisme
juga skala potensi magma intoleransi, baik yang pasif maupun yang aktif,
pada tingkat yang sangat massif tersimpan di bawah permukaan.
Berbeda dengan pola arus urbanisasi di era Orde Baru yang secara
substantif mengarah ke magnit kota-kota metropolitan seperti: Jakarta,
Surabaya, Bandung, Medan dan Makasar, arus urbanisasi sesudah
dicanangkannya proses desentralisasi dalam satu dekade terakhir ini,
lebih mengarah ke kota-kota menengah di daerah (provincial towns) yang
biasanya merupakan ibukota kabupaten/kotamadya ataupun sebagai
ibukota propinsi seperti: Mataram, Ambon, Poso, Kendari, Pekalongan,
Anyer, Ternate dan sejenisnya. Kota-kota menengah ini berpenduduk
antara 250.000 s/d 1 juta jiwa.
Di kota-kota menengah ini berdatangan berbagai suku yang
seperti Jakarta di tahun 50an, mereka cenderung hidup berkelompok.
Mengelompok menurut asal daerah/suku ini selain karena memang
urbanisasi di Dunia Ketiga selalu terjadi dalam bentuk chain-migration,
pola mengelompok ini juga merupakan strategi survival yang murah,
praktis, dan memungkinkan adaptasi secara bertahap sebelum mendapat
hunian, pekerjaan maupun sekolah yang pasti dan tetap.
Pola pengkaplingan permukiman dan pekerjaan berdasar daerah/
suku, dan kadang agama ini, tentu saja dalam jangka waktu menengah
akan mulai menimbulkan ketegangan antar-kelompok, dan bila matang,
percikan konik sik mulai terjadi secara sporadis. Bila dibiarkan tak
terbenahi, letupan konik dengan kekerasan yang dahsyat menjadi hanya
menunggu waktu, tak terelakkan.
Berbagai upaya dasar yang komperhensif dan berkelanjutan di 150an
kota menengah di seluruh Indonesia ini diperlukan untuk meredam dan
mencegah eskalasi kekerasan radikalisme di masa depan. Hotspots bom
waktu berantai antar kota menengah ini meletup, seperti di Tasikmalaya,
Temanggung, Bogor dan Garut.
Akhirnya, hotspots, yang sudah pada taraf mendidih dan sewaktu-
waktu bisa meluap, adalah tentu saja Jawa Barat dan Jakarta
16
. Kedua
wilayah ini akan menjadi barometer dan teladan kekerasan-radikalisme
yang dapat menjalar sambung-menyambung ke 150an kota-kota
menengah tersebut diatas.
Be Prepared for the worse!!!

16
Lihat Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia, Yogyakarta, CRCS, 2010, Tabel 2.4
10
Makalah Diskusi | Juni 2011











Figure 02
Conceptual Framework

Structural
VIOLENCE

PHYSICAL
VIOLENCE
SYSTEMATIC
DISEMPOWERMENT
I. The
closing of
access to


The preventing
of control over

Strategic Resource

Economic
Resource

Non-economic
Resources
Violent Conflict

NO
ENTRY

NO
ENTRY

Sumber: Tamrin Amal Tomagola



















Disampaikan dalam Diskusi Akar Kekerasan: Perspektif
Sosio-Legal di Komunitas Salihara, Rabu 08 Juni 2011.
Makalah ini tidak disunting. Makalah ini milik Kalam dan
tidak untuk dimuat di mana pun.
Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Indonesia
t: +62 21 7891202 f:+62 21 7818849 www.salihara.org

Anda mungkin juga menyukai