Disusun oleh :
CIDERA KEPALA
A. Pengertian
Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya
trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder
dari trauma yang terjadi (Sylvia anderson Price, 1985).
2.
Anatomi Fisiologi
Otak dibungkus oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan yaitu:
1. Duramater : Lapisan luar, berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat yang bersifat liat,
tebal, tidak elastis, berupa serabut dan berwarna abu-abu.
2. Arachnoid : Membran bagian tengah, bersifat tipis dan lembut. Berwarna putih
karena tidak dialiri darah, terdapat pleksus khoroid yang memproduksi cairan
serebrospinal (CSS) terdapat villi yang mengabsorbsi CSS pada saat darah masuk ke
dalam sistem (akibat trauma, aneurisma, stroke).
3. Piamater
: Membran paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan yang
menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan otak.
Serebrum, terdiri dari 4 lobus, yaitu:
1. Lobus frontal : Area ini mengontrol perilaku individu, membuat keputusan,
kepribadian, dan menahan diri. Lobus terbesar.
2. Lobus parietal : Lobus sensori, area ini menginterpretasikan sensasi, mengatur
individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.
3. Lobus temporal : Sensasi kecap, bau, dan pendengaran, ingatan jangka pendek.
4. Lobus oksipital : menginterpretasikan penglihatan.
Diensefalon, terdiri dari talamus, hipotalamus, dan kelenjar hipofisis.
1. Talamus
2. Hipotalamus
: Bekerja sama dengan kelenjar hipofisis untuk mempertahankan
keseimbangan cairan dan mempertahankan pengaturan suhu tubuh. Sebagai pusat lapar
dan mengontrol BB, pengatur tidur, tekanan darah, perilaku agresif, seksual, respon
emosional.
3. Kelenjar hipofisis : Dianggap sebagai master kelenjar, karena sejumlah hormon dan
fungsinya diatur oleh kelenjar ini. hipofisis lobus anterior memproduksi hormon
pertumbuhan, hormon prolaktin, TSH, ACTH, LH. Lobus posterior berisi hormon ADH.
B. Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah :
1. oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal : kecelakaan,
dipukul dan terjatuh.
2. trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum.
D. Patofisiologi
Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi
komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.
E. Klasifikasi
Cidera kepala diklasifikasikan menjadi dua :
1. Cidera kepala terbuka
2. Cidera kepala tertutup
1. Cidera kepala terbuka
Luka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala duramater
disertai cidera jaringan otak karena impressi fractura berat. Akibatnya, dapat
menyebabkan infeksi di jaringan otak. Untuk pencegahan, perlu operasi dengan
segera menjauhkan pecahan tulang dan tindakan seterusnya secara bertahap.
Fractura Basis Cranii
Fractura ini dapat terletak di depan, tengah, atau di belakang. Gejala fractura di
depan:
1. Rhino liquore disertai lesi di sinus-frontalis pada ethmoidal, spenoidal, dan
arachnoidal.
2.
Pneunoencephalon, karena pada fractura basis cranii udara dari sinus maksilaris
masuk ke lapisan selaput otak encepalon.
3. Monokli haematoma, adalah haematoma pada biji mata, karena pada orbita mata
dan biji lensa mata memberi gejala pendarahan intracranialis pula.
Fractura bagian tengah basis cranii antara lain memberi gejala khas
menetesnya cairan otak bercampur darah dari telinga: otoliquor, melalui tuba
eustachii. Gambaran rontgen sebagai tanda khas pada fractura basis cranii selalu
hanya memperlihatkan sebagian. Karena itu, dokter-dokter ahli forensik selalu
menerima kalau hanya ada satu tanda-tanda klinik.
Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat pada fractura basis cranii antara
lain anosmia (I); gangguan penglihatan (II); gangguan gerakan-gerakan biji mata
(III,IV, V); gangguan rasa di wajah (VI); kelumpuhan facialis (VII); serta ketulian
bukan karena trauma octavus tetapi karena trauma pada haemotympanon. Pada
umumnya, N. VIII - XII jaringan saraf otak tidak akan rusak pada fractura basis
cranii. Kalau fractura disebut fractura impressio maka terjadi dislocatio pada
tulang-tulang sinus tengkorak kepala. Hal ini harus selalu diperhatikan karena
kemungkinan ini akibat contusio cerebri.
2. Cidera kepala tertutup
Pada tulang kepala, termasuk di antaranya selaput otak, terjadi keretakankeretakan. Dalam keadaan seperti ini, timbul garis/linea fractura sedemikian rupa
sehingga menyebabkan luka pada daerah periferia a. meningia media, yang
menyebabkan perdarahan arteri. Haematoma dengan cepat membesar dan
gambaran klinik juga cepat merembet, sehingga tidak kurang dari 1 jam terbentuk
haematomaepiduralis. Penentuan diagnosis sangat berarti lucidum intervalum
(mengigat waktu yang jitu dan tepat). Jadi, pada epiduralis haematoma,
sebenarnya jaringan otak tidak rusak, hanya tertekan (depresi). Dengan tindakan
yang cepat dan tepat, mungkin pasien dapat ditolong. Paling sering terdapat di
daerah temporal, yaitu karena pecahnya pembulnh darah kecil/perifer cabangcabang a. meningia media akibat fractura tulang kepala daerah itu (75% pada Fr.
Capitis).
a. Epiduralis haematoma
Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin. transversus. Foto
rontgen kepala sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah pengawasan
terhadap pasien. Saat ini, diagnosis yang cepat dan tepat ialah CT scan atau
Angiografi. Kadangkala kita sangat terpaksa melakukan "Burr hole Trepanasi",
karena dicurigai akan terjadi epiduralis haematoina. Dengan ini sekaligus bisa
didiagnosis dan dekompresi, sebab terapi untuk epiduralis haematoma adalah suatu
kejadian yang gawat dan harus segera ditangani.
b. Subduralis haematoma akut
Kejadian akut haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh
darah kecil sinus vena pecah atau terjadi perdarahan. Atau jembatan vena bagian
atas pada interval yang akibat tekanan lalu terjadi perdarahan. Kejadiannya keras
dan cepat, karena tekanan jaringan otak sehingga darah cepat tertuangkan dan
memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi
tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra
Kranial). Pada kejadian akut haematoma, lucidum intervalum akan terasa setelah
beberapa jam sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis di sini jarang
memberi gejala epileptiform pada perdarahan dasar duramater. Akut hematoma
subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa Fractura Cranii, namun
pembuluh darah arteri dan vena di corteks terluka. Pasien segera pingsan/ koma.
Jadi, di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang pembuluh darah besar
seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam kasus ini sering dijumpai
kombinasi
dengan
intracerebral
haematoma
sehingga
mortalitas
subdural
hour). Pemberian nalokson (bolus 5,4 mg/kg berat badan dilanjutkan dengan 4,0
mg/kg berat badan per jam selama 23 jam) tidak memberikan perbaikan keadaan
neurologis pada penderita trauma saraf spinal akut.
Metilprednisolon yang diberikan secara dini dan dalam dosis yang akurat,
dapat memperbaiki keadaan neurologis akibat efek inhibisi terjadinya reaksi
peroksidasi lipid. Dengan kata lain, metilprednisolon bekerja dengan cara:
H. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke
otak.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.
3. Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra
kranial.
4. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.
5. Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan elektrolit
meningkat.
7. Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan.
8. Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan
medula oblongata.
I. Intervensi
Diagnosa
Gangguan
Tujuan
Gangguan perfusi jaringan
Intervensi
- Pantau status neurologis
secara teratur.
Rasional
Mengkaji adanya
kecenderungan pada
tingkat kesadaran dan
cerebri,
meningkatnya
dengan KH :
aliran darah ke -
Mampu mempertahankan
menentukan lokasi,
otak.
tingkat kesadaran
perluasan dan
perkembangan kerusakan
membaik.
SSP
Menentukan tingkat
kesadaran
- Evaluasi kemampuan
Mengukur kesadaran
kemampuan untuk
berespon pada rangsangan
eksternal.
sederhana.
menyenangkan klien
klien
menurunkan TIK
Pembatasan cairan
- Kolaborasi pemberian
diperlukan untuk
menurunkan Oedema
cerebral: meminimalkan
kontrol
Gangguan
TIK
Mengidentifikasi
catat intensitasnya,
karakteristik nyeri
tekanan
intra dengan KH :
kranial.
berkurang.
mengevaluasi keefektifan
dari terapi.
- Catat kemungkinan
Pemahaman terhadap
penyakit yang
mendasarinya membantu
trauma servikal.
Meningkatkan rasa
nyaman dengan
menurunkan vasodilatasi.
Fungsi cerebral bagian atas
perubahan orientasi,
kemampuan berbicara,
kesadaran,
24 jam dengan KH :
gangguan sirkulasi,
peningkatan
oksigenasi. Perubahan
Perubahan
tekanan
kranial.
intra
-
Mengakui adanya
perubahan dalam
kemampuannya.
perubahan yang
melibatkan peningkatan
terhadap gerakan.
Pasien mungkin
mengalami keterbatasan
dan sederhana.
Pertahankan kontak
penyembuhan. Dengan
mata.
- Berikan lingkungan
Mengurangi kelelahan,
memberikan kesempatan
tinjau kembali.
sensori).
- Gunakan penerangan
siang atau malam.
Memberikan perasaan
normal tentang perubahan
waktu dan pola tidur.
fisioterapi, terapi
rencana panatalaksanaan
Gangguan
mobilitas fisik
b/d spastisitas
fungsional dan
kontraktur,
KH :
mempengaruhi pilihan
kerusakan saraf
motorik.
-
Mengidentifikasi
footdrop.
dilakukan.
- Periksa kembali
- Pertahankan kesejajaran
yang sakit.
Mampu
mencegah footdrop,
mendemonstrasikan
penggunaan bantal,
aktivitas yang
memungkinkan
dilakukannya
alat tersebut.
membantu mencegah
terjadinya abnormal pada
bokong.
Mempertahankan mobilitas
dan fungsi sendi/ posisi
lambat seringakli
penggunaan alat
mobilisasi. Tingkatkan
sangat penting.
sendiri sesuai
kemampuan.
infeksi b/ d
dilakukan tindakan
menghindari nosokomial
jaringan trauma,
infeksi.
kerusakan kulit
dengan KH :
kepala.
Mencapai penyembuhan
luka tepat waktu
- Berikan perawatan
Resiko tinggi
yang mengalami
infeksi memungkinkan
catat karakteristik
pencegahan terhadap
komplikasi selanjutnya.
inflamasi.
Menurunkan pemajanan
- Batasi pengunjung yang
Gangguan
keseimbangan
dapat mencegah
cairan dan
cairan.
kekurangan / kelebihan
elektrolit b/ d
fluktuasi keseimbangan
haluaran urine
dengan KH :
cairan.
dan elektrolit
meningkat.
Menunjukan membran
mukosa lembab, tanda vital - Catat masukan dan
haluaran, hitung
menunjukan terjadinya
keseimbangan cairan,
indikasi
diperlukan untuk
mencegah dehidrasi.
- Kolaborasi pemeriksaan
Hipokalimia/ fofatemia
perpindahan intraselluler
selama pemberian makan
awal dan menurunkan
fungsi jantung bila tidak
diatasi.
Gangguan
kebutuhan
nutrisi b/ d
kelemahan otot
x 24 jam dengan KH :
mengatasi sekresi.
untuk menguyah
dan menelan
normal.
hiperaktif.
sesuai tujuan.
Menurunkan regurgitasi
Meningkatkan proses
pencernaan dan toleransi
dengan teratur.
b/
kedalaman pernafasan.
menunjukan komplikasi
obstruksi
Catat ketidakteraturan
trakeobronkial,
2x 24 jam dengan KH :
pernafasan.
neurovaskuler,
kerusakan
medula
menendakan perlunya
oblongata.
ventilasi mekanis.
- Angkat kepala tempat
Untuk memudahkan
Mencegah/ menurunkan
atelektasis.
Untuk mengidentifikasi
Perhatikan daerah
yang membahayakan
whiszing).
menandakan adanya
infeksi paru (umumnya
merupakan komplikasi
pada cidera kepala).
- Kolaborasi untuk
Menentukan kecukupan
pemeriksaan AGD,
oksigen, keseimbangan
tekanan oksimetri.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin, (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Batticaca Fransisca B, (2008), Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Brunner and Suddarth (2000). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilyn, E (2000) Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3, EGC, Jakarta
Hardjasaputra, S.L.P. dkk (2002). DOI Data Obat Indonesia. Edisi 10 Jakarta: Grafidian
Mediapress
Mansjoer Arif M. ( 2000 ). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media Aeusculapius.
Pearse Evelyn C, (2002), Anatomi Fisiologi untuk Paramedis. PT Gramedia Jakarta.
Pierce A. Grace & Neil R. Borley, (2006). Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga
Price, Sylvia A. (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta:
EGC.