Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah semakin
meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Dengan semakin meningkatnya usia
harapan hidup penduduk, menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia (lansia) terus
meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tentunya berdampak pada berbagai aspek
kehidupan, baik sosial, ekonomi, dan terutama kesehatan, karena dengan semakin
bertambahnya usia, fungsi organ tubuh akan semakin menurun baik karena faktor
alamiah maupun karena penyakit. Dengan demikian, peningkatan jumlah
penduduk lansia tidak hanya menjadi salah satu indikator keberhasilan
pembangunan tetapi juga sebagai tantangan dalam pembangunan (1).
Di Indonesia, tahun 2000 proporsi penduduk lansia adalah 7,18 persen dan
tahun 2010 meningkat sekitar 9,77 persen, sedangkan tahun 2020 diperkirakan
proporsi lansia dari total penduduk Indonesia mungkin mencapai 11,34 persen.
Menurut U.S. Census Bureau, International Data Base, 2009, penduduk lansia
dua tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan, pada tahun 2007
jumlah penduduk lansia sebesar 18,96 juta jiwa dan meningkat menjadi
20.547.541 pada tahun 2009. Jumlah ini termasuk terbesar keempat setelah Cina,
India dan Jepang. (1,2).
Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan pada peningkatan kualitas
hidup manusia termasuk lansia. Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara tahun
2

1993, arahan PJPT II antara lain adalah mengenai perlunya diberikan perhatian
pada penduduk lansia, mengingat kelompok penduduk lansia memiliki
pengalaman luas, kearifan, dan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk
pembangunan. Pada Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan,
manusia usia lanjut diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan dan
kemampuannya agar tetap sehat dan produktif (3).
Dari sisi kualitas hidup penduduk lansia cenderung mengalami masalah
kesehatan. Data menunjukkan bahwa ada kecenderungan angka kesakitan lanjut
usia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi ini tentunya harus
mendapatkan perhatian berbagai pihak. Lansia yang sakit-sakitan akan menjadi
beban bagi keluarga, masyarakat, dan bahkan pemerintah, sehingga akan menjadi
beban dalam pembangunan. Oleh sebab itu, kita harus menjadikan masa lansia
menjadi tetap sehat, produktif, dan mandiri. Hal ini tidak akan tercapai bila kita
tidak mempersiapkan masa lanjut usia sejak usia dini (2).
Penyebab penyakit pada golongan lansia disebabkan karena menurunnya
fungsi berbagai alat tubuh oleh adanya proses penuaan. Sel-sel banyak diganti,
produksi hormon menurun, dan produksi zat-zat untuk daya tahan tubuh seorang
lansia akan mundur. Penyakit atau keluhan yang umum diderita para lansia
adalah penyakit hipertensi ,reumatik, penyakit jantung, penyakit paru, diabetes
mellitus, jatuh, lumpuh separuh badan, TBC paru, patah tulang, kanker, dan juga
kekurangan gizi (4).


Makin meningkatnya harapan hidup makin kompleks penyakit yang diderita
oleh orang lanjut usia, termasuk lebih sering terserang hipertensi. Hipertensi pada
3

lanjut usia sebagian besar merupakan hipertensi sistolik terisolasi (HST), dan pada
umumnya merupakan hipertensi primer. Adanya hipertensi, baik HST maupun
kombinasi sistolik dan diastolik merupakan faktor risiko morbiditas dan mortalitas
untuk orang lanjut usia. Hipertensi masih merupakan faktor risiko utama untuk
stroke, gagal jantung dan penyakit koroner, dimana peranannya diperkirakan lebih
besar dibandingkan pada orang yang lebih muda (5).
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang optimal. Oleh karena itu perlu diselenggarakan upaya
kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, promosi kesehatan (promotif),
pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan
kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan (4).
Sebagai wujud nyata pelayanan sosial dan kesehatan pada kelompok usia
lanjut ini, pemerintah telah mencanangkan pelayanan pada lansia melalui
beberapa jenjang. Pelayanan kesehatan di tingkat masyarakat adalah Posyandu
lansia, pelayanan kesehatan lansia tingkat dasar adalah Puskesmas, dan pelayanan
kesehatan tingkat lanjutan adalah rumah sakit. Puskesmas merupakan unit
pelaksana yang melaksanakan tugas-tugas operasional pembangunan kesehatan di
tingkat wilayah kecamatan. Puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya yaitu dengan meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang
bertempat tinggal di wilayah kerjanya agar terwujudnya derajat kesehatan
4

yang setinggi-tingginya. Peran puskesmas menjadi sangat strategis, karena berada
pada lini pertama pelayanan kesehatan di masyarakat. Sehingga kemampuan
untuk mendeteksi adanya suatu masalah kesehatan serta kemampuan untuk
menganalisa berbagai masalah berikut strategi pemecahannya berada pada
puskesmas (4).
Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat usia
lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh
masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Posyandu
lansia merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui pelayanan
kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya melalui program Puskesmas
dengan melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat, dan
organisasi sosial dalam penyelenggaraannya (4).
Di Puskesmas Sungai Ulin, pada tahun 2010 jumlah penduduk lansia (dari
usia prausila hingga usila resiko tinggi) tercatat 4659 jiwa atau sekitar 26 % dari
seluruh total penduduk wilayah Puskesmas Sungai Ulin. Jumlah lansia yang
berkunjung baik lama ataupun baru ke posyandu Lansia dan Puskesmas tercatat
2188 kunjungan. Penyakit hipertensi sendiri menduduki peringkat kedua dari
sepuluh penyakit terbanyak pada semua usia, dan merupakan peringkat pertama
dari sepuluh penyakit terbanyak khusus pasien lansia. Dengan banyaknya jumlah
populasi lansia serta tingginya angka kejadian penyakit hipertensi, maka
diperlukan peningkatan jenis dan kualitas pelayanan kesehatan dan perawatan,
terutama pada Posyandu Lansia sebagai pelayanan kesehatan tingkat masyarakat
pertama, sehingga pada tulisan ini akan dibahas mengenai hipertensi dan
5

pengoptimalisasian posyandu lansia sebagai salah satu pelayanan kesehatan dalam
fungsinya untuk upaya pengendalian hipertensi itu sendiri.

1. 2. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka timbul suatu
permasalahan bagaimana upaya pengendalian hipertensi pada lansia yang bisa
dilakukan oleh Posyandu lansia secara optimal?
















6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lansia
1. Pengertian
Lansia yaitu lanjut usia atau manusia usia lanjut (manula). Usia lanjut
adalah seseorang laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik
yang secara fisik masih berkemampuan (potensial) maupun karena sesuatu hal
tidak mampu lagi berperan secara aktif dalam pembangunan (3).

Menurut dokumen Pelembagaan Lanjut Usia dalam Kehidupan Bangsa yang
diterbitkan oleh Departemen Sosial dalam rangka pencanangan Hari Lanjut Usia
Nasional tanggal 29 Mei 1996 oleh Presiden RI, batas usia lanjut adalah 60 tahun
atau lebih, sebelumnya berdasarkan UU No 4 tahun 1965 yang dimaksud usia
lanjut dalam program pemerintah adalah mereka yang berusia 55 tahun keatas.
Hal ini selaras berdasarkan usia harapan hidup yang makin meningkat. Pada tahun
1991 usia harapan hidup mencapai 64,7 tahun untuk perempuan dan untuk laki-
laki 61 tahun sedangkan pada tahun 1995 meningkat menjadi 66,7 tahun untuk
perempuan dan 62,9 tahun untuk laki-laki. WHO mengelompokkan usia lanjut
atas tiga kelompok, yaitu (3,6) :
- middle age (45-59 tahun)
- elderly age (60-74 tahun)
- old age (75-90 tahun)

7

2. Karakteristik Lansia
Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui
keberadaan masalah kesehatan lansia adalah (7):

a. Jenis kelamin; lansia lebih banyak pada wanita. Terdapat perbedaan
kebutuhan dan masalah kesehatan yang berbeda antara lansia pria dan wanita.
Misalnya lansia pria dengan hipertropi prostat, maka wanita mungkin
menghadapi osteoporosis.
b. Status perkawinan; status masih pasangan lengkap atau sudah hidup
janda/duda akan mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun
psikologis.
c. Living arrangement; misalnya keadaan pasangan, tinggal sendiri atau bersama
istri, anak atau keluarga lainnya.
Tanggungan keluarga; masih menanggung anak atau anggota keluarga.
Tempat tinggal; rumah sendiri, tinggal dengan anak. Dewasa ini
kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian keluarganya, baik lansia
sebagai kepala keluarga atau bagian dari keluarga anaknya. Namun akan
cenderung bahwa lansia akan ditinggalkan oleh keturunannya dalam
rumah yang berbeda.
d. Kondisi kesehatan
Kondisi umum; kemampuan umum untuk tidak tergantung kepada orang
lain dalam kegiatan sehari-hari, mandi, buang air kecil dan besar.
8

Frekuensi sakit; frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan menjadi tidak
produktif lagi bahkan mual tergantung kepada orang lain. Bahkan ada
yang karena penyakit kroniknya sudah memerlukan perawatan khusus.
e. Keadaan ekonomi
Sumber pendapatan resmi; pensiunan ditambah sumber pendapatan lain
kalau masih bisa aktif.
Penduduk lansia di daerah pertanian menunjukkan proporsi lebih besar
dibandingkan dengan di daerah non pertanian. Lapangan kerja sektor
pertanian cukup banyak menyerap tenaga kerja lansia, di samping sektor
perdagangan dan sektor jasa.
Sumber pendapatan keluarga; ada tidaknya bantuan keuangan dari
anak/keluarga lainnya, atau bahkan masih ada anggota keluarga yang
tergantung padanya.
Kemampuan pendapatan; lansia memerlukan biaya yang lebih tinggi,
sementara pendapatan semakin menurun sampai seberapa besar
pendapatan lansia dapat memenuhi kebutuhannya.

3. Permasalahan pada Lansia
Peningkatan jumlah lansia ini terjadi baik di negara maju maupun negara
sedang berkembang. Secara relatif peningkatan penduduk lansia di negara maju
tampak lebih cepat dibandingkan dengan yang terjadi di negara berkembang.
Namun demikian lansia di negara berkembang secara absolut lebih banyak
9

dibandingkan dengan negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa masalah lansia
tidak hanya di negara maju saja tetapi juga negara berkembang (7).

Di Indonesia tahun 2000 proporsi penduduk lansia adalah 7,18 persen dan
tahun 2010 meningkat sekitar 9,77 persen, sedangkan tahun 2020 diperkirakan
proporsi lansia dari total penduduk Indonesa dapat sampai 11,34 persen. Menurut
U.S. Census Bureau, International Data Base, 2009, penduduk lansia dua tahun
terakhir mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2007, jumlah
penduduk lansia sebesar 18,96 juta jiwa dan meningkat menjadi 20.547.541 pada
tahun 2009. Jumlah ini termasuk terbesar keempat setelah China, India dan
Jepang. Badan kesehatan dunia WHO bahwa penduduk lansia di Indonesia pada
tahun 2020 mendatang sudah mencapai angka 11,34% atau tercatat 28,8 juta
orang, balitanya tinggal 6,9% yang menyebabkan jumlah penduduk lansia terbesar
di dunia (1,2).

Gambar 1. Grafik perkembangan penduduk lanjut usia Indonesia (2)
10

Adapun permasalahan khusus pada lansia antara lain (8):
Proses penuaan yang terjadi secara alami dengan konsekuensi timbulnya
masalah fisik, mental dan sosial.
Perubahan sosialisasi karena produktivitas yang mulai menurun, berkurangnya
kesibukan sosial dan interaksi dengan lingkungan.
Produktivitas yang menurun dengan akibat terbatasnya kesempatan kerja
karena kemampuan dan ketrampilan menurun, namun kebutuhan hidup terus
meningkat.

2.2. Hipertensi
1. Pengertian
Hipertensi adalah gejala peningkatan tekanan darah yang sama atau
melebihi 140 mmHg sistolik dan sama atau melebihi 90 mmHg diastolik pada
individu yang tidak mengkonsumsi obat anti hipertensi. Pada kasus hipertensi
esensial atau primer, penyebab primer dari keadaan hipertensi tidak diketahui,
sedangkan pada hipertensi sekunder terjadi keadaan peningkatan tekanan darah
dengan sebab yang jelas (9,10).
Menurut JNC VII tahun 2003 klarifikasi hipertensi dijabarkan sebagai
berikut (9,10)

:




11

Tabel 1. Kriteria hipertensi menurut JNC VII
Klasifikasi Sistole (mmHg) Diastole (mmHg)
Normal <120 <80
Pre Hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage I 140-159 90-99
Hipertensi Stage II >160 >100

2. Etiologi
Hipertensi primer secara pasti belum diketahui penyebabnya, namun
banyak ahli meyakini bahwa etiologi hipertensi primer lebih banyak disebabkan
oleh proses interaksi antara faktor keturunan dan lingkungan. Selain itu faktor
yang cukup erat kaitannya dengan berkembangnya hipertensi adalah kebiasaan
dan pola hidup tidak sehat sehingga tercipta sekumpulan gejala gangguan
metabolik seperti obesitas dan diabetes mellitus (9,10,11).

3. Epidemiologi
Epidemiologi sebagai suatu ilmu khusus yang mempelajari tentang jumlah
dan penyebaran penyakit pada manusia serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya, mempunyai peranan besar dalam menggambarkan besar dan
luasnya suatu penyakit yang ada di masyarakat. Data studi epidemiologi yang
diperoleh akan besar manfaatnya dalam melakukan penanggulangan, terutama
pada tahap penyusunan rencana dan penilaian program kesehatan.
12

Prevalensi hipertensi di Indonesia berbeda antara satu daerah dengan
daerah lainnya. Ada kesan prevalensi hipertensi akan meningkat dengan
pertambahan umur, tetapi prevalensinya menurut jenis kelamin berbeda antara
satu peneliti dengan peneliti Iainnya, dan penyebaran hipertensi menurut ciri-ciri
manusia lainnya serta penyebaran menurut waktu belum banyak diketahui (12).
Walaupun peningkatan tekanan darah bukan merupakan bagian normal
dari ketuaan, insiden hipertensi pada lanjut usia adalah tinggi. Setelah umur 69
tahun, prevalensi hipertensi meningkat sampai 50%. Pada tahun 1988-1991
National Health and Nutrition Examination Survey menemukan prevalensi
hipertensi pada kelompok umur 65-74 tahun yaitu prevalensi keseluruhan 49,6%
untuk hipertensi derajat 1 (140-159/90-99 mmHg), 18,2% untuk hipertensi derajat
2 (160-179/100-109 mmHg), dan 6.5% untuk hipertensi derajat 3 (>180/110
mmHg). Prevalensi HST adalah sekitar berturut-turut 7%, 11%, 18% dan 25%
pada kelompok umur 60-69, 70-79, 80-89, dan diatas 90 tahun. HST lebih sering
ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki. Pada penelitian di Rotterdam,
Belanda ditemukan: dari 7983 penduduk berusia diatas 55 tahun, prevalensi
hipertensi (160/95 mmHg) meningkat sesuai dengan umur, lebih tinggi pada
perempuan (39%) dari pada laki-laki (31%). Di Asia, penelitian di kota Tainan,
Taiwan menunjukkan hasil sebagai berikut: penelitian pada usia diatas 65
ditemukan prevalensi hipertensi sebesar 60,4% (laki-laki 59,1% dan perempuan
61,9%), yang sebelumnya telah terdiagnosis hipertensi adalah 31,1% (laki-laki
29,4% dan perempuan 33,1%), hipertensi yang baru terdiagnosis adalah 29,3%
(laki-laki 29,7% dan perempuan 28,8%). Pada kelompok ini, adanya riwayat
13

keluarga dengan hipertensi dan tingginya indeks massa tubuh merupakan faktor
risiko hipertensi. Ditengarai bahwa hipertensi sebagai faktor risiko pada lanjut
usia. Pada studi individu dengan usia 50 tahun mempunyai tekanan darah sistolik
terisolasi sangat rentan terhadap kejadian penyakit kardiovaskuler (5).
Di Indonesia pada tahun 2000 penderita hipertensi diperkirakan sebesar 15
juta orang, tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 6-
15% pada orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita
hipertensi sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena
tidak menghindari dan tidak mengetahui faktor risikonya, dan 90% kasus
hipertensi merupakan hipertensi esensial. Prevalensi rata-rata tiap daerah berkisar
antara 6% sampai dengan 15%, sedangkan angka-angka ekstrim rendah terdapat
di Ungaran Jawa Tengah 1,8%; Lembah Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian
Jaya 0,6%; dan Talang Sumatera Barat 17,8%. Sedangkan menurut Riset
Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS) tahun 2007, berdasarkan hasil
pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun ke
atas di Indonesia adalah sebesar 31,7%. Menurut provinsi, prevalensi hipertensi
tertinggi di Kalimantan Selatan (39,6%) dan terendah di Papua Barat (20,1%) (5).

4. Patogenesis
Baik sistolik maupun diastolik meningkat sesuai dengan meningkatnya
umur. Sistolik meningkat secara progresif sampai umur 70-80 tahun, sedangkan
diastolik meningkat sampai umur 50-60 tahun dan kemudian cenderung menetap
atau sedikit menurun. Kombinasi perubahan ini sangat mungkin mencerminkan
14

adanya pengakuan pembuluh darah`dan penurunan kelenturan (compliance) arteri
dan ini mengakibatkan peningkatan tekanan nadi sesuai dengan umur (5).
Seperti diketahui, tekanan nadi merupakan prediktor terbaik dari adanya
perubahan struktural di dalam arteri. Mekanisme pasti hipertensi pada lanjut usia
belum sepenuhnya jelas. Efek utama dari ketuaan normal terhadap sistem
kardiovaskuler meliputi perubahan aorta dan pembuluh darah sistemik. Penebalan
dinding aorta dan pembuluh darah besar meningkat dan elastisitas pembuluh
darah menurun sesuai umur. Perubahan ini menyebabkan penurunan compliance
aorta dan pembuluh darah besar dan mengakibatkan peningkatan sistolik.
Penurunan elastisitas pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi
vaskuler perifer. Sensitivitas baroreseptor juga berubah dengan umur. Perubahan
mekanisme refleks baroreseptor mungkin dapat menerangkan adanya variabilitas
tekanan darah yang terlihat pada pemantauan terus menerus (5).
Penurunan sensitivitas baroreseptor juga menyebabkan kegagalan refleks
postural, yang mengakibatkan hipertensi pada lanjut usia sering terjadi hipotensi
ortostatik. Perubahan keseimbangan antara vasodilatasi adrenergik dan
vasokonstriksi adrenergik- akan menyebabkan kecenderungan vasokontriksi dan
selanjutnya mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan
tekanan darah. Resistensi Na akibat peningkatan asupan dan penurunan sekresi
juga berperan dalam terjadinya hipertensi. Walaupun ditemukan penurunan renin
plasma dan respon renin terhadap asupan garam, sistem renin-angiotensin tidak
mempunyai peranan utama pada hipertensi pada lanjut usia. Perubahan-perubahan
di atas bertanggung jawab terhadap penurunan curah jantung (cardiac output),
15

penurunan denyut jantung, penurunan kontraktilitas miokard, hipertrofi ventrikel
kiri, dan disfungsi diastolik. Ini menyebabkan penurunan fungsi ginjal dengan
penurunan perfusi ginjal dan laju filtrasi glomerulus (5).
Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam
pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar tekanan darah:

Gambar 2. Faktor yang terlibat dalam patofisiologi hipertensi

5. Diagnosis Hipertensi
Pada semua umur, diagnosis hipertensi memerlukan pengukuran berulang
dalam keadaan istirahat, tanpa ansietas, kopi, alkohol, atau merokok. Namun
demikian, salah diagnosis lebih sering terjadi pada lanjut usia, terutama
perempuan, akibat beberapa faktor seperti panjang cuff mungkin tidak cukup
untuk orang gemuk atau berlebihan atau orang terlalu kurus, penurunan
16

sensitivitas refleks baroreseptor sering menyebabkan fluktuasi tekanan darah dan
hipotensi postural. Fluktuasi akibat ketegangan (hipertensi jas putih atau white
coat hypertension) dan latihan fisik juga lebih sering pada lanjut usia. Arteri yang
kaku akibat arterosklerosis menyebabkan tekanan darah terukur lebih tinggi.
Sedangkan hipertensi jas putih yaitu tekanan darah lebih tinggi pada waktu
diperiksa dokter (yang mengenakan jas putih) dan apabila diukur oleh perawat
pada umumnya lebih rendah. Hal ini menjadi penting karena pada hipertensi
ringan kita harus lebih cermat menentukan diagnosisnya (5).
Pengukuran darah yang paling tepat tentu dengan cara invasif yaitu
memasukkan pipa kateter ke dalam pembuluh darah, namun hal ini tidak praktis
dan menyakitkan. Pengukuran darah secara non invasif dilakukan secara klinik
(kasual), di rumah, ambulatoir. Pengukuran tekanan darah di rumah atau secara
ambulatoir dalam kurun waktu 24 jam lebih mendekati kebenaran pola tekanan
darah pada seseorang dan memberikan gambaran keseluruhan. Pengukuran secara
ambulatoir ini menghasilkan koreksi yang lebih baik dengan kerusakan target
organ akibat hipertensi dan hasil pengobatan klinis. Bulpitt et al. menganjurkan
bahwa sebelum menegakkan diagnosis hipertensi pada lanjut usia, hendaknya
paling sedikit dilakukan pemeriksaan di klinik sebanyak tiga kali dalam waktu
yang berbeda dalam beberapa minggu (5).
Gejala HTS yang sering ditemukan pada lanjut seperti ditemukan pada the
SYST-EUR trialadalah: 25% dari 437 perempuan dan 21% dari 204 laki-laki
menunjukkan keluhan. Gejala yang menonjol yang ditemukan pada penderita
perempuan dibandingkan penderita laki-laki adalah; nyeri sendi tangan (35% pada
17

perempuan vs. 22% pada laki-laki), berdebar (33% vs. 17%), mata kering (16%
vs. 6%), penglihatan kabur (35% vs. 23%), kramp pada tungkai (43% vs. 31 %),
nyeri tenggorok (15% vs. 7%), Nokturia merupakan gejala tersering pada kedua
jenis kelamin, 68% (5).

6. Penatalaksanaan Hipertensi pada Lansia
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pentingnya terapi hipertensi pada
lanjut usia yang akan menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Sebelum diberikan pengobatan, pemeriksaan
tekanan darah pada lanjut usia hendaknya dengan perhatian khusus, mengingat
beberapa orang lanjut usia menunjukkan pseudohipertensi (pembacaan
spigmomanometer tinggi palsu) akibat kekakuan pembuluh darah yang berat.
Khususnya pada perempuan sering ditemukan hipertensi jas putih dan sangat
bervariasinya tekanan darah sistolik (5).
a. Sasaran tekanan darah
Pada hipertensi lanjut usia, penurunan diastolik hendaknya
mempertimbangkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. Sasaran yang
diajukan pada JNC VII dimana pengendalian tekanan darah (sistol<140 mmHg
dan diastol<90mmHg) tampaknya terlalu ketat untuk penderita lanjut usia. Sys-
Eur trial merekomendasikan penurunan sistol < 160 mmHg sebagai sasaran
intermediet tekanan darah, atau penurunan sebanyak 20 mmHg dari tekanan darah
awal (5).

18

b. Modifikasi pola hidup
Mengubah pola hidup/intervensi nonfarmakologis pada penderita
hipertensi lanjut usia, seperti halnya pada semua penderita, sangat menguntungkan
untuk menurunkan tekanan darah. Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki
adalah menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minum alkohol,
meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi asupan garam, mempertahankan
asupan kalium yang adekuat, mempertahankan asupan kalsium dan magnesium
yang adekuat, menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan
kolesterol. Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi
nonfarmakologis ini harus dimulai sebelum menggunakan obat-obatan (5,13).
c. Terapi farmakologis
Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan mempengaruhi
metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan dalam
memberikan obat antihipertensi. Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis
kecil dan kemudian ditingkatkan secara perlahan. Menurut JNC VII pilihan
pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut usia adalah diuretik
atau penyekat beta. Pada HST, direkomendasikan penggunaan diuretik dan
antagonis kalsium. Antagonis kalsium nikardipin dan diuretik tiazid sama dalam
menurunkan angka kejadian kardiovaskuler (5).
Adanya penyakit penyerta lainnya akan menjadi pertimbangan dalam
pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan penyakit jantung koroner,
penyekat beta mungkin sangat bermanfaat; namun demikian terbatas
penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti penyakit arteri tepi, gagal jantung/
19

kelainan bronkus obstruktif. Pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi
jantung dan gagal jantung kongestif, diuretik, penghambat ACE (angiotensin
convening enzyme) atau kombinasi keduanya merupakan ptlihan terbaik (13).
Obat-obatan yang menyebabkan perubahan tekanan darah postural
(penyekat adrenergik perifer,penyekat alfa dan diuretik dosis tinggi) atau obat-
obatan yang dapat menyebabkan disfungsi kognitif (agonis -2 sentral) harus
diberikan dengan hati-hati. Karena pada lansia sering ditemukan penyakit lain dan
pemberian lebih dari satu jenis obat, maka perlu diperhatikan adanya interaksi
obat antara antihipertensi dengan obat lainnya. Obat yang potensial memberikan
efek antihipertensi misalnya obat anti psikotik terutama fenotiazin, antidepresan
khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin, baklofen dan alkohol. Obat yang
memberikan efek antagonis antihipertensi yaitu kortikosteroid dan obat
antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang menyebabkan toksisitas adalah: (a) tiazid:
teofilin meningkatkan risiko hipokalemia, lithium risiko toksisitas meningkat,
karbamazepin risiko hiponatremia menurun; (b) Penyekat beta: verapamil
menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal jantung; digoksin
memperberat bradikardia, obat hipoglikemik oral meningkatkan efek
hipoglikemia, menutupi tanda peringatan hipoglikemia (5).

7. Pemantauan
Pasien yang telah mulai mendapatkan pengobatan harus datang kembali
untuk mendapatkan evaluasi lanjutan dan pengaturan dosis obat sampai target
tekanan darah tercapai. Setelah target tekanan darah tercapai dan stabil kunjungan
20

selanjutnya dengan interval 3-6 bulan, tetapi frekuensi kunjungan ini juga
ditentukan oleh ada tidaknya komorbiditas seperti gagal jantung, diabetes dan
kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium. Strategi yang dapat digunakan dalam
meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan (5):
1) Empati dokter dan petugas kesahatan di unit palayan kesehatan akan
meningkatkan kepercayaan, motivasi dan kepatuhan pasien.
2) Dokter harus mempertimbangkan latar belakang budaya, kepercayaan pasien
serta sikap pasien terhadap pengobatan.
3) Pasien selalu diberi tahu hasil pengukuran tekanan darah, target yang masih
harus dicapai, rencana pengobatan selanjutnya serta pentingnya mengikuti
rencana tersebut.
Jika dalam 6 bulan target pengobatan (termasuk target tekanan darah) tidak
tercapai, harus dipertimbangkan untuk melakukan rujukan ke dokter ahli atau
dokter spesialis. Bila selain hipertensi ada keluhan lain seperti diabetes mellitus
atau ginjal, baik American diabetes association (ADA) maupun International
society of nephrology (ISN) dan NKF menganjurkan untuk melakukan rujukan ke
dokter ahli jika laju filtrasi glomerolus mencapai < 60 ml/min/1,73m
2
, atau jika
ada kesulitan dalam mengatur hipertensi atau hiperkalemia, serta lakukan rujukan
ke konsultan nephrologi jika laju filtrasi glomerolus mencapai < 30
ml/min/1,73m
2
(14).
Pengobatan hipertensi umumnya diberikan seumur hidup, penghentian
obat cepat atau lambat akan diikuti dengan naiknya tekanan darah sampai seperti
sebelum dilakukan pengobatan hipertensi. Walaupun demikian, ada kemungkinan
21

untuk menurunkan dosis dan jumlah obat antihipertensi secara bertahap bagi
pasien dengan diagnosis hipertensinya sudah pasti serta patuh terhadap
pengobatan non farmakologis. Tindakan ini harus dilakukan dengan pengawasan
yang ketat (14).

2.3 Optimalisasi Posyandu Lansia dalam Upaya Pengendalian Hipertensi
1. Pelayanan dan Penyuluhan Kesehatan Usia Lanjut

(15)
a. Promotif, yaitu upaya untuk tetap menghargai semangat hidup usia lanjut
yang berguna baik bagi dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat
Berupa penyuluhan :
Kebersihan diri dan deteksi dini apabila terjadi penurunan kondisi
kesehatannya dan melakunan kunjungan berkesinambungan ke puskesmas.
Latihan fisik teratur untuk meningkatkan kemampuan usia lanjut.
Pembinaan mental keagamaan.
Membina ketrampilan untuk kemampuan
Meningkatkan kegiatan sosial di masyarakat
Menghindarkan kebiasaan buruk
Penanggulangan masalah kesehatannya sendiri secara benar
Diet seimbang menu bergizi seimbang
b. Preventif, yaitu pencegahan kemungkinan terjadinya penyakit/komplikasi
penyakit pada proses ketuaan.
Pemeriksaan kesehatan teratur untuk penemuan dini penyakit.
22

Kesegaran jasmani secara teratur & disesuaikan dengan kemampuan usia
lanjut.
Penggunaan alat bantu misalnya kacamata, alat bantu pendengaran agar
dapat berkarya dan memiliki rasa berguna.
Penyuluhan pencegahan kemungkinan terjadinya kecelakaan pada usia
lanjut.
c. Kuratif, yaitu upaya pengobatan pada usia lanjut dan dapat berupa kegiatan :
Pelayanan kesehatan dasar
Pelayanan kesehatan spesifikasi melalui sistem rujukan
d. Rehabilitatif, yaitu upaya mengembalikan fungsi organ yang telah menurun
berupa kegiatan :
Mengembalikan kepercayaan pada diri sendiri dan memperkuat mental
penderita
Pembinaan usila dan aktifitas di dalam maupun diluar rumah.
Nasihat cara hidup sesuai penyakit diderita.
Perawatan fisio terapi

2. Posyandu Lansia
a. Pengertian Umum
Posyandu singkatan dari pos pelayanan terpadu. Merupakan salah satu
bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) yang paling
memasyarakat dewasa ini, yang dikelola dari, oleh dan untuk masyarakat.
Keterpaduannya merupakan penyatuan/penyerasian dinamis kegiatan dari
23

paling sedikit dua program untuk saling mendukung dalam mencapai tujuan
dan sasaran yang disepakati bersama. Sedangkan dinamis maksudnya bahwa
keterpaduan tersebut dapat berkembang (dari tahap awal ke tahap lanjut) dan
meluas dari dua program menjadi lebih banyak program (16).

b. Tujuan (16)

o Diperolehnya palayanan kesehatan dasar
o Meningkatkan peran serta lurah, tokoh masyarakat dan tokoh informal
lainnya untuk membantu kegiatan posyandu
o Meningkatkan jumlah kader kesehatan dan kesejahteraan di posyandu
o Meningkatkan utilisasi posyandu dalam hal ini kunjungan lansia
c. Sasaran
Sasaran Langsung antara lain (11) :

1) Kelompok usia menjelang usia lanjut, virilitas/pra senilis 45-54 tahun
2) Kelompok usia lanjut dalam masa prasenium 55-64 tahun
3) Kelompok usia lanjut senescens (lebih dari 65 tahun) dan usia lanjut risiko
tinggi yaitu usia lebih dari 70 tahun atau berumur 60 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan, penyakit berat, hidup sendiri.
Sasaran Tidak Langsung antara lain (11):

1) Keluarga dimana usia lanjut berada
2) Masyarakat di lingkungan usia lanjut berada
3) Organisasi sosial yang bergerak didalam pembinaan kesehatan usia lanjut
4) Masyarakat luas.

24

d. Standar Pembentukan Posyandu Lansia (11)

1) Jumlah lansia mencapai 50-100 orang untuk satu Posyandu. Jika jumlah
lansia kurang dari 50 orang, sebaiknya tidak perlu dibentuk posyandu
lansia. Hal ini dikarenakan bila jumlah lansia yang ada hanya sedikit maka
kegiatan yang ada menjadi kurang efektif. Dana yang ada menjadi tidak
efektif. Sebaiknya dana yang ada digunakan untuk melaksanakan program
yang lain.
2) Kader Lansia minimal 5-10 orang untuk satu Posyandu. Anggota kader
lansia sebaiknya masyarakat sekitar yang memang dikhususkan untuk
menjadi kader lansia. Sedangkan apabila sumber daya manusia yang ada
terbatas maka anggota kader posyandu atau kader program yang lain dapat
juga dijadikan kader lansia.
3) Tempat/waktu tersendiri, berjalan rutin berkesinambungan
4) Petugas 3-5 orang : dokter, perawat/bidan, laboran, farmasi
5) Sarana : tempat/gedung, administrasi, meja/kursi, ruang pengambilan
sampel, alat dapur
6) Kerjasama lintas sektoral RT/Kelurahan, tokoh masyarakat, instansi
terkait. Berkoordinasi dengan Puskesmas untuk mendapatkan pembinaan
lebih lanjut, berkoordinasi juga dengan pihak kelurahan agar mendapatkan
Surat Keputusan Posyandu Lansia.
7) Penanggung jawab lurah /RT setempat.
8) Pendanaan/Donatur tersendiri. Dana awal dapat berupa dana dari
puskesmas. Dana juga bisa didapat dari sumbangan para warga sekitar.
25

e. Pelayanan Kesehatan yang Dapat Diberikan (11)

1) Pemeriksaan aktifitas kegiatan sehari-hari (activity of daily living); yang
dimaksud kegiatan hidup sehari-hari adalah kegiatan hidup dasar, seperti
makan/minum, mandi, berpakaian, buang air, berjalan. Serta beberapa
pekerjaan ringan rumah tangga dan aktivitas luar rumah, seperti mencuci,
memasak, berkebun. Bila mampu mandiri tergolong kategori C. Bila
terkadang masih memerlukan bantuan tergolong kategori B. Apabila
bergantung sama sekali dengan orang lain maka kategori A.).
2) Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental
emosional, dengan menggunakan pedoman metode 2 menit ( bisa dilihat
KMS usia lanjut).
3) Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran
tinggi badan dan dicatat pada grafik indeks masa tubuh (IMT).
4) Pengukuran tekanan darah dan denyut nadi, pemeriksaan fisik ringan.
5) Pemeriksaan laboratorium sederhana : Hb, Reduksi urine, Protein urine.
6) Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bila ditemukan keluhan 5 poin di atas.
7) Penyuluhan dan konseling, dapat diberikan secara langsung kepada lansia
ataupun kepada keluarga lansia. Penyuluhan dan konseling ini dapat
berupa sosialisasi tentang persiapan-persiapan yang dapat dilakukan
sebelum memasuki usia lanjut, tentang bagaimana menjadi usia lanjut
yang sehat, bahagia dan sejahtera, ataupun tentang masalah-masalah lain
yang akan dihadapi oleh para usia lanjut.
26

8) Kunjungan rumah oleh kader dan petugas. Kunjungan ini dimaksudkan
untuk melihat secara langsung keadaan lingkungan dari lansia, apakah
lingkungannya baik atau tidak. Saat melakuk kunjungan para kader
ataupun petugas juga dapat memberikan penjelasan secara langsung
kepada lansia ataupun keluarganya bagaimana mengolah lingkungan yang
baik dan mendukung bagi lansia.
9) Kegiatan lain yang bila perlu diberikan sesuai keadaan, seperti:
Pemberian Makanan Tambahan(dapat berupa bubur, susu dan lain-lain)
Kegiatan olah raga(misal : senam bagi lansia).
f. Strategi Pengembangan (11)

1) Meningkatkan kemampuan pengetahuan dan keterampilan teknis, serta
dedikasi kader di posyandu.
2) Memperluas sistem posyandu dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas
pelayanan di hari buka dan kunjungan rumah
3) Menciptakan iklim kondusif untuk pelayanan dengan pemenuhan sarana
dan prasarana kerja posyandu
4) Meningkatkan peran serta masyarakat dan kemitraan dalam
penyelenggaraan dan pembiayaan kegiatan posyandu
5) Menggunakan azas kecukupan dan urgensi dalam penetapan sasaran
pelayanan
6) Memperkuat dukungan pembinaan dan pendampingan tekhnis dari tenaga
profesional dan tokoh masyarakat.

27

g. Komponen Kegiatan

Dalam melaksanankan strategi yang ditetapkan, perlu dilakukan kegiatan-
kegiatan yang langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan fungsi dan
kinerja posyandu sebagai berikut (11):
1) Pelatihan kader
2) Meningkatkan jangkauan pelayanan melalui kegiatan pelayanan pada hari
buka posyandu dan kunjungan rumah
3) Meningkatkan peran serta masyarakat dan membangun kemitraan
4) Optimalisasi kegiatan Posyandu
h. Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia

Berbeda dengan posyandu balita yang terdapat sistem 5 meja,
pelayanan yang diselenggarakan dalam posyandu lansia tergantung pada
mekanisme dan kebijakan pelayanan kesehatan di suatu wilayah kabupaten
maupun kota penyelenggara. Ada yang menyelenggarakan posyandu lansia
sistem 5 meja seperti posyandu balita, ada juga hanya menggunakan sistem
pelayanan 3 meja, dengan kegiatan sebagai berikut (15):
1) Meja I : pendaftaran lansia, pengukuran dan penimbangan berat badan dan
atau tinggi badan.
2) Meja II : melakukan pencatatan berat badan, tinggi badan, indeks massa
tubuh (IMT). Pelayanan kesehatan seperti pengobatan sederhana dan
rujukan kasus juga dilakukan di meja II ini.
3) Meja III : melakukan kegiatan penyuluhan atau konseling, disini juga bisa
dilakukan pelayanan pojok gizi.
28

3. KMS Lansia
a. Pengertian Umum
Merupakan kepanjangan dari Kartu Menuju Sehat bagi Lanjut Usia.
Hampir sama seperti pada KMS Balita, KMS Lansia adalah suatu alat untuk
mencatat kesehatan lansia secara pribadi baik fisik maupun psikososialnya. KMS
ini diisi oleh petugas kesehatan tiap kunjungan (Posyandu/Puskesmas) dan
disimpan atau dibawa oleh pemilik (sang Lansia) sendiri (17).

b. Tujuan (17)

1) Memantau kesehatan lansia
2) Menemukan secara dini penyakit pada lansia
3) Menilai kemajuan kesehatan lansia
c. Parameter yang Dicatat/Diamati

1) Indeks Masa Tubuh (IMT)
Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui status gizi dan proporsi tubuh
dengan konversi dari Tinggi Badan dan Berat Badan menurut rumus (BB)
kg : (TB
2
) m. Nilai normal pada pria 20-25, wanita 18-24.
2) Tekanan Darah
Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop.
Pencatatan juga memperhatikan apakah klien lansia sedang meminum obat
tekanan darah atau tidak.



29

3) Kadar Gula
Pemeriksaan kadar gula darah melalui pemeriksaan reduksi urine.
Pencatatan juga memperhatikan apakah klien sedang meminum obat
kencing manis atau tidak.
4) Hemoglobin (Hb)
Pemeriksaan Hb dengan cara Talquist atau Sahli. Idealnya nilai normal
bila menggunakan pemeriksaan Sahli 12 gr%
5) Protein Urine
Pemeriksaan protein urine, berbarengan dengan reduksi urine.
6) Kegiatan Sehari-hari
Penilaian dengan melihat/menanyakan pada klien atau keluarga yang
mengantar, apakah klien masih mampu melakukan kegiatan hidup sehari-
hari tanpa bantuan sama-sekali. Bila mampu mandiri tergolong kategori C.
Bila terkadang masih memerlukan bantuan tergolong kategori B. Apabila
bergantung samasekali dengan orang lain maka kategori A.
Yang dimaksud dengan kegiatan hidup sehari-hari adalah :
a) Kegiatan dasar dalam kehidupan, seperti : makan/minum, berjalan,
mandi, berpakaian, naik turun tempat tidur, buang air besar/kecil dan
sebagainya.
b) Kegiatan melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti : memaska,
mencuci, berkebun dan sebagainya.
c) Kegiatan melakukan pekerjaan di luar rumah, seperti : berbelanja,
mencari nafkah, mengambil pensiun, arisan, pengajian, dan lain-lain.
30

7) Status Mental dan Psikososial. Pemeriksaan ini berhubungan dengan
mental emosional, dengan menggunakan pedoman metode 2 menit ( bisa
dilihat KMS usia lanjut)
8) Idealnya penilaian ini juga dilakukan, yaitu dengan cara melakukan
wawancara ringan dan pengamatan langsung secara berkala. Pemeriksaan
dilakukan dengan menilai fungsi kognitif dalam menerima, menyerap dan
menyampaikan informasi serta penilaian potensi psikososial sehari-hari.

4. Pengelolaan Hipertensi pada Lansia
Pengelolaan hipertensi pada lansia di Puskesmas merupakan bagian dari
pembinaan kesehatan usia lanjut di Puskesmas. Langkah-langkah yang ditempuh
dalam pembinaan kesehatan usia lanjut, khususnya dalam pengelolaan hipertensi
lansia adalah sebagai berikut (11):

a. Perencanaan
1) Informasi pengelolaan hipertensi lansia kepada petugas posyandu
2) Membuat kesepakatan diantara petugas posyandu tentang pengelolaan
hipertensi lansia
3) Meningkatkan kunjungan penderita hipertensi untuk kontrol dengan
meningkatkan pelayanan kesehatan bagi lansia, antara lain dengan :
Menambah jumlah posyandu lansia
Meningkatkan kuantitas kegiatan posyandu lansia
31

Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS) bagi lansia dan penggunaan
buku kesehatan pribadi lansia untuk pemantauan secara
berkesinambungan terhadap kesehatan lansia.
Pelatihan kader untuk menunjang kegiatan posyandu lansia
diantaranya penyuluhan dan pengisian KMS.
4) Membuat rencana kegiatan pengelolaan hipertensi lansia dan
mengintegrasikannya dalam perencanaan tahunan puskesmas antara lain :
Pengumpulan data dasar berupa data epidemiologi maupun data sumber
daya yang dapat mendukung kegiatan pelayanan bagi usia lanjut
Membuat peta lokasi usia lanjut dan masalah yang dihadapinya
Membuat rencana kegiatan berdasarkan masalah yang ada
5) Melakukan pendekatan lintas sektor tingkat kecamatan dan desa termasuk
lembaga swadaya masyarakat untuk menginformasikan dan menjelaskan
peranannya dalam pembinaan kesehatan usia lanjut, khususnya
pengelolaan hipertensi pada lansia
6) Melakukan musyawarah masyarakat desa untuk mencapai kesepakatan
tentang upaya yang akan dilaksanakan.
7) Melakukan pembinaan teknis upaya kesehatan usia lanjut yang
diselenggarakan bersama sektor dan lembaga swadaya masyarakat terkait.
8) Mendorong pembentukan dan pengembangan pembinaan kesehatan lansia
di masyarakat secara mandiri.


32

b. Pelaksanaan
Untuk pengelolaan hipertensi secara paripurna maka diperlukan usaha
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
1) Promotif
Kegiatan promotif dilaksanakan dengan memberikan pendidikan pada
masyarakat tentang apa itu hipertensi, bagaimana gejala hipertensi, bagaimana
mencegah, mengobatinya serta komplikasinya. Metode pendidikannya bisa
dilakukan secara individu, massa, ataupun secara berkelompok dan pada
pelaksanaan kegiatan posyandu.
2) Preventif
Upaya ini bertujuan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya hipertensi dan
komplikasi yang diakibatkannya. Usaha ini diharapkan dapat dilakukan oleh
individu dan masyarakat setelah mereka tahu dan mengerti bagaimana cara
melakukan usaha pencegahan terhadap hipertensi. Kegiatan yang dilakukan
berupa deteksi dini hipertensi dan pemantauan kesehatan usia lanjut. Instrumen
yang dapat dipergunakan adalah KMS usia lanjut.
3) Kuratif
Upaya yang dilakukan adalah pengobatan dan perawatan. Pemberian
antihipertensi pada penderita lansia harus hati-hatikarena pada mereka ini
terdapat penurunan :
Penurunan refleks baroreseptor sehingga mereka lebih mudah mengalami
hipotensi ortostatik
33

Gangguan autoregulasi otak sehingga iskemik cerebral mudah terjadi hanya
dengan sedikit penurunan tekanan darah sistemik.
Sensitifitas terhadap hipokalemi sehingga mudah terjadi aritmia dan
kelemahan otot
4) Rehabilitatif
Upaya yang dilakukan bersifat medik seperti dengan fisioterapi, kemudian
psikososial dan edukatif seperti mengembalikan kepercayaan pada diri sendiri
dan memperkuat mental penderita, pembinaan usila dan aktifitas di dalam
maupun diluar rumah, nasihat cara hidup sesuai penyakit diderita; serta
pengembangan keterampilan atau hobi seperti membuat kerajinan tangan dan
aktivitas fisik senam lansia untuk mengembalikan semaksimal mungkin
kemampuan fungsional dan kepercayaan diri pada usia lanjut.

c. Pemantauan dan Pembinaan

1) Melalui pencatatan dan pelaporan atau melalui pengamatan langsung.
Yang dicatat yaitu sesuai dengan isian KMS yang dituangkan dalam format
tabel. Pencatatan juga dilakukan untuk melihat keberhasilan kegiatan dengan
menggunakan format pencatatan kegiatan pelayanan kesehatan usia lanjut
untuk memantau kemajuan kegiatan.
2) Pemantauan dipergunakan untuk untuk mengendalikan proses pelaksanaan
agar sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan , mengendalikan hubungan
antar petugas lintas program dan lintas sector agar saling mendukung dan
tidak tumpang tindih.
34

3) Pembinaan dimaksudkan agar program dapat berjalan secara
berkesinambungan dan makin meningkat, dimana kegiatan pembinaan dapat
meliputi: mempelajari hambatan masalah yang muncul dalam
penyelenggaraan upaya pengelolaan hipertensi lansia berdasarkan hasil
pemantauan dan penilaian, kemudian melakukan tindak lanjut peningkatan
pelaksanaan. Kemudian juga untuk meningkatkan keterampilan kerja
pelaksana terutama petugas kesehatan puskesmas dan kader.

d. Penilaian dan Pengembangan
Penilaian dapat dilakukan dengan :
1) Memanfaatkan data dari hasil pencatatan dan pelaporan rutin atau berkala
2) Pengamatan langsung terhadap pelaksanaan kegiatan pelayanan untuk
mengetahui kemajuan dan hambatan yang ada.
3) Studi atau penelitian khusus untuk mengetahui dampak dari upaya yang telah
kita laksanakan.
Kegiatan pengembangan dilaksanakan berdasarkan hasil pemantauan dan
evaluasi. Dimana kegiatan yang dilakukan meliputi:
1) Peningkatan mutu pelayanan meliputi peningkatan fasilitas, teknologi, tenaga,
pelatihan dan penggalangan peran serta masyarakat serta pemanfaatan sumber
daya.
2) Memperluas jangkauan pelayanan, menambah jenis pelayanan serta jumlah
tenaga pelaksana.

35

BAB III
KESIMPULAN

Masalah lansia semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah
penduduk lansia di Indonesia, dimana menyebebkan pergeseran pola penyakit
kearah penyakit degeneratif, dimana penyakit kardiovasculer telah menjadi
penyebab kematian nomor satu, sedangkan angka kesakitan penyakit
kardiovaskuler terbanyak adalah dari hipertensi. Sehingga dari banyaknya kasus
serta besarnya permasalahan yang diakibatkan oleh hipertensi, perlu diadakan
pengelolaan hipertensi pada lansia dimana dapat dilakukan dengan usaha
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dapat dilakukan melalui
optimalisasi Posyandu lansia.











36

DAFTAR PUSTAKA

1. ________. Penuaan Penduduk Indonesia. Diakses tanggal 1 Mei 2011.
Diunduh dari http://www.komnaslansia.or.id/d0wnloads/AktiveAgeing.
pdf.

2. ________. Penduduk Lanjut Usia. Diakses tanggal 2 Mei 2011. Diunduh
dari http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_
docman&task=doc_download&gid=310&Itemid=114

3. Departemen Kesehatan RI. Modul Pelatihan Konseling Kesehatan dan
Gizi Bagi Usia Lanjut untuk Petugas Kesehatan.Jakarta. 2000.

4. Aspriyati. Upaya Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Diakses
tanggal 2 Mei 2011. Diunduh dari www. USU digital library.com.

5. Kuswardhani RAT. Penatalaksanaan hipertensi pada lanjut usia. J Peny
Dalam 2006;140(7):135-40.

6. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Kerja Puskesmas Jilid III. Depkes
RI. 1990.

7. Bustan, MN. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : PT Rineka
Cipta, 1997

8. Triwibowo dan Wasilah R.Geriatri dan gerontologi pencegahan. Dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI, 2002

9. Munford. RS. HARRISONS The Principle of Internal Medicine 15
th

Edition. 2001. Mc Graw-Hill Medical Publishing Division New York.
Digital Edition.

10. Yugiantoro M. Hipertensi esensial. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 1.Edisi 4. 2006. FKUI: Jakarta. H.610-14

11. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut
Bagi Petugas Kesehatan . Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta.2000.

12. Azwar A. Epidemiologi hipertensi. CDK 1989;5:11-3.

13. Rigaud AS, Forette B. Hypertension in older adults. J Gerontol 2001; 56A:
M217-5.
37


14. American Heart Association. Heart and stroke statistical update.2000.
Dallas: American Heart Association.

15. Depkes RI. Seri PKMD 3 Interfensi spesifik Peran Masyarakat. Dirjen
Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Jakarta.1996

16. Departemen Kesehatan RI. Kebijakan Dasar Posyandu. Jakarta : 2003.

17. Departemen Keseharan RI. Buku Petunjuk Kartu Menuju Sehat Usia
Lanjut. Jakarta : 2001

Anda mungkin juga menyukai