1.1. Definisi dan Etiologi Gagal ginjal merupakan stadium akhir dari penyakit ginjal kronis, dimana terjadi kehilangan fungsi dasar ginjal yang ireversibel, suatu tingkat dimana pesien secara permanen tergantung pada terapi pengganti (dialisis atau transplantasi) untuk mencegah terjadinya uremia. Penyakit ginjal kronis sendiri merupakan suatu proses patologis dengan multipel etiologi, yang diakibatkan oleh pengurangan jumlah dan fungsi nefron. Definisi penyakit ginjal kronis memerlukan suatu gambaran proses patologis yang terjadi lebih dari 3 bulan (Harrison, 2008). Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m (medscape, 2014). Batasan penyakit ginjal kronik (Sudoyo Aru dkk, 2006): a. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan kelainan patologik petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan radiologi. b. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ginjal kronis meliputi riwayat keluarga dengan penyakit ginjal herediter, hipertensi, diabetes, penyakit autoimun, usia tua, dan kerusakan ginjal dengan GFR (Glomerular Filtration Rate) normal atau GFR yang meningkat. Nefropati diabetik dan hipertensi merupakan etiologi utama penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal stadium akhir (gagal ginjal). Hipertensi sendiri merupakan penyebab umum penyakit ginjal kronis pada usia tua, dimana iskemia ginjal kronis yang disebabkan penyakit renovaskular mungkin memberikan kontribusi pada proses patofisiologis penyakit ini (Arora, 2008). Selain diabetes melitus dan hipertensi, usia merupakan faktor independen untuk memprediksi terjadinya gagal ginjal kronis, walaupun gagal ginjal kronis dapat ditemukan pada semua usia. Catatan normal menyebutkan penurunan GFR dengan usia dari puncak GFR (rata- rata 120mL/menit/1,73m2) yang dicapai selama dekade ketiga kehidupan yang mencapai 1mL/menit/tahun/1,73 m2, mencapai nilai rata-rata 70mL/menit/1,73 m2 pada usia 70 tahun. Walau demikian, di Amerika Serikat, insidensi tertinggi gagal ginjal terjadi pada pasien berusia lebih dari 65 tahun. Berdasarkan data NHANES III, prevalensi penyakit ginjal kronis adalah 37,8% dari seluruh pasien berusia lebih dari 70 tahun. Populasi lansia merupakan populasi yang paling cepat berkembang menjadi gagal ginjal (penyakit ginjal kronis stadium 5) di Amerika Serikat (Arora, 2008). Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%). a. Glomerulonefritis Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal di mana mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular yang dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium, atau endotelium kapiler. Hippocrates awalnya menggambarkan manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga oliguria atau anuria. Dengan berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu menggambarkan perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli berfokus pada pasien pasca-streptococcus. Glomerulonefritis akut didefinisikan sebagai serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder sel darah merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal terganggu (emedicine.medscape.com, 2014). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis. Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi hematuri, oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak napas, dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul ginjal (emedicine.medscape.com, 2014). b. Diabetes melitus Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun (emedicine.medscape.com, 2014). Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan hemodinamik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah sistemik, dan mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan munculnya protein dalam urin. Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal diabetes, tetapi dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara proteinuria dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa peningkatan ekskresi protein urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang mempengaruhi banyak organ, termasuk mata, jantung, dan sistem saraf (emedicine.medscape.com, 2014). c. Hipertensi Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Aziz R, 2006). Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup, serta terapi obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII:
1.2. Epidemiologi Pasien dengan gagal ginjal di Amerika Serikat berjumlah sekitar 200.000 pasien yang menjalani hemodialisa dan 90.000 lainnya menjalani transplantasi ginjal. Pasien gagal ginjal mencapai sekitar 0,12% dari total penduduk Amerika Serikat (279 juta). Hipertensi dan diabetes yang merupakan penyebab utama progresivitas dari penyakit ginjal kronis ke arah gagal ginjal, banyak ditemukan pada populasi umum dan memberi kontribusi dalam meningkatkan insidensi gagal ginjal (bommer,2002). Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000 (Sudoyo Aru dkk, 2006): a. Glomerulonefritis (46,39%) b. Diabetes Mellitus (18,65%) c. Obstruksi dan infeksi (12,85%) d. Hipertensi (8,46%) e. Sebab lain (13,65%)
1.3. Klasifikasi Klasifikasi internasional membagi Penyakit Ginjal Kronis (PGK) ke dalam sejumlah stadium berdasarkan pengukuran klinis dari laju filtrasi glomerulus. Stadium-stadium ini membantu diagnosis klinis dan pendekatan tata laksana. Pertama, hal ini penting dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan risiko Penyakit Ginjal Kronis, walaupun pada individu-individu dengan GFR normal (Harrison,2008). Klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut: Stadium Deskripsi GFR, mL/menit per 1,73m 2
1
2
3 4 5 Peningkatan risiko Kerusakan ginjal dengan GFR Normal atau peningkatan GFR Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan GFR Penurunan menengah GFR Penurunan berat GFR Gagal ginjal 90 (dengan risiko PGK) 90
60-89
30-59 15-29 <15 (atau dialisis) Tabel Pembagian stadium Penyakit Ginjal Kronis Beberapa bukti kerusakan ginjal dengan fase GFR normal ataupun meningkat menempatkan invidu tersebut pada stadium penyakit ginjal kronis, yang disertai proteinuria, endapan urin abnormal, atau abnormalitas struktural traktus urinarius (misal :Refluks vesicoureter) pada gambaran radiologi. Bahkan pada stadium ini, ketika GFR dalam batas normal, seringkali terdapat tanda kehilangan fungsi ginjal. Umumnya stadium awal ini ditemukan pada nefropati diabetikum. Stadium lanjut pada patogenesis Penyakit Ginjal Kronis ditandai oleh progresivitas pada kisaran GFR stadium ringan, menengah dan berat berdasarkan level GFR (mL/menit per 1,73 m 2 ). Pada nilai GFR <15mL/menit per 1,73 m 2 , terapi pengganti ginjal dapat diindikasikan jika terdapat uremia (Harrison,2008). Secara normal, nilai GFR mulai menurun 1mL/menit per 1,73m 2 setiap tahunnya sejak usia 20-30 tahun, dan mencapai nilai rata-rata pada pria sebanyak 70 pada usia 70 tahun. Laju filtrasi glomerulus lebih rendah pada wanita dibanding pria.Sejalan dengan waktu bahkan ketika konsentrasi kreatinin plasma meningkat dengan ringan, kerusakan nefron kronis telah terjadi. Albuminuria berfungsi sebagai alat tambahan dalam memantau kerusakan nefron dan respon terhadap terapi pada beberapa bentuk PGK. Panduan klinis terbaru merekomendasikan penggunaan albumin-specific dipstick atau penghitungan dengan mengukur perbandingan albumin terhadap kratinin pada sampel urin pagi hari. Adanya 17 mg albumin per gram kreatinin pada pria dewasa dan 25 mg albimun per gram kreatinin pada wanita dewasa biasanya menunjukkan adanya kerusakan ginjal kronis, tanpa tergantung dari nilai GFR, dan dapat diikuti dengan pemantauan riwayat penyakit dan respons terhadap terapi, khususnya pada PGK yang merupakan akibat dari diabetes, hipertensi atau glomerulonefritis. Selama stadium 1 dan 2 PGK, pasien seringkalli asimtomatis, lainnya mungkin menyertai etiologis dasar yang menyebabkan penyakit ginjal. Sejalan dengan penurunan GFR secara progesif ke stadium 3 dan 4 (GFR < 60mL/menit per 1,73 m2), komplikasi klinis dan laboratorium dari PGK semakin berat. Hampir semua sistem organ terpengaruh, tetapi komplikasi yang paling nyata meliputi anemia dan kehilangan energi, penurunan nafsu makan dan gangguan status gizi, abnormalitas dalam metabolisme kalsium dan fosfor yang diikuti dengan penyakit metabolik tulang, dan abnormalitas pada natrium, air, kalium dan keseimbangan asam-basa. Ketika GFR turun hingga dibawah 15 mL/menit per 1,73 m2, pasien biasanya mengalami gangguan dalam aktivitas harian, status gizi, dan gangguan pada keseimbangan air serta elektrolit, sehingga terjadi status uremikum yang tidak mungkin bertahan tanpa terapi pengganti ginjal. 1.4. Patofisiologi Kira-kira terdapat 1 juta nefron pada masing-masing ginjal, masing-masing berperan dalam laju filtrasi ginjal total. Tanpa memperhatikan etiologi kerusakan ginjal, dengan pengrusakan secara progresif terhadap nefron, ginjal akan menginisiasi kemampuannya menjaga laju filtrasi ginjal dengan hiperfiltrasi dan hipertrofi kompensatori pada nefron sehat yang masih tersisa. Kemampuan adaptasi nefron ini menghasilkan bersihan zat sisa plasma berlangsung normal, sehingga substansi seperti urea dan kreatinin mulai memperlihatkan peningkatan kadarnya dalam plasma yang nyata hanya setelah GFR menurun hingga 50%. Nilai kreatinin plasma menjadi dua kali lipat dengan pengurangan GFR hingga 50%. Peningkatan kreatinin plasma dari nilai normal 0,6mg/dL menjadi 1,2 mg/dL pada seorang pasien, walaupun masih dalam rentang normal, sesungguhnya merepresentasikan kehilangan 50% massa nefron fungsional (Arora, 2008). Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi (Sudoyo Aru dkk, 2006). Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor (TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerolus maupun interstitial (Sudoyo Aru dkk, 2006). Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti. Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda- beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala- gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang teliti (Sudoyo Aru dkk, 2006). Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialysis (Sudoyo Aru dkk, 2006).
Gambar Manifestasi Klinis gagal ginjal
1.5. Penatalaksanaan: Prinsip penatalaksaan Penyakit Ginjal Kronik meliputi (Suwitra, 2006): a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya. b. pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid c. Memperlambat perburukan fungsi ginjal d. pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular e. pencegahan dan terapi terhadap komplikasi f. terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal Stadium GFR, mL/menit per 1,73m 2
Rencana tatalaksana
1
2
3 4 5
90 (dengan risiko PGK) 90
60-89
30-59 15-29 <15 (atau dialisis)
Terapi penyakit dasarnya, kondisi komorbid, evaluasi perburukan fungsi ginjal, memperkecil resiko penyakit kardiovaskular. Mengahambat perburukan fungsi ginjal.
Evaluasi dan terapi komplikasi. Persiapan untuk terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal.
Terapi konservatif untuk pasien Penyakit Ginjal Kronik: Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit. a. Peranan diet Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. b. Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi. c. Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. d. Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease). Terapi simptomatik a. Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L. b. Anemia Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu. Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. c. Kelainan sistem kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit. Terapi pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal. a. Hemodialisis Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. b. Dialisis peritoneal (DP) Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan comortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal. c. Transplantasi ginjal
DAFTAR PUSTAKA Arora, Pradeep. 2008. Chronic Renal Failure. Coauthor(s): Mauro Verrelli, MD, FRCP(C), FACP Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R, Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006 Bommer, Jurgen. 2002. Prevalence and socio-economic aspects of chronic kidney disease. Nephrol Dial Transplant (2002) 17 [Suppl 11]: 812. European Renal Association European Dialysis and Transplant Association Corwin, Elizabeth J. 2008. Handbook of Pathophysiology, 3rd Edition. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine. medscape.com/article/238798- overview, 05 Februari 2014 Editorial. Glomerulonefritis. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/777272- overview, 22 Februari 2014 Harrison, Tinsley R. 2008. Harrisons Principle of Internal Medicine. Edisi ke-17. Electronic- book. Editor: Dennis L Kasper, et.al. Mc Graw-Hill) National Kidney Foundation (NKF). 2002. K/DOQI CLINICAL PRACTICE GUIDELINES For Chronic Kidney Disease:Evaluation, Classification and Stratification. P: 43-75 Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellinus Simandribata K, Siti Setiati. 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid I, Edisi ke-IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta Pusat Suwitra, Ketut. 2006. Penyakit Ginjal Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit dalam FKUI.