Anda di halaman 1dari 73

Moratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga Hutan

1
MO R AT O R I UM HUTA N & GA MBUT
KOMITMEN
RADIKAL
MENJAGA
HUTAN
CATATAN STAF KHUSUS PRESIDEN
BIDANG PERUBAHAN IKLIM
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
3
2
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
5
4
Daftar Isi
Hutan dan
Perubahan Iklim
01
04
02
05
07
03
06
08
Di balik Kerjasama Indonesia-Norwegia
di Bidang REDD+
Menghadiri Oslo Climate and
Forest Conference
Penerbitan Inpres
Moratorium
Pujian dan Kritik terhadap
Inpres Moratorium
Pembentukan
Lembaga REDD+
Peta Indikatif Penundaan
Izin Baru (PIPIB)
Catatan
Akhir
Apakah Moratorium itu?
Sejak Indonesia merdeka sampai presiden ke-enam, Presiden SBY merupakan
presiden pertama yang mengeluarkan kebijakan radikal menghentikan proses
perizinan terhadap hutan alam primer yang tersisa dan lahan gambut.
Kata moratorium memiliki berbagai makna. Akar kata moratorium dalam
bahasa Latin adalah morari yang berarti menunda, sedangkan mora berarti
tertunda. Sehingga makna kata moratorium dari segi bahasa adalah kurun
waktu untuk menunda atau penetapan waktu tunggu sebelum sesuatu
dilakukan. Tergantung konteks kalimatnya, moratorium juga berarti kebijakan
untuk menunda sesuatu.
Tuntutan agar pemerintah melakukan moratorium pembalakan hutan
sudah terdengar disuarakan oleh berbagai LSM lingkungan hidup, mulai dari
WALHI, SKEPHI, sejak dua puluh tahun yang lalu, tepatnya setelah periode
pembalakan hutan secara besar-besaran dengan pemberian konsesi HPH
kepada orang atau institusi yang berjasa kepada negara, di jaman pemerintahan
Presiden Soeharto.
Oleh karenanya, ketika Presiden SBY membekali saya amunisi
sebelum melakukan negosiasi akhir kerjasama REDD+ di Oslo dalam
bentuk kesiapan Pemerintah Indonesia untuk memberlakukan jeda balak
atau logging moratorium dan moratorium konversi hutan dan lahan gambut,
amunisi tersebut adalah sesuatu yang sangat berharga untuk menaikkan posisi
tawar Indonesia. Jeda balak dan jeda konversi lahan di kawasan hutan primer
dan sekunder sudah lama diinginkan oleh organisasi pelestarian hutan dan
lingkungan, tidak saja di Indonesia akan tetapi juga di Norwegia dan banyak
negara maju lainnya.
Buku ini menceritakan proses pembahasan kerjasama REDD+
antara Indonesia dan Norwegia, yang kemudian menghasilkan komitmen
Kata Pengantar Penulis
Moratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga Hutan 5
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
7
6
pembiayaan sebesar satu milyar dollar, atau lebih dari 9 trilyun rupiah. Karena
tema sentral dalam buku ini adalah jeda balak dan jeda konversi, yang sudah
lama diharapkan oleh banyak pihak, ada berbagai pengertian dan harapan
terhadap kebijakan moratorium tersebut. Berbagai organisasi dan pakar
konservasi hutan menginginkan jeda balak dan jeda konversi lahan hutan
dilakukan untuk seluruh kawasan hutan. Harapan jeda untuk seluruh bentuk
pemanfaatan hutan tersebut pada titik yang paling ekstrim menginginkan
pemerintah menekan tombol pause sehingga lm pemanfaatan kawasan
hutan tiba-tiba berhenti, membeku dan hening.
Disisi ekstrim yang lain, yang dimotori oleh sebagian pengusaha
yang memanfaatkan lahan hutan dan gambut, termasuk penggalian
mineral dan bahan tambang lainnya, serta di dukung oleh para Bupati yang
terlanjur mengikat janji dengan para pendukungnya ketika Pemilihan Kepala
Daerah berlangsung, menolak adanya kebijakan yang menghentikan atau
menghambat kegiatan pemanfaatan kawasan hutan dan lahan gambut.
Dalam forum-forum diskusi menjelang dan sesudah kebijakan moratorium
diterbitkan, pendapat yang membela eksploitasi kawasan hutan dan gambut
sering disampaikan dengan suara yang lantang dan nada yang keras: Busines
as usual is good, why change a good (protable) policy?
Permasalahannya sederhana, Pemerintah berkewajiban membuat
kebijakan yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan warganya
yang sedang mengupayakan perbaikan kesejahteraan hari ini dengan
keselamatan generasi yang akan datang, anak cucu kita, dari ancaman bencana
perubahan iklim, kekeringan, banjir dan longsor di berbagai pelosok Indonesia.
Buku ini menceritakan proses pengambilan keputusan dan perbedaan
harapan yang timbul sejak sebelum kebijakan moratorium diterbitkan, sampai
pada saat hampir satu tahun kebijakan tersebut dilaksanakan. Pelajaran yang
dapat diambil dari proses negosiasi kerjasama Indonesia dengan Norwegia
dan kebijakan penetapan Moratorium Hutan ini, sesungguhnya tidak terbatas
hanya pembahasan naskah Surat Niat (Letter of Intent) atau lingkup kawasan
hutan yang akan dimoratorium saja. Ada berbagai hal terkait lainnya yang
bisa diambil sebagai pelajaran berharga, misalnya permasalahan pendanaan
REDD+ baik dari debat tentang jumlah dana, mekanisme penyalurannya dan
prioritas penggunaannya.
Moratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga Hutan 6
REDD+ tidak dapat diharapkan sebagai silver bullet untuk
menyelesaikan masalah Kehutanan dan emisi karbon dari kawasan hutan, bila
dananya hanya boleh digunakan untuk kegiatan berbentuk studi, perencanaan
atau pembuatan peraturan - sementara tantangan kegiatan ekonomi yang
merusak hutan perlu dijawab dengan terobosan untuk melakukan investasi
dan kegiatan perekonomian yang lebih bersahabat dengan hutan dan gambut.
Sampai saat ini belum tercapai kesepakatan dengan negara-negara
yang akan membiayai REDD+. Bisakah dana REDD+ digunakan untuk
misalnya: membangun pabrik sepatu, kebun kelapa sawit di lahan hutan yang
rusak, industri berbasis hutan atau ekonomi kreatif lain yang memberikan
pendapatan pengganti agar penduduk setempat, termasuk pelaku usaha lokal
dan nasional, tidak melanjutkan kegiatan ekonomi yang merusak hutan dan
gambut?
Selain itu, kencenderungan negara maju untuk menyalurkan dana
REDD+ melalui lembaga keuangan multilateral dan/atau PBB menjadi
penghambat dalam penerapan kegiatan REDD+. Lembaga-lembaga
internasional tersebut adalah birokrasi besar, yang perlu direformasi dulu
agar para petani dan masyarakat yang bekerja menjaga hutan dan mencegah
kebakaran lahan dan hutan tidak harus menunggu 2 (dua) sampai 3 (tiga)
tahun untuk memperoleh kompensasi. Perdebatan mengenai mekanisme
penyaluran dana REDD+ dan prioritas penggunaannya akan dibahas pada
buku lain.
Semoga pelajaran dari proses penerbitan kebijakan moratorium
ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya bersama merubah arah
pembangunan ekonomi yang dimasa lalu terbukti merusak lingkungan dan
membahayakan keselamatan manusia, menjadi kegiatan pembangunan
ekonomi yang adil, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Jakarta, 15 April 2012
Tim Penulis
Agus Purnomo, Yani Saloh, Eka Melisa, Nur Rochmani Fajar dan Lalitia Apsari
Moratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga Hutan 7
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
9
8
Saya akan terus bekerja dan
membaktikan masa tiga tahun terakhir
saya sebagai Presiden untuk mencapai
pengelolaan hutan dan lingkungan
Indonesia yang berkelanjutan, tegas
Presiden.
Jakarta, 27 September 2011
Riuhnya tepuk tangan hadirin
menggema di Ballroom Hotel Shangri-la
Jakarta,seusai Presiden SBY menyampaikan
pidatonya dalam acara Konferensi Hutan
Indonesia yang diselenggarakan oleh
Lembaga Penelitian Kehutanan Internasional
(CIFOR).
Saya pun turut bertepuk tangan, rasa
haru campur bangga, mendengar penegasan
Presiden yang bertekad untuk melindungi
hutan Indonesia untuk anak cucu kita kelak.
Saya akan terus bekerja dan membaktikan
masa tiga tahun terakhir saya sebagai Presiden
untuk mencapai pengelolaan hutan dan
lingkungan Indonesia yang berkelanjutan,
tegas Presiden dalam pidato tersebut.
Penegasan komitmen Presiden
tersebut sangat beralasan, karena hutan
tropis Indonesia merupakan yang terbesar
ke-3 di dunia, setelah Brazil dan Congo. Saat
Hutan dan
Perubahan Iklim
BAB 1
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
11
10
ini luas tutupan hutan di seluruh dunia berkisar 4 miliar hektar, mewakili
30% dari daratan di bumi. Sekitar limapuluh enam persen (56%) dari hutan
tersebut berada di kawasan tropis dan sub tropis, dengan sebarannya
terbanyak berada di Brazil, Congo (DRC), Indonesia, Cina, Rusia dan
Amerika/Kanada.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki
17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 104.000.000 km, dengan kondisi
geogras yang unik yaitu terletak diantara 2 benua/samudera: benua
Asia dan Australia; dan samudera Pasik dan Hindia. Tercakup ke dalam
dua alam biogeogras utama, yaitu Indomalaya dan Australasia, dengan
Garis Wallace diantaranya,Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang
luar biasa dan merupakan negara megabiodiversity, yaitu negara dengan
keanekaragaman hayati yang sangat besar, dan tingkat endemik yang tinggi.
Hutan kita merupakan anugerah Tuhan yang luar biasa, dengan
lebih dari sepuluh persen keanekaragaman tanaman dan hewan di muka
bumi hanya ditemukan di Indonesia, termasuk orangutan, gajah, harimau,
badak, ribuan spesies burung dan spesies tanaman.
Hutan kita merupakan rumah bagi 12 persen mamalia dunia, 16
persen spesies reptil dan ambi, serta 17 persen spesies burung. Lebih
dari 10.000 spesies pohon tercatat tumbuh di seluruh Nusantara. Setiap
tahunnya masih banyak lagi spesies yang ditemukan, kata Presiden SBY
lebih lanjut.
Mengenai fungsi hutan, pada Konferensi Hutan Indonesia tersebut, Presiden
SBY menjelaskan: Hutan sangatlah penting bagi kehidupan kita.
Hutan memiliki fungsi yang penting bagi manusia maupun
makhluk hidup lainnya. Hutan adalah sumber penghidupan masyarakat
lokal, baik sebagai sumber makanan, obat-obatan, bahan bangunan, serat
pakaian, maupun tempat hunian, khususnya bagi masyarakat adat. Ratusan
kelompok masyarakat adat telah hidup dengan mengelola hutan dan
sumber alam di wilayah adat masing-masing menggunakan kearifan lokal
selama ribuan tahun.
Hutan juga memberikan jasa ekosistem, tempat hidup ora dan
fauna, tempat menyerap dan menyimpan air hujan, sebelum dikembalikan
ke permukaan tanah sebagai mata air di hutan, dan melindungi tanah dari
erosi dan longsor. Yang tak kalah pentingnya, hutan merupakan pengatur
iklim, melalui kumpulan pohon-pohonnya dapat memproduksi Oksigen
(O
2
) bagi kehidupan manusia dan menyerap karbondioksida (CO
2
) diudara
. Bagi perekonomian nasional, hutan merupakan sumber devisa dari
hasil kayu, maupun hasil non kayu (NTFP), mulai dari berbagai komoditi
pertanian hingga kegiatan ekoturisme.
Hutan dalam perekonomian dunia
Tidak bisa dipungkiri bahwa selain memiliki fungsi menjaga
keberlanjutan ekosistem, hutan juga memberikan kontribusi yang signikan
bagi perekonomian dunia. Pada tahun 2003, perdagangan internasional
untuk kayu gergajian, bubur kayu, kertas dan papan jumlahnya mencapai
150 miliar dolar AS atau dua persen lebih dari perdagangan di dunia.
Perusahaan berbasis hutan menyediakan di banyak negara
berkembang setidaknya sepertiga lapangan pekerjaan bagi penduduk
desa dan memberikan pendapatan bagi negara melalui penjualan produk-
produk kayunya.
Sementara nilai perdagangan hasil hutan bukan kayu (HHBK) di dunia
diperkirakan mencapai 11 miliar dolar AS per tahun. Hasil hutan tersebut
diantara berasal dari tumbuhan farmasi / obat-obatan, jamur, kacang, sirup
dan gabus. Pendapatan negara dari hutan dan hasil hutan Indonesia pada
tahun 1985 adalahsebesar 1,2 miliar dolar AS dan meningkat menjadi 5
miliar dolar AS pada tahun 2005.
Hutan merupakan sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat
yang hidup di sekitar hutan.
Data World Bank 2004 menyebutkan bahwa 1,2 miliar orang di dunia
hidupnya tergantung kepada hutan sebagai mata pencaharian.
Lebih dari 2 miliar orang (sepertiga dari populasi dunia)
menggunakan kayu bakar untuk memasak dan menghangatkan
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
13
12
rumah mereka.
Ratusan juta orang bergantung pada obat-obatan tradisional yang
diperoleh dari dalam hutan. Di 60 negara berkembang, berburu
satwa dan mengambil ikan di lahan berhutan memberikan
sumbangan lebih dari seperlima terhadap total kebutuhan protein
masyarakat.
Di Indonesia sendiri di perkirakan terdapat 48 juta orang hidup
bergantung dari hutan. (Kementerian Kehutanan, 2009)
Indonesia dalam Pasar Kelapa Sawit Dunia
Produksi kelapa sawit Indonesia ditargetkan akan meningkat
dua kali lipat dalam 10 tahun ke depan. Pada tahun 2011
produksi minyak sawit mentah diperkirakan mencapai sekitar
23,5 juta ton, jumlah yang meningkat tajam dibandingkan
produksi tahun 2009 yang hanya 19,4 juta ton dan pada tahun
2010 sebesar 21 juta ton. Industri sawit nasional ini juga
menyumbang devisa bagi negara sebesar 17 miliar dollar AS
setiap tahunnya.
Pembukaan kebun kelapa sawit baru dan pembangunan
infrastruktur bagi perkebunan seperti jalan dan fasilitas lain
di atas lahan gambut merupakan sumber emisi gas rumah
kaca. Selain itu, di banyak lokasi kebun sawit terdapat konik
penguasaan lahan dengan masyarakat setempat dan sistem
plasma yang tidak berjalan dengan baik.
Tuntutan pasar global terhadap produk sawit yang ramah
lingkungan semakin tinggi, terutama permintaan minyak
kelapa sawit dari Amerika Serikat dan Eropa. Agar Indonesia
dapat terus memenuhi memenuhi permintaan pasar global,
upaya untuk memperbaiki praktek pembukaan kebun baru dan
pengelolaan (peran serta) masyarakat di sekitar kebun sawit
harus dilakukan. Pemerintah telah berkomitmen perluasan
kebun kelapa sawit hanya boleh dilakukan diatas lahan hutan
yang rusak, dan tidak dilakukan dengan menebang hutan
alam atau diatas lahan gambut.
Persyaratan pembukaan kebun baru dan pengelolaan kebun
kelapa sawit lestari ini dapat dilakukan dengan menerapkan
beberapa standar yang telah diatur oleh ISPO (Indonesian
Sustainable Palm Oil) yang bertumpu pada kewajiban yang
diatur oleh perundangan di Indonesia dan RSPO (Roundtable
on Sustainable Palm Oil) yang telah diakui sebagai rujukan
pasar internasional.
Kerusakan Hutan dan Gambut sebagai sumber emisi gas rumah kaca
(GRK)
Ketika hutan tropis hancur dan deforestasi terjadi, kita akan
kehilangan penyerap karbon dalam jumlah besar. Penebangan pohon atau
kebakaran hutan dan lahan gambut melepaskan karbondioksida (CO2) dan
gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer, yang menyebabkan pemanasan global
dan perubahan iklim. Kita dapat melihat bahwa kekeringan dan banjir,
gagal panen, kekurangan air dan meningkatnya jumlah pengungsian sering
terjadi pada wilayah - wilayah yang terkena dampak dari perubahan iklim.
Hutan menghilang dengan kecepatan yang tinggi, sekitar 130 000
km
2
setiap tahunnya, atau seluas negara Inggris. Hilangnya hutan seluas itu
menimbulkan emisi karbon yang sangat besar, sekitar seperlima dari emisi
karbon seluruh dunia, lebih besar dari jumlah yang dikeluarkan oleh semua
mobil, kapal laut, bus dan pesawat terbang.
Secara global tercatat sekitar 5,3 miliar ton karbon dilepaskan
per tahunnya akibat berubahnya tata guna lahan (hutan dan gambut) dan
kerusakan hutan. Emisi yang bersumber dari deforestasi mewakili sekitar
16 persen dari total emisi karbon dunia saat ini, kurang lebih sama dengan
emisi sektor transportasi yang berasal dari sekitar 600.000.000 mobil,
400.000.000 sepeda motor, ratusan ribu pesawat terbang dan kapal laut
di dunia.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
15
14
Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang emisi GRK
utama dari sektor deforestasi dan degradasi hutan. Emisi GRK Indonesia ini
sebagian besar berasal dari kebakaran dan drainase lahan gambut dengan
emisi tahunan tidak kurang dari 0,5 miliar ton karbon. Sebagai negara yang
dituding dengan tingkat laju deforestasi terbesar ke-2 di dunia (setelah
Brazil), Kementerian Kehutanan mencatat laju deforestasi di Indonesia
berkisar antara 1,17 juta ha/tahun pada dua dekade terakhir. Laju deforestasi
itu meliputi deforestasi di dalam kawasan hutan sebesar 0,76 juta ha/
tahun (64,8%) dan 0,41 juta ha/tahun (35,2%) di luar kawasan hutan (areal
penggunaan lain).
Kita harus meningkatkan usaha untuk menurunkan emisi yang
bersumber dari kegiatan alih guna lahan dan kehutanan, yang disingkat
LULUCF (Land-use, Land-use Change and Forestry). Sekitar 80 persen emisi
gas rumah kaca Indonesia berasal dari kegiatan alih guna lahan dan hutan,
kata Presiden SBY dalam pidatonya pada kesempatan yang sama.
Data yang ada menunjukkan bahwa kerusakan hutan di Indonesia
disebabkan oleh kegiatan alih guna lahan dan gambut serta kebakaran
hutan dan pembalakan liar. Lemahnya pengawasan terhadap penerapan
aturan tebang pilih dan kewajiban penanaman kembali bagi pemilik konsesi
HPH, merajalelanya pembalakan liar dan diterbitkannya berbagai izin
konversi hutan oleh Kementerian Kehutanan dan pemerintah Kabupaten,
merupakan hal-hal yang telah mewarnai kerusakan hutan di Indonesia
Sumber emisi karbon yang paling besar ditemukan pada lahan
gambut yang diubah menjadi lahan pertanian, khususnya kebun kelapa
sawit. Meskipun biaya dan tenaga untuk pengembangan kelapa sawit
di lahan gambut relatif mahal dan produktitas kebunnya juga rendah
dibandingkan dengan kebun sawit di lahan mineral, akan tetapi tingginya
harga minyak kelapa sawit di pasar internasional membuat sejumlah lahan
gambut di Areal Penggunaan Lain (APL) dimanfaatkan sebagai kebun baru
kelapa sawit.
Sumber lainnya adalah keterlambatan sebagian industri kertas
dan bubur kayu dalam pengembangan Hutan Tanaman Industri mereka,
sehingga sebagian besar industri tersebut masih menggunakan bahan
baku kayu yang ditebang dari hutan alami, yang berarti menimbulkan
deforestasi.
Kerusakan hutan dan lahan gambut tidak hanya menyebabkan
bertambahnya emisi karbon tetapi juga menimbulkan ancaman terhadap
kelangsungan hidup satwa langka seperti Harimau dan Gajah Sumatera,
dan berlanjutnya konik horisontal yang melibatkan masyarakat adat dan
warga desa di sekitar hutan.
Keinginan untuk turut serta mengatasi masalah pemanasan global
dan menghindari dampak sosial dan ekonomi akibat kerusakan hutan,
membutuhkan penyelamatan hutan tropis. Saya kembali teringat pidato
Presiden SBY dalam Konferensi Hutan Indonesia tentang jalan panjang
untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari. Suatu perjalanan yang
panjang masih harus kita lalui. Kita harus melakukan berbagai upaya untuk
mengurangi sumber emisi gas rumah kaca, seperti pembalakan hutan,
kebakaran hutan dan lahan, serta pengeringan lahan gambut. Kita akan
terus bekerja keras untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, tekad
Presiden SBY yang adalah komitmen kita semua.
Deforestasi sebagai akibat dari pembalakan liar
Mengatasi persoalan pembalakan liar bukanlah pekerjaan
yang mudah karena tantangan di lapangan merupakan
kombinasi dari keterbatasan sumber ekonomi masyarakat,
kebutuhan bahan baku perusahaan kertas dan pulp, ekspor
kayu gelondongan secara illegal ke negara tetangga
dan tingginya kebutuhan bahan baku kayu bagi berbagai
kebutuhan di dalam negeri, termasuk bagi bahan bangunan,
furniture dan industri kreatif yang terbuat dari kayu.
Pembalakan liar memberikan kontribusi yang besar terhadap
deforestasi hutan, menyebabkan perubahan iklim dan
menyengsarakan masyarakat yang kehidupannya bergantung
pada hutan dan mengancam kehidupan satwa liar.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
17
16
Deforestasi dari ekspansi perkebunan dan industri
Deforestasi dan degradasi lahan kerap kali dihubungkan dengan
pengembangan industri hutan dan perkebunan, misalnya kelapa sawit.
Saat ini industri kelapa sawit Indonesa tengah berkembang dengan pesat,
seiring dengan meningkatkan kebutuhan dunia terhadap pangan, kosmetik
serta biofuel. Pada tahun 2011, Indonesia merupakan negara pengekspor
minyak sawit terbesar di dunia, yang mengisi 50% dari kebutuhan minyak
sawit dunia. Sementara Malaysia berada di urutan ke-2 yang mengisi 45%
kebutuhan minyak sawit dunia, yang kemudian diikuti oleh negara lainnya
seperti Ghana, Nigeria, Kolombia dan Thailand, masing-masing sebesar
5%.
Pada tahun 2011, total areal kelapa sawit mencapai 8 juta hektar,
yang seluruhnya berada di luar kawasan hutan atau yang disebut sebagai
Areal Penggunaan Lain (APL). Sebagian kebun sawit dibangun diatas
lahan yang sebelumnya berstatus kawasan hutan dan sudah rusak karena
pengelolaan konsesi HPH yang buruk atau karena konik penguasaan
lahan yang berkepanjangan. Kawasan hutan yang rusak tersebut kemudian
diubah statusnya menjadi lahan APL dan dikeluarkan dari kawasan hutan,
sehingga dimungkinkan penerbitan izin untuk pembuatan kebun kelapa
sawit.
Dilihat dari sejarah pengelolaan kawasan hutan, perluasan kebun
sawit merupakan penyebab kerusakan hutan yang hadir paling akhir, yaitu
setelah hutannya dirusak oleh pemilik konsesi HPH dan pembalakan liar
(illegal logging). Ditinjau dari luasan keseluruhan kebun sawit dalam kurun
waktu dua dasawarsa, maka kebun sawit di lahan mineral adalah penyebab
emisi karbon yang paling kecil setelah kebakaran hutan dan pembalakan
liar.
Kebakaran juga berdampak buruk terhadap perekonomian, politik, sosial,
kesehatan, dan kerusakan ekologi tidak hanya di Indonesia, tapi juga
di negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Singapura, Brunei,
Malaysia, dan Thailand. Hasil analisa satelit pada tahun 1997-1998
mengungkapkan bahwa sekitar 80% dari kebakaran hutan dan lahan berasal
dari kegiatan terkait pembukaan kebun tanaman industri atau kelapa sawit.
Penurunan Laju Deforestasi di Indonesia
Sumber emisi terbesar dari sektor kehutanan adalah
kebakaran yang terjadi di lahan gambut yang merupakan
tempat tersimpannya gas karbon dalam jumlah besar,
khususnya di kubah gambut (dome) yang tersebar di pulau
Sumatera dan Kalimantan.
Pada 1982-1983 lebih dari 9,1 juta hektar (3,7 juta ha) lahan
dibakar di pulau Kalimantan sebelum musim hujan tiba,
sementara lebih dari 2 juta hektar lahan hutan dan semak
belukar terbakar selama peristiwa El Nio 1997-1998.
Lemahnya penegakan hukum adalah dampak langsung
dari desentralisasi pengelolaan hampir seluruh kawasan
hutan dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten. Laju
deforestasi, baik di hutan negara maupun hutan non-negara
adalah 1.870.000 hektar per tahun pada periode 1990-1996.
Perbedaan yang signikan antara laju deforestasi hutan
negara (hijau tua) dan hutan non-negara (hijau muda)
terutama disebabkan oleh permintaan pasar untuk kayu
dan pertanian, kebakaran hutan, khususnya selama musim
kering yang panjang El Nino, dan kebutuhan pembangunan
lainnya seperti infrastruktur, permukiman dan kegiatan
pertambangan.
Pada kurun waktu transisi dari pemerintahan otoriter ke
pemerintahan demokratis laju deforestasi 1997-2000
meningkat menjadi sekitar 3.510.000 hektar per tahun.
Beberapa tahun kemudian, setelah perbaikan kebijakan
pengelolaan sumber daya alam terjadi, laju deforestasi
mengecil pada tahun-tahun 2001-2003 menjadi sekitar 1,08
juta hektar per tahun.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
19
18
Pada periode dari 2004-2006, laju deforestasi Indonesia
terjaga tetap rendah, sekitar 1,17 juta hektar per tahun, dan
pada tahun 2007-2009, laju deforestasi berada pada kisaran
0,83 juta hektar per tahun. Sementara pada tahun 2009-2011,
laju deforestasi berkurang hampir setengahnya menjadi 0,45
juta hektar per tahun.
Dapat dilihat bahwa dalam satu dekade terakhir, laju
deforestasi di Indonesia menurun dalam jumlah besar.
Sumber Kemenhut 2012
Laporan yang diterbitkan FAO (Food and Agriculture Organization) pada
bulan Maret 2010 memberikan berita baik mengenai keberhasilan upaya
menekan laju deforestasi di Indonesia sehingga turun pada kisaran 500
ribu hektar per tahun di tahun 2009. Laporan yang bersifat independen
oleh badan PBB ini memberikan tambahan semangat untuk melanjutkan
perjalanan panjang menunju pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Upaya Dua Dekade untuk Penurunan Emisi
Beberapa upaya telah diterapkan oleh Indonesia untuk
menurunkan laju emisi akibat perubahan tata guna lahan dan kerusakan
hutan. Perbaikan kebijakan pengelolaan hutan, termasuk pengelolaan
kawasan hutan telah digalakkan selama tujuh tahun terakhir. Penegakan
hukum untuk menekan pembalakan liar dan pelarangan penggunaan api
ketika mempersiapkan kebun juga dilakukan secara bersungguh-sungguh.
Pelibatan perusahaan dan industri yang berbasis hutan juga
dilakukan secara menyeluruh. Penurunan laju deforestasi menjadi lebih
mudah dilakukan ketika industri kehutanan berhasil meningkatkan esiensi
mesin dan produktitas Hutan Tanaman Industri mereka, termasuk
melakukan pembatasan penggunaan kayu yang ditanam sendiri dan bukan
dari hutan alam sebagai bahan baku produksi.
Skema sertikasi sebagai upaya menekan pembalakan liar
Ada banyak skema sertikasi pengelolaan hutan yang dapat
dipilih untuk memberikan insentif kepada para pemilik
konsesi hutan, diantaranya:
Sertikasi oleh Forest Stewardship Council (FSC), yang
menjamin bahwa produk kayu yang telah disertikasinya
berasal dari hutan yang dikelola dengan baik. Sertikat
FSC berarti pohon yang dibalak sesuai dengan hukum
negara setempat, dikelola dengan standar tinggi dan
menghormati hak masyarakat lokal (adat). Sertikat
FSC memungkinkan pedagang dan konsumen produk
kayu memilih kayu yang berasal dari hutan yang dikelola
dengan baik.
Lembaga Ekolabeling Indonesia, Canadian Standarts
Association, Malaysian Timber Certication Council,
Program for the Endorsement of Forest Certication
Schemes dan Sustainable Forestry Initiative.
Uni Eropa melalui program Forest Law Enforcement,
Governance and Trade (FLEGT) yang mendukung
pengembangan Voluntary Partnership Agreements (VPAs)
bagi negara produsen kayu. Perjanjian ini diharapkan
dapat meningkatkan perlindungan hutan karena kayu
yang diperbolehkan masukke Eropa hanyalah kayu dari
negara produsen yang telah menandatangani perjanjian
untuk mengelola hutan secara lestari.
Namun pendekatan sukarela dengan skema sertikasi ini
tidaklah cukup untuk mengalahkan perdagangan kayu ilegal.
Ada beberapa keterbatasan pendekatan sertikasi lacak balak
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
21
20
ini, misalnya VPA hanya berlaku untuk transaksi di antara
negara-negara yang bersepakat mengelola hutan secara
lestari. Negara yang tidak menandatangani VPA masih bisa
memasok kayu ke UniEropa melalui negara pihak ketiga yang
memiliki akses ke pasar UniEropa. Belum lagi perdagangan
produk kayu seperti kertas dan furniture saat ini masih
dikecualikan.
Perbaikan juga terjadi di program kehutanan sosial dan inisiatif
lain untuk mengurangi kemiskinan dan memberdayakan masyarakat yang
hidupnya bergantung pada sekitar hutan, sehingga membantu penurunan
laju deforestasi. Untuk memperkuat upaya-upaya dalam mengurangi
deforestasi, pemerintah telah mengalokasikan ratusan jutaan dolar dari
APBN, sumber pendanaan yang sangat berharga dan langka, untuk
merehabilitasi hutan yang rusak dan untuk mendukung program reboisasi
dalam dekade terakhir.
Penurunan laju emisi juga harus dilakukan dengan menambah
kapasitas penyerapan karbon pada hutan di Indonesia. Salah satu program
penyerapan karbon saat ini dirancang dengan target yang ambisius yaitu
penanaman satu miliar pohon baru setiap tahunnya.
Target tersebut perlu dicapai tidak hanya oleh program pemerintah,
tetapi juga dengan melibatkan kebun kayu yang dikembangkan swasta dan
melalui program program kerakyatan dalam rehabilitasi Daerah Aliran
Sungai atau hutan lindung.
Kebijakan terkini yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
dibawah kepemimpinan Presiden SBY adalah melakukan komitmen
radikal dalam menjaga hutan yaitu dengan menerapkan moratorium atau
penghentian penerbitan/pemberian Izin pembukaan lahan baru pada
hutan alam dan lahan gambut guna mencegah kerusakan yang lebih besar
yang dapat meningkatkan secara siknikan jumah kontribusi emisi gas
rumah kaca dari Indonesia. Kebijakan moratorium ini menjadi bagian upaya
penurunan emisi Indonesia melalui Reducing Emission from Deforestation
and Degradation (REDD+).
Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+
dibentuk oleh Presiden SBY untuk memastikan terbentukannya Lembaga
REDD+ dan mekanisme terkait yang akan melancarkan pelaksanaan
REDD+ ini seperti mekanisme pendanaan. Lembaga REDD+ juga akan
bertanggung jawab pada seluruh aspek dari upaya penurunan emisi
termasuk memastikan tidak terjadi dampak negatif dari upaya REDD+ pada
keanegaragaman hayati dan juga menjaga keterlibatan aktif semua pihak
termasuk masyarakat adat dan penduduk sekitar lahan hutan dan lahan
gambut.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
23
22
Beri kami komitmen pendanaan satu
miliar dollar, agar tercipta momentum
untuk sebuah reformasi pengelolaan
hutan dan gambut, kata Saya.
Puluhan Tahun Bekerjasama
Dalam catatan saya, kerjasama
Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah
Norwegia dibidang lingkungan hidup dan
konservasi alam telah berlangsung lama.
Tidak hanya diantara kedua pemerintahan,
tetapi juga melibatkan organisasi non
pemerintah yang bergerak dalam isu
konservasi, seperti misalnya Yayasan WWF
Indonesia. Dukungan Pemerintah Norwegia
terhadap upaya konservasi alam di Taman
Nasional Bukit Tiga Puluh di Jambi bahkan
sudah berlangsung sejak pertengahan
dekade 1990-an, dengan keterlibatan para
pakar antropologi dan konservasi Norwegia
yang berbaur dalam kegiatan penelitian
dan pengembangan masyarakat dengan
masyarakat adat.
Meskipun demikian, sebagaimana
kerjasama bilateral lainnya, ada saat ketika
kerjasama tersebut mengalami masalah.
Salah satunya adalah keterlambatan
Di balik Kerjasama
Indonesia-Norwegia
di Bidang REDD+
BAB 2
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
25
24
pelaksanaan bantuan teknis dan pelaporan kegiatan dari Kementerian
Lingkungan Hidup RI (KLH) kepada Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di
Jakarta pada awal periode Kabinet Indonesia Bersatu Pertama (KIB 1).
Seingat saya, dua kali Duta Besar Norwegia di Jakarta tahun
2005 dan 2006, Bjrn O. Blokhus, menghadap Menteri Lingkungan
Hidup RI, Prof. Rachmat Witoelar, untuk menyampaikan permasalahan
kerjasama bilateral di bidang pelestarian lingkungan di Sumatera. Menteri
Rachmat Witoelar menanggapi kekecewaan tersebut dengan menugaskan
pejabat eselon satu KLH yang baru dilantik untuk melakukan percepatan
penyelesaian kegiatan dan pembuatan laporannya.
Hubungan yang sedikit renggang tersebut menjadi erat kembali
pada saat Indonesia menjadi tuan rumah UNFCCC COP-13 pada tahun 2007
di Bali. Pertemuan COP-13 menjadi tumpuan banyak negara Eropa untuk
mempersiapkan pertemuan COP-15 yang mereka harapkan dapat menjadi
tonggak sejarah keberhasilan membuat komitmen penurunan emisi yang
besar dan berarti. Berbagai bantuan ditawarkan untuk memudahkan
penyelenggaraan COP-13 mulai dari pembiayaan pertemuan pendahuluan
(Pre-COP) yang mengundang lebih dari 30 Menteri Perubahan Iklim
(Lingkungan Hidup) dari baik negara berkembang, maupun negara
maju, sampai penyelenggaraan berbagai seminar pada saat COP-13
diselenggarakan.
Atas perkenan Allah SWT, kerja keras para diplomat Indonesia
dibawah koordinasi Menteri Luar Negeri Hasan Wirayuda, kemahiran
Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar sebagai Presiden UNFCCC
COP-13 dalam mengelola persidangan dan kepemimpinan Presiden
SBY yang memantau secara langsung kemajuan perundingan, termasuk
melakukan dua kali intervensi di sesi pleno bersama Sekretaris Jenderal
PBB Ban Ki-moon, COP-13 berhasil menelurkan berbagai keputusan yang
menembus kebuntuan perdebatan perubahan iklim, termasuk keputusan
mengenai kegiatan penurunan emisi yang bersumber dari kerusakan hutan
di negara berkembang (REDD+).
Keberhasilan di COP-13 tersebut membuahkan beberapa dukungan
bagi Indonesia dalam bentuk kerjasama bilateral dan multilateral, mulai
dari berbagai pendanaan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan
dan gambut, sampai kepada sumber energi yang terbarukan, seperti
Pembangkit Listrik Panas Bumi (geothermal).
Komitmen sahabat untuk mendukung, menguatkan tekad memperbaiki
diri
Bonn, Jerman, Juni 2008
Pada pertemuan tengah tahunan UNFCCC di Bonn, Jerman bulan
Juni 2008, perdebatan mengenai rumusan REDD+ kembali memanas.
Beberapa negara mengajukan tambahan jenis kegiatan yang mereka ingin
dimasukkan ke dalam mekanisme REDD+. Delegasi Indonesia juga turut
mengajukan usulan agar penurunan emisi dari lahan kritis atau degradasi
lahan, khususnya lahan gambut, dapat dimasukkan dalam skema REDD+.
Perdebatan semakin ramai seiring dengan upaya intensif dari Delegasi
Polandia, Denmark dan Uni Eropa untuk mensukseskan UNFCCC COP-14
di Poznan dan COP-15 di Kopenhagen.
Sambil memantau negosiasi di ruang sidang melalui laporan
laporan berkala negosiator Delegasi RI, saya meniup secangkir kopi panas
saat berbagi meja di koridor Hotel Maritim, Bonn, dengan beberapa anggota
delegasi negara lain. Melihat saya sedang berdiri dengan secangkir kopi di
tangan, beberapa delegasi pengamat yang mewakili organisasi lingkungan
hidup mendekati saya untuk mendiskusikan salah satu rancangan dokumen
yang akan digunakan sebagai acuan dalam kerjasama REDD.
Pembicaraan dokumen tersebut kemudian beralih ke pertanyaan
yang diajukan Lafcadio Cortessi, salah satu staf Greenpeace Internasional
yang mampu berbicara dalam bahasa Indonesia, kepada saya: So Pungki,
kira-kira insentif apa yang diperlukan Indonesia untuk mengurangi emisi
dari lahan hutan? Sambil tersenyum saya menjawab: Beri kami komitmen
pendanaan satu miliar dollar, agar tercipta momentum untuk sebuah
reformasi pengelolaan hutan dan gambut.
Mereka semua tertawa, termasuk beberapa anggota delegasi
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
27
26
dari kawasan Skandinavia. Saya pun ikut tertawa, sambil menambahkan,
Yang saya katakan barusan adalah hal yang serius, coba kalian mobilisasi
komitmen tersebut dan saya jamin kita akan menyaksikan perubahan yang
bermakna di Indonesia.
Dalam hal pendanaan REDD+, sejarah membuktikan bahwa
Norwegia adalah negara pertama dan yang paling besar kontribusinya
terhadap pembiayaan REDD+, dimulai dengan pendanaan program REDD
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), yang dikenal dengan nama UN-REDD.
Bersamaan dengan pembiayaan UN-REDD, Norwegia juga memberikan
komitmen pembiayaan REDD+ secara bilateral, yaitu komitmen pendanaan
satu miliar dollar kepada Brazil untuk penyelamatan hutan Amazon.
Pengumuman komitmen pendanaan Norwegia kepada Brazil
tersebut menumbuhkan minat dari negara-negara pemilik hutan lainnya,
termasuk Indonesia, untuk melakukan kerjasama bilateral serupa.
Pada kuartal ketiga tahun 2008 (sebelum UNFCCC COP-14 di Poznan),
Pemerintah Norwegia mengirimkan delegasi tingkat Menteri ke Jakarta
untuk mengabarkan bahwa Indonesia terpilih sebagai salah satu dari 9
(sembilan) negara yang akan memperoleh pendanaan untuk kegiatan uji
coba REDD melalui program UN-REDD.
Menteri Erik Solheim dari Kementerian Lingkungan Hidup
Norwegia dan Menteri Rachmat Witoelar bertemu di Hotel Borobudur,
Jakarta, untuk melakukan pembicaraan bilateral mengenai pendanaan
UN-REDD, dan sesudahnya Menteri Solheim melakukan serangkaian
pertemuan dengan beberapa anggota Kabinet Indonesia Bersatu Pertama.
Alih-alih menyambut kabar tersebut dengan gembira, beberapa
Kementerian dan Lembaga Indonesia mempertanyakan mengapa Norwegia
membedakan dukungan yang mereka berikan kepada Brazil dengan
dukungan yang disampaikan kepada Indonesia? Singkatnya, Norwegia
dipertanyakan mengapa memberikan bantuan satu miiar dollar kepada
Brazil untuk pelestarian hutan Amazon, sementara kepada Indonesia
ditawarkan untuk berebut pendanaan multilateral UN-REDD sebesar 50
juta dollar dengan delapan negara pemilik hutan lainnya.
Pihak Norwegia tentu saja terkejut dengan reaksi Indonesia tersebut, dan
kemudian pulang untuk mencari alternatif memperbaiki persepsi negatif
yang berkembang terhadap upaya mereka membiayai UN-REDD, sekaligus
mendukung Indonesia.
Bantuan yang sesuai dengan luasnya wilayah hutan dan rumitnya
persoalan
Poznan, Polandia, Desember 2008
Hans Brattskar, Duta Besar Nowegia untuk Perubahan Iklim,
menghampiri saya di sela-sela persidangan UNFCCC COPke-14 yang
melelahkan, untuk meminta waktu bertemu. Pada COP-14 tersebut,
Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar melakukan serah terima
jabatan Presiden UNFCCC kepada Menteri Lingkungan Hidup Polandia,
sedangkan saya bertugas sebagai Alternate Head Delegasi RI. Hans dan
saya bersepakat untuk bertemu dalam waktu dua hari kedepan, sebelum
Hans harus kembali ke Oslo. Karena sulitnya mencari waktu ditengah
padatnya jadwal persidangan yang berlangsung cukup tegang, maka kami
putuskan untuk berbincang dalam suasana yang lebih santai di lobi Hotel
Sheraton Poznan pada sekitar pukul 08.00 tanggal 6 Desember 2008.
Sambil menunggu pesanan kopi kami tiba, ditengah hingar bingar
pembicaraan para Head of Delegates yang bertemu di lobi hotel, dilatar
belakang terdengar KC and The Sunshine Band yang populer di tahun tujuh
puluhan melagukan: Thats the way.... aha, .... aha, .... I like it .... Setelah
berbasa-basi, Hans menyampaikan pesan yang diamanatkan oleh Oslo: ....
that Norway is committed to support Indonesia at the level of its huge size of
forest and the complexity of challenges in managing them sustainably.
Secara bebas pernyataan tersebut dapat diterjemahkan sebagai
kesiapan Norwegia untuk mendukung upaya pengurangan emisi Indonesia
dari lahan hutan pada tingkat yang memadai untuk mengatasi kerumitan
pengelolaan dan luasnya kawasan hutan Indonesia. Atau tepatnya Hans
menyampaikan niat politik Pemerintah Norwegia untuk memberikan
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
29
28
pendanaan ke Indonesia yang setara dengan dukungan mereka ke Brazil.
Saya mendengarkan kalimat-kalimat Duta Besar Perubahan Iklim
Norwegia tersebut dengan penuh perhatian, seraya bersenandung di dalam
hati, menyanyikan KC and The Sunshine Band aha ... aha.. I like it
Jakarta, Indonesia dan Oslo, Norwegia
September Desember 2009
Sesudah COP-14 di Poznan berakhir, saya dan Hans Brattskar
melanjutkan diskusi merumuskan bentuk kerjasama bilateral hampir setiap
minggu, melalui telepon (tele-conference) antara Jakarta dan Oslo. Hans
ditemani beberapa stafnya, sedangkan saya mengundang beberapa rekan
dari Kementerian Kehutanan dan DNPI seperti: Wandojo Siswanto, Nur
Masripatin, Doddy Sukadri, dan Eka Melisa.
Dalam diskusi per telepon itu kami membahas berbagai kalimat
yang mencerminkan semangat kerjasama bilateral kedua negara. Kami pun
sepakat untuk melakukan diskusi yang lebih mendalam pada kesempatan
pertemuan UNFCCC berikutnya di Copenhagen.
Kopenhagen, Denmark, Desember 2009
Pertemuan UNFCCC COP-15 di Kopenhagen diwarnai oleh
berbagai kejutan. Mulai dari penggantian Connie Hedegaard, Menteri
Perubahan Iklim dan Energi Denmark, sebagai Presiden UNFCCC COP-15
oleh Perdana Menteri Denmark, sampai kepada drama intervensi dengan
telapak tangan berdarah oleh Duta Besar Claudia Salerno Caldera dari
Venezuela jam 4 (empat) pagi di hari Sabtu, 19 Desember 2009, menentang
disepakatinya Copenhagen Accord yang dianggap tidak partisipatif dalam
proses penyusunannya.
Pertemuan bilateral Indonesia dan Norwegia diantara Presiden
SBY dan Perdana Menteri Jens Stoltenberg terjadi pada malam hari sebelum
segmen perundingan tingkat tinggi UNFCCC COP 15 di Copenhagen
dimulai. Kedatangan Presiden pada siang hari di Kopenhagen, dilanjutkan
dengan brieng delegasi Menteri dan pejabat tinggi oleh Presiden SBY di
Hotel Sheraton Copenhagen. Perundingan bilateral dilangsungkan pada
malam hari yang sama.
Pada kesempatan pertemuan bilateral tingkat tinggi tersebut, PM
Stoltenberg mengulangi pernyataan tentang kesiapan Norwegia untuk
bekerja sama dengan Indonesia di bidang kehutanan dan perubahan
iklim. Presiden SBY sebelumnya sempat mempertimbangkan gagasan
mengeluarkan pernyataan bersama Perdana Menteri Jens Stoltenberg,
akan tetapi mempertimbangkan situasi perundingan UNFCCC COP-15
di Copenhagen yang sangat alot dan tidak kondusif, gagasan membuat
pernyataan bersama itu ditunda untuk waktu yang akan disepakati
kemudian.
Sekembalinya dari Kopenhagen, saya melanjutkan pembahasan
mengenai bentuk dan isi dari pernyataan bersama kedua kepala negara
melalui telepon dengan Hans, Per Pharo, Leif John Fosse dan beberapa
staf Kemenlu dan KemenLH Norwegia lainnya.
Jakarta, Indonesia, Februari 2010
Saya diminta bergabung menjadi Staf Khusus Presiden Bidang
Perubahan Iklim (SKP PI). Saya menjadi Staf Khusus Presiden yang ke-
11 (sebelas) untuk menangani isu Perubahan Iklim karena Presiden SBY
melihat pentingnya permasalahan ini.
Sementara itu, diskusi antara Jakarta dan Oslo terkait penyelesaian
Joint Statement terus berlangsung melalui pertukaran e-mail dan
teleconference Perbedaan yang cukup mendasar terjadi mengenai
penggunaan istilah seperti low carbon emission atau low emission
sehingga sulit mencapai kesepakatan.
Pada pembahasan melalui telepon antara Jakarta dan Oslo,
tepatnya tanggal 13 Februari 2010, disepakati sebuah draft joint statement
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
31
30
yang direncanakan akan dibahas secara tatap muka dengan Hans, Per dan
tim Norwegia lainnya di Bali bertepatan dengan United Nations Environment
Programme (UNEP) Governing Council/Global Ministerial Environment
Forum ke -11 (GCSS-11/ GMEF) pada tanggal 23-24 Februari 2010.
Pada pertemuan di Bali tersebut, saya ditemani oleh Eka Melisa
dari Dewan Nasional Perubahan Iklim, yang telah terlibat dalam negosiasi
ini sejak pertengahan 2009. Sedangkan Hans Brattskar di dampingi oleh
Per Pharo dan Leif John Fosse, bersama Dubes Norwegia di Jakarta yang
baru saja diangkat, Eivind Homme, yang didampingi oleh Hege Karsti
Ragnhildstveit, turut hadir dalam pertemuan tersebut.
Ada dua hal mendasar yang menyebabkan sulitnya untuk dicapai
kesepakatan, yaitu (1) pencantuman besaran komitmen Norwegia
(angka dalam dollar), serta (2) bentuk dokumen yang dihasilkan.
Saya menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan komitmen yang
jelas, transparan dan dapat. Sementara Hans menyampaikan kesulitan
mereka untuk mencantumkan besaran angka komitmen tersebut karena
permasalahan di dalam negeri Norwegia terkait pemerintahnya di depan
parlemen.
Duta besar Homme mengusulkan agar sebaiknya bukan Joint
Statement yang dibuat tetapi Memorandum of Understanding (MoU) atau nota
kesepahaman antara kedua negara. Usulan ini kami sambut dengan baik.
Saya kemudian meminta rekan-rekan di DNPI untuk mengkomunikasikan
rancangan nota kesepahaman tersebut dengan Kemhut dan Kemlu.
Jakarta, Indonesia, Maret - April 2010
Sepulang kami dari Bali, saya melaporkan perkembangan ini
kepada Presiden SBY, Sekretaris Kabinet, Menteri Kehutanan, dan Ketua
Harian DNPI. Presiden SBY juga memperoleh informasi mengenai
tawaran bantuan Pemerintah Norwegia sebesar 1 (satu) miliar dollar yang
disampaikan oleh Dubes Eivind Homme kepada Staf Khusus Presiden bidang
Hubungan Internasional, Dr. Dino Patti Djalal. Informasi yang disampaikan
pak Dino kepada Presiden ditanyakan kembali oleh Presiden kepada saya,
dan kemudian ditindaklanjuti dengan perintah untuk mempersiapkan
bahan-bahan bagi persiapan dokumen Nota Kesepahamanan.
Serangkaian pertemuan kemudian dilangsungkan untuk
mempersiapkan bahan-bahan tersebut dan dalam perjalanannya
dibentuklah dua tim persiapan, yaitu tim substansi kerjasama REDD+
yang dipimpin langsung oleh Menteri Kehutanan Zulkii Hasan, dan tim
penyusun nota kesepahaman yang terdiri dari Dewan Nasional Perubahan
Iklim (DNPI), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Kehutanan
(Kemhut) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Begitu seriusnya rekan-rekan Kementerian dan Lembaga dalam
membahas substansi surat niat, sehingga pada salah satu pembahasan
yang dilakukan hingga lewat tengah malam di Manggala Wanabhakti, para
peserta rapat harus pulang menggunakan tangga darurat, karena lift di
gedung Manggala sudah dimatikan.
Oslo, Norwegia, Mei 2010
Presiden SBY mendapat undangan dari Perdana Menteri Norwegia
untuk menjadi ketua bersama pada acara The Oslo Climate and Forest
Conference, yang akan diselenggarakan pada tanggal 27 Mei 2010 di Oslo,
Norwegia. Dalam acara tersebut juga direncanakan agar nota kesepahaman
dapat ditandatangani oleh kedua negara.
Terkait dengan hal tersebut, Presiden menugaskan saya untuk
menjadi ketua delegasi perundingan lanjutan dengan Pemerintah Norwegia
atas rancangan akhir nota kesepahaman yang selesai didiskusikan ditingkat
teknis pada minggu pertama bulan Mei 2010. Perundingan dimaksud
dilangsungkan di Oslo pada tanggal 12-13 Mei 2010, dengan anggota dari
Kemhut, Kemlu, DNPI dan Dubes RI untuk Norwegia.
Sebelum berangkat ke Oslo, Presiden memberi saya bekal
amunisi tambahan dalam bernegosiasi dengan pihak Norwegia, yaitu niat
beliau untuk mengeluarkan kebijakan melakukan moratorium hutan dan
gambut selama 2 tahun.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
33
32
Presiden SBY juga meminta saya untuk memperhatikan isu yang
terkait dengan masyarakat adat dan mencari kesepahaman terhadap
permasalahan indigenous people. Pemerintah memiliki komitmen untuk
melakukan afrmative action dalam upaya melindungi dan menyejahterakan
masyarakat adat, akan tetapi harus dijaga agar kesepakatan dengan pihak
Norwegia tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku,
khususnya yang berhubungan dengan aturan penguasaan lahan, agar
tidak menimbulkan kekacauan hukum yang justru memperburuk situasi di
lapangan.
Arahan Presiden tersebut sejalan dengan pemikiran yang
berkembang dalam diskusi saya dengan Abdon Nababan, Sekjen Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk membahas keberadaan hak-
hak dan penguatan partisipasi masyarakat adat yang efektif dalam
rangka pencapaian pengurangan emisi karbon melalui skema REDD dan
pengembangan ekonomi rendah karbon di Indonesia, sehubungan dengan
rencana kerjasama RI-Pemerintah Norwegia.
Sebelum Presiden memberikan arahan bagi tim negosiator MoU
dengan Norwegia, Abdon sudah bersurat kepada Presiden SBY melalui
kami sebagai Staf Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim (SKP PI)
Dalam surat AMAN tersebut, tertulis pengakuan dari masyarakat adat
Indonesia (indigenous people) mengenai dukungan pemerintahan Presiden
SBY kepada masyarakat adat dalam berbagai bentuk. Dalam surat tersebut,
AMAN berpendapat bahwa Pemerintah Indonesia dapat bersepakat dengan
Norwegia dalam hal masyarakat adat dengan memasukkan beberapa
kegiatan yang sudah atau sedang berlangsung di tanah air.
Pada tanggal 11 Mei 2010, dengan melampirkan surat dari AMAN,
saya menyampaikan Memo kepada Sekretaris Kabinet akan adanya wacana
untuk menggantikan kalimat dalam rancangan nota kesepahaman yang
mengacu pada keputusan UNDRIP dengan satu atau dua paragraf dari surat
AMAN tersebut sehingga para pihak yang masih sensitif dengan konvensi
internasional mengenai indigenous people bisa terakomodasi.
Detik Detik Perundingan Nota Kesepahaman, 12-13 Mei 2010
Kami menerima tembusan surat dari Pemerintah Kerajaan
Norwegia yang meminta kehadiran dan kesediaan Presiden SBYmenjadi
Ketua Bersama (Co-Chair) pada acara Oslo Climate and Forest Conference
yang akan diselenggarakan di Oslo, Norwegia, pada tanggal 27 Mei 2010.
Sebagai tanggapan terhadap surat permohonan Pemerintah
Norwegia tersebut, kami menyampaikan memo kepada Sekretaris Kabinet
mendukung gagasan kehadiran dan peran Ketua Bersama yang diharapkan
dilakukan Presiden SBY di konferensi tersebut, mengingat pentingnya
pertemuan tersebut dalam penggalangan dukungan bagi pelaksanaan
komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi sebanyak 26%
dari perkiraan emisi tahun 2020, khususnya dari sektor kehutanan (REDD+).
Kesediaan Presiden SBY menjadi Co-Chair bersama Perdana
Menteri Norwegia pada Konferensi Hutan dan Perubahan Iklim di Oslo
tersebut akan menunjukkan kepemimpinan Indonesia, sebagai salah satu
negara berkembang, dalam upaya bersama mengendalikan perubahan
iklim. Peran aktif Presiden SBY diharapkan dapat mendorong negara maju
dan negara berkembang untuk melanjutkan upaya penurunan emisi di
tingkat global, sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Jakarta, Indonesia, 10-11 Mei 2011
Senin, 10 Mei 2011, Presiden memanggil Menko Perekonomian,
Menko Kesra, Menteri Luar Negeri, Mensesneg, Menteri Kehutanan, Menteri
Lingkungan Hidup, Sekretaris Kabinet, Ketua Harian DNPI, Staf Khusus
Presiden Bidang Hubungan Internasional Dino Patti Jalal, dan saya sendiri,
untuk mendiskusikan tindak lanjut dari negosiasi Nota Kesepahaman
dengan Pemerintah Norwegia. Dua rekan saya, Yani Saloh, Asisten Staf
Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, dan Eka Melisa, yang saat itu
bertugas sebagai Wakil Ketua Kelompok Kerja Negosiasi Internasional di
DNPI, membantu mempersiapkan bahan untuk pertemuan tersebut dan
turut hadir dalam pertemuan terbatas yang diadakan di salah satu ruangan
di Istana Negara.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
35
34
Presiden menugaskan saya agar segera berangkat ke Oslo sebagai
Ketua Delegasi RI dan menyelesaikan negosiasi Nota Kesepahaman yang
diharapkan dapat ditandatangani pada saat Beliau tiba di Oslo, sebelum
menjadi Ketua Bersama dengan PM Norwegia pada Oslo Forest and Climate
Conference. Presiden juga meminta kepada Menteri Kehutanan, Menteri
Luar Negeri dan Ketua Harian DNPI untuk menugaskan pejabat terkait
untuk dapat menjadi anggota delegasi RI yang saya pimpin.
Penugasan Presiden ini sempat membuat kehebohan, tidak
hanya pada kementerian dan lembaga terkait, namun juga Kementerian
Lingkungan Hidup Norwegia dan Kedutaan Besar Norwegia di Jakarta,
khususnya terkait dengan masalah visa bagi para anggota delegasi yang
akan berangkat.
Untung saja saat itu Visa Schengen (untuk negara-negara Eropa)
saya masih berlaku, sehingga tidak menghambat rencana keberangkatan
ke Oslo meskipun pada hari Senin itu Norwegia sedang libur nasional, dan
kantor imigrasi mereka di Oslo baru akan memproses visa Norwegia pada
keesokan harinya, Selasa pagi 11 Mei 2010.
Selasa malam, 11 Mei 2010, saya berangkat ke Oslo setelah
mendengarkan rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR. Bergabung
dalam Tim Negosiasi ini adalah Eka Melisa dari DNPI, Ghafur Dharmaputra
dari Kementerian Luar Negeri, dan Iman Santoso dari Kementerian
Kehutanan. Di Oslo, Dubes Indonesia untuk Norwegia, Esti Andayani, akan
bergabung dengan kami.
Pada jam menjelang keberangkatan, kami sempat cemas karena
visa pak Iman Santoso ternyata tidak bisa keluar hari itu juga sehingga
keberangkatannya harus ditunda. Selain itu saya nyaris tidak dapat pesawat
pulang karena saat itu jalur Oslo-Frankfurt atau Oslo-Copenhagen yang
merupakan jalur penerbangan untuk pulang ke Jakarta tidak ada kursi
pesawat yang tersedia akibat libur nasional Norwegia. Saya tetap berangkat
ke Oslo sementara tiket pesawat untuk pulang ke Jakarta diusahakan
selama saya bernegosiasi di sana. Kenapa ya kesulitan semacam ini sering
terjadi ketika harus melakukan negosiasi yang penting?, kata saya dalam
hati, tapi semoga saja kesulitan ini pertanda baik bagi negosiasi itu sendiri!
Saya mendarat di Oslo pada hari Rabu, 12 Mei, tepat pukul
12.00 siang keesokan harinya. Dari airport saya langsung menuju tempat
berlangsungnya perundingan dengan pemerintah Norwegia, tanpa mandi
atau ganti baju karena sempitnya waktu.
Dengan kepala yang masih sedikit pusing akibat jet lag, kami
berempat melakukan perundingan dengan Hans, Per, Hege (yang mewakili
Dubes Homme), dan beberapa perwakilan dari NORAD, Kementerian Luar
Negeri Norwegia dan Kementerian Lingkungan Hidup Norwegia.
Perundingan dibuka sekitar pukul 13.00 siang ditengah-tengah
makan siang dan dalam suasana yang santai, walaupun beberapa pihak dari
Norwegia tampak tegang. Untuk mencairkan suasana, sambil bercanda
Hans mengatakan meskipun DELRI saat itu hanya berempat, tapi Hege dan
Per, yang juga baru kembali dari Jakarta beberapa hari sebelumnya, dapat
dianggap Half Indonesian Delegation karena mereka juga masih jet lag
seperti kami. Saya balik menanggapi dengan bercanda juga, tapi biasanya
kalau masih jet lag negosiasinya bisa lebih cepat. semua orang memandang
saya dengan heran, soalnya adrenalin tinggi jadi basa basinya berkurang.
Mereka semua kemudian jadi tertawa dan ketegangan berkurang.
Perundingan kemudian dilaksanakan di ruang rapat yang terletak
di attic atau loteng Hotel Oslo yang merupakan tempat bersejarah di
Norwegia dan terletak di sebelah gedung Parlemen Norwegia.
Walaupun berlangsung alot, menyerupai perundingan UNFCCC
yang membahas kata demi kata dari rancangan yang disepakati sebelumnya,
tapi kegiatan negosiasi kali ini jauh lebih menyenangkan karena hanya
melibatkan 2 negara dan memberikan hasil yang lebih nyata. Negosiasi
sesi pertama berlangsung hampir tanpa jeda hingga jam 2 pagi keesokan
harinya (13 Mei 2010).
Perundingan dilakukan dengan menggunakan rancangan Nota
Kesepahaman yang disusun oleh Pemerintah Indonesia dan kemudian
dikomunikasikan kepada Pemerintah Norwegia sebelum rombongan
DELRI berangkat ke Oslo. Ada beberapa hal penting yang diusulkan oleh
Indonesia dalam pembahasan substansi nota kesepahaman tersebut yaitu
: besarnya komitmen Pemerintah Norwegia, bentuk kelembagaan REDD+,
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
37
36
mekanisme pendanaan dan pendistribusian komitmen Pemerintah
Norwegia yang termasuk dengan pemilihan lembaga duciary-nya,
keterlibatan indigeneous people atau komunitas lokal dalam konteks
Indonesia, serta mekanisme MRV dari pelaksanaan kegiatan penurunan
emisi dan penyampaian pendanaan kepada pelaksana kegiatan.
Hans sempat harus meninggalkan tempat perundingan karena
harus menemani Menteri Lingkungan Hidup Norwegia pada pertemuan
lain, sehingga Per kemudian menggantikannya sebagai Kepala Perunding
Norwegia. Sementara anggota tim Perundingan Norwegia beberapa kali
berubah, kami berempat tetap semangat melakukan negosiasi walau
kadang kantuk menerpa akibat tidak sempat tidur dan menyegarkan badan
dengan mandi.
Hambatan menuju kesepakatan muncul ketika diskusi mengenai
mekanisme pendanaan serta lembaga yang akan ditunjuk menjadi juru
bayar dari pendanaan tersebut dimulai. NORAD menginginkan lembaga
internasional semacam World Bank yang menjadi pengelola. Sementara
berdasarkan diskusi di Jakarta, kami sudah sepakat bahwa pendanaan
Norwegia ini merupakan pilot project bagi lembaga-lembaga keuangan
nasional untuk bermitra dengan lembaga internasional untuk menangani
pendanaan perubahan iklim yang lebih besar dan kompleks di kemudian
hari.
Setelah lebih dari dua jam berdebat, Eka menyodorkan kertas
kepada saya, Pak, bagaimana kalau kita ubah usulan mereka dari
International or Multilateral Institution menjadi Internationally-reputable
Institution? Kan yang mereka ributkan adalah reputasi internasionalnya.
Saya kemudian meneruskan kertas tersebut kepada Ghafur dan Esti sambil
menambahkan, Saya setuju. Bagaimana pendapat Bapak dan Ibu? Ghafur
kemudian menjawab, Kita usulkan saja Pak, mereka toh tidak bisa menolak
karena kan tidak bisa terlihat terlalu jelas bahwa mereka inginnya dikelola
oleh Bank Dunia. Esti pun mengangguk setuju.
Kami kemudian mengusulkan hal tersebut kepada pihak Norwegia.
Terlihat pihak NORAD mengerutkan kening tapi setelah mereka berdebat
dalam bahasa mereka sendiri, akhirnya Per menyampaikan kepada kami
bahwa mereka memerlukan keputusan tertinggi yaitu PM untuk menyetujui
hal tersebut, dan meminta penundaan hingga mereka mendapatkan
persetujuan itu.
Hambatan kedua adalah permasalahan Lembaga REDD+ yang
direncanakan dibentuk oleh Presiden dalam waktu dekat. Pihak Norwegia
mengejar kami mengenai rincian bentuk Lembaga yang ingin dibentuk.
Kami sampaikan bahwa Lembaga tersebut adalah usulan Presiden SBY
yang sudah beberapa kali memberikan arahan bahwa Lembaga ini akan
independen dan melapor langsung kepada Presiden.
Mengenai bentuk dan formatnya akan diatur sesuai dengan
peraturan Indonesia, dan tidak bisa dicantumkan apalagi diatur dalam
nota kesepahaman, kata saya sedikit keras karena beberapa orang di
pihak Norwegia terkesan bersemangat untuk mencantumkan kriteria
kelembagaan REDD+ didalam Nota Kesepahaman, Jangan lupa, lembaga
ini tidak hanya akan menangani kegiatan terkait bantuan Norwegia saja. Ada
negara-negara lain yang juga ingin membantu, seperti Australia, Jepang dan
Amerika, lanjut saya. setelah berdebat sekitar 30 menit, delegasi Norwegia
menyetujui pendapat Indonesia.
Permasalahan ketiga adalah pilihan MRV (Measurement,
Reporting, Verication) yang akan diterapkan. Norwegia menginginkan
penerapan langsung tier 3 (tiga) pada pilot province di tahap kedua,
tahapan persiapan menuju full payment-for-performance stage. Menimbang
kemajuan negosiasi di UNFCCC mengenai denisi MRV dan bagaimana
penerapan setiap tier metode IPCC akan diterapkan, kami mengusulkan
agar propinsi percontohan dijadikan semacam laboratorium atau tempat uji
coba bagi pelaksanaan MRV. Berhubung Iman dari Kementerian Kehutanan
baru berangkat dari Jakarta Selasa sore, menunggu diperolehnya visa
Norwegia, kami mengusulkan agar diskusi mengenai MRV ditunda sampai
keesokan hari nya.
Hal keempat yang mengganjal perundingan hingga sempat
terhenti dan kemudian diputuskan agar makan malam dahulu untuk
menurunkan ketegangan adalah masalah referensi mengenai indigenous
people. Norwegia, atas desakan LSM di negara mereka, memaksakan
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
39
38
masuknya paragraf dari UNDRIP.
Saya langsung memberikan surat yang saya terima dari AMAN
(lihat lampiran), Ini surat resmi dari lembaga masyarakat adat di Indonesia.
Mereka sudah memberikan persetujuan kepada kami untuk menggunakan
kalimat yang tercantum dalam surat ini untuk mengedepankan peran
mayarakat adat dalam kerjasama ini. Hege sempat berkeras untuk tetap
memakai bahasa sesuai UNDRIP, sehingga saya kemudian menyampaikan,
Ini masukan resmi dari AMAN lho, yang berkepentingan kan mereka, bukan
pemerintah atau LSM Norwegia. Per kemudian menelpon Hans untuk
mendapatkan arahan. Setelah makan malam, perundingan dilanjutkan
dengan keputusan menggunakan kalimat yang dikutip dari surat AMAN.
Diskusi kemudian berlanjut pada permasalahan pilihan bentuk
dokumen kesepakatan bilateral dan status hukum dokumen tersebut.
Pihak Norwegia menyampaikan bahwa Nota Kesepahaman bagi mereka
bukan dokumen yang legally-binding sehingga tidak perlu ditandatangani
secara resmi. Ghafur menyampaikan bahwa dalam hukum Indonesia, nota
kesepahaman adalah dukumen kesepakatan yang mengikat sehingga
apapun yang tercantum di dalamnya akan memiliki konsekuensi hukum.
Menanggapi hal ini, pihak Norwegia, khususnya NORAD, bereaksi
keras ketika diskusi sampai pada pencantuman komitmen Pemerintah
Norwegia secara eksplisit pada Nota Kesepahaman tersebut. Sebagaimana
arahan dari Presiden SBY, Indonesia menginginkan komitmen tersebut
terekam dalam dokumen tertulis bukan hanya ucapan pejabat pemerintah
Norwegia yang berpeluang menjadi janji kosong semata. NORAD
menyampaikan keberatan terhadap gagasan masuknya angka komitmen
Norwegia ke dalam Nota Kesepahaman, apalagi kalau dianggap dokumen
tersebut memiliki kekuatan hukum (legally binding).
Perundingan kemudian berlangsung sangat alot. Menjelang
tengah malam, Per meminta perundingan dihentikan sementara untuk
melakukan komunikasi dengan Menteri Lingkungan Hidup Norwegia dan
Duta Besar Perubahan Iklim Hans Brattskar yang sedang berada di luar
kota.
Sekitar pukul o1.00, negosiasi ditunda lagi selama kurang
lebih setengah jam karena pihak Norwegia membutuhkan waktu untuk
berdiskusi diantara mereka sendiri. Kami menunggu dengan sabar di luar
ruang negosiasi. Saya sempat menyampaikan pada anggota delegasi RI
bahwa kalau negosiasi tahap ini tidak menghasilkan kesepakatan yang
jelas, khususnya terkait dengan komitmen Pemerintah Norwegia, maka
perlu disampaikan kepada Presiden untuk mempertimbangkan kehadiran
Beliau sebagai Ketua Bersama pada Konferensi Hutan dan Perubahan Iklim
akhir bulan Mei.
Sekitar pukul 02.00, Per kemudian meminta saya untuk berdiskusi
one on one dengan dirinya guna menyampaikan beberapa hal terkait
permasalahan yang masih tertunda kesepakatannya. Per menyampaikan
kesulitan yang dihadapi mereka terkait masih adanya beberapa perbedaan
mendasar diantara para Perunding Norwegia sendiri sehingga dibutuhkan
keputusan tertinggi yaitu keputusan Perdana Menteri yang saat itu masih
berada di luar kota.
Saya menyampaikan bahwa pihak perunding Indonesia bersedia
melanjutkan negosiasi pagi hari ini sampai sekitar pukul 12.00 siang
waktu Norwegia karena Jakarta menunggu keputusan pukul 18.00 untuk
dapat memastikan kehadiran Presiden SBY dalam Konferensi Hutan dan
Perubahan Iklim di Oslo dua minggu lagi. Saya juga meminta negosiasi
malam ini diakhiri, Saya butuh tidur sejenak dan mandi biar tidak gerah.,
kata saya sambil bercanda untuk menurunkan ketegangan. Per menjawab
sambil tersenyum, Saya setuju, saya kan juga masih jetlag.\
Tim Perunding kemudian pulang ke kediaman Dubes Esti.
Setibanya di sana, Iman Santoso sudah hadir dan siap bergabung pagi ini
untuk sesi negosiasi kedua. Saya baru saja selesai mandi dan merebahkan
badan sejenak sewaktu telpon genggam saya berbunyi. Suara diseberang
menyampaikan secara tegas, Pak Pungki, Presiden minta laporan kemajuan
terakhir tentang situasi negosiasi di Oslo. Saya langsung meloncat dari
tempat tidur dan mengirimkan pesan melalui ponsel kepada Eka, Kita
harus bikin memo sekarang untuk dikirim ke Jakarta dan sesudahnya bisa
digunakan oleh teman teman lain yang tidak ikut melakukan negosiasi
bilateral ini.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
41
40
Kami berlima kemudian membuat memo kepada Sekretaris
Kabinet sampai pukul 04.00 pagi untuk melaporkan situasi terkini dari
negosiasi. Memo yang juga ditembuskan kepada Mensesneg, Menlu,
MenLH, dan Menhut tersebut berisikan hal-hal berikut:
Pembahasan berlangsung maraton sampai hari Rabu, tanggal 12
Mei, pukul 02.00 pagi waktu Oslo dengan beberapa kemajuan sebagai
berikut:
1. Telah tercapai banyak kesepakatan pada kalimat-kalimat di dalam nota
kesepahaman namun masih belum ada kesepakatan untuk beberapa
hal:
a. Mekanisme pendanaan yang tidak melalui institusi multilateral;
b. Jumlah USD 1 miliar dollar dicantumkan secara eksplisit pada
nota kesepahaman; dan
c. Sifat nota kesepahaman yang tidak legally-binding menurut
kebiasaan hukum di Norwegia.
2. Hal-hal yang masih belum mencapai kesepakatan tersebut akan
dimintakan arahan PM Norwegia.
Rabu, 13 Mei 2010, pukul 08.00 pagi
Kami sudah kembali duduk manis di ruang negosiasi. Karena
sempat ada istirahat beberapa perundingan lanjutan dimulai dengan lebih
santai. Apalagi dengan kehadiran beberapa wajah baru dari kedua belah
pihak.
Diskusi diawali dengan membahas MRV. Pihak Norwegia
mendatangkan para ahli MRV mereka untuk menjelaskan penentuan
metode MRV sesuai dengan panduan IPCC (Inter-governmental Panel on
Climate Change). Kebetulan Iman sudah bergabung dengan tim perunding
sehingga dapat melengkapi pengetahuan teknis saya.
Setelah perdebatan panjang dan rasionalisasi pelaksanaan
pekerjaan di lapangan oleh Iman, pihak Norwegia kemudian mundur teratur
dan sepakat dengan usulan kami agar dilakukan MRV sampai Tier 2 (Dua)
saja di kedua propinsi percontohan.
Setelah beberapa kali mengalah pada tuntutan Delegasi
Indonesia, pihak Norwegia menyampaikan harapan adanya tambahan
komitmen kegiatan yang diberikan Indonesia dalam kerjasama bilateral ini.
Saya melakukan konsultasi singkat dengan anggota Delri yang lain untuk
mendapatkan masukan terkait arahan Presiden mengenai rencana beliau
untuk melakukan moratorium izin baru di hutan alam primer dan lahan
gambut, sekaligus untuk memastikan bahwa Kementerian Kehutanan siap
dengan kata-kata yang akan diusulkan kedalam Nota Kesepahaman.
Ketika kami mengajukan usulan kalimat mengenai rencana
melakukan moratorium sebagai salah satu butir kegiatan yang akan
dilakukan pada tahap pertama Nota Kesepahaman, pihak Norwegia
terkejut dan terlihat sangat gembira menerima usulan kebijakan jeda
balak akan dimasukkan kedalam kerjasama bilateral ini. Kegembiraan
ini membantu terselesaikannya beberapa hal yang masih menggantung
dalam pembahasan sejak Selasa siang.
MRV selesai, kami beranjak kepada Instrumen dan Lembaga
Pendanaan. Per menyampaikan setelah diskusi yang cukup alot diantara
mereka sendiri, akhirnya pihak Norwegia menyetujui usulan kami
mengenai perubahan term International or Multilateral Institutions
menjadi Internationally-reputable Institutions. Namun tetap meminta
agar lembaga multilateral dijadikan pilihan pertama.
Kami pun sampai pada isu yang paling sulit. Pencantuman
besaran komitmen pemerintah Norwegia di dokumen Nota Kesepahaman.
Pihak Norwegia masih berkeras untuk tidak meletakkan angka dengan
alasan mereka tidak ingin dijadikan pesakitan di depan parlemen. Saya
menyampaikan bahwa tanpa angka maka akan sulit bagi Indonesia
menyepakati adanya dokumen kerjasama karena kami tidak menginginkan
bantuan yang hanya sekedar janji saja. Selain itu juga disampaikan kembali
pemahaman Indonesia bahwa MOU adalah dokumen yang legally-binding.
Negosiasi masih berlangsung hingga pukul jam 13.00 siang.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
43
42
Perundingan harus segera diselesaikan, karena saya harus kembali ke
Jakarta siang ini. Saya meminta agar segera dipilih format dan judul
kesepakatan yang sesuai dengan peraturan dan kebiasaan di kedua belah
pihak, misalnya Expression of Interest atau Intention Letter. Akhirnya
disepakati untuk mengubah Nota Kesepahaman menjadi Surat Niat (Letter
of Intent atau LoI), dan perundingan diakhiri jam 13.30 siang.
Seluruh anggota Delegasi RI kembali ke KBRI untuk menyelesaikan
Memo kepada Presiden dan Laporan Hasil Negosiasi Delri. Segera setelah
memo selesai, saya dilarikan ke airport untuk mengejar pesawat ke
Frankfurt, sementara anggota Delri lainnya menyelesaikan laporan yang
saya terima sewaktu transit di airport Frankfurt, Jerman.
Dalam Memo tersebut saya sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Menggunakan arahan Bapak Presiden untuk dapat menyelesaikan 70% dari
draft MoU atau LoI Kerjasama Bilateral Indonesia dan Norwegia tersebut,
dapat kami laporkan sasaran tersebut telah tercapai. Meskipun demikian kami
mencatat ada tiga hal penting yang pihak Norwegia tetap bersikeras, yaitu:
1. Penggunaan mekanisme pendanaan yang melalui institusi
internasional;
2. Pentingnya peran Civil Society, khususnya masyarakat adat, dalam
pelaksanaan governance dari mekanisme pendanaan tersebut;
3. Pencantuman secara eksplisit jumlah kontribusi Norwegia dalan
MoU atau LoI.
Sementara menunggu keberangkatan, saya membuka laptop.
Beberapa menit kemudian masuk pesan yang mengatakan:memo sudah
diterima oleh Pak Dipo. Bersama dengan pesan tersebut, panggilan
kepada penumpang pesawat menuju Singapore terdengar, saya pun
menutup laptop, bersiap untuk boarding menuju perjalanan panjang ke
Jakarta.
Nyaris batal
Sesampainya saya di Jakarta, saya melaporkan hasil pertemuan
Oslo kepada Presiden, Sekretaris Kabinet, dan para Menteri terkait.
Dino Patti Jalal yang saat itu masih menjabat sebagai Staf Khusus
Presiden bidang Hubungan Internasional menyatakan bahwa Pemerintah
Norwegia sudah berjanji untuk memberikan satu miliar dollar AS kepada
Indonesia. Saya sampaikan bahwa hingga perundingan kemarin, tim
perunding Norwegia masih berat untuk mencantumkan angka tersebut
karena harus meminta persetujuan parlemennya dahulu. Selain itu juga
masih ada beberapa hal yang belum tercapai kesepakatannya sebagaimana
tercantum dalam memo saya kepada Presiden sebelum perjalanan pulang
ke Jakarta khususnya terkait dengan jumlah komitmen Norwegia dan
pemilihan institusi pendanaan.
Presiden kemudian menugaskan saya untuk melakukan
perundingan intensif selama dua minggu kedepan dengan pihak Norwegia
agar komitmen yang masih belum dicantumkan dalam rancangan Surat
Niat dapat disepakati sebelum keberangkatan Presiden ke Oslo Climate and
Forest Conference.
Saya melakukan beberapa kali pembicaraan lewat telepon dengan
Hans, Per, dan tim mereka, ditemani oleh Doddy Sukadri dan Eka Melisa
dari DNPI guna mencari penyelesaian terkait beberapa kalimat dalam Surat
Niat yang masih belum ada kesepakatan. Saya, Dino, dan Retno Marsudi,
Dirjen Amerika dan Eropa dari Kemlu, juga melakukan dua kali pertemuan
dengan Dubes Norwegia Eivind Homme dan tim Kedubes Norwegia
di Jakarta untuk menemukan kesepakatan penulisan angka komitmen
kontribusi Norwegia dalam Surat Niat yang pada saat itu masih tertulis
sebagai.
Hingga hari-hari terakhir menjelang keberangkatan PresidenSBY
menuju Oslo tanggal 26 Mei 2010, belum tercapai kesepakatan untuk
mencantumkan angka indikatif komitmen Norwegia sebesar 1 (satu) miliar
dollar tersebut pada rancangan Surat Niat. Yang juga belum disepakati
adalah pembagian angka komitmen 1 (satu) miliar dollar tersebut pada
setiap tahapan dari 3 (tiga) tahap kegiatan dalam Surat Niat, karena besaran
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
45
44
angka untuk tahap pertama dan tahap kedua mencerminkan semangat
kesetaraan dalam bekerjasama.
Yang ingin dihindari adalah pengaturan pembagian resiko yang
tidak setara dengan Indonesia melakukan berbagai hal di tahap pertama dan
tahap kedua, sedangkan Norwegia menunggu hasilnya dan lalu memilih-
milih kegiatan yang disukainya untuk kemudian diberikan pendanaan.
Semangat kesetaraan itu sesungguhnya juga diinginkan oleh tim perunding
Pemerintah Norwegia, akan tetapi mereka harus meyakinkan beberapa
pihak di Oslo untuk mengubah cara pandang dan kebiasaan (prosedur)
pemberian bantuan hibah yang sudah puluhan tahun dianut negara barat
dan dikenal sebagai Overseas Development Assistance (ODA).
Saya mengingatkan Hans melalui telepon bahwa kesepakatan
tentang pencantuman angka komitmen Norwegia adalah hal yang secara
politis penting bagi Indonesia, dan bila angka tersebut tidak disepakati ada
kemungkinan Presiden SBY akan membatalkan kehadiran pada Konferensi
Hutan dan Perubahan Iklim di Oslo.
Ketika peserta Kunjungan Kerja Presiden ke Oslo sedang
melakukan persiapan untuk naik ke pesawat kepresidenan di bandara
Halim Perdanakusuma saya menerima telepon dari Per di Oslo yang
menyampaikan berita bahwa pemerintah Norwegia akan mencantumkankan
angka 1 miliar Dollar AS atau 5 miliar Kroner Norwegia dalam pernyataan
pers Perdana Menteri dan juga bahwa angka tersebut dapat masuk ke
dalam naskah Surat Niat tersebut. Per juga menyampaikan bahwa untuk
tahap pertama dan kedua pelaksanaan kegiatan yang tercantum di Surat
Niat, pemerintahnya akan menyediakan 200 juta dollar AS sebagai bukti
kesetaraan dalam usaha bersama mewujudkan REDD+. Segera saya
sampaikan berita gembira tersebut kepada Presiden.
Suasana yang ceria dan optimis terbangun diantara peserta
Kunjungan Kerja Presiden ke Oslo setelah mendengar kabar tersebut.
Presiden pun memimpin diskusi di dalam pesawat yang sedang terbang
menuju Oslo dengan menggunakan bahan-bahan yang telah dipersiapkan
sebelumnya dan terjilid dengan rapi. Bahan bacaan yang dibagikan pada
awal perjalanan ke Oslo tersebut mencakup konsep awal lembaga REDD+,
pilihan mekanisme pendanaan dan gagasan payments for performance.
Rombongan Presiden ke Oslo terdiri dari Menteri, Gubernur, Rektor
dan anggota DPR yang berjumlah sekitar 20 orang dan masing-masing
menerima paket informasi tersebut.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
47
46
Dibantu atau tidak
dibantu, kita harus
sungguh melaksanakan
langkah-langkah
yang tepat untuk
menghadapi perubahan
ikli, demi anak cucu
kita, demi tanah air
kita, demi bumi kita.
Presiden Yudhoyono.
Jakarta, Selasa, 25 Mei 2010
Bertolak ke Oslo
Tepat pukul 19.00, Selasa 25 Mei 2010,
pesawat Kepresidenan Garuda A330-300 yang
ditumpangi rombongan Presiden Yudhoyono
dan Ibu Negara Ani Yudhoyono lepas landas
dari bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta
menuju Oslo, Norwegia. Presiden SBY
bertolak untuk menghadiri Oslo Climate
and Forest Conference atas undangan PM
Norwegia Jens Stoltenberg.
Sebelum lepas landas Presiden
SBY memberikan keterangan pers tekait
kunjungannya ke Oslo, dengan didampingi
oleh Wapres Boediono. Kita akan
menandatangani Letter of Intent atau Surat
Niat antara Norwegia dan Indonesia dan
secara khusus akan membahas kerjasama
di bidang kehutanan dan perubahan iklim
dengan Norwegia, jelas Presiden SBY dalam
keterangan pers tersebut. Presiden SBY
menjelaskan bahwa akan ada pertemuan
Menghadiri Oslo
Climate and Forest
Conference
BAB 3
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
49
48
bilateral dan multirateral saat kunjungannya, disamping menghadiri
undangan Raja Norwegia Harald V.
Kerjasama itu pada intinya adalah dukungan Norwegia terhadap
rencana Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26 persen dari
proyeksi emisi tahun 2020, diantaranya dengan mengelola hutan secara
lestari, tambah Presiden. Saya menjadi turut bersemangat mendengarkan
keterangan Presiden dalam pernyataan persnya.
Bila ada negara maju yang ingin membantu negara berkembang
yang memiliki hutan hujan tropis dalam pengelolaan hutan yang lestari,
kita harus melihatnya dalam kerangka tanggung jawab bersama baik
negara maju maupun negara berkembang dalam penyelamatan hutan
yang masih tersisa di bumi kita. Kami akan sangat hati-hati, sebisa mungkin
tidak menerima bantuan berbentuk pinjaman atau loan untuk pembiayaan
kegiatan mengatasi masalah-masalah di dalam negeri, karena ada
anggaran kita sendiri, yaitu APBN, yang dapat kita gunakan untuk berbagai
hal tersebut. Seandainya ada kontribusi dari masyarakat internasional,
khususnya negara-negara maju, dan itu berbentuk hibah atau grant tentu
kita menyambut dengan baik, Presiden SBY menambahkan.
Presiden juga menjelaskan keterlibatannya di Konferensi tersebut, sebagai
Ketua Bersama atau Co-Chairs bersama dengan PM Stoltenberg. Konferensi
ini akan dihadiri oleh perwakilan tingkat tinggi dari 50 negara, termasuk
beberapa Kepala Negara, diantaranya Denmark, Papua Nugini, Kamerun,
Guyana, dan Gabon, termasuk kehadiran Pangeran Charles dari Inggris
Raya. Saya bersama tuan rumah, PM Stoltenberg, akan menjadi Ketua
Bersama (co-chair) dalam pertemuan multilateral itu dan pada kesempatan
konferensi tersebut kami akan menyampaikan gagasan interim REDD+
partnership arrangement. Sebentuk terobosan kerjasama antara negara
maju dan negara berkembang di bidang kehutanan dan perubahan iklim
sebelum UNFCCC menghasilkan kemajuan yang berarti, ujar Presiden
SBY.
Konferensi Hutan dan Perubahan Iklim di Oslo tersebut merupakan
kelanjutan kesepakatan UNFCCC-COP 15 yang dilaksanakan di
Kopenhagen, Denmark tentang pasal pengelolaan hutan. Pasal itu
selain mewajibkan negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis untuk
melakukan pengelolaan yang lestari, juga secara eksplisit menyatakan akan
disediakannya pendanaan dari negara maju kepada negara berkembang
yang melakukan pengelolaan hutan secara lestari, jelas Presiden SBY.
Di dalam pesawat nampak Menlu Marty Natalegawa, Menko Perekonomian
Hatta Rajasa, Mensesneg Sudi Silalahi, MenLH Gusti Muhammad Hatta,
Menhut Zulkii Hasan, Menpora Andi Mallarangeng, Kepala BKPM Gita
Wirjawan, Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto, Utusan Khusus Presiden
bidang Perubahan Iklim Rachmat Witoelar, Gubernur Kalteng Teras Narang,
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf , Gubernur Kaltim Awang Farouk , Gubernur
Riau Rusli Zainal, Gubernur Papua Barnabas Suebu, Dino Patti Djalal,
Julius Pasha, saya sendiri selaku Staf Khusus Presiden bidang Perubahan
Iklim dan Asisten saya, Yani Saloh.
Arahan Presiden di dalam Pesawat
Sesaat sebelum mendarat di Oslo, Presiden SBY melalui pengeras
suara di dalam pesawat menjelaskan bahwa tugas delegasi Indonesia di
Norwegia adalah melakukan diplomasi berkaitan dengan pelestarian hutan
dan perubahan iklim. Indonesia mendapat kehormatan untuk dipilih
sebagai contoh kerjasama antara negara maju dan negara berkembang,
dan mendapat kesempatan untuk menerima bantuan dari masyarakat
internasional, khususnya dari negara-negara maju melalui sharing
pendanaan, kata Presiden SBY.
Saya memilih menggunakan kata sharing dan bukannya bantuan karena
bila Indonesia mampu menjaga hutan tropisnya, kita juga turut menjaga
paru-paru dunia. Yang menikmati pengelolaan hutan yang lestari bukan
hanya Indonesia tapi juga manusia sedunia. Oleh karena itu menjadi adil
ketika Indonesia harus menjaga lingkungan atau hutan yang masih ada,
pembiayaannya ditanggung bersama oleh rakyat Indonesia dan masyarakat
dunia. Prioritas pemanfaatan anggaran belanja negara adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, kata Presiden SBY menjelaskan.
Masyarakat dunia yang mendapatkan keuntungan dari kelestarian hutan
kita juga ikut menyumbang pembiayaan meskipun tentunya tidak semudah
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
51
50
itu. Bayangkan kalau negara maju ingin berkontribusi untuk mengelola
hutan secara lestari dan itu berupa hibah atau grant dan bukan pinjaman
atau utang, mereka harus yakin bahwa negara kita bukan hanya memiliki
komitmen, bukan hanya memiliki rencana, tapi benar-benar menerapkan
apa yang menjadi kesepakatan antara Indonesia dengan negara-negara
yang menyumbang pendanaan itu, ujarnya.
Oleh karena itu, Presiden SBY berharap pemerintah pusat dan pemerintah
daerah bersungguh-sungguh dalam pelaksanaan kegiatannya. Masyarakat
perlu diajak serta untuk menyukseskan program ini, agar kita mendapatkan
kehormatan ketika dunia membantu kegiatan kita di tanah air. Kita harus
bertanggung jawab dalam penggunaan dana tersebut dan tidak boleh ada
penyimpangan sedikitpun. Berkali-kali saya katakan, kita harus menjadi
bangsa yang terhormat, bukan bersiasat, apalagi cheating. Dibantu atau
tidak dibantu, kita harus bersungguh-sungguh melakukan upaya yang tepat
untuk menghadapi perubahan iklim, demi anak cucu kita, demi tanah air
kita, dan demi bumi kita, tegas Presiden.
Presiden SBY menginginkan bangsa Indonesia membangun tradisi
politik yang baik. Indonesia adalah bangsa, negara dan pemerintah yang
konsisten dan konsekuen. Sekali lagi, dibantu atau tidak dibantu kita wajib
melaksanakan pemeliharaan lingkungan dengan sebaik-baiknya, jelas
Presiden SBY.
Tiba di Oslo, Rabu 26 Mei 2010 pukul 07.00 pagi.
Udara di bandar udara Gardermoen, Oslo, terasa sejuk, sekitar 5 derajat
Celcius, menyambut kedatangan rombongan Presiden yang tiba setelah
menempuh perjalanan selama 16 jam termasuk transit di Dubai, Uni Arab
Emirat.
Tepat pukul 07:00 waktu setempat, pesawat mendarat di bandar udara
Gardermoen, Oslo. Di pintu pesawat, Presiden disambut oleh Acting Chief
of Protocol Norwegia Mona Brother dan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa
Penuh (LBBP) RI untuk Kerajaan Norwegia Esti Andayani. Di bawah tangga
pesawat telah menunggu Dubes Kerajaan Norwegia untuk Indonesia Eivind
S. Homme dan Atase Pertahanan RI di Berlin Fachri Adamy.
Setelah mengikuti upacara penyambutan kehormatan, Presiden dan
rombongan kemudian menuju Holmenkolen Rica Park Hotel. Setibanya di
hotel pukul 09.30, Presiden Yudhoyono langsung menggelar pertemuan
dengan delegasi Indonesia untuk mempersiapkan Konferensi tersebut.
Rabu, 26 Mei 2010, pukul 15.00
Pertemuan bilateral Presiden SBY dan PM Stoltenberg
Presiden SBY dan PM Stoltenberg melakukan pertemuan bilateral di
Hagestuen (Garden Room), di Government Guest House, Jl. Parkveien No.
45, Oslo, pada pukul 15.00 waktu setempat. Pertemuan bilateral tersebut
berlangsung selama lebih kurang 30 menit.
Ironisnya, sebagai ketua tim perunding kerjasama bilateral Indonesia -
Norwegia yang Surat Niatnya akan ditandatangani dalam dua jam ke depan,
saya tidak dapat masuk ke ruang perundingan bilateral. Tidak bisa masuk
Pak, nama Bapak tidak ada di dalam daftar yang ikut pertemuan bilateral dan
di dalam ruangan sudah penuh. Presiden sudah di dampingi oleh sejumlah
Menteri dan anggota DPR, kata Protokol Istana ketika saya menanyakan
kenapa saya tidak boleh masuk.
Selang satu jam kemudian pertemuan bilateral itu dilanjutkan dengan
penandatanganan Surat Niat oleh Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa
dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Internasional
Kerajaan Norwegia Erik Solheim. Presiden SBY dan Perdana Menteri
Jens Stoltenberg menyaksikan penandatangan tersebut. Usai dilakukan
penandatanganan Surat Niat, kedua pemimpin Negara tersebut menggelar
konferensi pers di ruangan sebelahnya.
PM Jens Stoltenberg menjelaskan bahwa dalam perjanjian yang telah
ditandatangani hari ini, Norwegia telah berkomitmen mendukung usaha
Indonesia sampai sebesar satu miliar dollar Amerika. Kontribusi ini akan
didasarkan pada keberhasilan pengurangan deforestasi atau kerusakan
hutan, yang berarti keberhasilan melakukan pengurangan emisi karbon.
Oleh karena itu, menurut saya monitoring dan verikasi adalah kunci untuk
memastikan bahwa upaya mengurangi kerusakan hutan benar-benar
terjadi, kata PM Stoltenberg.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
53
52
Dalam kesempatan itu, Presiden SBY mengungkapkan kegembiraannya
karena kerjasama bilateral kedua negara selama ini berjalan baik dan terus
berkembang dari waktu ke waktu. Kerjasama kita bukan hanya di bidang
ekonomi, kehutanan, dan lingkungan hidup, tetapi juga termasuk dialog
HAM dan kerjasama lain yang kreatif dan inovatif antara Norwegia dan
Indonesia, antara negara maju dan negara berkembang, jelas Presiden
SBY.
Indonesia sangat berkepentingan untuk menyelamatkan hutan dan
lingkungan kami untuk keselamatan rakyat kami sendiri dan untuk masa
depan kami. Oleh karena itulah, Indonesia telah menetapkan sasaran
pengurangan emisi sebesar 26 persen dari proyeksi emisi tahun 2020, yang
utamanya ditujukan untuk kepentingan bangsa kami, dan sekaligus sebagai
upaya untuk menyelamatkan umat manusia, Presiden SBY menerangkan.
Dalam tiga tahun terakhir, berkat kesungguhan upaya perbaikan
pengelolaan hutan, Indonesia telah berhasil mengurangi kebakaran hutan
secara signikan. Selain itu, kami melakukan pembinaan kegiatan diatas
lahan gambut dan terus menerus melakukan pemberantasan illegal
logging, kata Presiden SBY dalam keterangan pers tersebut.
Ratusan pelaku kejahatan telah kami penjarakan. Kami juga melakukan
reforestasi dan mencegah deforestasi, termasuk gerakan penanaman
ratusan juta pohon setiap tahun yang dilaksanakan oleh berbagai komponen
masyarakat Indonesia. Semua ini adalah komitmen dan tanggungjawab
kami, bangsa Indonesia, untuk mengatasi permasalahan lingkungan di
tempat kami sendiri, Presiden SBY menerangkan kepada wartawan.
Komitmen Indonesia tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.
Di satu sisi kita masih harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Indonesia, khususnya mengurangi kemiskinan dan meningkatkan taraf
hidupnya, tetapi di sisi lain kami juga harus menjaga kelestarian lingkungan
kami secara bersungguh-sungguh dan mengelola sebab dan dampak
perubahan iklim atau pemanasan global secara baik, ujar Presiden SBY.
Dalam kondisi seperti itulah kami harus mencapai tujuan kembar. Meskipun
ada masalah, kami akan terus berusaha untuk mengatasi itu, baik dengan
bantuan atau tanpa bantuan masyarakat internasional. Dengan kerjasama
dan bantuan Norwegia terhadap Indonesia dalam mengelola hutan kami,
saya yakin bahwa Indonesia bisa berbuat lebih baik dan mencapai hasil
yang lebih baik juga. Sehingga apa yang kami cita-citakan dan sebagai
kontribusi Indonesia bagi upaya penyelamatan paru-paru dunia, bisa cepat
diwujudkan, Presiden menambahkan.
Rabu, 26 Mei 2010, pukul 20.00
Menghadiri jamuan Makan Malam
Pada malam harinya Presiden SBY menghadiri jamuan santap malam,
atas undangan Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg, di Restoran
Lysebu, Oslo. Hadir pula Pangeran Charles dari Kerajaan Inggris pada
jamuan makan malam tersebut.
Setelah semua tamu hadir, Presiden SBY bersama Pangeran Charles
menjadi tamu pertama yang dipersilakan duduk di meja jamuan. Di meja
bundar Presiden duduk di tempat kehormatan, duduk disebelah PM
Stoltenberg, sedangkan Pangeran Charles duduk di sebelah kanan PM
Stoltenberg.
Sementara Presiden SBY, PM Jens Stoltenbern, dan Pangeran Charles
berdiskusi ringan, tamu-tamu lain dipersilakan masuk dan duduk di ruang
jamuan. Suasana jamuan tampak santai dan hangat, meskipun di luar hujan
mulai turun dan udara dingin menusuk tulang.
Kamis, 27 Mei 2010, pukul 09.00 pagi
Pidato Presiden: Indonesia Berniat Capai Target Emisi Karbon Melalui
Aksi REDD+
Presiden SBY memberikan Pidato Kunci pada pembukaan konferensi di
Saga Hall, Hotel Holmenkolen Rica Park, Oslo, pada hari Kami tanggal 27
Mei 2010. Dalam pidatonya Presiden SBY menegaskan bahwa konferensi
Oslo untuk Kehutanan dan Perubahan Iklim sangat penting. Kita harus
melakukan berbagai upaya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dan
tidak bisa hanya duduk menunggu menunggu terselesaikannya negosiasi
mekanisme REDD+ di bawah UNFCCC, ujar Presiden SBY.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
55
54
Presiden menjelaskan bahwa Indonesia bemaksud mencapai sebagian
besar target pengurangan emisi karbonnya melalui aksi REDD+. Kami
akan mencapai target itu melalui, antara lain, manajemen hutan dan
lahan gambut berkelanjutan. Bekerja sama dengan mitra negara maju,
kami akan melindungi hutan tropis Indonesia yang kaya akan karbon dan
keragaman hayati yang juga penting bagi dunia, melalui upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat lokal, jelas Presiden SBY.
Dalam Pidato Kunci tersebut, Presiden SBY menekankan tiga hal penting.
Pertama, pemimpin dunia harus memajukan Copenhagen Accord. Kita
mungkin memiliki pandangan berbeda mengenai apa yang terjadi di
Copenhagen, tetapi pesan yang bisa diambil sangat jelas, kita harus
membangun momentum. Dua kelompok kerja AWG-LCA (Ad-Hoc Working
Group on Long-Term Cooperative Action) dan AWG-KP (Ad-hoc Working
Group on Further Commitments for Annex I Parties Under the Kyoto Protocol)
harus menyelesaikan tugas mereka tepat waktu untuk Cancun akhir tahun
ini, ujar Presiden.
Kedua, KTT Perubahan Iklim di Cancun, Meksiko, harus bisa menghasilkan
keputusan yang berdaya dan bisa diterapkan. Dalam hal ini, sebuah
keputusan mengenai REDD+ bisa menghasilkan aksi yang harus kita
lakukan. Ketiga, kita harus mengatasi desit kepercayaan yang ada dengan
membangun proses yang terbuka dan inklusif, serta transparan, sehingga
kita bisa membuat lingkungan yang kondusif untuk mencapai tujuan kita di
Cancun, Presiden SBY menandaskan.
Kamis, 27 Mei, pukul 11.00
Konferensi Pers
Usai pembukaan konferensi, Presiden SBY kemudian melanjutkannya
dengan mengadakan konferensi Pers bersama PM Norwegia Jens
Stoltenberg di Hotel Holmenkolen Rica Park, Oslo.
Dalam konferensi pers tersebut Presiden menjelaskan bahwa Indonesia
tidak akan menghentikan produksi kelapa sawit, namun pembukaan lahan
hutan alam akan dihentikan. Kita sudah punya rencana untuk memenuhi
komitmen kami dalam kerjasama Indonesia dan Norwegia ini, untuk
mengurangi emisi karbondioksida dari deforestasi dan degradasi hutan,
kata Presiden SBY.
Pertama, kami punya kebijakan untuk menggunakan lahan terdegradasi
untuk keberlanjutan dan perluasan industri minyak kelapa sawit di Indonesia.
Kami akan mengontrol kegiatan perluasan kebun bagi industri ini, sehingga
tidak mengganggu hutan yang harus dilindungi. Dengan senang hati saya
mengumumkan bahwa kami memiliki banyak lahan yang disebut lahan
terdegradasi yang bisa digunakan untuk usaha pertanian dan perkebunan
kami, termasuk perkebunan kelapa sawit, Presiden menambahkan.
Dalam menjalankan kerja sama dengan Norwegia ini, pemerintah pusat
akan melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat luas, termasuk
komunitas adat untuk menjadi bagian dari kerja sama ini. Kami akan
membuat sebuah lembaga khusus yang akan melibatkan semua elemen
masyarakat ujar SBY.
Lembaga ini, lanjut SBY, akan membantu upaya pemantauan dan verikasi
berdasarkan standar internasioal. Dengan begitu, saya berharap baik
Indonesia maupun Norwegia dapat selalu mengawasi apa yang dilakukan
Indonesia dalam memenuhi kewajibannya, Presiden menerangkan.
Jumat, 28 Mei 2010, 09.00
Pengurangan Emisi Karbon Harus Jadi Agenda Nasional
Sebelum bertolak ke Jakarta pada Jumat pagi waktu setempat, Presiden
mengadakan pertemuan bagi seluruh anggota delegasi dan pers, di
Holmenkolen Rica Park Hotel, Oslo.
Presiden menegaskan bahwa kerjasama Indonesia-Norwegia untuk
mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan harus
berhasil. Persoalan kehutanan ini juga harus diletakkan sebagai salah
satu agenda nasional. Presiden SBY menegaskan hal ini dalam arahannya
kepada delegasi Indonesia yang menyertai kunjungan ke Oslo, Norwegia.
Kemitraan RI-Norwegia ini harus berhasil, kata Presiden sambil
menjelaskan lima pola pikir atau mindset yang harus diterapkan dalam
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
57
56
kerja sama tersebut. Pertama, kerjasama RI - Norwegia ini harus diletakkan
sebagai bagian atau salah satu agenda dalam aksi nasional pemeliharaan
kehutanan, dan bukan sebaliknya.
Kedua, ketika kita menetapkan sasaran pengurangan emisi gas rumah
kaca dalam kerjasama dengan Norwegia ini, angka penurunan emisi itu
harus menjadi bagian dari target pengurangan 26 persen sampai 41 persen
dari proyeksi emisi di 2020, SBY menjelaskan.
Hal ketiga yang harus ditanamkan, meskipun kerjasama kedua negara hanya
menjadi salah satu bagian dari aksi nasional, tapi target pengurangan emisi
ini merupakan sumbangan Indonesia kepada dunia. Ingat, target yang
menyangkut kerjasama pengurangan emisi gas rumah kaca dari hutan ini
disumbang oleh Indonesia, oleh kita semua, Presiden menegaskan. Malu
kalau target yang kita sumbangkan ini, dan sudah diadopsi oleh dunia, lalu
kita tidak berhasil menjalankannya, Presiden menambahkan.
Presiden memberikan beberapa alasan lain mengapa Indonesia tidak boleh
gagal dalam kerjasama ini. Antara lain adalah kenyataan bahwa Indonesia
telah dilihat sebagai pemimpin dalam perjuangan mengatasi dampak
perubahan iklim. Apalagi, Norwegia telah melakukan kerja sama serupa
dengan Brasil dan dipandang telah berhasil. Kalau bisa Indonesia harus
lebih baik dari apa yang sudah dicapai di Brasil, ujar Presiden SBY.
Alasan lain, jika kerjasama RI-Norwegia dalam pengurangan emisi karbon
ini berhasil, kita bisa membuka kerjasama sejenis dengan negara lain.
Arahan ini kemudian ditutup dengan menyanyikan lagu yang diciptakan
secara khusus oleh Presiden SBY sendiri, yang disebut lagu Dari Jakarta
ke Oslo untuk Bumi Kita, dinyanyikan oleh Andi Mallarangeng, Menpora,
dengan bantuan sebuah gitar akustik. Rombongan kemudian bertolak
kembali ke Jakarta tanggal 28 Mei 2010, pukul 11.00 pagi waktu setempat.
Sesampai di Jakarta, saya membaca berita mengenai tanggapan positif
terhadap Penandatangan Kerjasama ini, termasuk dari LSM yang sering
melancarkan kritik. Salah satunya adalah Greenpeace Indonesia yang
disampaikan oleh koordinator kampanye hutan mereka, Bustar Maitar:
Greenpeace menyambut baik pengumuman moratorium oleh Presiden
Yudhoyono menjelang kesepakatan bersejarah ini. Kami berharap, saat tiba
di Jakarta, Presiden akan segera mengimplementasikan Keputusan Presiden
untuk menghentikan semua konversi lahan gambut dan hutan, baik itu izin
konsesi baru maupun yang telah ada.
Hmhm, baru selesai dengan satu kesepakatan kerjasama, sudah ditambah
lagi sasarannya, kata saya dalam hati, Perjalanan yang harus ditempuh
masih panjang.......
ISI SURAT NIAT
Tujuan Kerjasama:
Membatasi kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2C
dibandingkan dengan suhu rata-rata pra-industri.
Menetapkan kebijakan nasional yang menjamin bahwa
kontribusi diluar batas keharusan (BAU), agar tujuan
tersebut tercapai.
Menciptakan kemitraan perubahan iklim, dengan fokus
pada REDD+, melalui
a. Dialog kebijakan tentang kebijakan perubahan iklim
internasional, kebijakan internasional khususnya
REDD+.
b. Kolaborasi dalam mendukung pengembangan dan
pelaksanaan strategi REDD+ di Indonesia.
Tahap 1: Persiapan (Mei-Des 2010)
a. Penyusunan Strategi Nasional REDD+ .
b. Pembentukan Lembaga REDD+, untuk koordinasi
kebijakan dan kegiatan REDD+.
c. Pengembangan strategi MRV untuk emisi dari lahan
hutan dan gambut.
d. Pembuat instrumen pendanaan bagi kegiatan REDD+.
e. Pemilihan propinsi uji coba REDD+.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
59
58
Tahap 2: Transformasi (2010-2013)
Pembangunan kapasitas di tingkat nasional,
pengembangan kebijakan dan penerapan strategi REDD+,
melakukan reformasi pengelolaan hutan, termasuk
penegakan hukum.
Penerapan REDD+ di tingkat propinsi, sebagai uji coba
untuk skala nasional.
Mempersiapkan pengurangan emisi dari lahan hutan dan
gambut yang dapat diverikasi dan dilacak balik sumber-
sumber pengurangannya.
Penerapan mekanisme MRV Tier 3 yang akurat dan tepat
sasaran.
Penundanaan ijin baru pemanfaatan lahan gambut dan
hutan alam selama 2 tahun.
Membangun sistem pengumpulan dan penyimpanan data
mengenai lahan hutan yang terdegradasi dan juga lahan
gambut, mulai dari propinsi yang terpilih sebagai propinsi
uji coba, untuk memfasilitasi kegiatan ekonomi alternatif
di lahan tersebut, yang tidak menyebabkan konversi lahan
gambut atau menimbulkan kerusakan hutan alam.
Penegakan hukum untuk memberantas pembalakan liar,
perdagangan kayu illegal dan kejahatan kehutanan terkait,
serta pembentukan unit khusus untuk masalah tersebut.
Menyelesaikan konik penguasaan lahan hutan dan
gambut, termasuk merancang sistem kompensasi yang
mungkin diperlukan dalam penyelesaiannya.
Tahap 3: Pengurangan emisi yang dapat diverikasi
pengurangan emisi (2014-2016)
a. Indonesia menerima bantuan pendanaan setiap tahun
untuk keberhasilan upaya pengurangan emisi di lahan
hutan dan gambut yang diukur dari proyeksi emisi
berdasarkan perhitungan yang mengacu kepada UNFCCC
dan hasil pengurangan emisi tersebut sudah dilakukan
verikasi secara independen.
b. Penyaluran bantuan pendanaan Norwegia (dan mitra
lainnya yang akan bergabung dalam kemitraan REDD+)
dilakukan oleh instrumen keuangan yang memiliki
reputasi internasional, yang berarti bisa dilakukan oleh
lembaga keuangan Indonesia dengan kemampuan
pengelolaan keuangan yang diakui oleh masyarakat
internasional.
Kerjasama bilateral ini akan dimonitor melalui sebuah Joint Consultation
Group (JCG) yang terdiri dari perwakilan pemerintah Indonesia dan
Norwegia. JCG akan menunjuk sebuah Kelompok Peninjau Independen
yang akan melaksanakan evaluasi tahunan terhadap hasil yang telah
dicapai berdasarkan rencana kerja yang disepakati bersama sebelumnya.
Kelompok Peninjau Independen itu akan melaporkan kepada JCG hasil
evaluasi mereka terhadap pelaksanaan Surat Niat di lapangan, dan laporan
mereka akan disampaikan kepada para pemangku kegiatan REDD+ serta
dapat diakses oleh khalayak luas.
Surat Niat akan berlaku sampai akhir 2016, setelah itu secara otomatis
diperpanjang untuk jangka waktu 4 tahun, kecuali ada pemberitahuan
untuk menghentikan kerjasama ini oleh salah satu pihak melalui saluran
diplomatik.
Rencana kerjasama Indonesia-Norwegia ini dianggap sebagai terobosan
yang unik, sehingga menarik berbagai dukungan dan/atau upaya untuk
mempengaruhi arah kerjasama tersebut.
Salah satu pihak yang mendukung tercapainya kesepakatan kerjasama
dengan Norwegia adalah George Soros dalam kapasitasnya sebagai
anggota United Nations High Level Advisory Group on Climate Financing
(AGF) atau Kelompok Penasehat Tingkat Tinggi PBB untuk Pendanaan
Perubahan Iklim, yang dibentuk oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
61
60
moon. Pada tahun 2010, Soros sampai tiga kali mengunjungi Indonesia.
Menurut pengakuan George Soros sendiri, perjalanan ke Indonesia tahun
2010 adalah perjalanan terbanyak dalam satu tahun ke sebuah negara, yang
pernah dilakukannya.
Pada pertemuan tanggal 10 Mei 2010, George Soros diterima Presiden
SBY di kantor Presiden di Jakarta. Saat itu, George Soros lebih bercerita
mengenai tugas yang diberikan Sekretaris Jenderal PBB kepada dirinya
dan juga kepada Sri Mulyani, Menteri Keuangan saat itu, untuk menggalang
pendanaan bagi upaya pengurangan emisi karbon. Pertemuan pertama
tersebut lebih difokuskan pada pertukaran pandangan mengenai sistem
pendanaan internasional Perubahan Iklim paska COP-15 di Copenhagen,
termasuk bagaimana komunitas internasional dapat mendukung upaya
Indonesia mencapai ambisi penurunan emisi 26% dari proyeksi emisi tahun
2020.
Kunjungan Soros selanjutnya dilakukan pada akhir Juli 2010, sebagai
lawatan pribadi Soros ke Indonesia untuk mengunjungi berbagai kawasan
hutan di empat propinsi, yaitu Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Timur dan Papua. Saat itu Soros bertemu dengan pemerintah provinsi dan
juga para pemuka LSM. Perjalanannya kali ini diakhir dengan pertemuan
singkat dengan Presiden SBY di istana Tampak Siring, Bali. Saat itu saya
menugaskan Asisten saya Yani Saloh untuk mendampingin perjalanan
Soros ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah hingga menemui Presiden SBY
di istana Tampak Siring, Bali. Pada pertemuan ini, George Soros menyatakan
bahwa dia siap untuk berkontribusi dengan uang pribadinya untuk
mendukung kegiatan REDD+ di Kalimantan Tengah. Presiden SBY secara
spontan menolak tawaran pendanaan dari George Soros dan meminta
waktu untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia
bersungguh-sungguh dalam melakukan pengurangan emisi karbon dari
kawasan hutan dan gambut, sekaligus untuk memperbaiki hutan yang
rusak dan melakukan penanaman pohon besar-besaran. Setelah terbukti
berhasil, baru Presiden SBY akan membuka kesempatan kepada George
Soros dan pihak-pihak lain untuk turut mendukung kegiatan REDD+.
Perundingan Perubahan Iklim di Kopenhagen (Desember 2010)
memberikan kewajiban pada negara maju untuk melakukan inisiatif dalam
melanjutkan komitmen yang dituangkan pada Copenhagen Accord.
Komitmen dimaksud utamanya menyangkut mekanisme bantuan
kerjasama global sebesar 3,5 miliar USD per tahun sampai tahun 2012 dan
100 miliar USD sampai tahun 2020.
Bantuan bagi negara tropis sebagian besar difokuskan untuk menurunkan
laju deforestasi dan degradasi hutan (REDD) karena merupakan sektor
penyumbang emisi GRK terbesar dari negara-negara berkembang yang
memiliki hutan.
Pembahasan lebih lanjut mengenai bantuan tersebut dilakukan pada
pertemuan tingkat Menteri di Paris pada tanggal 10 Maret 2010, dan
kemudian dilanjutkan di Oslo pada tanggal 27 Mei 2010.
Pertemuan di Oslo ini dihadiri oleh para Kepala Negara, khususnya yang
terlibat dalam perumusan Copenhagen Accord. Untuk itu pemerintah
Norwegia berkepentingan agar Surat Niat kerjasama Indonesia-Norwegia
(LoI) ditandatangani di acara tersebut, sebagai bentuk wujud nyata dari
komitmen negara maju di Copenhagen.
Hak Masyarakat Adat
Dalam LoI Indonesia - Norwegia disebutkan agar seluruh
pihak terkait, termasuk indigenous people atau masyarakat
adat, masyarakat setempat lainnya dan LSM (sesuai dengan
UU nasional yang berlaku) - diberikannya kesempatan untuk
secara penuh dan efektif berpartisipasi dalam perencanaan
dan pelaksanaan REDD+.
Saya memperlihatkan rancangan akhir LoI tersebut dan
meminta pendapat Abdon Nababan, Sekjen AMAN sebelum
negosiasi akhir dengan Norwegia dilakukan. Tanggapan
tertulis Bung Abdon kemudian disampaikan secara tertulis
kepada Presiden SBY pada tanggal 10 Mei 2010, yang berisi
pandangan umum mengenai masyarakat adat.
Dalam suratnya Abdon menjelaskan bahwa sebagai bagian
dari rakyat dan warga negara Indonesia, Masyarakat Adat
telah dijamin hak-hak adatnya sebagai hak konstitusional
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
63
62
sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 18 B Ayat (2)
dan Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945. Dan bahwa sejak
reformasi bergulir tahun 1998 sampai saat ini, Pemerintah
Indonesia telah melakukan kemajuan yang menggembirakan
dalam pemajuan dan pemulihan hakhak konstitusional
Masyarakat Adat melalui berbagai undang-undang sektoral
dan kebijakan politik desentralisasi dan otonomi daerah
yaitu antara lain yang terpenting:
a. UU No. 22/1999 dan penggantinya UU No. 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah yang memulihkan hak
Masyarakat Adat untuk mengatur dan mengurus dirinya
sendiri dalam bentuk otonomi asli desa atau yang
disebut dengan nama lain sesuai dengan adat budaya
setempat.
b. UU No. 39/1999 tentang Hak Azasi Manusia yang
menegaskan keberadaan hakhak Masyarakat Adat
sebagai hak azasi manusia yang harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat dan Pemerintah
(Pasal 6).
c. UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua sebagai bentuk kebijakan khusus untuk melindungi
hakhak dasar penduduk asli dan Masyarakat Adat di
Provinsi Papua.
d. UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan PulauPulau Kecil yang telah menegaskan adanya
pengakuan dan perlindungan tanpa syarat kepada
Masyarakat Adat, Kearifan Tradisional dan Masyarakat
Tradisional.
e. UU No. 32/2009 tentang Pengelolaan dan Pengendalian
Lingkungan Hidup yang mengakui peran penting
Masyarakat Adat sehingga diamanatkan untuk membuat
kebijakan nasional dan daerah untuk pengakuan dan
perlindungan hakhak Masyarakat Adat dan kearifan
lokal terkait dengan pengelolaan dan pengendalian
lingkungan hidup.
AMAN menyatakan bahwa pada peringatan Hari Internasional
Masyarakat Adat Sedunia 9 Agustus 2006, Bapak Presiden
mengakui keberadaan Masyarakat Adat di Indonesia.
Komitmen Pemerintah Indonesia dalam melanjutkan
reformasi hukum nasional untuk memulihkan hakhak
konstitusional Masyarakat Adat telah dituangkan dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 20102014 yang di
dalamnya telah mengagendakan RUU tentang Pengakuan
dan Perlindungan Hakhak Masyarakat Adat dan RUU revisi
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
AMAN menganggap Pemerintah Indonesia telah turut serta
secara aktif membangun standar internasional, baik dalam
isu HAM maupun dalam isu pembangunan berkelanjutan,
yang di dalamnya antara lain melingkupi isu Masyarakat Adat,
yaitu antara lain yang terpenting adalah ratikasi Konvensi
PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
(UN CERD) dan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman
Hayati (UN CBD), dan yang juga penting adalah dukungan
Pemerintah Indonesia dalam pengesahan Deklarasi PBB
tentang HakHak Masyarakat Adat (UN DRIP) walaupun
dengan catatan penting mengenai implementasinya
di Indonesia, mengingat secara nasional belum ada
pengidentikasian dan pendenisian yang baku tentang
siapa yang disebut Masyarakat Adat di Indonesia.
Arti kunjungan ke Oslo bagi Indonesia
Kunjungan kerja ke Oslo ini merupakan penghargaan penting
terhadap komitmen sukarela Indonesia untuk mengurangi
emisi sebesar 26% dari tingkat bisnis seperti biasa pada
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
65
64
tahun 2020. Konferensi di Oslo ini sejalan dengan keputusan
UNFCCC mengenai REDD+ dan merupakan langkah penting
untuk memajukan proses negosiasi di UNFCCC menuju
Pertemuan Para Pihak UNFCCC ke 16 di Cancun, Mexico
(2010).
Indonesia memahami perlunya upaya sendiri untuk
menghadapi tantangan perubahan iklim. Sebagai negara
berkembang, dan negara kepulauan dengan 17.000 pulau,
penduduk kita akan menghadapi bahaya yang datang dari
dampak perubahan iklim, selain adanya kenyataan bahwa
sebagian penduduk Indonesia hidupnya bergantung kepada
sumber daya alam yang rentan dari sumber daya alam.
Kemitraan REDD+ yang inovatif ini akan memungkinkan lebih
banyak investasi hijau bagi perkembangan ekonomi Indonesia
dan sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca, untuk
membantu upaya memperkuat lembaga-lembaga pemerintah
dan untuk meningkatkan usaha pergurangan emisi karbon.
Sebelum bertolak kembali ke Jakarta, Presiden SBY
memberikan arahan kepada peserta rombongan Presiden
ke Oslo, yang antar lain terdiri dari para menteri, gubernur,
anggota DPR dan Rektor untuk melaksanakan kesepakatan
yang telah dicapai oleh Pemerintah Indonesia dan Norwegia
dalam upaya pemeliharaan hutan dan perubahan iklim.
Presiden SBY menginginkan agar kerjasama pemeliharaan
hutan dan lingkungan, serta upaya untuk mengatasi masalah
perubahan iklim diberikan perhatian yang tajam dan terarah
(fokus) sehingga menghasilkan tindakan nyata yang efektif.
Terutama agar yang telah ditetapkan sebagai program di sektor
kehutanan dapat berjalan dengan baik.
Arahan Presiden sebagai kerangka berpikir dalam
melaksanakan kerjasama bilateral maupun multilateral
dalam mengelola hutan adalah:
1. Kemitraan ini harus diletakkan sebagai bagian dalam
aksi nasional pemeliharaan hutan. Jangan dibalik seakan-
akan ini adalah program internasional semata. Kerjasama
RI-Norwegia adalah bagian utuh dari aksi nasional dalam
pengelolaan hutan kita;
2. Ketika kita menetapkan sasaran pengurangan emisi GRK
dari kemitraan ini, maka angka ini harus menjadi bagian dari
target pengurangan emisi 26% sampai 41% sebelum 2020.
Apabila menggunakan Sumber Daya sendiri dapat dicapai
pengurangan emisi 26%, dan jika dibantu internasional
harapannya adalah bisa mencapai 41%. Mari kita letakan
sasaran itu, dan diperhitungkan dengan seksama agar
kerjasama ini berjalan dengan baik;
3. Kemitraan ini harus berhasil. Mengapa? karena ini
sesungguhnya implementasi dari pertemuan di Kopenhagen.
Secara khusus di Copenhagen Accord ada chapter yang
menyangkut kerjasama pengurangan GRK disumbang oleh
usulan RI dalam Accord tersebut. Kita akan malu kalau ini
diadopsi oleh dunia, tapi tidak berhasil dijalankan oleh kita
sendiri, sementara hal ini demi kepentingan kita sendiri.
Norwegia juga menjalankan kerjasama yang serupa dengan
Brazil, jadi tidak hanya Indonesia;
4. Indonesia harus lebih baik dan lebih berhasil daripada Brazil
dalam memelihara hutan tropisnya. Kenapa harus berhasil?
Karena oleh dunia, Indonesia saat ini dinilai sebagai salah
satu leader dalam urusan Perubahan Iklim. Sebagai contoh,
Achim Steiner (UNEP) dan Hellen Clarke (UNDP) mengakui
peran RI sebagai salah satu leader dalam upaya mencari
solusi terhadap permasalahan Perubahan Iklim. Ini artinya
kita diberi tanggung jawab dan dipercaya oleh masyarakat
internasional, sehingga kita harus bersungguh-sungguh
dalam menjalankan amanah menjadi leader bagi Kehutanan
dan Perubahan Iklim. Selama ini proyek skala nasional yang
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
67
66
kita jalankan untuk Climate Change belum 100% berhasil,
oleh karena itu sekarang adalah saatnya, kita harus 100%
berhasil.
5. Apabila ini berhasil, kerjasama yang sama akan dapat kita
lakukan dengan negara-negara lainnya, karena telah ada
sebuah negara maju yang telah membuktikan keseriusan
untuk melakukan kerjasama ini.
Arahan Presiden SBY sebelum bertolak ke tanah air
Dalam melaksanakan pemeliharaan hutan dan mengatasi
masalah dalam perubahan iklim Failure is not an option kata
Presiden SBY. Faktor kegagalan harus dicegah, misalnya:
Pengorganisasian yang tidak tepat.
Tidak dilibatkan dan diperankannya segenap pemangku
kepentingan baik di pusat maupun di daerah.
Rencana aksi yang tidak workable.
Rencana aksi yang implementasinya tidak maksimum.
Pendanaan yang tidak memadai dan tidak tepat waktu.
Sistem MRV yang tidak credible dan efektif.
Kepemimpinan di garis terdepan, yaitu Bupati atau
Camat, dengan supervisi Gubernur harus berkerjasama
untuk kinerja yang lebih baik.
Timbulnya pemberitaan pers dan pernyataan dari LSM
yang negatif, yang dikarenakan kurangnya komunikasi
antara kita dengan LSM atau Pers, dan kemudian
pemberitaannya dibesar-besarkan, sehingga ditangkap
negatif oleh Norwegia, hal tersebut akan membuat
program kita tampak seperti tidak berhasil. Sangat
penting untuk melakukan komunikasi dan konsultasi.
Apabila ada kritik yang muncul, kita cek faktanya dan
ucapkan terimakasih kepada LSM dan pers.
Pengawasan dilakukan dengan menerapkan sistem
reward dan punishment.
Langkah yang harus dilakukan, antara lain:
1. Membentuk badan pelaksana, yang melapor langsung
ke Presiden.
2. Pembentukan institusi dan sistem MRV, yang secara
internasional dapat diterima, dengan menguatkan aspek
teknologi informasi dan komunikasi (ICT).
3. Penyusunan RAN 2010-2014:
Pengembangan Kapasitas (Capacity Building)
Kegiatan uji coba (Pilot project) di tingkat propinisi
Kegiatan skala penuh di tingkat nasional (Nation
wide)
4. Moratorium pemberian izin baru bagi konversi lahan
gambut dan hutan alam. Hutan menjadi perhatian khusus
pemerintah pusat (Central government), sehingga akan
kita kontrol pemanfaatannya dengan lebih serius.
5. Pengiriman tim untuk studi banding ke Brazil supaya
apa yang kita lakukan tidak saja tepat, bahkan akan lebih
bagus.
6. Segera dilakukan sosialisasi atau komunikasi dengan
dunia usaha yang terkait dengan sektor kehutanan.
7. Konsultasi dan sinergi antar pemerintah pusat dan
daerah harus sampai pada tingkat kabupaten. Karena
pejabat di daerah adalah pejabat yang mengelola
permasalahan di tingkat paling depan.
8. Konsultasi dengan LSM dan komunitas adat yang ada
kaitannya dengan proyek ini. Cari LSM yang dapat
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
69
68
membantu mengatasi masalah (part of the solution).
9. Menetapkan lembaga keuangan yang akan mengurus
pendanaan. Tidak harus lembaga keuangan
internasional, juga bisa lembaga keuangan nasional
sepanjang credible dan akuntabel.
Menko Perekonomian akan melakukan koordinasi keseluruhan kegiatan
ini. Presiden akan melakukan pemantauan kegiatan di lapangan dan
meminta laporan secara berkala. Karena kegiatan ini menyangkut
kehormatan bangsa dan negara, jangan sampai kita dianggap lalai. Upaya
ini semata-mata untuk kemaslahatan rakyat kita dan penduduk sedunia.
tegas Presiden pada penyampaian arahan di akhir kunjungan kerja ke Oslo
tersebut.
Presiden SBY akan langsung meninjau di lapangan, setelah ditetapkan
propinsi dan kabupaten yang termasuk dalam kegiatan uji coba, dengan
kelengkapan informasi mengenai luasan wilyah hutan di dalamnya,
dan rencana program kegiatan serta capaian yang ingin dicapai pada
pelaksanannya.
Presiden minta agar rencana aksi kerjasama dalam pemeliharaan hutan
yang ada kaitannya dalam upaya kita dalam mengatasi permasalahan akibat
perubahan iklim dapat dipresentasikan dan dibahas di Sidang Kabinet
Paripurna.
Presiden mengharapkan agar pemerintah dan pemangku kepentingan
lainnya dapat melibatkan universitas, seperti Universitas Andalas, Institut
Pertanian Bogor (IPB), dan lainnya, agar program besar ini berhasil.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
71
70
Tidak ada konsultan mahal yang
mendampingi para pihak. Tidak ada
botol champagne yang dibuka untuk
merayakan terselesaikannya pembahasan
naskah (draft inpres moratorium) ini.
Yang terdengar adalah ucapan syukur
alhamdulillah, jabat tangan dan wajah-
wajah lega..
Hujan deras mengguyur Jakarta pada
Jumat sore, 14 Januari 2011. Saya bergegas
memasuki gedung Kementerian BUMN,
ditengah lebatnya hujan dan gelapnya langit.
Belakangan ini hujan menjadi suguhan rutin
sore hari di ibu kota. Cuaca yang berubah-
ubah, yang diyakini merupakan akibat dari
Perubahan iklim, juga menyebabkan hujan
lebat yang membuat banjir dan macet.
Sehingga terjadi efek ganda penambahan
emisi gas rumah kaca dari pemborosan
bahan bakar kendaraan, selain menyebabkan
kerugian waktu dan materi.
Dari lantai 18 Gedung BUMN, gelayutnya
mendung terlihat seolah hendak menerkam
Monas yang berdiri tegak. Saat memasuki
ruang kerja sayup-sayup terdengar alunan
suara soprano membawakan Habanera
dari Carmen, bergegas saya mengajak dua
orang Asisten Staf Khusus Presiden bidang
Perubahan Iklim Yani dan Eka untuk rapat
dan mempersiapkan tindak lanjut dari arahan
Presiden pada Rapat Kabinet Terbatas yang
Penerbitan Inpres
Moratorium
BAB 4
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
73
72
dihadiri beberapa Kementerian terkait.
Sambil menyeruput teh panas dicampur tolak angin, saya mempersiapkan
pertemuan dengan para pengusaha kelapa sawit dan kayu untuk
membahas rencana penerbitan kebijakan Moratorium hutan dan gambut.
Pada Rapat Kabinet tadi, Presiden menerima laporan tentang adanya
kekhawatiran beberapa pengusaha kayu dan perkebunan mengenai
potensi terhambatnya investasi industri kayu dan perkebunan bila hutan
dan gambut di moratorium.
Presiden memberikan arahan untuk meminta masukan dunia usaha dalam
penyusunan Rancangan Inpres Penundaan Ijin Baru di kawasan hutan
primer dan meminta untuk memastikan bahwa Kebijakan Penundaan Ijin
Baru tersebut sudah memperhatikan masukan para pelaku industri kayu
dan perkebunan.
Minggu 16 Desember, dari sepuluh institusi mewakili sektor swasta yang
berkepentingan terhadap kebijakan moratorium yang diundang, seperti
APHI, RSPO, Kadin, GAPKI, RAPP, Sinar Mas, APKI dan Rimba Raya
Conservation, delapan menyatakan akan hadir.
Minggu malam staf UKP4 mempertanyakan kenapa rapat mengenai
rancangan kebijakan moratorium diselenggarakan di DNPI. Kami jelaskan
bahwa pertemuan ini diadakan atas perintah Presiden kepada Staf
Khususnya, untuk mencari masukan yang mendalam, khususnya dari
sektor swasta dan pengusaha mengenai rancangan Inpres Moratorium
yang hampir selesai dibahas.
Pertemuan kemudian berlangsung di ruang rapat kecil DNPI pada
Senin, 17 Januari 2011 jam 14:45. Saya mendapatkan kejutan kecil ketika
beberapa peserta yang hadir telah membawa hard copy dari kedua
Rancangan Inpres yang ada, yaitu versi Satgas REDD+/UKP4 dan versi
Kemenko Perekonomian, sarat dengan coret-coretan tangan, catatan
dan pertanyaan. Sejenak saya terhenyak, karena seharusnya rancangan
Inpres yang masih dalam pembahasan internal instansi pemerintah tidak
beredar secara luas karena dapat saja menimbulkan keresahan, akibat
perbedaan harapan dan ketakutan yang tinggi terhadap perihal yang
akan dimoratorium, disamping adanya beberapa perbedaan yang saling
bertolak belakang pada kedua draft tersebut.
Pada awal pertemuan tersebut, ada pertanyaan peserta pertemuan
kepada pemerintah mengenai latar belakang pemilihan kata moratorium.
Bukankah Letter of Intent tidak mengusung moratorium, mengapa
kebijakan ini menggunakan judul moratorium? Bukankah kata moratorium
adalah istilah LSM.
Pertanyaan lainnya yang tak kalah penting adalah Apabila moratorium
terhadap pengelolaan hutan ditetapkan, siapa yang akan menjaga hutan
tersebut? Kepada siapa dan bagaimana mekanisme penggantian ganti
rugi kepada para pemilik konsesi yang akan terkena moratorium?
Sambil menarik nafas dalam-dalam, saya menjelaskan bahwa betul kata
moratorium tidak tercantum di dalam Surat Niat, akan tetapi rencana
pemerintah untuk memberlakukan kebijakan penundaan perizinan baru
tertulis eksplisit di dalamnya. Yang menyebut penundaan perizinan baru
sebagai moratorium adalah aktis LSM, pakar kehutanan dan bahkan
perwakilan dunia usaha. Inpres yang akan ditandatangani oleh Presiden
nanti tidak menggunakan kata moratorium, akan tetapi penundaan
perizinan baru di kawasan hutan primer dan lahan gambut. Maksudnya
sama, yaitu menunda perizinan baru, akan tetapi lebih mudah dipahami,
secara teknis hukum, dan juda dapat diwujudkan di lapangan.
Dalam Rancangan Inpres, yang kopi dari rancangannya mereka miliki,
setiap Kementerian dan Lembaga terkait akan mendapatkan penugasan
yang spesik, termasuk penugasan untuk menegakkan hukum dan
mengawal kebijakan ini di lapangan. Inpres ini akan disertai Peta
Indikatif Moratorium, yang disebut sebagai Peta Indikatif Penundaan
Izin Baru disingkat PIPIB, yang akan diperbaharui setiap 6 bulan sekali.
Semangat yang mendasari perdebatan penyusunan rancangan kebijakan
moratorium perijinan baru ini bukanlah untuk melarang pemanfaatan
hutan dan kawasan hutan, namun lebih kepada upaya untuk memperbaiki
dan meninjau ulang tata kelola hutan.
APHI memandang hutan harus dikelola dan dirawat dengan benar karena
jika tidak akan terjadi open access dan hutan tersebut dapat dijarah oleh
siapapun sehingga muncul kerusakan yang akan menjadi sumber emisi
yang sangat besar. Selama ini yang menjaga hutan adalah pemegang
konsesi hutan, baik HPH atau HTI, bila hutan tersebut tidak diberikan hak
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
75
74
untuk pengelolaan karena izin baru ditunda, lalu siapa yang akan menjaga
keberadaan hutan dan mencegah terjadinya open access?
Penjelasan saya adalah tidak ada perbedaan dalam perlakuan kawasan
hutan yang masih bebas pada saat ini. Namun potensi open access ini
harus ditindaklanjuti dan dilindungi meskipun belum termasuk dalam
rancangan susunan kebijakan penundaan izin baru ini. Inti dari Penundaan
izin Baru ini adalah:
Penataan tata batas hutan
Evaluasi pemberian konsesi dan validitas izin
Pengembangan tata kelola hutan yang lestari dari segi lingkungan
dan ekonomi
Kekhawatiran lainnya dari peserta rapat menyangkut izin-izin yang
sedang diproses penerbitannya, atau sudah berada dalam pipeline
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, apakah juga akan ditunda
penerbitannya? Bagaimana dengan waktu dan biaya yang dikeluarkan,
baik biaya yang sesuai dengan peraturan maupun yang diluar ketentuan?
Pada kenyataanya, hampir semua perizinan membutuhkan biaya ekstra,
yang dalam perspektif tata kelola pemerintahan yang baik, pemberian
dana diluar ketentuan resmi termasuk pada tindakan pemberian suap
atau gratikasi. Pemberian suap atau hadiah untuk mempercepat proses
perizinan adalah praktek yang sering dilakukan pengusaha.
Perdebatan kemudian berlanjut kepada pendapat bahwa biaya-biaya
diluar ketentuan tersebut sejak awal diniatkan oleh pengusaha yang
membiayainya sebagai pemberian uang pelicin, suap atau gratikasi,
sehingga tidak mungkin pemerintah dapat mengganti uang suap atau
gratikasi tersebut. Resiko hilangnya uang suap dan gratikasi adalah
bagian dari resiko bisnis yang diambil dengan penuh kesadaran oleh
para pengusaha. Rekomendasi Bupati atau Gubernur terhadap surat
permohonan pemberian izin, adalah surat dukungan atau rekomendasi
dan bukan izin pengelolaan hutan yang dimintakan, sehingga Pemerintah
Pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, dapat menerima
rekomendasi tersebut dan dapat pula menolaknya. Bila permohonan izin
tersebut sudah mendapatkan Izin Prinsip dari Menteri Kehutanan, maka
pada kebijakan moratorium nanti Izin Prinsip akan diperlakukan sebagai
sudah memiliki izin atau sebagai izin lama yang masih berlaku dan
karenanya akan dikecualikan dari kebijakan Penundaan Izin Baru.
Banyak pandangan keliru yang mengatakan bahwa Moratorium dilakukan
oleh pemerintah untuk pemenuhan Leter of Intent (LOI) antara pemerintah
Indonesia dengan Norwegia. Dengan atau tanpa LoI, hal tersebut tidak
mengubah keputusan Presiden SBY untuk melakukan moratorium bagi
penyelamatan hutan dan gambut.
Penundaan izin baru bagi hutan primer dan gambut, disingkat kebijakan
moratorium, adalah kebijakan untuk mewujudkan pengelolaan hutan dan
gambut secara lestari, yang berarti menurunkan emisi karbon dari kawasan
hutan dan lahan gambut. Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi
gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri atau 41% dengan
bantuan internasional dikemukakan Presiden SBY pada pertemuan
G20 bulan September 2009 dan ditegaskan kembali pada COP-15 di
Kopenhagen, Denmark.
Kebijakan moratorium bertujuan menciptakan jeda waktu untuk
memperbaiki tata kelola hutan dan gambut sebagai pewujudan dari
strategi pembangunan rendah emisi karbon. Kebijakan moratorium
tidaklah dibuat sekedar memenuhi LOI.
Kebijakan Moratorium seharusnya disikapi sebagai kesempatan
untuk memulai langkah menuju good governance. Pengusaha dapat
meninggalkan praktek pengurusan izin di bawah meja dan bersama
pemerintah mewujudkan good governance dalam pengelolaan hutan
dan gambut. Tidak saja good governance akan mengurangi biaya suap
dan gratikasi, pemberian perizinan yang benar juga dapat mengurangi
potensi konik penguasaan lahan di masa depan.
Beberapa pihak yang mewakili pengusaha meminta penundaan
pemberian izin baru dimulai sejak awal proses pemberian izin lokasi
di daerah. Dengan adanya otonomi daerah, kenyataan yang terjadi di
lapangan adalah pengusaha melakukan pembebasan lahan setelah izin
lokasi dikeluarkan oleh Bupati.
Mereka juga minta agar ada kejelasan akan tugas-tugas di setiap departemen
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
77
76
teknis dalam kaitan pemberian ijin dan penegakan hukumnya. Terkait
Peta Indikatif Moratorium, para pengusaha membutuhkan kejelasan
terhadap keluaran peta, karena hal ini berpengaruh disaat menyelaraskan
penundaan izin baru dengan keadaan di lapangan. Masukan mereka
misalnya pembangunan kebun tidak perlu menunggu keluarnya izin
Hak Guna Usaha (HGU), cukup izin lokasi oleh bupati dan lolos AMDAL.
Apabila mengacu kepada kebijakan yang mewajibkan penanaman
pohon dalam waktu 6 bulan setelah izin dikeluarkan, ada peluang untuk
untuk mencabut izin-izin yang ditelantarkan. Penegakan hukum (law
enforcement) harus dilakukan sekuat tenaga, untuk mengawasi kegiatan
pembukaan lahan di lapangan, sehingga pengusaha yang melanggar
hukum dapat dikenakan tindakan hukum. Para pengusaha mengeluhkan
lemahnya penegakan hukum, sehingga mereka yang patuh pada hukum
merugi, sedangkan yang nakal dan melanggar hukum dibolehkan meraup
keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kekuatiran lain dari peserta pertemuan adalah HGU, dimana HGU adalah
terkait dengan hak, sementara yang ditunda adalah izinnya.
Diskusi kami berjalan dengan lancar dan kaya akan informasi lapangan.
Namun karena waktu menujukkan pukul 17:15, terpaksa saya harus
mengakhiri pertemuan ini karena saya harus bersiap-siap untuk
menghadiri acara lain di istana negara. Lega rasanya, tidak satupun wakil
industri dan asosiasi yang hadir menyatakan bahwa Rancangan Inpres
Moratorium Hutan ini akan menyebabkan terhentinya investasi industri
kayu dan perkebunan. Karena masih banyak hal yang perlu dibahas lebih
lanjut, kami kemudian sepakat akan mengadakan pertemuan berikutnya,
setelah kedua rancangan Inpres tersebut di konsolidasi.
Saya kemudian segera meminta Yani untuk merancang Memo kepada
Bapak Presiden dan Sekretaris Kabinet mengenai hasil rapat tersebut.
Saya menambahkan rekomendasi agar upaya ini dapat berjalan maksimal,
maka peraturan perundang-undangan akan lebih efektif dibanding dengan
peraturan pemerintah setingkat Presiden. Hal ini untuk mengakomodasi
tantangan terhadap pelaksanaan reformasi aspek perizinan, pengelolaan
kehutanan, hutan dan lahan gambut yang dapat kembali kepada praktek
business as usual dengan laju deforestasi yang tinggi setelah Pemilu
2014 berlangsung.
Saya kemudian mengundang kembali peserta rapat ini pada hari Senin, 7
Februari 2011, di DNPI, untuk membahas secondary forest dan perizinan.
Dalam pertemuan tersebut, saya menjelaskan bahwa Inpres ini tidak
dimaksudkan untuk membatalkan perizinan yang sudah diberikan.
Sehingga kalau yang mengatakan bahwa Inpres meloloskan berbagai
kegiatan yang sudah berizin, yang sah dan dikelola sesuai dengan
ketentuan, maka memang sudah seharusnyalah kegiatan-kegiatan berizin
tersebut diperkenankan untuk berlanjut dan dibantu, agar pengelolaannya
dapat dilakukan dengan cara yang bersahabat dengan lingkungan,
khususnya perubahan iklim.
Perdebatan Hutan Primer dan Sekunder
Dalam pembuatan Inpres Moratorium ini, permasalahan mengenai
apakah hutan sekunder harus dimasukkan atau tidak adalah keputusan
yang bersifat strategis dan taktis, bukan pilihan antara sesuatu yang
salah atau hal lain yang benar. Keputusan untuk sebuah kebijakan yang
baik haruslah mempertimbangkan kemampuan para pelaksana dalam
penerapan kebijakan tersebut. Dalam keadaan sebagian kewenangan
pengelolaan hutan sudah dialihkan ke pemerintah daerah, tidaklah banyak
instruksi yang dapat diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah bila ingin mencapai tingkat pelaksanaan yang utuh dan konsisten.
Pada jamuan makan malam di rumah Dubes Jerman untuk Indonesia,
sahabat lama yang menjabat sebagai Direktur Konservasi WWF Indonesia,
menghampiri saya untuk berbagi informasi mengenai perlunya hutan
sekunder masuk ke dalam kawasan yang dimoratorium. Sebagai mantan
pimpinan WWF Indonesia tahun 1996-2002, saya memahami keinginan
LSM konservasi untuk melindungi hutan sekunder. Aspirasi yang sama
diusung juga oleh lembaga riset kehutanan internasional seperti CIFOR.
Sesungguhnya, pembatasan Moratorium pada hutan alam primer adalah
hal yang mudah dipahami untuk kurun waktu dua tahun pertama kebijakan
moratorium diberlakukan. Terlebih lagi kegiatan Surat Niat Norwegia dan
Indonesia masih pada tahap yang bersifat persiapan, seperti pembentukan
institusi pelaksana dan pendukung REDD+, perumusan strategi, prioritas
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
79
78
program dan penerbitan aturan pelaksanaannya. Penyelamatan 64 juta
hektar hutan alam primer dari berbagai tekanan penyerobotan lahan dan
usulan revisi Tata Ruang sudah seharusnya menjadi prioritas pemerintah.
Keberadaan hutan alam sebagai penjaga tata air dan pelindung kehidupan
puluhan juta manusia di sekitarnya, adalah alasan yang sangat kuat untuk
memprioritaskan hutan alam primer.
Perdebatan yang bertumpu pada anggapan bahwa memilih Hutan Primer
saja untuk dimoratorium adalah praktek business as usual, karena
sebagian besar hutan primer adalah hutan konservasi dan hutan lindung
yang sudah dilindungi, merupakan pendapat teoritis yang berbeda
dengan kenyataan tantangan di lapangan. Hampir semua pemerintah
daerah mengusulkan pengurangan kawasan hutan dalam kesempatan
melakukan revisi Tata Ruang, khususnya mereka minta diubahnya Hutan
Lindung menjadi hutan yang dapat dikonversi atau sekaligus dikeluarkan
dari kawasan hutan, sehingga perijinannya dikuasai oleh pemerintah
daerah.
Seharusnya energi tidak perlu terkuras untuk berdebat tentang lingkup
kawasan yang akan dimoratorium: apakah hanya hutan primer atau
termasuk juga hutan sekunder ? Mempertahankan 64 juta hektar hutan
primer dan lahan gambut sudah menjadi tantangan yang cukup berat
dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Fokus perhatian perlu segera
dikembalikan kepada bagaimana reformasi pengelolaan hutan dapat terus
dilakukan setelah Pemilu Presiden 2014, yang berarti mempersiapkan
perangkat peraturan yang lebih tinggi dari peraturan di tingkat Presiden,
misalnya UU Perubahan Iklim, Revisi UU Pemerintah Daerah, Revisi UU
Kehutanan dan Revisi UU Tata Ruang.
Selama masa jeda pemanfaatan hutan alam dan gambut, perhatian perlu
diberikan kepada perbaikan pengaturan kelembagaan di Kementerian
Kehutanan, Kementerian terkait yang menangani Tata Ruang dan
pengendalian kebijakan pengelolaan hutan yang menjadi kewenangan
pemerintahan Kabupaten.
Reformasi kelembagaan pengelola dan pemangkuan hutan, khususnya
Kementerian Kehutanan, harus menjadi agenda utama. Tata laksana
perijinan yang lemah perlu segera diperbaiki. Kewenangan tataguna
hutan, perencanaan, pengukuhan, penetapan dan pemanfaatan hutan
dan hasil hutan perlu ditata ulang dengan membangun mekanisme
pengawasan yang terpadu (checks and balances) menuju kearah proses
perizinan yang transparan. Tata laksana pemberian izin pemanfaatan
hutan yang melibatkan Direktorat Jenderal Planologi dan Direktorat
Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan perlu diperkuat untuk
mengurangi potensi kong-kali-kong dan sedekah paksa yang mirip
dengan pungutan liar. Mengutip Lord Acton, absolute power tend
to corrupt absolutely, terjadinya akumulasi kewenangan di Direktorat
Jenderal tertentu di sebuah Kementerian, akan menyulitkan upaya untuk
meningkatkan akuntabilitas.
paragraf di bawah ini tersirat untuk merubah tata laksana atau pelayanan
pengelolaan kawasan hutan sesuai dengan fungsi secara mandiri; yaitu
setiap eselon satu yang menangani fungsi menjadi mandiri dan lengkap
dalam kesatuan fungsi; misalnya dalam fungsi konservasi perencanaan,
pemolaan (planologi-nya), pemangkuan, pemolaan dan perlindungan
serta pencegahan kerusakan hutan konservasi dalam satu direktorat
jenderal. Jadi tidak adalagi pengkajian, inventarisasi, perencanaan dan
pemolaan serta pemantauan yang terpusat dalam satu direkorat jenderal.
Diperlukan pemisahan antara kewenangan sebagai institusi perencanaan,
pengawasan dan kewenangan memberikan izin. Kewenangan perizinan
termasuk melepaskan kawasan hutan, pinjam pakai dan pemanfaatan
kawasan hutan misalnya, dapat dikembalikan kepada Direktorat Jenderal
yang bertugas melakukan pembinaan teknis dan usaha kehutanan, baik
untuk kegiatan pembalakan hutan (HPH), kebun kayu, rehabilitasi lahan,
atau konservasi. Dengan membagi kewenangan ke masing-masing unit
eselon satu yang memiliki tugas dan kompetensi teknis tertentu, dapat
dikembangkan indikator kinerja yang sederhana dan terukur, sehingga
setiap unit pelaksana tugas dapat dinilai keberhasilannya dalam
melaksanakan tugas masing-masing.
Perbaikan tata kelola dapat dilakukan dengan mengubah tata laksana
pengelolaan kawasan hutan secara utuh dan mandiri sesuai dengan
peruntukan tata guna hutannya. Sehingga setiap eselon satu akan
bertanggung jawab dalam penanganan pengelolaan hutan dalam sebuah
kesatuan fungsi secara lengkap, termasuk fungsi perencanaan, pemolaan,
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
81
80
pemangkuan, perlindungan dan konservasi serta pencegahan kerusakan
hutan dalam sebuah Direktorat Jenderal.
Diperlukan pengetatan kriteria pemberian izin usaha termasuk izin
perubahan fungsi kawasan hutan di Kementerian Kehutanan untuk
memastikan perlindungan terhadap aset negara berupa hutan alam yang
bisa mendukung upaya pengurangan emisi dari sektor kehutanan dan
lahan gambut.
Empat buah draft Inpres Moratorium
Rancangan pertama Inpres Moratorium yang disampaikan oleh Ketua
Satgas REDD+ kepada Presiden pada minggu ketiga Desember 2010,
diimbangi oleh rancangan yang disampaikan Menteri Koordinator
Perekonomian dan Menteri Kehutanan dalam kurun waktu sepuluh hari
sesudah rancangan pertama Inpres Moratorium yang disusun oleh Ketua
Satgas REDD+ disampaikan ke Presiden. Keberadaan dua rancangan
Inpres Moratorium menyebabkan para pihak yang terkait menyadari
bahwa musyawarah untuk mufakat dalam merancang Inpres Moratorium
adalah sebuah kebutuhan.
Proses penyusunan rancangan kedua Inpres Moratorium oleh Satgas
REDD+ berlangsung dengan partisipatif dan intensif. Seluruh anggota
Satgas dan pejabat yang diberi kewenangan untuk mewakili dan
mengambil keputusan, terlibat aktif dalam perdebatannya. Densi luas
kawasan dan kewenangan dalam rancangan Inpres Moratorium tersebut
dibahas dua hari berturut-turut sampai lewat tengah malam.
Perdebatan timbul ketika tenggat waktu yang ditetapkan oleh Ketua
Satgas REDD+ tidak dapat dipenuhi karena masih banyaknya perbedaan
pendapat diantara anggota Satgas REDD+. UKP4 dibantu beberapa pakar
hukum membentuk sebuah tim kecil yang merumuskan kesepakatan pada
tingkat gagasan menjadi kalimat-kalimat hukum. Langkah pembuatan
draft ini adalah upaya yang lazim dilakukan pada kegiatan penyusunan
sebuah produk hukum. Namun sayangnya rancangan Inpres hasil
bahasan tim kecil tersebut tidak sempat dibahas di tingkat Satgas REDD+
dan para anggota Satgas tidak dimintakan persetujuan atas rancangan
akhir Inpres tersebut sebelum disampaikan kepada Presiden. Akibatnya
sebagian besar anggota Satgas REDD+ berada dalam situasi menebak-
nebak mengenai rumusan akhir Inpres tersebut sementara menunggu
proses penandatanganan dan penerbitannya.
Sepuluh hari sesudah rancangan kedua Inpres diserahkan Ketua Satgas
REDD+ kepada Presiden kembali muncul rancangan tandingan kedua,
yang ditandatangani oleh Menko Perekonomian, Menteri Kehutanan,
Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala BPN. Sejarah berulang, rancangan
Inpres Moratorium hasil kerja Satgas REDD+ diimbangi dengan rancangan
alternatif yang diproses melalui pembahasan inter-kementerian dengan
paraf Menteri-menteri terkait.
Penerbitan Inpres 10/2011 (Moratorium Hutan)
Sulitnya mencari titik temu bagi kedua Rancangan Inpres menyebabkan
Sekretaris Kabinet Dipo Alam meminta Staf Khusus Presiden bidang
Perubahan Iklim untuk membantu melakukan konsolidasi kedua rancangan
tersebut. Kami menyiapkan matriks perbandingan kedua Rancangan Inpres
tersebut dan membahasnya bersama beberapa staf hukum Sekretariat
Kabinet. Setidaknya 5 (lima) memo telah disampaikan kepada Presiden
SBY dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam, untuk menjelaskan perbedaan
mendasar dan konsekuensi masing-masing rancangan tersebut.
Sebelumnya Wakil Presiden Boediono sempat mengundang pertemuan
koordinasi yang berlangsung dinamis dan sarat dengan pertukaran aspirasi
diantara para pihak. Hadir dalam rapat tersebut beberapa anggota Kabinet
dan eselon satu dari Kementerian terkait. Salah seorang staf Wakil Presiden
menggambarkan situasi waktu itu sebagai pertemuan yang bersemangat,
dengan kepulan asap tampak diatas kepala beberapa pejabat negara
yang bertahan dengan pendapat mereka masing-masing. Menyaksikan
Wakil Presiden memimpin rapat dengan bijak dan tegas, merupakan
pengalaman yang tidak terlupakan. Sebagai arahan di akhir rapat tersebut,
Wakil Presiden berpesan agar Inpres yang akan dikeluarkan nanti tidak
bertentangan atau harus sesuai dengan Undang-undang dan peraturan
yang berlaku.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
83
82
Sulitnya menemukan kesepakatan diantara instansi terkait terhadap
rancangan Inpres menyebabkan proses penyelesaian masalah dua
rancangan Inrpes tersebut berlarut-larut. Keresahan mulai timbul, baik
di kalangan pihak terkait di dalam negeri maupun di luar negeri. Pada
pertemuan-pertemuan internasional, termasuk dalam pertemuan
Business for Environment (B4E) Global Summit di Hotel Shangri-La
Jakarta tanggal 28 dan 29 April 2011, pertanyaan yang saya terima dari
banyak peserta hanya satu, yaitu apakah Pemerintah Indonesia akan
mengeluarkan kebijakan moratorium hutan.
Pemerintah sangat mendukung niat untuk mengembangkan kelapa sawit
pada lahan-lahan yang terdegradasi tanpa mengorbankan hutan alam
atau lahan gambut. Presiden SBY menantang para pelaku usaha pada
pertemuan tahunan Business for the Environment Global Summit (B4E)
di Hotel Shangri La, Jakarta pada tanggal 28 April 2011, agar pengusaha
memberikan solusi transformatif karena pemerintah memerlukan
sebuah skema besar yang melibatkan kebijakan pemerintah, kerjasama
internasional, insentif pasar, inovasi teknologi, partisipasi masyarakat
madani dan pelaku usaha. Dalam pidatonya Presiden menyebutkan This
is where you as captains of industry can make signicant contributions. You
do not have to wait for the multilateral negotiations to produce a new global
climate treat: you can start to act now to make a difference.
Dalam pidatonya pada acara B4E tersebut, Presiden SBY mengatakan
bahwa untuk mengamankan iklim global, kita membutuhkan sebuah
skema besar yang melibatkan kebijakan pemerintah, kerjasama
internasional, insentif pasar, inovasi teknologi, dan partisipasi masyarakat
sipil.
Presiden SBY menyebutkan bahwa Indonesia siap untuk menjaga
pertumbuhan ekonomi tetap tinggi dan berperan sebagai bagian dari
solusi masalah iklim global. Dengan mantra ekonomi yang sering beliau
ulang pada berbagai kesempatan yaitu: pro-growth, pro-job, pro-poor,
pro-environment dan pro-bisnis, Indonesia mengalami pertumbuhan
nomor tiga paling tinggi diantara 20 negara dengan ekonomi terbesar
di dunia (G20). Presiden SBY juga menyatakan pentingnya growth with
equity, yang inklusif dan berkelanjutan.
Ada banyak bola yang harus dijaga agar tidak jatuh berserakan. Meskipun
hal tersebut sulit, tetap harus dilakukan (Its a lot of balls to juggle with,
but its a necessary challenge). Saya yakin Indonesia bisa mengembangkan
ekonomi hijau untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7%, sekaligus
menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dari skenario bisnis
seperti biasa pada tahun 2020. Untuk mencapai tujuan tersebut,
Indonesia bersungguh-sungguh melakukan pengurangan emisi dari
sumber terestrial; seperti hutan dan lahan gambut ucap Presiden dalam
pidatonya pada acara B4E tahun 2011.
Yang dimaksud sebagai bola-bola yang harus dijaga agar tidak jatuh
berserakan adalah komitmen Presiden SBY untuk melakukan beberapa
hal secara bersamaan, yaitu:
1. Melindungi sisa hutan alam, seluas 64 juta hektar atau tiga kali luas
Inggris.
2. Meningkatkan dan memperluas kegiatan ekonomi, termasuk
membangun infrastuktur dan meningkatkan konektitas diantara
wilayah Indonesia
3. Menurunkan emisi melalui kegiatan ekonomi dan teknologi rendah
emisi karbon
4. Memberantas korupsi, melakukan reformasi birokrasi, meningkatkan
esiensi dan efektitas pemanfaatan anggaran (APBN).
Data Kementerian Kehutanan menunjukkan Indonesia memiliki lebih
dari 30 juta lahan yang telah terdegradasi (rusak akibat salah kelola di
masa silam) yang dapat digunakan untuk kegiatan pembangunan yang
berkelanjutan. Lahan hutan yang rusak ini dapat dimanfaatkan untuk
perluasan kegiatan pertanian, baik untuk ketahanan pangan, maupun
untuk kegiatan ekonomi masyarakat seperti perkebunan kelapa sawit,
kopi, karet, kayu manis, cengkih dan lain-lain. Pengelolaan lahan hutan
yang rusak dapat dilakukan dengan melakukan rehabilitasi menjadi hutan
kembali melalui penanaman pohon besar-besaran atau pemberian konsesi
restorasi ekosistem kepada pihak swasta baik yang mencari keuntungan
maupun yang nirlaba, atau lahan tersebut dapat dimanfaatkan menjadi
kebun kayu atau kebun-kebun komoditi pertanian lain yang memberikan
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
85
84
tambahan penghasilan untuk masyarakat setempat sehingga tekanan
untuk menebang hutan alam yang tersisa bisa dikurangi.
Indonesia telah menunjukkan kepemimpinan pada perubahan iklim dan
telah memberikan kontribusi nyata untuk menanggulangi perubahan iklim
global. Sebagai salah satu dari banyak pejabat pemerintah yang terlibat
dalam kebijakan lingkungan di Indonesia selama sekitar enam tahun, saya
bangga turut serta melakukan perjalanan panjang untuk menyelamatkan
planet bumi dan untuk meningkatkan kesejahteraan generasi mendatang.
Dalam hal pengelolaan hutan, saat ini kita telah bergerak ke arah yang
benar, menuju pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan rendah karbon.
Semoga arah pembangunan di masa depan dapat terus dijaga untuk tidak
berubah kembali kepada praktek pembangunan yang merusak hutan dan
gambut bagi keuntungan segelintir pemilik modal.
Kita, anda dan saya, memiliki tanggung jawab untuk mewariskan bumi
yang sehat, ekosistem yang terjaga dan layak dihuni bagi anak dan cucu
kita di masa depan.
Presiden meminta agar Inpres segera dinalkan.
Saya bergegas ke kantor Seskab pada hari Rabu, 18 Mei 2011, pukul 17:00
sore, setelah membatalkan janji dengan dokter gigi. Sebuah pertemuan
digagas oleh Sekretaris Kabinet sore itu untuk melakukan nalisasi
rancangan Inpres.
Pertemuan tersebut dipimpin oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam.
Hadir pada pertemuan itu adalah Menteri Kehutanan Zulkii Hasan,
Sekjen Kemenhut Hadi Daryanto, Dirjen Planalogi Kehutanan Bambang
Soepijanto, Deputi Perenonomian Sekretaris Kabinet Retno Puji Budi
Astuti, saya sendiri dan Asisten Staf Khusus Presiden bidang perubahan
Iklim Yani Saloh, serta beberapa staf teknis lainnya.
Pembahasan rancangan akhir di ruang rapat Sekretaris Kabinet
berlangsung alot. Hal-hal yang menjadi perdebatan diantaranya adalah
keinginan Kementerian Kehutanan untuk memasukan kata konversi
kedalam judul yang kami mintakan agar di drop. Berdasarkan UU
Kehutanan No. 41/1999, pengunaan kata konversi mengacu kepada
kewenangan Kementerian Kehutanan untuk memberikan izin konversi
hutan, sehingga bila istilah konversi ini masuk dalam judul, maka jumlah
hutan yang dilindungi akan menjadi lebih sedikit. Mendekati pukul 19.30,
Menteri Kehutanan menyetujui dicoretnya kata konversi dari judul
Inpres.
Pasal berikutnya adalah memperjuangkan Penundaan izin baru dilakukan
di Hutan Primer dan Gambut (semua gambut) yang berada di Hutan
Konversi, Hutan Lindung, Hutan Produksi dan Areal Pengunaan Lain.
Termasuk memperjelas jenis izin yang ditunda dengan pengecualian
permohonan yang telah mendapatkan persetujuan prinsip dari Menhut;
pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: geothermal,
minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu;
Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan
hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku
dan Restorasi Ekosistem.
Secara khusus kami meminta agar Restorasi Ekosistem dimasukan
kedalam pengecualian yang dimoratorium, agar Inpres ini dapat
meningkatkan efektivitas pengelolaan lahan kritis (hutan sekunder),
dengan memperhatikan kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut
yang baik, yaitu melalui restorasi ekosistem.
Hal penting lainya adalah pasal pembuatan peta, yang menjadi dasar
utama dari pelaksanaan dari Moratorium ini. Kementerian Kehutanan
menginginkan penugasan pembuatan peta ini diberikan kepada mereka
berdasarkan Undang-undangan Kehutanan. Disisi lain, ada keinginan
agar Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional menjadi salah
satu instansi yang mempersiapkan peta indikatif moratorium ini, bersama
Badan Pertanahan Nasional dan Satgas REDD+.
Dengan masuknya peran Bakosurtanal, maka pembuatan dan pembaruan
peta tutupan hutan dan lahan gambut diharapkan dapat lebih mudah
diintegrasikan kedalam berbagai peta rujukan untuk semua instansi,
sesuai arahan Presiden SBY pada Sidang Kabinet bulan Desember 2010.
Rancangan akhir Inpres ini kemudian mengalami beberapa perubahan.
Setelah revisi ke-3 selesai dipersiapkan oleh staf Sekretariat Kabinet,
rancangan tersebut dibaca ulang oleh Menteri Kehutanan dan diperiksa
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
87
86
kata demi kata oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan. Staf
Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim juga turut membaca naskah
ketiga tersebut dan yang terakhir memeriksa adalah staf Sekretariat
Kabinet.
Selang beberapa menit kemudian Black Berry saya bergetar. Yani
bertanya, Pak, are you sure, pelaporan pelaksanaan Inpres ini hanya oleh
Kemenhut? Saya menjawab pesan singkat tersebut: Saya terpikir untuk
meminta UKP4 dan Satgas REDD+ dimasukkan sebagai pihak yang juga
harus melaporkan pelaksanaan Inpres.
Saya kemudian menyampaikan gagasan ini kepada Menteri Kehutanan
agar dalam pasal pemantauan dan pelaporan pelaksanaan Inpres tersebut
ditambahkan peran UKP4 dan Satgas REDD+. Sekretaris Jenderal
Kementerian Kehutanan dengan cepat merespon positif gagasan tersebut
sehingga rancangan ketiga ini kemudian di revisi lagi, menjadi:
Pemantauan pelaksanaan INPRES ini akan dilaporkan hasilnya
kepada Presiden oleh Menteri Kehutanan, Kepala UKP4 dan atau
Ketua Satgas REDD+ atau Ketua Lembaga yang akan dibentuk
untuk pengelolaan REDD+.
Pukul 20:30 semua pihak yang berada di ruang rapat Sekretaris Kabinet
tersebut setuju untuk menggunakan rancangan revisi ke-4 sebagai
rancangan akhir Inpres untuk dimintakan tandatangan Bapak Presiden.
Setelah rancangan ini dicetak, dilakukan verikasi ulang oleh Sekretaris
Jenderal Kementerian Kehutanan, diberikan paraf dan kemudian diprint
diatas kertas berlogo Garuda. Naskah yang dicetak diatas kertas khusus
tersebut lalu diparaf oleh Menteri Kehutanan.
Hilang sudah beban berat yang menggantung beberapa bulan sejak
pembahasan awal naskah Inpres Moratorium ini dilakukan. Sakit
gigipun sejenak terlupakan. Sebelum meninggalkan lantai dua gedung
Sekretariat Kabinet tersebut, peserta rapat menyantap makan malam nasi
kotak Padang ditemani segelas air putih.
Tidak ada konsultan mahal yang mendampingi para pihak dalam
perdebatan kata dan kalimat dari naskah ini. Tidak ada botol champagne
yang dibuka untuk merayakan terselesaikannya pembahasan naskah
ini. Yang terdengar adalah ucapan syukur alhamdulillah, jabat tangan
dan wajah-wajah lega dari sekitar dua puluhan orang termasuk Menteri
dan pegawai non-staf yang membantu menyiapkan konsumsi dan
memperbanyak berkas-berkas rapat.
Ada dua pelajaran yang dapat diambil dari insiden yang menghasilkan
empat buah rancangan Inpres Moratorium tersebut. Yang pertama
adalah pentingnya mengupayakan konsensus diantara anggota Satgas
terhadap rancangan Inpres Moratorium yang disusun bersama. Kedua,
diperlukannya penguatan komitmen berbagai Kementerian yang terlibat
di Satgas sehingga rencana Presiden untuk mewujudkan Pembangunan
Ekonomi Rendah Karbon dapat diterjemahkan kedalam berbagai
kebijakan operasional yang terkait erat satu dengan yang lain dan saling
mendukung.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
89
88
Beberapa pihak berharap bahwa dengan
satu atau dua Peraturan Presiden baru,
pemerintah memiliki peluru ajaib yang
mampu menyulap penyelesaian semua
permasalahan lingkungan
Inpres 10/2011 yang dikeluarkan pada
tanggal 20 Mei 2011 ini menuai kritik dan
pujian dari para pemerhati hutan, melalui
berbagai kajian dan diskusi publik, dari
tingkat nasional hingga internasional. Begitu
populernya Inpres ini, sehingga situs internet
Sekretariat Kabinet yang rata-rata hanya
dikunjungi ratusan pengunjung sehari, disaat
Inpres diterbitkan jumlah pengunjungnya
naik tajam dan memecahkan rekor tertinggi
dalam sejarahnya, hingga 3,000 pengunjung
dalam sehari dan le Inpres tersebut diunduh
dari berbagai negara lain.
Rilis dan pernyataan terhadap Inpres
Moratorium Hutan ini mengalir deras, dari
mendukung hingga mengkritik, mulai dari
politikus, LSM, asosiasi pengusaha hingga
lembaga riset, sebutlah Walhi, Greenpeace,
CIFOR (Center for International Forestry
Research), AMAN (Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara), WWF Indonesia, HuMa,
Kolisi Masyarakat Sipil, GAPKI (Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), dan WRI
Pujian dan Kritik
terhadap Inpres
Moratorium
BAB 5
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
91
90
(World Resources Institute).
Kebijakan Inpres Moratorium Hutan yang merupakan bagian dari
komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada 2020
sebesar 26% dari skenario bisnis seperti biasa ini dikaji oleh para pihak dari
sudut pandangan yang berbeda-beda dan dengan harapan yang berbeda-
beda pula. Dalam rilis resminya WWF Indonesia menyatakan bahwa Bagi
WWF, pelarangan pembabatan dan pembukaan hutan primer dan lahan
gambut selama dua tahun kedepan merupakan landasan yang kuat bagi
Indonesia untuk menuju perekonomian rendah karbon, jelas Efransjah,
Direktur Eksekutif WWF-Indonesia.
Sementara World Resources Institute (WRI) sebagai think-tank
dan organisasi penelitian lingkungan hidup berpusat di Washington DC,
Amerika Serikat, melihat moratorium hutan sebagai kesempatan bagi Hutan
dan Industri, dan waktu bagi pemerintah Indonesia untuk memperbaiki
tata kelola hutan, termasuk penggunaan lahan dan penerbitan izin baru
baik di kawasan hutan maupun areal penggunaan lain (APL), sekaligus
mewujudkan sasaran pengurangan emisi karbon dan peningkatan produksi
kelapa sawit sebanyak dua kali lipat pada tahun 2020.
Pernyataan yang sangat berbeda datang dari GAPKI yang dalam
berbagai forum memprotes keras Inpres Moratorium Hutan ini. GAPKI
menolak moratorium hutan dengan alasan kebijakan tersebut akan
menghambat pertumbuhan industri sawit.
Moratorium sebagai penyempurnaan tata kelola hutan
Dua tokoh CIFOR menyatakan bahwa revisi PIPIB dapat meningkatkan
dan menguatkan kebijakan moratorium guna penyempurnaan tata kelola
hutan. Waktu dua tahun moratorium terasa sangat sempit untuk membuat
langkah-langkah besar, karena itu dalam kurun waktu yang demikian
singkat diperlukan langkah-langkah strategis. Oleh karena itu penentuan
kebijakan dan tindakan yang terkait dengan perbaikan tata kelola hutan dan
lahan gambut menjadi penting. Sementara itu moratorium dapat menjadi
batu loncatan ke arah itu sambil mengantisipasi hambatan-hambatannya
ujar Frances Seymour dan Daniel Murdiyarso, CIFOR.
Moratorium Perijinan Baru di Kawasan Hutan Primer merupakan
langkah strategis diawal perjalanan perbaikan tata kelola hutan dan lahan
gambut. Dimulai dengan kawasan hutan alami, yang sering disebut sebagai
hutan primer, dan kemudian dikembangkan lebih luas lagi dengan kawasan
hutan yang sudah pernah diolah atau sudah rusak karena pengelolaan yang
buruk di masa silam.
Karena Inpres 10/2011 bukan tujuan akhir dalam melakukan
perbaikan pengelolaan hutan dan gambut, melainkan alat atau sarana
untuk mencapai tata kelola hutan dan gambut yang lebih baik, sisa
waktu moratorium yang tinggal satu tahun ini perlu dimanfaatkan secara
maksimum. Salah satu peluang dari manfaat PIPIB adalah tersedianya
informasi perizinan yang lengkap, cermat, dan mutakhir. Dengan informasi
ini masyarakat luas dapat melakukan koreksi terhadap kesalahan
penetapan batas dan klasikasi kawasan hutan. Proses pemutakhiran PIPIB
juga sekaligus dapat dimanfaatkan untuk melakukan revisi zonasi kawasan
gambut yang belum dibebani perijinan, termasuk kawasan hutan alam
primer di tanah mineral yang ditunda penerbitan izinnya.
Sementara di dalam tubuh anggota Satgas REDD+ sendiri terdapat
perbedaan pendapat terhadap Inpres tersebut. Tiga minggu setelah Inpres
Moratorium Hutan diterbitkan, tepatnya 8 Juni 2011, saya menuliskan email
kepada beberapa Staf Khusus Presiden (SKP). Email reeksi tengah malam
tersebut lebih untuk berbagi pengalaman, kekecewaan dan kejengkelan
selama beberapa bulan terakhir. Pokok cerita dalam email tersebut adalah
kritik dari Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil (CSF) kepada pemerintah
(baca Presiden), mengenai Inpres 10/2011 dalam sebuah Konferensi
Pers yang diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 2010. Koalisi untuk
menyelamatkan hutan Indonesia dan Iklim Global ini terdiri dari WALHI,
HUMA, Greenpeace, Sawit Watch, JATAM, Debt Watch, BIC dan ICEL.
Salah satu Anggota Satgas REDD+ yang juga pejabat eselon I salah
satu kementerian lewat email menyampaikan bahwa beliau sudah membaca
pemberitaan Kompas dan menilai bantahan saya cukup kondusif. Namun
pejabat eselon I dari kementerian lain menyalahkan saya karena isi Inpres
tersebut menurutnya terlalu mengakomodir keinginan sebuah kementerian
saja. Ketika bertemu dalam satu acara di Istana Negara tanggal 6 Juni 2011,
pejabat tersebut mengatakan: Kan kamu yang negosiasi dan kompromi
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
93
92
dengan kementerian tersebut. Ya kamu lah yang harus jawab kritikan LSM,
kalau keinginan saya mengenai Moratorium Hutan sih lain.
Pernyataan yang menempatkan saya sebagai pihak yang harus
menjawab kritik LSM, adalah ironi yang selalu hadir pada perdebatan
moratorium hutan dan gambut. Alih-alih meyakinkan atasannya bahwa
rancangan Inpres yang dibuat Satgas REDD+ adalah yang paling baik,
pejabat tersebut memilih menyalahkan saya karena membantu Sekretaris
Kabinet menyelesaikan proses penerbitan Inpres, ditengah kebingungan
akibat penyampaian empat buah rancangan Inpres Moratorium kepada
Presiden.
Disaat Presiden dikritik atas Inpres yang ditandatanganinya, justru
para pejabat yang diangkat dan ditugaskan untuk menangani hal tersebut
memilih diam, seakan lepas tangan. Sehingga pada tanggal 7 Juni 2011 sore,
saya mendukung gagasan Asisten Staf Khusus Presiden bidang Perubahan
Iklim untuk mengatur pertemuan antara Sekretaris Kabinet dengan Koalisi
LSM sehingga untuk mendengar secara langsung kritik mereka tentang
Inpres Moratorium dan sekaligus memberikan tanggapan.
Seharusnya inisiatif dialog dengan Koalisi LSM ini datang dari Satgas
REDD+ atau Menteri terkait. Kebutuhan untuk mengadakan pertemuan
antara Satgas REDD+ dengan Koalisi LSM ini sudah disetujui pada rapat
Satgas REDD+ dua minggu sebelumnya. Namun tidak ada tindak lanjut
sampai Koalisi Masyarakat Sipil tersebut menyelenggarakan konferensi
pers dan menyampaikan butir-butir kritik mereka melalui media massa.
Sebuah pertanyaan reeksi: Dalam situasi yang sarat dengan
plintiran, kiat apa yang bisa digunakan untuk menerbitkan kebijakan yang
baik dan benar? Pemilu 2014 masih jauh, tetapi banyak pejabat negara,
politisi, pengusaha bahkan aktis LSM memilih diam ketika Presiden
dikritik untuk kebijakan yang harus diambilnya demi kemaslahatan orang
banyak dan keselamatan generasi yang akan datang.
Inpres sebagai politik pencitraan dan berbiaya tinggi: Rp. 35 Miliar
Salah satu pernyataan Koalisi LSM mengatakan bahwa Inpres
tersebut jauh dari niat baik untuk menyelamatkan hutan alam yang tersisa
karena pemerintah Indonesia memiliki kecenderungan melindungi
kepentingan pengusaha saja. Inpres tersebut adalah skenario politik
pencitraan yang berbiaya mahal untuk melindungi business as usual
deforestasi di Indonesia dan mengabaikan status hak dan ruang kelola
masyarakat adat terhadap hutan. Pemerintah dianggap gagal dalam
mengelola hutan untuk kemakmuran rakyat, yang ditandai dengan semakin
ekspansifnya eksploitasi sumberdaya hutan yang tersisa untuk kepentingan
industri negara maju.
Salah satu pernyataan yang tidak saya tanggapi adalah tuduhan
bahwa biaya pembuatan Inpres 10/2011 telah menghabiskan dana Rp 35
miliar. Pada Konperensi Pers Koalisi LSM tersebut Teguh Surya dari WALHI
mengatakan bahwa biaya pembuatan Inpres Moratorium 4 (empat) kali
lebih mahal dari biaya pembuatan rancangan undang-undang inisiatif DPR
RI, karena telah menelan biaya sekitar Rp. 35 miliar.
Hal itu kemudian diungkapkannya kembali pada acara diskusi publik
mengenai Moratorium yang diselenggarakan oleh Kemitraan. Tudingan
tersebut sempat dibantah oleh Yani Saloh dengan mengatakan bahwa
biaya penyelesaian pembuatan Inpres ini hanya sebanyak konsumsi rapat
yang berbentuk nasi kotak dan dinikmati ramai-ramai bersama Menteri
Kehutanan dan Sekjen Kemenhut. Hingga kini, setiap kali kami menerima
konsumsi rapat berbentuk nasi kotak dari restoran Padang, teringat kami
pada ironi dituduh memboroskan biaya sampai puluhan miliar oleh LSM.
Sayang sekali, bantahan mengenai hal ini tidak pernah dibuat oleh
UNDP atau UKP4 sebagai pihak yang mengelola dana Norwegia dan oleh
karenanya berkewajiban untuk melakukan klarikasi terhadap tuduhan
tersebut.
Anehnya, beberapa tokoh LSM terlibat aktif dalam diskusi dan
perdebatan penyusunan kebijakan moratorium di dalam Satgas REDD+,
tetapi mereka menyampaikan kritik terhadap kebijakan moratorium
tersebut seakan mereka tidak tahu menahu atau dilibatkan dalam proses
pengambilan keputusannya.
Dalam kasus ini, perilaku LSM yang terlibat aktif dalam kegiatan
satgas REDD+ mirip dengan kelakuan partai politik yang menjadi
anggota koalisi pemerintah. Perilaku Partai Politik yang mengambil sikap
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
95
94
berseberangan dengan pemerintah di rapat DPR, meskipun mereka adalah
bagian dari pemerintah yang berkontribusi dalam persiapan kebijakan
pemerintah yang kemudian dikritik oleh DPR dan menjadi berita di media
massa.
Negara dengan 240 juta penduduk ini terasa sangat sepi ketika kritik
menyerang Presiden untuk sebuah inisiatif yang tidak hanya niatnya baik,
bahkan hasilnya awalnya pun sudah membesarkan hati, dengan adanya
dukungan satu miliar dollar, yang bukan utang dan bukan pula perdagangan
karbon.
Untuk permasalahan yang mengandung kesenjangan harapan
yang besar diantara para pihak, seperti halnya permasalahan moratorium
hutan dan gambut, mengusulkan jalan tengah adalah upaya kompromi
yang justru dimusuhi oleh semua pihak. Posisi jalan tengah dianggap
sebagai kekalahan oleh setiap pihak, karena yang mereka inginkan adalah
diterbitkannya posisi mereka sebagai Instruksi Presiden. Baik WALHI
maupun GAPKI, melihat Inpres 10/2011 sebagai kemenangan di pihak
yang berseberangan dan mereka tidak ingin mengakui bahwa kebijakan
Presiden tersebut adalah posisi tengah yang realistik.
Luasan Hutan yang di moratorium
Koalisi ini mengemukakan sejumlah bukti dan analisa mengenai
Inpres 10/2011 tentang Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut. Hal
yang baru adalah penjelasan peta indikatif dan rincian luas hutan primer,
juga lahan gambut (peat-land) hasil pengolahan data Kementerian
Kehutanan dan data inderaja tahun 2006 yang mereka lakukan sendiri
perhitungannya.
Menurut mereka dari (1) hutan primer tersisa hanya sekitar 45 juta
Ha; (2.) Tambahan perlindungan atas hutan primer hanya sekitar 8,787,479
Ha; karena ada 12,452,548 Ha dari hutan primer sudah dibebani hak (HPH,
HTI, Kebun Sawit dan Tambang Batubara); sedangkan 24,113,366 Ha berada
di wilayah konservasi dan lindung. Sedangkan untuk lahan gambut (non
hutan) yang totalnya 9,190,991 Ha, terbagi dalam 7,265,546 Ha sudah
dibebani ijin, yang artinya sekitar 1,925,445 Ha belum dibebani ijin.
Kiki Tauk, dari Greenpeace Indonesia menyatakan bahwa Peta
Indikatif Penundaan Izin Baru yang menjadi bagian dari Inpres No.10/
2011 menemukan hanya 45.509.755 ha hutan dan gambut yang tercakup
dalam peta tersebut. Angka tersebut jauh dari luas area yang disebutkan
pemerintah yaitu sebesar 64 juta ha. Itupun hanya kurang lebih 31 juta
ha yang benar masuk dalam rencana moratorium karena sisanya adalah
kawasan konservasi yang sudah dilindungi secara hukum. Masih dari
Greenpeace Indonesia, Yuyun Indradi, Juru Kampanye Politik Hutan
Greenpeace: Melihat Inpres tersebut, bisa dipastikan Indonesia akan tetap
menjadi Global Leader dalam perusakan hutan dan pelepasan emisi
gas rumah kaca. Mengabaikan peluang peningkatan produktitas dan
membiarkan perusakan hutan bukanlah jalan yang tepat untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan tegasnya lagi.
Sementara Bernadinus Steni, Koordinator Program HuMa menyoroti
soal transparansi dan akuntabilitas utnuk menilai apakah Presiden dan
Kementerian Kehutanan cukup serius menahan laju deforestasi dan
menurunkan emisi dari deforestasi serta timbunan konik yang muncul
dari pola penguasaan hutan yang timpang.
Kesimpulan Koalisi LSM, Inpres ini jauh dari niat baik untuk
menyelamatkan hutan alam dan cenderung melindungi kepentingan
pengusaha. Mereka meragukan Inpres moratorium hutan dapat mewujudkan
komitmen penurunan emisi sebesar 26% - 41% pada tahun 2020. Mereka
juga melihat menjauhnya harapan untuk memperbaiki tata kelola hutan
dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang kehidupannya bertumpu
pada sumber daya hutan.
Moratorium adalah pepesan kosong
Meminjam istilah salah seorang aktis LSM bahwa Moratorium
adalah pepesan kosong, perlu disegarkan ingatan bahwa Inpres
Moratorium bagian dari komitmen Presiden SBY untuk mengurangi emisi
yang bersumber dari kawasan hutan dan gambut. Inpres ini merupakan
kebijakan pertama yang pernah dilakukan oleh Indonesia (setelah memiliki
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
97
96
6 Presiden) yang kemudian akan disusul dengan beberapa kebijakan
lain terkait dalam kerangka perbaikan tata kelola hutan dan gambut di
Indonesia. Tujuannya adalah melakukan pembangunan ekonomi tanpa
banyak menghasilkan emisi karbon.
Data Kemenhut (Mei 2011), menyebutkan luas Kawasan Hutan
Indonesia adalah 133,5 juta ha. Inpres ini menunda perijinan baru pada
hutan primer dan lahan gambut seluas 72 juta ha di Kawasan Hutan dan
APL (Area Penggunaan Lain). Batas-batas hutan primer dan gambut yang
masuk kedalam lingkup Inpres ini tercantum pada Peta Indikatif Penundaan
Ijin Baru (PIPIB) yang merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari
Inpres 10/2011 tersebut.
Dilihat dari prosentase luasan daerah yang ditunda perijinannya. Luas
hutan yang dimoratorium ini mencapai 72 juta hektar, atau sama dengan
tiga kali luas negara Inggris. Inpres ini juga memberikan kesempatan pada
kegiatan ekonomi seperti perkebunan, pemukiman dan pertambangan di
kawasan hutan yang sudah rusak, atau yang sering disebut sebagai hutan
sekunder. Kemenhut mencatat terdapat lebih dari 30 juta hutan yang sudah
rusak yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan
ekonomi.
Dalam kaitannya dengan penurunan emisi, laporan Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) kepada UNFCCC awal tahun 2011, menunjukkan
bahwa Indonesia dapat menurunkan emisi hingga 31 48 persen dari emisi
business as usual (BAU) di tahun 2020 melalui berbagai kegiatan. Salah
satu kegiatan yang dapat menurunkan emisi karbon dalam skala besar
adalah pengurangan laju perusakan hutan dan melakukan rehabilitasi
hutan dan lahan gambut yang terlanjur rusak.
Melalui Inpres ini, pemerintah mencanangkan dimulainya proses
perbaikan tata kelola kehutanan kearah Good Forest Governance. Waktu
penundaan ijin-ijin baru selama dua tahun yang ditargetkan oleh Inpres
10/2011 ini menjadi jeda waktu yang akan digunakan untuk memperbaiki
tumpang tindih perizinan, penyelesaian Inpresrevisi tata ruang,
meningkatkan upaya penegakan hukum untuk memberantas berbagai
kejahatan lingkungan seperti pembalakan liar, pembukaan kebun dan
pertambangan di kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung dan
kawasan hutan lain yang masih primer.
Anggapan banyak LSM lingkungan yang menilai bahwa memasukkan
kawasan konservasi ke dalam kawasan yang ditunda perijinannya adalah
hal yang percuma karena kawasan tersebut sudah dikonservasi, merupakan
anggapan yang salah.
Kenapa salah? Karena tidak saja kita mencatat ancaman terhadap
kawasan hutan lindung dan hutan konservasi yang cukup tinggi, terutama
setelah pengelolaan hutan dialihkan ke tingkat Pemerintah Kabupaten,
selain itu ada Peraturan Pemerintah 10/2010 yang memungkinkan
peralihan fungsi hutan dari hutan konservasi menjadi Area Penggunaan
Lain secara bertahap. Sehingga, dengan memasukkan kawasan konservasi
dan lindung kedalam kawasan yang ditunda ijin barunya, Inpres 10/2011
ini membatasi lingkup penerapan PP 10/2010 hanya untuk kawasan hutan
sekunder.
Selain menerbitkan Inpres 10/2011, pemerintah dalam beberapa
bulan mendatang akan membentuk beberapa lembaga yang akan menjadi
motor penggerak kegiatan REDD+, mulai dari lembaga REDD+ sebagai
koordinator dan sekaligus penanggung jawab semua kegiatan REDD+,
lembaga keuangan yang akan menyalurkan dana secara cepat ke warga
masyarakat yang sudah melakukan pencegahan deforestasi dan kebakaran
hutan, dan lembaga MRV (pengukuran, pelaporan, dan verikasi) yang
dapat mengukur besaran pengurangan emisi secara akurat dan transparan.
Pemerintah juga sedang menyelesaikan strategi nasional REDD+
yang akan menjadi panduan dalam penerapan konsep REDD+ di Indonesia.
Strategi Nasional REDD+ ini sedang dalam penyempurnaan dan semula
direncanakan untuk diterbitkan pada bulan Juli 2011. Sampai ketika buku ini
dicetak pada kwartal pertama 2012, Satgas REDD+ masih belum berhasil
membangun kesepakatan para pihak terkait untuk menerbitkan Startegi
Nasional REDD+ ini.
Sebuah bentuk terobosan dalam perbaikan tata kelola hutan dan
lahan gambut adalah transparansi dalam revisi Peta Indikatif Penundaan
Izin baru (PIPIB). Untuk pertama kalinya dalam sejarah negara Indonesia,
masyarakat akan dapat mengunduh peta hutan Indonesia dan perijinan yang
telah dibebankan diatasnya. Inpres 10/2011 mengatur agar pemutakhiran
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
99
98
data PIPIB dilakukan setiap enam bulan dengan melibatkan semua pihak
terkait (stakeholders).
Penegakan Hukum dan Pilkada
Terkait penegakan hukum, Sekretaris Kabinet Dipo Alam
menegaskan pelanggaran Inpres 10/2011 baik di pusat maupun di daerah
akan diproses sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa para calon Bupati membiayai kampanye mereka pada
saat pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan menjanjikan pemberian
ijin kebun atau tambang kepada para sponsornya setelah mereka terpilih.
Sehingga hutan alam Indonesia sering digadaikan oleh para pejabat daerah
untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Penegakan hukum terhadap
pelanggaran aturan di kawasan hutan dan gambut akan menjadi upaya
utama dalam program perbaikan tata kelola.
Penelitian London School of Economy menemukan kenaikan laju
kerusakan hutan sebelum Pilkada, yang masih tetap tinggi selama Pilkada,
dan baru setelah setahun kemudian terjadi penurunan kerusakan hutan.
Pilkada ini berkaitan erat dengan kerusakan hutan, karena ada hubungan
antara kampanye para calon kepala daerah dengan pengusaha yang
menjadi sponsor kampanye mereka. Mengamati hal ini, upaya perbaikan
tata kelola hutan harus dilakukan bersamaan dengan penyempurnaan
Undang-undang Pemilu dan Otonomi Daerah.
Pembenahan tata kelola hutan akan memberikan keuntungan
bagi industri yang berbasis hutan di Indonesia. Produk kayu yang berhasil
memperoleh sertikasi lacak balak dan bersahabat dengan lingkungan
dapat melakukan penetrasi pasar di banyak negara maju yang dalam
beberapa tahun terakhir teramati menjadi sensitif terhadap produk yang
illegal atau merusak lingkungan. Dalam jangka panjang, produk kayu dan
produk pertanian yang bersertikat akan memperoleh harga premium dan
mampu menjaga kesetiaan pelanggan.
Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan peningkatan
kebutuhan pangan, lahan dan energi. Bagaimana berbagai tujuan
peningkatan kesejahteraan dapat tercapai, termasuk pemeliharan kualitas
lingkungan/ekosistem agar tetap baik, merupakan tantangan yang sudah
mulai dibahas pada strategi pertumbuhan ekonomi rendah karbon yang
disusun pada beberapa propinsi dan kabupaten.
Inpres ini adalah langkah awal menuju ekonomi rendah emisi karbon,
dan akan diikuti oleh berbagai upaya mewujudkan rencana membangun
ekonomi pada tingkat pertumbuhan 7 persen dengan pengurangan emisi
sebesar 26% dari perkiraan emisi tahun 2020 bila tidak ada upaya khusus
untuk mengurangi emisi karbon atau business as usual.
Pendapat bahwa Inpres ini hanyalah pepesan kosong tidak lebih
dari pewujudan sikap sinis beberapa kelompok masyarakat yang justru
mengurangi semangat dan mengganggu upaya pengurangan laju kerusakan
hutan yang sedang berlangsung, selain menyebabkan terhambatnya
program pengentasan kemiskinan.
Moratorium sebetulnya merupakan kebijakan yang dapat digunakan
untuk memperbaiki proses perijinan yang sedang berjalan atau yang akan
di kaji. Ada peluang yang dapat dimanfaatkan oleh LSM untuk terlibat
dalam proses perijinan di kawasan hutan. Sayangnya kesempatan ini tidak
digunakan oleh LSM untuk perbaikan tata kelola hutan.
LSM tidak naik kelas
Seusai menghadiri pertemuan di kantor Wakil Presiden membahas
Rancangan Inpres Moratorium, saya kembali ke kantor dengan menumpang
mobil dinas Menteri Kehutanan, Zulkil Hassan. Di dalam mobil,
Menhut Zulkii mengatakan Pungki, saya merencanakan dalam proses
perpanjangan ijin HPH atau HTI yang akan datang, kita libatkan LSM untuk
menilai apakah perusahaan tersebut layak diperpanjang ijinnya. Sehingga
perusahaan-perusahaan yang nakal itu tidak perlu kita perpanjang ijinnya,
sambung Menteri Kehutanan lagi. Niat ini sesungguhnya membuka peluang
perbaikan tata kelola hutan yang dapat dimanfaatkan oleh LSM yang aktif di
bidang pelestarian hutan.
Gayung yang tidak bersambut untuk sebuah niat perbaikan tata
kelola hutan, menunjukkan ada yang salah diantara para pihak yang
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
101
100
bertanggung jawab dan peduli terhadap kelestarian hutan Indonesia.
Sepertinya, LSM lingkungan di Indonesia enggan atau ragu-ragu
naik kelas dari melakukan advokasi di pinggir jalan menjadi bagian yang
turut merancang sebentuk kebijakan, entah mengapa? Terlalu sering
aktis LSM mempermasalahkan bagian yang kosong dari sebuah gelas,
dan kemudian tidak melanjutkan tuntutan bagaimana cara mengisi gelas
tersebut menjadi penuh. Sehingga posisi LSM ini kerap kali berseberangan
dengan Pemerintah.
Mungkin kekhawatiran dikooptasi menjadi hambatan untuk
lebih aktif melakukan reformasi kebijakan dari dalam. Meskipun
sesungguhnya apapun pilihannya selalu ada resiko. Menggalang demo di
pinggir jalan beresiko tidak diperhatikan oleh pihak pembuat kebijakan.
Mengorganisasikan masyarakat korban untuk melakukan demo juga
beresiko tidak menghasilkan perubahan atau bahkan jatuhnya korban
di pihak masyarakat seperti yang terjadi beberapa kali dalam dua tahun
terakhir. Turut merancang perubahan kebijakan juga beresiko gagal untuk
melakukan perubahan yang berarti, sekaligus bertanggung jawab terhadap
kebijakan yang kemudian disebut pepesan kosong.
Kejadian ini mengingatkan era sebelum reformasi, dimana isu
perlindungan hak azasi manusia jauh tertinggal apabila dibandingkan
dengan isu pelestarian lingkungan. Meskipun Deklarasi Universal
perlindungan HAM sudah disepakati pada bulan Desember 1948, lebih
dari 63 tahun yang lalu, Kementerian yang bertanggung jawab terhadap
perlindungan HAM baru dibentuk 50 tahun sesudahnya.
Deklarasi PBB tentang Lingkungan Hidup dihasilkan pada
Pertemuan Stockholm bulan Juni tahun 1972, sedangkan Kementerian
Lingkungan Hidup dibentuk sejak tahun 1978, atau hanya diperlukan waktu
enam tahun bagi isu pelestarian lingkungan untuk diakui sebagai bagian
dari tanggung jawab pemerintah.
Namun kondisinya sekarang menjadi terbalik, ketika Amnesty
International sudah berdialog langsung dengan Presiden, begitu juga
dengan puluhan organisasi anti-korupsi yang sudah dua kali bertemu
Presiden dan bersepakat untuk melakukan pertemuan berkala untuk
memantau kinerja Pemerintah, beberapa aktis LSM lingkungan masih
sibuk berteriak di pinggir jalan atau bahkan mengorganisasi demo
masyarakat pedesaan yang menimbulkan korban jiwa, karena menganggap
pemerintah sebagai musuh atau penjahat. Ketika Indonesia berhasil
menggelar dua kali Pemilihan Presiden secara langsung dan memiliki
Konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat, melakukan advokasi di
pinggir jalan bukanlah pilihan yang sulit. Merancang dan mengupayakan
diterbitkannya kebijakan baru yang lebih melindungi HAM, mencegah
korupsi dan melestarikan lingkungan adalah sebuah tantangan yang
dapat diambil oleh aktis LSM, dan meskipun beresiko terkooptasi tapi
membuahkan hasil yang juga berdampak besar.
Hutan dan Janji Gombal Penguasa
Pada 3 Oktober 2011 Khalisah Khalid dari WALHI menulis opini
berjudul Hutan dan Janji Gombal Penguasa di harian Kompas. Untuk
menanggapi Opini tersebut, saya menulis hak jawab yang dimuat di Kompas
4 (empat) hari sesudahnya, tepatnya tanggal 7 Oktober 2011. Dalam tulisan
berjudul Mengelola Hutan Tanpa Melanggar Aturan, tekad Presiden SBY
untuk melindungi lingkungan dan menjaga kelestarian hutan pada tiga
tahun terakhir masa kepemimpinannya ditulis ulang sesuai dengan pidato
kunci pada Konferensi Internasional Kehutanan Indonesia yang digelar
CIFOR di Jakarta (Kompas, 28/9/2011).
Beberapa kebijakan telah dikeluarkan dalam satu tahun terakhir
ini, guna memastikan tercapainya pertumbuhan ekonomi dengan emisi
karbon yang rendah, antara lain melalui pengelolaan hutan yang lestari.
Kesungguhan Presiden ditunjukkan dengan dikeluarkannya Keppres No.16/
2011 mengenai Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah
Kaca (RAN-GRK) yang memuat instruksi kepada berbagai Kementerian dan
Lembaga di tingkat pusat dan daerah untuk melakukan puluhan program
pembangunan ekonomi yang rendah emisi karbon. Keppres tersebut juga
menginstruksikan Gubernur dan Bupati untuk menyusun Rencana Aksi
Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK).
Menuduh Presiden melakukan janji gombal dalam menjaga
kelestarian hutan dengan mengutip data perluasan Hutan Tanaman Industri
dan Kebun Sawit sebagai kerusakan hutan adalah sebuah dramatisasi yang
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
103
102
bernuansa kebohongan. Melontarkan kritik tanpa solusi, apalagi kalau
isinya tidak lebih dari insinuasi dan cercaan terhadap pejabat negara yang
berulang kali menunjukkan komitmen untuk mewujudkan pengelolaan
hutan yang lestari, justru melemahkan upaya besar mengelola hutan secara
lestari.
Artikel yang ditulis oleh Khalisah Khalid itu seharusnya membawa
pesan yang baik, namun kemudian menjadi buram karena tanpa dilengkapi
dengan fakta yang akurat. Perluasan Hutan Tanaman Industri dan Kebun
Sawit tidaklah berbanding lurus dengan berkurangnya hutan alam.
Sebagian besar hutan alam berada di kawasan konservasi dan dikelola
sebagai Taman Nasional atau Cagar Alam atau pengelolaan konservasi
yang lain.
Selain itu, apabila masih terdapat hutan alam dikawasan yang
diperuntukkan bagi kegiatan pemanfaatan seperti Hutan Produksi atau
Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK), maka saat ini melalui Inpres
10/2011 kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan yang tidak akan
dibebani ijin-ijin baru untuk kurun waktu dua tahun.
Berbagai pihak seringkali mendikotomikan pengelolaan lingkungan
dengan pembangunan ekonomi terlebih karena nuansanya cenderung
kontroversial. Kesimpulan yang menyatakan Indonesia harus mengejar
pengelolaan lingkungan setara dengan standar di negara industri telah
mengabaikan fakta bahwa negara kaya tersebut telah diuntungkan
oleh perusakan lingkungan di masa lampau sehingga mereka memiliki
keunggulan ekonomi dibandingkan dengan negara yang belum sempat .
Keunggulan ekonomi negara maju, terutama dalam mengakses
teknologi hijau, membuat tekanan harga komoditas pangan internasional
dan pasokan energi lebih mudah disikapi. Dalam keterbatasan pilihan dan
kemampuan ekonomi, seringkali pengusaha dan kelompok-kelompok
masyarakat di negara berkembang memilih jalan pintas untuk pembangunan
ekonomi mereka, sedemikian rupa sehingga membahayakan lingkungan
yang kemudian menimbulkan biaya besar bagi perekonomian negara yang
sedang diawal pertumbuhan.
Disamping masalah keterbatasan pilihan untuk membangun
ekonomi, keserakahan atau greed dapat menyebabkan kerusakan hutan.
Dalam konteks perusakan hutan yang terjadi akibat semangat menimbun
prot untuk kelompok kecil warga atau perusahaan, penegakan hukum
menjadi solusi. Meskipun demikian, penegakan sebuah aturan tidak dapat
dilakukan melalui bentuk pelanggaran ketentuan perundangan yang
lain. Sebuah kontradiksi yang menghasilkan situasi lari di tempat, bila
pelestarian hutan dilakukan bertabrakan dengan peraturan pemanfaatan
sumber daya alam yang juga sah dan masih berlaku.
Menindak lanjuti pelanggaran Inpres 10/2011, tidak dapat dilakukan
dengan meniadakan perijinan yang telah diterbitkan sebelumnya, karena
akan menyebabkan kekalahan pada proses hukum selanjutnya, yang justru
berakibat pada kegagalan upaya hukum serupa di masa depan.
Upaya penegakan hukum harus dilakukan secara menyeluruh
dan tidak dikotak-kotakkan. Permasalahan pemberian ijin pengelolaan
(konsesi) oleh Bupati dan Gubernur untuk kawasan yang dimoratorium
perlu diawasi dan diatur dengan baik, utamanya dengan memperhatikan
proses pengambilan keputusan di daerah.
Perbaikan undang-undang dan peraturan mengenai Pemilihan
Kepala Daerah dan Otonomi Daerah menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan
dari program penegakan hukum lingkungan.
Beberapa pihak berharap bahwa dengan satu atau dua Peraturan
Presiden baru, pemerintah memiliki peluru ajaib yang mampu menyulap
penyelesaian semua permasalahan lingkungan. Banyak yang lupa, bahwa
sulap adalah pertunjukan ilusi hal yang membuat gembira dan senang
seketika, namun dengan cepat juga menguap.
Ketidaksabaran dan keingin mencari jalan pintas adalah sebuah
kewajaran, khususnya bagi generasi muda. Tapi pada kenyataannya tidak
pernah ada jalan pintas untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Menyelesaikan masalah pelanggaran hukum tidak bisa dilakukan dengan
mengabaikan keterkaitan antara aturan yang ingin ditegakkan dengan
peraturan lainnya, karena pengabaian tersebut justru menghambat tindak
lanjut penerapannya.
Pembangunan berkelanjutan memilki tiga pilar yang saling terkait,
yaitu: tata kelola yang baik, demokrasi yang dewasa dan desentralisasi yang
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
105
104
bertanggung jawab. Dalam kaitan pengelolaan hutan, ketiga pilar tersebut
akan lebih mudah dibangun dengan mengubah pola hubungan antara
masyarakat sipil dan pemerintah. Dari cenderung sinis dan sering kali
bermusuhan menjadi sebuah kemitraan yang konstruktif, dibangun diatas
komunikasi yang jujur, yang tidak berarti selalu memuji, tapi juga tidak
bisa dengan terus menerus mencerca. Terlebih lagi, apa yang dicanangkan
Presiden SBY merupakan keinginan dari banyak warga masyarakat,
termasuk LSM yang peduli lingkungan dan kelestarian hutan.
Terjaganya komunikasi yang melibatkan para pengamat dan
pengritik (watch dog) warga masyarakat sipil merupakan bentuk kemitraan
konstruktif yang membuka kemungkinan untuk melakukan pemantauan
di banyak tempat pada saat yang bersamaan. Termasuk diantaranya
pengumpulan informasi dan bukti yang kuat mengenai pelanggaran
Peraturan Presiden khususnya Inpres 10/2011.
Usulan untuk melakukan gelar perkara yang melibatkan
masyarakat sipil, aparat penegakan hukum, pejabat pembuat kebijakan dan
para pelaku usaha atas dugaan terjadinya pelanggaran peraturan presiden
tersebut, merupakan terobosan yang dapat menambah semangat untuk
secara bersama-sama menyelesaikan perjalanan panjang memanfaatkan
hutan secara lestari. Marilah kita tegakkan hukum lingkungan tanpa
melanggar ketentuan hukum lainnya.
Moratorium dan Kelapa Sawit
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) memprotes keras
Inpres Moratorium hutan ini, yang disampaikan oleh Sekjen GAPKI, Joko
Supriyono melalui pernyataan pers mereka di berbagai media masa.
Joko mengatakan kebijakan tersebut akan memperlambat pertumbuhan
industri sawit, dan tuduhan sawit sebagai faktor penyebab lonjakan emisi
seharusnya juga ditinjau ulang.
GAPKI mengangap bahwa aturan melarang penggunaan gambut
untuk sawit adalah diskriminatif karena kebijakan tersebut memberikan
pengecualian untuk penggunaan hutan (dan gambut) bagi pembangkitan
listrik panas bumi (geothermal) dan ketahanan pangan. Lebih lanjut GAPKI
menyatakan bahwa penggunaan lahan gambut untuk industri sawit telah
diatur dalam Keppres No. 32/1990 dan Permen Pertanian No. 14/2009,
sehingga terjadi tumpang tindih aturan, dalihnya bahwa di banyak negara,
gambut tetap dimanfaatkan karena menjanjikan hasil yang lebih baik.
Saya sedikit terpesona, dengan keanekaragaman perilaku anggota
asosiasi sawit. Dimulai dengan perbedaan sikap didalam ruang pertemuan
dengan sikap di luar ruang pertemuan yang dilakukan oleh para pengurus
asosiasi sawit, GAPKI, sampai kepada upaya peningkatan kualitas
pengelolaan kebun sawit yang lebih maju dibandingkan negara manapun.
Pada beberapa kali pertemuan yang saya lakukan dengan GAPKI dan
tokoh-tokoh industri sawit, termasuk dengan Fadhil Hasan, Franki Wijaya,
Daud Dharsono, Joko Supriyono, Widya Wiryawan dan beberapa tokoh
sawit lainnya, pembicaraan kami selalu positif, namun begitu keluar dari
ruangan, kerap kali yang diucapkan pengurus GAPKI berbeda. Sepertinya
GAPKI dimanfaatkan oleh beberapa anggotanya yang memiliki masalah
dengan pelarangan penggunaan lahan gambut dan konversi hutan alam
untuk kebun sawit.
Pada salah satu pertemuan dengan GAPKI di tahun 2009, turut hadir
Widya Wiryawan yang kini menjabat sebagai Presiden Direktur Astra Agro
Lestari yang dengan lantang menyatakan bahwa sebaiknya pemerintah
tidak usah ikut-ikutan menangani permasalahan perubahan iklim karena
persoalannya ada di negara maju apalagi sampai membuat kebijakan
yang justru merugikan diri sendiri. Ketika saya mengatakan bahwa dampak
perubahan iklim merugikan masyarakat kita yang di hidup di pesisir dan
di pulau kecil, serta para petani dan nelayan yang nafkahnya tergantung
pada iklim dan cuaca, Widya tetap pada pendiriannya agar kita tidak perlu
khawatir dengan mereka yang terkena dampak tersebut karena mereka bisa
pindah tempat tinggal ke pulau-pulau lain yang dimiliki Indonesia. Untuk
mengakhiri perdebatan tersebut, saya mengatakan: Kebetulan Presiden
SBY tidak hanya dipilih oleh pengusaha sawit tapi juga oleh buruh, nelayan,
petani dan warga di pesisir yang kehidupannya terancam oleh perubahan
iklim, khususnya cuaca ekstrim .......
Saya prihatin dengan sikap sebagian pengurus GAPKI yang
menyuarakan aspirasi segelintir anggotanya yang mungkin memiliki
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
107
106
lahan gambut di dalam konsesi mereka, atau berkepentingan melakukan
konversi hutan alam, sehingga memilih untuk menentang atau mengritik
Inpres 10/2011 ini. Berulangkali saya bertanya, perusahaan mana yang
memiliki masalah akibat diterbitkannya Inpres Moratorium Perijinan Baru
di kawasan hutan primer ini, dan sampai saat buku ini dicetak, tidak pernah
ada jawaban dari GAPKI.
Ada berbagai kepentingan diantara para pengusaha sawit yang
membuat posisi mereka tidak jelas, dan bahkan bila didalami posisi
mereka justru bertabrakan satu dengan yang lain. Ada keinginan untuk
meminta ganti rugi, termasuk untuk biaya gratikasi atau suap, yang telah
dikeluarkan dalam pengurusan perijinan di tingkat Kabupaten dan Propinsi
yang kemudian tidak berlanjut dengan diterbitkannya konsesi kebun sawit
karena Inpres 10/2011, termasuk mempersoalkan kenapa gambut tidak
boleh dibudidayakan sementara ini adalah tanah republik.
Persepktif lain ditemukan ketika menjadi salah satu pembicara pada
diskusi Moratorium mengancam minyak sawit lestari, di Jakarta pada 20
Juli 2011, yang diselenggarakan oleh Infosawit. Saya tidak melihat ancam
mengancam dalam moratorium, karena LOI Indonesia-Norwegia adalah
fakta yang sudah ditandatangani. Sehingga sudah menjadi keharusan
untuk menjalankan industri minyak sawit secara lestari, tanpa merusak
lingkungan, jelas Daud Dharsono, Direktur Utama PT Smart Tbk pada
pembukaan diskusi tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa industri kelapa sawit Indonesia
memberikan kontribusi yang signikan dan terus meningkat terhadap
pendapatan nasional Negara. Pada tahun 2010 industri sawit
menyumbangkan pendapatan negara terbesar dari sektor non migas,
sebesar Rp 122,7 triliun atau US$ 14,1 miliar (Infosawit, Februari 2012).
Saya setuju dengan dengan pernyataan Bustar Maitar dari Greenpeace
Indonesia (GPI) yang juga menjadi salah satu pembicara diacara tersebut
yang menyatakan bahwa hal ini bukan soal 1 milyar US$ dari Norwegia,
tapi memang kita harus berkomitmen untuk mengatasi kerusakan hutan,
jangan sampai 2 tahun berlalu dengan sia sia, dan BAU tetap jalan. Isu
Moratorium bukan masalah yang baru diupayakan oleh LSM, tetapi sudah
sejak 20 tahun yang lalu. Industri sawit memiliki potensi penting menjadi
solusi dalam penanganan deforestasi dan dampak perubahan iklim, untuk
tumpang tindih regulasi dan data harus segera diselesaikan, sehingga
industri tidak lagi mengeruk laba dari lemahnya tata kelola. Sesuai dengan
pernyataan Presiden, moratorium dapat digunakan untuk memperbaiki
citra sawit internasional.
Sampai hari ini, dana yang diberikan oleh Norwegia masih sedikit
sekali yang dimanfaatkan, tidak sampai satu persen dari komitmen satu
miliar dollar. Apa yang kita lakukan sekarang adalah kegiatan yang menjadi
kebutuhan Indonesia dan dikerjakan dengan penuh kesadaran, sehingga
tidak benar bila kita dituduh telah dipaksa oleh pihak internasional untuk
melakukannya.
Kita melakukan moratorium hutan bukan karena tuntutan Norwegia,
namun karena kebutuhan. Sebelum berangkat bertemu Norwegia, Presiden
SBY sudah memutuskan beberapa hal, salah satunya adalah melindungi
gambut. Gambut sangat penting karena dalam prol emisi Indonesia pada
tahun 2001 adalah sebesar 1,5-1,8 miliar ton. Hal ini diperkirakan akan naik
mencapai 2,6-2,9 miliar ton, yang mana 70% emisi dari lahan hutan dan
gambut, pembakaran hutan dan konversi lahan gambut, terutama untuk
gambut yang dalam.
Ini merupakan hasil dari studi penelitian. Karena itu, alasan yang
paling tepat untuk mengurangi emisi adalah dengan cara mencegah
kebakaran hutan dan mengurangi konversi gambut. Kalau emisi karbon
diukur tanpa memperhitungkan emisi dari lahan hutan dan gambut, maka
Indonesia berada di urutan sekita 16 sampai 18 dari daftar negara dengan
emisi terbesar di dunia. Tetapi kalau disertakan dengan emisi dari lahan
hutan dan gambut juga, maka posisi kita naik dan turun diantara peringkat 3
sampai 5. Tergantung tahunnya, kalau tahunnya basah, maka bisa posisi kita
sebagai negara pengemisi bisa pada peringkat kelima atau lebih rendah lagi,
tapi kalau terjadi el-nino yang lazimnya diikuti dengan maraknya kebakaran
lahan dan hutan, maka posisi Indonesia sebagai negara penghasil emisi
karbon naik peringkat ke nomor tiga.
Terkait pertumbuhan industri sawit, kita mengetahui bahwa
produktitas kebun sawit Indonesia secara rata-rata masih lebih rendah
dibandingkan negara tetangga. Artinya, kalau kita perbaiki pengelolaannya,
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
109
108
maka produksi minyak sawit kita dapat naik 3 kali lipat tanpa perlu
menambah luasan kebun sawit. Tidak pelak lagi, arah pengembangan
perkebunan dan industri sawit kita di masa depan harus ditumpukan
pada upaya peningkatan produktitas kebun sawit sebelum melakukan
perluasan lahan.
Pemerintah telah menyediakan hutan sekunder atau hutan yang
telah rusak (terdegradasi) untuk dimanfaatkan, yang menurut Kemenhut
luas hutan sekunder mencapai lebih dari 30 juta hektar. Masalah yang
kerap muncul dari hutan sekunder adalah konik penguasaan lahan yang
membutuhkan penyelesaian sebelum bisa dimanfaatkan.
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Palm Oil
Standard (ISPO)
Selain sikap yang cenderung sinis dan negatif di kalangan
pengusaha sawit, ditemukan beberapa upaya terobosan yang diprakarsai
oleh perusahaan sawit juga. Mulai dari kesiapan mereka bergabung dengan
RSPO meskipun mereka juga mendukung ISPO.
RSPO adalah skema sertikasi kelapa sawit yang diakui oleh pasar
dan memenuhi standar global kelestarian lingkungan.
Pada Oktober 2011 GAPKI yang menjadi anggota Dewan Eksekutif
RSPO mewakili produsen kelapa sawit, menyatakan berhenti menjadi
anggota dan pengurus RSPO. Hal ini disayangkan banyak pihak, karena
keanggotaan GAPKI di RSPO dapat menyuarakan kepentingan pelaku
usaha sawit Indonesia. Keluarnya GAPKI dari RSPO bisa dibaca oleh pasar
sebagai langkah yang kontra-produktif, yang pada akhirnya merugikan citra
Indonesia, ujar Nazir Foead, WWF Indonesia.
RSPO merupakan asosiasi non-prot yang menyatukan kepentingan
multi pihak dalam sektor industri sawit berkelanjutan, mulai dari produser
kelapa sawit, industri pemrosesan, pedagang, manufaktur, ritel, bank dan
investor hingga LSM atau masyarakat madani. Saat ini keanggotaan RSPO di
Indonesia mencakup 46 perusahaan produsen kelapa sawit, yang beberapa
di antaranya memiliki kebun sawit bersertikat sesuai standar pengelolaan
perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang diterapkan RSPO.
Melalui RSPO, pemilik kebun sawit dapat memperoleh sertikasi
kebun dan produk sawit mereka sesuai dengan persyaratan ditetapkan
RSPO. Dalam jangka panjang, diharapkan sebagian besar produser
minyak sawit dapat menjadi anggota RSPO dan memperoleh sertikat
bagi produk minyak sawit mereka. Perngelolaan kebun dan industri sawit
yang berkelanjutan memberikan sumbangan yang besar dalam penerapan
strategi pembangunan pro-growth, pro-job dan pro-environment.
Mundurnya GAPKI dalam rilisnya dimaksudkan untuk mendukung
ISPO, yaitu sebuah skema pengembangan minyak sawit berkelanjutan yang
diwajibkan oleh pemerintah Indonesia kepada pelaku usaha sawit. Dalam
mekanisme yang diterapkan oleh ISPO sebetulnya tidak terjadi kompetisi
atau bertentangan dengan RSPO, dimana standar yang diterapkan RSPO
bekerja melampaui hal-hal yang diwajibkan secara legal (beyond legal
compliance) dan dikembangkan atas dasar konsensus yang melibatkan
berbagai pihak, termasuk GAPKI.
Usaha Kelapa sawit Indonesia yang lestari diharapkan dapat
memberikan manfaat yang menguntungkan baik dalam pembangunan
ekonomi nasional, pembangunan wilayah dan maupun bagi pemecahan
masalah penganguran, kemiskinan dan pembangunan daerah.
ISPO secara resmi disahkan oleh Menteri Pertanian pada bulan Maret
2011, dan para pelaku usaha kelapa sawit diarahkan untuk mengacu kepada
ISPO. Saya menduga keluarnya GAPKI dari RSPO karena dalam salah satu
klausul ISPO disebutkan bahwa untuk pembukaan lahan gambut hanya
dilakukan pada lahan kawasan budidaya dengan ketebalan gambut 3 meter,
kematangan saprik (matang) dan hemik (setengah matang) Sementara
kalau kita menelaah prol emisi GRK kita ditahun 2000-2005 adalah
karena alih guna lahan hutan dan gambut.
Data dari Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa produksi CPO
nasional kita mencapai 20,8 Juta ton pada tahun 2010 dan diperkirakan
meningkat 21 Juta ton pada 2011. Namun prospek sawit yang berpotensi
ini dihadapkan dengan citra negatif dari pengembangan kelapa sawit yang
tidak mengikuti kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
111
110
Terobosan: Kerjasama LSM dan Pengusaha
Saya juga ingin memberikan penghargaan atas kerjasama Sinar
Mas, The Forest Trust dan Greenpeace Indonesia, yang melakukan
penelitian untuk menetapkan standar atau denisi hutan sekunder yang
dapat digunakan sebagai acuan dalam pembukaan lahan sawit yang baru.
Selain itu, beberapa kelompok perusahaan kebun sawit juga menggalang
kemitraan dengan masyarakat lokal, dalam bentuk pembinaan kebun
sawit masyarakat sebagai kebun plasma. Pendekatan kemitraan ini tidak
saja mengurangi konik antara pengusaha dengan masyarakat lokal, akan
tetapi juga meningkatkan pendapatan bagi kedua belah pihak.
Dalam kesempatan berjumpa seorang sahabat yang sekarang
menjadi salah satu manajemen perusahaan kebun sawit yang dimiliki oleh
kelompok perusahaan nasional besar di Indonesia, dia menyampaikan
bahwa revenue dari perusahaan yang dikelolanya meningkat tajam karena
keberhasilan perusahaan tersebut mengurangi konik antara perusahaan
dengan masyarakat.
Mengelola kebun sawit secara partisipatif dan bersahabat dengan
masyarakat disekitarnya adalah bentuk pengelolaan perkebunan yang
dibutuhkan saat ini. Ketika pengusaha tidak saja menyesuaikan diri dengan
tuntutan jaman, yaitu dengan mengembangkan usaha tanpa menggusur
rakyat, atau bahkan kegiatan usaha tersebut dikembangkan secara
kemitraan dengan masyarakat adat dan masyarakat setempat.
Salah satu hal yang dapat dilakukan, misalnya apabila Tata
Ruang di Kalimantan Tengah sudah terkunci untuk tidak bisa melakukan
pengembangan kelapa sawit, maka sebaiknya dilihat peluang lain, seperti
perkebunan karet yang dikelola bersama dengan rakyat. Sebetulnya
pemerintah sudah membuat model Hutan Tanaman Rakyat, namun
sayangnya inisiatif ini belum disambut dengan baik.
Moratorium dan Restorasi Ekosistem
Dari perspektif pengelola konsesi Restorasi Ekosistem, Dharsono
Hartono, pengusaha muda yang tengah mengusung restorasi ekosistem
di Katingan, Kalimantan Tengah, menyatakan bahwa Inpres Moratorium
Hutan ini dapat memberi peluang untuk melakukan perubahan fungsi atau
tukar menukar kawasan hutan di areal hutan primer dan lahan gambut
sehingga pengembangan kegiatan non kehutanan dapat di lakukan di areal
yang sudah terlanjur rusak atau terlantar.
Moratorium sebagai Komitmen Ekonomi Rendah Emisi Karbon
Indonesia telah membuat komitmen untuk menuju pertumbuhan
ekonomi rendah karbon, dengan menyelaraskan berbagai agenda
pembangunan, termasuk konservasi lingkungan, pertumbuhan ekonomi,
penurunan emisi, tata kelola pemerintahan yang baik dan peningkatan
keterlibatan masyarakat setempat.
Eivind S Homme, Duta Besar Kerajaan Norwegia untuk Indonesia,
melihat bahwa Inpres penangguhan izin baru untuk hutan dan lahan gambut
adalah salah satu langkah awal yang penting dalam proses panjang bagi
Indonesia untuk mencapai tujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Beberapa pihak menganggap moratorium ini adalah ancaman terhadap
pembangunan ekonomi, namun saya melihat hal ini sebagai kesempatan
untuk meningkatkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di masa
yang akan datang ujar Dubes Homme.
Dubes Homme yakin bahwa dalam kurun waktu 2 tahun penundaan
izin baru ini (moratorium) Pemerintah Indonesia dapat melakukan
perbaikan rencana tata ruang dan tata kelola hutan. Hal tersebut dapat
melindungi stok karbon dan keanekaragaman hayati yang tinggi di banyak
kawasan hutan, dengan mengarahkan perluasan ekonomi ke lahan yang
sudah terdegradasi, mempermudah masyarakat memperoleh informasi
yang relevan, serta meninjau kembali perizinan yang sudah diterbitkan
untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum Indonesia.
Kritik dari para pelaku, baik LSM, pelaku bisnis dan masyarakat
internasional menujukkan adanya perbedaan harapan terhadap kebijakan
moratorium. Tantangannya adalah mengelola perbedaan tersebut dengan
tidak mengurangi semangat dan bergerak maju mewujudkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia sekaligus menjadi bagian dari solusi iklim global.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
113
112
Ok, saya setuju. Lembaga REDD+
berdiri sendiri dan melapor ke saya,
tutup Presiden.
Lembaga Independen
Pemerintah Norwegia sudah mulai
gelisah karena adanya kevakuman selama
3 bulan sejak berakhirnya masa tugas
Satgas REDD+ yang pertama (Keppres No.
19/2010, yang berakhir masanya pada bulan
Juni 2011). Dari Oslo, mereka beberapa
kali meminta informasi perkembangan
kegiatan seperti yang dijanjikan dalam Letter
of Intent, khususnya yang berhubungan
dengan kegiatan tahap pertama. Sampai
akhirnya, Direktur Khusus Perubahan iklim
Kementerian Lingkungan Hidup Norwegia di
Oslo meminta dialog melalui teleconference
dengan saya, dan waktunya disepakati Jumat
pukul 16.00 tanggal 23 september 2011.
Untuk itu saya harus mendapatkan
arahan dari Presiden. Ajudan dan Sekretaris
Pribadi Presiden menyarankan bahwa
kesempatan yang baik untuk memperoleh
arahan dari Presiden adalah ketika Presiden
sedang jalan dari Mesjid Baiturrahman di
Pembentukan
Lembaga REDD+
BAB 6
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
115
114
kompleks Istana menuju ke Kantor Presiden.
Saya melangkah lamban mendekati rombongan kecil Bapak
Presiden yang sedang bergerak menuju Kantor Presiden bersama
Mensesneg Sudi Silalahi dan Seskab Dipo Alam. Melihat saya mendekat,
Presiden memanggil saya. Bergegas saya menghampiri, sementara
Mensesneg dan Seskab memperlambat langkahnya dan membuat jarak
dengan Presiden yang mendengarkan laporan saya.
Laporan saya awali dengan menyampaikan adanya keresahan di
pihak Norwegia sehubungan dengan telah habisnya mandat Satgas REDD+,
serta belum adanya kejelasan apakah Satgas REDD+ akan diperpanjang
atau digantikan oleh Lembaga REDD+ atau oleh sesuatu yang lain. Saya
sampaikan nanti sore akan conference call dengan Oslo dan untuk hal
tersebut saya membutuhkan arahan Bapak, bagaimana saya menjawab
pertanyaan Oslo mengenai Lembaga REDD+.
Apa pilihannya? tanya Presiden. Sesuai dengan laporan saya
terdahulu, ada tiga pilihan yaitu, 1) berdiri sendiri dan langsung melapor
kepada Presiden, 2) menjadi bagian dari Kementerian Lingkungan Hidup
(KLH) atau 3) merupakan bagian dari Kementerian Kehutanan, jawab saya.
Bukankah saya pernah mengarahkan agar lembaga REDD berdiri sendiri
dan melapor langsung kepada saya? tanya Presiden. Benar Bapak, dan
itu adalah salah satu dari tiga pilihan yang dapat Bapak putuskan, jelas
saya. Lalu bagaimana dengan pak Kuntoro? tanya Presiden lebih lanjut.
Pak Kuntoro bisa tetap menjadi Ketua Satgas REDD+, yang diperpanjang
masa tugasnya untuk mempersiapkan Lembaga REDD+ tersebut, jawab
saya lagi.
Ok, saya setuju. Lembaga REDD+ berdiri sendiri dan melapor
ke saya, dan pak Kuntoro menjadi Ketua Satgas REDD+ mempersiapkan
Lembaga tersebut. Sampaikan kebijakan ini ke Norwegia dan persiapkan
dokumennya tutup Presiden.
Bagi saya, pembicaraan singkat yang baru saja terjadi merupakan
kejadian yang luar biasa. Mengesankan sekali, interaksi antara Presiden
dengan staf khususnya. Disaat Presiden bicara, para Menteri yang
mendampingi beliau melangkah lebih lambat dan memberi ruang kepada
Presiden untuk memberikan arahan.
Setelah pembicaraan usai, Presiden bergegas menuju kantornya
dan Seskab menghampiri saya untuk menanyakan inti arahan Presiden,
sekaligus meminta saya untuk segera menindaklanjuti. Sembari
meninggalkan istana menuju sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim
untuk mempersiapkan conference call dengan wakil Pemerintah Norwegia
di Oslo, sayup-sayup saya mendengar lagu orkestra Ride of the Valkyries,
sebuah aria yang bersemangat ciptaan Richard Wagner yang menceritakan
persiapan para prajurit menghadapi pertempuran.
Setidaknya pada Jumat siang hari itu, diperoleh kepastian mengenai
kebijakan pembentukan Lembaga REDD+. Tidak lama sesudahnya,
Presiden menandatangani Keppres No. 25/2011 tentang Satgas Persiapan
Kelembagaan REDD+.
Keppres ini merupakan penerus Keppres No.19/2010 mengenai
Satgas Pembentukan Kelembagaan REDD+ sebelumnya yang dipimpin
oleh Kuntoro Mangkusubroto, mantan Menteri ESDM ke-10 (1998-1999), di
era Kabinet Pembangunan Reformasi. Pak Kuntoro mendapat pengakuan
masyarakat internasional karena keberhasilan beliau memimpin Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias, yang mengelola dana
bantuan internasional sebesar 4 miliar USD setelah kejadian bencana
tsunami pada bulan Desember 2004. Pengalaman mengelola dana
bencana tsunami ini yang membuat pak Kuntoro diusulkan oleh beberapa
pihak untuk memimpin Satgas REDD+.
Selain pak Kuntoro, Satgas REDD+ beranggotakan dua Wakil
Menteri (Bappenas dan Keuangan) dan sejumlah eselon satu dari
Kementerian dan Lembaga seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian
Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan Nasional, Staf Khusus Presiden
bidang Perubahan Iklim (SKP-PI) / Dewan Nasional Perubahan Iklim
(DNPI) dan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP4).
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
117
116
Kilas balik Kepres No. 25/2011
Proses penyusunan Keppres No 25/2011 dimulai sehubungan
dengan berakhirnya masa penugasan Satgas REDD+ yang dibentuk melalui
Keppres No 19/2010. Sebuah surat dilayangkan oleh Kepala UKP4 kepada
Seskab No. B100/UKP4/PPP/07/2011 tertanggal 7 Juli 2011 yang berisi
permintaan kepada Presiden agar UKP4 dapat ditunjuk sebagai penerima
tugas untuk melanjutkan fungsi Satgas REDD+.
Dalam surat tersebut, Kepala UKP4 memberikan dua pilihan, yaitu:
1. Membuat Inpres yang menugaskan UKP4 sebagai penanggung jawab
kegiatan yang dicantumkan dalam Surat Niat dengan Norwegia, atau
2. Membuat surat penunjukkan Presiden kepada UKP4 untuk melanjutkan
fungsi yang semula melekat pada Satgas, termasuk melakukan
kegiatan dalam rangka Surat Niat dan Inpres No. 10 2011.
Ketika kedua pilihan ini dikaji oleh tim hukum dan perundang-
undangan Sekretariat Kabinet, ditemukan potensi conict of interest
apabila UKP4 ditugaskan sebagai penanggung jawab kelanjutan kegiatan
yang tercantum dalam Surat Niat Norwegia - Indonesia. Berdasarkan PP
No. 54 tahun 2009, UKP4 adalah Unit Kerja Presiden yang melakukan
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, sehingga UKP4 sebaiknya
tidak diberi tambahan tugas untuk melaksanakan kegiatan (implementasi)
karena dapat menimbulkan kerancuan antara fungsi pengawasan dan
pengendalian dengan fungsi pelaksanaan kegiatan. Pertanyaannya pada
saat itu adalah siapa yang akan mengawasi Satgas REDD+ kalau kemudian
UKP4 sendiri yang menjadi pengelola Satgas REDD+ tersebut?
Pertimbangan lain yang diambil dalam penyusunan Keppres untuk
Satgas REDD+ yang baru adalah pencapaian hasil oleh Satgas REDD+
yang dibentuk dengan Keppres No. 19/2010, bulan September 2010.
Sebagai lembaga ad-hoc dengan 6 (enam) tugas utama, hingga akhir masa
tugasnya tanggal 30 Juni 2011 Satgas REDD+masih menyisakan banyak
tugas yang belum terselesaikan secara tuntas. Hanya pemilihan propinsi
percontohan dan Inpres Moratorium yang berhasil diselesaikan oleh Satgas
REDD+. Tugas penyusunan Strategi Nasional REDD+, Lembaga REDD+,
mekanisme Pendanaan REDD+, mekanisme pengukuran pengurangan
emisi, pelaporan dan verikasi atau MRV untuk kegiatan REDD+, belum
selesai dirancang dan disepakati.
Kesulitan utama yang dihadapi oleh Satgas REDD+ dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya disebabkan oleh lemahnya dukungan
politis dari Kementerian dan Lembaga yang menjadi anggota Satgas
REDD+ terhadap keputusan-keputusan yang dipersiapkan dan disepakati
pada rapat Satgas REDD+. Selain itu ditemukan juga kendala teknis dalam
mengatur pertemuan Satgas REDD+ akibat kesibukan Ketua dan anggota
Satgas yang meningkat pada kuartal terakhir tahun 2010. Disebabkan oleh
hambatan ketidakhadiran anggota Satgas dalam rapat-rapat yang diadakan
secara berkala, Ketua Satgas REDD+ menyampaikan rancangan Inpres
Moratorium kepada Presiden tanpa melakukan pembahasan secara detail
mengenai rancangan tersebut dengan anggota Satgasnya.
Selain itu, banyaknya tugas yang harus diselesaikan Kepala UKP4
menyebabkan terbatasnya waktu untuk menyelesaikan perbedaan di
tingkat anggota Kabinet dalam menyikapi berbagai hal yang berhubungan
dengan REDD+, utamanya luasan kawasan yang akan masuk ke dalam
kawasan dengan penundaan izin baru atau yang populer dengan istilah
kawasan moratorium.
Salah satu yang menjadi perdebatan yang menyita waktu adalah
keputusan mengenai lingkup kawasan moratorium. Perdebatan terjadi
sehubungan dengan masuk atau keluarnya hutan sekunder, atau hutan
yang sudah pernah dimanfaatkan seperti kawasan bekas HPH (logging),
ke dalam kawasan moratorium. Pihak LSM, perguruan tinggi dan media
melihat bahwa kebijakan penundaan izin baru ini tidak cukup menjanjikan
reformasi pengelolaan hutan apabila hutan sekunder tidak dimasukkan.
Sementara Kementerian Kehutanan melihat bahwa seharusnya
moratorium dilakukan dalam skala yang realistis dan terfokus, yaitu
hanya di hutan alam saja. Sikap Kementerian Kehutanan ini didukung
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan beberapa Kementerian dibawah
koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
119
118
Satgas REDD+ Jilid Ke dua
Sebagai upaya percepatan penyelesaian tugas Satgas REDD+
dan sekaligus percepatan pelaksanaan kegiatan yang disepakati pada
Surat Niat dengan Norwegia, dikeluarkan Keppres No. 25 tahun 2011 yang
memberikan payung hukum terhadap perpanjangan penugasan Satgas
REDD+, dengan penambahan anggota Satgas dan penguatan kewenangan.
Satgas REDD+ jilid kedua ini mendapat tenggat waktu sampai 31 Desember
2012 untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
Untuk meningkatkan kinerja Satgas REDD+, maka Sekretariat
Satgas REDD+ tidak lagi ditempatkan di UKP4 akan tetapi akan ditugaskan
kepada unit kerja Presiden yang lebih dekat lingkup tugasnya dengan
lingkup kerja REDD+. Ada dua pilihan yang dipertimbangkan tim hukum
Sekretariat Kabinet, yaitu menugaskan Dewan Nasional Perubahan Iklim
untuk mendukung kegiatan Satgas REDD+ atau memberikan penambahan
tugas kepada Staf Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim.
Karena Dewan Nasional Perubahan Iklim tidak termasuk diantara
Kementerian dan Lembaga yang menerima penugasan menjadi anggota
Satgas REDD+, maka tugas tambahan sebagai Sekretaris Satuan Tugas
REDD+ tersebut kemudian diberikan kepada Staf Khusus Presiden bidang
Perubahan Iklim (SKP PI), Agus Purnomo. Sesuai dengan kelaziman dalam
pengelolaan sebuah Satuan Tugas, maka tanggung jawab pengelolaan
sekretariat melekat pada Sekretaris Satuan Tugas tersebut.
Pada pertemuan pertama setelah Keppres no 25 tahun 2011
ditandatangani Presiden, pak Kuntoro dan pak Heru Prasetyo, yang pada
Satgas REDD+ jilid pertama ditugaskan menjadi Sekretaris Satgas, sudah
menyampaikan kepada saya (Agus Purnomo) bahwa dalam waktu yang
tidak terlalu lama lagi akan dilakukan serah terima tugas Sekretaris Satgas
REDD+ dari pak Heru kepada saya.
Pengalaman dua kali mengajukan rancangan Perpres Moratorium
yang dalam kurun waktu sepuluh hari diimbangi oleh pengajuan rancangan
alternatif Perpres Moratorium yang sama oleh beberapa Kementerian,yang
juga anggota Satgas REDD+, disimpulkan oleh Ketua Satgas REDD+ bahwa
penugasan melalui mekanisme kerja Satuan Tugas dengan anggota para
pejabat eselon satu Kementerian terkait adalah cara pengorganisasian yang
sulit untuk membuat terobosan baru (thinking outside the box).
Pada sebuah kesempatan bertemu, Ketua Satgas REDD+
menyatakan kepada Sekretaris Kabinet bahwa Satgas REDD+ dalam
rancangannya seperti sekarang tidak akan berjalan baik, oleh karena
itu Ketua Satgas akan mencari alternatif cara lain. Yang terjadi kemudian
adalah rencana serah terima Sekretaris Satgas REDD+ tidak terwujud dan
fungsi kesekretariatan Satgas REDD+ tetap dijalankan oleh beberapa staf
UKP4 dibawah kendali langsung pak Kuntoro selaku Kepala UKP4 dan
Ketua Satgas REDD+.
Sedangkan tugas Satgas dipecah dan dikemas menjadi tugas 10
(sepuluh) Tim Kerja yang masing-masing dipimpin oleh perorangan yang
ahli dibidang tugas masing-masing. Beberapa Tim Kerja diketuai oleh
anggota Satgas REDD+ atau pejabat senior yang mewakili Kementerian
anggota Satgas REDD+, termasuk 3 pejabat UKP4 yang membawahi Tim
Kerja Moratorium, Tim Kerja penegakan Hukum dan Legal Review serta
Tim Kerja Knowledge Management dan Dukungan Manajemen. Tim Kerja
Strategi Nasional REDD+, Tim Kerja Instrumen Pendanaan dan Tim Kerja
Komunikasi dan Pelibatan para Pihak diketuai oleh tenaga profesional yang
bekerja purna waktu.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
121
120
Perbaikan tata kelola hutan memang
harus dimulai dari kesamaan pemahaman
terhadap permasalahan dan kondisi
sebenarnya dari kawasan hutan dan
gambut, termasuk konik penguasaan
lahan yang terjadi dan pembebanan
perizinan yang sudah tumpang tindih di
pelosok Indonesia.
Sebulan setelah Inpres 10/2011
diterbitkan, tepatnya 17 Juni 2011, Menteri
Kehutanan menerbitkan Peta Indikatif
Penundaan Izin Baru (PIPIB) melalui Surat
Keputusan Menteri No.323/Menhut-II/2011,
sebagai acuan terhadap area yang tidak dapat
dikenakan izin baru. PIPIB ini merupakan
lampiran dari Inpres 10/2011.
Sesuai dengan penjabaran dalam
Inpres tersebut, PIPIB akan direvisi setiap
6 (enam) bulan sekali. Kepala Badan
Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional
(Bakosurtanal) ditugaskan untuk melakukan
pembaharuan peta tutupan hutan dan lahan
gambut, bekerja sama dengan Menteri
Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan
Nasional, dan Ketua Satgas REDD+.
Guna mendapatkan masukan dari
masyarakat luas terhadap PIPIB ini, maka
pada tanggal 5 Agustus 2011 UKP4, selaku
pemantau pelaksanaan Inpres No. 10 2011,
mengajak masyarakat untuk memberikan
Peta Indikatif
Penundaan Izin
Baru (PIPIB)
BAB 7
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
123
122
masukan bagi pembaharuan dan koreksi data PIPIB. Peta tersebut
selengkapnya dapat dilihat dan diunduh di http://appgis.dephut.go.id/
appgis/petamoratorium.html. Peta dalam bentuk le shp: http://www.
ukp.go.id/informasi-publik/cat_view/20-geospasial
Setiap orang, kelompok masyarakat, lembaga, atau badan usaha
dapat memberikan informasi geospasial dalam rangka pembaharuan
peta tutupan hutan dan lahan gambut. Proses pemutakhiran informasi
yang terbuka bagi semua pihak ini merupakan proses yang pertama kali
dilakukan secara transparan dalam sejarah pembuatan peta kehutanan di
Indonesia.
Hal ini disambut baik oleh Dubes Norwegia untuk Indonesia, Eivind
Homme, yang mengatakan Saya senang melihat komitmen pemerintah
untuk membuat peta dan data moratorium tersedia untuk masyarakat
umum dan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam meningkatkan
moratorium dalam melakukan pemetaan setiap enam bulan.
Dubes Homme mengartikan Kebijakan Moratorium sebagai
sebuah kesempatan membangun kesepakatan di antara Kementerian dan
Lembaga Pemerintah terkait dalam perencanaan penggunaan lahan hutan
dan gambut yang dilakukan diatas sebuah peta yang telah dimutakhirkan
datanya oleh semua pihak. Penyikapan Dubes Homme tersebut adalah
wujud dukungan politis pemerintah Norwegia kepada Pemerintah Indonesia
yang secara konsisten dilakukan sejak sebelum kerjasama bilateral REDD+
ditandatangani.
Perbaikan tata kelola hutan memang harus dimulai dari kesamaan
pemahaman terhadap permasalahan dan kondisi sebenarnya dari kawasan
hutan dan gambut, termasuk konik penguasaan lahan yang terjadi dan
pembebanan perizinan yang sudah tumpang tindih di pelosok Indonesia.
Revisi terhadap PIPIB membuka peluang bagi perbaikan
penetapan pilihan tata guna lahan untuk mencapai tata kelola hutan
yang berkelanjutan. Hal ini berarti mencegah konversi hutan yang
memiliki cadangan karbon dan keanekaragaman hayati yang tinggi, serta
mempertahankan kawasan adat bagi keberlanjutan kehidupan puluhan
juta warga masyarakat adat dan pedesaan di sekitar hutan. Revisi PIPIB
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upaya penyempurnaan peraturan
dan perundang-undangan yang ada, serta merupakan terobosan dalam
pembuatan peraturan dan kelembagaan baru untuk mengelola aset karbon
di lahan hutan dan gambut.
Revisi PIPIB sebagai salah satu tugas pada Inpres 10/2011
diharapkan dapat menjadi momentum bagi perbaikan informasi berbentuk
peta, reformasi perizinan pengusahaan lahan hutan dan gambut, dan
wujud dari fungsi pengawasan penerapan Inpres Moratorium tersebut oleh
masyarakat.
Modal awal pembuatan PIPIB
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Kehutanan,
memiliki beberapa program pengolahan data citra satelit tentang tutupan
hutan di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu program besar yang secara
langsung telah dimanfaatkan dalam pembuatan PIPIB adalah kerjasama
Indonesia dengan Australia yang disebut INCAS (IndonesiasNational Carbon
Accounting System). Selain Kementerian Kehutanan, INCAS bertumpu pada
personalia dan fasilitas Lembaga Antariksa dan Penerbangan Indonesia
(LAPAN), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal),
beberapa organisasi di bidang kehutanan, perguruan tinggi di Amerika
Serikat dan Australia.
Selain INCAS, pemerintah Indonesia juga memiliki program-
program kerjasama bilateral yang melibatkan berbagai sumber informasi
citra satelit di Amerika Serikat, Jepang, Thailand dan beberapa negara
Eropa.
Selain Kementerian Kehutanan dan Bakosurtanal, lembaga
pemerintah lain yang juga melakukan pemetaan tutupan hutan adalah
Kementerian Lingkungan Hidup yang dalam beberapa tahun terakhir
memiliki program pemberian insentif kepada Pemerintah Daerah yang
memiliki tutupan hutan yang baik, bernama Menuju Indonesia Hijau
(MIH). Meskipun Peta MIH disusun dengan sumber daya yang relatif
terbatas, Kementerian Lingkungan Hidup telah memberikan masukan yang
independen dari Kementerian Kehutanan terkait kawasan yang menurut
mereka perlu dimasukkan ke dalam kawasan moratorium .
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
125
124
Untuk meningkatkan pemahaman diantara staf dan pimpinan
UKP4 yang menjadi Sekretariat Satgas REDD+, beberapa konsultan
dibidang pengolahan data satelit dan sistem informasi geogras diberikan
tugas untuk melakukan pembuatan peta-peta moratorium dengan skala
yang besar.
PIPIB I (Juni 2011):
Peta Indikatif yang dikeluarkan oleh Kemenhut ini merupakan peta
acuan awal yang mengintegrasikan kumpulan data terbaru dari badan-
badan terkait dengan menggabungkan hasil dari ground-truthing exercise,
yang akan terus menerus diperbaiki dan disempurnakan.
Pada PIPIB I, denisi hutan primer dan lahan gambut yang
digunakan berasal dari Kemenhut, dengan mengadopsi peta tutupan hutan
dari Kemenhut (skala 1:250.000) dan peta lahan gambut dari Bappenas/
Wetlands International.
Denisi lahan gambut oleh Bappenas/Wetlands International,
yang digunakan dalam PIPIB I adalah yang luas yang mencakup semua
lahan gambut termasuk lahan dimana ada kegiatan penggunaan lahan
yang sedang berlangsung (misalnya untuk perkebunan, pemukiman, dll).
Peta ini hanya memperhitungkan pertimbangan perizinan yang dikeluarkan
sendiri oleh Kemenhut.
PIPIB yang kemudian direvisi tidak hanya untuk memberikan
akurasi yang lebih besar dari area yang tercakup dalam moratorium (jumlah
dan lokasi), tetapi juga meningkatkan keterbukaan informasi yang penting,
seperti data dari perizinan pertambangan, dan juga tingkat kepercayaan
terhadap integritas data. Publik tidak hanya menyaksikan situasi dimana
adanya penambahan pada daerah yang dicakup oleh moratorium, tetapi
juga adanya pengurangan dalam jangkauan daerah lain.
Perbedaan analisa tentang data yang digunakan PIPIB I
Dalam Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamatan Hutan
Indonesia dan Iklim Global pada tanggal 14 Juli 2011, mereka menantang
Presiden SBY untuk segera mengkaji ulang izin pembukaan hutan dan
menyempurnakan tata kelola hutan untuk memperkuat pelaksanaan
Moratorium dua-tahun konversi hutan yang sudah dicanangkan pada bulan
Mei 2011.
Di Siaran Pers tersebut disebutkan bahwa Pemerintah mengklaim
peta moratorium yang dikeluarkan bisa melindungi 72 juta hektar hutan,
sementara analisa Greenpeace Indonesia (GPI) menunjukkan bahwa
terdapat 1,7 juta hektar dari angka tersebut yang tumpang tindih dengan
konsesi yang ada dan hutan primernya terancam rusak. Jika hal ini terjadi,
maka emisi GRK Indonesia akan meningkat dan sejumlah hutan alam
dengan luasan kawasan yang cukup besar, yang sangat penting bagi
kehidupan masyakarakat adat dan merupakan habitat bagi satwa langka
seperti orang-utan dan harimau Sumatera, akan hilang untuk selamanya.
Pemerintah harus segera mengkaji ulang izin konsesi sebagai
langkah awal dalam penegakan hukum di sektor kehutanan yang sampai
sekarang dijadikan ajang korupsi, kata Yuyun Indradi Juru Kampanye
Politik Hutan Greenpeace.
Analisa yang dilakukan GPI menemukan sejumlah perusahaan
masih terus menghancurkan hutan dalam wilayah yang ditetapkan sebagai
wilayah moratorium.
GPI melihat adanya kontradiksi antara moratorium dan kebijakan
pemerintah dalam produksi industri pulp dan kertas. Dari 10 juta hektar
kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) hanya 43% yang sudah ditanami,
yang berarti sebagian besar suplai kayu industri ini berasal dari hutan alam.
PIPIB adalah peluang bagi pendataan lahan yang telah
mendapatkan izin, dan sesudahnya menjadikan data perizinan tersebut
sebagai acuan dalam upaya perlindungan lahan yang memiliki kandungan
karbon (gambut) dan yang keanekaragaman hayatinya tinggi (hutan
primer). Untuk Izin yang sudah dikeluarkan dan sedang dimanfaatkan perlu
dilakukan evaluasi mengenai kepatuhannya pada peraturan yang berlaku
saat ini, kegiatan yang berkinerja buruk perlu ditangguhkan, dan izin untuk
kegiatan yang tidak mematuhi peraturan perlu dicabut.
Tanpa kebijakan dan tindakan yang terencana, program REDD+
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
127
126
akan menghadapi tantangan yang besar untuk mencapai sasaran
pengurangan emisi pada tahun 2020. Moratorium kawasan hutan primer
dan lahan gambut merupakan salah satu langkah nyata untuk mencapai
sasaran pengurangan emisi tersebut. Bagi Indonesia, REDD+ bukan saja
untuk mengurangi emisi dari kawasan hutan dan lahan gambut, tetapi juga
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, termasuk mencapai
ketahanan pangan dan energi. Selanjutnya pengurangan emisi dari sektor
Kehutanan terkait dengan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca (RAN GRK).
Peta Indikatif Moratorium II (Desember 2011):
PIPIB II yang dikeluarkan oleh Kemenhut ini telah melibatkan tim
teknis yang lebih luas dalam perkembangannya, termasuk Bakosurtanal,
BPN (Badan Pertanahan Nasional), Kementerian Pertanian dan UKP4.
Denisi hutan primer alami menggunakan denisi dari Kemenhut dan
denisi lahan gambut dari Pusat Penelitian Tanah Kementerian Pertanian.
Selanjutnya PIPIB II mengadopsi peta tutupan hutan dari Kementerian
Kehutanan dan peta lahan gambut dari Kementerian Pertanian (1:250.000).
Pusat Penelitian Tanah telah mengumpulkan dan menganalisa
berbagai studi lapangan dan penelitian lahan gambut di seluruh Indonesia.
Peta lahan gambut Papua dari Bappenas/Wetlands International yang
digunakan dalam PIPIB I telah direvisi, peta ini awalnya tidak memiliki
komponen survei lapangan dan hanya mengandalkan hasil dari desk study.
PIPIB II juga mempertimbangkan perizinan yang dikeluarkan oleh
BPN. Revisi mengakibatkan penambahan serta pengurangan cakupan
alami hutan primer dan lahan gambut, termasuk di Aceh.
Pengecualian dari lokasi di PIPIB II adalah contoh bagaimana suatu
wilayah dapat dihapus dari cakupan moratorium karena revisi tambahan dan
cakupan peta berikutnya yang lebih presisi. Sebagai revisi di masa depan,
peta moratorium menjadi semakin lebih kuat, dan diharapkan akan lebih
banyak kasus perizinan yang timpang tindih, serta lebih banyak lokasi yang
akan ditambahkan dan dihapus dari cakupan peta moratorium.
Tabel 1 Perubahan dalam Peta Cakupan Moratorium
Tipe
Area
PIPIB I Revisi PIPIB II Perubahan
Area Konservasi 21.528.532 21.637.907 +109.375
Hutan Lindung 29.700.268 29.581.356 -118.912
Lahan Gambut 10.680.261 5.922.993 -4.757.268
Hutan Primer 7.235.012 8.391.073 +1.156.061
Keseluruhan Area
Moratorium 69.144.073 65.533.328 -3.610.744
Luas PIPIB berkurang 3,6 juta ha
Pada tanggal 8 Desember 2011, Menteri Kehutanan Zulkii Hasan
meluncurkan revisi hasil pertama PIPIB yang tertuang dalam Keputusan
Menteri Kehutanan No.SK.7416/Menhut-VII/IPSDH/2011, tanggal 22
November 2011 tentang PIPIB Hasil Revisi Pertama Atas Peta Lampiran
Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.323 Menhut-II/2011 tentang
Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan
Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan
Hutan dan areal Penggunaan Lain, beserta lampiran peta berskala 1:250.000.
Keputusan tersebut dikeluarkan setelah dilakukan pembahasan
teknis antara Kemenhut, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
(Bakosurtanal), Badan Pertahanan Nasional, Kementerian Pertanian, dan
Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
pada November 2011 serta masukan dari pihak terkait, papar Zulkii dalam
jumpa pers di Gedung Kementerian Kehutanan, di Jakarta, Kamis (8/12/2011).
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
129
128
Lahan gambut berkurang, hutan primer bertambah
Menurut Zulkii, dalam pelaksanaan revisi peta, tim
memperhatikan hasil survei lapangan terbaru, perkembangan tata ruang,
data dan informasi pentutupan lahan terkini dan masukan masyarakat.
Perubahan luas Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB Revisi Pertama)
pada kawasan KawasanSuaka Alam - Kawasan Pelestarian Alam (KSA-KPA)
bertambah sebesar 109 ribu hektar dan hutan lindung berkurang sebesar
119 ribu hektar. Hal ini terjadi akibat perubahan tata ruang.
Sementara pada hutan alam primer terjadi penambahan luas
sebesar 1,2 juta hektar. Penambahan lahan tersebut terjadi karena adanya
peningkatan status hutan produksi yang rusak dan terlantar menjadi hutan
alam primer, sehingga luas hutan alam primer menjadi 8,4 juta hektar, naik
dari 7,2 juta hektar seperti yang tertera pada PIPIB bulan Mei 2011.
Zulkii menambahkan dalam peta indikatif terbaru luas kawasan
hutan lindung dan lahan gambut justru berkurang. Kawasan hutan
lindung mengalami penurunan seluas 118.912 hektar. Dalam peta indikatif
sebelumnya luas hutan lindung ini mencapai 29,7 juta hektare, kini tinggal
29,6 juta hektar saja.
Terjadi pengurangan yang signikan pada lahan gambut, hingga
45% ketimbang peta bulan Mei 2011. Dalam peta indikatif (PIPIB) yang
pertama kali diterbitkan, tercatat keberadaan 10,68 juta ha lahan gambut
yang ditunda perizinannya, sementara pada peta indikatif terbaru (PIPIB
Revisi Pertama) luasan lahan gambut berkurang menjadi 5,92 juta hektar.
Menurut Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan, Bambang
Supijanto, faktor yang menjadi penyebab berkurangnya luas kawasan
hutan lindung dan lahan gambut adalah perubahan rencana tata ruang
wilayah (RTRW) pada sejumlah daerah, karena tekanan jumlah penduduk
yang terus meningkat dan sejumlah lahan gambut yang terlanjur berubah
menjadi perkebunan sawit.
Secara lengkap keputusan Menteri Kehutanan ini beserta
lampiran petanya dapat dilihat dan diunduh di website Kementerian
Kehutanan di www.dephut.go.id, ujarnya. Menhut Zulkii menyimpulkan
bahwa dengan diterbitkan surat keputusan ini, maka Gubernur, Bupati atau
Walikota wajib berpedoman pada lampiran PIPIB Hasil Revisi I ini dalam
menerbitkan rekomendasi dan penerbitan izin lokasi baru di wilayahnya
masing-masing.
Revisi ini menurut Menhut akan dilakukan setiap enam bulan
sekali, sesuai dengan perintah pada Inpres 10/2011. Revisi ini bertujuan
untuk memutakhirkan informasi lahan yang ditunda perizinannya
berdasarkan masukan dari para pihak terkait dan semua lapisan masyarakat.
Kami berusaha lebih transparan, revisi PIPIB ini terbuka untuk siapa saja
yang punya informasi mutakhir. Segera beritahu kami kalau ada informasi
untuk dijadikan koreksi bagi PIPIB ujar Menhut Zulkii diakhir keterangan
pers tersebut.
Harapan LSM
Beberapa aktivis LSM menyatakan perlunya indikator yang
jelas untuk mengukur keberhasilan moratorium kehutanan, terutama
perlunya penelitian terhadap izin-izin kehutanan yang sudah diterbitkan
pada tahap izin prinsip dan berbagai perizinan lain yang akan berdampak
pada bertambahnya kerusakan hutan primer dan lahan gambut. Usulan
penelitian atau kajian terhadap perizinan yang sudah diterbitkan ini
merupakan langkah logis setelah upaya pengamanan hutan primer dan
lahan gambut yang tersisa berhasil dilakukan.
Dalam kerangka reformasi tata kelola hutan dan gambut, diperlukan
penataan tugas, prioritas dan kewenangan Kementerian Kehutanan, Badan
Pertanahan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemerintah
Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten. Semakin cepat kewenangan
tersebut ditata ulang, semakin banyak hutan primer dan keanekaragaman
hayati yang terjaga, serta semakin kecil peluang konik penguasaan lahan
hutan yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat dan warga
desa di sekitar hutan.
Kelanjutan kebijakan moratorium pasca 2013
Revisi PIPIB selanjutnya akan dirilis pada bulan Mei 2012, yang
diharapkan dapat menyertakan denisi teknis lahan gambut yang lebih baru
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
131
130
dan kuat, termasuk mempertimbangkan informasi tambahan mengenai
izin pertambangan.
Kami tidak bekerja secara terisolir tapi menyatu ke dalam
berbagai program-program di pemerintahan, dengan pendekatan
yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Ini bukan program
yang didominasi pemerintah, ini melibatkan semua ujar Ketua Satgas
Kelembagaan REDD+, Kuntoro Mangkusubroto.
Sebagai kelanjutan kebijakan moratorium di hutan primer dan
gambut, perlu dijaga agar pemutakhiran data perizinan dan citra satelit
tutupan hutan dapat terus dilakukan dan tetap mudah diakses oleh
berbagai pihak, khususnya warga masyarakat. Kebijakan pemanfaatan
kawasan hutan di masa depan harus bertumpu pada informasi yang akurat
mengenai keberadaan hutan dan kemampuan alam memberikan dukungan
bagi kehidupan disekitarnya.
Upaya melakukan pemutakhiran PIPIB ini telah mengurangi
kebingungan akibat keberadaan berbagai peta hutan yang dikeluarkan
oleh Kementerian Kehutanan dan Kementerian teknis lainnya, dan dapat
menjadi rujukan bagi Indonesias One Map, suatu referensi tunggal nasional
untuk pemetaan.
Sebagai langkah perbaikan tata kelola hutan dan gambut selanjutnya,
Inpres 10/2011 ini dapat diikuti dengan:
1. Pembuatan peta tematik berbagai perizinan yang dibebankan pada
kawasan hutan untuk digunakan sebagai informasi masyarakat dalam
upaya mencegah berlanjutnya tumpang tindih perijinan dan konsesi.
2. Pengakuan hak kawasan adat dalam bentuk Hutan Rakyat dari
Kementerian Kehutanan atau Hak Pakai (pemanfaatan terbatas) dari
Badan Pertanahan Nasional. Adanya pengakuan formal terhadap
kawasan tempat hidup dan tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat
adat tersebut, dapat mengurangi kejadian jual beli kawasan adat oleh
perorangan pimpinan masyarakat adat.
3. Pembentukan pengadilan khusus untuk sengketa hukum terkait
penguasaan lahan dan tumpang tindih perizinan, sehingga konik
penguasaan lahan bisa dicegah dan diselesaikan melalui mekanisme
pengadilan (hukum).
Salah satu kasus yang dapat digunakan untuk membangun mekanisme
ini adalah gugatan LSM di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap
penerbitan izin untuk usaha perkebunan sawit seluas 1.605 hektar di
Rawa Tripa. Gugatan ini didasarkan pada anggapan bahwa penerbitan izin
tersebut melanggar perundangan tata lingkungan serta menimbulkan
kerusakan lingkungan.
Penerbitan izin ini sebetulnya menggambarkan kompleksitas dari
masalah-masalah dalam rezim perizinan, yang menuntut kebutuhan
terhadap integrasi data yang lebih baik di tingkat nasional dan sub-nasional
(provinsi dan kabupaten). Kasus ini menggambarkan rumitnya data,
yaitu diantaranya konik yuridiksi antara pemerintah pusat dan daerah,
rencana tata ruang kabupaten dan kota yang tidak sinkron, kurangnya
verikasi terhadap kedalaman gambut di daerah tersebut, adanya wilayah
pemukiman, perbedaan data yang menyebutkan bahwa izin penggunaan
lahan (HGU) telah diterbitkan di daerah tersebut sebelum moratorium mulai
berlaku, oleh karenanya maka wilayah ini merupakan pengecualian dalam
PIPIB II, sementara citra satelit menunjukkan bahwa aktivitas pembukaan
lahan telah terjadi di area konsesi sebelum izin itu ditandatangani oleh
gubernur.
Kompleksitas situasi ini menggarisbawahi pentingnya menciptakan
database yang baik untuk perizinan yang telah ada. Seiring dengan itu,
Satgas REDD+ akan mencari kejelasan lebih lanjut mengenai izin yang
mungkin tumpang tindih yang telah diberikan untuk menilai kepatuhan
mereka terhadap peraturan yang ada dan prosedur perizinan.
Saya berharap bahwa revisi yang dilakukan secara terus menerus dan
melibatkan masyarakat maka peta moratorium ini akan menjadi semakin
lebih kuat, dan diharapkan akan lebih banyak kasus perizinan yang tumpang
tindih dapat terselesaikan, serta lebih banyak lokasi yang akan ditambahkan
dan dihapus dari cakupan peta moratorium.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
133
132
Konsep pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan,
disingkat REDD+, terbukti menimbulkan
gairah untuk mempercepat reformasi
pengelolaan hutan dan gambut yang
sejak diberlakukannya Undang-undang
Otonomi Daerah sempat disalahtafsirkan
sebagai pemberian hak kepada gubernur
dan bupati untuk merusak hutan.
Sebagai negara berkembang
yang diperkirakan akan menjadi sepuluh
ekonomi terbesar di dunia (group of ten
major economies) pada tahun 2025, tidak
dapat dihindari bahwa pertumbuhan
ekonomi Indonesia akan meningkatkan
juga emisi karbon, terutama dari sektor
pertanian di kawasan hutan dan lahan
gambut, dari kegiatan pembangkitan energi,
pembangunan industri dan transportasi.
Tantangan berwujud aneka
kerusakan hutan dan lingkungan yang
dihasilkan oleh kegiatan pembangunan
dimasa lalu, dalam beberapa tahun terakhir
diantisipasi melalui konsep pertumbuhan
ekonomi yang dirancang untuk sekaligus
menurunkan emisi karbon yang sering
disebut sebagai pertumbuhan ekonomi
rendah karbon.
Seperti yang telah dinyatakan oleh
Presiden SBY pada pertemuan G-20 pada
bulan September tahun 20o9 di Pittsburg,
Catatan Akhir
BAB 8
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
135
134
Amerika Serikat, yang kembali di tegaskanpada pertemuan PBB mengenai
Perubahan Iklim, UNFCCC COP-15 di Kopenhagen, Denmark, bulan
Desember 2009:In the spirit of thinking outside the box, in September this
year Indonesia declared emission reduction target of 26 % from business as
usual by 2020, and this can be increased to 41 % with enhanced international
assistance. As a non-Annex 1 country, we did NOT have to do this. But we read
the stark scientic warnings of the IPCC. So we set our new reduction target,
because we wanted to be part of global solution.
Pernyataan Presiden SBY di Kopenhagen tahun 2009 yang
lalu secara eksplisit menyatakan bahwa Indonesia ingin menjadi bagian
dari solusi global terhadap permasalahan Perubahan Iklim yang sudah
berdampak besar bagi keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat Indonesia di berbagai pelosok tanah air.
Oleh karenanya, perlu digarisbawahi bahwa komitmen untuk
mengurangi emisi secara sukarela, bukanlah karena tekanan atau bujukan
dari negara maju, akan tetapi sepenuhnya diniatkan sebagai upaya
penyelamatan warga masyarakat yang tinggal di daerah rawan iklim
ekstrim. Kesempatan ini sekaligus memanfaatkan momentum kesepakatan
global untuk mengurangi emisi karbon sebagai insentif untuk melakukan
reorientasi pembangunan ekonomi yang di masa lalu menimbulkan
kerusakan hutan dan boros emisi, menjadi pembangunan ekonomi yang
adil, lestari dan berkelanjutan.
Moratorium Hutan dan Gambut
Perbaikan tata kelola kehutanan memegang peran penting bagi
upaya pengurangan emisi. Mengingat sumber emisi terbesar di Indonesia
adalah akibat kebakaran hutan dan lahan, tingginya laju perusakan hutan
dan banyaknya konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian, pemukiman
atau untuk kegiatan pembangunan lainnya, maka keberhasilan pemenuhan
komitmen penurunan emisi sebesar 26% pada tahun 2020 tergantung pada
keberhasilan upaya menegakkan aturan yang melarang pembakaran hutan
dan lahan, melindungi hutan dari pembalakan liar, menyelesaikan konik
penguasaan lahan hutan dan menyelamatkan lahan gambut yang tersisa.
Untuk mewujudkan beberapa sasaran kebijakan tersebut, diperlukan
perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut kearah pengelolaan hutan
dan gambut yang berkelanjutan.
Pada saat ini dilakukan berbagai upaya pengurangan emisi karbon
termasuk program penanaman satu miliar pohon setiap tahunnya yang
akan menghasilkan serapan karbon yang besar, terutama bila dilakukan
secara konsisten dalam dua dekade mendatang. Upaya penanaman pohon
saja tidaklah cukup memadai mengurangi emisi karbon karena diperlukan
waktu 6 sampai 8 tahun bagi pohon yang ditanam untuk menjadi besar,
serta diperlukan lahan yang sangat luas untuk mencapai jumlah serapan
karbon yang diinginkan.
Meskipun demikian, secara keseluruhan kegiatan penanaman
pohon adalah program yang penting, tidak saja untuk menyerap gas
karbon, tapi yang lebih penting lagi adalah untuk beradaptasi terhadap
perubahan iklim. Keberadaan hutan dan pohon, khususnya di lahan kritis
dan perbukitan dengan lereng yang curam, sangat penting untuk mencegah
bencana kekeringan, tanah longsor dan banjir yang timbul akibat cuaca
ekstrim seperti kemarau panjang atau hujan badai yang mencurahkan
banyak air di dahului petir dan angin yang kencang.
Koordinasi yang baik antar Kementerian dan Lembaga yang
bertanggung jawab terhadap berbagai program yang berhubungan
dengan pemanfaatan lahan hutan dan gambut adalah sebuah komitmen
yang bersungguh-sungguh meskipun dibatasi oleh kendala dinamika
politik partai-partai di DPR dan keterbatasan kemampuan aparat birokrasi,
khususnya di tingkat kabupaten.
Peningkatan ketahanan pangan dan energi
Prioritas untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi
membutuhkan sistem pendukung yang handal, mulai dari ketersediaan
informasi mengenai keadaan sik dan dinamika sosial masyarakat yang
mutakhir serta akurat, sampai kepada kemampuan para pengambil
keputusan dan pelaksana lapangan untuk menggalang konsensus dan
kerjasama berbagai pihak.
Perluasan lahan pertanian untuk kebutuhan pangan, kelapa sawit,
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
137
136
bahan baku kertas, bubur kayu dan produk kayu lainnya, sudah dan akan
terus diarahkan untuk memanfaatkan lahan hutan yang sudah terdegradasi,
atau rusak akibat praktek pemanfaatan hutan di masa lalu.
Pada tahun 2011, perkebunan kelapa sawit telah berkembang
pesat mencapai luasan sebesar 8 (delapan) juta hektar, yang dimiliki oleh
perusahaan swasta (52%), pekebun sawit kecil / masyarakat (40%) dan
BUMN (8%). Pemerintah berencana untuk melipatgandakan produksi
CPO minyak sawit sebesar 40 juta ton pada tahun 2020, yang dapat dicapai
dengan meningkatan produktivitas tanaman sawit, yaitu menjadi rata-
rata 4,5 ton minyak sawit per hektar per tahun, meskipun pada beberapa
perkebunan sawit yang besar target produktivitas per hektar bisa ke tingkat
7 ton/tahun.
Pencapaian ini berarti melakukan esiensi pada seluruh
tahapan produksi, termasuk pengolahan dan pemasaran, dan juga
melalui peremajaan kebun dan peningkatan kualitas benih. Peningkatan
produktivitas perkebun sawit kecil / masyarakat merupakan kunci
keberhasilan dari tercapainya sasaran peningkatan produksi minyak sawit
tersebut.
Perluasan lahan pertanian dan perkebunan dilakukan ke arah
pemanfaatan lahan yang terdegradasi atau kawasan hutan yang sudah
rusak. Sekalipun terdapat kritik dan komentar skeptis dari berbagai pihak,
perluasan lahan pertanian dapat dilakukan dengan cara yang bersahabat
dengan iklim bila memperhatikan beberapa hal, di antaranya:
Menghindari konversi hutan alam (primer) yang dilakukan melalui
upaya penegakan hukum;
Memaksimalkan pemanfaatan lahan kritis untuk lokasi penanaman
baru; dan
Menyediakan insentif ekonomi kepada pemerintah daerah dan para
pemangku kepentingan lokal untuk melestarikan hutan dan lahan
gambut di daerah mereka masing-masing.
Tata ruang sebagai instrumen perbaikan tata kelola hutan dan
gambut
Perencanaan spasial yang seksama sangat dibutuhkan untuk
memastikan agar kegiatan perluasan areal penanaman tidak menimbulkan
konik dengan masyarakat lokal dan penduduk asli, namun justru akan
dapat meningkatkan penghidupan di daerah pedesaan.
Perluasan kebun dan lahan pertanian membutuhkan dukungan
data spasial yang mutakhir mengenai keberadaan lahan hutan yang telah
rusak. Selain untuk dimanfaatkan oleh pekebun dan petani, informasi
mengenai lahan hutan yang rusak dapat digunakan untuk menetapkan
prioritas lokasi program penghutanan kembali dan pemberian izin
pengelolaan kawasan untuk perbaikan ekosistem. Gabungan dari berbagai
upaya diatas mempercepat tercapainya sasaran pengurangan emisi karbon,
peningkatan ketahanan pangan dan energi, serta pembangunan ekonomi
yang berkelanjutan.
Pengelolaan momentum REDD+
Pengelolaan dan pelaksanaan Kegiatan REDD+ di Indonesia
menjadi tantangan disebabkan belum adanya Kementerian atau Lembaga
yang diberikan kewenangan atau penugasan untuk menurunkan emisi
karbon, begitu juga kewenangan yang lebih kecil lingkupnya untuk
mengurangi emisi karbon di kawasan hutan dan lahan gambut. Arahan
Presiden SBY agar REDD+ dikelola oleh sebuah lembaga baru yang berdiri
sendiri, bekerja lintas sektor, dan melaporkan hasil kerjanya langsung
kepada Presiden adalah sebuah pilihan dalam melakukan reformasi
birokrasi khususnya perbaikan tata kelola hutan dan gambut untuk
mencapai sasaran penurunan emisi karbon.
Agar Lembaga REDD+ yang akan dibentuk ini dapat melaksanakan
tugasnya secara efektif, perlu diberikan mandat untuk tidak saja melakukan
koordinasi maupun intervensi kebijakan dari tingkat nasional, akan
tetapi juga memiliki kemampuan untuk menerobos sumbatan baik
yang disebabkan oleh hambatan peraturan, maupun oleh keterbatasan
kemampuan di tingkat lokal.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
139
138
Data yang akurat dan peta yang mutakhir
Perbaikan tata kelola hutan dan gambut, yang digairahkan dan
dicanangkan melalui Kebijakan Moratorium ini perlu diikuti dengan:
a. Pembuatan peta tematik mengenai berbagai perizinan yang
dibebankan pada kawasan hutan untuk digunakan sebagai informasi
masyarakat dalam upaya mencegah berlanjutnya tumpang tindih
perizinan dan konsesi.
b. Pengakuan hak kawasan adat dalam bentuk Hutan Rakyat dari
Kementerian Kehutanan atau Hak Pakai (pemanfaatan terbatas) dari
Badan Pertanahan Nasional. Adanya pengakuan formal terhadap
kawasan tempat hidup dan tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat
adat tersebut, dapat mengurangi kejadian jual beli kawasan adat oleh
perorangan pimpinan masyarakat adat.
c. Pembentukan pengadilan khusus untuk sengketa hukum terkait
penguasaan lahan dan tumpang tindih perizinan, sehingga konik
penguasaan lahan bisa dicegah dan diselesaikan melalui mekanisme
pengadilan (hukum).
Perbaikan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) atau yang
sering disebut sebagai Peta Moratorium, menurut Inpres 10/2011 harus
dilakukan setiap enam bulan dalam kurun waktu dua tahun masa penundaan
izin baru. Untuk pertama kalinya, perbaikan peta tersebut dilakukan dengan
melibatkan para pihak terkait, tidak saja melibatkan berbagai Kementerian
akan tetapi juga berbagai organisasi masyarakat, perguruan tinggi dan
perusahaan yang memiliki informasi mutakhir mengenai kondisi hutan dan
gambut serta perizinan yang pernah dikeluarkan oleh Pemerintah sebelum
Inpres diterbitkan.
Upaya yang dilakukan untuk membahas perubahan-perubahan
pada peta tersebut secara partisipatif memperoleh penghargaan dari
beberapa pihak, meskipun hasil perubahannya yang berbentuk Peta
Moratorium yang sudah direvisi mendapat kritik dari beberapa organisasi
yang menduga adanya manipulasi dalam perizinan dan terjadinya
pelanggaran hukum dalam bentuk pembukaan lahan hutan primer dan
lahan gambut sebelum izinnya diterbitkan.
Dikeluarkannya sebagian kawasan Rawa Tripa di Aceh dari kawasan
yang ditunda perijinannya dalam Peta Moratorium yang sudah direvisi
setelah Gubernur Aceh mencanangkan jeda balak dan konversi hutan, serta
setelah Presiden menandatangani Inpres 10/2011 yang menunda semua
perizinan baru bagi pemanfaatan hutan primer dan gambut berkembang
menjadi wacana untuk mengukur keseriusan komitmen Pemerintah Pusat
dan Daerah.
Epilog
Penulisan Bab Kesimpulan buku ini dilakukan di kantor Dewan
Nasional Perubahan Iklim pada pertengahan bulan April 2012. Matahari
sudah turun mendekati batas cakrawala. Hujan besar disertai petir baru
berakhir dua jam yang lalu, sehingga langit membiru dan bersih dari
awan. Bayangan gedung-gedung besar dengan sinar keemasan matahari
di layar yang biru, membawa kerendahan hati dan kekaguman melihat
ciptaan Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Dari salah satu komputer di
lantai 18 Gedung Kementerian BUMN ini terdengar permainan piano Paul
McCartney dalam The Long and Winding Road, sebuah lagu klasik the
Beatles yang mengundang proses reeksi dan menyadarkan kami bahwa
perjalanan mencapai pengelolaan hutan yang lestari masih akan panjang,
melalui jalan berliku dan menanjak.
Konsep pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan,
disingkat REDD+, terbukti menimbulkan gairah untuk mempercepat
reformasi pengelolaan hutan dan gambut yang sejak diberlakukannya
Undang-undang Otonomi Daerah sempat disalahtafsirkan sebagai
pemberian hak kepada gubernur dan bupati untuk merusak hutan.
Insentif yang tercipta dari penerapan REDD+ dapat dimanfaatkan untuk
mengembalikan akal sehat ke dalam proses pemberian izin pertambangan,
izin pemanfaatan hutan dan lahan hutan serta izin perluasan lahan
perkebunan dan pertanian yang sering diterbitkan di atas lahan gambut,
kawasan hutan primer dan lahan dengan kemiringan lereng yang curam.
Semoga presiden terpilih sesudah 2014 diberi keteguhan hati
untuk melanjutkan perbaikan tata kelola hutan dan gambut, serta tidak
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
141
140
terbujuk oleh rayuan sekelompok kecil pengusaha yang menuntut tidak
diperpanjangnya kurun waktu Kebijakan Moratorium Hutan dan Gambut.
Keinginan untuk merebut kembali kebebasan merusak hutan seperti di
masa silam, nyaring disuarakan oleh sekelompok kecil pengusaha yang
berharap kegiatannya mengeringkan lahan gambut bagi usaha perkebunan
dapat memberi keuntungan yang melimpah meskipun dampaknya terbukti
telah menyengsarakan jutaan warga Indonesia dan ratusan juta penduduk
dunia.
Semoga catatan singkat ini dapat menambah semangat
dan meningkatkan keberhasilan dalam kelanjutan perjalanan mulia
menyongsong hari esok yang lebih baik.
Moratorium Hutan dan Gambut
Moratorium Hutan dan Gambut
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
Komitmen Radikal Menjaga Hutan
143
142
Moratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga Hutan
144

Anda mungkin juga menyukai