Anda di halaman 1dari 24

1

AIRWAYMANAGEMENT
Oleh : Ridlwan Kamaluddin, S.Kep., Ns, M.Kep
Airwayatau jalan napas dapat dibedakan menjadi 2 yaitu jalan napas atas dan
jalan napas bawah. Jalan napas merupakan saluran yang memungkinkan udara atmosfer
masuk melalui hidung atau mulut diteruskan ke bronkus hingga ke alveoli. Jalan napas
atas terdiri dari rongga hidung dan rongga mulut, laring, trakhea sampai percabangan
bronkus. Jalan napas bawah terdiri dari bronkus, percabangan bronkus dan paru-paru
(118, 2007).

A. Gangguan Jalan Nafas
Perawat dapat mengetahui adanya obstruksi jalan napas pada saat penilaian awal.
Pasien yang sadar dan dapat berbicara merupakan tanda airway yang baik. Oleh
karena itu, tindakan awal saat menolong pasien adalah berusaha berbicara dengan
pasien. Jawaban yang adekut menjamin airway yang baik, pernapasan yang baik dan
perfusi ke otak yang baik. Gangguan dalam menjawab pertanyaan menunjukkan
gangguan kesadaran, gangguan jalan napas atau gangguan pada pernapasan(118,
2007).
Obstruksi jalan nafas juga dapat dikenali melalui tanda objektif pada pasien. Tanda
objektif dapat diketahui dengan melakukan Look, Listen dan Feel.
1. Look
Lihat apakah kesadaran pasien berubah. Bila penderita gelisah, kemungkinan
besar mengalami hipoksia. Lihat adanya sianosis pada kuku dan sekitar mulut.
Lihat adanya penggunaan otot pernapasan.
2. Listen
Pernapasan yang berbunyi adalah pernapasan yang terobstruksi.
a. Mengorok (Snoring): lidah jatuh kebelakang sehingga menutup jalan napas.
b. Bunyi cairan/seperti orang berkumur (Gurgling): darah atau cairan disekitar
rongga pernapasan.
c. Stridor: bunyi stridor bisa disebut juga bunyi high pitch wheezingdisebabkan
oleh obstruksi parsial faring atau laring.
3. Feel
Rasakan keluarnya udara dari hidung atau mulut pasien (merasakan adanya udara
ekspirasi).
2

B. Macam-macam Obstruksi Jalan Napas
1. Obstruksi jalan napas total
Pasien yang mengalami obstruksi jalan napas total dapat ditemukan dalam
keadaan sadar atau tidak sadar. Obstruksi total akut biasanya disebabkan oleh
benda asing yang tertelan kemudian menyangkut atau menyumbat pangkal laring.
Obstruksi total juga dapat timbul perlahan yang berawal dari obstruksi parsial.
Sumbatan benda asing pada saluran pernapasan dapat disebut juga Foreign Body
Airway Obstruction (FBAO). Tanda-tanda pasien yang mengalami FBAO adalah
pasien tampak kesulitan bernapas seperti batuk yang tidak bersuara, sianosis, tidak
dapat besuara atau bernapas. Pasien yang memegang leher yang menampakkan
tanda umum tersedak. Segera tanyakan apakah pasien tersedak. Jika pasien
mengisyaratkan ya dengan mengangguk segera lakukan pembebasan airway
dengan cara heimlich manuver(abdominal thrust/chest thrust).
2. Obstruksi jalan napas parsial
Pada obstruksi parsial pasien masih dapat bernapas, tetapi napas biasanya disertai
bunyi (118, 2007). Sumbatan pada obstruksi parsial dapat bermacam-macam,
sehingga menimbulkan suara yang bermacam-macam.
a. Cairan (darah, sekret, aspirasi lambung, dsb)
Pada sumbatan ini timbul suara gurgling, suara napas bercampur suara cairan.
Dalam keadaan ini harus dilakukan penghisapan.
b. Pangkal lidah yang jatuh ke belakang
Keadaan ini dapat timbul pada pasien yang tidak sadar (coma) atau
penderitaan yang tulang rahang bilateralnya patah. Sehingga timbul suara
mengorok atau snoring yang harus segara diatasi dengan perbaikan airway
secara manual atau dengan alat.
c. Penyempitan di larinks atau trakhea
Dapat disebabkan edem karena berbagai hal (luka bakar, radang, dsb) ataupun
desakan neoplasma. Timbul suara crowing atau stridor. Keadaan ini hanya
dapat diatasi dengan perbaikan airway pada bagian distal sumbatan, misalnya
trakeostomi.




3

C. Pengelolaan Jalan Napas
1. Airway Positioning
Indikasi airway positioning adalah untuk membuka dan mempertahankan jalan
napas atau untuk mengatasi parsial atau total airway obstruction yang disebabkan
oleh lidah yang jatuh ke posterior faring dan atau epiglotis yang yang menutup
laring. Airway positioning diindikasikan untuk pasien tidak sadar yang tidak
memiliki airway yang adekuat (Proehl, 2005).
Prosedur tindakan:
a. Tempatkan pasien pada posisi supine.
b. Untuk manuver Head-tilt Chin-lift (gambar 2) , angkat dagu ke depan untuk
memindahkan mandibula ke arah anterior, sementara itu miringkan/arahkan
kepala dengan tangan di daerah dahi sehingga kepala hiperekstensi di daerah
leher (manuver ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang dicurigai cidera
servikal)
c. Jika Head-tilt Chin-lift tidak berhasil atau kontraindikasi dengan keadaan
pasien, gunakan menuver jaw thrust atau chin lift.
Manuver Jaw thrust: angkat mandibula ke depan dengan jari telunjuk,
sementara itu ibu jari menekan ke arah berlawanan arkus zygomatikus.
Manuver chin Lift: tempatkan satu tangan pada dahi untuk menstabilkan
kepala dan leher. Dengan tangan yang lain pegang mandibula antara ibu jari
dan telunjuk. Angkat mandibula ke arah depan/ke atas.
d. Kaji kembali patensi jalan napas.







Gambar 2. Head Tilt Chin Lift Gambar 3. Jaw thrust

Pertimbangan Usia:
a. Head-tilt Chin-lift pada infant, tempatkan satu tangan pada dahi dan posisikan
kepala secara lembut ke posisi netral, kemudian dengan tangan yang lain
4

angkat leher secara lembt hingga sedikit ektensi (Hiperekstensi pada leher
infant akan menyebabkan obstruksi pada airway). Manuver ini dikenal sebagai
sniffing position. Kemudian tempatkan jari di bawah dagu bagian paling
bawah yang masih terdapat tulang, angkat mandibula ke atas atau ke arah luar.
b. Anak-anak dengan gejala epiglotitis, seperti demam tinggi atau yang lainnya
tidak boleh dipaksakan untuk posisi supine (posisi supine pada keadaan ini
akan menyebabkan ostruksi jalan napas). Biarkan anak mempertahankan
posisi nyaman sampai managemen airway definitif tersedia.

2. AirwayForeign Object Removal
Tindakan ini diindikasikan untuk mengatasi obstruksi jalan napas atas yang
disebabkan oleh benda asing/FBAO (Proehl, 2005). Pasien yang mengalami
FBAO dapat dikenali dangan tanda gejala berikut:
a. Tiba-tiba tidak dapat berbicara
b. Tanda tersedak universal: menyengkeram leher
(Gambar 3)
c. Pernapasan yang berbunyi (high pitch sounds)
selama isnpirasi
d. Penggunaan otot pernapsan aksesoris dan
peningkatan kesulitan bernapas
e. Batuk yang melemah atau tidak mampu untuk
batuk
f. Tidak dapat bernapas spontas dan sianosis
g. Pada infant dan anak-anak, terjadi distres pernapasan yang tiba-tiba ditandai
dengan batuk, muntah, stridor atau wheezing.

Kontraindikasi dan perhatian khusus:
a. Pada pasien sadar, batuk dapat membebaskan jalan napas dari sumbatan.
Jangan mengganggu usaha batuk pasien kecuali jika tidak ada aliran udara
samasekali.
b. Chest thrust tidak boleh dilakukan pada pasien dengan chest injury,
contohnya: flail chest, kontusio jantung, atau fraktur sternal.
c. Pada pasien yang hamil trimester akhir (hamil tua) atau pasien obesitas, chest
thrust lebih direkomendasikan.
Gambar 3
5

d. Posisi tangan yang benar sangat penting untuk menghindari injury pada organ
di dalam perut saat melakukan adominal thrust.
Peralatan yang mungkin dibutuhkan:
a. Suction jika memungkinkan
b. Forcep Magill atau forcep Kelly dan laringoskop (digunakan untuk mengambil
benda asing yang dapat terlihat di jalan napas atas )
Prosedur Tindakan:
a. Berdiri dibelakang pasien yang duduk atau berdiri dan lilitkan kedua tangan ke
perut. Jika pasien posisi supine, penolong berada di atas mengapit kedua paha
pasien dengan posisi mengangkang dengan lutut sebagai tumpuan. (Gambar 4
dan 5).
b. Penempatan tangan:
1) Untuk pasien yang berdiri atau duduk , buatlah kepalan dengan satu
tangan dan kemudian genggam kepalan dengan tangan yang lain.
Tempatkan kepalan di bawah tulang xipoid diatas pusar (Gambar 6).
2) Untuk pasien posisi supine, tempatkan satu tangan diatas tangan yang lain,
dengan bagian tumit tangan yang di bawah mendorong perut.
c. Dorong dengan cepat, tekan perut ke dalam dan ke atas(naik).
d. Jika perlu, ulangi abdominal thrust beberapa kali untuk mengatasi obstruksi
jalan napas. Kaji airway secara berkala untuk mengetahui keberhasilan
manuver.
e. Untuk pasien yang sedang hamil tua atau pasien obesitas, chest thrust lebih
direkomendasikan. Posisi pasien dapat berdiri, duduk atau berbaring.
Tempatkan satu tangan di atas tangan yang lain. Tempatkan tangan di
midstrenal area diatas tulang xipoid (posisi yang sama seperti melakukan pijat
jantung eksternal). Dorong lurus ke bawah ke arah tulang belakang. Jika perlu
ulangi chest thrust sampai airway bebas dari obstruksi (Gambar 7 dan 8).
f. Jika memungkinkan, gunakan laringoskop untuk melihat faring secara
langsung, gunakan forsep Kelly untuk mengambil benda yang menyumbat
jalan napas.




6










Gambar 4 Abdominal Thrust Gambar 5 Abdominal Thrust posisi supine









Gambar 6. Posisi tangan pada chest thrust












Gambar 7. Chest thrust pada orang obesitas Gambar 8. Chest thrust pada ibu hamil

7

Pertimbangan Usia:
a. Pada infant, pangku infant dengan posisi telungkup, sangga infant dengan
lengan atas penolong, posisi kepala lebih rendah dari leher. Sangga kepala
infant dengan memegang bagian rahang.
b. tepuk punggung infant diantara tulang skapula dengan menggunakan tumit
tangan secara bertenaga sebanyak 5 kali (Gambar 9).
c. Balik infant ke posisi supine, sangga kepala dan leher.
d. Lakukan chest thrust secara cepat sebanyak 5 kali. Saat chest thrust tempatkan
jari telunjuk di sternum di bawah nipple infant, kemudian letakkan jari tengah
berdekatan dengan jari telunjuk (Gambar 9)..
e. Langkah a sampai d dapat terus dilakukan sampai benda asing keluar atau
infant tidak sadarkan diri.
f. Jika infant tidak sadarkan diri, buka jalan napas dan ambil benda asing jika
terlihat. Blind finger sweep tidak boleh dilakukan pada infant dan anak-anak
karena dapat menyebabkan benda asing masuk ke saluran pernapsan lebih
dalam.
Anak-anak usia 1-8 tahun:
a. Untuk pasien yang duduk atau berdiri, tempatkan tangan di bawah axila, peluk
tubuh pasien. Tempatkan tangan penolong di perut diatas pusar dibawah
xipoid. Dorong ke atas sampai benda asing keluar atau pasien tidak sadar.
b. Untuk pasien dengan posisi supine, posisi penolong mengangkang dengan
tumpuan lutut di atas pasien, lutut penolong lurus dengan pinggul pasien.
Tempatkan tangan diatas pusar dibawah xipoid. Secara cepat dorong ke depan.
Jika benda terlihat, ambil benda asing dengan finger sweep.
c. Tepukan punggung /back blows tidak direkomendasikan pada anak usia di atas
1 tahun.







Gambar 9. Back slap dan chest thrust pada infant
8

3. Oral Airway Insertion
Tujuan Oral airway Insertion adalah untuk mempertahankan patensi jalan napas
pada pasien dengan keadaan sebagai berikut (Proehl, 2005):
a. Ketika pasien yang tidak sadar memiliki obstruksi jalan napas yang
disebabkan oleh kerusakan gag reflek dan kehilangan tonus otot-otot
submandibular.
b. Ketika jalan napas pasien tidak dapat dibuka dengan manuver lainnya.
c. Ketika pasien bernapas dengan alat bag-valve mask, Oral airway Insertion
menyebabkan jaringan lunak di posterior faring terangkat, hal ini
memudahkan ventilasi paru dan mengurangi gastric insufflation.
d. Ketika patien dengan oral intubasi membutuhkan pencegahan agar pasien
tidak mengigit endotracheal tube.
e. Ketika pasien membutuhkan suction untuk membuang sekret.
Kontraindikasi dan Perhatian:
a. Insersi oral airway pada pasien sadar atau setengah sadar dapat menstimulasi
gag reflek dan dapat menyebabkan pasien muntah dan menyebabkan
laringospasme.
b. Penempatan alat Oral Airway yang salah dapat menekan lidah ke arah
posterior faring dan menyebabkan obstruksi lebih lanjut.
c. Alat Oral Airway yang terlalu kecil dapat menekan lidah ke orofaringdan
menyebabkan obstruksi, alat Oral Airway yang terlalu besar akan menymbat
trakea.
d. Kegagalan dalam membersihkan orofaring dari benda asing sebelum insersi
dapat menyebabkan aspirasi.
e. Untuk menghindari muntah dan aspirasi, oropharingeal airway harus segera di
lepas ketika pasien sudah sadar atau menunjukkan adanya gag reflek.
Alat yang dibutuhkan:
a. Oropharingeal airway (OPA) (Gambar 10)
b. Oropharingea suction equipment
c. Tounge blade
9


Gambar 10. OPA
Persiapan Pasien:
a. Tempatkan pasien pada posisi supine
b. Suction darah, sekret, atau material asing dari orofaring.
c. Pilih OPA dengan ukuran yang sesuai dengan cara ukur OPA pada samping
wajah pasien, pilih OPA yang panjangnya sama dengan panjang ujung lobus
telinga ke sudut mulut pasien.
Prosedur tindakan:
a. Gunakan tounge blade untuk menekan dan memindahkan lidah ke depan.
Masukan OPA ke dalam orofaring.
b. Cara lain adalah dengan memasukkan OPA ke mulut dengan arah terbalik.
Jika ujung OPA sudah sampai ke dinding posterior faring, putar OPA 180
derajat, sesuai dengan posisi seharusnya.
c. Ujung terjauh OPA harus berada diantara dasar lidah dan belakang
tenggorokan. Sedangkan ujung luar (pinggiran roda OPA) harus berada pas di
bibir pasien.
d. Kaji kembali airway, auskultasi pasu untuk vnetilasi yang seimbang dan suara
napas bersih selama ventilasi.
Perhatian Usia:
Pada pasien anak-anak, penggunaan tounge blade lebih dianjurkan daripada
memasang OPA dengan cara terbalik kemudian di putar, prosedur yang kedua
akan menyebabkan luka di mukosa mulut dan gigi tanggal.
10


Gambar 11. Cara Pemasangan OPA.
4. Nasal Airway Insertion
Tujuan dari pamasangan Nasal Airway adalah untuk mempertahankan patensi
jalan napas pada pasien dengan kondisi berikut (Proehl, 2005):
a. Untuk membebaskan jalan napas atas pasien yang disebabkan oleh sumbatan
soft tissue atau lidah yang jatuh pada pasien sadar atau tidak sadar yang masih
memiliki gag refleks yang baik.
b. Ketika insersi OPA tidak memungkinkan secara teknis atau tidak mungkin
dilakukan karena trauma yang massive pada disekitar mulut.
c. Nasofaringeal edema atau nasal sekresi yang sangat banyak pada pasien anak
Selain membebaskan jalan napas, pemasangan Nasal Airway dapat bertujuan
untuk mengurangi soft tissue trauma ketika suction nasotracheal dibutuhkan.
Kontraindikasi dan perhatian:
a. Insersi Nasal Airway dapat menstimulasi gag refleks dan menyebabkan pasien
muntah.
b. Jika tuba terlalu panjang, mungkin akan masuk ke esofagus dan menyebabkan
gastric insufflation dan hipoventilasi.
c. Epistaksis dapat terjadi dan memicu aspirasi darah.
d. Nasal Airway tidak boleh digunakan pada pasien dengan massive facial trauma
atau trauma basis cranii.
Alat yang diperlukan:
a. Nasopharingeal suction equipment
b. Water solube lubricant atau anesthetic jelly
c. Nasopharingeal airway (NPA)
11


Gambar 12. NPA dan Cara Pemasangannya
Persiapan Pasien:
a. Tempatkan pasien pada posisi supine atau high fowler
b. Pilih lubang hidung yang terlihat lebih besar dan terbuka. Kaji adanya trauma
pada lubang hidung, benda asing, septal deviation, atau polip.
c. Siapkan suction jika perlu
Prosedur tindakan:
a. Pilih NPA yang sesuai dengan cara mengukur NPA dari ujung hidung ke lobus
telinga. Kemudian lumasi NPA.
b. Masukan NPA ke lubang hidung dengan lubang menghadap ke nasal septum.
Masukkan secara perlahan sehingga pinggiran roda NPA di ujung atas berada
di cuping hidung. Catatan: semua NPA dibuat untuk pemasangan di lubang
hidung kanan, dapat di pasang di lubang hidung kiri dengan cara di putar
secara perlahan mengikuti anatomi bentuk hidung.
c. Jika ada sumbatan saat memasukan, putaran yang lembut dapat memperlancar
NPA sampai ke hypopharynx.
d. Kaji kembali jalan napas.

Bibliography
118, D. Y. (2007). Buku Paanduan Basic Trauma-Cardiac Life Support. Jakarta: Yayasa Ambulans
Gawat Darurat 118 .
Proehl, J. A. Emergency Nursing Procedurs. New Hampshire: W.B. Saunders Company.



12

PENGANGKATAN DAN PEMINDAHAN PENDERITA

I. Pendahuluan
Pengangkatan pasien membutuhkan cara-cara tersendiri. Setiap hari banyak penderita
diangkat dan di[indahkan, dan banyak pula petugas paramedik yang cedera karena salah
mengangkat. Keadaan dan cuaca yang menyertai penderita bermacam-macam dan tidak
ada satu rumus pasti bagaimana mengangkat dan memindahkan pasien. Tulisan ini
bertujuan memberikan garis-garis besar yang harus diperhatikan saat mengangkat dan
memindahkan penderita
II. Mekanika Tubuh Pada Saat Pengangkatan
Tulang yang paling kuat pada manusia adalah tulang panjang, dan yang paling kuat
diantaranya adalah tulang femur. Otot-otot yang beraksi pada tulang tersebut juga
merupakan otot yang paling kuat.
Dengan demikian maka penangkatan harus dilakukan dengan tenaga terutama pada paha,
dan bukan dengan membungkuk.
Angkatlahdengan paha bukan dengan punggung
Di dalam kelompok otot, maka kelompok fleksor lebih kuat dibanding kelompok
ekstensor. Dengan demikian pada saat mengangkat tandu, tangan harus menghadap ke
depan bukan ke belakang.
Semakin dekat beban ke sumbu tubuh, semakin ringan pengangkatan. Dengan demikian
maka usahakan agar tubuh sedekat mungkin ke beban (tandu dsb) yang akan diangkat.
Kaki menjadi tumpuan utama saat mengangkat. Jarak antara kedua kaki yang paling baik
adalah saat mengangkat adalah berjarak sebahu kita.
Kenali kemampuan diri sendiri. Bila merasa tidak mampu, mintalah pertolongan petugas
lain, dan jangan memaksakan mengangkat karena akan membahayakan panderita,
pasangan dan diri kita sendiri.
III. Panduan Dalam Mengangkat Penderita
1. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita.
Nilailah beban yang akan diangkat secara bersama, dan bila merasa tidak mampu,
jangan dipaksakan
2. Kedua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit di depan kaki sebelahnya
3. Berjongkok, jangan membungkuk saat mengangkat. Jaga punggung agar tetap lurus
4. Tangan yang menghadap ke depan. Jarak kedua tangan yang memegang (misalnya
tandu) minimal 30 cm
5. Tubuh sedekat mungkin ke beban yang harus diangkat. Bila terpaksa, jarak maksimal
tangan ke tubuh kita adalah 50 cm
13

6. Jangan memutar tubuh saat mengangkat
7. Panduan di atas juga berlaku ketika menarik atau mendorong penderita

IV. Panduan Untuk memindahkan Penderita
Pemindahan penderita dapat secara:
1. Emergensi
2. Non emergensi
Pemindahan dalam keadaan emergensi contohnya adalah :
1. Ada api, atau bahaya api atau ledakan
2. Ketidak mampuan menjaga penderita dari bahaya lain di TKP (benda jatuh dsb)
3. Usaha mencapai penderita lain, yang lebih urgen
4. Melakukan RJP, yang tidak mungkin dilakukan di tempat tersebut
Apapun cara pemindahan penderita, selalu ingat kemungkinan patah tulang leher
(servikal) bila penderita trauma
1. Pemindahan emergensi
a. Tarikan baju
Kedua tangan penderita harus diikat untuk mencegah naik ke arah kepala
waktu baju ditarik. Bila tidak sempat masukkan kedua tangan dlam celananya
sendiri
b. Tarikan selimut
Penderita diletakan diatas selimut kemudian ditarik
c. Tarikan lengan
Dari belakang penderita, kedua lengan petugas masuk di bawah ketiak
penderita, memegang kedua lengan bawah penderita
d. Ekstrikasi cepat
Dilakukan pada penderita dalam kendaraan yang harus dikeluarkan secara
cepat
2. Pemindahan non emergensi
Dalam keadaan ini dapat dilakukan urutan pekerjaan normal, seperti kontrol TKP,
survei lingkungan, stabilisasi kendaraan dsb.
a. Pengangkatan dan pemindahan secara langsung
Oleh 2 atau 3 orang petugas. Harus diingat cara ini tidak boleh dilakukan bila
ada kemungkinan fraktur servikal . Prinsip pengangkatan tetap harus
diperhatikan
b. Pemindahan dan pengangkatan menggunakan seprei
Sering dilakukan di rumah sakit. Juga tidak boleh dilakukan bila ada dugaan
fraktur servikal
c. Pengangkatan ekstremitas
14

Biasanya digunakan untuk memindahkan penderita dari kursi atau tempat tidur
ke tandu atau lantai. Jangan dilakukan pada penderita dengan cedera anggota
gerak.
d. Pengangkatan denan LSB
Biasanya digunakan untuk mengangkat sekaligus memfiksasi penderita yang
dicurigai cedera servikal atau tulang belakang. Pemindahan penderita ke atas
LSB menggunakan teknik yang disebut Log Roll. Jangan sampai terlewatan
penggunaan strapping untuk stabilisasi penderita diatas LSB.


V. Perlengkapan Untuk Memindahkan Penderita
1. Brankar (wheeled stretcher)

Hal-hal yang harus diperhatikan :
a. Penderita selalu diselimuti
b. Kepada penderita/keluarga selalu diterangkan tujuan perjalanan
c. Sedapat mungkin dilakukan strapping atau fiksasi sebelu pemindahan
d. Brankar berjalan dengan kaki penderita di depan, kepala di belakang, supaya
penderita dapat melihat arah perjalanan brankar. Posisi ini dibalik saat naik
tangga (jarang terjadi)
Sewaktu berada diambulan maka posisi menjadi terbalikk, posisikan kepala
pasien di depan (dekat pengemudi) agar petugas dapat bekerja (jika
memerlukan intubasi dsb)
Pada wanita in partu, posisi ambulan boleh dibalik supaya petugas dapat
membantu partus
e. Jangan sekali-kali meninggalkan penderita sendirian diatas brankar. Penderita
mungkin berusaha membalik, yang mengakibatkan terbaliknya brankar
f. Selalu berjalan berhati-hati







15

2. Tandu sekop (Scoop stretcher, orthopaedic stretcher)

Alat yang sangat bermanfaat untuk pemindahan penderita. Bila ada dugaan fraktur
servikal, maka alat yang dipilih adalah LSB
Harus diingat bahwa tandu sekop bukan alat transportasi, dan hanya alat pemindah.
Waktu proses pengangkatan, sebaiknya 4 petugas, masing-masing satu pada sisi tandu
sekop, karena kemungkinan akan melengkung

3. Long spine board


Sebenarnya bukan alat pemindahan, tetapi alat fiksasi. Sekali penderita disiksasi
diatas LSB maka tidak akan diturunkan lagi sampai terbukti tidak ada fraktur servikal,
karena itu harus terbuat dari bahan yang tidak akan mengganggu pemeriksaan
rontgen.
Pemindahan penderita ke atas LSb memerlukan teknik khusus yaitu memakai log
roll. Setelah penderita di atas LSB selalu dilakukan strapping, lalu LSB diletakkan di
atas stretcher











4. Short spine board dan KED (Kendrick extrication device)
16


Lebih merupakan alat ekstrikasi
Setelah selesai ekstrikasi, tetap penderita harus diletakkan pada alat pemindah yang
lain



























17

PROSEDUR PEMASANGAN CERVICAL COLLAR/COLLAR NECK

Pengertian
Pemasangan neck collar adalah memasang alat neck collar untuk immobilisasi leher
(mempertahankan tulang servikal). Salah satu jenis collar yang banyak digunakan adalah
SOMI Brace (Sternal Occipital Mandibular Immobilizer). Namun ada juga yang
menggunakan Xcollar Extrication Collar yang dirancang untuk mobilisasi (pemindahan
pasien dari tempat kejadian kecelakaan ke ruang medis). Namun pada prinsipnya cara kerja
dan prosedur pemasangannya hampir sama.
Tujuan
1. Mencegah pergerakan tulang cervical yang patah (proses imobilisasi serta mengurangi
kompresi pada radiks saraf)
2. Mencegah bertambahnya kerusakan tulang cervical dan spinal cord
3. Mengurangi rasa sakit
4. Mengurangi pergerakan leher selama proses pemulihan
Indikasi
Digunakan pada pasien yang mengalami trauma servikal
Prosedur
Persiapan
1. Alat :
Neck collar sesuai ukuran
2. Pasien :
Informed Consent
Berikan penjelasan tentang tindakan yang dilakukan
Posisi pasien : terlentang, dengan posisi leher segaris / anatomi
3. Petugas : 2 orang
Pelaksanaan (secara umum):
Petugas menggunakan masker, handschoen
Pegang kepala dengan cara satu tangan memegang bagian kanankepala mulai dari mandibula
kearah temporal, demikian juga bagian sebelah kiri dengan tangan yang lain dengan cara
yang sama.
18

Petugas lainnya memasukkan neck collar secara perlahan ke bagian belakang leher dengan
sedikit melewati leher.
Letakkan bagian neck collar yang bertekuk tepat pada dagu.
Rekatkan 2 sisi neck collar satu sama lain dengan pemasangan tidak terlalu kuat atau terlalu
longgar
Bentuk X collar

Prosedur pemasangan X Collar (secara rinci)
Untuk posisi netral
1. Sediakan Xcollar
2. Tarik, dan pastikan lebih panjang lalu buka lipatan sisi belakang
3. Sebelum memposisikan X Collar ke leher pasien, lakukan resusitasi manual
(imobilisasi leher) terlebih dulu
4. Pegang X collar dengan 1 tangan dari atas punggung. X collar diposisikan sedekat
mungkin dengan kulit atau punggung pasien. Hindari menempatkannya di lipatan
pakaian
5. Lingkarkan collar diseputar leher pasien, hubungkan penyangga (depan leher dan
belakang) lalu kunci
6. Paskan posisi collar di sejajar garis dagu.
7. Saat menepatkan posisi collar di dagu dengan tangan kiri, sesuaikan sisi-sisi straps.
Gunakan tangan kanan untuk memundurkan velcro sebelah kiri pasien
8. Sesuaikan sisi-sisi strap dan velcro sebelah kanan pasien. Agar memastikan kanan dan
kiri simetris atau tidak maka gunakan kode warna sebagi skala pengalokasian di
masing-masing sisi collar
19

9. Pastikan collar terletak dalam posisi netral pada leher
10. Kunci ACS dengan menekan tombol kunci kiri dan kanan
11. Lanjutkan pemasangan strap X ke sisi kanan pasien secara diagonal tepat pada bagian
sisi velcro yang sewarna dengan warna X trap.
12. Lengkapi strap X bagian kanan pasien dengan prosedur yang sama dengan strap X
sebelumnya.
13. Gunakan tangan kanan untuk mendorong plester dan memegang sisi kanan strap X
untuk posisi nyaman
Melepas X collar:
Untuk melepas Xcollar, pertama-tama lepaskan kedua straps X
Sebelum membuka penyangga, perlahan-lahan lepaskan tekanan velcro Xcollar
Buka buckle dan lepaskan collar dari pasien


20

Stabilisasi dengan Long Spine Board
Alat ini biasasnya dibuat dari bidai kayu yang keras atau benda sintesis yang tidak menyerap
darah dengan panjang sekitar 2 meter. LSB bukan alat untuk memindahkan tetapi lebih
digunakan sebagai alat fiksasi, terutama penderita yang dicurigai cedera servikal ataupun
tulang belakang. Sekali penderita difiksasi diatas LSB, tidak akan diturunkan sampai terbukti
cedera yang dicurigai tidak terjadi. Oleh karena itu, harus terbuat dari bahan yang tidak
mengganggu proses X-Ray/Rontgen
Prinsip Immobilisasi dan Log Roll pada Trauma Vertebra
Empat orang dibutuhkan untuk melakukan prosedur modifikasi log roll dan imobilisasi
penderita, seperti pada long spine board: (1) satu untuk mempertahankan imobilisasi segaris
kepala dan leher penderita; (2) satu untuk badan (termasuk pelvis dan panggul); (3) satu
untuk pelvis dan tungkai; dan (4) satu mengatur prosedur ini dan mencabut spine board.
Prosedur ini mempertahankan seluruh tubuh penderita dalam kesegarisan, tetapi masih
terdapat gerakan minimal pada tulang belakang. Saat melakukan prosedur ini, imobilisasi
sudah dilakukan pada ekstremitas yang diduga mengalami fraktur.
a. Long spine board dengan tali pengikat dipasang pada sisi penderita. Tali
pengikat ini dipasang pada bagian toraks, diatas krista iliaka, paha, dan diatas
pergelangan kaki. Tali pengikat atau plester dipergunakan untuk memfiksasi
kepala dan leher penderita ke long spine board.
b. Dilakukan in line imobilisasi kepala dan leher secara manual, kemudian dipasang kolar
servikal semirigid.
c. Lengan penderita diluruskan dan diletakkan di samping badan.
d. Tungkai bawah penderita diluruskan secara hati-hati dan diletakkan dalam posisi kesegarisan
netral sesuai dengan tulang belakang. Kedua pergelangan kaki diikat satu sama lain dengan
plester.
e. Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu orang kedua memegang
penderita pada daerah bahu dan pergelangan tangan. Orang ke tiga memasukkan tangan dan
memegang panggul penderita dengan satu tangan dan dengan tangan yang lain memegang
plester yang mengikat ke dua pergelangan kaki.
f. Dengan komando dari penolong yang mempertahankan kepala dan leher, dilakukan log roll
sebagai satu unit ke arah ke dua penolong yang berada pada sisi penderita, hanya diperlukan
pemutaran minimal untuk meletakkan spine board di bawah penderita. Kesegarisan badan
penderita harus dipertahankan sewaktu menjalankan prosedur ini.
21




g. Spine board diletakkan dibawah penderita, dan dilakukan log roll ke arah spine board. Harap
diingat, spine board hanya digunakan untuk transfer penderita dan jangan dipakai untuk
waktu lama.


h. Untuk mencegah terjadinya hiperekstensi leher dan kenyamanan penderita, maka diperlukan
bantalan yang diletakkan dibawah kepala penderita.
i. Bantalan, selimut yang dibulatkan atau alat penyangga lain ditempatkan di kiri dan kanan
kepala dan leher penderita, dan kepala penderita diikat ke long spine board. Juga dipasang
plester di atas kolar servikal untuk menjamin tidak adanya gerakan pada kepala dan leher.


22

Penderita Anak-anak
Untuk imobilisasi anak diperlukan long spine board pediatrik. Bila tidak ada, maka dapat
menggunakan long spine board untuk dewasa dengan gulungan selimut diletakkan di seluruh
sisi tubuh untuk mencegah pergerakan ke arah lateral.
Proporsi kepala anak jauh lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa, oleh karena itu
harus dipasang bantalan dibawah bahu untuk menaikkan badan, sehingga kepala yang besar
pada anak tidak menyebabkan fleksi tulang leher, sehingga dapat mempertahankan
kesegarisan tulang belakang anak. Bantalan dipasang dari tulang lumbal sampai ujung bahu
dan kearah lateral sampai di ujung board.
Komplikasi
Bila penderita dalam waktu lama (kurang lebih 2 jam atau lebih lama lagi) diimobilisasi
dalam long spine board, penderita dapat mengalami dekubitus pada oksiput, skapula, sakrum,
dan tumit. Oleh karena itu, secepatnya bantalan harus dipasang dibawah daerah ini, dan
apabila keadaan penderita mengizinkan secepatnya long spine board dilepas.
Melepas Long Spine board
Pergerakan penderita yang mengalami cedera tulang belakang yang tidak stabil akan
menyebabkan atau memperberat cedera medula spinalisnya. Untuk mengurangi resiko
kerusakan medula spinalis, maka diperlukan pencegahan secara mekanis untuk seluruh
penderita yang mempunyai resiko. Proteksi harus dipertahankan sampai adanya cedera tulang
belakang yang tidak stabil di singkirkan.
a. Seperti sebelumnya dibicarakan, melakukan imobilisasi penderita dengan long spine board
adalah teknik dasar membidai (splinting) tulang belakang. Secara umum hal ini dilaksanakan
pada saat penanggulangan prehospital dan penderita datang ke rumah sakit sudah dalam
sarana transfer yang aman.
Spine board tanpa bantalan akan menyebabkan rasa tidak nyaman pada penderita yang sadar
dan mempunyai resiko terhadap terjadinya dekubitus pada daerah dengan penonjolan tulang
(oksiput, skapula, sakrum, tumit ). Oleh karena itu penderita harus dipindahkan dari long
spine board ke tempat dengan bantalan yang baik dan permukaan yang nyaman secepatnya
bisa dilakukan secara aman. Sebelum dipindahkan dari spine board, pada penderita dilakukan
pemeriksaan foto servikal, toraks, pelvis sesuai dengan indikasinya, karena penderita akan
mudah diangkat beserta dengan spine boardnya. Sewaktu penderita di imobilisasi dengan
spine board, sangat penting untuk mempertahankan imobilisasi kepala dan leher dan badan
secara berkesinambungan sebagai satu unit. Tali pengikat yang dipergunakan untuk
23

imobilisasi penderita ke spine board janganlah dilepas dari badan penderita sewaktu kepala
masih terfiksir ke bagian atas spine board.
b. Spine board harus dilepaskan secepatnya, waktu yang tepat untuk melepas long spine board
adalah sewaktu dilakukan tindakan log roll untuk memeriksa bagian belakang penderita.
c. Pergerakan yang aman bagi penderita dengan cedera yang tidak stabil atau potensial
tidak stabil membutuhkan kesegarisan anatomik kolumna vertebralis yang
dipertahankan secara kontinyu. Rotasi, fleksi, ekstensi, bending lateral, pergerakan
tipe shearing ke berbagai arah harus dihindarkan. Yang terbaik untuk mengontrol
kepala dan leher adalah dengan imobilisasi inline manual. Tidak ada bagian tubuh
penderita yang boleh melekuk sewaktu penderita dilepaskan dari spine board.
d. Modifikasi teknik log roll,
Modifikasi tehnik log roll, dipergunakan untuk melepas long spine board. Diperlukan empat
asisten: (1) satu untuk mempertahankan imobilisasi in line kepala dan leher; (2) satu untuk
badan penderita ( termasuk pelvis dan panggul ); (3) satu untuk pelvis dan tungkai bawah;
dan (4) satu untuk menentukan arah prosedur ini dan melepas long spine board.
e. Tandu Sekop (Scoop Stretcher)
Alternatif melakukan modifikasi teknik log roll adalah dalam penggunaan scoop stretcher
untuk transfer penderita. Penggunaan yang tepat alat ini akan mempercepat transfer secara
aman dari long spine board ke tempat tidur. Sebagai contoh alat ini dapat digunakan untuk
transfer penderita dari satu alat traspor ke alat lain atau ke tempat khusus misalnya meja
ronsen.

Harap diingat, penderita harus tetap dalam imobilisasi sampai cedera tulang belakang
disingkirkan. Setelah penderita ditransfer dari backboard ke tempat tidur dan scoop stretcher
dilepas, penderita harus di reimobilisasi secara baik ke ranjang/tandu. Scoop stretcher
bukanlah alat untuk imobilisasi penderita. Scoop stretcher bukanlah alat transport, dan jangan
mengangkat scoop stretcher hanya pada ujung-ujungnya saja, karena akan melekuk di bagian
tengah dengan akibat kehilangan kesegarisan dari tulang belakang.

Imobilisasi untuk penderita dengan kemungkinan cedera tulang belakang
Penderita umumnya datang ke bagian gawat darurat dengan alat perlindungan tulang
belakang. Alat ini menyebabkan pemeriksa harus memikirkan adanya cedera tulang vertebra
servikal atau torakolumbal, berdasarkan dari mekanisme cedera. Pada penderita dengan
24

cedera multipel dengan penurunan tingkat kesadaran, alat perlindungan harus dipertahankan
sampai cedera pada tulang belakang disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis.
Bila penderita diimobilisasi dengan spine board dan paraplegia, harus diduga adanya
ketidakstabilan tulang belakang dan perlu dilakukan pemeriksaan radiologis untuk
mengetahui letak dari cedera tulang belakang. Bila penderita sadar, neurologis normal, tidak
mengeluh adanya nyeri leher atau nyeri pada tulang belakang, dan tidak terdapat nyeri tekan
pada saat palpasi tulang belakang, pemeriksaan radiologis tulang belakang dan imobilisasi
tidak diperlukan.
Penderita yang menderita cedera multipel dan dalam keadaan koma harus tetap diimobilisasi
pada usungan dan dilakukan tindakan log roll untuk mengetahui foto yang diperlukan untuk
menyingkirkan adanya suatu fraktur. Kemudian penderita dapat ditransfer secara hati-hati
dengan menggunakan prosedur tersebut di atas ke tempat tidur untuk bantuan ventilasi yang
lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai