Anda di halaman 1dari 7

DERILIUM YANG TIDAK DIINDUKSI OLEH ZAT ALKOHOL

ATAU PSIKOAKTIF LAINNYA


Gol Penyakit SKDI : 3A
Riski Rahma Sari
1. DEFINISI
Delirium adalah sindrom mental organik akut atau subakut ditandai dengan gangguan
kesadaran, gangguan kognitif global, disorientasi, perkembangan gangguan persepsi, defisit
perhatian, penurunan atau peningkatan aktivitas psikomotor (tergantung pada jenis delirium),
gangguan siklus tidur-bangun, dan fluktuasi dalam presentasi (Maldonado, 2008). Derilium
adalah kondisi medis yang ditandai dengan onset mendadak dari kebingungan dan perubahan
status mental. Derilium juga dikenal dengan status konfungsional akut. Penyebabnya antara
lain penyakit berat yang terjadi secara tiba-tiba, reaksi putus obat dan alkohol, stress atau
infeksi dan mereka yang berusia tua, penderita demensia, dan malnutrisi. Sindrom derilium ini
memiliki banyak nama, beberapa literatur menggunakan istilah seperti acute mental status
change, altered mental status, reversible dementia, toxic/metabolic enchepalopathy, organic
brain syndrome, dysergastricreaction dan acute conventional state (Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009).

2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi sindrom delirium di ruang rawat akut geriatric Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) adalah 23% (tahun 2004) seringkali insidensinya mencapai 17%
pada pasien yang sedang dirawat inap. Sindrom deliriu mempunyai dampak buruk, tidak saja
karena meningkatkan resiko kematian sampai 10 kalo lipat namun juga memperpanjang masa
rawat serta meningkatkan kebutuhan keperawatan dari petugas kesehatan (Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009).

3. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2009) menyatakan bahwa aktor
pencetus yang sering dijumpai antara lain: iatrogenik (pembedahan, kateterisasi urin, physical
restrains), obat-obatan psikotropika, gangguan metabolik/cairan (insufisiensi ginjal, dehidrasi,
hipernatremia, hiperglikemia, hipokalemia, azotemia), penyakit fisik/psikiatrik (demam,
infeksi, stress, alcohol, putus obat, fraktur, malnutrisi, dan gangguan pola tidur), serta
perubahan lingkungan (perpindahan ruangan/overstimulation).
Faktor resiko delirium antara lain: usia > 65 tahun, gangguan faal kognitif ringan (mild
cognitive impairment/MCI) sampai demensia dan hip fracture (National Institute For Health
and Clinical Excellence, 2010). Selain hal tersebut, gangguan sensorium (penglihatan dan atau
pendengaran), polifarmasi, dan kondisi fisik yang lemah juga menjadi faktor resiko delirium
(Potter & George, 2006). Penyakit jantung (gagal jantung, aritia, infark jantung), penyakit
paru (COPD), endokrin (kegagalan adrenal, abnormalitas tiroid atau paratiroid), kelainan
hematologi (anemia, leukemia, diskrasia) dan penyakit hepar serta ginjal juga menjadi kondisi
medis yang melatarbelakangi terjadinya delirium (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
Jiwa Indonesia, 2012).

4. PATOFISIOLOGI
Defisiensi neurotransmitter asetilkolin sering dihubungkan dengan sindrom delirium.
Penyebabnya antara lain gangguan metabolism oksidatif di otak yang dikaitkan dengan
hipoksia dan hipoglikemia. Faktor lain yang berperan meningkatnya sitokin otak pada
penyakit akut. Gangguan atau defisiensi asetilkolin atau neurotransmitter serta second
messenger system. Pada gilirannya, kondisi tadi akan memunculkan gejala-gejala serebral dan
aktivitas psikomotor yang terdapat pada sindrom delirium (Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2009).

5. GEJALA KLINIS
Berdasarkan pedoman diagnostik dalam Maslim (2001), gejala delirium adalah sebagai
berikut:
1) Gangguan kesadaran dan perhatian:
a. Dari taraf kesadaran berkabut samapai koma
b. Menurunnya kemampuan untuk mengarahkan, memusarkan, mempertahankan dan
mengalihkan perhatian.
2) Gangguan kognitif secara umum:
a. Distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi-seringkalo visual
b. Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak, dengan atau tanpa waham yang bersifat
sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang ringan
c. Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat jangka panjang
relative masih utuh
d. Disorientasi waktu, pada kasus yang berat, terdapat juga disorientasi tempat dan orang.
3) Gangguan psikomotor
a. Hipo atau hiper-aktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga dari satu ke yang
lain.
b. Waktu bereaksi yang lebih panjang
c. Arus pembicaraan yang bertambahn atau berkurang
d. Reaksi terperanjat meningkat
4) Gangguan siklus tidur-bangun
a. Insomnia atau, pada kasus yang berat, tidak dapat tidur sama sekali atau terbaliknya
siklus tidur-bangun, mengantuk pada siang hari.
b. Gejala yang memburuk pada malam hari
c. Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut menjadi halusinasi
setelah bangun tidur
5) Gangguan emosional: depresi, anxietas atau takut, lekas marah, euphoria, apatis, atau rasa
kehilangan akal.
6) Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang-timbul sepanjang hari dan keadaan
itu berlangsung kurang dari 6 bulan.

6. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Untuk menentukan diagnosis delirium, perlu diperhatikan gejala klinis atau indikator yang
timbul dan berikan penilaian berdasarkan kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM-IV) atau Short Confusion Assessment Method (Short CAM). Short CAM
biasanya digunakan pada pasien pasca operasi (National Institute For Health and Clinical
Excellence, 2010). DSM-IV terlampir.
Diagnosis banding delirium adalah sebagai berikut:
1) Sindrom organik lain, seperti demensia
2) Gangguan psikotik akut dan sementara
3) Skizofrenia dalam keadaan akut
4) Gangguan afektif + confuntional features
5) Derilium akibat alcohol/zat psikoaktif lain
6) Gangguan stress akut (Maslim, 2001).

7. PENATALAKSANAAN
Tiga tujuan terapi delirium adalah:
- Mencari dan mengobati penyebab delirium (diperlukan pemeriksaan fisik yang cermat dan
pemeriksaan penunjang yang adekuat. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, analisis gas
darah, fungsi hati, dan fungsi ginjal, serta EEG atau pencitraan otak bila terdapat indikasi
disfungsi otak).
- Memastikan keamanan pasien
- Mengobati gangguan perilaku terkait dengan delirium, misalnya agitasi psikomotor
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012).

1) Terapi Farmakologis
Penggunaan obat penenang harus dijaga penggunaannya seminimal mungkin. Semua obat
penenang dapat menyebabkan delirium, terutama yang meiliki efek samping antikolinergik.
Banyak pasien berusia tua memiliki hypoactive delirium (delirium tenang) dan tidak memerlukan
obat sedasi. Identifikasi awal delirium dan pengobatan yang tepat dari penyebab yang mendasari
dapat mengurangi keparahan dan durasi delirium (Potter & George, 2006).
Dalam pengobatan delirium, penggunaan satu jenis obat saja lebih baik, dimulai dengan dosis
serendah mungkin dan lakukan peningkatan dosis secara perlahan jika diperlukan. Semua obat
harus ditinjau setidaknya setiap 24 jam. Obat pilihan untuk delirium adalah haloperidol 2-5 mg IV
IM yang dapat diberikan sampai dua jam dengan dosis maksimum 20 mg (oral atau IM). Akan
tetapi mungkin perlu melebihi dosis tersebut tergantung pada beratnya penyakit, keparahan gejala
psikotik, dan jenis kelamin. Pada pasien dengan demensia dengan Badan Lewy dan mereka
dengan penyakit Parkinson dapat diberikan pengobatan alternatif berupa lorazepam 1-2 mg oral
yang dapat diberikan sampai dua jam (maksimum 3 mg dalam 24 jam). Kontraindikasi lorazepam
untuk pasien dengan gangguan pernafasan (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia, 2012; Maldonado, 2008).

2) Terapi Non-Farmakologis
a. Psikoterapi suportif yang memberikan perasaan aman dapat membantu pasien
menghadapi frustrasi dan kebingungan akan kehilangan fungsi memorinya.
b. Perlunya reorientasi lingkungan, misalnya tersedia jam besar.
c. Memberikan edukasi kepada keluarga cara memberikan dukungan kepada pasien
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012).

8. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul dapat berupa:
1) dekubitus
2) Infeksi nosokomial
3) gangguan fungsional
4) Masalah kontinensia
5) over-sedasi
6) malnutrisi (Potter & George, 2006).

9. PROGNOSIS
Prognosis yang berhubungan dengan mortalitas pernah diteliti oleh Rockwood selama 3
tahun. Pasien dengan sindrom delirium mempunyai resiko 1,71 lebih tinggi untuk meninggal
dalam tiga tahun ke depan dibandingkan yang tidak menderita delirium. Peningkatan resiko
tersebut tetap ada walaupun sudah dilakukan pengendalian terhadap faktor-faktor lain yang
turut berperan terhadap kematian seperti beratnya komorbid, demensia, gangguan status
fungsional, domisili (panti atau bukan) serta faktor perancu yang lain (Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009).







DAFTAR PUSTAKA

Maldonado, J. R., 2008. Delirium in the Acute Care Setting: Characteristics, Diagnosis and
Treatment. Critical Care Clinic, Volume 24, pp. 657-722.
Maslim, R., 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDJG-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
National Institute For Health and Clinical Excellence, 2010. Delirium Diagnosis, Pevention
and Management, London: NICE Clinical Guideline.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012. Delirium. In: Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Jiwa/Psikiatri. Jakarta: Pengurus Pusat
PDSKJI, pp. 7-14.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009. Sindrom Delirium (Acute
Confusional State). In: A. W. Sudoyo, et al. eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing, pp. 907-912.
Potter, J. & George, J., 2006. The Prevention, Diagnosis and Management of Delirium in
Older People: Concise Guideline. Clinical Medicine, 6(3), pp. 303-308.

























LAMPIRAN

The DSM IV is published by the American Psychiatric Association. Much of the
information from the Psychiatric Disorders pages is summarized from the pages of this text.
Should any questions arise concerning incongruencies or inaccurate information, you should
always default to the DSM as the ultimate guide to mental disorders.
The DSM uses a multiaxial or multidimensional approach to diagnosing because rarely do
other factors in a person's life not impact their mental health. It assesses five dimensions as
described below:
Axis I: Clinical Syndromes
This is what we typically think of as the diagnosis (e.g., depression, schizophrenia,
social phobia)
Axis II: Developmental Disorders and Personality Disorders
Developmental disorders include autism and mental retardation, disorders which are
typically first evident in childhood
Personality disorders are clinical syndromes which have a more long lasting symptoms
and encompass the individual's way of interacting with the world. They include
Paranoid, Antisocial, and Borderline Personality Disorders.
Axis III: Physical Conditions which play a role in the development, continuance, or
exacerbation of Axis I and II Disorders
Physical conditions such as brain injury or HIV/AIDS that can result in symptoms of
mental illness are included here.
Axis IV: Severity of Psychosocial Stressors
Events in a persons life, such as death of a loved one, starting a new job, college,
unemployment, and even marriage can impact the disorders listed in Axis I and II.
These events are both listed and rated for this axis.
Axis V: Highest Level of Functioning
On the final axis, the clinician rates the person's level of functioning both at the present
time and the highest level within the previous year. This helps the clinician understand
how the above four axes are affecting the person and what type of changes could be
expected.

Anda mungkin juga menyukai