Anda di halaman 1dari 10

TUGAS SEJARAH

NAMA;ARSQY DIKY PRIYANTO


KELAS; XI IPS 4
NO; 5




Ki Hajar Dewantara
Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Ki Hajar Dewantara
Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Ki Hajar Dewantara (2 Mei 188928 April 1959; nama asli: Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat) ialah Bapa Pendidikan Republik Indonesia yang juga merupakan tokoh pendiri
Taman Siswa, sebuah sekolah kerakyatan di Yogyakarta. Kini, hari kelahiran beliau diperingati
sebagai Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS). Gambarnya boleh dilihat daripada wang
kertas Rp. 20,000 (dua puluh ribu rupiah) yang lama. Perjalanan hidup beliau sepenuhnya di
tujukan demi perjuangan bangsa Indonesia.
Dilahirkan di Yogyakarta, karya Ki Hajar yang terkenal ialah "Seandainya Aku Seorang
Belanda", yang ditulis dalam surat khabar de Expres yang dimiliki oleh Dr Douwes Dekker:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta
kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar
dengan jalan fikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si
penduduk pedalaman memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Fikiran untuk
menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghinakan mereka, dan sekarang kita
membongkar pula koceknya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku
seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku
terutama ialah kenyataan bahawa bangsa penduduk pedalaman diharuskan ikut
mengkongsi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingan sedikit pun".
Ki Hajar meninggal dunia di Yogyakarta. Nama beliau diabadikan sebagai salah sebuah nama
kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara.

Tjipto Mangoenkoesoemo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas




dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (EYD: Cipto Mangunkusumo) (Pecangakan, Ambarawa,
Semarang, 1886 Jakarta, 8 Maret 1943) adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan
Indonesia. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara ia dikenal sebagai
"Tiga Serangkai" yang banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap
pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Ia adalah tokoh dalam Indische Partij, suatu
organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk
setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913 ia dan kedua rekannya diasingkan oleh
pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya, dan baru kembali 1917.
Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota organisasi
Insulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920.
Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang kemudian mengambil jalur
pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad. Karena sikap
radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Banda.
Ia wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa.
Perjalanan hidup
Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan, Jepara. Ia adalah putera
tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karier
Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar di Ambarawa,
kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang dan selanjutnya
menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah
keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.
Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi kedudukan
sosialnya, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi.
Cipto beserta adik-adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Maarif bersekolah di
STOVIA, sementara Darmawan, adiknya bahkan berhasil memperoleh beasiswa dari pemerintah
Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delft, Belanda. Si bungsu, Sujitno
terdaftar sebagai mahasiswa STIH Jakarta.
Pendidikan
Ketika menempuh pendidikan di STOVIA, Cipto mulai memperlihatkan sikap yang berbeda dari
teman-temannya. Teman-teman dan guru-gurunya menilai Cipto sebagai pribadi yang jujur,
berpikiran tajam dan rajin. Een begaafd leerling, atau murid yang berbakat adalah julukan
yang diberikan oleh gurunya kepada Cipto. Di STOVIA, Cipto juga mengalami perpecahan
antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan teman-temannya yang suka pesta dan
bermain, Cipto lebih suka menghadiri ceramah-ceramah, baca buku dan bermain catur.
Penampilannya pada acara khusus, tergolong eksentrik, ia senantiasa memakai surjan dengan
bahan lurik dan merokok kemenyan. Ketidakpuasan terhadap lingkungan sekelilingnya,
senantiasa menjadi topik pidato nya. Baginya, STOVIA adalah tempat untuk menemukan
dirinya, dalam hal kebebasan berpikir, lepas dari tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan
dengan lingkungan baru yang diskriminatif.
Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidakpuasan pada dirinya, seperti semua
mahasiswa Jawa dan Sumatra yang bukan Kristen diharuskan memakai pakaian tadisional bila
sedang berada di sekolah. Bagi Cipto, peraturan berpakaian di STOVIA merupakan perwujudan
politik kolonial yang arogan dan melestarikan feodalisme. Pakaian Barat hanya boleh dipakai
dalam hirarki administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi yang berpangkat bupati. Masyarakat
pribumi dari wedana ke bawah dan yang tidak bekerja pada pemerintahan, dilarang memakai
pakaian Barat. Akibat dari kebiasaan ini, rakyat cenderung untuk tidak menghargai dan
menghormati masyarakat pribumi yang memakai pakaian tradisional.
Keadaan ini senantiasa digambarkannya melalui De Locomotief, surat harian kolonial yang
sangat berkembang pada waktu itu, di samping Bataviaasch Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Cipto
sudah menulis di harian De Locomotief. Tulisannya berisi kritikan, dan menentang kondisi
keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Cipto sering mengkritik hubungan feodal
maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Rakyat umumnya
terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak kesempatan yang tertutup bagi mereka.
Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi ras. Sebagai contoh,
orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu pekerjaan yang
sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang misalnya, peradilan, perbedaan
pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan
sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi
bangsa Indonesia. Demikian juga dalam perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat
kesempatan berdagang secara besar-besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah
di sekolah Eropa.
Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering mendapat teguran dan
peringatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan kebebasan dalam berpendapat Cipto
kemudian keluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah uang
ikatan dinas nya yang tidak sedikit.
Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes dengan bertingkah melawan
arus. Misalnya larangan memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia tidak diindahkannya. Dengan
pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia masuk ke sebuah sociteit yang penuh dengan
orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu mengundang
kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga) mencoba mengusir Cipto untuk keluar dari
gedung, dengan lantang nya, Cipto memaki-maki sang opas serta orang-orang berada di dekatnya
dengan mempergunakan bahasa Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa Belanda
nya yang fasih membuat orang-orang Eropa terperangah.
Budi Utomo
Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai bentuk kesadaran
pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jati diri politik Cipto
semakin nampak. Walaupun kongres diadakan untuk memajukan perkembangan yang serasi bagi
orang Jawa, namun pada kenyataannya terjadi keretakan antara kaum konservatif dan kaum
progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan ini sangat ironis mengawali suatu
perpecahan ideologi yang terbuka bagi orang Jawa.
Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman Wedyodiningrat.
Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara
demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan
bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya.
Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan yang
bersifat Jawa.
Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah kebudayaan keraton yang
feodalis. Cipto mengemukakan bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahkan, terlebih
dahulu diselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan Cipto bagi jaman nya dianggap
radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitas nya yang tinggi, serta analisis yang
tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat tanggapan luas. Untuk membuka jalan
bagi timbulnya persatuan di antara seluruh rakyat di Hindia Belanda yang mempunyai nasib
sama di bawah kekuasaan asing, ia tidak dapat dicapai dengan menganjurkan kebangkitan
kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan rakyat adalah penjajahan dan feodalisme.
Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan diri dari Budi
Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada lagi perdebatan
dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan progesif nya.
Indische Partij


Ki Hadjar Dewantara, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo (Tiga Serangkai)
Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktik dokter di Solo. Meskipun
demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela kesibukan nya
melayani pasien nya, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki
nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah dia bertemu dengan
Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische Partij. Cipto melihat
Douwes Dekker sebagai kawan seperjuangan. Kerjasama dengan Douwes Dekker telah
memberinya kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan politik bagi seluruh
rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto Indische Partij merupakan upaya mulia mewakili
kepentingan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak memandang suku, golongan,
dan agama.
Pada tahun 1912 Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan Douwes
Dekker. Ia kemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Express dan majalah het
Tijdschrijft. Perkenalan antara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu sebenarnya telah
dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad. Douwes Dekker sering
berhubungan dengan murid-murid STOVIA.
Pada November 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis.
Peringatan tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan tersebut
menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Cipto
dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan seratus tahun
kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Dalam komite tersebut Cipto dipercaya
untuk menjadi ketuanya. Komite tersebut merencanakan akan mengumpulkan uang untuk
mengirim telegram kepada Ratu Wilhelmina, yang isinya meminta agar pasal pembatasan
kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut. Komite Bumi Putra juga membuat selebaran
yang bertujuan menyadarkan rakyat bahwa upacara perayaan kemerdekaan Belanda dengan
mengerahkan uang dan tenaga rakyat merupakan suatu penghinaan bagi bumi putera.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express
menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul Als Ik Een Nederlander Was
(Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian De Express Cipto menulis
artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan
Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan
Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Cipto
bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti
Belanda dalam Komite Bumi Putera.
Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap
melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi
Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat
Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier
menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.
Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang cukup
berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, pada
mulanya adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi
informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan Douwes Dekker
berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep Hindia bebas dari
Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai
dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya
jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.
Insulinde
Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan
sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische
Partij. Sejak itu, Cipto menjadi anggota pengurus pusat Insulinde untuk beberapa waktu dan
melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah pesisir utara pulau Jawa. Selain itu,
propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu
Goentoer Bergerak, kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar
Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan. Akibat propaganda Cipto, jumlah anggota Insulinde pada
tahun 1915 yang semula berjumlah 1.009 meningkat menjadi 6.000 orang pada tahun 1917.
Jumlah anggota Insulinde mencapai puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang.
Insulinde di bawah pengaruh kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9
Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).
Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat).
Pengangkatan anggota Volksraad dilakukan dengan dua cara. Pertama, calon-calon yang dipilih
melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan propinsi. Sedangkan cara yang kedua melalui
pengangkatan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur jenderal Van Limburg
Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar Volksraad dapat menampung
berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Salah seorang tokoh radikal yang
diangkat oleh Limburg Stirum adalah Cipto.
Bagi Cipto pembentukan Volksraad merupakan suatu kemajuan yang berarti, Cipto
memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada
pemerintah mengenai masalah sosial dan politik. Meskipun Volksraad dianggap Cipto sebagai
suatu kemajuan dalam sistem politik, namun Cipto tetap menyatakan kritiknya terhadap
Volksraad yang dianggapnya sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan penjajah
dengan kedok demokrasi.
Pada 25 Nopember 1919 Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan persoalan
tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat. Cipto menyatakan bahwa
pinjaman 12 gulden dari sunan ternyata harus dibayar rakyat dengan bekerja sedemikian lama di
perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata menjadi 28 gulden.
Pengasingan


Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto sebagai orang yang sangat
berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920
memberi masukan kepada Gubernur Jenderal untuk mengusir Cipto ke daerah yang tidak
berbahasa Jawa. Akan tetapi, pada kenyataannya pembuangan Cipto ke daerah Jawa, Madura,
Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap membahayakan pemerintah. Oleh
sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada Gubernur Jenderal mengusulkan pengusiran
Cipto ke Kepulauan Timor. Pada tahun itu juga Cipto dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa
tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke Bandung dan dilarang keluar kota Bandung. Selama tinggal
di Bandung, Cipto kembali membuka praktik dokter. Selama tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu
kedokterannya di Bandung, dengan sepedanya ia masuk keluar kampung untuk mengobati
pasien.
Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno
yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie
Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi anggota
resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang pemikiran
bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam suatu wawancara pers pada 1959, ketika ditanya
siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin Indonesia yang paling banyak memberikan pengaruh
kepada pemikiran politiknya, tanpa ragu-ragu Sukarno menyebut Cipto Mangunkusumo.
Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indonesia terjadi pemberontakan
komunis. Pemberontakan itu menemui kegagalan dan ribuan orang ditangkap atau dibuang
karena terlibat di dalamnya. Dalam hal ini Cipto juga ditangkap dan didakwa turut serta dalam
perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu peristiwa, ketika pada bulan Juli 1927
Cipto kedatangan tamu seorang militer pribumi yang berpangkat kopral dan seorang kawannya.
Kepada Cipto tamu tersebut mengatakan rencananya untuk melakukan sabotase dengan
meledakkan persediaan-persediaan mesiu, tetapi dia bermaksud mengunjungi keluarganya di
Jatinegara, Jakarta, terlebih dahulu. Untuk itu dia memerlukan uang untuk biaya perjalanan.
Cipto menasehatkan agar orang itu tidak melakukan tindakan sabotase, dengan alasan
kemanusiaan Cipto kemudian memberikan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya.
Setelah pemberontakan komunis gagal dan dibongkarnya kasus peledakan gudang mesiu di
Bandung, Cipto dipanggil pemerintah untuk menghadap pengadilan karena dianggap telah
memberikan andil dalam membantu anggota komunis dengan memberi uang 10 gulden dan
diketemukannya nama-nama kepala pemberontakan dalam daftar tamu Cipto. Sebagai
hukumannya Cipto kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.
Akhir Hidup
Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian mengusulkan
kepada pemerintah agar Cipto dibebaskan. Ketika Cipto diminta untuk menandatangani suatu
perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara
tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Cipto
kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940 Cipto dipindahkan ke Sukabumi.
Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai meninggal pada 8 Maret 1943.
Referensi
Balfas. 1952. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sejati. Jakarta: Pradjaparamita.
Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Sejarah Pergerakan Nasional dari
Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta:
Grafitipers.
Notosutanto Nugroho.Et al. 1977. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid V. Jakarta: balai Pustaka.
Mulyono, Slamet. 1968. Nasionalisme Sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia. Jilid I.
Jakarta: Balai Pustaka.
Tashadi. 1984. Dr. D.D. Setiabudhi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional

Anda mungkin juga menyukai