Anda di halaman 1dari 37

AUTOIMUNITAS

Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh
menkanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau
keduanya.
Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan
oleh respon autoimun.
Istilah-istilah dalam autoimunitas:
Autoantigen; antigen yang terlibat dalam kasus autoimunitas
Autoantibodi; antibodi yang terlibat dalam kasus autoimunitas.
Sel autoreaktif; limfosit yang mempunyai reseptor untuk autoantigen. Bila sel tersebut
memeberikan respon autoimun, disebut sel limfosit reaktif (SLR).
Contoh beberapa penyakit yang umum terjadi di masyarakat:
1. Autoimun yang menyerang organ spesifik/tertentu
a. Diabetes mellitus tipe 1 Pankreas
b. Goodpastures syndorome paru-paru atau ginjal
c. Multiple sclerosis saraf
d. Graves Disease kelenjar tiroidea
e. Myasthenia Gravis autoantibodi yang memblokir reseptor asetilkolin sehingga
saraf/neurotransmiter tidak dapat memberi perintah kepada otot lalu otot tidak dapat
bekerja dan sebagai efeknya yaitu otot akan mengecil.
2. Autoimun yang menyerang secara sistemik seperti Rheomatoid Arthritis, LES, dll.
Pada Myasthenia Gravis, autoantibodi mengakibatkan diblokirnyareseptor asetilkolin
sehingga oto tidak dapat bekerja dari pacuan saraf. Efeknya yaitu terjadinya kelemahan
otot.
Pada Graves Disease, autoantibodi mengakibatkan diblokirnya reseptor TSH sehingga
mengakibatkan jumlah TSH berlebih. Efeknya yaitu terjadi hipertiroidisme.
Pada Thrombocytopenic Purpura, autoantibodi mengakibatkan diblokirnya antibodi
paltelet sehingga terjadi memar dan pendarahan.
Pada Neonatal Lupus Rash and/or Congenital Heart Block, autoantibodi
mengakibatkan diblokirnya antibodi Ro danantibodi La sehingga ruam fotosensitif
dan/atau bradikardi.
Pada Pemphigus Vulgaris, autoantibodi mengakibatkan dblokirnya desmglein 3
sehingga terjadilah ruam blister (gelembung kecil dikulit yang berisi serum).
Kriteria Penyakit Autoimun
Kriteria untuk menegakkan diagnosis penyakit autoimmun adalah sebagai berikut :
Penyakit timbul akibat adanya respons autoimun
Ditemukan autoantibody
Penyakit dpat ditimbulkan oleh bahan yang diduga merupakan antigen
Penyakit dapat dipindahkan dari satu binatang ke binatang yang lain melalui serum atau
limfosit yang hidup
Kriteria autoimun
a. Autoantibodi atau sel T autoreaktif dengan spesifitas untuk organ yang terkena
ditemukan pada penyakit
b. Autoantibodi dan atau sel T ditemukan dijaringa dengan cedera
c. Ambang autoantibodi atau respon sel T menggambarkan aktifitas penyakit
d. Penurunan respons autoimun memberikan perbaikan penyakit
e. Transfer antibodi atau sel T ke pejamu sekunder menimbulkan penyakit autoimun pada
resipien
f. Imunisasi dengan autoantigen dan kemudian induksi respons autoimun menimbulkan
penyakit.
Faktor Imun Yang Berperan Pada Autoimunitas
a. Sequestered antigen
Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak antominya, tidak terpajan dengan
sel B atau sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi dan tidak
ditemukan untuk dikenal sistem imun.
b. Gangguan presentasi
Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respons MHC, kadar
sitokin yang rendah (misalnya TGF-) dan gangguan respons terhadap IL-2.
c. Ekspresi MHC-II yang tidak benar
Eksperesi MHC-II yang tidak pada tempatnya itu yang biasanya hanya diekspresikan pada APC
dapat mensesitasi sel Th terhadap peptida yang berasal dari sel B atau Tc atau Th1 terhadap sel
antigen.
d. Aktivasi sel B poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus EBV (Epstein Barr
Virus), LPS (lipopolisakarida) dan parasit malaria yang dapt merangsang sel B secara langsung
yang menimbulkan autoimunitas.
e. Peran CD4 dan reseptor MHC
CD4 merupakan efektor utama pada penyakit autoimun. Penyakit dapat juga dicegah oleh
antibodi CD4.
f. Keseimbangan Th1 dan Th2
Th1 menunjukkan peran pada autoimunitas, sedang Th2 tidak hanya melindungi terhadap
induksi penyakit, tetapi juga terhadap progres penyakit
g. Sitokin pada autoimunitas
Gangguan mekanismenya menimbulkan upregulasi atau produksi sitokin yang tidak benar
sehingga menimbulkan efek patofisiologik.
TOLERANSI DIRI
Autoimunitas dan toleransi diri
Untuk menghindari penyakit autoimun, pembentukan molekul sel T dan B yang bersifat
autoreaktif harus dicegah melalui eliminasi atau down-regulation. Sel T (terutama CD4+)
mempunyai peran sentral dalam mengatur hampir semua respons imun, sehingga proses toleransi
sel T lebih penting dalam penghindaran autoimunitas dibandingkan toleransi sel B. Selain itu,
sebagian sel B yang autoreaktif juga tidak dapat memproduksi autoantibodi apabila tidak
menerima rangsangan yang tepat dari sel Th.
Toleransi timus
Perkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam eliminasi sel T yang dapat
mengenali peptida pada protein diri. Dengan proses positive selection, sel akan bertahan melalui
ikatan dengan molekul MHC. Ikatan ini akan menginduksi sinyal yang mencegah sel mati.
Reseptor sel T yang gagal berikatan dengan molekul MHC di timus akan mati melalui apoptosis.
Sel T yang bertahan dari proses ini akan berikatan dengan molekul MHC dan kompleks peptida
diri yang ada di timus dengan afinitas yang berbeda-beda. Sel T yang mempunyai afinitas yang
rendah akan bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan peptida asing dengan afinitas
tinggi serta dapat menginisiasi respons imun protektif nantinya. Namun sel T yang berikatan
dengan MHC dan peptida diri di timus dengan afinitas tinggi mempunyai potensial untuk
pengenalan dengan antigen diri di tubuh, dengan konsekuensi induksi autoimunitas. Sel-sel
dengan afinitas tinggi tersebut dieliminasi melalui proses negative selection(Gambar 15-1).
Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi timus adalah
banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan kadar yang cukup di timus untuk
menginduksi negative selection. Sebagian besar peptida yang berikatan dengan MHC di timus
berasal baik dari protein intraseluler atau terikat membran yang ada dimana-mana, ataupun
protein yang ada di cairan ekstraseluler, sehingga toleransi timus tidak diinduksi terhadap protein
spesifik jaringan.
Toleransi perifer
Terdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi perifer yang merupakan kontrol lini kedua
dalam mengatur sel autoreaktif
I gnorance
Proses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen terasing di organ avaskular,
seperti humor viterus pada mata. Antigen tersebut secara efektif tidak terlihat oleh sistem
imun. Apabila antigen tersebut lolos dari organ tersebut, maka toleransi perifer aktif akan
berkembang. Proses ini terjadi karena sel T CD4+ hanya mengenali angtigen yang
dipresentasikan melalui molekul MHC II. Dengan distribusi yang terbatas dari molekul tersebut,
maka sebagian besar molekul spesifik organ tidak akan dipresentasikan dengan kadar yang
cukup untuk menginduksi aktivasi sel T
Pemisahan sel T autoreaktif dengan autoantigen
Antigen diri dan limfosit juga terpisah oleh sirkulasi limfosit yang terbatas. Sirkulasi ini
membatasi limfosit naive ke jaringan limfoid sekunder dan darah. Untuk mencegah antigen diri
mempunyai akses ke antigen-presenting cells, debris dari jaringan diri yang rusak perlu
dibersihkan secara cepat dan dihancurkan, melalui apoptosis dan mekanisme pembersihan debris
lainnya, termasuk sistem komplemen dan fagositosis. Defek komplemen dan fagosit berkaitan
dengan perkembangan autoimunitas terhadap molekul intraseluler.
Anergi dan kostimulasi
Mekanisme toleransi perifer yang aktif meliputi delesi sel autoreakitf melalui apoptosis atau
induksi keadaan anergi (tidak respons). Sel T CD4+ naive memerlukan dua sinyal untuk menjadi
aktif dan memulai respons imun. Sinyal pertama berupa sinyal spesifik antigen melalui reseptor
antigen di sel T. Sinyal kedua berupa sinyal non-spesifik ko-stimulasi, biasanya sinyal oleh
CD28 (pada sel T) yang terikat ke salah satu lingkup B7 (CD80 atau CD86) pada stimulator.
Oleh karena itu, meskipun terdapat pengenalan sel T terhadap molekul peptida spesifik jaringan
atau kompleks MHC, namun bila tidak terdapat ikatan dengan molekul ko-stimulator, maka
stimulasi melalui reseptor sel T akan berujung pada anergi atau kematian sel T melalui apoptosis
(Gambar 15-2). Ekspresi molekul ko-stimulator ini sangat terbatas. Sinyal stimulator juga
terbatas pada antigen-presenting cells seperti sel dendritik. Dengan adanya distribusi yang
terbatas dan pola resirkulasi, interaksi sel CD4+ dengan sel dendritik hanya terjadi di jaringan
limfoid sekunder seperti nodus limfe. Ekspresi molekul ko-stimulator dapat diinduksi melalui
beberapa cara, biasanya melalui inflamasi atau kerusakan sel. Namun, dengan adanya restriksi
pola resirkulasi limfosit, maka hanya sel yang telah teraktivasi sebelumnya yang mempunyai
akses ke lokasi perifer.
Sel T teraktivasi juga dapat mengekspresikan molekul permukaan yang mempunyai
struktur serupa dengan molekul ko-stimulator, namun mempunyai efek negatif terhadap aktivasi
sel T, yaitu CTLA-4 yang mempunyai struktur serupa dengan CD28 dan mengikat ligand yang
sama. Ikatan antara CD80 atau CD86 dengan CTLA4 menginduksi anergi atau kematian melalui
apoptosis (Gambar 15-2). Adanya defek genetik pada mekanisme apoptosis dapat berakibat pada
berkembangnya autoimunitas.
Supresi
Mekanisme toleransi perifer termasuk supresi aktif dari sel T autoreaktif melalui penghambatan
populasi sel T yang dapat mengenali antigen yang sama (sel T supresor)
Toleransi sel B
Toleransi sel B bekerja pada sistem perifer. Produksi antibodi autoreaktif dibatasi terutama oleh
kurangnya sel T yang membantu dalam antigen diri. Sel B baru akan terus dibentuk secara
kontinu dari prekursor sumsum tulang dan banyak diantaranya bersifat autoreaktif. Adanya
proses hipermutasi somatik gen imunoglobulin pada sel B matur di pusat germinal nodus limfe
juga dapat menghasilkan autoantibodi. Apabila sel B baru atau hipermutasi sel B berikatan
dengan antigen yang sesuai, namun tidak terdapat bantuan sel T, maka sel B akan mengalami
apoptosis atau anergi.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Etiologi
Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam penyebab penyakit autoimun.
Faktor genetik
Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan autoimun yang bersifat
subklinis lebih umum terdapat dalam anggota keluarga dibandingkan penyakit yang nyata. Peran
genetik dalam penyakit autoimun hampir selalu melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula
hanya melibatkan gen tunggal. Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan defek pada apoptosis
atau kerusakan anergi dan sesuai dengan mekanisme toleransi perifer dan kerusakannya.
Hubungan antara gen dengan autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari MHC.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab antara lain hormon,
infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.
Hormon
Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering terjadi pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit autoimun mempunyai puncak usia onset dalam
masa reproduktif, dengan beberapa bukti klinis dan eksperimental menyebutkan estrogen sebagai
faktor pencetus. Mekanisme yang mendasarinya belum jelas, namun bukti menunjukkan estrogen
dapat menstimulasi beberapa respons imun. Contohnya insidens penyakit LES pada wanita pasca
pubertas 9 kali lebih tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang hal ini tetapi studi klinis
dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan memperlihatkan bahwa kecenderungan
tersebut lebih ditentukan oleh hormon sel wanita daripada gen kromosom X. Hewan betina, atau
jantan yang dikastrasi, memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons imun spesifik yang
lebih tinggi daripada jantan normal. Stimulasi estrogen kronik mempunyai peran penting
terhadap prevalensi LES pada wanita. Walaupun jumlah estrogen pada penderita tersebut
normal, aktivitas estradiol dapat meningkat akibat kelainan pola metabolisme hormon wanita.
Pada wanita penderita LES terdapat peninggian komponen 16-hidroksil dari 16-hidroksiestron
dan estriol serum dibandingkan dengan orang normal. Hormon hipofisis prolaktin juga
mempunyai aksi imunostimulan terutama terhadap sel T.
Infeksi
Hubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada mekanisme molecular mimicry,
namun juga terdapat kemungkinan lain. Infeksi pada target organ mempunyai peran penting
dalam up-regulation molekul ko-stimulan yang bersifat lokal dan juga induksi perubahan pola
pemecahan antigen dan presentasi, sehingga terjadi autoimunitas tanpa adanya molecular
mimicry. Namun, sebaliknya, autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan angka kejadian
infeksi yang tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh infeksi ini masih belum jelas.
Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang terjadi secara horizontal atau
vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun dengan berbagai jalan, antara lain karena aktivasi
poliklonal limfosit, pelepasan organel subselular setelah destruksi sel, fenomena asosiasi
pengenalan akibat insersi antigen virus pada membran sel yang meningkatkan reaksi terhadap
komponen antigen diri, serta gangguan fungsi sel Ts akibat infeksi virus. Virus yang paling
sering dikaitkan sebagai pencetus autoimunitas adalah EBV, selain miksovirus, virus hepatitis,
CMV , virus coxsackie, retrovirus, dan lain-lain.
Obat
Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang dapat mempunyai
komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat penting untuk membedakan respons
imunologi dari obat (hipersensitivitas obat), baik berasal dari bentuk asli maupun kompleks
dengan molekul pejamu, dengan proses autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi
hipersensitivitas biasanya reversibel setelah penghentian obat sedangkan proses autoimun dapat
berkembang progresif dan memerlukan pengobatan imunosupresif.
Mekanisme autoimun yang diinduksi obat kemungkinan mengikuti mekanismemolecular
mimicry, yaitu molekul obat mempunyai struktur yang serupa dengan molekul diri, sehingga
dapat melewati toleransi perifer. Beberapa obat (seperti penisiliamin) dapat terikat langsung
dengan peptida yang mengandung molekul MHC dan mempunyai kapasitas langsung untuk
menginduksi respons abnormal sel T. Kerentanan yang berbeda tersebut terutama ditentukan
oleh genetik. Variasi genetik pada metabolisme obat juga berperan, adanya defek pada
metabolisme mengakibatkan formasi konjugat imunologi antara obat dengan molekul diri. (Pada
SLE yang diinduksi obat, asetilator kerja lambat lebih rawan menyebabkan SLE). Obat juga
mempunyai ajuvan intrinsik atau efek imunomodulator yang mengganggu mekanisme toleransi
normal.
Agen fisik lain
Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar matahari) merupakan pemicu
yang jelas terhadap inflamasi kulit dan kadang keterlibatan sistemik pada SLE, namun radiasi ini
lebih bersifat menyebabkan flare dalam respons autoimun yang sudah ada dibandingkan sebagai
penyebab. Radiasi ultraviolet memperberat SLE melalui beberapa mekanisme. Radiasi dapat
menyebabkan modifikasi struktur pada antigen diri sehingga mengubah imunogenitasnya.
Radiasi tersebut juga dapat menyebabkan apoptosis sel dalam kulit melalui ekspresi autoantigen
lupus pada permukaan sel, yang berkaitan dengan fotosensitivitas (dikenal dengan Ro dan La).
Permukaan Ro dan La kemudian dapat berikatan dengan autoantibodi dan memicu kerusakan
jaringan. Variasi genetik yang mengkode gen glutation-S-transferase juga dikaitkan dengan
peningkatan antibodi anti-Ro pada SLE. Pemicu lain yang diduga berkaitan dengan penyakit
autoimun antara lain stres psikologis dan faktor diet.

Mekanisme rusaknya toleransi
Mengatasi toleransi perifer
Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan dengan infeksi dan
kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan anergi dapat terjadi oleh paparan sitokin
tertentu, terutama IL-2. Penyakit autoimun yang bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2
pada keganasan. Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan yang kehilangan
sitokin imunosupresif.
Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang tidak
tepat pada antigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-stimulator yang tidak tepat atau
perubahan cara molekul diri dipresentasikan ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat
inflamasi atau kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi lokal
akan meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan juga ke antigen-presenting cells) dan
juga menginduksi ekspresi molekul MHC dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan
enzim proteolitik pada lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler
dan ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi dipresentasikan ke
sel T yang responsif, peptida tersebut dinamakan cryptic epitopes. Peptida diri juga dapat diubah
oleh virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya melewati toleransi yang telah ada
sebelumnya.
Kemiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme juga dapat memicu
respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi rendah dan tanpa akses ke antigen-presenting
cells dapat bereaksi silang dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini
mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat mengenali peptida diri,
apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan) menyebabkan presentasi peptida tersebut dan
akses sel T ke jaringan tersebut .
Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat
Antigen mikrobial Antigen diri Penyakit yang diduga
akibat molecular mimicry
Protein grup A streptokokus
M
Antigen di otot jantung Demam reumatik
Bacterial heat shock proteins Self heat shock proteins Terkait dengan penyakit
autoimun berat namun belum
terbukti
Protein inti Coxsackie B4 Glutamat dekarboksilase sel
pulau pankreas
Diabetes melitus dependen
insulin
Glikoprotein Campylobacter
jejuni
Gangliosida dan glikolipid
terkait mielin
Sindrom Guillain-Barre
Heat shock
protein dariEschericia coli
Subtipe rantai HLA-DR
mengandung epitop
bersama artritis reumatoid
Artritis reumatoid

Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut pada presentasi peptida
lainnya dan respons imun akan meluas dan menghasilkan percepatan kerusakan jaringan lokal.
Proses domino ini disebut epitope spreading.
Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive) memerlukan ko-stimulasi
melalui CD28 unutk dapat berperan dalam respons imun. Namun, sel T yang sebelumnya sudah
teraktivasi dapat diinduksi untuk proliferasi dan produksi sitokin melalui variasi sinyal ko-
stimulasi yang lebih luas, dicetuskan oleh molekul adesi yang diekspresikan di sel tersebut. Oleh
karena itu, sel autoreaktif yang telah teraktivasi sebelumnya tidak hanya resirkulasi secara bebas
di jaringan yang terinflamasi (karena adanya peningkatan ekspresi molekul adesi) namun juga
lebih mudah mengaktivasi setelah sampai di jaringan yang mengandung peptida diri/kompleks
MHC yang sesuai. Hal ini menandakan sekali barier toleransi rusak, respons autoimun akan lebih
mudah bertahan dan menyebabkan proses patogenik autoreaktif yang lama pula.

Mekanisme kerusakan jaringan
Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi (hipersensitivitas tipe II
dan III) atau aktivasi makrofag oleh sel T CD4+ atau sel T sitotoksik (hipersensitivitas tipe IV).
Mekanisme kerusakan dapat tumpang tindih antara kerusakan yang diperantarai antibodi dengan
sel T.
Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme hipersensitivitas,
autoantibodi juga dapat menyebabkan kerusakan dengan terikat pada lokasi fungsional dari
antigen diri, seperti pada reseptor hormon, reseptor neurotransmiter dan protein plasma.
Autoantibodi tersebut dapat menyerupai atau menghambat aksi ligand endogen dari antigen diri,
sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi tanpa adanya inflamasi atau kerusakan jaringan.
Kerusakan yang diperantarai antibodi pada autoimunitas terjadi bila autoantibodi mengenali
antigen yang bebas di cairan ekstraseluler atau diekspresikan pada permukaan sel.
DIAGNOSIS
Beberapa pemeriksaan autoantibodi seringkali dapat membantu diagnosis penyakit autoimun
Pemeriksaan tersebut juga bermanfaat sebagai pemeriksaan penyaring pada kelompok risiko
seperti misalnya keluarga penderita penyakit autoimun, atau mencari penyakit autoimun lain
yang sering menyertai suatu penyakit autoimun tertentu seperti kemungkinan tiroiditis pada
gastritis autoimun atau sebaliknya.
Pemeriksaan autoantibodi untuk diagnosis penyakit autoimun
Penyakit Antibodi
Tiroditis Hashimoto Tiroid
Miksedema primer Tiroid
Tirotoksikosis Tiroid
Anemia pernisiosa Lambung
Atrofi adrenal idiopatik Adrenal
Miastenia gravis Otot, reseptor asetilkolin
Pemvigus vulgaris dan pemfigoid Kulit
Anemia hemolitik autoimun Eritrosit (uji Coombs)
Sindrom Sjogren Sel duktus salivarius
Sirosis biliar orimer Mitokondria
Hepatitis kronik aktif Anti Sm, mitokondria
Artritis reumatoid Antiglobulin
LES Antinuklear, DNA, sel LE
Skleroderma Nukleolus
Penyakit jaringan ikat lain Nukleolus
ATHRALGIA
Adalah nyeri pada suatu sendi (yang merupakan suatu gejala, bukan penyakit)
Klasifikasi:
1. Monoarticular
Acute
- Infection (bakteri, fungal, viral)
- Crystal (Gout, pseudogout)
- Hemathrosis
Chronic
- Osteoarthritis
- Infection
- Tumor (osteoma, sarkoma)
2. Polyartcular
Inflamatory
- Acute
Infectious
Post-infectious (demam reumatik, reiter sindrom)
Early connective tissue disease
- Chronic
Seronegative spondyloarthritis
Systemic rheumatoid disease
Rheumatoid arthritis
Systemic lupus eritematosus
Systemic vaculitis
Systemic sclerosis/ skleroderma
polymyositosis
Hereditary hemochromatis
Non-inflamatory Osteoarthritis

1. Rheumatoid arthritis
Definisi: penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya sinovitis erosif simetrik pada
sendi
Gambaran klinis: kaku pada pagi hari < 1jam pada 3 sendi atau lebih, terdapat nodul
rheumatoid, gejala konstitusional, poliarthritis simetris
Pemeriksaan:
Lab CRP meningkat >0,7 pg/ml
LED meningkat >30 mm/jam
Hb/Ht turun 10 g/dl
RF negatif pada stadium dini dan dapat diulang setelah 6-12 bulan
Anti-CCP (lebih spesifik dari RF)
Anti-RA33 (bila RF dan anti-CCP negatif)
Urinalisis terdapat hematuria
Radiologi tahap awal tidak ditemukan, edema lunak, penyempitan ruang sendi
2. Spondyloarthropati seronegatif
- Spondilitis ankilosans
Definisi: penyakit peradangan kronik progresif yang menyerang sendi
sakroiliaka dan tulang belakang
Gambaran klinis: lelah dan nyeri pada tulang belakang serta panggul, tidak
ada skoliosis
Pemeriksaan:
Lab LED meningkat, RF negatif, antigen HLA-B27 positif
Radiologi tahap awal gambaran kabur pada sendisakroiliaka, tahap
lanjut terdapat erosi sendi, vertebrae lebih persegi dan menyempit,
tahap akhir terdapat kalsifikasi diskus dan ligamen paravertebrae
- Arthritis psoriatik
Definisi: pada orang dengan psoriasi kulit
Gambaran klinis: peradangan asimetris pada beberapa sendi perifer (sendi
pada distal tangan, kaki, lutut dan panggul
Pemeriksaan:
LED meningkat, antigen HLA-B27 positif
Radiologi: tahap awal normal, terdapat gambaran pensil dalam
mangkuk yang merupakan tanda khas, ditemukan erosi pada ujung
distal falang proksimal sehingga menjadi agak runcing
- Arthritis enteropatik
Pada pasien dengan kolitiss ulceratif dan penyakit crohn
- Reactive arthritis (Sindrom Reiter)
Definisi: suatu kondisi inflamasi yang steril setelah adanya infeksi
ekstraartikular terutama infeksi urogenital dan enterik
Gambaran klinis: trias gejala berupa uretritis purulen/berair, arthritis,
konjungtivitis. Demam dan penurunan berat badan
Pemeriksaan:
Lab 90% memiliki antigen HLA-B27, cairan sinovial meradang,
leukosit 15000-20000/mm
3

Radiologi tendensi sendi tungkai bawah, perubahan erosif sendi,
periostitis pada insersi tendon achilles, tonjolan non-marginal di
sepanjang kolumna vertebrae
3. Skleroderma
Definisi: penyakit jaringan ikat yang ditandai dengan fibrosis pada kulit dan organ lain
Gambaran klinis: fenomena raynaud (gangguan vasospastik paroksimal dengan terjadinya
spasme abnormal dengan arteri-arteri di tangan dalan respon terhadap suhu dingin/ emosi
memuncak yang mengakibatkan jari tangan putih/ vasospasme, biru/ sianosis, lalu merah/
hiperemia reaktif), bengkak, penebalan, jari seperti sosis, proses berjalan ke proksimal
Pemeriksaan
Lab LED meningkat
RF positif
ANA positif
Biopsi kulit
Radiologi kalsifikasi subkutan pada jari-jari tangan


DefinisiLupus Eritematosus sistemik

Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan
adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem
imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya bersifat
episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh.
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya
penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan
kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena.
Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian.
Karenanya LES harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam
yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab
terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem
imun. Pada anak perempuan, awitan LES banyak ditemukan pada umur 9-15 tahun

Patofisiologi Lupus Eritematosus sistemik
Lupus eritematosus disebabkan oleh ANA ( Anti Nukleat Antibody ) yang dapat diperoleh dari :
1. Faktor genetik ( adanya mutasi gen )
2. Faktor nongenetik ( yang juga merupakan faktor pencetus )
a. Obat-obatan = prokainamid dan hidralazin yang dapat menghasilkan ANA
b. Hormon seks = esterogen yang dapat meningkatkan sintesis Ab
c. Sinar UV = yang dapat merusak DNA dan bisa meningkatkan jejas sel








Adapun etiopatogenesis nya :
ANA yang terbentuk akibat :
jejas jaringan faktor genetik fktr non genetik
sel yang mengalami jejas Obat estrogen sinar UV
akan lisis sehingga untai DNA
akan bersatu dengan ANA sintesis Ab jejas DNA
& sel.

Bila terjadi pada sel B dan sel B rusak































Gejala klinis :
1. Diagnosa SLE pada seorang perempuan dengan gambaran khas :
Pindah
kendali
oleh Sel T
Aktifasi fosofolipase dan akan
mengeluarkan AA lalu
berubah mnjadi PG dan LT
PG :
vasodltsi
eritem,
nyeri
LT :
edem,
eritem
Merangsng
pembentukan
Autoantibody IgG
Langsung
Autoantibody diarahkan :
1. Mlwn komplek nuklear dan sitoplasma sel
pejamu sehingga sel menjadi semakin rusak
dan lisis
2. Melawan Ag permukaan sel darah sehingga
bisa menimbulkan anemia, trombositopenia,
dan defek limfosit
3. Melawan protein pembentuk komp.fosolipid
yang digunakan sbg kaskade pembekuan dan
jika ada perdrahan bisa menimbulkan efek
trombositopenia
Tidak langsung :
Adanya antibodi akan
meningkatkan kompleks imun
Bisa mengendap
Gangguan organ misalnya : ginjal
(glomeluronefritis terjadi akibat
penimbunan infiltrat M.nuklear)
Sel Th sitokin
a. Ruam paa wajah yang menyerupai kupu kupu akibat adanya paparan sinar
matahari yang dapat menjadi faktor pencetus atau memperparah SLE
b. Demam
c. Artritis ( terjadi karena adanya pengendapan kompleks imun pada sendi )
d. Nyeri
e. Dan adanya efek fotosensitivitas
Gejala sistemik meliputi lemah, anoreksia, demam, lemah, dan menurunnya berat badan.
Gejala di kulit termasuk ruam malar (butterfly rash), ulkus di kulit dan mukosa, purpura, alopesia
(kebotakan), fenomena Raynaud, dan fotosensitifitas. Gejala sendi sering ditemukan. Bersifat
simetris dan tidak menyebabkan kelainan sendi.
Nefritis lupus umumnya belum bergejala pada masa awitan, tetapi sering berkembang
menjadi progresif dan menyebabkan kematian. Gejalanya berupa edema, hipertensi, gangguan
elektrolit, dan gagal ginjal akut. Biopsi ginjal diindikasikan pada pasien yang tidak responsif
pada terapi kortikosteroid. Pengendalian hipertensi sangat penting untuk mempertahankan fungsi
ginjal.
Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa) mungkin terjadi tetapi termasuk
manifestasi yang jarang. Keluhan yang banyak adalah nyeri perut akibat vaskulitis peradangan
pembuluh darah). Keterlibatan susunan saraf pusat dapat berupa kejang, koma, hemiplegia
(kelumpuhan pada satu sisi tubuh), neuropati (kelainan saraf) fokal, dan gangguan perilaku.

Terapi :
Penatalaksaan LES harus mencakup obat, diet, aktivitas yang melibatkan banyak ahli.
Alat pemantau pengobatan pasien LES adalah evaluasi klinis dan laboratoris yang sering untuk
menyesuaikan obat dan mengenali serta menangani aktivitas penyakit. Lupus adalah penyakit
seumur hidup, karenanya pemantauan harus dilakukan selamanya.
Tujuan pengobatan LES adalah mengontrol manifestasi penyakit, sehingga anak dapat
memiliki kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan organ
serius yang dapat menyebabkan kematian. Adapun obat-obatan yang dibutuhkan seperti:
1. Antiinflamasi non-steroid
Untuk pengobatan simptomatik artralgia nyeri sendi).
2. Antimalaria
Diberikan untuk lupus diskoid. Pemakaian jangka panjang memerlukan evaluasi retina
setiap 6 bulan.
3. Kortikosteroid
Dosis rendah, untuk mengatasi gejala klinis seperti demam, dermatitis, efusi pleura.
Diberikan selama 4 minggu minimal sebelum dilakukan penyapihan.
Dosis tinggi, untuk mengatasi krisis lupus, gejala nefritis, SSP, dan anemi hemolitik.
4. Obat imunosupresan/sitostatika
Imunosupresan diberikan pada SLE dengan keterlibatan SSP, nefritis difus dan
membranosa, anemia hemolitik akut, dan kasus yang resisten terhadap pemberian
kortikosteroid.
5. Obat antihipertensi
Atasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresif
6. Kalsium
Semua pasien LES yang mengalami artritis serta mendapat terapi prednison berisiko
untuk mengalami osteopenia, karenanya memerlukan suplementasi kalsium.
Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien memerlukan
kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium,
rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan
obat tradisional.

Aktivitas
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk mempertahankan
densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress
sering dihubungkan dengan kekambuhan.
Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari harus
menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence
juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien LES.








SINDROM SJOGREN
DEFINISI : Sindrom Sjogren adalah sebuah penyakit sistemik autoimun yang mengenai
kelenjar eksokrin dengan perkembangan penyakit yang lambat.
EPIDEMIOLOGI : Sindrom Sjogren dapat dijumpai pada semua umur, terutama perempuan
dengan perbandingan perempuan : pria = 9 : 1. Sampai saat ini prevalesinya belum diketahui
dengan pasti.
PATOFISIOLOGI :
Reaksi imunologi yang mendasari patofisiologi Sindrom Sjogren tidak hanya sistem imun selular
namun juga sistem imun humoral. Ini dibuktikan dengan adanya autoantibodi dan terbentuknya
hipergammaglobulin. Antibodi yang terlihat pada sindrom ini adalah:
1. Antibodi spesifik organ : Autoantibodi kelenjar saliva, tiroid, mukosa gaster, eritrosit,
pankreas, prostat, dan serat saraf.
2. Antibodi non-spesifik organ : Faktor rematoid, ANA, anti-Ro, anti-La.

Gambaran histopatologi yang dijumpai pada sindrom sjogren adalah kelenjar eksokrin dipenuhi
dengan infiltrasi dominan limfosit T dan limfosit B terutama daerah sekitar saluran kelenjar atau
duktus gambaran histopatologi ini dapat ditemui di kelenjar saliva, lakrimal, serta kelenjar
eksokrin lainnya misalnya kulit.

Fenotip se T yang mendominasi adalah sel T CD4, sel ini memproduksi berbagai macam
iterleukin, IL-2, IL-4, IL-6, IL-1b, dan TNF.

Sitokin ini mengubah fungsi sel epitel dalam mempresentasikan protein, merangsang apoptosis
sel epitelial kelenjar melalui regulasi Fas.

Infiltrasi limfosit mengakibatkan tergantinya sel epitel kelenjar eksokrin, menurunkan fungsi
kelenjar yang menimbulkan gejala klinik.

GAMBARAN KLINIK : Sangat luas, terutama eksokrinopati disertai gejala sistemik.
Pada mulut : Xerostomia dan xerotrakea. Pada mata : Mata kering dan keratokonjungtivitis sisca.
Pada sistemik dapat menimbulkan gejala pada ginjal, paru-paru, pembuluh darah, dan otot.
Penyakit sistemik yang terkait dengan Sindrom Sjogren : arthritis reumatoid, LES, Skleroderma,
Miositis, Vaskulitis, Tiroiditis, dan Hepatitis Kronik Aktif.
DIAGNOSIS :
KRITERIA SINDROM SJOGREN :
- Gejala mulut kering
- Gejala mata kering
- Tes Schimer
- Tes fungsi kelenjar saliva
- Biopsi kelenjar saliva
- Autoantibodi (SS-A, SS-B)
DIAGNOSIS BANDING : Amiloidisis, DM, Sarkoidosis, Infeksi virus, Trauma.

PENGARUH LES PADA KEHAMILAN

Wanita penderita LES umumnya tidak mengalami gangguan dalam fungsi
reproduksinya, dan dapat mengalami kehamilan kecuali jika penyakit yang dideritanya telah
sangat berat dan aktif.Gangguan fertilitas pada wanita penderita LES lebih berhubungan
dengan keterlibatan organ vital terutama ginjal.
Kelainan organ vital merupakan kontra indikasi bagi wanita penderita LES untuk
hamil. Dengan meluasnya cara penatalaksanaan LES seperti yang umum digunakan
sekarang, prognosa penderita LES saat ini jauh lebih baik dibandingkan masa lalu. Saat ini
kemungkinan untuk hamil dan melahirkan normal meningkat.Walaupun pada eksaserbasi
LES selama kehamilan menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas ibu terutama
pada masa peripartum.
Prognosa ibu pada penderita LES lebih banyak ditentukan pada pada saat konsepsi,
bila konsepsi pada masa tenang prognosanya lebih baik.Hal ini bisa dicapai dengan
manipulasi terapetik selama beberapa bulan sebelum konsepsi.Selama itu dilakukan evaluasi
klinis dan laboratorium secara ketat.
17
Pada pendrita LES yang ingin hamil, kehamilan
ditunda selama minimal 6 bulan dalam kondisi terkontrol, sebelum konsepsi dilakukan.
Kontrasepsi yang efektif merupakan hal yang sangat penting, kontrasepsi hormonal
yang mengandung estrogen dapat menyebabkan eksaserbasi LES, mengingat estrogen juga
dapat menimbulkan tromembolik dan membentuk antibodi antikardiolipin.penggunaan alat
kontrasepsi dalam rahim (AKDR) tidak dianjurkan karena kemungkinan timbulnya infeksi .
Kontrasepsi yang aman adalah preparat oral progesteron murni, kondom, atau diafragma.
Abortus merupakan suatu tindakan yang sangat tidak dianjurkan pada penderita LES,
karena dapat menyebabkan timbulnya eksaserbasi klinis pascaabortus, bila abortus harus
dilakukan maka tindakan tersebut harus dilakukan sedini mungkin.Pasca abortus harus
dilindungi dengan pemberian kortikosteroid oral dosis tinggi selama 6 bulan.


EKSASERBASI LES DALAM KEHAMILAN

Wanita penderita LES umumnya tidak mengalami gangguan dalam fungsi
reprodiksinya, dan dapat mengalami kehamilan kecuali jika penyakit yang dideritanya sudah
sangat berat dan aktif.Gangguan fertilitas pada penderita LES lebih berhubungan dengan
keterlibatan organ vital terutama ginjal.Deteksi LES pada kehamilan kadangkala sulit
dikarenakan manifestasi klinis yang khas dari penyakit ini dapat merupakan temuan normal
pada wanita yang sedang hamil.Sebagai contoh, adanya preeklamsia pada wanita hamil
dapat mengacaukan eksarsebasi LES pada kehamilan. Kelainan organ vital ,erupakan
kontraindikasi bagi wanita untuk hamil. Walaupun demikian, dengan bertambah baiknya
penatalaksanaan LES, prognosis penderita LES jauh lebih baik dibandingkan dengan masa
lalu
Dari berbagai laporan dapat diketahui bahwa 10% dari penderita LES aktif masih
dapat mengalami kehamilan.Walaupun demikian terjadinya eksarsebasi LES selama
kehamilan dan menyebabkan bertambah tingginya tingkat mortalitas dan morbiditas ibu
terutama pada masa peripartum. Pada suatu penelitian retrospektif, telah dibuktikan bahwa
eksarsebasi LES dalam kehamilan 3 kali lebih besar pada 20 minggu kehamilan dan 6 kali
lebih besar pada 8 minggu past partum. Beberapa ahli mengganggap bahwa kehamilan
mempresipitasi timbulnya LES, dimana kematian yang terkait dengan penyakit tersebut
secara bermakna lebih tinggi.Hal ini merupakan alsan sebagian ahli bahwa penderita dengan
LES tidak diperbolehkan untuk hamil.Dewasa ini para klinisi menganggap bahwa
sesungguhnya hal ini tidak tepat, dimana diagnosis dan penatalaksanaan LES saat ini telah
lebih baik. Penelitian baru-baru ini telah menunjukkan bahwa 150605 wanita dengan LES
akan mengalami eksarsebasi selama kehamilan dan masa post partum.
Lockshin dkk Pada suatu penelitian telah membuktikan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna flare score antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Peneliti yang sama
mengikuti kehamilan 80 wanita dengan LES, disimpulkan bahwa kejadian eksarsebasi LES
dengan kehamilan kurang dari 25% dan sebagian besar dengan klinis yang ringan. Jika
hanya menggunakan gejala dan tanda yang spesifik untuk LES, maka kejadiannya hanya
13%.

PENATALAKSANAAAN LES PADA KEHAMILAN

A. Masa pra kehamilan

Idealnya wanita dengan LES yang ingin hamil harus terlebih dahulu menjalani
konseling pra kehamilan. Pada saat itu harus dijelaskan masalah obstetri yang akan timbul
jika wanita tersebut hamil, termasuk resiko kematian janin, persalinan preterm, preeklampsi
dan gangguan pertumbuhan janin. Perhatian khusus juga diberikan terhadap kemungkinan
timbulnya sindroma antifosfolipid dan lupus neonatal. Penderita yang hendak hamil harus
berada dalam fase remisi dan tidak sedang menggunakan obat-obatan sitotoksik dan OAINS
sebelum terjadi konsepsi,juga harus dinilai apakah penderita menderita anemia,
trombositopenia, penyakit ginjal dan antibodi antifosfolipid.
5,15,16,17


B. Prenatal

Penderita LES yang hamil harus melakukan pemeriksaan ke ahli kebidanan setiap 2
minggu pada trimester satu dan dua, dan setiap minggu setelahnya.Pada setiap kunjungan,
penderita harus dianamnesis mengenai gejala atau tanda aktivitas LES.Penatalaksanaan
optimal tidak harus memerlukan evaluasi serologis untuk hipokomplementania, kompleks
imun yang bersirkulasi atau sekadar autoantibodi, selama penderita asimtomatik.
Mondalitas utama dalam pengobatan LES adalah penggunaan kortikosteroid, obat
antiinflamasi non steroid (OAINS), aspirin, antimalaria dan imunosupresan.Akan tetapi
untuk penggobatan LES dalam kehamilan terdapat kecenderungan untuk tidak memberikan
penggobatan secara polifarmaka dan pemberian obat harus dimulai pada dosis serendah
mungkin yang masih bermanfaat untuk penekanan aktivitas LES
.


1. Kortikosteroid
Kostikosteroid memiliki peran yang sangat penting dalam pengobatan LES pada kehamilan.
Tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita LES yang hamil akan













mengalami eksarbasi selama kehamilannya sampai pada masa postpartum. Jika penderita
LES mengalami eksarsebasi akut selama masa kehamilan, penggunaan kortikosteroid dalam
dosis adekuat harus segera diberikan sampai 6 bulan postpartum untuk menekan aktivitas
penyakit.
Penggunaan kortikosteroid tertentu seperti prednison, prednisolon, hisrokortison dan kortisol
dalam jangka panjang oleh ibu selama hamil umumnya relativ aman dalam kehamilan.
Diperkirakan hanya 10% dari dosis yang diterima oleh ibu akan melintasi plasenta dan
sampai kepada janin. Sedangkan penggunaan deksametason dan beta metason hendaknya
dihindari penggunaannya selama kehamilan dikarenakan kemampuannya yang lebih besar
dalam melintasi plasenta. Pemberian steroid juga akan menstimulasi pematangan paru janin
pada janin yang preterm.
Pada wanita hamil yang hanya menunjukkan gejala konstitusional yang ringan atau yang
tidak menunjukkan keterlibatan organ vital, misalnya arthritis, ruam kulit ataupun alopesia
umumnya hanya memerlukan terapi prednison oral 5-15 mg/hari. Untuk penderita yang
mengalami demam, serositis, flebitis dan miositis, dapat diberikan prednison 15-45 mg/hari,
Untuk pengobatan kelainan organ vital yang aktif seperti nefritis dan selebritis, diperlukan
prednison oral dosis tinggi sebesar 1mg/kg/bb/hari atau 60-80 mg/hari. Untuk penderita
yang tidak memberikan respon dapat diberikan metilprednisolon 100 mg intravena setiap 4-8
jam. Jika 24-48 jam keadaan tidak membaik, maka dosis metilprednisolon dapat
ditingkatkan sampai 25-100% dari dosis awal. Pada keadaan dimana terdapat kegawatan
dimana efek sistemik yang berat dapat diberikan steroid dengan dosis yang sangat tinggi
dalam wkatu singkat. Cara ini dikenal sebagai pulse steroid therapy, walaupun umumnya
efektif tetapi cara ini akan memberikan efek samping yang berbahaya. Steroid dosis tinggi
juga diberikan pada penderita LES yang akan menjalani seksio sesaria, dapat diberikan
metilprednisolon intravena sampai 48 jam pasca operasi untuk kemudian dilakukan tapering
off.

2. Salisilat dan OAINS

Penggunaan salisilat seperti yang dilaporkan oleh Lewis dan Schulman (1973) akan
menyebabkan postmaturitas, persalinan yang lama dan perdarahan yang relativ yang lebih
banyak selama persalinan jika diberikan dalam dosis lebih dari 50 mg selama 6 bulan. Tuner
dan Collins dalam penelitiannya menunjukan peningkatan bayi berat lahir rendah pada
penggunaan aspirin. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh jick dkk,justru memberikan
hasil yang sebaliknya, dikatakan bahwa pemberian aspirin selama kehamilan relativ aman.
Aspirin dosis rendah profilaktik antikoagulasi sangat berguna pada penderita ini. OAINS
juga memiliki efek yang relative sama terhadap kehamilan dalam derajat yang bervariasi
.Penggunaan OAINS sedapat mungkin dihindari selama kehamilan dikarenakan dapat
menyebabkan penutupan duktus arteriosus in utero.

2. Antimalaria

Penggunaan antimalaria tidak dianjurkan, walaupun efek samping yang terjadi dilaporkan
sangat jarang. Klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari dapat
digunakan dengan aman selama kehamilan. Jika antimalaria tidak menunjukkan hasil yang
baik setelah digunakan selama 6 bulan, maka antimalaria dihentikan penggunaannya. Jika
penggunaannya memberikan respon yang baik,penghentian secara mendadak akan
menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas LES, yang merupakan suatu keadaan yang
harus dihindari pada penderita LES yang mengalami kehamilan.


2. Golongan imunosupresan

Penderita LES yang tidak memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid dan
antimalaria dapat dicoba dengan penggunaan golongan imunosupresan.Yang banyak
digunakan adalah azathioprine (Imuran) dan siklofosfamid (Cytoxan/Endoxan).
Penggunaan Azathioprin selam kehamilan masih merupakan kontroversi. Obat ini akan
melewati plasenta dan memberikan efek janin. Walaupun dilaporkan bahwa tidak bersifat
teratogen, tetapi akan sangat mempengaruhi sistim imunitas janin. Dosis insial harian
berkisarantara 100-200 mg.hari yang diberikan bersama dengan kortikosteroid.Dosis
dikurangi jika dijumpai perbaikan secara klinis.
Penggunaan siklofosfamid selama kehamilan tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan
efek tetratogenik pada janin.Diberikan hanya jika keadaan penyakit sangat mengancam ibu.
Pemberian biasanya digunakan bersamaan dengan kortikosteroid dan dengan cara pulse
therapy. Dosis yang diberikan adalah 750-1000 mg/m2 permukaan tubuh bersama dengan
kortikosteroid dosis tinggi setiap 3 minggu sampai 3 bulan.

PROGNOSA
A. Terhadap kehamilan

Terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas pada janin, terjadi abortus rekuren dan
kematian janin. Kini telah ditmukan bukti bahwa prognosa bisa diperbaiki dengan
pemberian aspirin dosis rendah ( sekitar 75 mg ) diberikan bersama dengan prednison 18
20-80 mg perhari. Gant(1986) melaporkan peningkatan bayi lahir hidup dari 6 menjadi 80
persen dengan pengobatan tersebut Lubbe(1985) menganjurkan pengobatan hanya diberikan
pada wanita dengan riwayat kematian janin.

B. Terhadap ibu

Sebelum tahun 1950, SLE merupakan penyakit yang fatal.Pemakaian preparat kortikosteroid
merupakan pengobatan pertama yang memberikan hasil baik pada penyakit ini.Pemakaian
kortikosteroid yang lebih teratur dan terencana, pemakaian obat imunosupresif, dan penggunaan
antibiotic, antihipertensi, dialysis serta transplatasi ginjal lebih memperpanjang survival rate
lagi.Survave rate 5 tahun sebersar 50 % pada tahun 1954 menjadi 95% pada tahun 1976. Angka
ini tidak banyak berubah sampai sekarang .Kematian paling sering terjadi karena komplikasi
pada ginjal dan susunan syaraf pusat.


Penatalaksanaan

1. Prednison
- Mekanisme kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di
jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam
sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Ikatan ini menstimulasi
transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan
menghasilkan efek fisiologik steroid.
- Efek samping
Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan
insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia, artralgia, mialgia dan
malaise. Komplikasi yang dapat timbul akibat pengobatan lama adalah gangguan
cairan dan elekrolit, hiperglikemi dan glikosuria, dll.
- Dosis
Prednison diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 5 mg.



2. Klorokuin
Klorokuin adalah obat antimalaria. Obat ini diberikan karna bersifat sun blocking dan anti
inflamasi. Untuk pengobatan penyakit ini, dibutuhkan dosis yang jauh lebih tinggi
daripada dosis untuk malaria sehingga kemungkinan intoksikasi harus dipertimbangkan.
- Farmakokinetik
Absorpsi klorokuin setelah pemberian oral terjadi secara cepat dan lengkap, dan
makanan mempercepat absorpsinya. Kadar puncak dalam plasma dicapai setelah 3
5 jam. Klorokuin lebih banyak diikat dijaringan. Metabolismenya dalam tubuh
berlangsung lambat sekali dan metabolitnya dieksresi melalui urin.
- Efek samping
Efek samping yang mungkin terjadi adalah sakit kepala ringan, gangguan pencernaan,
gangguan penglihatan, dan gatal-gatal.

3. Asam mefenamat
Adalah obat antiinflamasi non steroid. Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik. Ia
terikat kuat pada protein plasma.
- Dosis
2 3 kali 250-500 mg sehari.

Anda mungkin juga menyukai