Anda di halaman 1dari 15

1

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENANGKAPAN


IKAN SECARA ILEGAL(ILLEGAL FISHING) DI PERAIRAN ARAFURA

LAW ENFORCEMENT OF ILLEGAL FISHING
IN ARAFURA SEA


Susanto Masita













Alamat Korespondensi :
Susanto Masita
Jl. Mawar No. 13 Perumahan Berlian Blorep Permai (Merauke)
Hp: 081344525221
Prof. Dr. Aswanto, S.H.,M.S.,DFM.
Prof Dr. Slamet Sampurno, S.H.,M.H.


2

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengetahui pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana Illegal
Fishing yang terjadi di laut Arafura, (2) Menentukan Faktor - faktor yang menjadi penghambat dalam proses
penegakan hukum terhadap tindak pidana Illegal Fishing di laut Arafura.Penelitian inidilaksanakan di
Pengadilan Negeri Merauke penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum sosiologis / empiris dengan
melakukan pendekatan penelitian hukum normatife yang dilakukan dalam upaya menganalisis data dengan
mengacu pada norma norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang undangan serta penerapannya
didalam masyarakat..Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penegakan hukum terhadap tindak pidana
Illegal Fishing di Indonesia dilakukan melalui proses peradilan pidana dimana setiap bentuk tindak pidana yang
terjadi, ditangani melalui tahapan Pre Ajudikasi, Ajudikasi dan Post Ajudikasi. Pelaksanaan penegakan hukum di
wilayah Pengadilan Negeri Merauke melibatkan berbagai pihak diantaranya Kepolisian, Pengawas Perikanan,
TNI AL, Kejaksaan, Pengadilan, Advokat, Lembaga Pemasyarakatan, dan masyarakat, namun dalam
pelaksanaannya kurang maksimal, hal ini disebabkan oleh karena obyek penegak hukum sulit ditembus hukum,
lemahnya koordinasi antar penegak hukum, masalah pembuktian, ruang lingkup tindak pidana yang masih
sempit,rumusan sanksi pidana, subyek dan pelaku tindak pidana, proses penyitaan, ganti kerugian ekologis,
kurangnya wawasan dan integritas para penegak hukum.
Kata Kunci : Penangkapan Ikan Secara Ilegal,kejahatan, laut arafura
ABSTRACT

The aims of the research are(1) to know the execution of the law enforcement to the case of Illegal Fishing in
Arafura Sea , (2)to findthe factors that become the resistors of the law enforcement to the case of Illegal Fishing
in Arafura Sea. The research was conducted in jurisdiction of Merauke District Court this research based on
research of empiric or sociologies law by conduction approach of the research of the normative law performed
with effort to analyze data by related to the law of norm which also written in the law of regulation and its
application in societies.The results of the research indicated that the process of the law enforcement of Illegal
Fishing in Indonesia conducted by the process of criminal justice which is in every type of case that happened,
handled through some steps they are Pre Ajudication, Ajudication and Post Ajudication. Execution of this law
enforcement in region of Merauke District Court entangled various parties such as Police, Fisheries Autority,
Navy Seal, Public Attorney, Court of law, Advocate, public correction, and society, but in its execution not
maximal, this caused by the object of the ushers of the punish enforcers that difficult to get through by the law,
the weakness of the coordination between the ushers of the punish enforcers, Authentication Problems, the limit
of the cases that still tight, the planing of the punishment, subject and the law breakers, the process of taking
properties, the payment for the damages of the ecology, the minimum of the knowledges and integrity of the
ushers of the punish enforcers.


Key words : Illegal Fishing,crime, Arafura sea


3


PENDAHULUAN
Laut Arafura merupakan salah satu Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dari 10
WPP yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 995/kpts/IK.210/9/99.Laut
ini terletak di Indonesia bagian timur yang secara yuridiksi terdiri dari 2 jenis perairan, yaitu
perairan teritorial dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif).Kekayaan sumberdaya ikan strategis,
seperti udang, tuna/cakalang, cumi-cumi, ikan demersal dan karang serta bola-bola
(teripang)yang melimpah, telah menarik banyak armada penangkapan dari luar kawasan,
bahkan dari negara-negara sekitar, untuk beroperasi di wilayah ini.Namun demikian,
kenyataan di lapangan saat ini, kondisi sumberdaya ikan (SDI) di Laut Arafura cenderung
menunjukkan gejala penangkapan yang berlebihan atau yang kita kenal dengan istilahover
fishing.Kegiatan penangkapan ikan selama ini cenderung memandang bahwa SDI adalah
kekayaan milik bersama (common property) dan dapat dimanfaatkan tanpa batas (open
access), dan hal tersebut secara perlahan harus mulai kita ditinggalkan.
Transformasi paradigma tersebut perlu mengedepankan pemanfaatan sumberdaya ikan
secara optimal dengan memperhatikan keadilan distribusi pemanfaatan. Penerapan prinsip-
prinsip pengelolaan yang bertanggung jawab ini secara operasional di lapangan memang
seringkali mengalami banyak kendala.Sumberdaya ikan di wilayah perikanan Laut Arafura
yang cukup melimpah dan beraneka ragam, bila dimanfaatkan melebihi daya dukungnya,
akan terancam kelestariannya. Ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan terjadi sebagai
akibat dari pelaku usaha yang memanfaatan sumberdaya ikan secara tidak bertanggung jawab
dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak dilaporkan dan
tidak diatur, atau dikenal dengan istilah Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing.
Untuk menjaga sumberdaya ikan agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari,
perlu didasarkan pada suatu Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP). Hal ini sejalan dengan
amanat Pasal 33 Undang Undang Dasar Tahun 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang -
Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang Perikanan dan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia. Kebijaksanaan (Policy) diartikan sebagai tata cara untuk mencapai suatu
tujuan dengan mempertimbangkan hal-hal terbaik. Dalam bahasa sehari-hari kebijaksanaan
didefinisikan sebagai upaya atau tindakan melanggar peraturan dan ketentuan yang ada untuk
memecahkan suatu masalah tanpa merugikan pihak lain. Hal ini bisa terjadi karena peraturan
yang dilanggar itu dibuat tanpa kajian yang mewakili semua kepentingan masyarakat. Dengan


4

kata lain, hukum,undang - undang, peraturan dan ketentuan yang dibuat asal jadi akan
melahirkanbanyak kebijaksanaan dalam memecahkan masalah kemasyarakatan (Mantjoro,
1993). Kebijaksanaan adalah keputusan yang dibuat pemerintah atau lembaga berwenang
untuk memecahkan masalah atau mewujudkan tujuan yang diinginkan masyarakat.
Kebijaksanaan dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan keikutsertaan masyarakat
dapat mempengaruhi keseluruhan proses kebijaksanaan, mulai dari perumusan, pelaksanaan
sampai pada penilaian kebijaksanaan (Abidin, 2005).
Sejalan dengan kaidah internasional tentang perlunya pengelolaan perikanan yang
bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries dari FAO, 1995).
Pengawasan dan penegakan hukum dalam pemanfaatan sumberdaya ikan merupakan salah
satu kegiatan dalam rangka pengelolaan sumberdaya Ikan yang bertanggungjawab, selain
kegiatan pengendalian dan monitoring. Pengawasan dan penegakan hukum dilakukan
terhadap para pemanfaat sumberdaya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan dan atau
pengangkutan ikan, maupun kegiatan yang terkait dengan sumberdaya ikan
tersebut.Pengawasan dan penegakan hukum dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya
ikan merupakan hal yang relatifbaru sehingga belum banyak dipahami seberapa besar
pentingnya dari kegiatan ini.Tujuan penelitian ini adalah mengetahui sejauhmana pelaksanaan
penegakan hukum terhadap tindak pidana Illegal Fishing dan menentukan faktor - faktor
yang menjadi penghambat dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana Illegal
Fishing di laut Arafura

METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini lokasi yang penulis pilih sebagai tempat melaksanakan kegiatan
penelitian yaitu pada Pengadilan Negeri Merauke, dipilihnya Pengadilan Negeri
Meraukesebagai tempat penelitian karena berdasarkan jumlah tangkapan kapal yang
melakukan pelanggaran di perairan Arafura cukup banyak dan seluruh kasus tersebut
dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Merauke.
Tipe dan Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif.Penelitian deskriptif (descriptive research) yang
biasa disebut taxonomic research, dimaksudkan untuk mendeskriptifkan sejumlah variable
yang berkenaan dengan masalah yang diteliti.Penelitian deskriptif tidak mempersoalkan
jalinan hubungan antara variabel yang ada.Oleh karena itu, dalam penelitin deskriptif tidak
digunakan hipotesis dan tidak dilakukan pengujian hipotesis.


5


Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah putusan Pengadilanmengenai tindak pidana Illegal
Fishing yang terjadi di perairan Arafura Kabupaten Merauke, yang menjadi kewenangan
hukum Pengadilan Negeri Merauke.Sampel penelitian ini adalah seluruh populasi tersebut
diatas yang telah dilimpahkan atau diproses pada lembaga peradilan di Merauke yaitu pada
Pengadilan Negeri Merauke berupa putusan perkara tindak pidana Illegal Fishing yang telah
diputus dan telah berkekuatan hukum tetap. Selain itu juga sampel akan diambil
menggunakan metode wawancaradari responden yang dipilih dan dianggap memahami
masalah dan dapat dipercaya.
Jenis dan Sumber Data
Data Primer :Pengambilan data secara langsung dengan pihak pihak (responden)
yang terkait dengan masalah yang diteliti, seperti dari Instansi Pengadilan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, dan praktisi hukum di Kabupaten Merauke.
Data Sekunder : Pengambilan data dari dokumen dokumen yang terkait dengan
masalah yang diteliti, yaitu antara lain dari buku buku, peraturan perundang undangan,
laporan hasil penelitian, hasil seminar dan makalah serta putusan putusan Pengadilan Negeri
Merauke yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( inkracht van gewitsde ) yang
berkaitan dengan perkaraIllegal Fishing .
Teknik Pengumpulan Data
Studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari data data, tulisan tulisan atau
dokumen (putusan) yang dimiliki oleh Pengadilan Negeri Merauke serta peraturan perundang
undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum tindak pidana Illegal Fishing.
Wawancara, yaitu dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara dalam bentuk tanya
jawab dengan responden.
Analisia Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dimana data yang akan
diperoleh dalam penelitian dianalisis secara analisis kualitatif. Analisa kualitatif
dimaksudkan untuk mendeskripsikan penegakan hukum terhadap tindak pidana Illegal
Fishing , faktor faktoryang menghambat dan atau mendukung penegakan hukum terhadap
tindak pidana Illegal Fishing dan upaya upaya yang dilakukan oleh penegak hukum untuk
memberantas tindak pidana Illegal Fishing tersebut, yang selanjutnya terhadap apa yang
ditemukan dan pengambilan kesimpulan akhir digunakan logika atau penalaran sistematik.



6


Tahap Penelitian dan Jadwal Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui 3(tiga) tahap. Tahap pertama yakni tahap persiapan
pada bulanJanuari, tahap kedua yakni tahap pelaksanaan penelitian pada bulan Februari
sampai April, tahap ketiga yakni tahap pengolahan data dan analisis data pada bulan
April Mei.

HASIL
Proses Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing terhadap Kasus -
Kasus Illegal Fishing di Periaran Arafura.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana di Indonesiadilakukan melalui proses
peradilan pidana sebagaimana ditegaskan dalam Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP ( Kitab Undang - Undang Hukum Pidana ) dimana setiap bentuk tindak
pidana yang terjadi ditangani melalui tahapan Pre Ajudikasi, Ajudikasi dan Post Ajudikasi.
Pre Ajudikasi : Pada tahapan ini Lembaga atau Instansi penegak hukum yang telibat
secara langsung yaitu penyidik (Polisi, Angkatan Laut dan Penyidik PNS) serta Jaksa
(Kejaksaan). Penegak hukum melakukan suatu tindakan berdasarkan informasi maupun
laporan mengenai adanya suatu tindak pidana Illegal Fishing namun tidak jarang pula
adanya tindakan langsung oleh Kepolisian maupun Angkatan Laut atas temuan dari Intelegen
mereka sendiri, seperti sering dilakukannya Gelar Patroli Keamanan Laut oleh kedua
lembaga tersebut. Namun demikian hasil dari Gelar Patroli Keamanan Laut tersebut
selanjutnya yang akan diproses pada tahapan berikutnya, tidak akan berjalan atau dilakukan
secara optimal tanpa adanya koordinasi yang utuh dan menyeluruh dari berbagai lembaga
penegak hukum atau yang sering kita kenal dengan istilah Integreted Criminal Justice
System(ICSJ).
Penegakan hukum terhadap Illegal Fishing di Perairan Arafura Papua menjadi pusat
perhatian setelah dilakukannya operasi atau Gelar Paroli Laut yang dilakukan sejak
Tahun2005 oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesiaserta Lembaga
Penegak Hukum yang lainnyadengan target operasi meliputi seluruh Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI).
Pengawas Perikanan dan TNI - Angkatan laut
Dalam pelaksanaan kegiatan Gelar Patroli Keamanan Laut yang dilakukan sejak
Tahun 2005 sampai dengan 2009dilaksanakan oleh Kapal Pengawas milik Kementerian
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia maupun milik TNI - Angkatan laut yang mana


7

kegiatan Gelar Patroli Keamanan Laut tersebut melibatkan unsur penyidik TNI - Angkatan
Laut dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia yang terlaksana secara terpadu.Sasaran daerah operasi meliputi wilayah
pengelolaan perikanan laut arafura dan laut aru yang merupakan daerah penangkapan ikan
yang sering terjadi tindak pidana pencurian ikan oleh kapal -kapal asing.Data dari hasil Gelar
Patroli Keamanan Laut yang dilakukandi WPP-RI 718 Laut Arafura yang dilakukan sejak
Tahun2005 sampai dengan 2009menunjukan bahwa telah terjadi sejumlah 56 kasus tindak
pidana perikanan.

PEMBAHASAN
Analisis Proses Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing (Kasus -
kasus Illegal Fishing di periaran Arafura).
Penegakan hukum terhadap tindak pidana Illegal Fishing telah menjadi isu publik
yang saat ini sering diperbincangkan oleh masyarakat sejak adanya Kegiatan Pengawasan
Gelar Patroli Keamanan Lautyang dimulai sejak Tahun2005 sampai dengan sekarang. Data
menunjukkan jumlah perkara yang diterima dari Penyidik TNI Angkatan Laut yang masuk
ke Pengadilan Negeri Merauke pada Tahun 2005 sampai dengan 2008 adalah sebanyak 56
(Lima Puluh Enam) kasus.Tindak pidana Illegal Fishingyang diperiksa dan diadili dan
diputus oleh Pengadilan Negeri Merauke hampir seluruhnya berasal dari Perairan Laut
Arafura Kabupaten Merauke yang merupakan atau masih termasuk wilayah hukum
Pengadilan Negeri Merauke.
Dengan adanya kegiatan pengawasan Gelar Patroli Keamanan Laut yang dimulai sejak
Tahun2005 sampai dengan sekarang menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam
memberantas berbagai kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di Indonesia. Selain di
Perairan Laut Arafura Kabupaten Merauke banyak pula kasus kasus Illegal Fishingyang
tertangkap di daerah - daerah lain seperti di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau,
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo,
Sulawesi Selatan, NTB, Maluku dan Maluku Utara.
Dari 56 (Lima Puluh Enam) kasus yang diterima dari PenyidikTNI - Angkatan Laut
oleh Pengadilan Negeri Merauke tidak seluruhnya merupakan tindak pidana perikanan namun
tercatat dari 56 (limapuluh Enam) kasus yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri
Merauke tersebut 42 (Empat Puluh Dua) kasus merupakan tindak pidana perikanan, 10
(Sepuluh) kasus merupakan tindak pidana pelayaran dan 3 (Tiga) kasus lainnya merupakan
tindak pidana yang melanggar ketentuan Undang Undang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).


8


Faktor Faktor Pendukung
Adanya seperangkat aturan (norma hukum) yang mengatur tentang tindak pidana
perikanan yaitu 1). Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang - Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, 2). UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil serta aturan pelaksanaannya lainnya seperti :
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Usaha Perikanan, 3). Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, 4). Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan
Perikanan, 5). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang
Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan,6). Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005 tentang Komisi Nasional Pengkajian
Sumber Daya Ikan, 7). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005
tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidaya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia Yang Bukan Untuk Tujuan Komersial, 8). Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.06/MEN/2008 tentang Penggunaan Pukat Hela
di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.08/MEN/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkap Ikan Jaring Ingsang (Gill
Net) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
Tersedianya Lembaga Penegak Hukum di kabupaten Merauke yang terdiri atau yang
meliputi : Kepolisian Resort Merauke, Lantamal - XI Merauke, Kejaksaan Negeri Merauke,
Pengadilan Negeri Merauke, Advokat dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II b Merauke,
sarana dan Prasarana teknologi dan telekomunikasi sebagai penunjang proses penegakan
hukum Tindak Pidana Illegal Fishing di Perairan Laut Arafura Kabupaten Merauke.
Walaupun dalam kenyataannya dan pelaksanaannya berbagai sarana dan prasarana tersebut
belum memadai, dan respon yang sangat positif dari Pemerintah Daerah dalam membantu
Kegiatan Pengawasan Gelar Patroli Keamanan Laut dalam rangka mencegah terjadinya tindak
pidana Illegal Fishing yang semakin marak di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonsia.
Faktor Faktor Penghambat
Obyek Penegak Hukum Sulit Ditembus Hukum


9

Obyek yang dimaksud disini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan Illegal
Fishing yaitu pelaku yang menjadi otak dari kegiatan tersebut. Terutama dalam hal ini adalah
oknum Pejabat Penyelenggara Negara, oknum Aparat Penegak Hukum atau oknum Pegawai
Negeri Sipil yang tidak diatur secara khusus dalam Undang Undang tentang Perikanan
tersebut.Penerapan Pasal 56 ayat (1) KUHP yang mengkualifikasikan pelaku tindak pidana
sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan
perbuatan pidana dapat juga diterapkan dalam kejahatan Illegal Fishingyang melibatkan
banyak pihak. Namun demikian beban pidana yang harus ditanggung secara bersama dalam
terjadinya tindak pidana Illegal Fishing juga dapat mengurangi rasa keadilan masyarakat,
karena dengan kualitas dan akibat perbuatan yang tidak sama terhadap pelaku turut serta,
dapat dipidanakan maksimum sama dengan si pembuat menurut ketentuan Pasal 56 ayat (1)
KUHP, sedangkan ternyata peranan pelaku utamanya sulit ditemukan.
Lemahnya Koordinasi Antar Penegak Hukum
Lemahnya koordinasi antar Instansi Penegak Hukum dapat menimbulkan tumpang
tindih kewenangan dan kebijakan masing masing, sehingga sangat rawan menimbulkan
konflik kepentingan. Penegakan hukum yang tidak terkoordinasi merupakan salah satu
kendala dalam penanggulangan kejahatan Illegal Fishing .
Proses peradilan mulai dari penyidikan hingga ke persidangan membutuhkanbiaya
yang sangat besar, proses hukum yang sangat panjang dan sarana / prasarana yang sangat
memadai membutuhkan keahlian khusus dalam penanganan kasus tersebut. Dalam satu
Instansi tentu tidak memiliki semua komponen, data/informasi ataupun sarana dan prasarana
yang dibutuhkan dalam rangka penegakan hukum.Oleh karena itu diperlukan koordinasi dan
kerjasama yang sinergis antar Instansi yang terkait dalam upaya penegakan hukum terhadap
Illegal Fishing tersebut.
Dalam pemberantasan kejahatan Illegal Fishing yang terjadi di Indonesia sering
ditemui bahwa yang merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan Illegal Fishing ialah
disebabkan oleh kurangnya koordinasi yang efektif dan efisien antara berbagai Instansi yang
terkait, yang mana sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER/11/MEN/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Nomor PER/13/MEN/2005 tentang
Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan yaitu dalam hal ini
terdapat 10 (sepuluh) Instansi yang terkait yang berada dalam satu mata rantai
pemberantasanIllegal Fishing yang sangat menentukan proses penegakan hukum kejahatan
perikanan yaitu : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepolisian Republik Indonesia,


10

TNI - Angkatan Laut, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan Ham Ditjen
Keimigrasian, Kemeterian Perhubungan Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Keuangan
Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ditjen Pembinaan
Pengawasan Ketenagakerjaan, Mahkamah Agung dan Pemerintah Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota.Koordinasi antar berbagai Instansi tersebut sangat menentukan
keberhasilan dalam penegakan hukum pidana terhadap kejahatan Illegal Fishingyang
merupakan kejahatan terorganisir yang memiliki jaringan yang sangat luas mulai dari
penangkapan ikan secara ilegal, tanshipment ikan ditengah laut hingga eksport ikan secara
ilegal.
Masalah Pembuktian
Berbicara mengenai masalah pembuktian yang dianut oleh hukum pidana Indonesia
adalah sistem negatif (negatif wettelijke stelsel) yang merupakan gabungan dari sistem bebas
dengan sistem positif (Syahrani, 1983:129). Lebih lanjut menurut Syahrini bahwa dalam
sistem negatif Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila
berdasarkan bukti bukti yang sah menurut hukum sehingga Hakim mempunyai keyakinan
bahwa terdakwalah yang telah bersalah melakukan tindak pidana. Hal ini berdasarkan
ketentuan Pasal 183 UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP, yang menyatakan bahwa : Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang kurangnya dua
alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Alat bukti utama yang dapat dijadikan dasar tuntutan dalam tindak pidanaIllegal
Fishing adalah keterangan saksi ahli untuk menjelaskan keadaan laut ataupun akibat dari
penangkapan ikan secara ilegal yang disebabkan oleh kajahatan oleh para pelaku Illegal
Fishing, proses ini juga sangat memerlukan waktu yang cukup lama dari tindak pidana umum
serta sangat dibutuhkan ketelitian dalam proses penanganannya.
Pembuktian terhadap tindak pidana Illegal Fishing yang masih mengacu pada
KUHAP seperti tersebut diatas, adalah merupakan kewajiban penyidik dan penuntut umum
untuk membuktikan sangkaannya terhadap tersangka, kemudian alat alat bukti yang juga
mengacu pada KUHAP seperti halnya tindak pidana biasa, sangat sulit untuk menjerat pelaku
pelaku yang berada di belakang kasus tersebut. Belum diaturnya mekanisme proses untuk
mengakses alat alat bukti seperti akses informasi pada bank atau ketentuan yang
memerintahkan kepada bank untuk meblokir rekening tersangka yang diduga sebagai pelaku
tindak pidana.
Ruang Lingkup Tindak Pidana yang Masih Sempit


11

Ruang lingkup tindak pidana yang diatur dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun
2004 dan perubahannya Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan belum
meliputi tindak pidana korporasi, tindak pidana penyertaan dan tindak pidana pembiaran
(ommission). Tindak pidana Pembiaraan atau (ommission) adalah terutama yang dilakukan
oleh pejabat yang memiliki kewenangan dalam masalah penanggulangan Illegal Fishing
Rumusan Sanksi Pidana
Rumusan sanksi pidana dalam pasal Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan
perubahannya Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikananyang memiliki
sanksi pidana denda yang sangat berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain,
ternyata belum memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan Illegal Fishing. Ancaman
hukuman penjara yang paling berat 6 (enam) tahun bagi pelaku yang melakukan penangkapan
ikan tanpa memiliki atau membawa SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) dan paling berat 7
(tujuh) tahun bagi yang melakukan pemalsuan dan memakai ijin palsu berupa SIUP, SIPI,
SIKPI. Pidana denda yang paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah).
Rumusan sanksi dalam Undang Undang ini tidak mengatur rumusan sanksi paling rendah
atau minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberi efek jera
kepada pelaku. Demikian juga belum diatur tentang sanksi pidana bagi Korporasi serta sanksi
pidana tambahan terutama kepada tindak pidana pembiaran.
Subyek dan Pelaku Tindak Pidana
Subyek atau pelaku yang diatur dalam ketentuan pidana Perikanan secara tersurat
hanya dapat diterapkan kepada pelaku yang secara langsung melakukan penangkapan ikan
secara ilegal maupun kepada kapal ikan yang yang melakukan transhipment secara ilegal.
Ketentuan tentang pidana perikanan itu belum menyentuh pelaku lain termasuk pelaku
intelektual yang terkait dengan Illegal Fishing secara keseluruhan seperti Korporasi, Pejabat
Penyelenggara Negara, Pegawai Negeri Sipil, TNI/POLRI, dan Pemilik Kapal.
Proses Penyitaan
Barang bukti berupa kapal perikanan, ikan dan dokumen dokumen kapal dalam
tindak pidana perikanan khususnya ikan dalam proses penyitaan sebagai barang bukti sangat
perlu diperhatikan dimana barang bukti tersebut memiliki sifat yang cepat membusuk
sehingga dalam proses penyitaan sebagai barang bukti harus dilakukan secara baik yaitu
setelah barang bukti tersebut disita selanjutnya segera di lelang dengan persetujuan Ketua
Pengadilan kemudian uang hasil lelang tersebut digunakan sebagai barang bukti di
Pengadilan.



12



Ganti Kerugian Ekologis
Tindak pidana Illegal Fishing adalah tindak pidana yang mempunyai dampak terhadap
kerugian lingkungan (ekologis) sehingga sangat perlu dirumuskan pasal tentang perhitungan
kerugian secara ekologis. Hal ini juga belum diatur dalam Undang Undang Perikanan.
Kurangnya Wawasan dan Integritas Para Penegak Hukum
Salah satu faktor yang sangat menentukan dalam penegakan hukum terhadap tindak
pidana Illegal Fishing adalah adanya wawasan dan integritas para penegak hukum terutama
menyangkut penguasaan hukum materil dan formil, hal ini dikarenakan begitu cepatnya
perkembangan masyarakat yang semakin moderen, telekomunikasi dan teknologi sehingga
banyak kejahatan baru yang bermunculan dengan jenis dan modus operandi yang baru dan
beraneka jenis, termasuk kejahatan tindak pidana Illegal Fishing. Adanya perkembangan jenis
maupun modus operandi suatu tindak pidana harus dibarengi dengan peningkatan wawasan
dan integritas para penegak hukum agar tidak salah dalam menerapkan hukum dan dapat
menegakkan hukum dengan sebaik baiknya.
Dalam prakteknya penulis menemukan wawasan dan integritas para penegak hukum
ternyata masih sangat kurang dan perlu dilakukan peningkatan lebih lanjut lagi.Hal ini
berawal dari proses rekruitmen yang tidak berdasarkan prinsip prinsip transparan,
partisipatif dan akuntabel secara profesional hingga kependidikan kejuruan, pelatihan
pelatihan dan pembekalan pembekalan yang kurang memadai bagi aparat penegak hukum
terhadap tindak pidana Illegal Fishing tersebut.
Hasil penelitian penulis dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Illegal
Fishingpada lembaga peradilan di Pengadilan Negeri Merauke yang mana sejak tahun 2005
sampai dengan tahun 2008 telah terdapat sebanyak 56kasus/perkara yang telah memiliki
putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap ( Inkracht Van Gewijsde ). Bagaimana
Hakim menentukan sikap terhadap para terdakwa? Berdasarkan data putusan putusan
pengadilan tersebutadalah sebagai berikut yang mana dari ke 56 perkara tersebut tidak
semuanya termasuk dalam tindak pidana Illegal Fishing namun ada 10 perkara yang
termasuk dalam tindak pidana Pelayaran dan 3 perkara yang melanggar ketentuan Undang
Undang Zona Ekonomi Eklusif dan sisanya sebanyak 42 perkara merupakan tindak pidana
Illegal Fishing .
Upaya Upaya Penegakan Hukum Terhadap Tindalk Pidana Illegal Fishing
Upaya Preventif


13

Sosialisasi berbagai peraturan perundang undangan yang mengatur tentang
sumberdaya perikanan dan pengelolaannya kepada masyarakat di Kabupaten Merauke tentang
dampak tindak pidana Illegal Fishing terhadap pembangunan bangsa dan negara dimasa
yang akan datang. Masyarakat diharapkan mengetahui tentang prosedur mendapatkan ijin
penangkapan, pengangkutan dan pengolahan ikan yang benar dan sekaligus untuk menambah
pengetahuan masyarakat guna menghadapi para investor perikanan yang tidak beritikad baik.
Sosialisasi teknis proses penegakan hukum tindak pidana Illegal Fishingkepada aparat
penegakan hukum meliputi kualifikasi aspek tindak pidana, dan administratif dalam perkara
Illegal Fishinghal ini dimaksudkan agar para penegak hukum tidak salah dalam menerapkan
aturan hukum.Penataan kembali administrasi perijinan perikanan pada Kementerian Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia, Dinas kelautan dan Perikanan Propinsi papua dan Dinas
kelautan dan Perikanan Kabupaten merauke.Memperketat proses pemberiaan ijin
penangkapan, pengangkutan, pengolahan ikan dan pengawasannya. Hal ini dimaksudkan agar
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Dinas
kelautan dan Perikanan Propinsi papua dan Dinas kelautan dan Perikanan Kabupaten merauke
tidak kecolongan atau sembarangan menerbitkan ijin.
Upaya Represif
Dalam pelaksanaan kegiatan gelar patroli keamanan laut yang dilakukan sejak Tahun
2005 sampai dengan 2009 dilaksanakan oleh Kapal Pengawas milik Kementerian Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia maupun milik TNI - Angkatan Laut yang mana kegiatan
patroli keamanan laut tersebut melibatkan unsur penyidik TNI - Angkatan Laut dan penyidik
Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang
terlaksana secara terpadu.Menindak lanjuti temuan maupun informasi yang berasal dari
petugas intelegen maupun informasi dari masyarakat tentang adanya tindak pidana Illegal
Fishing.Keseriusan menangani perkara Illegal Fishing dengan memprioritaskan penanganan
perkara Illegal Fishing dalam waktu yang relatif singkat untuk selanjutnya diserahkan ke
Kejaksaan dan diproses lebih lanjut.
Kejaksaan sebagai Instansi tingkat kedua dalam proses penegakan hukum terhadap
tindak pidana Illegal Fishing setelah Penyidik mengkualifikasikan perkara Illegal
Fishingsebagai perkara prioritas yang perlu ditangani serius. Hal ini merupakan bentuk
keseriusan pemerintah melalui Kejaksaan dalam memberantas penangkapan ikan secara ilegal
di Indonesia walaupun masih ada kendala terutama dalam proses membuat tuntutan terhadap
pelaku Illegal Fishing yang cukup panjang atau relatif lama karena harus diajukan kepada
Kejaksaan Tinggi dan diteruskan ke Kejaksaan Agung.


14

Pengadilan sendiri telah berupaya untuk serius menangani perkara Illegal Fishing
terutama oleh para Hakim dengan menerapkan aturan hukum yang benar terhadap para pelaku
dan memutuskan perkara dalam waktu yang relatif singkat dengan berdasarkan kepada rasa
keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan yang tercermin dalam putusannya.
Terlepas dari semua itu masyarakat sebagai pihak yang awam terhadap hukum akan
selalu mempertanyakan putusan pengadilan dengan adanya praktek praktek yang
unprofesional oleh aparat penegak hukum baik PPNS Perikanan, TNI - Angkatan Laut,
Penyidik Polri, Jaksa maupun Hakim namun tentu saja hal tersebut harus mempunyai dasar
yang kuat agar Lembaga Penegak Hukum sendiri tidak dirugikan dengan tudingan
tudingan yang tidak berdasar. Sebaliknya jika tudingan tersebut terbukti, maka oknum
Penegak Hukum tersebut harus segera ditindak dengan tegas berdasarkan aturan hukum dan
hal ini berarti Lembaga Penegak Hukum perlu melakukan pembaharuan.

KESIMPULAN
Hukum acara di Indonesia mengatur sistem pembuktian yang negatif Wettelijk Stelsel,
artinya hakim didalam memutuskan suatu perkara berdasarkan alat bukti yang sah dan ia
berkeyakinan atas alat bukti tersebut (pasal 183 KUHAP).Seluruh institusi peradilan pidana,
termasuk pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk
melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan di bidang perikanan. Proses Penegakan Hukum
terhadap tindak pidana Illegal Fishing di Kabupaten Merauke belum dapat dilaksanakan
secara maksimal, hal ini disebabkan oleh karena adanya beberapa faktor faktor yakmni
Objek penegakan hukum sulit ditembus oleh hukum, lemahnya koordinasi antar penegak
hukum, masalah pembuktian, Ruang lingkup tindak pidana yang masih sempit, Rumusan
sanksi pidana, Subyek dan pelaku tindak pidana, Proses penyitaan, Ganti kerugian ekologis,
dan Kurangnya wawasan dan integritas para penegak hukum
Perlunya dilakukan peningkatan kemampuan maupun kompetensi sumberdaya
manusia khususnya ditingkat penuntutan dan pengadilan sehingga dalam proses penyelesaian
atau penegakan hukum terhadap tindak pidana Ilegal Fishing dapat dilakukan secara
profesional dan tepat sasaran sehingga diharapkan tujuan dari sistem peradilan pidana terpadu
didalam menanggulangi kejahatan dibidang perikanan dapat tercapai.Perlunya dibentuk
Forum Koordinasi Aparat Penegak Hukum Dibidang Perikanan sehingga dalam penanganan
kasus tindak pidana Ilegal Fishing dapat dilaksanakan secara bersama sama lintas sektor
sehingga apa yang menjadi faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum dibidang
perikanan dapat diminimalisir.


15




DAFTAR PUSTAKA

Abidin, S.Z. (2002). Kebijakan Publik. Yayasan Pancur Siwah, Jakarta.
Mantjoro, E dan O. Pontoh. (1993). International Fisheries Policy (Kebijaksanaan Perikanan
International). Seri Dokumentasi dan Publikasi Ilmiah Ilmu sosial Ekonomi
Perikanan.Dharma Pendidikan. Laboratorium Ekonomi dan Bisnis Perikanan.
Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan
Pengembangan Perikanan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum
Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005 tentang Komisi
Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005 tentang Penangkapan
Ikan dan/atau Pembudidaya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia Yang Bukan Untuk Tujuan Komersial,
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha
Perikanan Tangkap.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.06/MEN/2008 tentang Penggunaan
Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara,
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2008 tentang Penggunaan
Alat Penangkap Ikan Jaring Ingsang (Gill Net) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI)
Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang Perikanan,
Undang - Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau
Kecil serta aturan pelaksanaannya lainnya seperti : Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2005 tentang Usaha Perikanan,

Anda mungkin juga menyukai